i
PRAKATA
Buku ajar mata kuliah Ilmu Ukur Tanah ini disusun sebagai salah satu
upaya untuk membantu mahasiswa Prodi D3 Teknik Sipil , Jurusan Teknik Sipil,
Politeknik Negeri Bali dalam melaksanakan tugas menyelesaikan mata kuliah
tersebut.
Ilmu Ukur Tanah adalah merupakan mata kuliah di Jurusan Teknik Sipil
Politeknik Negeri Bali yang mana diberikan kepada mahasiswa di semester I.
Sesuai dengan fungsinya, maka dengan diterbitkannya buku ajar Ilmu Ukur Tanah
ini diharapkan dapat memperlancar kegiatan akademis serta meningkatkan
keterampilan mahasiswa dalam menangani permasalahan lapangan.
Sudah barang tentu segala uraian dan penjelasan di dalam buku ajar ini
berpedoman pada beberapa buku maupun literatur yang telah terbit sebelumnya.
Dengan segala keterbatasan pengetahuan yang ada, penyusun mencoba
menampilkan buku ajar ini sesuai dengan silabus yang ada di Politeknik Negeri
Bali. Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam mempersiapkan sehingga buku ajar ini
dapat terselesaikan. Segala koreksi, saran dan masukan demi penyempurnaan
buku ajar ini akan diterima dengan senang hati.
Penyusun,
Gede Yasada, ST,M.Si.
NIP.197012211998021001
ii
DAFTAR ISI
COVER....................................................................................................................... i
PRAKATA.................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
Bab I. Pendahuluan ..................................................................................................... 5
1.1 Arti dan Tujuan Ilmu Ukur Tanah ........................................................ 5
1.2 Pengertian dan Jenis Peta...................................................................... 5
1.3 Penggunaan Praktis Ilmu Ukur Tanah dalam Pembangunan................ 6
Bab II. Membuat Garis Lurus dan Siku di Lapangan ................................................. 7
2.1 Membuat Garis Lurus............................................................................. 7
2.2 Membuat Sudut Siku ............................................................................. 9
Bab III. Pengukuran Waterpass (Levelling) .............................................................. 11
3.1 lstilah-istilah ........................................................................................... 11
3.2 Metode Pengukuran Beda Tinggi........................................................... 11
3.3 Sipat Datar Sederhana ........................................................................... 12
3.4 Alat Ukur Waterpass .............................................................................. 14
3.5 Rambu Ukur ........................................................................................... 15
3.6 Cara-cara Pengukuran dengan Alat Sipat Datar ..................................... 16
3.7 Ketelitian dalam Pengukuran Waterpass ............................................... 18
Bab IV. Potongan Memanjang dan Melintang............................................................ 20
4.1 Pengukuran profil/ potongan Memanjang (long section)........................ 20
4.2 Pengukuran profill potongan Melintang (cross section) ......................... 24
Bab V. Alat Ukur Theodolite...................................................................................... 33
Bab VI. Uitzet dan Pembuatan Bouwplank ................................................................ 36
Bab VII. Poligon, Azimuth dan Koordinat ................................................................. 38
7.1 Poligon .................................................................................................... 38
7.2 Azimuth.................................................................................................... 39
7.3 Menghitung Koordinat............................................................................. 43
BAB VIII. Pemetaan.................................................................................................. 44
8.1 Pembuatan Titik Detail ............................................................................ 44
8.2 Pengukuran Jarak dan Beda Tinggi secara Optis..................................... 45
8.3 Penggambaran Peta ................................................................................. 46
BAB IX. Garis Ketinggian (Kontur)........................................................................... 48
9.1 Beberapa Sifat Garis Ketinggian/ Kontur ................................................ 48
9.2 Penentuan Interval Kontur ....................................................................... 49
9.3 Penentuan Titik Tinggi untuk Pembuatan Kontur ................................... 50
9.4 Tahapan Pelaksanaan dan Pembuatan Peta Kontur ................................. 50
BAB X. Perhitungan Luas .......................................................................................... 58
10.1 Menghitung Luas dengan Membagi-bagi Luas Tanah Menjadi
Beberapa Bentuk Segitiga,Metode Trapesium dan Metode Simpson ..... 58
10.2 Menghitung Luas dengan Cara Koordinat .............................................. 63
BAB XI. Penghitungan Volume ................................................................................. 65
11.1 Penghitungan Volume dengan Kaidah Simpson.................................... 65
11.2 Penghitungan Volume dengan Kaidah Prismoida.................................. 67
11.3 volume dari Kontur ............................................................................... 69
BAB XII. Survei dengan GPS .................................................................................... 71
12.1 Posisi dan Sistem Koordinat ................................................................... 72
iii
12.2 Ketelitian Data ........................................................................................ 74
BAB XIII. Total Station : Alat Ukur Survei dari Pengembangan Theodolite ............ 75
13.1 Pengertian Total Station......................................................................... 75
13.2 Beberapa Syarat agar Total Station dapat Digunakan Secara Maksimal76
13.3 Cara Menggunakan TS .......................................................................... 77
13.4 Kelengkapan TS..................................................................................... 79
Daftar Pustaka………………………………………………………………………...83
iv
BAB I
PENDAHULUAN
5
- Peta topografi kasar, umumnya untuk keperluan militer, survey pendahuluan,dll.
Peta ini dikenal dengan Peta Top Dam Angkatan Darat, karena dibuat oleh
militer untuk keperluan perang. Peta ini dipublikasikan oleh Direktorat Geologi
(Bandung), sedang data koordinat dan elevasi titik-titik Triangulasinya oleh
Angkatan Darat (Dinas Top Dam). Peta ini umumnya berskala 1 : 50.000, 1 :
100.000, 1 : 200.000, 1 : 250.000, 1 : 500.000.
Peta atlas adalah peta secara global untuk pelajaran ilmu bumi di SD, SMP dan
SMA, skala umumnya 1 : 1.000.000 atau lebih kecil lagi.
B. Untuk Tujuan Non Teknis
- Peta pariwisata ( peta perjalanan ), disini hanya ditekankan pada hal-hal yang
berhubungan dengan pariwisata seperti tempat rekreasi, kesenian, dll.
- Peta masalah sosial, seperti kependudukan, tata guna tanah, dll.
6
BAB II
MEMBUAT GARIS LURUS DAN SUDUT SIKU DI LAPANGAN
DENGAN ALAT SEDERHANA
7
C'
A B C D E
Pelaksanaan membuat garis lurus (lihat gambar 2.b), mula-mula titik A dan B ditentukan
dan diletakkan Yalon di kedua titik tersebut. Seorang berada di belakang yalon A sambil
menyipat arah dari A ke B. Seorang yang lain meletakkan yalon di C’, yang ternyata bila
disipat dari A ke tiga yalon tersebut belum terletak dalam satu garis lurus. Dengan aba-aba
dari penyipat yalon di A, maka yalon ketiga digeser ke titik C yang merupakan
perpanjangan garis AB. Dengan cara yang sama garis lurus tersebut dapat ditambah lagi
dengan titik D, E dan seterusnya.
A C D B
C'
D'
B'
Pada gambar 2.c. akan dibuat garis lurus yang menghubungkan A dan B, dimana antara
titik A dan titik B terdapat halangan sehingga tidak dimungkinkan untuk melihat untuk
melihat langsung dari A ke B. Cara yang dapat dikerjakan adalah dengan membuat garis
pertolongan A – C’ – D’ – B’ dimana AB’ tegak lurus garis BB’. Membuat garis tegak
lurus ini dapat dilakukan dengan menggunakan prisma.
8
Tentukanlah titik-titik C’ dan D’ pada garis AB’, dan ukurlah jarak-jarak AC’, AD’, AB’
dan BB’.
Dengan menggunakan rumus perbandingan segitiga didapatkan panjang sisi :
C’C = BB’ x (AC’ / AB’)
D’D = BB’ x (AD’ / AB’)
Dari hitungan di atas, C’C dan D’D dapat dicari panjangnya. Untuk menentukan titik C dan
D, dapat dikerjakan dengan membuat garis tegak lurus C’C AB’ dan D’D AB’ dan
diukur C’C dan D’D yang telah dihitung di atas. Dengan demikian didapatkan arah garis A
– C – D – B yang telah terletak pada satu garis lurus AB.
Bila dikehendaki pembuatan garis lurus secara teliti, maka harus dikerjakan dengan alat
theodolite.
C' C''
C
4 5
3
A D B
(a) (b)
Cara membuat sudut siku yang paling sederhana adalah dengan menggunakan pita ukur
seperti terlihat pada gambar 2.d.
Gambar 2.d.a adalah cara membuat sudut siku-siku dengan menggunakan perbandingan
panjang sisi segitiga 3 : 4 : 5 (dalil phytagoras = 32 + 42 = 52).
9
Membuat sudut siku dengan pita ukur pada gambar 2.d.b adalah dengan cara
membagi dua sama besar garis AB sehingga AD = DB. Dari titik A dan dari titik B
direntangkan pita ukur dengan panjang yang sama (AC’ = BC’). Ujung-ujung pita ukur C’
diimpitkan dengan C”, sehingga didapat titik C. Bila titik C dan D dihubungkan maka akan
terbentuk garis CD yang tegak lurus garis AB.
10
BAB III
PENGUKURAN WATERPASS (LEVELLING)
3.1. Istilah-istilah
Dalam pengukuran tinggi ada beberapa istilah/ definisi yang perlu
dibicarakan di sini, yaitu :
- Garis vertikal : adalah garis yang menuju ke pusat bumi, yang umumnya
dianggap sama dengan garis unting-unting (plumb line).
- Bidang mendatar : adalah bidang yang tegak lurus pada garis vertikal pada
setiap titik. Dengan demikian bidang horisontal ini akan berbentuk melengkung
mengikuti bentuk permukaan laut.
- Datum : adalah bidang yang digunakan sebagai bidang referensi untuk
ketinggian, misalnya permukaan laut rata-rata.
- Mean Sea Level (MSL) : atau muka laut rata-rata, adalah hasil rata-rata dari
pengukuran permukaan laut tiap-tiap jam selama jangka waktu yang lama
(contoh di USA untuk Mean Sea Level diadakan pengukuran selama 19 tahun).
- Elevasi : adalah jarak vertikal (ketinggian) yang diukur terhadap bidang datum.
a b
garis m endatar
h B
h = a -b
A
Gambar 3.a. Sipat datar dengan mempergunakan tabung gelas yang berisi air
b. Alat penyipat datar sederhana yang terdiri dari slang yang berisi air.
Bila kedua ujung slang dipasang tegak lurus di kedua titik yang akan diukur beda
tingginya, maka selisih pembacaan skala pada mistar ukur yang dipasang tegak di kedua
titik tersebut menunjukkan perbedaan tingginya.
12
Slang berisi air
a b
garis m endatar
h B
h=a-b
A
Gambar 3.b. Sipat datar dengan mempergunakan selang yang berisi air
B a ta n g
m e n d a ta r N iv o / w a te rp a s s
tu k a n g
a
h B
h = a
A
Gambar 3.c. Sipat datar dengan mempergunakan bantuan dua batang ukur
13
3.4. Alat Ukur Waterpass
Nivo
Sumbu
teropong
Skrup pendatar
Prinsip cara kerja dari alat ukur waterpass adalah : membuat garis sumbu teropong
horisontal. Bagian yang membuat kedudukan menjadi horisontal ini adalah nivo, yang
berbentuk sebagai tabung berisi cairan dengan gelembung di dalamnya.
14
Dalam penggunaan alat waterpass harus dipenuhi persyaratan bahwa :
- Garis sumbu teropong harus sejajar dengan garis arah nivo.
- Garis arah nivo harus tegak lurus sumbu I
- Benang silang horisontal harus tegak lurus sumbu I
BA
BT
BB
15
Harus selalu dicek pada saat pembacaan rambu, apakah sudah dipenuhi bahwa
2 x BT = BA + BB
Jarak dari alat waterpas ke rambu ukur dapat dihitung dengan rumus :
b
ta
A
h A B = ta - b
HA T
B
B idang referensi HB
16
Keterangan :
ta = tinggi alat di A
T = tinggi garis bidik
HA = tinggi stasion A
b = bacaan rambu di B
HB = tinggi stasion di B
hAB = beda tinggi dari A ke B = ta – b
Untuk menghitung tinggi stasion B digunakan rumus sbb :
HB = T – b
HB = HA + ta – b
HB = HA + hAB
Cara demikian disebut cara tinggi garis bidik
Catatan :
- ta dapat dianggap hasil pengukuran ke belakang, karena stasion A diketahui
tingginya. Dengan demikian beda tinggi dari A ke B yaitu h AB= ta – b. Hasil ini
menunjukkan bahwa hAB adalah negatif (karena ta < b) sesuai dengan keadaan
dimana stasion B lebih rendah dari stasion A.
- Beda tinggi dari B ke A yaitu hBA = b – ta. Hasilnya adalah positif. Jadi apabila
HB dihitung dengan rumus HB = HA + hAB hasilnya tidak sesuai dengan keadaan
dimana B harus lebih rendah dari A.
- Dari catatan di atas dapat simpulkan bahwa hBA = -hAB agar diperoleh hasil
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
3.6.2. Alat Sipat Datar ditempatkan di antara dua stasion (tidak perlu segaris)
a b
h AB = a - b B
A T
HA HB
Bidang referensi
b
a
a
h B C
A T
HB HC
HA
Bidang referensi
hAB= a – b
hBA = b – a
Bila tinggi stasion C diketahui H, maka :
HB = HC+ tC – b = T – b
HA = HC+ tC – a = T – a
Bila tinggi stasion A diketahui, maka : HB = HA + hAB
Bila tinggi stasion B diketahui, maka : HA = HB + hBA
Dari ketiga cara di atas, maka cara kedua akan mendapatkan hasil lebih teliti dibandingkan
kedua cara lainnya.
S=C L mm
18
Dimana :
S = Kesalahan (antara pergi dan pulang)
C = Konstanta yang tergantung dari tingkat (orde) pengukuran
L = Jarak pengukuran dalam kilometer
19
BAB IV
POTONGAN MEMANJANG DAN MELINTANG
Jalan
B
A
3
1 2
Rencana jalan
B
1 3
A 2
Prosedur pengukuran :
1. Pengukuran pergi
Pengukuran ini dilakukan dari titik A ke titik B, meliputi :
a. Seksi1: alat diletakkan di antara titik A dan titik 1, rambu ukur diletakkan di
titik A dan 1. Baca bacaan belakang pada rambu di A, kemudian baca
benang tengah (Bt), baca benang atas (Ba) dan benang bawah (Bb). Alat
diputar ke arah titik 1( bacaan muka), baca Bt , Ba, Bb.
a. Seksi 2 : alat diletakkan di antara titik 1 dan titik 2, rambu ukur diletakkan di
titik 1 dan 2. Baca bacaan belakang pada rambu di 1, kemudian baca Bt, Ba,
Bb. Alat diputar ke arah titik 2 (bacaan muka), baca Bt, Ba, Bb.
21
b. Seksi 3 : alat diletakkan di antara titik 2 dan titik 3, rambu ukur diletakkan di
titik 2 dan 3. Baca bacaan belakang pada rambu di 2, kemudian baca Bt, Ba,
Bb. Alat diputar ke arah titik 3 (bacaan muka), baca Bt, Ba, Bb.
c. Seksi 4 : Alat diletakkan di antara titik 3 dan B, rambu ukur diletakkan di
titik 3 dan titik B. Baca bacaan belakang pada rambu di titik 3, kemudian
baca Bt, Ba, Bb. Alat diputar ke arah titik B (bacaan muka), baca Bt, Ba, Bb.
2. Pengukuran pulang
Pengukuran dilakukan dari titik B ke A meliputi :
a. Seksi 1 : Alat diletakkan di antara titik B dan 3, rambu ukur diletakkan di
titik B dan titik 3. Baca bacaan belakang pada rambu di titik B, kemudian
baca Bt, Ba, Bb. Alat diputar ke arah titik 3 (bacaan muka), baca Bt, Ba, Bb.
b. Dan seterusnya sampai seksi 4 (alat diantara titik 1 dan A).
Dari hasil pengukuran pergi dan pulang ini beda tinggi masing-masing titik dicari rata-
ratanya dan untuk tandanya (positif atau negatif) dipakai tanda yang pergi.
Catatan :
- Sebaiknya rambu yang digunakan lebih dari satu agar tercapai efisiensi
waktu.
- Titik-titik hendaknya terletak pada garis proyek.
- Semua data ukuran dicatat di dalam buku ukur.
22
Prosedur penghitungan dengan menggunakan tabel 1 :
No Pergi Pulang Beda tinggi Elevasi No
Titik Blk Muka Blk Muka Pergi Pulang Rata- (m) titik
Bt Bt Bt Bt (m) (m) rata
Ba Ba Ba Ba (m)
Bb Bb Bb Bb
A 13,425 A
1,521 1,320 1,343 1,546 0,201 -0,203 0,202
- - - -
- - - -
1 13,627 1
1,471 1,295 1,308 1,487 0,176 -0,179 0,178
- - - -
- - - -
2 13,805 2
1,672 1,156 1,170 1,686 0,516 -0,516 0,516
- - - -
- - - -
3 14,321 3
1,821 0,997 0,986 1,810 0,824 -0,824 0,824
- - - -
- - - -
B 15,145 B
Prosedur penggambaran :
Untuk menggambarkan profil memanjang terlebih dahulu harus ditentukan skala
untuk jarak dan tinggi, atau umumnya disebut skala horisontal dan skala vertikal.
Karena jarak akan lebih panjang dari tinggi, maka skala untuk jarak dan tinggi
diambil berbeda. Skala jarak lebih kecil dari skala tinggi. Misalnya skala jarak / horisontal
1 : 1000 sedangkan skala tinggi / vertikal 1 : 100.
23
Bid.Pers = 10,00
Sta A 1 2 3 B
Jarak (m) 50 50 50 50
13,425
13,627
13,805
14,321
15,145
Elevasi (m)
24
Gambar :
Garis potongan
melintang
Jalan B
Kiri 3
1 2
Kanan
Rencana jalan
25
Contoh pengukuran potongan melintang :
a A d
b
c e
f
Prosedur pengukurannya :
1. Alat diletakkan di titik A, kemudian ukur tinggi alat (Ta)
a. rambu ukur diletakkan di titik a. Baca Bt, Ba, Bb. Cari jarak dari titik A ke
titik a dengan meteran atau jarak didapat dari perhitungan bacaan rambu
ukur.
b. rambu ukur diletakkan di titik b. Baca Bt,Ba,Bb. Cari jarak dari titik A ke
titik b dengan meteran atau jarak didapat dari perhitungan bacaan rambu
ukur.
c. rambu ukur diletakkan di titik c. Baca Bt, Ba, Bb. Cari jarak dari titik A ke
titik c dengan meteran atau jarak didapat dari perhitungan bacaan rambu
ukur.
d. rambu ukur diletakkan di titik d. Baca Bt, Ba, Bb. Cari jarak dari titik A ke
titik d dengan meteran atau jarak didapat dari perhitungan bacaan rambu
ukur.
e. rambu ukur diletakkan di titik e. Baca Bt, Ba, Bb. Cari jarak dari titik A ke
titik e dengan meteran atau jarak didapat dari perhitungan bacaan rambu
ukur.
26
f. rambu ukur diletakkan di titik f. Baca Bt, Ba, Bb. Cari jarak dari titik A ke
titik f dengan meteran atau jarak didapat dari perhitungan bacaan rambu
ukur.
2. Alat diletakkan di titik 1, 2, 3 dan B. Prosedur pengukurannya sama seperti di
atas.
Catatan :
- Bt = Benang tengah
- Ba = Benang atas
- Bb = Benang bawah
- titik a, b, c disebut titik kiri
- titik d, e, f disebut titik kanan
A 1,435 13,425
a - 1.673 - 5 0,238 13,187
b - 2,459 - 5 1,024 12,401
c - 2,894 - 5 1,459 11,966
d - 2,031 - 5 0,596 12,829
e - 2,987 - 5 1,552 11,873
f - 3,218 - 5 1,783 11,642
Prosedur penggambaran :
Pada profil melintang biasanya skala jarak / horisontal dan skala tinggi / vertikal dibuat
sama. Pada contoh di atas skala horisontal = 1 : 100, skala vertikal = 1 : 100.
27
Bid.Pers.+ 8,0 m
Sta c b a A d e f
Jarak (m) 5 5 5 5 5 5
13,187
13,425
11,873
11,966
12,401
12,829
11,642
Elevasi (m)
28
Gambar :
Potongan
melintang B
A
3
2
Rencana jalan
Setelah gambar profil memanjang dan melintang selesai dibuat, kemudian ditarik
garis-garis rencana jalan. Dari sini nantinya dapat diketahui dimana diperlukan penggalian,
penimbunan dan volume tanahnya.
29
Gambar :
3 B
1 2
A
3' B'
2'
1'
A'
Ga Ta
A'
G1 T1
1'
G2 T2
2’
G3 T3
3'
30
B
Gb Tb
B'
= garis rencana
Gi = luas rencana galian dalam m
Ti = luas rencana timbunan dalam m
GA + G1
Volume galian antara titik A dan 1 = V1 = x (25) m
2
G1 + G2
Volume galian antara titik 1 dan 2 = V2 = x (25) m
2
G2 + G3
Volume galian antara titik 2 dan 3 = V3 = x (25) m
2
G3 + GB
Volume galian antara titik 3 dan B = V4 = x (25) m
2
TA + T1
Volume timbunan antara titik A dan 1 = V1’ = x (25) m
2
T1 + T2
Volume timbunan antara titik 1 dan 2 = V2’ = x (25) m
2
T2 + T3
Volume timbunan antara titik 2 dan 3 = V3’ = x (25) m
2
T3 + TB
Volume timbunan antara titik 3 dan B = V4’ = x (25) m
2
31
Jadi : Jumlah volume galian = V = V1 + V2 + V3 + V4
Keterangan :
- Luas Gi dan Ti dapat ditentukan secara grafis atau menggunakan alat
pengukur luas yang disebut planimeter,
- Untuk pekerjaan penggalian, pada patok-patok A, 1, 2, 3, dan B
dituliskan angka yang menunjukkan dalamnya penggalian. (untuk
mendapatkan titik-titik A’, 1’, 2’, 3’, dan B’).
Sedangkan untuk ketinggian timbunan, biasanya diukur kemudian
disesuaikan dengan tinggi rencana.
32
BAB V
ALAT UKUR THEODOLITE
Theodolite adalah : alat untuk mengukur sudut dan arah. Sudut yang diukur
adalah sudut horisontal maupun sudut vertikal, karena theodolite dilengkapi dengan
piringan dengan pembacaan sudut baik piringan horisontal maupun vertikal.
Theodolite dilengkapi dengan sumbu I (vertikal) dan sumbu II (horisontal),
dengan demikian sumbu teropong dapat diarahkan ke segala arah.
Sb I ST
PV
v
Sb II
PH
Keterangan :
ST = sumbu teropong
Sb I = sumbu I
Sb II = sumbu II
V = pembacaan skala vertikal
H = pembacaan skala horisontal
PV = Piringan vertikal
PH = Piringan horisontal
33
Gambar.5.b. Bagian-bagian pada alat ukur theodolite
34
Untuk membuat sumbu I vertikal digunakan nivo, yang dapat berbentuk nivo kotak
maupun nivo tabung
Sedangkan untuk mengatur index penunjuk sudut vertikal betul-betul vertikal, dapat
digunakan nivo tabung maupun dengan sistem suspension dimana prisma untuk pembaca
sudut vertikal digantungkan pada benang-benang baja.
89
V 20' 0"
20'20"
210
V = 89°20'10"
H = 210°20'10"
Gambar 6.a. Pekerjaan levelling dan sudut kesikuan pada pembuatan bouwplank
36
Gambar 6.b. Pemasangan benang untuk kesikuan pada Pembuatan Bouwplank
4. Sisi atas bouwplank harus terletak satu bidang (horizontal) dengan papanbouwplank
lainnya.
37
BAB VII
POLIGON, AZIMUTH DAN KOORDINAT
7.1. Poligon
Poligon adalah : kerangka dasar dalam pemetaan, yang mana titik-titik
poligon tersebut menjadi acuan di dalam pengukuran situasi dan elevasi.
Macam poligon ada dua yaitu :
β1’ β 2’
β1 β2
β6’ β6 β3 β3’
β5 β4
β5’ β4’
Keterangan :
Fx = besarnya kesalahan
n = jumlah titik
38
7.1.2. Poligon Terbuka
Keterangan :
Σβ = jumlah sudut
fx = besarnya kesalahan
n = jumlah titik atau sudut, pilih salah satu yang paling
mendekati
α akhir = azimuth akhir
α awal = azimuth awal
7.2. Azimuth
Azimuth adalah :
Sudut mendatar yang dihitung dari arah Utara, searah jarum jam
sampai ke arah yang dimaksud
Arah utara dapat diperoleh dengan cara :
- Dengan jarum magnet/ kompass
- Dengan pengukuran benda langit (bintang/ matahari)
- Dengan alat theodolite giroskop
39
Gambar 7.c. Azimuth
40
7.2.1. Menghitung azimuth dari dua titik tetap
Y+
Xb-Xa B (Xb,Yb)
Yb-Ya α ab
A (Xa,Ya)
X+
0 (0,0)
Pada gambar di atas diketahui koordinat titik-titik tetap A (Xa, Ya) dan B (Xb, yb),
sedangkan sudut α ab adalah sudut azimuth yang akan dicari besarnya.
Tg α ab = Xb - Xa
Yb - Ya
Atau :
α ab = arc.tg. Xb - Xa
Yb - Ya
Azimuth berharga antara 00 s/d 3600, maka untuk mencari besarnya azimuth
dipakai cara seperti pada tabel di bawah ini :
Kwadrat (Xb – Xa) (Yb – Ya) Azimuth (α)
I + + α ab
II + - 1800 - | α ab|
III - - 1800 +| α ab |
IV - + 3600 - | α ab|
41
7.2.2. Menghitung azimuth dari azimuth awal dan sudut-sudut yang diukur
U
α ab
U
β
α bc
α ab B
α ba =α ab + 180°
A C
α bc = α ab ± 1800 ± β
Rumus tersebut di atas berlaku umum, dengan ketentuan bahwa tanda plus minus
(±) ditentukan sebagai berikut :
- Untuk ± 1800 dapat dipakai plus (+) atau minus (-), pilih salah
satu.
42
- Untuk ± β dipakai tanda plus (+) bila sudut β berada di sebelah kiri
arah jurusan (di sebelah kiri dari A – B – C), dan dipakai tanda minus
(-) bila sudut β berada di sebelah kanan arah jurusan (di sebelah
kanan dari arah A – B – C).
- Bila hasil akhir α bc > 3600, harus dikurangi dengan kelipatan dari
3600.
Dab Sin α ab B
Yb
α ab
Dab Cos
α ab
Ya
A (Xa,Ya)
X+
Xa Ya
Pada gambar di atas diketahui koordinat titik A (Xa, Ya), azimuth dari A ke B = α
Xb = Xa + d ab . Sin α ab
Yb = Ya + d ab . Cos α ab
43
BAB VIII
PEMETAAN
44
- Sudut jurusan (azimuth)
Dari pembacaan data di atas, maka posisi titik detail dapat ditentukan.
11
10
3
12
2 4 5
A B
7 6
Pengukuran titik detail seperti gambar di atas, titik-titik yang diukur dipilih
sedemikian rupa sehingga nantinya tidak kekurangan data, baik untuk menggambarkan
posisi bangunan/ jalan dan sebagainya, maupun untuk menggambarkan garis kontur.
Pengukuran jarak dapat juga dilakukan dengan menggunakan pita ukur untuk
titik-titik yang dekat dengan pesawat atau titik-titik yang posisinya akan dicari secara
teliti.
0°0'0"
Sudut vertikal Bt
ring
k mi
Jara B
h AB
ta
A Jarak datar
45
Rumus :
D Langsung. Sin 2 α
HAB = + Ta - Bt
2
Dimana :
- HAB = Beda tinggi
-D = Jarak
-α = Sudut vertikal
- Ta = Tinggi alat
- Ba = Benang atas
- Bt = Benang tengah
- Bb = Benang bawah
46
kesalahan terlalu besar, maka kita berusaha untuk melokalisir letak kesalahan tersebut
dan mengadakan pengukuran ulang.
Mengeplot titik poligon ke atas kertas gambar dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Dengan koordinat
2. Dengan cara grafis
Pada penggambaran titik poligon dengan cara koordinat akan menghasilkan posisi yang
lebih teliti dibanding dengan cara grafis.
Penggambaran titik detail dapat dilakukan dengan menggambarkan busur derajat dan
mistar skala seperti pada gambar 7.c.
Pusat busur diletakkan tepat pada titik tempat pesawat (P.1) dan skala busur 0 diarahkan
ke sumbu Y (utara) bila sudut dibaca adalah sudah berupa azimuth, maka bacaan ke titik
poligon harus disesuaikan dengan skala sudut pada busur derajat. Sedangkan titik detail
yang lain dapat diplot sesuai dengan pembacaan sudut horisontal dan jaraknya.
0°
0" 1
0 ° 30'
6 m
= 40
d
270° 90°
12
0
d = °40
35 '0"
m
2
180°
47
BAB IX
GARIS KETINGGIAN ( KONTUR )
48
6. Perpotongan garis kontur dengan sungai, saluran, parit, akan cembung ke arah
hulu sungai.
7. Garis kontur yang menggunakan suatu tanjung / semenanjung akan berbentuk
cembung ke arah laut.
8. Garis kontur yang menggambarkan bukit akan berbentuk cembung ke arah
rendahnya bukit atau lereng yang menurun.
100
99
98
97
100
99
98 100
99
98
Rumus :
Interval kontur = 1/2000 x skala peta
49
Contoh : - Skala 1 : 2000, maka interval konturnya = 1 m
- Skala 1 : 1000, maka interval konturnya = 0,5 m
- Skala 1 : 5000, maka interval konturnya = 2,5 m
50
b. Mengukur tinggi alat.
c. Memasang rambu ukur pada setiap detail dan obyek yang dipilih (
mencakup seluruh areal pemetaan ).
d. Membaca skala ukur, meliputi bacaan benang atas (Ba), benang tengah
(Bt) dan benang bawah (Bb).
e. Membaca sudut horisontal antar sisi poligon dengan posisi obyek.
f. Membaca sudut vertikal (sudut zenith ataupun sudut miring) sesuai
dengan kedudukan alat tersebut.
g. Memindahkan posisi alat pada titik poligon berikutnya dan melakukan
langkah-langkah kerja a sampai dengan f.
Khususnya untuk penggambaran kontur, ditinjau dari proses penentuannya ada dua cara
pelaksanaan, yaitu :
1. Cara langsung ( metode garis telusur ).
2. Cara tidak langsung ( metode titik ikat ).
51
Dari kondisi daerah seperti pada contoh tersebut di atas, bila akan dibuat garis kontur
475,00 meter, maka dapat dihitung bacaan rambu (t) yang seharusnya dipertahankan
pada saat memilih tempat-tempat untuk berdirinya rambu.
Bacaan skala rambu (t) untuk nilai kontur 475,00 meter tersebut :
TGB = h (kontur) + t
476,945 = 475,00 + t
t = 1,935 bacaan skala rambu
Batasan kesalahan bergantung pada keadaan permukaan tanah, kegunaan serta
ketelitian yang disyaratkan.
Jika ditentukan interval konturnya 1,00 meter, maka bacaan skala rambu untuk :
a. Garis kontur 476,00 adalah t = 0.935
b. Garis kontur 475,00 adalah t = 1,935
c. Garis kontur 474,00 adalah t = 2,935
Apabila dari lokasi daerah yang lebih tinggi atau lebih rendah konturnya, maka untuk
bacaan skala rambu yang tidak dapat terjangkau diperlukan pengukuran TGB yang
baru dengan titik referensi yang lain.
4. Pengukuran jarak dan sudut mendatar terhadap referensi tertentu diukur dari titik /
tempat kedudukan alat ke titik tempat berdirinya rambu tersebut.
5. Seluruh data pengukuran dicatat dan dilengkapi skets lokasi yang akan membantu /
mempermudah proses selanjutnya.
Prosedur penggambaran garis ketinggian
1. Jarak dan sudut mendatar yang telah diukur diplot / digambar sesuai dengan skala,
sehingga diperoleh kedudukan titik tingginya.
2. Titik-titik tinggi yang sudah ditentukan berdasarkan bacaan skala rambu untuk
masing-masing posisi dihubungkan sesuai dengan nilai-nilai ketinggian yang sama.
Selain itu perlu juga diperhatikan skets untuk membantu penarikan garis kontur pada
tempat-tempat yang tidak diduduki rambu tetapi diperkirakan tingginya sama.
52
1. Berdasarkan pola petak bujur sangkar
2. Berdasarkan pola sebaran titik / arah radial
Pada dasarnya kedua pola tersebut adalah sama dalam rangka penentuan letak /
posisi garis ketinggian maupun penggambaran peta konturnya, sedangkan perbedaannya
hanya dalam pelaksanaan pengukurannya.
60
50
40
30
20
0 20 30 40 50 60 70 80
Nilai x
53
Buat rencana petak-petak grid dengan ukuran tertentu, bebas, tetapi pada
umumnya bergantung / disesuaikan dengan interval kontur yang akan digambarkan dan
luas daerahnya.
d. Pasang tanda-tanda di lapangan pada lokasi yang akan dipetakan dengan jarak-
jarak tertentu sesuai grid yang direncanakan, diawali dari garis basis. Misalnya
tiap 5 meter atau 20 meter.
400
300
200
100
400
300
200
100
54
Untuk menggambarkan garis kontur, harus dicari dulu titik-titik yang elevasinya sama.
Dalam kenyataannya tidak pernah ada titik-titik yang tersedia sesuai dengan yang kita
inginkan (misal 100 m, 200 m, 300 m, dsb), untuk itu perlu diadakan interpolasi dari
titik-titik yang tersedia dengan menggunakan perbandingan jarak.
Sebelum dilakukan penggambaran garis ketinggian / kontur dengan metode ini,
data tinggi yang diperoleh tersebut diproses dengan hitungan interpolasi linier.
Posisi dari titik yang akan dilalui garis kontur dapat diinterpolasikan secara
matematis dari titik-titik yang telah diketahui / dihitung tingginya. Hal ini merupakan
salah satu menyederhanakan dengan asumsi kemiringan tanah tersebut linier di sekitar
titik tinggi itu.
Rumus :
E dicari – E terendah
1. Posisi diukur dari = x jarak
Elevasi terendah E tertinggi – E terendah
E tertinggi – E dicari
2. Posisi diukur dari = x jarak
Elevasi tertinggi E tertinggi – E terendah
55
(197,5 – 197,0) : (197,5 – 195,7) x 10 meter = 2,8 meter
artinya : 2,8 meter dari titik tinggi 197,5 meter
3
2
4
P .1
1 5
7 6
Prosedur pengukuran :
Pada dasarnya prosedur pengukurannya sama dengan pola petak bujur sangkar, yaitu
terlebih dahulu menentukan yang akan diukur ketinggiannya. Apabila menggunakan
metode TGB, maka harus ditentukan dulu besarnya nilai TGB pada suatu kedudukan
alat. Jarak titik-titik tinggi terhadap alat pada umumnya diukur secara optis.
56
Dengan metode tacheometry ini, jarak dan beda tinggi antara titik dapat diukur secara
bersamaan.
Hitungan dan gambar garis ketinggian atau kontur dengan pola ini, pada prinsipnya
adalah sama dengan pola petak grid, yaitu menggunakan interpolasi linier.
Peralatan dan bahan
1. Peta kerja atau lokasi yang diperoleh
2. Theodolite
3. Sipat datar (waterpass)
4. Statif
5. Rambu ukur
6. Roll meter
7. Patok kayu
8. Paku payung
9. Paku
10. Cat dan kuas
11. Alat hitung (kalkulator)
12. Formulir pengukuran
13. Perlengkapan gambar
14. Kertas milimeter
15. Kertas kalkir
57
BAB X
PERHITUNGAN LUAS
Pengukuran tanah yang ada hubungannya dengan hak milik maupun rencana
pekerjaan lainnya selalu diikuti dengan menghitung luas dari tanah yang diukur tersebut.
Satuan yang digunakan adalah meter persegi atau hektar ( untuk daerah yang luas ). Luas
tanah dapat kita hitung baik dari gambar peta maupun diukur langsung di lapangan.
10.1. Menghitung luas dengan membagi-bagi luas tanah menjadi beberapa bentuk
segitiga, metode trapesium dan metode Simpson
A B
I
II III
C D E
Gambar 10.a. Menghitung luas dengan membagi bentuk segitiga
Bentuk tanah seperti gambar di atas dibagi menjadi 3 buah segitiga, yaitu I, II, III.
masing-masing segitiga diukur sisinya, dan masing-masing segitiga dihitung luasnya
dengan rumus :
58
C
b a
A
c B
Gambar 10.b. Menghitung luas segitiga
P 4
2,
7
5
4,
ta n 70 4 ,5
5
Hu
7,
60
1
10
5 ,1
9,
50
2
Ja
9,
40
20
la n
6 ,5
5
30
10
30
6 ,3
20
8
40
10 5 ,1
3
19 38
50
55 72
R 87 4
4,0
60
4,5
4,5
8,0
104,6
7,0
Q
Sungai
Gambar di atas ini menunjukkan suatu sigi sederhana dengan rantai ukur, terdiri atas satu
segitiga PQR, dengan panjang sisinya :
PQ = 60,0 m
59
QR = 104,6 m
RP = 70,0 m
60
= ½ (4,5 + 7) x (87 - 72) = 86,25 m²
Segitiga (6)
= ½ (104,6 - 87) x7 = 61,6 m²
Total = 482,6 m²
Luas antara garis sigi PQ dan jalan juga terdiri atas serangkaian bentuk yang
terpisah-pisah. Tetapi perlu diperhatikan bahwa ofset adalah pada selang teratur 10
meter dalam contoh ini.
Dengan menyebut setiap ofset dengan y, maka luas antara setiap dua ofset dihitung
sbb :
Luas antara penjarak 20 m dan penjarak 30 m
= ½ (y 20 + y 30) x 10
Maka luas seluruhnya :
= ½ (y0 + y10) x 10 + ½ (y10 + y20) x 10 + ½ (y20 + y30) x 10 + ... + ½
(y50 + y60) x 10
= ½ x 10 (y0 + y10 + y10 + y20 + y20 + ... + y50 + y60)
= ½ x 10 ( y0 + y60 + 2y10 + 2y20 +2y30 + 2y40 + 2y50)
y0 + y60
= 10 + y10 + y20 + y30 + y40 + y50
2
Ini adalah kaidah trapesium dan biasanya dinyatakan sbb :
= 315,0 m²
61
Luas dapat ditemukan secara agak lebih akurat dengan kaidah Simpson.
Pengetahuan tentang kalkulus integral diperlukan untuk membuktikan kaidah tersebut,
tetapi dapat ditunjukkan sbb :
Luas = 1/3 lebar bidang (ofset pertama + ofset terakhir + dua kali
ofset ganjil + empat kali jumlah ofset genap)
Catatan :
(i) Jumlah ofset harus ganjil
(ii) Selang ofset harus teratur
Dengan menggunakan kaidah simpson, luas antara garis PQ dan jalan adalah sbb :
Luas = 10/3 [ y0 + y60 + 2(y20 + y40) + 4 (y10 + y30 + y50) ]
= 10/3 [ 4 + 4 + 2 (5,1 + 6,3) + 4 (4,5 + 6,5 + 5,1) ]
= 10/3 [ 8 + 2 (11,4) + 4 (16,1) ]
= 317,3 m²
62
Luas seluruh sigi dengan rantai ukur :
= 2009,3 + 482,6 + 317,3 + 515,5
= 3324,7 m²
3
4
2
5
1 n-1
n
Gambar 10.c. Menghitung luas dengan cara koordinat
Gambar di atas adalah luasan yang dibatasi oleh titik-titik 1, 2, 3, ..., n-1, n dengan
koordinat :
1 ( x1 , y1 )
2 ( x2 , y2 )
.
.
n-1 ( xn-1 , yn-1 )
n ( xn , yn )
Luas dari bentuk tersebut dapat dirumuskan sbb :
63
Untuk memudahkan cara mengingat rumus tersebut, maka koordinat titik-titik kita tulis
berderet ke bawah sbb :
x1 y1
x2 y2
x3 y3
x4 y4
. .
. .
dst dst
. .
. .
xn-2 yn-2
xn-1 yn-1
xn yn
x1 y1
Luas = ½ ( - )
64
BAB XI
PENGHITUNGAN VOLUME
400
300
y
200
A5
100
A4
0
A3
6m 1
A2 da
c lam
x 2
A1 2c 6m 2c
Penampang melintang
yang khas
atau :
65
Contoh :
Kesimpulan :
V = d/3 ( A1 + 4 A2 + 2 A3 + 4 A4 + A5 )
atau :
V = d/3 ( A awal + A akhir + 2 ganjil + 4 genap)
66
11.2. Perhitungan volume dengan kaidah prismoida
Prismoida didefinisikan sebagai benda padat yang mempunyai dua
permukaan datar yang sejajar, bentuknya teratur atau tidak teratur yang dapat
dihubungkan dengan permukaan baik datar maupun melengkung yang padanya dapat
ditarik garis lurus dari salah satu ujung sejajar lainnya.
Gambar :
A1
Am
A2
d /2 d /2
d
67
Ini adalah kaidah Prismoida Simpson yang dapat digunakan untuk menghitung
volume setiap prismoida, asalkan luas M penampang sentral ditentukan.
Perhatikan bahwa luas M bukan luas rata-rata A1 dan A2
Contoh :
Pada suatu galian terencana dengan informasi yang diketahui sebagai berikut :
- panjang galian = 30 m
- Lebar formasi = 8m
- Kedalaman pada permukaan = 8m
- Kedalaman pada akhir = 5m
- Kemiringan sisi = 1 berbanding 1
Menggunakan rumus prismoida, hitunglah volume material yang harus dipindahkan.
Penyelesaian :
a. Penampang A1
Lebar formasi =8m
Lebar puncak = (8 + 2c) m
Kedalaman sentral c = 8 m
Maka lebar puncak = (8 + 16) m
= 24 m
b. Penampang A2
Lebar formasi =8m
Lebar puncak = (8 + 2c) m
Kedalaman sentral c = 5 m
Maka lebar puncak = (8 + 10) m
= 18 m
c. Penampang sentral M
Lebar formasi =8m
Lebar puncak = (8 + 2c) m
Kedalaman sentral = Kedalaman rata-rata A1 dan A2
= ½ (8 + 5) m
= 6,5 m
Maka lebar puncak = (8 + 13) m
68
= 21 m = lebar rata-rata A1 dan A2
d. Luas penampang melintang (trapesium)
A1 = ½ (8 + 24) x 8 = 128 m
A2 = ½ (8 + 18) x 5 = 65 m
M = ½ (8 + 21) x 6,5 = 94,25 m
e. Volume = 30/6 [ 128 + 65 + (4 x 94,25) ] m
= 2850 m
69
= 20/6 [ 610.000 + 4 (150.000) + 1.100]
= 4.037.000 m
(ii). Kedalaman waduk = 23,3 m
Maka kedalaman di bawah kontur
110,0 m = 3,3 m
Jadi volume antara kontur 110 dan dasar (kerucut)
= 1/3 x 1.100 x 3,3 = 1.210,0 m
(iii). Kapasitas total= 4.038.210 m
= 4,038 x 10 9 liter
70
BAB XII
SURVAI DENGAN GPS
GPS (Global Positioning System) adalah sistem radio navigasi dan penentuan
posisi menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem yang
terdiri atas 24 satelit ini dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala
cuaca, serta didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti dan
juga informasi mengenai waktu secara kontinyu di seluruh dunia.
Saat ini GPS sudah banyak digunakan orang di seluruh dunia, dalam berbagai
bidang aplikasi yang memerlukan informasi tentang posisi, kecepatan, percepatan
ataupun waktu. GPS adalah sisitem navigasi dan penentuan posisi yang kemungkinan
besar paling populer saat ini. Di Indonesia pun, GPS mulai banyak diaplikasikan
terutama yang terkait dengan aplikasi-aplikasi yang menuntut informasi tentang posisi.
Survei penentuan posisi dengan GPS umumnya dilaksanakan untuk menentukan
koordinat dari titik-titik yang membentuk suatu jaringan tertentu, dengan melakukan
pengamatan terhadap sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh sistem satelit navigasi GPS.
Jaringan titik-titik GPS ini dapat digunakan sebagai jaringan titik-titik kontrol (control
network) untuk keperluan pemetaan topografi, pemetaan kadaster, pekerjaan rekayasa,
pemetaan fotogrametri, dan lain-lainnya; maupun sebagai jaringan pemantau (monitoring
network) untuk keperluan pemantauan deformasi (bendungan, gunung api, dll) dan studi
geodinamika.
71
12.1.Posisi dan Sistem Koordinat
Posisi suatu titik biasanya dinyatakan dengan koordinat (dua dimensi atau tiga
dimensi) yang mengacu pada suatu sistem koordinat tertentu. Sistem koordinat itu sendiri
didefinisikan dengan menspesifikasikan tiga parameter berikut, yaitu :
a. Lokasi titik nol dari sistem koordinat
b. Orientasi dari sumbu-sumbu koordinat
c. Parameter-parameter (kartesian, curvilinier) yang digunakan untuk
mendefinisikan posisi suatu titik dalam sistem koordinat tersebut.
Posisi suatu titik di permukaan bumi umumnya ditetapkan dalam / terhadap suatu
sistem koordinat terestris. Titik nol dari sistem koordinat terestris ini dapat berlokasi di
titik pusat massa bumi (sistem koordinat geosentrik), maupun di salah satu titik di
permukaan bumi (sistem koordinat toposentrik).
Posisi tiga dimensi (3 D) suatu titik di permukaan bumi umumnya dinyatakan
dalam suatu sistem koordinat geosentrik. Bergantung pada parameter-parameter
pendefenisi koordinat yang digunakan, dikenal dua sistem koordinat yang umum
digunakan, yaitu sistem koordinat kartesian ( X, Y, Z) dan sistem koordinat Geodetik (L,
B, h). Koordinat 3 D suatu titik juga bisa dinyatakan dalam suatu sistem koordinat
toposentrik, yaitu umumnya dalam bentuk sistem koordinat kartesian (N, E, U).
Posisi suatu titik juga dapat dinyatakan dalam dua dimensi (2 D). Posisi 2 D
umumnya dinyatakan dalam (L, B), ataupun dalam suatu sistem proyeksi tertentu (x, y)
seperti Polyeder, Traverse Mercator (TM), dan Universal Traverse Mercator (UTM).
72
lagi metode penentuan posisi terestris, seperti triangulasi, trilaterasi dan triangulaterasi.
Tetapi metode-metode ini sudah tidak banyak lagi digunakan, terutama setelah adanya
metode penentuan posisi yang berbasiskan satelit.
Pada survei metode penentuan posisi secara ekstra terestris, penentuan posisi titik-
titik dilakukan dengan melakukan pengamatan atau pengukuran terhadap benda atau
obyek di angkasa, baik berupa benda-benda, seperti bintang, bulan, dan quasar, maupun
terhadap benda atau obyek buatan manusia, seperti satelit. Beberapa metode atau sistem
penentuan posisi secara ekstra terestris antara lain adalah : astronomi geodesi, fotografi
satelit, SLR (Satellite Laser Ranging), LLR (Lunar Laser Ranging), VLBI (Very Long
Baseline Interferometry), Transit (Doppler) dan GPS (Global Positioning System). Dari
beberapa metode dan sistem penentuan posisi ekstra terestris tersebut, GPS adalah sistem
yang saat ini paling banyak digunakan untuk keperluan survei penentuan posisi. Survei
dengan GPS bahkan dapat diperkirakan akan dapat menggeser penggunaan survei
terestris di banyak bidang aplikasi, meskipun tidak seluruhnya di masa-masa mendatang.
Kalau kita bandingkan survei secara terestris dan survei dengan GPS, maka ada
beberapa perbedaan yang perlu dicatat, yaitu antara lain :
a. Pada survei dengan GPS tidak diperlukan saling keterlihatan antar titik seperti
halnya pada survei terestris; yang diperlukan adalah saling keterlihatan antara
titik dengan satelit GPS.
b. Karena tidak memerlukan saling keterlihatan antar titik, maka titik-titik dalam
jaringan GPS bisa mempunyai spasi jarak yang relatif jauh sampai puluhan
maupun ratusan km; tidak seperti halnya pada survei terestris yang biasanya
hanya terbatas pada spasi titik sampai beberapa ratus meter saja.
c. Pelaksanaan survei GPS dapat dilakukan siang maupun malam hari serta
dalam segala kondisi cuaca, tidak seperti halnya survei terestris yang
umumnya hanya bisa dilaksanakan pada siang hari dan dalam kondisi cuaca
yang relatif baik.
d. Pada survei dengan GPS koordinat titik-titik ditentukan dalam tiga dimensi
(posisi horisontal dan vertikal), tidak seperti halnya survei terestris yang
umumnya dalam dua dimensi (posisi horisontal).
73
12.2.Ketelitian Data :
Kualitas data GPS pada dasarnya akan begantung pada tiga faktor yaitu : jenis
data (pseudorange atau fase), kualitas dari receiver GPS yang digunakan pada saat
pengamatan. Karena pada survei dengan GPS data yang umum digunakan adalah data
fase, maka hanya dua faktor terakhir yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius.
74
BAB XIII
TOTAL STATION: ALAT UKUR SURVEI DARI PENGEMBANGAN
THEODOLITE
Total station juga dapat menjalankan beberapa program survei, seperti menghitung luas,
setting-out, menghitung dan menentukan orientasi arah, dan lain-lain. Saat menggunakan
alat ukur survei ini, kita akan mendapatkan banyak data yang akan disimpan di dalam
media perekam yang terbagi menjadi dua, yaitu media internal atau on-board dan media
eksternal atau berupa card. Data-data yang sudah diperoleh ini dapat ditransfer atau
dikirim ke PC untuk diproses menjadi peta menggunakan program mapping software.
75
13.2.Beberapa Syarat agar Total Station dapat Digunakan Secara Maksimal
Untuk dapat menggunakan total station secara maksimal, kita harus memeriksa dan
memenuhi beberapa syarat. Hal ini dilakukan agar hasil dari pengukuran yang kita
lakukan tepat. Berikut ini adalah beberapa persyaratan agar total station dapat digunakan
secara maksimal.
1. Posisi sumbu pertama harus benar-benar tegak lurus atau vertikal.
2. Posisi sumbu kedua harus benar-benar mendatar atau horizontal.
3. Posisi sumbu kedua harus benar-benar tegak lurus dengan posisi sumbu pertama.
4. Periksa ketelitian bacaan antara jarak vertikal dan jarak horizontal.
5. Periksa ketelitian bacaan sudut horizontal.
6. Perkirakan kemampuan software yang digunakan untuk menghitung hasil
koordinat.
7. Perkirakan kemampuan software yang digunakan untuk menghitung hasil
perbedaan ketinggian.
76
13.3. Cara Menggunakan Total Station
Berikut ini adalah cara menggunakan total station yang baik dan benar agar hasil yang
didapatkan tepat dan maksimal.
1. Pasangkan kaki-kaki tripod/trifoot/statif di tempat yang diinginkan atau di tempat
yang sudah diketahui elevasi dan titik koordinatnya.
2. Pasangkan dan pastikan kaki-kaki tripod/trifoot/statif terpasang dengan kuat
sehingga posisinya selalu stabil.
3. Atur posisi tribrach atau pelat dudukan alat ukur semendatar mungkin.
4. Kencangkan semua sekrup yang ada di setiap kaki tripod/trifoot/statif agar tidak
mudah goyah.
5. Posisikan penanda ketepatan sumbu vertikal total station pada titik yang
diinginkan.
6. Atur posisi sumbu pertama vertikal dan sumbu kedua horizontal menggunakan
sekrup penyeimbang nivo kotak. Biasanya, sekrup-sekrup ini disebut dengan
sekrup A, sekrup B, dan sekrup C.
7. Atur posisi nivo agar sejajar dengan posisi berdiri kita.
8. Letakkan gelembung nivo tepat di dalam lingkaran.
9. Putar total station sebesar 90 derajat dari posisi berdiri kita.
10. Lakukan pengecakan, apakah posisi nivo tetap berada di tengah ingkaran atau
justru bergeser.
11. Jika bergeser, posisikan kembali nivo ke tengah lingkaran dengan mengatur posisi
sekrup C.
12. Lakukan pengecekan kembali, apakah posisi penanda ketepatan sumbu vertikal
tetap berada di posisi yang diinginkan atau justru bergeser.
13. Jika bergeser, kendurkan sekrup pengunci total station pada tribrach, kemudian
geser secara perlahan hingga posisi penanda arah vertikal berada di titik yang
diinginkan.
14. Kencangkan sekrup pengikat yang dikendurkan tadi.
15. Lakukan pengecekan kembali, apakah posisi gelembung nivo berada di tengah
lingkaran atau justru bergeser.
77
16. Jika bergeser, posisikan kembali gelembung nivo ke tengah lingkaran dengan
menggeser sekrup A, sekrup B, dan sekrup C secara perlahan.
17. Jika posisi gelembung nivo sudah berada di tengah bidang nivo dan benar-benar
sudah centering, total station siap untuk digunakan.
78
4. Agar dapat digunakan secara maksimal, alat ukur survei ini sangat bergantung
pada kemampuan orang yang menggunakannya.
Perbedaan Total Station dan Theodolite
Meskipun sama-sama sebagai alat ukur survei, ternyata total station dan theodolite
memiliki beberapa perbedaan yang cukup mencolok. Perbedaan-perbedaan tersebut
adalah:
1. Total station memiliki kecepatan dan ketelitian untuk mengukur jarak jauh dan
sudut lebih baik dibandingkan dengan theodolite.
2. Total station juga memiliki kemampuan untuk mengukur pemetaan situasi yang
lebih baik dibandingkan dengan theodolite.
3. Total station dapat menerima data-data tentang jarak dan sudut dalam satu
pengukuran, sedangkan theodolite harus menggunakan data-data pendukung
untuk dapat menerima data-data tentang jarak dan sudut.
4. Total station memiliki presisi dan integrasi digital yang lebih baik dibandingkan
dengan theodolite.
13.4. Kelengkapan Total Station
1. Bagian-bagian alat TS :
Handle locking screw
79
2. Tripod/ statif kaki tiga :
80
3. Prisma Poligon :
4. Mini Prisma :
81
5. Range Pole / Stik :
Informasi yang tersimpan setelah itu ditransfer ke dalam pc, kemudian software
khusus akan otomatis melaksanakan komputasi/ menerjemahkan hasil dan menunjukkan
peta dari area yang sudah disurvey
82
DAFTAR PUSTAKA
Irvine, William. 1980. Survey for Construction. England : Mc Graw – Hill Book
Company.
Sosrodarsono, Suyono dan Masayoshi Takasaki. 1981. Pengukuran Topografi dan Teknik
Pemetaan. Jakarta : Pradnya Paramita.
Wongsotjitro, Soetomo.1977.Ilmu Ukur Tanah. Jakarta : Swada.
Abidin, Hasanuddin Z DR ;Jones, Andrew MsurvSc,MBA dan Kahar ,JoenilProf.DR.
1995.Survei Dengan GPS. Jakarta : Pradnya Paramita.
Purworaharjo,Umaryono U. 1986. Ilmu Ukur Tanah Seri B, Pengukuran Tinggi.
Bandung. Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Bandung.
Muhamadi,Mansur Ir,Msc. Ilmu Ukur Tanah. Surabaya. Pasca Sarjana Jurusan Teknik
Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Frick,Heinz Ir. Ilmu dan Alat Ukur Tanah. 1979. Yogyakarta. Kanisius.
Standard Total Station ” Guidelines for use”. Topcon .2018.
Http://www.kucari.com/total-station-alat-ukur-survei
83