KELAS 4
Oleh:
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
berkat-Nya kelompok kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas membuat “Laporan
Praktikum Ilmu Ukur Tanah”.
Tujuan pembuatan laporan ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan
sebagai persyaratan wajib mengikuti kuliah Ilmu Ukur Tanah. Disamping itu, juga untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan kami dalam menerapkan mata kuliah Ilmu Ukur Tanah
di dalam praktek yang nyata.
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
terlibat dan memberikan bimbingan, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain:
1. Bapak I Nyoman Karnata Mataram, ST., MT. selaku dosen mata kuliah dan dosen
pembimbing Ilmu Ukur Tanah.
2. Bapak Wayan Sudistayasa, selaku pembimbing praktikum percobaan pengukuran di
lapangan.
3. Semua pihak yang telah memberikan informasi, bantuan, dukungan dan perhatian kepada
kelompok kami sehingga laporan praktikum ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Selanjutnya, kami sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan laporan ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan
saran yang membangun dari pembaca dengan kerendahan hati. Semoga laporan ini dapat
menambah wawasan dan bermanfaat bagi pembaca.
Jimbaran, 16 Juni 2023
Kelompok 4
DAFTAR ISI
Teori-teori yang diberikan dalam mata kuliah Ilmu Ukur Tanah tersebut bertujuan
untuk mengetahui dan memahami gambaran sebenarnya di kenyataan, sehingga para
mahasiswa Teknik Sipil Universitas Udayana diwajibkan untuk melakukan praktikum
pengukuran tanah di lapangan.
1.2 Tujuan
Berikut tujuan dari pelaksanaan praktikum Ilmu Ukur Tanah :
Dalam ilmu ukur tanah, pekerjaan mengukur dibedakan menjadi dua, yaitu:
Bentuk umum dari permukaan bumi adalah ellipsoide putar, yaitu berbentuk ellips dengan
sumbu putar pada sumbu pendeknya. Di dalam pengukuran (surveying), permukaan bumi yang
seharusnya melengkung dapat dianggap sebagai bidang datar. Hal ini disebabkan karena
cakupan bidang ilmu ukur tanah ini adalah kecil. Bila daerah yang dicakup cukup besar, maka
kelengkungan permukaan bumi sebagai ellipsoide putar harus diperhitungkan, yang tentunya
memerlukan perhitungan – perhitungan yang lebih sulit.
2.2 Maksud dan Tujuan Ilmu Ukur Tanah
Berdasarkan bidang pengukurannya, ilmu ukur tanah dapat dibedakan menjadi dua yaitu
pengukuran horisontal dan pengukuran vertikal. Adapun besaran-besaran yang diukur adalah
sebagai berikut:
Jadi maksud dari ilmu ukur tanah adalah melakukan pengukuran besaran-besaran bidang
horisontal dan vertikal sedangkan tujuan akhirnya adalah memperoleh data dan informasi
mengenai posisi atau lokasi titik-titik objek di muka bumi.
Secara praktis, ilmu ukur tanah mempunyai tujuan menggambarkan bayangan Sebagian
atau seluruh permukaan bumi ke dalam suatu kertas yang disebut peta. Sementara secara
ilmiah, ilmu ukur tanah mempunyai tujuan menentukan bentuk bumi.
Peta sebagai produk dari kegiatan ilmu ukur tanah dibuat melalui tiga tahapan pekerjaan
yaitu (Purworahardjo, 1986):
a. Melakukan pengukuran-pengukuran pada dan di antara titik-titik dimuka bumi
(Surveying).
b. Menghimpun dan menghitung hasil ukuran dan memindahkannya pada bidang datar
peta.
c. Melakukan intepretasi fakta-fakta yang ada di permukaan bumi dan
menggambarkannya dengan simbol-simbol.
Pengukuran-pengukuran tersebut dilakukan untuk menentukan posisi (koordinat dan
ketinggian) titik-titik di muka bumi (Purworahardjo,1986). Titik-titik di muka bumi yang
diukur, dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu titik-titik kerangka dasar dan titik-
titik detail. Titik-titik kerangka dasar adalah sejumlah titik (terbuat dari beton atau kayu) yang
dipasang dengan kerapatan tertentu yang akan digunakan untuk menentukan koordinat dan
ketinggian titik-titik detail. Sedangkan titik-titik detail adalah titik yang telah ada di lapangan
seperti pada pinggiran sungai, jalan, pojok bangunan, dan lain-lain. Titik-titik kerangka dasar
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu titik-titik kerangka dasar horizontal dan titik-titik
kerangka dasar vertikal. Titik-titik tersebut digunakan untuk menentukan koordinat horizontal
dan ketinggian titik-titik lainnya (titik-titik detail). Pengukuran untuk menentukan koordinat
horizontal dinamakan pengukuran horizontal sedangkan untuk ketinggian disebut pengukuran
vertikal (tinggi).
Untuk menghitung koordinat titik-titik di muka bumi (baik kerangka maupun detail)
diperlukan adanya bidang hitungan tertentu. Mengingat bahwa permukaan bumi fisik sangat
tidak beraturan, permukaannya tidak dapat digunakan sebagai bidang hitungan. Di dalam ilmu
Geodesi, permukaan bumi yang tidak beraturan tersebut diganti dengan bidang yang teratur
yaitu bidang yang mempunyai bentuk dan ukuran mendekati geoid, yaitu permukaan air laut
rata-rata dalam keadaan tidak terganggu atau tenang. Bidang teratur atau bidang geoid tersebut
secara global mendekati bentuk permukaan sebuah elips putar (ellipsoide). Permukaan
ellipsoide inilah yang digunakan sebagai bidang hitungan.
Apabila titik-titik tersebut akan dilukiskan pada bidang datar (bidang peta) maka titik-titik
tersebut dinyatakan dengan Sistem Koordinat Kartesian. Umumnya notasi yang digunakan
adalah pada arah horizontal dinyatakan dengan absis (simbol X) dan pada sumbu vertikal
dinyatakan dengan ordinat (simbol Y).
Gambar 2.1 Sistem Kartesian Bidang Datar
Asumsi yang digunakan adalah luas permukaan yang dikaji yaitu luas permukaan bumi
yang mempunyai ukuran terbesar tidak melebihi 55 km sehingga permukaannya dapat
dianggap sebagai bidang datar, sehingga rumus proyeksi peta (rumus transformasi koordinat
dari bidang lengkung ke bidang datar) tidak diuraikan lebih lanjut.
Selain mencerminkan ketelitian dan kelengkapan informasi, skala merupakan salah satu
penunjuk bagi pengukur tentang ketelitian pengukuran yang harus dicapai. Misalnya untuk
pengukuran jarak, normalnya batas ketelitian di dalam ploting titik pada peta adalah 0,1 mm.
Bila skala peta dimana ploting dilakukan adalah 1:500, 0,1 mm di peta tersebut akan sesuai
dengan 5 cm di lapangan. Maka dalam hal ini jarak-jarak harus diukur dengan ketelitian di
bawah 5 cm.
Berdasarkan skalanya, peta dikelompokkan ke dalam peta skala besar, skala sedang dan
skala kecil. Akan tetapi batasan-batasan skala untuk masing-masing kelompok peta tersebut
tidak jelas. Umumnya skala 1:10000 dan lebih besar digolongkan ke dalam skala besar, skala
antara 1:10000 sampai dengan skala 1:100000 digolongkan peta skala menengah, skala
1:100000 dan lebih kecil digolongkan ke dalam skala kecil (Purworahardjo, 1986).
Untuk perhitungan banyak titik (poligon) yaitu titik 1, 2 dan 3 seperti di atas maka tahapan
perhitungannya adalah sebagai berikut:
α12 = αA1 + β1 - 180o, α23 = α12 + β2 - 180o = αA1 + (β1+ β2) - 2 x 180o
Sebelum koordinat titik 1, dan 2 dihitung sudut-sudut β1 dan selisih-selisih absis dan ordinat
diberi koreksi terlebih dahulu agar persamaan-persamaan umum menjadi dipenuhi. Adapun
koreksi-koreksi yang dimaksud adalah:
Rumus koreksi diatas disebut rumus koreksi Bowditch, sementara itu metode pemberian
koreksi berdasarkan cara Transit adalah sebagai berikut:
Dimana: m = 90 – Z
BA = Bacaan Benang Atas
BB = Bacaan Benang Bawah
Z = Sudut Zenith
m
BA
BT
BB
h = V + TA – BT
Keterangan :
h = beda tinggi
V = 50 x ( BA – BB ) x sin ( 2m )
m = sudut miring = 900 – z
TA = tinggi alat
BT = benang tengah
V
m
TA BA
BT
BT BB
Pengukuran sudut Theodolit kami pasang di patok X dan kami menggunakan arah
utara sebagai patokan (sudut 0°). Selanjutnya memutar theodolit ke patok 17 sehingga
didapat sudut αX-17 dan memutar theodolit ke patok 18 sehingga didapat sudut αX-18.
Kemudian kami memindahkan theodolit ke patok 17 dan menjadikan patok X sebagai
patokan (sudut 0°), selanjutnya memutar theodolit ke patok 18 sehingga didapat sudut
luar dari patok 17. Langkah – langkah tersebut dilakukan pada patok berikutnya sampai
kembali lagi ke patok X dengan tetap menggunakan patok sebelumnya sebagai patokan
(sudut 0°). Pengukuran ini akan menghasilkan sudut horizontal. Sudut vertikal diperoleh
dengan cara membaca nilainya pada theodolit ketika mengarah pada patok setelah
theodolit diputar.
Koordinat titik polygon Kedudukan titik – titik yang diukur di lapangan biasanya
dinyatakan dengan koordinat Cartesius (x, y, z). Dalam penentuan koordinat titik – titik
ini bisa dibantu dengan cara membuat suatu poligon.
Di dalam pratikum ilmu ukur tanah ini, cara yang digunakan adalah dengan
polygon tertutup, dimana secara singkat perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Jumlahkan sudut – sudut yang diukur (sudut dalam atau sudut luar poligon). Tentukan
fα (kesalahan pada sudut – sudut yang diukur) dengan rumus :
Di dalam pratikum ilmu ukur tanah ini, kami menggunakan perhitungan sudut luar.
Koreksi sudut yang didapat (fα) dibagi dengan n, kemudian digunakan untuk mengoreksi
sudut hasil pengukuran.
1. Hitung sudut jurusan (azimuth) semua sisi dengan menggunakan sudut yang telah
dikoreksi tadi.
2. Hitung J sin α dan J cos α untuk mendapatkan koreksi absis dan ordinat dimana :
Fx = ∑ Ji sin α
Fy = ∑ Ji cos α
Kesalahan Fx dan Fy kemudian dibagikan pada tiap – tiap sisi sebagai koreksi jarak
(∆x dan ∆y) dimana :
𝐽𝑖
∆x = ∑ 𝐽𝑖 x Fx
𝐽𝑖
∆y = ∑ 𝐽𝑖 x Fy
3. Setelah itu jarak absis dan ordinat (J sin α dan J cos α) ditambah dengan faktor
koreksi yang telah didapat, sehingga didapat jarak absis dan ordinat yang telah
dikoreksi (J sin α2 dan J cos α2).
y2 = y1 + J cos α1 + ∆y
Prinsip kerja dari alat ukur waterpass adalah membuat sumbu teropong atau garis
bidik horizontal. Bagian yang kedudukan menjadi horizontal ini adalah nivo, yang
berbentuk tabung dengan gelembung udara sebagai indicator di dalamnya.
Dalam menggunakan alat ukur waterpass harus dipenuhi beberapa persyaratan:
1. Garis sumbu teropong harus sejajar dengan garis arah nivo.
2. Garis arah nivo harus tegak lurus sumbu kesatu.
3. Benang silang horizontal diafragma dan harus tegak lurus sumbu kesatu.
Alat ukur waterpass dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yaitu :
1. Tipe semua bagian tetap (Dumpy Level)
Pada tipe ini, teropong dan nivo jadi satu, penyetelan kedudukan
teropong dilakukan dengan tiga sekrup penyetel.
2. Tipe nivo reverse (Wye Level)
Tipe dimana teropong dapat diputar pada sumbu panjangnya, sehingga
tabung nivo yang mula – mula berada diatas teropong dapat diputar menjadi
benda di bawah teropong.
3. Tipe semua tetap pada sekrup pengungkit (Dumpy Tilting Level)
Pada jenis ini sumbu teropong dapat disetel dengan menggunakan sekrup
pengungkit.
4. Tipe otomatis (Automatic Level)
Pada jenis ini kedudukan sumbu teropong akan horizontal secara
otomatis karena di dalamnya dilengkapi dengan prisma – prisma yang
digantungkan pada plat baja. Dengan berat sendiri prisma maka prisma akan
selalu dapat menyeseuaikan diri pada setiap kedudukan teropong, dengan
demikian sumbu bidiknya akan selalu mendatar.
5. Hand level
Alat ini hanya terdiri dari teropong yang dilengkapi dengan nivo
sedangkan cara penggunaannya cukup dipegang dengan tangan. Ketelitian
alat ini sangat kurang dibanding dengan keempat jenis diatas
Untuk mengetahui beda tinggi antara patok yang satu dengan patok yang lain,
diukur dengan waterpass. Langkah pengukuran beda tinggi dengan waterpass adalah
sebagai berikut:
a. Waterpass diletakkan antara patok yang ingin diukur beda tingginya, misalnya
patok 18 dan patok X.
b. Rambu diletakkan di dua tempat bergantian, yaitu di patok 18 dan di patok X.
c. Rambu ukur dimuka waterpass dibidik kemudian dicatat tinggi benang tengah
(BT). Setelah itu rambu belakang waterpass dibidik dan dicatat hasilnya.
d. Beda tinggi di muka dan di belakang dengan waterpass didapat dengan rumus:
Gambar 3.8
(Pengukuran beda tinggi dengan waterpass)
BAB IV
PENGOLAHAN DATA
Fx = Σ ( d sin α )
Fy = Σ ( d cos α )
Koreksi untuk masing – masing jarak adalah :
𝑑𝑖
Δx = Σ𝑑𝑖 𝑥𝑓𝑥
𝑑𝑖
Δy = Σ𝑑𝑖 𝑥𝑓𝑦
Setelah itu jarak absis dan koordinat dikurangi dengan factor koreksi yang telah didapat,
sehingga didapat jarak absis dan koordinat yang telah dikoreksi.
4.2 Perhitungan Bidang Horizontal Menggunakan Theodolit
∑β = β1 + β2 + β3 + β4
= 295o 31’ 30” + 258o 32’ 42’’+ 306o 09’ 12’’ + 220o 12’ 54’’
= 1080o 26’ 18’’
Sudut terkoreksi ;
β1 = 295o 31’ 30” + (-000 06’ 34.5’’) = 2950 24’ 55.5”
Pada titik 1 ke sumbu 2 (α12) αij = 98o 04’ 06” karena dari set 0° ke sumbu
2. Mencari titik lain menggunakan rumus ;
𝑑 = 100(BA-BB)
𝑑12 = 100 (BA – BB)
= 100 (1.490 – 1.310)
= 18 m
𝑑23 = 100 (BA – BB)
= 100 (3.190 – 2.980 )
= 21 m
𝑑34 = 100 ( BA – BB )
= 100 ( 1.352 – 1.182 )
= 17 m
𝑑41 = 100 ( BA – BB )
= 100 (1.250 – 1.100)
= 15 m
∑d = 71 m
bertanda negatif)
di
Menghitung Koreksi Y dengan rumus ∑di . fg
Yx = 0, karena set 0
= -15,289 m
Y4 = Y3 + F34 + Koreksi d34
= (-15,289) + (12,833) + (0,070)
= -2,386 m
Satuan yang digunakan dalam pengukuran waterpass ini adalah meter (m) sampai
ketepatan mili meter (tiga angga dibelakang koma)
c. Setelah didapat ketinggian ke 4 titik tersebut, kemudian tinggi tersebut harus dilakukan
hitungan perataan untuk memperoleh ketinggian yang akurat dengan memberikan
koreksi di setiap titik-titik tersebut
1
Koreksi = n W
Keterangan;
n = jumlah titik yang ada
W = satal penutup tinggi / perbedaan titik tertinggi dengan terendah
d. Faktor koreksi tersebut kemudian dibagi rata pada masing-masing H, sehingga didapat
beda tinggi yang baru. Dengan menggunakan beda tinggi, maka didapat elevasi dari
masing-masing patok.
Hasil
Perhitungan
Pengukuran
Pembacaan
Titik deltahi deltahi H1
Rambu Koreks
i (hi +
(bi) (mi) (bi - mi) (Hi - 1 + hi)
koreksi)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 100
0,780 1,025 -0,245 -0,113 -0,132
2 99,868
1,370 1,322 0,048 -0,113 0,161
3 100,029
1,213 1,242 -0,029 -0,113 0,084
4 100,113
1,554 1,780 -0,226 -0,113 -0,113
1 100
4,917 5,369
a. Hasil Pengukuran
1) Data BT belakang
B1-2 = 0,780 m
B2-3 = 1,370 m
B3-4 = 1,213 m
B4-1 = 1,554 m
2) Data BT muka
M1-2 = 1,025 m
M2-3 = 1,322 m
M3-4 = 1,242 m
M4-1 = 1.780 m
b. Hasil Perhitungan
1) Menghitung hi (bi – mi)
h1 - 2 = 0,780 – 1,025 = -0,245 m
h2 - 3 = 1,370 – 1,322 = 0,048 m
h3 - 4 = 1,213 – 1,242 = -0,029 m
h 4 - 1 = 1,554 – 1,780 = -0,226 m
2) Menghitung Koreksi
∑h = ∑ bi - ∑ mi
= 4,917 – 5,369
= -0,452 m
Salah Penutup (W) = H − (∑ bi − ∑ mi)
= 0 – (-0,452)
= +0,452 (Jika W = + maka koreksi adalah minus)
Koreksi = ¼ x (-0,452) = -0,113 m
3) Menghitung hi ( hi + Koreksi)
h1 - 2 = (-0,245) + (-0,113) = -0,312 m
h2 - 3 = (0,048) + (-0,113) = 0,161 m
h3 - 4 = (-0,029 ) + (-0,113) = 0,084 m
h 4 - 1 = (-0,226 ) + (-0,113) = -0,113 m
4) Menghitung H1 (Hi – 1 + hi )
H1 = 100.00
H2 = 100.00 + (-0,312) = 99,868 m
H3 = 99,868 + 0,161 = 100,29 m
H4 = 100,29 + 0,084 = 100,113 m
Kontrol H1 = 100,113 + (-0,113) = 100,0 m
BAB V
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dan penjabaran hasil praktikum atau pengukuran maka didapatkan
beberapa kesimpulan diantaranya.
2. Pengukuran titik – titik dilapangan (baik jarak maupun beda tinggi) dilakukan dengan
menggunakan alat waterpass dan theodolit dengan alat pelengkap lainnya seperti
rambu ukur, rol meter, patok dan lain – lain.
3. Data – data yang didapat dari hasil pengukuran dilapangan diolah dimeja kerja
dengan menggunakan rumus Tachimetri yang merupakan bagian dari Ilmu Ukur
Tanah.
4. Semua data – data hasil perhitungan di meja kerja dituangkan dalam sebuah gambar
poligon dan profil memanjang.
5. Hasil pengukuran horizontal dan vertikal kelompok kami pada praktikum ilmu ukur
tanah ini dalam bentuk koordinat (x, y, z) adalah sebagai berikut :
Px (0,000 ; 0,000)
P2 (32,878; -4,605)
P3 (28,396; -15,231)
P4 (3.504; -18,435)
P1 (0,000; 0,000)
5.2 Saran
2. Waktu untuk praktikum sebaiknya diperpanjang agar lebih teliti dalam mengukur,
baik dalam menggunakan waterpass maupun theodolit.