id
TESIS
Oleh:
Wahyu Widodo
S111008019
TESIS
Oleh
Wahyu Widodo
S111008019
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Buku itu lahir di kesepian, dari renungan, diciptakan dari STUDI dan
SEMADI bertahun-tahun. Ia hasil dari kesinambungan sejarah: dari
mata rantai pembaca yang menjadi penulis dan penulis yang menjadi
pembaca. Maka, Kebudayaan buku adalah kebudayaan mata dan
huruf, kebudayaan sunyi sepi. Itulah literacy, keberaksaraan yang
sungguh-sungguh.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Wahyu Widodo. S111008019 2012. Mantra Kidung Jawa (Kajian Repetisi dan
Fungsi). TESIS. Pembimbing 1: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S., II: Dr. Sudaryanto.
Program Studi Linguistik. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui kekhasan aspek kebahasaan mantra kidung
Jawa, (2) memaparkan bentuk-bentuk repetisi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa,
(3) menjelaskan fungsi repetisi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa. Mantra
kidung Jawa dalam penelitian ini bersumber dari Kitab Primbon Atasshadur
Adammakna (KPAA) yang terdapat 12 mantra yang berbentuk kidung (tembang).
Penyedian data yang bersumber dari dokumen (KPAA) dilakukan dengan menggunakan
metode simak dan teknik catat. Penyedian data yang bersumber dari narasumber
(informan) dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth
interview). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan analisis isi
(content analysis) melalui penahapan analisis domain, taksonomi, analisis komponen
dan penemuan tema budaya. Analisis repetisi menggunakan ancangan puitika linguistik
Jakobson, sedangkan analisis fungsi menggunakan enam fungsi kebahasaan Jakobson.
Temuan penelitian ini adalah (1) Kekhasan bahasa yang terdapat dalam mantra kidung
Jawa yaitu adanya kata takbermakna, kata tabu, dan penjajaran bahasa Arab dan Jawa.
(2) Bentuk-bentuk repetisi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu repetisi yang
terjadi pada tataran gramatikal, leksikal, dan semantik. Selain itu, ada repetisi unik yaitu
repetisi yang terjadi dalam multi-lapis secara serentak (3) Fungsi yang terdapat dalam
mantra kidung Jawa yaitu fungsi referensial, konatif, dan puitik. Fungsi referensial yaitu
ada dua (a) memperkuat daya yakin bagi pembaca mantra. Keyakinan itu dapat tumbuh
dengan penahapan identifikasi, internalisasi, dan implementasi, (b) Sebagai media
dakwah Islam. Fungsi konatif yaitu dengan menggunakan verba imperatif yaitu sebagai
bentuk pengusiran pada kekuatan-kekuatan jahat dan sebagai bentuk doa (panyuwunan)
untuk menghadirkan keselamatan. Fungsi puitik yaitu adanya kata saroja dan aliterasi.
Kata Kunci : Mantra Kidung Jawa, puitika linguistik Jakobson, repetisi, dan fungsi
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... iv
ABSTRAK...................................................................................................... viii
ABSTRACT................................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
SINGKATAN
TANDA
[ ] : konstruksi klausa
// : penjedaan kalimat
: pelesapan unsur fungsi
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id 1
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
pembacaan mantra. Mantra tersusun dari konstruksi kata dan kalimat yang
dipercaya memiliki daya magis bagi pembaca (perapal) atau pengamal mantra.
Mantra, secara leksikal, berarti pembacaan bunyi atau kata sebagai sarana
ritual yang memiliki daya magis. Magis yaitu kekuatan supranatural yang hadir
melalui praktik ritual tertentu. Mantra kidung Jawa berarti rangkaian kata dalam
bahasa Jawa yang mengandung kekuatan magis yang dapat dilagukan atau
disenandungkan dengan titi nada tertentu (verse form). Hal ini oleh Arps
(1996a:47) disebut dengan ‘incantatory poems’ atau disebut juga dengan ‘mantra
(1987). Tembang juga ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis, salah
2000:117).
sastra dan doa sebagai sarana ritual. Sastra berkaitan dengan bentuk tembang yang
memiliki ciri khas keindahan dan keteraturan, sedangkan doa sebagai sarana
Kidung (tembang) dalam hal ini mengacu pada puisi Jawa tradisional yang
mempunyai jumlah konvensi suku kata, jumlah baris dan irama. Dengan kata lain
tembang terdiri atas unsur fonologis (konvensi suku kata) dan intonasi (jumlah
baris dan irama). Arps (1990:3) menggunakan istilah verse form untuk merujuk
(these verse form govern aspects of the phonological and syntactic shape of texts
and at the same time comprise melodies with which the texts are recited). Untuk
itu, tembang memiliki aturan (konvensi), yaitu guru wilangan dan guru lagu.
Pengertian secara umum Guru wilangan ialah ketentuan jumlah suku kata dalam
satu baris suatu tembang. Arps (1990:68) mendefinisikan guru wilangan yaitu
ketentuan jumlah suku kata pada setiap baris tembang (the count in question is the
number of syllables in verse lines). Guru lagu ialah ketentuan tentang vokal pada
akhir tembang. Guru lagu dapat diiterpretasikan dua hal, pertama, sebagai suara
vokal pada akhir baris (as vocalic sound the final vowel of that verse line). Kedua,
sebagai suara fonem vokal dan alofon (the term of guru lagu can be characterized
membangun mantra tersebut. Hal tersebut disebut ‘poetic reading’, yakni usaha
memahami teks tembang sebagai bahan analisis untuk dikupas dan didalami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id
verse is not always sung. It can be spoken as well. but voicing it as song and
voicing it as speech serve different ends. The first can be called poetic and the
second analytical.
magical reading, hal ini dilakukan untuk menyingkap dan menguak kandungan
magis yang terdapat dalam mantra kidung Jawa. Penelitian ini menggunakan
mantra kidung Jawa. Hal ini dipilih karena penelitian ini berfokus pada analisis
tekstual mantra kidung Jawa khususnya penggunaan repetisi dan fungsi yang
Mantra kidung Jawa sebagai data dalam penelitian ini diambil dari Kitab
dengan KPAA). Dalam KPAA terdapat 12 macam mantra yang secara umum
berisi tiga hal: pertama, perlindungan diri dari segala malapetaka dan segala
Secara khusus isi mantra dipraktikkan dalam kondisi dan situasi tertentu yang
dihadapi oleh pembaca mantra atau pengguna mantra, misalnya pada waktu
perjalanan jauh, mendirikan rumah, menjaga bayi dari makhluk gaib, dan berbagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id
dipaparkan oleh Gill (1981) menyatakan bahwa repetisi dan elaborasi dari elemen
bahasa lain menjadi karakteristik yang dominan dalam bahasa ritual (dalam
(penjajaran bahasa dari dua bahasa) menjadi ciri khas bahasa ritual.
repetisi telah menjadi karakter estetika Jawa dan Asia Tenggara pada umumnya.
Apa yang dipaparkan oleh Becker (1998) menandaskan bahwa repetisi menjadi
ciri khas yang melekat pada estetika Jawa. ‘Strategi pengulangan’ sebagaimana
menghubungkan jalinan setiap unsur yang terdapat dalam kohesi teks melalui
pengulangan leksikal.
mengulang-ulang penjelasan dengan maksud yang sama pada posisi akhir dan
pada posisi yang lain. Gonda memberi penekanan bahwa repetisi dalam mantra
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id
pikiran yang sama melalui gaya repetisi yang khas (Gonda, 1988:264).
yang sama pada saat mengulas mantra Tantra Hindu ia mengatakan bahwa mantra
tidak hanya mengulang, tetapi berulang-ulang (mantras are not only repeated, but
repetitive). Hal ini mempunyai maksud bahwa pengulangan menjadi ciri khas
pada mantra Kidung Rumeksa Ing Wengi atau Kidung Mantrawedha menunjukkan
bahwa aspek gramatikal yang dominan yang ditemukan dalam Kidung Rumeksa
Ing Wengi yaitu aspek pengacuan (referensi), sedangkan aspek leksikal yang
dominan yaitu aspek repetisi. Repetisi dalam kajian tersebut mengacu pada
pengertian pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian
kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks
Repetisi sebagai kekhasan dalam mantra patut untuk dikaji dan ditelisik
Widodo, 2012a). Repetisi bukan salah satu unsur dalam mantra yang
Pengkajian ini bertolak dari repetisi sebagai kekhasan kebahasaan yang terdapat
dalam mantra kidung Jawa yang pada akhirnya dapat menjelaskan fungsi
bahasa’ yang berfungsi penegasan (periksa Keraf, 1994: 127-128 ; Ratna, 2009 :
206), bukan sebagai ‘gejala bahasa’. Sehingga repetisi lebih cenderung bersifat
sastrawi, ia dalam artian lebih pada pengkajian sastra. Berkaitan dengan hal
Formula adalah ”a group of words which is regularly employed under the same
metrical conditions to express a given essential idea” (kelompok kata yang secara
teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu
ide yang hakiki), sedangkan ungkapan formulaik adalah “a line or half line
constructed on the pattern of the formulas” (larik atau separuh larik yang disusun
(residu kelisanan) dalam mantra (lihat Ong, 1982:11). Kelisanan dalam mantra
berkembang dengan ‘mulut bersambut’ atau ‘tutur tinular’ (lihat Sutarto, 2011a:6
; 2011b: viii). Singkat kata, transmisi mantra dalam ruang kultural kelisanan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id
pekat, maka sebuah keniscayaan pula dalam bentuk formalnya unsur kelisanan itu
masih tampak.
terkandung dalam mantra kidung Jawa pada KPAA. Analisis repetisi pada mantra
selection into the axis of combination. Proyeksi dari prinsip keseimbangan dari
bahwa hasil proyeksi tersebut muncul sebagai pengulangan lingual yang variatif
gramatikal yaitu terjadinya pengulangan bentuk dengan pola sintaksis yang sama,
sedangkan pada tataran leksikal terjadi pengulangan bentuk leksikal (kata maupun
frasa) dengan kategori yang sama. Pada tataran semantik mempunyai maksud
berbeda dan pengulangan makna tersebut masih dalam jangkauan medan leksikal
tersebut yang menarik dan menjadi kekhasan dalam mantra kidung Jawa yaitu
adanya pengulangan yang terjadi pada ketiga dimensi atau ketiga cakupan yaitu
gramatikal, leksikal, dan semantik secara serentak dan seimbang. Jadi, repetisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id
tersebut muncul bukan karena fenomena ke-gaya-an bahasa, tetapi lebih dampak
Seruntut dengan kajian repetisi di atas, fungsi dalam hal ini merujuk pula
pada apa yang diungkapkan oleh Jakobson (1960) tentang enam fungsi
kebahasaan yaitu (1) emotif atau emotive (expressive) (2) konatif (appellative) (3)
yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yang berfokus pada penggunaan repetisi.
Ada tiga fungsi yang dominan dalam mantra kidung Jawa yaitu fungsi
referensial, puitis, dan konatif. Ketiga fungsi tersebut bekerja pada jalur
fungsi, yaitu fungsi repetisi dan fungsi mantra kidung Jawa itu sendiri dalam
kidung Jawa (puitis), dan fungsi konatif berfokus pada mitra tutur atau interlokusi
melalui bentuk verba imperatif (konatif) yang terdapat dalam mantra kidung Jawa.
memadai.
Penelitian mantra Jawa baik yang dilakukan sarjana Barat maupun sarjana
Timur telah banyak memberi kontribusi bagi pengkajian bahasa Jawa, sastra lisan
dan antropologi budaya Jawa. Bermula dari Soedjijono dkk, (1985) yang meneliti
mantra yang terdapat di empat wilayah di Jawa Timur yaitu Magetan, Malang,
Probolinggo, dan Banyuwangi. Fokus kajiannya yaitu pada analisis struktur dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id
isi mantra Jawa di Jawa Timur. Hefner (1985) yang meneliti bahasa ritual di
komunitas Hindu Jawa di Bromo. Keeler (1987) yang memaparkan mantra Jawa
sebagai bagian studi etnografinya tentang masyarakat Jawa. Baik Hefner (1985)
dan Keeler (1987) tidak menjadikan mantra sebagai kajian sentral, tetapi mantra
hanya bagian dalam lanskap kebudayaan Jawa. Selain itu, Saputra (2007)
mengkaji mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang sebagai sastra lisan yang
terletak pada tiga hal: pertama, fokus kajian penelitian ini memaparkan aspek
kebahasaan dari mantra kidung Jawa khususnya repetisi dan kekhasan aspek
kebahasaan pada umumnya yang terdapat dalam mantra kidung Jawa. Dari kajian
repetisi tersebut akan terkuak fungsi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa,
(ditembangkan) hanya bisa dirapal (dibaca). Hal ini menunjukkan bahwa mantra
mempunyai fungsi sosial ideologis yang diembanya. Ketiga, mantra kidung ini
bersumber dari KPAA bahwa penamaan mantra yang ada kata ‘wedha’ dalam
KPAA merupakan interpretasi baru yang belum ada dalam buku atau manuskrip
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id
yang terdapat dalam KPAA dengan fokus kajian pada penggunaan aspek repetisi
kidung Jawa ?
berikut.
kidung Jawa.
Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id
penggunaan repetisi pada mantra kidung Jawa dalam KPAA yang dapat
dibedakan secara teoretis dan praktis. Secara teoretis penelitian ini memberi
umumnya.
pengkajian penggunan repetisi mantra kidung Jawa dan memberi manfaat bagi
praktisi mantra Jawa, budayawan, dan pengamal mantra sebagai salah satu daftar
acuan tentang pemanfaatan repetisi mantra Jawa khususnya dalam KPAA dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR
2. 1 Landasan Teori
tiga ide yang paling mendasar, yaitu (1) ide sakti dan mana bahwa ada suatu
kekuatan gaib yang dipunyai oleh seorang manusia istimewa, seperti raja dan
pandai besi (empu). Sakti ini dapat diperkuat dengan tapa, dan juga dengan kata-
kata mantra, buku-buku atau lontar yang dikarang oleh pujangga keraton (istana).
(2) Ide percaya kepada taal magies, bahwa isi kata-kata dapat memengaruhi
keadaan dunia melalui mantra, maka seorang pendeta bahasa (taal priester) dapat
memengaruhi jalan dunia. Sebab ’kata’ itu identik dengan benda yang ditandai
dengan kata tersebut. Siapa yang menguasai ’ kata’, maka akan menguasai benda-
benda atau anasir-anasir lain yang dinyatakan dengan kata-kata itu. (3) semua
Mantra berkaitan erat dengan kepercayaan taal magies karena mantra tidak
hanya konstruksi kata dalam larik saja, tetapi mengandung daya magis tertentu.
Daya magis tersebut dapat diaktivasi oleh pengamal mantra. Hal ini terkait erat
dengan penghayat mistik atau kebatinan yang telah dihayati oleh sebagian
masyarakat Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id
perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (Alwi, dkk, 2002:713).
kalimat magis (magic sentence) kontruksi kalimat yang membawa daya magis
Istilah mantra sangat akrab dikenal dalam lingkungan Hindu dan Budha.
dianggap sebagai teks suci (sacred text) (Yelle, 2003:3). Lebih lanjut Yelle
(2003:9) mengatakan dalam tradisi tantra mantra berarti hasil dari kontemplasi
verba man yang berarti berpikir atau merenung, dan mendapat sufiks (akhiran) tra
yang berarti ‘sebagai sarana berpikir atau merenung’ (an instrument of thought).
Mantra sering dieja man-te-ra adalah kata-kata atau ayat yang apabila
penting di dalam teknik ilmu gaib (magic). Mantra berupa kata-kata dan suara-
suara yang sering tidak berarti, tetapi yang dianggap berisi kesaktian atau
kekuatan mengutuk. Mantra kidung Jawa dalam penelitian ini, artinya rangkaian
kata dalam bahasa Jawa yang mengandung kekuatan magis yang dapat dilagukan
bersinggungan dengan tradisi agama Islam hal ini terlihat jelas dalam kidung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id
mantrawedha yang didalamnya tersebut nama-nama nabi dan rasul agama Islam
iman yang dikemas dalam metrum dhandanggula (periksa Widodo, 2012a). Dari
pemaparan pengertian mantra di atas, mantra kidung Jawa dalam penelitian ini
mempunyai batasan yaitu konstruksi kalimat (kata, frasa, dan klausa) yang
mempunyai daya magis bagi pengamalnya dan mantra tersebut dapat dilagukan
pengaruh setan, hantu dan roh jahat, atau untuk memanggil dan memohon roh-roh
yang baik, (2) Jampe yaitu mantra untuk manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan
dan rerumputan, hujan, angin dan sebagainya, (3) Rajah atau doa dalam bentuk
riwayat raja dan pangeran. Di tanah Sunda, riwayat raja diceritakan dalam bentuk
sebagai berikut: (1) Mantra pengasihan yaitu mantra yang memiliki kekuatan
untuk memikat lawan jenis atau objek sasaran tertentu yang menjadi sasarannya.
Objek sasaran akan terpesona dengan sang pengamal mantra. (2) Mantra
kanuragan juga disebut dengan mantra aji-aji untuk mencapai kekebalan tubuh
(atosing balung, uleting kulit). (3)Mantra kasuksman yaitu mantra yang terdapat
dalam olah batin atau pendakian ke alam batin yang esoteris. (4)Mantra pertanian
yaitu mantra yang digunakan dalam ritual-ritual pertanian ketika menabur benih,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id
menanam, memetik panen untuk mencapai keselarasan dengan alam. (5) Mantra
penglarisan yaitu mantra yang digunakan untuk menarik datangnya rejeki melalui
jalur perniagaan. (6) Mantra panyuwunan yaitu mantra yang digunakan pada saat
rumah, menggali sumur, menebang pohon, dan sebagainya. (7) Mantra panulakan
orang-orang jahat dan makluk halus untuk memperoleh keselamatan. (8) Mantra
tertentu atau yang lebih dikenal dengan metode rukyah dan juga sewaktu
untuk menembus dimensi alam lain (alam astral). (10) Mantra pangalarutan yaitu
mantra yang digunakan untuk meredam amarah atau emosi seseorang. (11)
Mantra sirep atau panglerepan yaitu mantra yang digunakan untuk menidurkan
mantra yang digunakan untuk melarutkan ilmu seseorang ketika menjelang ajal.
Mantra kidung Jawa dalam penelitian secara umum berisi tiga hal:
pertama, perlindungan diri dari segala malapetaka dan segala penyakit (slamet
dipraktikkan dalam kondisi dan situasi tertentu yang dihadapi oleh pembaca
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id
mantra atau pengguna mantra, misalnya pada waktu perjalanan jauh, mendirikan
rumah, menjaga bayi dari makhluk gaib, dan berbagai kondisi khusus lainya.
khususnya Jawa, baik tertulis maupun tidak tertulis. Mantra yang tidak tertulis
artinya mantra tersebut terdapat dalam ingatan kognitif para dukun di Jawa. yang
sedangkan mantra yang tertulis secara masal dan dipublisikan yaitu mantra yang
Dukun adalah orang yang dianggap memiliki ilmu gaib atau science
occult dan dianggap sebagai ‘orang tua’, yaitu orang yang bisa memberi
juga merujuk pada pitulung (helper), ahli kebatinan (mystic), ahli ngilmu Jawa
Dukun merupakan pekerjaan profesi seperti dukun bayi, dukun pijat, dukun sunat,
dukun khitan, artinya sesorang yang memiliki keahlian mengurus bayi, memijat
orang lain dan mengkhitan anak. Pedukunan disini adalah masalah yang ada
atau kekuatan dibanding manusia normal (Hanif, 1992:16-20). Selain itu, dukun
bukan gelar yang diperoleh dari sekolah atau akademi, ia merupakan pemberian
kitab primbon sebagai pedoman atau pegangan (guide books), dalam menjalankan
pernikahan sampai dengan menentukan waktu hubungan badan suami istri agar
untuk menambah kekuatan. Hal ini sebagaimana dinarasikan oleh Till (2011:96) :
A report dating from 1888 (which refers to central Java rather than
Batavia), describes at visit to the dukun. At his first visit, the client handed
over a 5o-cent coin from which an amulet would be forged. During this and
subsequent visits to the dukun, incense would be burned and incantations
recited from a primbon, a Javanese book of mysticism rather like an
almanac. Although the concultation was free of charge, the dukun would
urge the aspiring miscreant: ‘remember the old dukun’. The account states
that dukuns tended to be quite prosperous as result, and could pay the 60-
guilder fine imposed for these disreputable practises without blinking.
Sebuah laporan yang berasal dari tahun 1888 (yang lebih mengacu Jawa
Tengah daripada Batavia), menjelaskan pada sebuah kunjungan ke dukun.
Pada kunjungan pertamanya, klien menyerahkan koin 50 sen yang akan
ditempa menjadi jimat. Dan dalam kunjungan berikutnya, dukun akan
membakar dupa lalu dukun membacakan mantra yang diambil dari primbon,
sebuah buku mistik Jawa yang mirip seperti almanak. Meskipun konsultasi
itu gratis, dukun akan mendesak kepada calon bandit : ‘ingat sang dukun
tua’. Hal itu menyatakan bahwa dukun ikut menentukan dalam
kesuksesanya dan pada akhirnya membayar 60 gulden yang dikenakan
untuk praktek-praktek jelek tanpa berkedip.
pada lempengan tanah liat, batu, rontal, buku suci, buku mantra atau buku-buku
primbon. Sementara itu, ada mantra yang tidak terpublikasi secara luas, melainkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id
Primbon adalah kitab yang berisikan (perhitungan hari baik, hari naas);
buku yang menghimpun berbagai pengetahuan kejawaan, berisi rumus ilmu gaib
(rajah, mantra, doa, tafsir mimpi) sistem bilangan yang pelik untuk menghitung
dan mengurus segala macam kegaitan yang penting, baik bagi perorangan maupun
masyarakat.
berasal dari kata dasar ‘imbu’ yang diberi awalan pari- atau per- dan akhiran –an,
‘perimbon’ atau primbon berarti sesuatu yang disimpan. Dapat juga diartikan
sebagai tempat simpan-menyimpan. Tempat itu berupa kitab atau buku. Materi
terus diperbarui, karena Arps menduga bahwa akar kata dari primbon yaitu
imbuh ‘tambah’. Artinya catatan yang terus menerus diperbarui manakala ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id
sesuatu yang disimpan. Primbon pertama kali adalah tradisi lisan yang
diwejangkan oleh sesepuh pinisepuh Jawa yang mumpuni atau jalma limpat
seprapat tamat, yaitu orang yang menguasai ilmu waskita yang mampu membaca
Kitab primbon pada awal mulanya adalah teks yang bersifat privat dan
(jalur berguru) melalui sesepuh atau dukun. Selain itu, kitab primbon adalah
pinisepuh dari berbagai sumber. Isi kitab primbon secara umum berisi kaweruh
esoteris magis, yaitu ilmu magis yang diperoleh melalui beragam praktik asketik
(laku), seperti, mantra, rajah, perhitungan hari baik dan buruk, serta pengetahuan
magis lainya. Upaya penulisan kitab primbon adalah untuk memberikan warisan
kepada generasi yang akan datang. Tujuan penulisan tersebut secara implisit
Karena kitab primbon hasil dari upaya mengumpulkan catatan lepas dari
pinisepuh, maka memunculkan variasi teks yang beragam dalam kitab primbon,
Variasi teks muncul karena dua hal pertama karena proses penulisan
(literacy) yang didalamya terdapat dua proses, yaitu penulisan mantra pertama
kali oleh murid dari guru dan produksi publikasi mantra melalui percetakan.
Kedua disebabkan oleh mantra yang telah diperformasikan melalui bentuk kidung
menghadirkan variasi teks untuk menyesuaikan irama dan titi nada yang sesuai.
Teks mantra yang tertulis dan teks yang diperformasikan atau ditembangkan akan
Maka penelitian ini fokus pada mantra (teks) yang tertulis dalam kitab
primbon. Karena teks hadir terlebih dahulu sebelum performansi. Hal ini mengacu
pada apa yang dilakukan oleh Arps sewaktu meneliti ‘tembang dalam dua tradisi’
(1990) dan Kidung Rumeksa Ing Wengi (1996a) dengan tegas Arps mengatakan
without text there is no prayer (1996a:65) artinya mantra kidung yang digunakan
sebagai sarana ritual bersumber dan bermuasal dari teks mantra (tertulis).
Teks sastra tidak harus hadir dan lahir melalui pentas. Dalam hal tembang
performance, atau yang dalam istilah lokalnya dikenal sebagai macapatan,
hampir dipastikan bahwa “teks” selalu mendahului pentas. Perlu dicatat
bahwa istilah “teks”di sini diartikan secara longgar, sebagai a strech of
verbal discourse. Jadi, “teks” bisa meliputi wacana lisan maupun tertulis.
Jika yang ditekankan adalah pengertian teks tertulis, maka definisi
formalnya menjadi an orthographic (or phonetic) record of the stretch of
verbal discourse.
sedikitnya dijumpai dalam 25 macam, meliputi: primbon (6 buku) terdiri atas (1)
Primbon tuwin Wirid (1 buku), (2) Primbon Cariyos jimat (1 buku), (3) Primbon
Ciptasasmita (1 buku), (4) Primbon Jampi (1 buku), (5) Primbon Jampi Jawi I (1
buku), (6) Primbon Jawi (1 buku), (7) Primbon Mangkuprajan (1 buku), (8)
Racikan Jampi II (1 buku), (11) Primbon Sabda Pandita (1 buku), (12) Primbon’s
Primbon Jampi Jawi (1 buku), (15) Serat primbon saking kaislaman (1 buku),
(16) Serat primbon suluk warna-warni (1 buku), (17) Serat Primbon walandi (1
diterbitkan oleh Soemodijoyo Maha Dewa, Yogyakarta atau CV Buana Raya Solo
sebagai berikut: (1) Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, (2) Kitab Primbon
Betaljemur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id
penelitian ini fokus pada mantra Jawa yang berbentuk kidung (tembang) yang
kitab primbon yang lain juga terdapat mantra, misalnya Kitab Primbon
Betaljemur Adammakna, tetapi mantra tersebut tidak berupa kidung yang hanya
bisa dibaca atau dirapal saja. (2) yaitu di dalam KPAA terdapat salah satu mantra
yang sudah banyak dihapal oleh sebagian besar masyarakat Jawa, yaitu kidung
mantrawedha (KM) atau lebih dikenal dengan Kidung Rumeksa ing Wengi. Hal
ini mencerminkan bahwa mantra sebagai sarana ritual dapat diterima dengan
mudah oleh masyarakat Jawa melalui tembang. Selain itu, mantra yang berbentuk
saat ini masih banyak diprakktikkan khususnya Kidung Rumeksa Ing Wengi dan
penjelasan secara memadai tentang interpretasi setiap stanza yang terdapat dalam
setiap mantra. Ada upaya penafsiran yang coba dilakukan oleh penghimpun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id
mantra. Mantra kidung dalam KPAA mempunyai verse form (metrum) dan ini
mempunyai dua fungsi: sebagai pedoman penulisan atau penciptaan dan sebagai
petunjuk untuk melagukan tembang. Berikut nama mantra dalam KPAA beserta
Tembang sebagai verse form memiliki karakteristik yang khas yaitu pola
(idiosyncratic tunes) (Arps, 1990:57). Ada sebelas bentuk verse form yang paling
dhandhanggula. Ihwal ini sering disebut dengan tembang cilik atau tembang
Karena dua tembang tersebut paling banyak dikenal dalam pelantunan mantra
kidung Jawa yaitu mantra kidung mantrawedha (KM) atau kidung rumeksa ing
(pangkur)
Baris a b c d e f g
Jumlah suku kata 8 11 8 7 12 8 8
Vokal akhir /a/ /i/ /u/ /a/ /u/ /a/ /i/
Baris pertama (a) terdiri dari 8 jumlah suku kata dan vokal akhir /a/, baris kedua
(b) terdiri dari 11 jumlah suku kata dan vokal akhir /i/, baris ketiga (c) terdiri dari
8 jumlah suku kata dan vokal akhir /u/, dan terus pada baris selanjutnya. Hal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id
Baris a b c d e f g h i j
Jumlah suku kata 10 10 8 7 9 7 6 8 12 7
Vokal akhir /i/ /a/ /e/ /u/ /i/ /a/ /u/ /a/ /i/ /a/
Berikut nama mantra kidung Jawa pada KPAA beserta metrum (verse form) yang
digunakan
Kidung Sukmawedha (KS) terdiri dari 7 stanza (pada) dan 70 verse line
(gatra atau pada lingsa). Berisi tentang pentingnya suksma (ruh) dalam kehidupan
manusia. Mantra ini memfokuskan pada pengetahuan suksma yang berada dalam
diri manusia dan pemahahaman suksma akan membawa keselamatan dalam diri
manusia. Kidung Darmawedha (KD) terdiri dari 10 stanza (pada) dan 110 baris.
Mantra ini menerangkan bahwa seluruh alam dan kandungan isinya berputar dan
digerakkan oleh sang penguasa tunggal (Allah) semua tunduk dan takluk dibawah
kekuasaannya. Orang yang mengamalkan mantra ini akan bebas dari malapetaka
Mantra ini juga dikenal dengan kidung rumeksa ing wengi yang paling banyak
dihapal oleh masyarakat Jawa, terutama stanza 1. Mantra ini berisi tentang
Japawedha (KJ) terdiri dari 14 stanza (pada) dan 140 baris. Mantra ini berisi
dalam artian positif, misalnya, supaya dicintai dan dikasihi oleh majikan atau
atasan. Kidung Jiwawawedha (KJi) terdiri dari 6 stanza (pada) dan 60 baris.
Kidung Reksawedha (KR) terdiri dari 26 stanza (pada) dan 232 baris.
Mantra ini juga disebut dengan suluk plencung. Mantra ini berisi tentang nama-
nama lelembut di tanah Jawa dan daearah kekuasaanya. Kegunaan dari mantra ini
Yogawedha (KY) terdiri dari 32 stanza (pada) dan 194 baris. Mantra ini
menangis karena tidak diketahui pasti penyebabnya. Mantra ini berguna untuk
perlindungan anak kecil (bayi) dari gangguan gaib. Kidung Warawedha (KW)
terdiri dari 12 stanza (pada) dan 84 baris. Mantra ini berisi penolakan dari
gangguan jin, setan dan makhluk lainya yang mengancam manusia. Mantra ini
terkenanl dengan kidung sesinggahan atau singgahan. Mantra ini berguna untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id
Kidung Setyawedha (KSe) terdiri dari 6 stanza (pada) dan 60 baris. Mantra
ini berisi rukun iman dalam agama Islam. Kegunaan mantra ini untuk
Selain itu, mantra ini juga berfungsi untuk meningkatkan keteguhan hati dalam
menghadapi pelbagai cobaan hidup. Kidung Ajiwedha (KA) terdiri dari 10 stanza
khzanah Jawa yang difungsikan untuk kekuatan tubuh. Mantra ini berguna untuk
penyakit. Kidung Saktiwedha (KSa) terdiri 13 stanza (pada) dan 81 baris. Mantra
ini berfungsi untuk melindungi rumah baru atau waktu mendirikan rumah. Kidung
Bagyawedha (KB) terdiri dari 7 stanza (pada) dan 41 baris. Mantra ini
menjelaskan tatacara merawat plasenta bayi setelah bayi di lahirkan. Mantra ini
merupakan interpretasi baru karena penamaan tersebut belum muncul dalam serat
atau kitab sebelumnya dan juga tidak ada dalam sumber-sumber lama lainya (lihat
Arps, 1996a: 107-108). Salah satunya dalam Serat Kidungan yang terbit pada
tahun 1919, penamaan kidung masih berdasarkan baris pertama dalam setiap bait
pada kidung.
Kata kidung dan kidungan dalam budaya Jawa merujuk pada berbagai
makna untuk itu berikut digambarkan penggunaan kata kidung dan kidungan di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id
Dari penggambaran di atas, kata kidung dalam penelitian ini merujuk pada
no (7) yaitu mantra yang berbentuk puisi (syair) yang dapat dilagukan atau
Bentuk repetisi menjadi ciri unik dari mantra kidung Jawa dalam KPAA.
Secara umum ada dua bentuk repetisi dalam mantra yaitu repetisi internal dan
eksternal. Repetisi internal artinya bentuk-bentuk yang diulang dalam teks mantra
eksternal, artinya pengulangan yang dilakukan oleh pengamal mantra atau perapal
mantra dengan mengulang bagian teks tertentu untuk memfokuskan tujuan yang
Wengi terdapat satu baris ‘sakeh ama pan sami miruda’ yang diulang beberapa
yang dominan di Indonesia yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Keraf (1994: 127-
128), apa yang dipaparkan oleh Keraf tersebut repetisi yang berdasarkan letak
pelbagai penamaan, misalnya yang berpola di awal baris biasa disebut dengan
dengan reduplikasi yaitu bahwa repetisi terjadi pada aspek sintaksis, sedangkan
dikelompokkan berbagai kriteria. Fokus kajian repetisi yang dibedah oleh Tannen
terjadi dan dialami oleh penutur dan mitra tutur dalam percakapan. Ia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id
tersebut terdapat unsur-unsur yang wajib dan pilihan. Di dalam unsur pilihan
lebih dari satu kali, fenomena itu disebut pengulangan (iteration) atau muncul-
balik (recursion).
equivalence from the axis of selection into the axis of combination ‘proyeksi
prinsip keseimbangan dari poros sintagmatik dan poros paradigmatik’. The axis
menurun dari kosakata dalam mental lexicon, sedangkan the axis of combination
(poros sintagmatik) atau lajur mendatar, di mana sejumlah kata dapat disusun
semantik. Jadi, the principle of equivalence atau prinsip keseimbangan itulah yang
menentukan pemilihan (kata, rima, makna, dan lain-lain) pada poros paradigmatik
sebagai prinsip yang mendasar dari sebuah fenomena ‘the constitutive principle of
mematangkan konsep mentahnya (1960) dengan lebih konkret dan detail pada
Berkaitan dengan apa yang dipaparkan Jakobson (1960) dan (1966) secara
pengulangan lingual yang variatif. Pada tataran fonologis, muncul aliterasi dan
asonansi atau rima ; pada tataran sintaksis muncul paralelisme struktur dan pada
(bisa berupa fonem, morfem, kata, frasa, dan bahkan kalimat) dari "poros
kebosanan) atau demi memberi "kejutan", bisa saja paralelisme sintaktis memiliki
Language”. Fox membuktikan gejala bahasa pada bahasa ritual di pulau roti yang
pengulangan yang terjadi dalam beberapa lapis, yaitu lapis gramatikal, leksikal
dan semantik.
Constructive' and 'where the parallelism consists only in the similar form of
Jawa disebut dengan repetisi gramatikal. Repetisi leksikal mengacu pada apa yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id
ungkapan Jakobson dengan the constructive parts ‘bagian dari konstruksi’ yang
berisi leksikal berkategori atau kelas kata seperti: nomina, verba, numeralia, dan
prinsip keseimbangan yang berwujud kata yang bersinonim atau kata dalam
Secara singkat dan ringkas, apa yang dipaparkan dalam penelitian ini akan
oleh Jakobson (1980:84) bahwa setiap karya yang berbentuk sajak (dalam hal ini
yang menjadi ciri khasnya. Selain itu, pemikiran Jakobson bergerak dalam
Jakobson mampu membedah teks puisi (dalam hal ini mantra kidung) dan
sintaksis yang sama dengan menggunakan kajian fungsi sintaktis. Fungsi sintaktik
adalah tataran yang pertama, tertinggi, dan yang paling abstrak, yakni seperti
subjek, predikat, objek, dan lain sebagainya. Fungsi sintaktik bersifat relasional
artinya fungsi tersebut mempunyai relasi dengan fungsi yang lain (Sudaryanto,
hanya dalam hubungannya dengan fungsi yang lain yang sama-sama membentuk
fungsi sintaktik. Kategori adalah tataran yang kedua dengan tingkat keabstrakan
yang lebih rendah daripada fungsi, yakni seperti nomen (nomina) atau kata benda,
verba atau kata kerja, preposisi, konjungtif, numeralia atau kata bilangan, dan lain
(1992:65) menambahkan bahwa dua sifat pokok yaitu formal dan sistemik.
bentuk atau aspek tubuh sintaktis sesuatu kalimat tunggal. Kategori dikatakan
relasi makna yang sama (sinonim) dan kata dalam medan leksikal yang sama.
(lexical field) adalah sejumlah leksem atau wilayah yang di dalamnya ditempati
komponen arti bersama, namun sejumlah leksem tersebut juga memiliki sejumlah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id
Repetisi Semantik
Singkatnya, pengulangan pada mantra kidung Jawa terjadi pada lapis gramatikal,
lapis leksikal, lapis semantik, dan pengulangan secara serentak atau multi-lapis.
Jawa dengan menggunakan pola kalimat yang sama (pola sintaksis), sedangkan
repetisi leksikal yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa dengan
menggunakan kategori kata atau frasa yang sama. Repetisi Unik yaitu
pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa yang pengulangan tersebut
terjadi pada tataran gramatikal, leksikal, dan semantik secara serentak. Repetisi
semantik yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa dengan
menghadirkan makna yang sama dan makna tersebut masih dalam jangkauan
Fungsi dalam hal ini merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Jakobson
tentang enam fungsi kebahasaan yaitu (1) emotif atau emotive (expressive) (2)
1960:357).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id
berikut (1) Fungsi referensial (misalnya, Harga BBM naik terus) berfokus pada isi
tuturan atau makna denotatif. (2) Fungsi emotif/ekspresif (misalnya, Wah, hebat!)
berfokus pada sikap atau perasaan penutur terhadap isi tuturannya. (3) Fungsi
konatif (misalnya, Masuklah, Yan) berfokus pada mitra tutur dan lazimnya
muncul sebagai kalimat perintah. (4) Fungsi fatis (misalnya, Ya, ya) berfokus pada
(5) Fungsi metalingual (misalnya, Terbantun itu apa artinya?) berfokus pada
penggunaan bahasa untuk membicarakan bahasa. Yang terakhir, (6) fungsi puitis,
berfokus pada bahasa itu sendiri, atau menonjolkan bentuk bahasa demi dampak
estetis.
atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual,
penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka,
sebagai berikut. Fungsi referensial (1) sejajar dengan faktor konteks atau referen;
fungsi emotif (2) sejajar dengan faktor pembicara; fungsi konatif (3) sejajar
dengan faktor pendengar yang diajak berbicara; fungsi metalingual (4) sejajar
dengan faktor sandi atau kode; fungsi fatis (5) sejajar dengan faktor kontak (awal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id
komunikasi); dan fungsi puitis (6) sejajar dengan faktor amanat atau pesan
Dari keenam fungsi tersebut yang digunakan dalam analisis ini yaitu
oleh Waugh (1980: 59) bahwa Jakobson’s six functions are meant to be universal
in scope – they apply to all cultures at all times – but they apply only as set of six
relational (not absolute) categories. Fungsi tertentu yang enam jumlahnya itu
enam jumlahnya itu; dan dalam setiap penggunaan bahasa cenderung tertonjol
salah satu fungsi tanpa menghilangkan fungsi yang lain (Sudaryanto, 1990:12).
adalah sarana verbal penyampai pesan. Karena fungsi referensial yang dominan
yang di antara keenam fungsi tersebut. Informasi yang sama datang dari (Waugh,
the referential function (its most clearly delimited opposite), there is a dominance
of focus upon the message’, Jadi dalam fungsi referensial disini terdapat dua :
pertama menguak fungsi repetisi, kedua fungsi mantra kidung Jawa sendiri dalam
dimensi sosialnya. Fungsi puitik mempunyai fokus pada bentuk bahasa yang
puitis sangat dominan. Fungsi konatif berfokus pada mitra tutur dan biasanya
dengan bahasa ritual, maka fungsi ini juga dikaji dalam penelitian ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id
Penelitian yang terkait dengan mantra Jawa dilakukan oleh Soedjijono, dkk
(1985) dengan judul penelitian ”Struktur dan Isi Mantra bahasa Jawa di Jawa
Timur”. Soedjijono, dkk meneliti mantra yang terdapat di empat wilayah di Jawa
struktur dan isi mantra Jawa di Jawa Timur sebagai kajian sastra lisan. Temuan
yang menarik dari penelitian tersebut yaitu dari aspek kebahasaan mantra Jawa di
menggunakan 8 (delapan) alat bahasa indah, yaitu kata saroja, kata entar,
Bromo dengan judul “Hindu Javanese : Tengger Tradition and Islam” dalam satu
subbab dibuku itu ia menjelaskan tentang bahasa ritual yang digunakan oleh
ritual di Tengger tergantung pada aktor (pembaca mantra), situasi, partisipan ritual
dan relasi-relasi yang terkait dengan pagelaran ritual (Hefner, 1985: 212-213).
Hefner (1985), Keeler (1987) juga mengkaji kemanjuran mantra, Keeler (1987)
of opague language, terletak pada sugesti yang diberikan terhadap mantra tersebut
judul makalah “The Song Guarding at Night: Grounds for Cogency in a Javanese
ing wengi dan kandungan yang terdapat di dalamnya. Arps dengan tegas
membantah argumen Hefner (1985) dan Keeler (1987), Arps (1996a) mengatakan
lingual yang terdapat dalam teks mantra, tidak ada ritual, tanpa ada teks (Arps,
I propose that in the case of the Kidung Rumeksa ing Wengi, and probably
other prayers as well, the text is not only the vehicle of its perceived
efficacy but also the ultimate source of the perception of its efficacy. The
former is obvious. The text is the vehicle of efficacy simply because this
lingual composition is the only feature common to all valid employment of
the Kidung Rumeksa ing Wengi. Without text there is no prayer (Arps,
1996a:65)
Saya mengusulkan dalam kasus kidung rumeksa ing wengi, dan mungkin
teks lain yang sejenis. Teks tersebut tidak hanya sarana hadirnya
kemanjuran, tetapi juga sumber dari persepsi kemanjuran. Hal itu sudah
tampak jelas. Secara sederhananya teks merupakan sarana hadirnya
kemanjuran karena komposisi lingual dari kidung rumeksa ing wengi.
Tidak ada ritual, tanpa ada teks sebelumnya.
Perangkat lingual kebahasaan yang terdapat dalam teks mantra merupakan faktor
yang tidak dapat diabaikan dalam hal ini aspek kelingualan khususnya
”Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di Banyuwangi”.
Saputra mengkaji Sabuk Mangir dan Jaran Goyang sebagai sastra lisan yang
penelitiaan yaitu pertama konvensi struktural teks mantra Sabuk Mangir (SM) dan
tekstual SM dan JG. Kedua membahas aspek kelisanan mantra SM dan JG dari
untuk mendapatkan balasan cinta dari lawan jenis serta mempererat pergaulan.
pada tiga hal: (1) fokus kajian penelitian ini memaparkan aspek kebahasaan dari
mantra kidung Jawa khususnya repetisi dan kekhasan aspek kebahasaan pada
umumnya yang terdapat dalam mantra Jawa. Dari kajian repetisi tersebut akan
terkuak fungsi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa, baik fungsi praktis
bahwa mantra tersebut mempunyai hubungan dekat dengan masyarakat. Hal yang
mempunyai kesamaan data dilakukan oleh Arps (1996a), tetapi Arps hanya
mengkaji salah satu data yang terdapat dalam KPAA yaitu kidung mantrawedha
atau kidung rumeksa ing wengi. Selain itu, Arps (1996a) tidak mengkaji aspek
kelingualan yang menjadi ciri khas mantra kidung apalagi penggunaan repetisi.
untuk masyarakat biasa atau masyarakat pada umumnya, sehingga ia tidak hanya
ideologis yang diembanya.(3) mantra kidung Jawa ini bersumber dari KPAA
bahwa penamaan mantra yang ada kata ‘wedha’ dalam KPAA merupakan
interpretasi baru yang belum ada dalam buku atau kitab sebelumnya. Ketiga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id
Repetisi
Bentuk Makna
Fungsi Repetisi
(Referensial, Puitik, dan Konatif)
Bagan 1. Kerangka Pikir Mantra Kidung Jawa: Kajian Repetisi dan Fungsi
Bagan di atas mempunyai maksud bahwa mantra kidung Jawa yang terdapat
dalam KPAA langkah pertama yaitu dikaji aspek lingual yang khas yang
yang terkandung di dalamnya dengan dua fokus yaitu pengulangan bentuk yang
terdiri atas gramatikal (pola sintaksis) dan leksikal (pola kategori kata).
akan dipaparkan fungsi yang terkandung dalam hal ini fokus pada fungsi
referensial, puitis, dan konatif. Fungsi tersebut akan mengantarkan pada fungsi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
ini adalah repetisi dalam mantra kidung Jawa pada KPAA. Data dalam penelitian
fungsi dari fenomena keberulangan tersebut yaitu repetisi dalam mantra kidung
kata (Subroto, 2007:5). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, data penelitian
ini adalah satuan lingual baik kata, frasa, klausa yang terdapat dalam mantra
kidung Jawa pada KPAA. Penelitian kualitatif biasanya dibatasi setting atau kasus
mendapatkan data yang dirasa masih belum tercukupi dari sumber data utama.
Data yang dikumpulkan peneliti dari lapangan berupa wawancara mendalam (in-
commit to(in-depth
depth interview). Wawancara mendalam user interview) dilakukan kepada
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id
praktisi mantra yang menggunakan sarana mantra kidung Jawa dalam praktik
keseharianya untuk memperoleh data yang akurat yaitu dukun dengan perbagai
2006:100) karena menganalisis repetisi pada mantra kidung Jawa yang terdapat
dalam KPAA. Analisis isi (content analysis) dengan tahapan analisis domain,
1997:140).
lingual yang menjadi kekhasan mantra kidung Jawa pada KPAA, mengidentifikasi
bentuk satuan lingual yang mengalami pengulangan dalam mantra kidung Jawa
bentuk-bentuk satuan lingual yang digunakan mantra kidung Jawa pada KPAA.
repetisi dalam mantra kidung Jawa pada KPAA yang terkait dengan temuan
budaya dalam penelitiaan ini yaitu menguak fungsi ideologis dari mantra kidung
Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri karena peneliti sendiri yang
paling memahami dan bisa memilih serta memilah sumber data dari data
sebelumnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id
terkandung aspek lingual yang menjadi ciri khas mantra kidung Jawa, satuan-
maupun makna, serta fungsi dari repetisi yang terkandung dalam mantra kidung
Jawa.
Sumber data penelitian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu sumber data
yang berupa dokumen dan narasumber (informan). Sumber data yang berupa
diterbitkan oleh Soemodijoyo Maha Dewa, Yogyakarta atau CV Buana Raya Solo
Jawa. Sumber data yang berupa narasumber yaitu informan yang berprofesi dukun
penyembuhan, tolak bala, dan berbagai daya magis yang terkandung dalam
menggunakan metode simak dan teknik catat. Penyedian data yang bersumber
mendalam (in-depth interview). Yang dimaksud dengan teknik simak catat adalah
pencatatan terhadap data relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id
diinginkan adalah mendeskripsikan aspek lingual yang khas dari mantra kidung
baik berupa bentuk lingual maupun pengulangan makna serta menganalisis fungsi
dukun, dan ahli mantra yang lain. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memperoleh
informasi mengenai keaslian dan kadar keintian mantra kidung Jawa yang
apa yang terdapat dalam KPAA, kecuali penyusunan stanza (pada) dan baris
(gatra) dalam setiap mantra kidung. Hal ini dilakukan karena mantra dalam
Indonesia. Hal ini adalah proses yang tersulit yang harus ditempuh, mengingat
mantra kidung Jawa ketika di pindahkan ke bahasa lain, pasti ada hal yang tidak
bisa dipindahkan. Pemindahan kode bahasa serta merta tidak bisa memindahkan
unsur budayanya atau nuansa makna yang ada. Hal ini juga pernah dirasakan oleh
translation. Apart from the exuberant alliteration and assonance of the original
poetry, lost too is its treasured inaccessibility. ‘Saya harus segera mencatat
dengan segera apa yang hilang dari terjemahan, bagian indah dan mengalirnya
aliterasi dan asonansi yang berasal dari puisi asli, hilang (dari terjemahan) hal itu
Hal serupa juga pernah dialami oleh Geertz (1964:281) ada selubung
Here words are held to cloud meaning as much as to reveal it ; they are the
lair (outer) forms in which we cast, never directly but always obliquely, our
inner feelings. Words taken literally or imppresionastically lead not to
knowledge but to the poisoning of the spirit.
ngelmu (knowledge) dalam budaya Jawa tradisional lebih bersifat esoteris yang
Mantra kidung Jawa tidak sekedar bentuk tembang yang mengandung filsafat
rasa, tetapi ada sisi kandungan magis (esoteris mistis) yang ada di dalamnya. Teks
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id
tersampaikan. Dari proses ini dihasilkan data asli mantra kidung Jawa yang
terdapat dalam KPAA (periksa lampiran data asli mantra kidung Jawa). Secara
teknis alat bantu penerjemahan dengan menggunakan rujukan kamus bahasa Jawa
dan bahasa Kawi, yaitu Wojowasito (1977), Bausastra Jawa (2002), dan Winter
(2007). Selain itu juga memanfaatkan layanan kamus online Jawa-English pada
laman www.sealang.net
dilakukan dengan tiga tujuan, yaitu (1) untuk menanyakan kebenaran dan
keauntetikan teks mantra Jawa yang terdapat dalam KPAA. Mengingat teks
primbon sebagai produk budaya lisan, banyak ditemukan salah tulis dan
penggunaan spasi hal ini banyak terjadi di kitab primbon. (2), untuk menanyakan
bagian mana yang menjadi bagian inti mantra dan mana yang bukan inti. Hal ini
penting dilakukan karena di mantra kidung Jawa terdapat inti mantra dan petunjuk
penggunaan mantra. Yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu bagian inti
mantra, petunjuk kandungan magis dalam mantra KPAA tidak dikaji dalam
yang menjadi inti mantra, yaitu stanza 1 s.d. 5, sedangkan stanza 6 s.d. 9 adalah
kandungan magis dalam mantra. (3), untuk menanyakan fungsi kegunaan masing-
masing mantra kidung Jawa, misalnya, untuk membasmi hama, mengusir Jin dan
setan, dan lain sebagainya. Dari proses ini dihasilkan mantra asli yang berupa
mantra kidung Jawa dalam KPAA (periksa lampiran data inti mantra kidung
Jawa)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id
sendiri dapat disebut sebagai theoretical-based sampling yang berarti bahwa data
sebagai sumber data dan pemilihan narasumber atau informan adalah sebagai
Dalam kitab primbon yang lain juga terdapat mantra, misalnya Kitab Primbon
Betaljemur Adammakna, tetapi mantra tersebut tidak berupa kidung yang hanya
Kedua, yaitu di dalam KPAA terdapat salah satu mantra yang sudah
banyak dihapal oleh sebagian besar masyarakat Jawa, yaitu kidung mantrawedha
(KM) atau lebih dikenal dengan Kidung Rumeksa ing Wengi. Hal ini
mencerminkan bahwa mantra sebagai sarana ritual dapat diterima dengan mudah
oleh masyarakat Jawa melalui tembang. Selain itu, mantra yang berbentuk
saat ini masih banyak diprakktikkan khususnya Kidung Rumeksa Ing Wengi dan
Kidung Sesinggahan atau Kidung Warawedha (KW). Dua kidung tersebut masih
commit todan
dalam menjelang hajatan pernikahan userkhitanan, untuk terhindar dari
perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id
interpretasi setiap stanza yang terdapat dalam setiap mantra. Ada upaya penafsiran
terdapat mantra kidung. Tidak setiap dukun (pinisepuh) memahami kitab primbon
agama Islam yang dalam (tasawuf) dan pemahaman kearifan Jawa yang telah
kitab primbon Jawa, mantra Jawa, dan mantra yang bersumber dari bahasa Arab.
Keempat, menggunakan mantra Jawa sebagai salah satu media dalam perannya
narasumber. Narasumber lebih dikenal oleh penduduk dengan nama Sumiran atau
lebih akrab dipanggi “Mbah Ran”. Sumiran adalah nama kecilnya, Abdul Halim
Jazuli adalah nama yang diberikan setelah nyantri dan mondok di pesantren
salafiyah di Jawa dan merguru di pinisepuh yang mumpuni dalam ilmu rohani
Jawa (limpat ing pambudi). Nama tersebut akhirnya digunakan sebagai nama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id
penolong sesama (helper). Banyak tamu dari pelbagai kota dan daerah yang
problematika hidup. Praktik membantu sesama telah dijalani sejak tahun 1990an.
yang berupa trianggulasi data. Adapun macam trianggulasi data yang digunakan
peneliti adalah trianggulasi sumber data dan trianggulasi teknik. Trianggukasi data
yang berbeda. Sumber data dari penelitian ini adalah KPAA yang dihimpun oleh
Yogyakarta atau CV Buana Raya Solo (cetakan V tahun 1994). Sumber data yang
kedua, yakni praktisi mantra yang menggunakan mantra kidung Jawa dalam
mantra kidung Jawa yang terdapat dalam KPAA. Hal tersebut dilakukan untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id
kesehariaanya. Hal ini penting dilakukan karena mantra diwariskan dari budaya
lisan yang tidak berpijak pada budaya tulis yang mengakibatkan banyak varian
teks mantra. Dua metode penelitian yang berbeda dalam pengumpulan data
Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara induktif
sesuai dengan ciri metode penelitian kualitatif yang datanya dikumpulkan satu-
persatu untuk menyusun teori yang utuh. Content analysis diaplikasikan dalam
tahapan analisis data dalam penelitian ini. Content analysis merupakan tahapan
pendekatan yang dipakai dalam sebuah penelitian. Tahapan analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini diambil dari tahapan analisis data menurut
cultural values.
Pada tahapan analisis domain, data mantra yang berbentuk kidung yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id
dan semantik.
leksikal, dan semantik untuk ditemukan pola yang dominan dan pola yang unik
dari repetisi.
aspek kebahasaan dan repetisi dengan satuan lingual yang berbeda yang
pengulangan bentuk maupun makna yang terdapat dalam mantra kidung Jawa
pada KPAA.
Hasil analisis data penelitian mengenai repetisi dan fungsi mantra kidung
Jawa dalam KPAA disajikan dalam bentuk deskripsi dengan bahasa atau kata-kata
biasa yang sangat teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993b:6). Selain itu, juga berwujud
kaidah atau disajikan dengan (1) rumusan dengan kata-kata yang bersifat
informal, dan (2) rumusan dengan tanda dan lambang-lambang yang bersifat
semantik disajikan dengan rumusan kata-kata biasa dan dengan tanda atau
penyingkatan tanda atau lambang yang digunakan khususnya pada pola repetisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
dalam mantra kidung Jawa berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa mantra
tergolong sebagai bahasa ritual (ritual language) dikatakan seperti itu karena teks
Berkaitan dengan tujuan itu, ia (teks mantra) diyakini dapat mengoneksikan pada
kekuatan adikodrati. Dengan kata lain, teks mantra yang lingual dapat
Konstruksi teks mantra yang didalamnya ada kekhasan lingual dapat ditelisik dari
Kata memegang peranan penting dalam mantra, karena sebagai teks ritual
ia merepresentasikan dirinya melalui kata. Suasana magis dan sakral akan hadir
melalui pilihan kata yang digunakan. Ciri khas diksi mantra itu dimaksudkan
untuk dapat membangkitkan suasana sakral atau efek magis. Suasana sakral dan
efek magis yang dimaksudkan adalah bahwa mantra menunjuk kepada dunia di
luar batas-batas kemampuan wajar manusia, dunia diluar kekuasaan hukum alam,
alam gaib, sebagai pengaruh dari kekuatan sakral (Soedjijono,1985:26). Kata yang
dihadirkan dan disusun dalam mantra tidak sebagaimana bahasa sehari-hari yang
mudah dipahami. Kata yang tersusun dalam mantra kidung Jawa pada KPAA
disitulah terletak terciptanya suasana gaib dan keramat. Selain itu, mantra tidak
kias atau simbolik dari unsur-unsur kepercayaan yang dianggap berisi tenaga
Hindu Jawa di Tengger, Gunung Bromo, Jawa Timur ia mengatakan bahwa kata
dalam ritual diyakini memiliki daya yang ampuh meskipun kata tersebut tidak
dimengerti maknanya secara langsung ‘ritual words are accorded power by the
faithful even when they are not, in any propositional sense, directly accessible or
doa ritual di Tengger tergantung pada aktor (pembaca mantra), situasi, partisipan
ritual dan relasi-relasi yang terkait dengan pagelaran ritual. Berikut kutipan
lengkap pernyataannya
and pronounced secretly and that are (at surface level) meaningless, confusing, or
pronounced in reverse order convey less immediate sense but more immediate
effect then every day language. ‘kata, dalam mantra, yang dipelajari dan
menemukan hal yang serupa yaitu penggunaan kata arkaik (kata kuno) dan kata
yang khusus digunakan dalam prosesi ritual, bahkan ada kata yang tidak memiliki
makna.
Apa yang dipaparkan oleh Soedjijono, dkk (1985), Hefner (1985), Keeler
(1987), dan Headley (2004) memperteguh bahwa salah satu ciri bahasa ritual
ketakbermaknaan kata ini muncul dalam mantra kidung Jawa dalam KPAA.
Ketiadaan makna dalam hal ini mempunyai maksud bahwa makna yang terdapat
dalam kata tersebut tidak terpahami oleh skemata sosial masyarakat penuturnya.
Misalnya (1) apan wikuning wiku wikan liring pujasamadi, apabila penutur
mengerti dan memahami bahasa sanskerta kuno data (1) secara leksikal ia
memiliki makna, yaitu kata wikan yang berarti ‘paham’, liring berarti ‘seperti’,
pujasamadi ‘beribadah’. Dalam hal ini, ketiadaan makna dalam kata mantra
kidung terkait juga dengan skemata sosial penuturnya. Jadi, ketiadaan makna
commit
dalam mantra terkait dengan aspek to user
sosial dan budaya penutur bahasa tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id
Penyebab kata takbermakna tersebut karena ia termasuk kata arkaik (kata purba)
(archaicness) dan keanehan kata dalam mantra biasanya berupa deretan bunyi
penekanan pada bunyi yang dihadirkan oleh kata tersebut, bukan pada makna
leksikalnya. Hal ini ditemukan dalam contoh kidung warawedha (KW) pada bait
II baris 10,14, bait III baris 17, 21, dan bait IV baris 24
Pada contoh di atas penekanannya pada penggunaan kata kullahu. Bila dipisah ia
terdiri atas dua bunyi yaitu kul dan hu, keduanya secara leksikal tidak mempunyai
makna.
Ada dua bentuk bunyi “kulhu’ dan “kullahu” yang diulang-ulang dalam
pada bunyi ‘kul’ dan bunyi ‘hu’. Bila dua bunyi tersebut dilantunkan dengan
dengan pasangan minimal (minimal pairs) terjadi pada kata marang (2) dan
barang (4) unsur pembedanya yaitu fonem /m/ dan /b/. Data bali (2) dan balik (3)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id
terjadi penambahan fonem konsonan /k/ untuk membentuk variasi bunyi, tetapi
tidak mengubah makna. Bentuk reduplikasi bunyi terjadi pada kata bolak dan
balik (3) dengan pergantian fonem vokal /o/ dan /a/ pada kata [bolak] dan fonem
vokal /a/ dan /i/ pada kata kata [balik]. Kedua kata tersebut dirangkai menjadi
pendengar mantra, ihwal ini Sudaryanto (1994:52) menyebut dengan kata emotif
atau efektif yaitu ada hubungan antara bunyi dan keadaan emosi dari referen
sebuah kata.
bunyi tertentu yang secara leksikal tidak mempunyai makna, tetapi mempunyai
daya. Hal penting yang perlu ditekankan menghadirkan makna memang terjadi
pada mantra kidung, tetapi ketiadaan makna juga menjadi ciri penting dalam
mantra.
kekhasan dari aspek bahasa, tetapi juga penghadiran atau penyebutan nama-nama
tokoh mitologi mitis yang tidak dikenal dalam khazanah Jawa. Dengan kata lain,
tidak ditemukan referensinya atau tidak tergolong tokoh historis. Sebagai contoh
commit to user
(1) sang hartarti, (2) ni penjari, (3) ki hartarti, (4) hyang tegalana (5) rara
perpustakaan.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id
(10) mbok nirbiyah. Penyebutan nama tokoh mitologi mitis yang tidak ditemukan
jejak rekamnya dalam khazanah Jawa mempunyai maksud bahwa tokoh mitologi
mitis tersebut menghubungkan pada konsep alam pikiran tertentu yang membawa
efek magis bagi pengamal mantra. Selain itu, Margana (2004:31) menambahkan
imajinatif yang tidak dikenal dalam sejarah dan elemen-elemen mistis dari
tidak dapat dipahami maknanya. Kata-kata yang dipakai di dalam mantra kadang-
kadang aneh bunyinya, atau merupakan permainan bunyi belaka. Tidak jarang ada
mantra yang menggunakan kata-kata tabu, seperti menyebut alat vital manusia
dalam mantra Kidung Ajiwedha. Kata-kata tabu tersebut adalah penyebutan alat
vital (sexual organ atau excretory organ) manusia secara langsung. Kata-kata tabu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 59
digilib.uns.ac.id
penghalusan (eufemisme) seperti kata (3) tinja, (6) dhakar, (8) gantangan dan (9)
walakang, kedua tanpa penghalusan atau langsung seperti kata (1) bokong, (2)
ebol, (5) uyuh, dan (7) jembut. Kata tabu hanya terdapat dalam Kidung Ajiwedha.
tubuh dari bagian yang paling atas (kepala) sampai dengan telapak kaki. Anggota
tubuh manusia disamakan dengan besi dan berbagai bentuk material besi dalam
khazanah Jawa, kata tabu yang muncul tersebut sewaktu menyebutkan bagian
organ seksual yang disamakan dengan besi (material padat), misalnya, jembut
magis secara aspek kultural. Maka, bagian tersebut diekspresikan atau disebutkan
karena unsur daya magisnya. Dalam hal ini penekananya bukan pada simbol
Penjajaran kata bahasa Arab dan Jawa mempunyai arti bahwa kata bahasa
arab digunakan secara sejajar dengan bahasa Jawa atau menyandingkan kata
bahasa Arab dan bahasa Jawa dalam satu kalimat dalam mantra. Penjajaran
bahasa Arab dan bahasa Jawa, dengan kata lain bisa dikatakan sebagai upaya
meminjam elemen bahasa lain, ihwal peminjaman elemen bahasa lain menjadi ciri
khas register bahasa ritual (Keane, 1997:53). Hal tersebut mempunyai fungsi
bahwa elemen bahasa yang khas tersebut seolah-olah bersumber dari surga yang
terbagi dalam tiga kategori. Pertama, dalam satu bait dominan menggunakan
bahasa Arab, artinya dalam satu bait beberapa baris menggunakan bahasa Arab,
misalnya, dalam kidung yogawedha (KY) dan kidung warawedha (KW) sebagai
berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 61
digilib.uns.ac.id
(3) (78) Sun langgeng amuja mantra ‘aku abadi memuja mantra’
(79) Pas jaswadi putra ing kodratmanik ‘Pas jaswadi putra ing
kodratmanik’
(80) Lailah hailahu ‘Lailah hailahu’
(81) Muhamad Rasullah ‘Muhamad Rasullah’
(82) Sallahu ngalaihi wa salamu ‘Sallahu ngalaihi wa salamu’
(83) Wa ngalaekum wa salam ‘Wa ngalaekum wa salam’
(84) Puniku pupuji mami ‘inilah doaku’
Data (62) Allahuma adam sarpin (63) Cheruhu chakulaika, (64) Wajibuhu
doa berbahasa Arab yang secara leksikal dalam bahasa Arab terdiri atas kata ganti
(isim dhomir) dan kata benda (isim). Bila dijelaskan dalam gramatika bahasa Arab
sebagai berikut:
Kata ganti (hu) atau ‘nya’ merujuk kepada ‘adam sarpin’, secara umum
makna data di atas adalah doa untuk yang ditujukan untuk jati diri anak (hakikat
anak) atau ‘adam sarpin’. Kidung yogawedha dikhususukaan untuk anak (bayi)
agar selamat dari malapetaka dan menanamkan ketauhidan sejak dini serta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 62
digilib.uns.ac.id
mengingat keberadaan eksistensi Allah dalam setiap gerak dan aktivitas sehari-
hari.
Data (80) Lailah hailahu, (81) Muhamad Rasullah, (82) Sallahu ngalaihi
dalam tradisi Islam. Data 80-81 adalah ikrar syahadat ‘kesaksian adanya Allah
sebagai tuhan yang satu” dan ikrar bahwa nabi muhammad sebagai utusan (rasul).
Kedua kalimat tersebut lebih dikenal dengan syahadatain ‘dua kalimat syahat’.
Sallahu ngalaihi wa salamu yang biasa disingkat dengan (S.A.W). Data 83, yaitu
jawaban dari salam umat Islam, Wa ngalaekum wa salam, jawaban dari salam
Kedua, yaitu menggunakan bahasa arab dan bahasa Jawa dalam satu baris
Dalam data (62) yaitu allahuma adam sarpin, sedangkan dalam kidung
yogawedha (KY) bait XII baris 68 terdapat fenomena yang serupa yaitu (68)
allahuma cacing putih. Dalam kidung setyawedha (Kse) bait I baris yaitu, (1)
sipat iman wa mantulilahi, dan baris (21) kaping tigane wa kutubihi. Dalam
kidung saktiwedha (KSa) bait XII baris 69 yaitu, ya allahuma seksi, dan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 63
digilib.uns.ac.id
kidung warawedha (KW) bait X baris 56 terdapat (56) liwat siratal mustakim
Data kata berbahasa arab tersebut mempunyai arti allahuma ‘Ya Allah
Tuhanku’. Kata tersebut diikuti kata berbahasa Jawa adam sarpin, cacing putih
secara leksikal bermakna ‘cacing’ (binatang) berwarna putih, seksi ‘saksi’. kata
berbahasa Arab tersebut mempunyai arti iman kepada Allah dan iman kepada
kitab.
Ketiga kata bahasa Arab yang telah diadaptasi ke bahasa Jawa, ada yang
sudah diterima dalam bahasa Jawa dan ada yang belum diterima dalam bahasa
Jawa. Berikut ditemukan dalam kidung Japawedha (KJ) bait XII-XIII baris 118-
127.
tasawuf dalam Islam yaitu syariat, thariqat, makrifat, dan hakikat (lihat Widodo,
2011b dan 2012a), sedangkan (124-127) merupakan nama nafsu yang terdapat
dalam diri manusia yaitu supiyah, amarah, mutmaenah, dan luamah. Data tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 64
digilib.uns.ac.id
menunjukkan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang sudah diterima
kidung Jawa, kekhasan bentuk kebahasaan yang lain yaitu repetisi. Berkaitan
dengan tersebut, perihal repetisi akan dibahas secara khusus dibawah ini. Karena
diklasifikasi atas (1) repetisi gramatikal, (2) repetisi leksikal, (3) repetisi unik, dan
(4) repetisi semantik. Repetisi gramatikal yaitu pengulangan yang terjadi pada
mantra kidung Jawa dengan menggunakan pola kalimat yang sama (pola
sintaksis), sedangkan repetisi leksikal yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra
kidung Jawa dengan menggunakan kategori kata atau frasa yang sama. Repetisi
Unik yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa yang pengulangan
tersebut terjadi pada tataran gramatikal, leksikal, dan semantik secara serentak.
Repetisi semantik yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa
dengan menghadirkan makna yang sama dengan bentuk yang berbeda (sinonim)
dan makna yang masih dalam jangkauan medan leksikal yang sama. Berikut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 65
digilib.uns.ac.id
repetisi gramatikal). Berikut rincian 20 pola gramatikal yang terjadi pada mantra
kidung.
gramatikal: (1) S (FN/N) + P yang terjadi pada bait VII, VIII, X dan baris 64, 65,
70, 71, 102, 105, 109. Pola ini berulang dengan 8 frekuensi kemunculan (KD-1a
s.d. KD-1h). (2) S (V. Psf) + Pel. (N) yang terjadi pada bait VIII, X dan baris 81,
103. Pola ini berulang dengan 2 frekuensi kemunculan (KD-2a s.d. KD-2b).
gramatikal:(1) P (V. Impr) + K (F. Prep) yang terjadi pada bait I baris 2 dan 3.
Pola ini berulang dengan 2 frekuensi kemunculan (KM-1a s.d. KM-1b). (2) S
(FN) + P (FV. Impr/V. Impr) yang terjadi pada bait II baris 11, 12, 14, 16, 17.
Pola ini berulang dengan 5 frekuensi kemunculan (KM-2a s.d. KM-2e). (3) P
(V.Psf) + Pel. (FN/N) yang terjadi pada bait III dan IV baris 23, 24, 28, 48. Pola
ini berulang dengan 4 frekuensi kemunculan (KM-3a s.d. KM-3d). (4) S (FN) + P
(F. Pron Pos) yang terjadi pada bait IV dan V baris 32, 33, 34, 35, 36, 38, 42. Pola
ini berulang dengan 7 frekuensi kemunculan (KM-4a s.d. KM-4g). (5) S (FN) + P
(F. Prep) yang terjadi pada bait IV dan V baris 37, 44, 45. Pola ini berulang
dengan 3 frekuensi kemunculan (KM-5a s.d. KM-5c). (6) S (F. Pron Pos) + P
(FN/N) yang terjadi pada bait III, IV, V baris 29, 30, 31, 40, 41, 46. Pola ini
S (FN) + P (V. Impr) yang terjadi pada bait I, II, VI, VII, VIII, IX, XI baris 10, 11,
12, 51, 69, 73,75, 76, 84, 109. Pola ini berulang dengan 9 frekuensi kemunculan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 66
digilib.uns.ac.id
(KJ-1a s.d. KJ-1i). (2) S (FN) + P (F. Prep) yang terjadi pada bait III baris 24, 25,
26, 27. Pola ini berulang dengan 2 frekuensi kemunculan (KJ-2a s.d. KJ-2b). (3) S
(N) + P (F. Prep) yang terjadi pada bait IV,V, VII, baris 38, 41, 44, 61. Pola ini
berulang dengan 4 frekuensi kemunculan (KJ-3a s.d. KJ-3d). (4) P (V.Akt) + Pel.
(N) yang terjadi pada bait VII baris 64, 67, 68. Pola ini berulang dengan 3
frekuensi kemunculan (KJ-4a s.d. KJ-4c). (5) P (V. Impr) + K (F. Prep) yang
terjadi pada bait VII, VIII, IX baris 70, 74. Pola ini berulang dengan 2 frekuensi
kemunculan (KJ-5a s.d. KJ-5b). (6), S (FN) + P (V) + Pel. (Adv) yang terjadi pada
bait IX baris 86, 87. Pola ini berulang dengan 2 frekuensi kemunculan (KJ-6a
s.d.KJ-6b). (7), S (N) + P (F. Prep) yang terjadi pada bait X baris 93, 94, 95. Pola
ini berulang dengan 3 frekuensi kemunculan (KJ-7a s.d. KJ-7c). (8), P (FV. Akt)
+ Pel. (F. Prep) yang terjadi pada bait IX baris 85, 107. Pola ini berulang dengan 2
frekuensi kemunculan (KJ-8a s.d. KJ-8b). (9), S (Pron. Pers III) + P (N) yang
terjadi pada bait XII, XIII baris 118, 119, 120, 121, 122, 123. Pola ini berulang
S (FV. Akt) + P (F. Prep) yang terjadi pada bait I baris 5, 9. Pola ini berulang
dengan 2 frekuensi kemunculan (KJi-1a s.d. KJi-1b). (2), P (V. Akt) + O (N) yang
terjadi pada bait I baris 3, 6, 10, 13. Pola ini berulang dengan 4 frekuensi
(1) S (FN) + P (V.Akt) + K (F. Prep) yang terjadi pada bait V baris 29, 30. Pola
ini berulang dengan 2 frekuensi kemunculan (KY-1a s.d. KY-1b). (2), P (V.Psf) +
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 67
digilib.uns.ac.id
Pel. (FN/N) yang terjadi pada bait VI baris 33, 34, 35, 36. Pola ini berulang
dengan 4 frekuensi kemunculan (KY-2a s.d. KY-2d). (3), S (Pron. Pers I) + P (V)
+ Pel. (FN) yang terjadi pada bait XXVIII baris 167, 169. Pola ini berulang
dengan 2 frekuensi kemunculan (KY-3a s.d. KY-3b). (4), P (V. Impr) + K (F.
Prep) yang terjadi pada bait XXXII baris 190, 191. Pola ini berulang dengan 2
(1), konstruksi pengulangan frasa yang terjadi pada bait I baris 3, 4, 5. Pola ini
berulang dengan 3 frekuensi kemunculan (KW-1a s.d. KW-1c). (2), S (F. Pron
Pos) + P (FN) yang terjadi pada bait X baris 64, 69, 76. Pola ini berulang dengan
FN/N) + P (dilesapkan) + O (Num) yang terjadi pada bait III baris 10, 25, 27, 28.
S (F. Pron Pos) + P (FN/N) yang terjadi pada bait II-IX baris 10-60. Pola ini
yaitu P (V) + O (N) + K (Num) S dilesapkan yang terjadi pada bait VIII baris 48,
54. Pola ini berulang dengan 2 frekuensi kemunculan (KSa-1a s.d. KSa-1b).
yaitu S (N) + P (FV) + O (N) yang terjadi pada bait V baris 27, 28, 29, 33. Pola ini
Dari penjabaran tentang pola repetisi gramatikal yang terjadi pada mantra
gramatikal yang muncul. (2) Jumlah total frekuensi kemunculan sebanyak 135
kemunculan. Dari 20 pola repetisi gramatikal tersebut terdapat tiga (3) pola yang
frekuensi kemunculannya paling tinggi dan dominan. Tiga pola tersebut yaitu (1)
S (F. Pron. Pos) + P (FN/N) sejumlah 43 kemunculan. (2) yaitu berpola S (FN) +
P (V. Impr) sejumlah 22 kemunculan. (3) yaitu berpola P (V. Psf) + Pel. (N/FN)
sejumlah 10 kemunculan. Ketiga pola tersebut secara rinci dibahas dibawah ini.
sejumlah 43 pengulangan.
Pada mantra kidung mantrawedha (KM) dibahas tiga dari 7 pola yang
(7) S P
a. ati(-ku) (nabi) adam (KM-6/III/29)
‘hati (ku)’ ‘(nabi) adam’
b. utekku baginda esis (KM-6/III/29)
‘otakku’ ‘nabi esis’
c. pangucap(ku) nabi musa (KM-6/III/30)
‘pengucapan(ku)’ ‘nabi musa’
Pada bait III, IV, dan V dan baris 29, 30, 31, 40, 41, 46 terdapat pola Subjek (S) +
dengan adanya pola sintaksis yang sama pada konstruksi berikut penjabaran
menduduki fungsi S, sedangkan (nabi) adam ‘nabi adam’, baginda esis ‘nabi
esis’, nabi musa ’nabi musa’ menduduki fungsi P. Pengisi fungsi S yaitu, frasa
pronomina posesif (F. Pron Pos) yang secara berulang digunakan dalam pola di
Hal yang sama terjadi pada pengulangan dalam kidung warawedha (KW)
(8) S P
a. ajiku gajah panudya (KW-2/X/64)
‘kesaktianku’ ‘gajah panudya’
b. panahku sapu buwana (KW-2/X/69)
‘busurku’ ‘sapu buwana’
c. palinggihku lintang johar (KW-2/XI/76)
‘tempat dudukku’ ‘bintang zuhar’
Pengulangan tersebut pada bait X baris 64, 69, dan 76 dengan pola konstruksi
panudya’, sapu buwana ‘sapu bumi’, lintang johar ‘bintang zuhar’ menduduki
fungsi P. Pengisi fungsi S yaitu, frasa pronomina posesif (F. Pron Pos) yang
Pada kidung ajiwedha (KA) yang paling banyak menggunakan pola ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 70
digilib.uns.ac.id
(9) S P
a. tingal sun kancana (KA-1/II/10)
‘penglihatanku’ ‘emas’
b. idep-ingsun kekencang bang ruruwitan (KA-1/III/15)
‘bulu mataku’ ‘besi kuat berderet’
c. alisku sarpa mandi (KA-1/III/16)
‘alis mataku’ ‘(sejenis racun) sarpa mandi’
d. pan kedhepku kilat thathit (KA-1/III/19)
‘kedipanku’ ‘halilintar menyambar’
e. kupingku salaka (KA-1/IV/24)
‘telingaku’ ‘logam’
Pola sintaksis dalam mantra KA terdapat bait II s.d. IX dan baris 10 s.d. 60.
ruruwitan ‘besi kuat berderet’, sarpa mandi ‘(sejenis racun) sarpa mandi’, kilat
fungsi S yaitu, frasa pronomina posesif (F. Pron Pos) yang secara berulang
digunakan dalam pola di atas, sedangkan pengisi P berkategori frasa nomina (FN).
Berdasarkan kategori pengisi P yang berupa frasa nomina (FN), pola kalimat pada
mantrawedha (KM) dengan lima (5) pengulangan, dan pada kidung japawedha
(KJ) sembilan (9) pengulangan. Jadi, total pola pengulangan gramatikal dengan
(10) S P
a. sagara sat (KD-1/VII/64)
‘laut’ ‘kering’
b. guntur sirna (KD-1/VII/65)
‘halilintar’ ‘lenyap’
c. guwa samya nir (KD-1/VII/65)
‘gua’ ‘semua hilang’
d. sato galak suminggah (KD-1/VII/70)
‘binatang buas’ ‘menyingkir’
e. jim peri prayangan samya wedi (KD-1/VIII/71)
‘semua jin’ ‘semua takut’
Pada KD pengulangan pola sintaksis terjadi pada bait VII s.d. X dan baris 64, 65,
70, 71, 105 serta 109. Berikut penjabaran pola konstruksi kalimat tersebut. Sagara
‘laut’, guntur ‘halilintar’, guwa ‘gua’, sato galak ‘binatang buas’, jim peri
‘hilang’, samya nir ‘semua hilang’, suminggah ‘menyingkir’, samya wedi ‘semua
takut’ menduduki fungsi P. Pengisi fungsi S yaitu, berupa nomina (N) yang
(11) S P
a. sakehing lara pan samya bali (KM-2/II/11)
‘semua sakit’ ‘semua kembali (ke asal)’
b. sakeh ama pan samya miruda (KM-2/II/12)
‘semua hama’ ‘semua tidak mengena’
c. sakehing braja luput (KM-2/II/14)
‘semua senjata’ ‘lenyap (tidak mengena)’
Pengulangan tersebut terjadi pada KM bait II baris 11, 12, dan 14. Frasa sakehing
lara ‘semua sakit’, sakeh ama ‘semua hama’, sakehing braja ‘semua senjata’
menduduki fungsi S, sedangkan pan samya bali ‘semua kembali (ke asal)’, pan
samya miruda ‘semua tidak mengena’, luput ‘lenyap (tidak mengena)’ menduduki
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 72
digilib.uns.ac.id
fungsi P. Pengisi fungsi S yaitu, berupa frasa nomina yang secara berulang
(12) S P
a. sato setan sumimpang (KJ-1/I/10)
‘binatang buas’ ‘menyingkir’
b. sakatahing upas tawa sami (KJ-1/II/11)
‘semua racun’ ‘semua tawar’
c. lara raga waluya nirmala (KJ-1/II/12)
‘sakit badan’ ‘sembuh seketika’
d. satru mungsuh lari padha wedi (KJ-1/VI/51)
‘semua musuh’ ‘berlari ketakutan’
e. lara raga sumingkir (KJ-1/VII/69)
‘sakit badan’ ‘menyingkir’
Pengulangan tersebut terjadi pada bait I, II, VI, VII, VIII, IX, XI dan baris 10, 11,
12, 51, 69,73, 75, 76, 84, 109. Berkaitan tersebut dibahas 5 pola yang berulang
secara teratur sebagai berikut. Sato setan ‘binatang buas’, sakatahing upas ‘semua
racun’, lara raga ‘sakit badan’, satru mungsuh ‘semua musuh’, lara raga ‘sakit
‘semua tawar’, waluya nirmala ‘sembuh seketika’, lari padha wedi ‘berlari
berupa frasa nomina yang secara berulang digunakan dalam pola di atas,
Berdasarkan kategori verbalnya pada contoh (10), (11), dan (12) tergolong
pada kalimat imperatif taktransitif, artinya kalimat imperatif yang tak berobjek
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 73
digilib.uns.ac.id
mantrawedha (KM) dengan empat (4) pengulangan, dan pada kidung yogawedha
(KY) empat (4) pengulangan. Jadi, total pola pengulangan gramatikal dengan pola
darmawedha (KD)
(13) P Pel.
a. rineksa hyang widi (KD-2/VIII/81)
‘dilindungi’ ‘(oleh) hyang widi’
b. rineksa malaekate (KD-2/X/103)
‘dilindungi’ ‘(oleh) malaikat’
Pengulangan pola tersebut terjadi pada bait VIII, X dan baris 81 dan 103 dengan
konstruksi pola sintaksis sebagai berikut. Rineksa ‘dilindungi yang terjadi pada 7a
dan b menduduki fungsi P, sedangkan hyang widi ‘(oleh) hyang widi’ dan
malaekate ‘oleh malaekat’ menduduki fungsi Pel. Fungsi S dalam hal ini
yaitu pengamal mantra atau perapal mantra. Pengisi fungsi P yaitu, berupa verba
pasif yang secara berulang digunakan dalam pola di atas, sedangkan pengisi Pel.
(14) P Pel.
a. ingideran pra widadari (KM-3/III/23)
‘dikelilingi’ ‘(oleh) para bidadari’
b. rineksa malaekat (KM-3/III/24)
‘dilindungi’ ‘(oleh) malaikat’
c. pinayungan ing hyang suksma (KM-3/III/28)
‘dipayungi’ ‘oleh hyang suksma’
d. pinayungan adam kawa (KM-3/V/48)
‘dipayungi’ ‘(oleh) adam hawa’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 74
digilib.uns.ac.id
Pengulangan dengan pola yang serupa terjadi pada mantra KM bait III dan IV
baris 23, 24, 28, dan 48. Dengan penjabaran pola konstruksi sebagai berikut.
‘(oleh) malaikat’, ing hyang suksma ‘oleh hyang suksma’, adam kawa ‘oleh adam
hawa’ menduduki fungsi Pel. Hal ini serupa pada contoh kasus 7 di atas yaitu
diisi oleh sang aku yaitu pengamal mantra atau perapal mantra. Pengisi fungsi P
yaitu, berupa verba pasif yang secara berulang digunakan dalam pola di atas,
sedangkan pengisi Pel. berkategori frasa nomina atau nomina. Pada kidung
yogawedha (KY)
(15) P Pel.
a. rineksa ing malaekat (KY-2/VI/33)
‘dilindungi’ ‘(oleh) malaikat’
b. den emongi widadari (KY-2/VI/34)
‘diasuh’ ‘(oleh) bidadari’
c. pinayungan ing hyang suksma (KY-2/VI/35)
‘dipayungi’ ‘oleh hyang suksma’
d. kinemulan para nabi (KY-2/VI/36)
‘diselimuti’ ‘ (oleh) para nabi’
Pengulangan dengan pola sintaksis yang sama terjadi pada KY pada bait VI dan
baris 33 s.d. 36. Berikut penjabaran dari pola tersebut rineksa ‘dilindungi’, den
ing hyang suksma ‘ oleh hyang suksma’, para nabi ‘(oleh) para nabi’ menduduki
fungsi Pel. Hal ini serupa pada contoh kasus 8 di atas yaitu Fungsi S dalam hal ini
mengalami pelesapan , apabila S diwujudkan fungsi S diisi oleh sang aku yaitu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 75
digilib.uns.ac.id
pengamal mantra atau perapal mantra. Pengisi fungsi P yaitu, berupa verba pasif
yang secara berulang digunakan dalam pola di atas, sedangkan pengisi Pel.
verba pasif pada contoh (13), (14), dan (15) pola ini disebut dengan kalimat pasif
Dari uraian dan penjabaran repetisi gramatikal dalam mantra kidung Jawa
bahwa pola sintaksis yang umum ditemukan yaitu berpola kalimat tunggal, yaitu
kalimat yang terdiri atas satu kesatuan bagian inti, baik dengan maupun tanpa
bagian bukan inti (Sudaryanto, 1992:62). Selain kalimat tunggal, juga disebut
dengan ukara lamba, yaitu kalimat yang terdiri dari satu klausa, yaitu kalimat
yang terdiri atas subjek (jejer) dan predikat (wasesa) (Sumarlam, 2008:66;
Sasangka, 2001:167). Pola kalimat tunggal dalam mantra kidung Jawa berpola S +
P secara dominan.
Repetisi leksikal dalam mantra kidung Jawa terbagi dalam tiga kategori
kata yang dominan yaitu, (1) frasa pronomina posesif (penanda milik), (2) verba
imperatif, (3) nomina atau frasa nomina. Berikut penjelasan ketiga kategori kata
tersebut.
Pada contoh (7,8,9) diatas fungsi S selalu konsisten secara berulang diisi
pronomina posesif (kata ganti milik). Konstruksi frasa pronomina posesif terdiri
atas nomina sebagai inti yang berstatus sebagai termilik dan nomina lain sebagai
persona (I, II, III) tunggal maupun jamak, nama diri, nomina, dan nomina lain
sebagai berikut.
Kata ati ‘hati’, utek ‘otak’, dan pangucap ‘pengucap’ sebagai inti berkategori
nomina dan berstatus sebagai termilik, sedangkan –ku sebagai atribut berkategori
Selain bentuk pronomina persona –ku, mantra kidung Jawa dalam KPAA
Bentuk wang, mami, ingsun atau sun sebagai variasi bentuk –ku yang menduduki
peran sebagai atribut berkategori pronomina persona I (enklitik) lekat kanan dan
berstatus sebagai pemilik. Variasi bentuk tersebut muncul karena tuntutan vokal
1984:21), kata ganti diri karena kata-kata itu menggantikan diri orang
(Slametmuljana, 1960:52). Dalam kaitan mantra kidung Jawa, kata ganti orang
yang merujuk pada diri orang yaitu sang pembaca mantra. Dalam hal ini,
penggunaan pronomina persona pertama yang berarti kata ganti diri tersebut
tersebut dilekatkan pada bentuk nomina yang berupa anggota tubuh dan nama
merupakan deiksis asali karena setiap bahasa dan dialek di dunia selalu
pada satu kesimpulan bahwa I dan you [sebagai bentuk pronomina persona I dan
II] adalah primitiva makna (semantic primitives) ; tidak ada leksem-leksem lain
yang dapat dipakai untuk memberikan batasan tentang bentuk persona secara
mantra Jawa. Hal ini mempunyai arti bahwa bentuk pronomina persona digunakan
untuk mewadahi pengamal mantra yang tidak berbahasa Jawa karena bentuk
pronomina persona sebagai bentuk asali dan berdaya. Dikatakan asali karena
dibandingkan dengan bentuk yang lain. Dalam mantra kidung mantrawedha (KM)
sejumlah 13 buah. Bentuk –ku paling dominan yaitu 7 penggunaan. Hal ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 79
digilib.uns.ac.id
Repetisi leksikal yang berwujud verba imperatif pada mantra kidung Jawa,
ihwal ini mempunyai maksud bahwa verba imperatif merupakan bentuk satuan
lingual yang mengalami pengulangan dengan kategori kata (word class) verba
imperatif.
tiga kategori yaitu: relasi obyek netral, relasi obyek lokatif, dan relasi obyek
dengan hal tersebut, Halim (1984:115) menerangkan bahwa intonasi saja tidak
informasi leksikal. Dalam hal repetisi leksikal ini titik pangkalnya yaitu bentuk
leksikal atau informasi leksikal yang imperatif. Berikut dijelaskan repetisi leksikal
yang berwujud verba imperatif pada mantra kidung Jawa dengan rincian sebagai
berikut.
(19) S P
a. guntur sirna (KD-1/VII/65)
‘halilintar’ ‘lenyap’
b. guwa samya nir (KD-1/VII/65)
‘gua’ ‘semua hening’
c. sato galak suminggah (KD-1/VII/70)
‘binatang buas’ ‘menyingkir’
d. jim peri prayangan samya wedi (KD-1/VIII/71)
‘semua jin’ ‘semua takut’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 80
digilib.uns.ac.id
Pada contoh di atas verba imperatif menduduki fungsi P dengan relasi S. Bentuk
diperintah atau ditolak eksistensinya melalui bentuk verba imperatif yang terdapat
(20) P + K
a. luputa ing lara (KM-1/I/2)
‘lenyap’ ‘penyakit’
b. luput(a) ing bilahi kabeh (KM-1/I/3)
‘lenyap’ ‘malapetaka’
berupa sang aku (perapal mantra). P berisi verba imperatif dengan bentuk
imperatif luputa ‘lenyap’, yaitu bentuk imperatif pengusiran yang terdapat dalam
pengisi K yaitu ing lara ‘segala penyakit’ dan ing billahi kabeh ‘segala
malapetaka’.
yaitu penanda sumber, dalam contoh di atas apabila dikutip lengkap sebagai
berikut teguh ayu luputa ing lara dan luput(a) ing bilahi kabeh. Sumber disini
dan argumen itu adalah sumber dari keadaan yang terkandung di dalam verba
pengisi predikatnya (Wedhawati, dkk, 1990:93). Yang menjadi sumber yaitu kata
lara dan billahi kabeh. Bila ditafsirkan mantra ini menjaga dari sumber penyakit
commit to user
dan sumber marabahaya (petaka) dengan penggunaan verba imperatif luput (a).
perpustakaan.uns.ac.id 81
digilib.uns.ac.id
kedua. Tindakan merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh orang kedua
kalimat itu (imperatif) muncul selalu melibatkan orang kedua sebagai orang “yang
(melarang). Sementara itu, verba yang menjadi konstituen pusatnya hanya verba
antara orang pertama (O-1) dengan orang kedua (O-2) atau antara pembicara
dengan mitra bicara ; dengan salah satu akibat verba yang bersangkutan lalu
bersifat keseharian (colloquial) dan bukan berbentuk krama dan atau halus
(kecuali beberapa).
Orang kedua atau mitratutur dalam mantra kidung Jawa tidak tampak
pada kekuatan adi kodrati yang tan kasatmata. Keimperatifan (P) juga
imperatif semacam ini dengan ukara pakon paminta yaitu verba imperatif yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 82
digilib.uns.ac.id
Nomina dan frasa nomina yang digunakan dalam analisis ini yaitu bertumpu pada
nomina tersebut berupa kategori nama diri dan bukan nama diri (Sudaryanto,
1992:89-90). Nama diri tersebut banyak diisi dengan penyebutan nama-nama nabi
dan nama malaikat dalam konsepsi agama Islam sebagaimana dibahas dibawah
ini.
(21) S P
a. ati(-ku) (nabi) adam (KM-6/III/29)
‘hati (ku)’ ‘(nabi) adam’
b. utekku baginda esis (KM-6/III/29)
‘otakku’ ‘nabi esis’
c. pangucap(ku) nabi musa (KM-6/III/30)
‘pengucapan(ku)’ ‘nabi musa’
Pada kidung mantrawedha (KM) yang terdapat dalam bait III baris 29 dan 30
terutama dalam fungsi P berkategori frasa nomina yaitu nama Nabi dan Rasul
yaitu Nabi Adam, Nabi Esis, dan Nabi Musa.Yang secara konsisten digunakan
secara berulang pada 21a-21c. Serupa dengan contoh 21, ditemukan juga pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 83
digilib.uns.ac.id
(22) S P
a. nabi yakup pamiarsaningwang (KM-4/IV/32)
‘nabi yakub’ ‘penglihatanku’
b. (nabi) dawud suwaraku mangke (KM-4/IV/33)
‘(nabi) daud’ (menjadi) suaraku nanti’
c. nabi brahim nyawaku (KM-4/IV/34)
‘nabi ibrahim’ ‘(menjadi) nyawaku’
d. nabi sleman kasektenmami (KM-4/IV/35)
‘nabi sulaiman’ ‘(menjadi) kesaktianku’
e. nabi yusuf rupengwang (KM-4/IV/36)
‘nabi yusuf’ ‘(menjadi) wajahku’
Pada KM bait IV baris 32-36 terdapat penyebutan nama nabi dan rasul pada
Yakub, Nabi Daud, Nabi Ibrahim, Nabi Sulaiman, dan Nabi Yusuf.
Nama Malaikat
(23) P Pel.
a. ingideran pra widadari (KM-3/III/23)
‘dikelilingi’ ‘(oleh) para bidadari’
b. rineksa malaekat (KM-3/III/24)
‘dilindungi’ ‘(oleh) malaikat’
c. pinayungan ing hyang suksma (KM-3/III/28)
‘dipayungi’ ‘oleh hyang suksma’
Pada KM bait III baris 23, 24,dan 28 terdapat penyebutan nama malaikat pada
fungsi Pel. Yang secara konsisten ditemukan pada contoh 23a-23c. Hal yang
S P
(24) a.ngijrail kang rumeksa ing ati suci (KJ-2/III/24-25)
‘(malaikat) izrail yang menjaga’ ‘di hati suci’
b.israpil damarira (kang) madhangi jro kalbu (KJ-2/III/26-27)
‘(malaikat) israfil yang menerangi ‘ di dalam hati’
Pada KJ bait III baris 24-27 ditemukan nama malaikat pada fungsi S.
nama itu. Misalnya penghadiran nama nabi yakup dalam nabi yakup
diemban oleh penghadiran nama nabi ya’kub sebagai daya magis pada
penglihatan. Nabi dawud suwaraku mangke ‘nabi daud suaraku nanti’ dalam
kaitan ini nabi daud dihadirkan untuk menghubungkan pada daya magis pada
suara.
Daya magis yang dikaitkan oleh penghadiran nama tersebut selalu sejajar
dengan mukjizat dan kelebihan yang disandang oleh nama-nama nabi tersebut.
nama mengkaitkan pada mitos nama yang diembanya, hal itu terkait keistimewaan
Repetisi unik dalam penelitian ini sebagai tawaran istilah atas fenomena
yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yang menunjukkan keunikan. Dikatakan
unik karena ia berbeda dengan bentuk repetisi yang lain (gramatikal, leksikal, dan
terjadi pada lapis gramatikal (pola sintaksis yang sama), selain gramatikal ia juga
ada pengulangan makna yang sama dan makna tersebut masih dalam jangkauan
kidung Jawa.
Repetisi unik terjadi pada (1) Kidung Reksawedha (KR) dalam bait XX-
Repetisi unik juga ditemukan pada (2) Kidung Yogawedha (KY) memiliki
dua pola unik: pertama terjadi pada bait XIII-XX baris 73-121 yang berpola [S +
K]2, K3[S + P + O]1 [S + P]2, K4[S + P + O]1 [ + P + O]2 dengan empat frekuensi
yang sama secara berantai dan berurutan. kedua terjadi pada bait XXI-XXIV baris
konstruksi gramatikal maupun leksikal yang sama secara berantai dan berurutan.
(3), Kidung Warawedha (KW) memiliki dua pola unik: pertama terjadi
gramatikal maupun leksikal yang sama secara berantai dan berurutan, kedua
terjadi pada bait VIII-IX dan baris 50-63 yang memiliki pola [S + P + Pel.] [P +
S] [P + S] [S + P] [S + P + K] dengan
commitdua frekuensi pengulangan (KW-U2a s.d.
to user
perpustakaan.uns.ac.id 86
digilib.uns.ac.id
b) melalui konstruksi gramatikal maupun leksikal yang sama secara berantai dan
berurutan. Berikut dijabarkan dengan contoh (25) dan (26) dibawah ini.
commit to user
87
(25) S (FN) + P (V) + Pel. (F. Adv) + P(F. Adv) + K (F. Adv)
a. ana lara teka bali tinulak bali mangetan mangidul panyabet neki
‘ada penyakit’ ‘datang’ ‘balik tertolak’ ‘kembali ke arah timur’ ke arah selatan memukulmu’
b. na lara teka bali tinulak bali mangidul ngulon panyabetira
‘ada penyakit’ ‘datang’ ‘balik tertolak’ ‘kembali ke arah selatan’ ‘ke arah barat memukulmu’
c. ana lara teka bali pan tinulak mangulon bali kang lara mangalor panyabetira
‘ada penyakit’ ‘datang’ ‘balik tertolak’ ‘ke arah barat balik penyakit’ ‘ke arah utara memukulmu’
d. ana lara teka bali tinulak ngalor parannya manginggil panyabet neki
‘ada penyakit’ ‘datang’ ‘balik tertolak’ ‘ke arah utara arahnya’ ‘ke atas memukulmu’
e. na lara teka bali tinulak bali mandhuwur mangisor panyabetnya
‘ada penyakit’ ‘datang’ ‘balik tertolak’ ‘kembali ke arah atas’ ‘ke arah bawah memukulmu’
f. ana lara teka bali pan tinulak bali mangadhap kang lara -
‘ada penyakit’ ‘datang’ ‘balik tertolak’ ‘kembali ke bawah penyakit itu -
88
Klausa Utama KI
(26) : S (Pron. Intro) P (F. Prep) S (Pron. Intro P (V. Psf) Pel (N)
a. sapa manglong-manglong iku aneng wetan tengah kori apa si maling aguna kinongkon si maling sekti
‘siapa melihat-menghilang itu’ ‘di timur tengah pintu’ ‘apa si maling aguna’ ‘disuruh’ ‘si maling sekti’
b. sapa manglong-manglong iku aneng kidul tengah kori apa si maling aguna kinongkon si maling sekti
‘siapa melihat-menghilang itu’ ‘di selatan tengah pintu’ ‘apa si maling aguna’ ‘disuruh’ ‘si maling sekti’
c. sapa manglong-manglong iku aneng elor tengah kori apa si maling aguna kinongkon si maling sekti
‘siapa melihat-menghilang itu’ ‘di utara tengah pintu’ ‘apa si maling aguna’ ‘disuruh’ ‘si maling sekti’
d. sapa manglong-manglong iku aneng kulon tengah kori apa si maling aguna kinongkon si maling sekti
‘siapa melihat-menghilang itu’ ‘di barat tengah pintu’ ‘apa si maling aguna’ ‘disuruh’ ‘si maling sekti’
K2
K1 K2
K3
K1 K2
K1 K2
Pada contoh (25) mempunyai pola [S + P + Pel.] [ +P + K]. Ana lara ‘ada
‘balik tertolak’ menduduki fungsi Pel. pelesapan S tersebut yaitu lara ‘sakit’,
neki ‘ke arah selatan memukulmu’ menduduki fungsi K. Pola ini tersusun atas dua
sebagai klausa II. Dua klausa tersebut bergabung menjadi satu konstruksi kalimat,
yaitu kalimat majemuk setara. Kalimat majemuk setara juga disebut dengan ukara
camboran sajajar yaitu kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih. Klausa-
klausa tersebut dihubungkan dengan konjungsi atau tanda koma (,) (Sumarlam,
Klausa I Klausa II
[S + P + Pel.] [ +P + K]
kalimat yang sama dan juga pola leksikal yang sama. Berikut pemaparannya. Ana
lara ‘ada penyakit’ sebagai frasa nomina. Teka ‘datang’ sebagai verba, bali
tinulak ‘balik tertolak’ sebagai frasa adverbia, bali mangetan ‘kembali ke arah
Bentuk yang berbeda ditemukan pada fungsi P dan K pada klausa II yaitu
frasa bali mangetan ‘kembali ke arah timur’ sebagai P dan frasa mangidul
bentuk leksikal yang berbeda di setiap barisnya. Pada baris a menggunakan frasa
bali mangetan ‘kembali ke arah timur’ sebagai P dan frasa mangidul panyabetneki
‘ke arah selatan memukulmu’ sebagai K. Pada baris b frasa bali mangidul
‘kembali ke arah selatan’ sebagai P dan frasa ngulon panyabetira ‘ke arah selatan
memukulmu’ sebagai K. Pada baris c frasa mangulon bali kang lara ‘kembali ke
arah barat si sakit’ sebagai P dan frasa mangalor panyabetira ‘ke arah utara
memukulmu’ sebagai K. Pada baris d frasa ngalor paranya ‘ke arah utara
arahnya’ sebagai P dan frasa manginggil panyabetira ‘ke arah atas memukulmu’
sebagai P dan frasa mangisor panyabetira ‘ke arah bawah memukulmu’ sebagai
K. Pada f frasa bali mangandap kang lara ‘kembali kebawah si sakit’ sebagai P
fungsi S. aneng wetan tengah kori ‘di timur tengah pintu’ menduduki fungsi P.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 92
digilib.uns.ac.id
maling sekti ‘si maling sekti’ menduduki fungsi Pel. Konstruksi [S + P + Pel.]
fungsi P, si asu ajag ‘si asu ajag’ menduduki fungsi O. pelesapan S, yaitu ‘si
anak pertama yang dirangkai dengan klausa [S + P]2. Perangkai dua klausa
yen asu ajag wus mati ‘kalau anjing ajag sudah tewas’ menduduki fungsi
sebagai klausa anak kedua. Penggabungan dua klausa tersebut membentuk satu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 93
digilib.uns.ac.id
Pola ini memiliki satu klausa inti (utama) dan empat klausa anak. Pada
Klausa anak kedua, ketiga dan keempat memiliki dua klausa anak lagi. Manakala
S P Pel. P O P K S P O S P S P O P O
Pola kalimat ini disebut dengan kalimat majemuk bertingkat atau ukara camboran
susun atau klausa subordinatif, yaitu konstruksi kalimat yang terdiri atas dua
klausa atau lebih. Yang terdiri atas klausa inti dan klausa cabang (pang) atau
klausa anak (Sumarlam, 2008:71). Pola ini berulang sebanyak empat kali
frekuensi kemunculan dengan pola yang sama baik pola sintaksisnya maupun
terdapat pada klausa utama. Perbedaan tersebut terjadi pada baris a-d. Pada baris a
yaitu, aneng wetan tengah kori ‘di timur tengah pintu’ unsur pembedanya pada
kata wetan ‘timur’. Pada baris b yaitu aneng kidul tengah kori ‘di selatan tengah
pintu’ unsur pembedanya pada kata kidul ‘selatan’. Pada baris c yaitu, aneng elor
tengah kori ‘di utara tengah pintu’ unsur pembedanya pada kata elor ‘utara’.
Pada baris d yaitu aneng kulon tengah kori ‘di barat tengah pintu’ unsur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 94
digilib.uns.ac.id
makna yang diulang dengan bentuk-bentuk satuan lingual yang berbeda. Implikasi
dari pengulangan makna akan tampak bentuk-bentuk satuan lingual yang berbeda,
tetapi mempunyai makna yang sama. Baik berupa satuan lingual kata dengan kata,
kata dengan frasa, maupun frasa dengan frasa. Hal ini dalam khazanah linguistik
disebut dengan sinonimi yaitu hubungan atau relasi persamaan makna. Bentuk
kebahasaan yang satu memiliki kesamaan makna dengan bentuk kebahasaan yang
lain.
4.1.2.4.1 Sinonim
bersinonim. Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain.
Titik fokus dalam kajian ini bukan terletak pada kajian sinonimi kata yang
makna yang sengaja dihadirkan oleh pembuat mantra untuk memberi intensitas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 95
digilib.uns.ac.id
Hal serupa juga dikatakan oleh Yelle (2003:12) bahwa mantras repeat the
same word, synonyms, or near synonyms, ‘mantra dengan mengulang kata yang
bahwa in considerable number of cases the author tries to explain the sense of
word found in quotation by means of what a modern reader would like to call a
sama. Bagi pembaca modern disebut dengan sinonim’. Titik fokus dalam kajian
ini bukan terletak pada kajian sinonimi kata yang ditemukan, tetapi bertumpu
pada pengulangan makna yang menggunakan bentuk satuan lingual yang berbeda.
Berkaitan dengan ihwal ini, ditawarkan penggunaan istilah repetisi semantik atau
Kata (1) suminggah dan sumingkir ditemukan dalam kidung darmawedha dan
Rinusak dan linebur ditemukan dalam kidung darmawedha yang mempunyai arti
dihancurkan. Selain kata rinusak dan linebur, ditemukan juga kata (3) sirna dan
kalis yang mempunyai arti hilang atau lenyap. Kata (4) mangisor sebagai bentuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 96
digilib.uns.ac.id
ngoko (Ng) dan mangandap sebagai bentuk krama (Kr) yang mempunyai arti ke
bawah atau arah dari bawah ditemukan dalam kidung reksawedha. Selain kata (5)
mangisor dan mangandap, ditemukan juga kata mandhuwur bentuk ngoko (Ng)
lima kata. Sebagaimana yang ditulis Gonda (1988:237) bahwa bentuk sinonim
Apa yang dikemukakan Gonda (1988) dan temuan pada mantra kidung Jawa
makna. Selain repetisi makna yang bersinonim juga ditemukan kata dalam
jangkauan medan leksikal yang sama. Ihwal ini juga secara terbatas ditemukan
dengan medan leksikal. Medan leksikal berkaitan erat dengan relasi inklusi dan
relasi yang bersifat kontigu (relasi berdekatan). Relasi inklusi disebut juga dengan
commit yang
relasi makna yang bersifat hiponimik to usermenunjukkan bahwa arti sebuah
perpustakaan.uns.ac.id 97
digilib.uns.ac.id
leksem termasuk ke dalam atau tercakup ke dalam arti leksem lain yang lebih
luas. Relasi yang bersifat kontigu yaitu sejumlah butir leksikal yang termasuk
kidung Jawa ditemukan pada pola unik sebagaimana di paparkan di atas berikut
Pada contoh di atas titik pangkalnya pada fungsi P yang diisi oleh kata yang
uloningsun ‘sebelah atas’. Keempat kata tersebut berdekatan dalam makna yang
diikat oleh jangkauan medan leksikal yang sama. Singkatnya keempat kata
atau ‘arah yang mengelilingi’ sang pembaca mantra. Hal yang serupa juga
Pengulangan makna pada contoh di atas juga terjadi pada fungsi P yang
menggunakan kata wetan ‘timur’, kidul ‘selatan’, elor ‘utara’, kulon ‘barat’.
4.1.3 Fungsi
Ada enam fungsi kebahasaan yang diungkapkan oleh Jakobson yaitu (1)
fatis (Jakobson, 1960:357). Dari keenam fungsi tersebut yang ditemukan dalam
penelitian ini, yaitu fungsi referensial, fungsi puitik dan fungsi konatif. Fungsi
referensial berfokus pada message (pesan) bahasa karena bahasa adalah sarana
verbal penyampai pesan. Informasi yang sama datang dari (Waugh, 1980:58)
bahwa ia menyatakan fungsi referensial berpangkal pada pesan (message) ‘In the
focus upon the message’. Fungsi konatif berfokus pada mitra tutur dan biasanya
menggunakan bentuk imperatif. Fungsi puitik berfokus pada bentuk bahasa yang
4.1.3.1 Referensial
commit
Referential, “denotative”, “cognitive” to user– is the leading task of numerous
function
perpustakaan.uns.ac.id 99
digilib.uns.ac.id
mengabaikan dan mengecilkan fungsi yang lain’. Fungsi referensial pada mantra
kidung Jawa yaitu sebagai berikut. Fungsi pada 4.1.3.1.1 merupakan fungsi
repetisi dan fungsi pada 4.1.3.1.1 merupakan fungsi mantra kidung Jawa itu
Hal ini diperkuat bahwa satuan lingual yang banyak mengalami pengulangan
yaitu kata ganti orang pertama (-ku) dengan intensitas makna yang kuat. Nama
disandingkan dengan bagian anggota tubuh. Hal ini mempunyai pesan bahwa
mengidentifikasikan diri dengan nama nabi akan memberi sugesti yang kuat bagi
pembaca mantra. Pengulangan yang terus menerus dengan satuan lingual yang
sama akan semakin memperkuat sugesti tersebut. Proses ini disebut tahap
kehidupan sehari-hari. Internalisasi dalam hal ini melalui pemahaman konsep inti
hakikat (kakekat) dan makrifat (ma’rifat). Keempat tahap tersebut dilandasi atas
keyakinan (tauhid) dan kesaksian (syahadat) (lihat kidung japawedha dan periksa
commit to user
Widodo, 2011b).
perpustakaan.uns.ac.id 100
digilib.uns.ac.id
dengan melatih diri untuk mengenali nafsu dalam dirinya supiyah, amarah,
mutmaenah, luamah. Nafsu dalam diri manusia tersebut harus dilatih dengan
menjalani laku asketik (ascetic preparation), seperti, puasa senin dan kamis,
puasa pati geni, puasa mutih, melekan dan lain sebagainya. Inti dari praktik
yang diperkuat dengan repetisi. Hal yang hampir mirip juga diulas oleh Arps
implementasi. Ketiganya dalam satu aksi yang serentak. Dalam hal ini mantra
daya yakin (cogency) bagi pengamal mantra yang bersifat psikologis (bandingkan
Taslim, 2007:197).
merupakan mantra yang diperuntukkan bagi orang biasa atau awam, sebagaimana
commit to user
Kidung Rumeksa Ing Wengi (Arps, 1996a:65). Mantra kidung bukan untuk ritual
perpustakaan.uns.ac.id 101
digilib.uns.ac.id
khusus yang dilakukan secara masal, tetapi lebih bersifat individual. Ia diciptakan
digunakan untuk mengenalkan konsepsi ajaran Islam, khususnya inti ajaran Islam
yaitu Islam tasawuf. Hal ini diperkuat dengan penjajaran bahasa arab dan Jawa
dalam mantra kidung. Hal yang sama juga di alami oleh Headley (2004:332)
sewaktu meneliti mantra Jawa yang ia mengatakan bahwa mantra identik dengan
tradisi tantra durga. Ada usaha untuk mengislamkan mantra (the Islamization of
dengan bahasa Jawa seperti Allahuma lungguh ‘ Ya Allah duduk’ dan Allahuma
opposition under certain determined conditions”, istilah ini diadaptasi oleh Jerzy
Kurylowicz (Hill, 2000:244). Penjajaran bahasa arab dan bahasa Jawa mempunyai
konsepsi pemikiran Jawa. Disini bahasa Arab diartikan sebagai representasi Islam
“ideologi tertentu” (Pra-Islam). Hal ini menandakan bahwa Islam berusaha untuk
kebahasaan. Bentuk penjajaran bahasa Arab dan bahasa Jawa sebagai usaha untuk
dan konsep kebudayaan Jawa (Pra-Islam). Hal ini mengindikasikan bahwa mantra
commit toupaya
kidung Jawa pernah berfungsi sebagai user membangun komunikasi antara
perpustakaan.uns.ac.id 102
digilib.uns.ac.id
Islam dan Pra-Islam melalui penggunaan mantra kidung. Hal ini setidaknya
memperkuat bahwa mantra kidung Jawa pernah berfungsi sebagai usaha untuk
memproduksi sejarah baru dan mengontrol makna melalui bentuk mantra kidung,
Dari penjajaran bahasa Arab dan Jawa tersebut membentuk sebuah sejarah baru
yang bertajuk ‘Agama Islam di Pulau Jawa”, pada masa pertama kali Islam datang
Ajaran yang falsafahnya hampir mirip dengan ajaran Budha dan Syiwa di
pulau Jawa ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
Mereka merasa ajaran Islam sepertinya telah dikenal. Para ahli dengan
mudah dapat menunjukkan kesesuaian antara ajaran yang baru dan lama.
Mistik dalam agama Islam menyerupai ajaran Tantri, ajaran rahasia dan
mistik agama Syiwa. Aspek mistik dalam Islam menjadi daya tarik bagi
orang Jawa hingga sekarang.
Manakala mantra kidung Jawa ditelisik dari kandungan isinya yang banyak berisi
(marabahaya). Hal ini sejalan dengan doktrin siwaisme baik pada masa Jawa
Tengah maupun masa Jawa Timur yaitu penanaman ajaran keselamatan (lihat
commit to user
Rahardjo, 2011:43).
perpustakaan.uns.ac.id 103
digilib.uns.ac.id
Selain itu, dimensi mistik Islam menjadi daya penghubung dan daya tarik,
sarana yang digunakan sebagai penghubung itu yaitu melalui mantra. Mistik
dalam istilah ini bukan dalam artian gaib atau klenik, tetapi dalam artian upaya
kemanunggalan hamba dengan sang khaliq melalui berbagai ritual. Dalam tradisi
sarjana barat digunakan istilah union mystic. Dalam hal ini, melalui sarana mantra
manunggaling kawula Gusti atau mistisisme Islam juga dibawa oleh Wali Sanga
bergerak pada ruang kultural yang ‘kurang Islami’ atau bisa dikatakan secara
berbisik, memercayai rapal mantra berkekuatan magis. Apa yang diutarakan oleh
mantra sebagai benda musyrik yang harus dijauhi dan stereotip buruk yang
disematkan pada mantra. Hal itu dipertegas oleh Abdullah (1997:32) sebagai
berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 104
digilib.uns.ac.id
bila kita (umat Islam) menganggap bahwa lafal yang kita ucapkan itu,
lebih-lebih yang tidak mengandung arti atau yang tidak kita ketahui
artinya [mantra], yang berjasa mendatangkan perubahan-perubahan yang
biasanya bersifat spiritual itu, berarti kita sudah masuk ke dunia mantra
yang tidak lain dunia magis, dunia persihiran. Na’uuzu billahi min zalik.
Sebagian umat Islam yang lain masih mempraktikkan mantra secara diam-diam
artinya dengan beguru secara individu kepada para pinisepuh dan memprakktikan
dan limpading pambudi (waskita) dan lain sebagainya. Hal ini mengandung
maksud bahwa praktik mantra masih menjadi bagian dari Islam. Sebagaimana
atau mantra. Semua buku “doa dan zikir” pasti memuat mantra. Apa yang
Dua fungsi yang paradoks (sinkronik dan diakronik) di sisi lain mantra
pernah berjasa dalam Islamisasi di Jawa, tetapi di sisi yang lain ia juga digunakan
4.1.3.2 Konatif
berikut
Orientation toward the addressee, the conative function finds its purest
grammatical expression in the vocative and imperative, which
syntacticaly, morphologically, and often even phonemically deviate from
other nominal and verbal categories. The imperative sentences cardinally
differ from declarative sentences: the latter are and the former are not
liable to a truth test.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 105
digilib.uns.ac.id
Fungsi konatif mantra kidung Jawa yaitu fungsi yang berfokus pada mitra tutur
dan biasanya menggunakan bentuk kalimat imperatif. Istilah lain mitra tutur yaitu
partisipan atau ”pelibat wacana”. Pelibat wacana menunjuk pada orang yang
berperan dalam wacana, kedudukanya, jenis hubungan perannya, ciri fisik dan
Mitra tutur ada yang tampak biasanya diwakili dengan bentuk orang kedua
(sira atau mu), tetapi ada yang tidak tampak artinya tidak ada bentuk penanda
mitra tutur. Contoh pertama pada kidung warawedha (KW) dan contoh kedua
pada kidung mantrawedha (KM). Pada kidung warawedha disebutkan mitra tutur
secara eksplisit dengan penanda orang kedua sira dan mu. Hal ini menjadi tanda
bahwa kidung warawedha mempunyai mitra tutur yang lebih jelas, kemungkinan
mitra tutur tersebut, yaitu kata yang mengalami pengulangan yang terbanyak
kedua yaitu kata, sarap dan singa. Jadi bentuk pengusiran dalam kata orang ganti
kedua tersebut merujuk pada kata sarap. Hal ini diperkuat dengan contoh 29 dan
30.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 106
digilib.uns.ac.id
kata sira sebagai bentuk kedua merujuk pada kata singa pada contoh 29 di atas,
sedangkan kata sira pada contoh 30 merujuk pada kata sarap. Kata singa disini
mempunyai dua bentuk arti, pertama yang bermakna singa (lion), kelas
binatang, dan kedua yang bermakna “siapa saja yang....”. Kedua arti kata tersebut
mantra.
Pada Kidung Mantrawedha (KM) mitra tutur tidak hadir secara konkret,
tetapi hanya ditemukan penutur mantra yang menggunakan kata ganti orang
pertama tunggal –ku, mami, -ngwang. Hal ini mengindikasikan kalau ada mitra
tutur yang tak tampak. Bentuk imperatif pada kidung warawedha ditemukan
semua’, sedangkan bentuk perintah pada kidung mantrawedha yaitu itu luputa
‘lenyaplah’ dan luput ing ‘lenyaplah dari’. Selain itu, penggunaan bentuk
imperatif terdapat juga pada contoh (19) dan (20) menguatkan bahwa
yaitu, (1) tindakan yang harus dilakukan sendiri oleh pendengar, (2) tindakan
commit to user
yang harus dilakukan pendengar bersama pembicara, (3) tindakan yang harus
perpustakaan.uns.ac.id 107
digilib.uns.ac.id
penggunaan kalimat imperatif pada contoh (19) dan (20) di atas reaksi nonverbal
lebih mengacu pada tindakan yang harus dilakukan sendiri oleh pendengar.
Dengan kata lain, mitra-tutur dalam kalimat imperatif tersebut mempunyai tugas
4.1.3.3 Puitik
Fungsi puitik mantra kidung yaitu mantra kidung fokus pada faktor
keindahan hal ini setidaknya ditemukan dalam penggunaan kata saroja dan
aliterasi. Secara implisit mantra kidung menggabungkan dua hal pokok yaitu
kekuatan dan keindahan. Keindahan melalui kata saroja dan aliterasi mempunyai
fungsi mengintensifkan makna yang sama dengan ritmis dan indah melalui
pengulangan kata (saroja) atau pengulangan konsonan. Selain itu, kata saroja
(mengulang satuan lingual yang sama) sehingga pengulangan makna tetap bekerja
Kata saroja berarti dua buah kata yang maknanya sama atau hampir sama
sifat yang hampir sama yang dimiliki oleh seseorang, dan kemerduan bunyi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 108
digilib.uns.ac.id
mantra kidung. Dengan kata lain, kata saroja lebih pada poetic function. Hal ini
memang tampak dari keselarasan bunyi rima yang ditimbulkan, misalnya, data (2)
bubar ambyar ‘hancur berantakan’, (3) rampas tatas atapis. Rima bunyi akhir
yang indah secara ritmis dan harmonis didayagunakan yang semuanya berakhir
Data (2) tergolong dalam bunyi homorgan, bunyi yang dihasilkan melalui
organ pengucapan yang sama, yaitu didominasi oleh bunyi konsonan bilabial (/b/,
/p/, /m/) dalam bubar ambyar [b-b-r] [-mby-r], sedangkan data (3) rampas tatas
atapis [r-m-p-s] [t-t-s] [-t-p-s] banyak di dominasi bunyi konsonan apiko dental /t/
4.1.3.3.2 Aliterasi
Adalah konsonan yang beruntun pada dua atau lebih kata yang berurutan (runtun
konsonan). Selain aliterasi ada asonansi lebih akrab disebut dengan purwakanti
swara, yaitu bunyi vokal yang beruntun pada dua atau lebih kata yang berurutan
(runtun vokal). Dalam penelitian ini dipaparkan aliterasi yang terdapat pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 109
digilib.uns.ac.id
pengulangan bunyi konsonan pada tembang di atas akan tampak sebagai berikut
Aliterasi pada kerangka konsonan di atas nampak jelas pada baris (1) dan (2): [s-
baris (3) dan (4): [s--] [-m-] [s--] [w-l-] // [s--] [s-k-] [s--] [s-r-h]. Bunyi
dilisankan atau dilantunkan teks tembang yang penuh aliterasi (purwakanthi) akan
Dari pemaparan fungsi di atas dapat ditarik simpulan bahwa terdapat dua
mempunyai fungsi tuntutan kepraktisan teks tembang. Dalam artian bahwa untuk
memenuhi jumlah suku kata dalam tembang ada satuan lingual yang diulang agar
commit
tembang tersebut dapat dilantunkan to user
dengan irama yang selaras. Fungsi ideologis
perpustakaan.uns.ac.id 110
digilib.uns.ac.id
tersebut dipicu dan disentak melalui pengulangan lingual dalam setiap lapis yaitu
lapis gramatikal, leksikal, semantik, dan secara serentak berulang di setiap lapis.
(teks), keyakinan tersebut mengantarkan pada kekuatan adi kodrati. Pada akhirnya
yang dapat mengoneksikan dengan hal-hal yang transendental. Hal ini seturut
dengan arti mantra yang sesungguhnya yaitu berputar atau berotasi, putaran
(kundalini). Bermula dari repetisi lah effek magis mantra dapat dibangkitkan hal
itu selaras dengan pendapat Malinowski (dalam Tambiah, 1968: 186) the correct
4.2 Pembahasan
Dari pemaparan repetisi dan fungsi dalam mantra kidung Jawa dibahas
dipaparkan oleh Keraf (1994), Ratna (2009), dan Sumarlam (2010) membahas
repetisi atas dasar tata letak (posisi) pada awal, tengah, akhir, dan formasi
menambahkan satu jenis repetisi (2010: 60) yaitu repetisi utuh atau penuh yaitu
pengulangan satuan lingual secara utuh atau secara penuh. Satuan lingual yang
diulang ini dapat berupa satu baris atau satu kalimat secara utuh, atau bahkan satu
repetisi yang terjadi pada kidung Jawa yaitu kidung Sri Tanjung. Di dalam itu ia
mendasar pada letak (posisi) dan formasi penggabungan pada sebuah tuturan.
dan allo-repetition terjadi dan dialami oleh penutur dan mitra tutur dalam
linguistik dengan berbagai objek berbeda yaitu Fox (1971) keparelalan semantik
dalam bahasa ritual di pulau Roti, Arps (1992) mengkaji tembang di Yogyakarta
bahwa Jakobson kadangkala gagal untuk melihat makna puitik (poetic meaning).
Hal ini juga ditemui pada analisis repetisi semantik, puitika Jakobson tidak
memberi ancangan teoretis yang baku dan matang, maka tidak berlebihan
Hasil penelitian ini menemukan empat bentuk repetisi yang terjadi pada
mantra kidung Jawa yaitu repetisi gramatikal (pola sintaksis yang sama), repetisi
leksikal (pengulangan pola leksikal yang sama), repetisi unik (pengulangan multi-
lapis baik gramatikal, leksikal, semantik secara serentak) dan repetisi semantik
(pengulangan makna). Terkait dengan fungsi yaitu fungsi referensial, konatif, dan
puitis. Fungsi kebahasaan disini mengemban dua amanat penting yaitu fungsi
kepraktisan dan ideologis yang diemban. Fungsi praktis mantra untuk memenuhi
berkaitan dengan retorika, tetapi juga bertalian dengan etnopuitika yaitu studi
ilmu yang membuhulsimpulkan antara disiplin ilmu linguistik, sastra lisan, dan
dilihat sebagai sastra lisan karena ia hasil dari pelantunan seni tembang yang telah
menjadi teks, sedangkan titik singgung dengan anthropologi bahwa mantra kidung
Jawa tidak bisa tuntas dikaji dari aspek linguistiknya saja, tanpa melibatkan
repetisi gramatikal, leksikal, semantik sebagai acuan untuk mengkaji repetisi pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 114
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 114
digilib.uns.ac.id
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
sebagai berikut.
adanya kata takbermakna, kata tabu, dan penjajaran bahasa Arab dan
Jawa.
yang dominan ada tiga yang menggunakan pola sintaksis yang sama,
yaitu (1), S (F. Pron. Pos) + P (FN/N), (2) S (FN/N) + P (V. Impr), (3)
posesif, (2) verba imperatif, (3) nomina dan frasa nomina. Repetisi
dan (2) medan leksikal. Repetisi unik yaitu pengulangan yang terjadi
referensial, konatif dan puitik. Fungsi referensial yaitu ada dua (1)
kidung Jawa yaitu, (2) sebagai media dakwah Islam. Hal ini lebih pada
puitik yaitu adanya kata saroja dan aliterasi. Adanya dua perangkat
pada dua yaitu lapis kekuatan dan keindahan. Kekuatan dalam arti
5.2 Saran
Dari hasil penelitian ini secara umum dan secara khusus menyarankan
mengkaji fenomena teks verbal yang puitis, tetapi akan lebih baik
daya magis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 117
digilib.uns.ac.id
2. Unsur bunyi dan kata efektif yang terdapat dalam mantra kidung Jawa
juga patut untuk dieksplorasi lebih mendalam, karena bunyi dan kata
3. Kandungan isi dan daya magis serta ajaran-ajaran dalam setiap mantra
4. Teks mantra kidung Jawa juga dapat didekati melalui unsur kesastraan
commit to user