Materi Gabungan 1 SD 5 SMN 1303
Materi Gabungan 1 SD 5 SMN 1303
MATERI GABUNGAN KULIAH KE-1 S.D. KE-5 (SMN 1303 A1 & A2)
OPERASIONAL PENGHIMPUNAN DANA BANK SYARIAH
GIRO DAN TABUNGAN WADI’AH S.D PENYALURAN DANA
PEMBIAYAAN JUAL BELI
B. Jenis Wadi’ah :
2. Biasanya barang yang disimpan di dalam SDB adalah barang yang bernilai
tinggi dimana pemiliknya merasa tidak aman untuk menyimpannya di
rumah. Pada umumnya biaya asuransi barang yang disimpan di SDB bank
relatif lebih murah.
3. Keuntungan
a. Aman. Ruang penyimpanan yang kokoh dilengkapi dengan sistem
keamanan terus menerus selama 24 jam. Untuk membukanya
diperlukan kunci dari penyewa dan kunci dari bank.
b. Fleksibel. Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai dengan kebutuhan
penyewa baik bagi penyewa perorangan maupun badan usaha.
c. Mudah. Persyaratan sewa cukup dengan membuka tabungan atau giro
wadiah (ada bank yang tidak mensyaratkan hal tersebut, namun
mengenakan tarif yang berbeda).
b) Wadi’ah Yad-Dhamanah
Dari Prinsip Wadiah Yad Al-amanah kemudian berkembang ke prinsip
Wadi’ah Yad Dhamanah, berarti bahwa bank syarian sebagai penyimpan
bertanggungjawab atas sgala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada
barang/asset yang dititipkan.
Wadi’ah Yad-Dhamanah adalah akad transaksi antara dua pihak,
dimana pihak kesatu sebagai pihak yang menitipkan barang/aset (Nasabah
penitip) dan pihak lain (Bank Syariah) sebagai pihak yang menerima barang
titipan. Dalam akad ini pihak bank daat memanfaatkan barang yang
dititipkan. Penerima titipan wajib mengembalikan barang yang dititipkan
dalam keadaan utuh. Penerima titipan diperbolehkan memberikan imbalan
dalam bentuk bonus yang tidak diperjanjikan sebelumnya, akan tetapi
besarannya tergantung pada kebijakan bank syariah
Bila Bank Syari’ah memperoleh keuntungan, maka bank akan memberikan
bonus kepada nasabah penitip.
Penyimban boleh mencampuri asset penitip dengan asset penyimpan atau
asset penitip yang lain, kemudian digunakan untuk tujiuan produktif mencari
keuntungan (profit). Pihak penyimpan berhak atas keuntungan yang
diperoleh dari pemanfaatan aset titipan dan bertanggungjawab penuh atas
ririko kerugian yang mungkin timbul.
Produk yang Cocok untuk Wadi’ah Yad-Dhamanah adalah Giro dan Tabungan
Wadi’ah.
1. Tabungan Al-Wadi’ah
Prinsip Wadi’ah Yad-Dhamanah juga dipergunakan oleh bank dalam
mengelola jasa tabungan simanan masyarakat, yaitu simpanan dari
nasabah penyimpan yang memerlukan jasa penitipan dana dengan
tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Pemilik
simpanan dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya
sewaktu-waktu sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
Semua keuntungan atas pemanfaatan dana menjadi hak pemilik bank,
tetapi atas kehendaknya sendiri bank dapat memberikan imbalan
keuntungan yang berasal dari keuntungan bank kepada nasabah penitip.
Untuk administratifnya bank syari’ah menyediakan buku tabungan dan
jasa-jasa yang terkait dengan rekening tabungan tersebut.
3. Tipe Rekening
a. Rekening Perorangan
b. Rekening Bersama (dua orang atau lebih)
c. Rekening Organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum
d. Rekening Perwakilan (yang dioperasikan oleh dua orang tua/wali dari
pemegang rekening
Penyelesaian :
Bonus yang diterima Tuan Dadang pada akhir bulan Mei 2019 adalah
=
Rp 1.000.000,00 x Rp 20.000.000,00 x 30 % = Rp 12.000,00
Rp 500.000.000,00
Jadi besarnya Bonus sebesar Rp 12.000,00. Besarnya bonus tersebut
belum dikurangi pajak sesuai ketentuan yang berlaku
Ketentuan Umum produk ini adalah :
- Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik
atau ditanggung bank syari’ah, sedang pemilik dana tidak
dijanjikan imbalan/bonus dan tidak menanggung kerugian Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai
suatu insentif untuk menarik dana masyarakat, namun tidak boleh
diperjanjikan di muka.
- Bank syari’ah harus membuat akad pembukaan rekening yang
isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan
persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro dapat
memberikan buku cek, bilyet giro dan Debit Card.
- Terhadap pembukaan rekening ini, bank syariah dapat
mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar
menutupi biaya yang benar-benar terjadi. Namun ada bank yang
benar-benar tidak mengenakan biaya administrasi apapun atas
produk Giro/Tabungan Wadi’ah Yad-dhamanah ini.
- Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro
dan tabukan wadi’ah tetap berlaku selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
Mudharabah.
Pengertian Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau
berjalan, pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses
seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha, artinya berjalan di bumi
ini untuk mencari karunia dari Allah SWT, yaitu rezeki yang halal dan thayib atas
perintah Allah SWT.
Mudharabah adalah salah satu bentuk akad kerjasama antara pemilik modal
dengan seorang pakar/profesional dalam berdagang/berusaha. Di dalam Fiqh Islam
disebut dengan Mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan qirad yang
berarti al-qat’ (potongan). Pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan/diusahakan dan memperoleh keuntungan dari harta tersebut.
Maksudnya akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak)
mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk
diperdagangkan/diusahakan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.
Mudharabah berasal dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al-ardh, yaitu
bepergian untuk urusan dagang. Abdurrahman al-jazari mengatakan Mudharabah
menurut bahasa berarti ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain
sebagai modal usaha dimana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara mereka
berdua dan apabila usahanya rugi ditanggung oleh pemilik modal.
Menurut istilah syara’ : Mudharabah merupakan akad antara dua pihak untuk
bekerjasama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana
kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi
diantara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Rukun Mudharabah
1) Adanya 2 pihak yang berakad (Mudharib dan Shahibul Maal/Pemilik Dana dan
Pengelola dana/Mudharib), keduanya hendaknya orang yang berakal dan
sudah baligh (berumur 21 tahun) dan bukan orang yang dipaksa dan
keduanya mempunyai kemampuan untuk diwakili dan mewakili.
2) Materi yang dialihkan/objek terdiri dari atas modal (maal), usaha (berdagang
dan lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan/usaha tersebut)
3) Sighat, yaitu serah/ungkapan penyerahan modal dari pemilik modal (ijab) dan
terima/ungkapan terima modal dan persetujuan mengelola modal dari
pemilik modal (qabul).
Tabungan Mudharabah
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008,
perihal produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syari’ah dijelaskan Tabungan
Mudharabah sebagai berikut :
Definisi Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan
cek/bilyet giro dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Akad Mudharabah
Transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola
dana (Mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah,
dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang disepakati sebelumnya.
Akad Mudharabah
Transaksi penanaman dana dari pemilik modal (Shahibul Maal) kepada
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai
syari’ah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan
nisbah yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Demikian materi minggu ke-2 ini, segaja disampaikan kepada saudara pengulangan
materi minggu lalu agar saudara bisa menyimak dan menjadi lebih paham. Dengan
demikian saudara akan dapat membedakan antara produk dan prinsip simpanan
masyarakat mana yang tabbaru/tolong menolong dan transaksi usaha/tijarah.
Salah satu skim fikih yang paling popular digunakan oleh perbankan syari’ah adalah
jual-beli murabahah. Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya.
Akad Murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan
barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual
menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.
Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pembiayaan. Namun demikian, bentuk jual beli ini kemudian
digunakan oleh perbankan syari’ah dengan menambah beberapa konsep lain, sehingga
menjadi bentuk pembiayaan. Akan tetapi, validitas transaksi seperti ini tergantung beberapa
syarat yang benar-benar harus diperhatikan agar trasnsaksi tersebut diterima secara
syari’ah.
Boleh dikatakan bahwa akad yang terjadi dalam murabahah ini merupakan salah
satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ini ditentukan berapa
required rate of profit-nya, atau keuntungan yang diharapkan akan diperoleh dari transaksi
ini. Dalam teknis yang ada di perbankan syari’ah, murabahah merupakan akad jual dan beli
yang terjadi antara pihak bank syari’ah selaku penyedia barang yang menjual dengan
nasabah yang memesan dalam rangka pembelian barang itu.
Keuntungan yang diperoleh dari pihak bank syari’ah dalam transaksi ini merupakan
keuntungan jual beli yang telah disepakati secara bersama.
Rukun dan syarat yang ada dan berlaku di dalam transaksi murabahah ini merupkan
rukun dan syarat yang sama dengan yang ada di dalam fikih. Adapun syarat-syarat yang lain
seperti barang, harga, serta cara pembayaran yang bersangkutan adalah sesuai dengan
kebijakan yang diambil oleh bank tersebut. Harga jual bank Islam merupakan harga beli dari
para pemasok ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati. Dengan begitu pihak
nasabah mengetahui besarnya keuntungan yang diambil oleh pihak bank Islam.
Dalam pembiayaan murabahah ini, bank syari’ah bertindak sebagai pemilik dana
membelikan barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah yang
membutuhkan pembiayaan, kemudian menjualnya ke nasabah tersebut dengan
penambahan keuntungan tetap. Sementara itu, nasabah akan mengembalikan utangnya
dikemudian hari secara tunai maupun cicil.
Produk dengan skim murabahah merupakan produk yang paling populer dan banyak
digunakan oleh perbankan Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Beberapa alasan
yang mendasarinya adalah:
b. Mark-up dalam murabahah ditetapkan sedemikian rupa yang memastikan bahwa bank
Islam akan dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan
berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam.
Karakteristik Murabahah
Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual, sedangkan harga beli
harus diberitahukan. Jika bank mendapat potongan dari pemasok maka potongan itu
merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut menjadi setelah akad.pembagian
potongan tersebut dilakukan berdasarkan yang dimuat dalam akad maka:
a.Bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan atas piutang murabahah,antara lain
dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank,
b.Bank dapat meminta kepada nasabah urbun sebagai uang muka pembelian pada saat akad
apabila kedua belah pihak bersepakat.
1. Rukun Murabahah
Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa yaitu:
a.Pelaku akad yaitu ba‟i (penjual) adalah pihak yang memiliki barang untukdijual, dan
musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli barang.
2. Syarat Murabahah
Syarat jual beli adalah sesuai dengan rukun jual beli yaitu:
a.Berakal. Oleh karena itu, jual beli yang dilakukan anak kecil dan orang gila hukumnya
tidak sah. Menurut Jumhur ulama bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu
harus telah baligh dan berakal.
2.2. Syarat yang berkaitan dengan ijab kabulMenurut para ulama fiqh, syarat ijab dan kabul
adalah:
a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b. Qabul sesuai dengan ijab.
c. Ijab dankabul itu dilakukan dalam satu majelis.
2.4. Syarat pokok murabahah menurut Usmani (1999), antara lain sebagai berikut.
a. Murabahah merupakan salah satu bentuk jual ketika penjual secara eksplisit
menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya dan menjual kepada orang
lain dengan menambahkan tingkat keuntungan yang diinginkan.
b. Tingkat keuntungan dalam murabahah dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan
bersama dalam bentuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya.
c. Semua biaya yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh barang, seperti
biaya pengiriman, pajak, dan sebagainya dimasukkan ke dalam biaya perolehan
untuk menentukan harga agregat dan margin keuntungan didasarkan pada agregat
ini. Akan tetapi, pengeluaran yang timbul karena usaha, seperti gaji pegawai, sewa
tempat usaha, dan sebagainya tidak dimasukkan ke dalam harga suatu transaksi.
Margin keuntungan yang diminta itulah yang meng-cover pengeluaran-pengeluaran
tersebut.
d.Murabahah dikatakan syah hanya ketika biaya-biaya perolehan barang dapat
ditentukan secara pasti. Jika biaya-biayatidak dapat dipastikan, barang/komoditas
tersebut tidak dapat dijual dengan prinsip murabahah.
Contoh (1) :
A membeli sepsang sepatu seharga Rp. 100.000,. A ingin menjual sepatu tersebut secara
murabahah dengan margin 10 persen. Harga sepatu dapat ditentukan secara pasti sehingga
jual beli murabahah tersebut sah.
Contoh (2) : A membeli jas dan sepatu dalam satu paket dengan harga Rp. 500.000,. A dapat
menjual paket jas dan sepatu dengan prinsip murabahah. Akan tetapi, A tidak dapat menjual
sepatu secara terpisah dengan prinsip murabahah karena harga sepatu secara terpisah tidak
diketahui dengan pasti. A dapat menjual sepatu secara terpisah dengan harga lumpsum
tanpa berdasar pada harga perolehan dan margin keuntungan yang diinginkan.
QS. Al-Baqarah:275. “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Riba itu ada dua macam: nashiah dan fadhl. Riba Nashiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang
dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang
menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. Maksudnya:
orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu
kesatuan.
2. Al-Hadits H.R. Al Baihaqi, Ibnu Majah, dan shahih menurut Ibnu Hiban.ٍ(ضا َ َز ْت َنءُعْ َيبْالاَم َِّوإ
)رواي البيهقى
b.Muqaradhah (mudharabah)
c.Mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual’’. (H.R. Ibnu Majah)
Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para nabi,
shaddiqin, dan syuhada”.
Dasar hukum pembiayaan berdasarkan akad murabahah, antara lain Pasal 19 ayat
(1) huruf d dan ayat (2) huruf d serta Pasal 21 huruf b angka 2 UU Perbankan Syariah,
Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah, No. 10/DSN-MUI/IV/2000
tentang wakalah, No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang uang muka dalam murabahah,
No.16/DSN-MUI/IX/2000 tentang diskon dalam murabahah, No. 23/DSN-MUI/III/2002
tentang pelunasan dalam murabahah, No.46/DSN-MUI/II/2005 tentang potongan
tagihan murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah), No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang
penyelesaian piutang murabahah bagi nasabah tidak mampu membayar, No. 48/DSN-
MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali tagihan murabahah, dan fatwa DSN No.
49/DSN-MUI/II/2005 tentang konversi akad murabahah.
1.Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas dengan riba.
4.Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.
5.Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.
6.Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual
senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitau secara
jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7.Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada waktu jangka
waktu tertentu yang telah disepakati.
8.Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9.Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, milik bank.
1.Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset
kepada bank.
2.Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang
dipesannya secara sah dengan pedagang.
3.Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima
(membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum
perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual
beli.
4.Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5.Jika nasabah kemudian menolakmembeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar
dari uang muka tersebut.
6.Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditangung oleh bank, bank dapat
meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7.Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka.Jika
nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga
b.Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar
kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka
tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Secara teknis yang dimaksud dengan margin keuntungan adalah persentase tertentu
yang ditetapkan per tahun perhitungan margin keuntungan secara harian, maka jumlah hari
dalam setahun ditetapkan 360 hari; perhitungan margin keuntungan secara bulanan, maka
setahun ditetapkan 12 bulan.
d.Acquiring Cost
Yang dimaksud dengan Acquiring Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank
yang langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga.
e.Overhead Cost
Yang dimaksud dengan Overhead Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank
yang tidak langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga.
Angsuran harga jual terdiri dari angsuran harga beli/harga pokok dan angsuran
margin keuntungan. Pengakuan angsuran dapat dihitung dengan menggunakan empat
metode, yaitu:
e.Pola tagihan atau jatuh tempo tagihan (baik harga pokok maupun margin keuntungan)
Contoh :
CV Khaibar melakukan negosiasi pada 1 April 20xx dengan Bank Az-zahra Syariah untuk
memperoleh fasilitas Pembiayaan Murabahah dengan pesanan untuk pembelian Mobil
kantor dengan rincian sebagai berikut:
Harga Mobil: Rp 150 juta
Biaya administrasi: 1 % dari pembiayaan oleh bank, biasanya dibayar dimuka setelah
proses penilaian pembiayaan dilakukan atau sebelum cicilan/angsuran dimulai.
Misalkan data murabahah dengan kasus di atas, di mana Jumlah Piutang Rp 177 juta, Uang
Muka Rp 15 juta, Jangka waktu 24 bulan maka angsuran per bulan dapat dihitung:
= Rp 6.750.000
Pendapatan margin =
= 15,25 %
- Risiko Pembiayaan (Financing Risk) yaitu Risiko yang disebabkan oleh nasabah
wanprestasi atau default,
- Risiko Pasar yaitu Risiko yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika pembiayaan
atas dasar akad murabahah diberikan dalam valuta asing.
Istilah syar’i di negara ini berkembang pesat, khususnya yang berkaitan dengan dunia
bisnis. Ini sejalan dengan perkembangan bisnis perbankan dan lembaga-lembaga keuangan
syari’ah. Istilah-istilah syar’i ini sebelumnya sangat jarang terdengar di telinga masyarakat
umum. Diantara istilah itu adalah bai’us salam (jual beli dengan cara inden atau pesan).
Bagi masyarakat umum, istilah bai’us salam terhitung istilah baru. Sehingga tidak
mengherankan kalau kemudian banyak yang mempertanyakan maksud dan praktik
sebenarnya dalam Islam.
Kata salam berasal dari kata at-taslîm ()ال َّتسْ لِيْم. Kata ini semakna dengan as-salaf (
)ال َّسلَفyang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian hari.
Pengertian ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
(Kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang
telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.[al-Hâqqah/69:24]
Menurut para Ulama, definisi bai’us salam yaitu jual beli barang yang disifati (dengan
kriteria tertentu/spek tertentu) dalam tanggungan (penjual) dengan pembayaran kontan
dimajlis akad.[2]
Dengan istilah lain, bai’us salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang
telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad berlangsung.
Dengan demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila dibandingkan dengan
jenis jual beli lainnya, diantaranya:
1. Pembayaran dilakukan didepan (kontan di tempat akad), oleh karena itu jual beli ini
dinamakan juga as-salaf.
2. Serah terima barang ditunda sampai waktu yang telah ditentukan dalam majlis akad
Para ulama sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan
ungkapan, “Zaid seorang menyerahkan seribu dinar kepada Ali supaya Ali menyerahkan lima
ton beras kepadanya.”
Pembeli, yaitu Zaid dinamakan al-muslim atau al-muslif atau Rabbus Salam. Sedangkan
penjual yaitu Ali dinamakan al-muslam Ilaihi atau al-muslaf Ilaihi. Sementara pembayaran
kontan yaitu seribu dinar dinamakan ra’su mâlis salam (Modal Salam) dan barang yang
dipesan yaitu beras dinamakan al-muslam fihi atau Dainus Salam (hutang salam).
HUKUM BAI’US SALAM (JUAL BELI SISTEM PESAN)
Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan dalil-dalil dari
al-Qur`ân dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-
qiyâsush shahîh).
a. Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla berfirman :
Sahabat yang mulia Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu menjadikan ayat ini
sebagai landasan membolehkan jual beli sistem pesan ini. Beliau Radhiyallahu anhu
mengatakan, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-salam) yang terjamin hingga
tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-
Qur’ân. (Kemudian beliau membaca firman Allâh Azza wa Jalla artinya) : “Hai orang-
orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya”.
(Hadits ini dishahihkan al-Albâni t dalam kitab Irwâ’ul Ghalîl, no. 340 dan beliau t
mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan imam asy-Syâfi’i t no. 1314, al-Hâkim, 2/286 dan
al-Baihaqi 6/18).
Firman Allâh Azza wa Jalla di atas, yang artinya, “apabila kamu bermu’amalah tidak
dengan secara tunai,” bersifat umum, artinya meliputi semua yang tidak tunai, baik
pembayaran maupun penyerahan barang. Apabila yang tidak tunai adalah
penyerahan barang maka itu dinamakan bai’us salam.
ِف فِى ْ ف فِى َت ْم ٍر َف ْليُسْ ل َ َ َمنْ أَسْ ل: ْن َف َقا َل
ِ ار ال َّس َن َة َوال َّس َن َتي ِّ َ ُصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َمدِي َن َة َو ُه ْم يُسْ لِف
ِ ون فِى الث َم َ َُّق ِد َم ال َّن ِبى
ُ َ ُ ُ
ٍ وم إِلَى أ َج ٍل َمعْ ل
وم ٍ وم َو َو ْز ٍن َمعْ ل
ٍ َكي ٍْل َمعْ ل
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah
telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka
hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang jelas (diketahui
oleh kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]
c. Para Ulama telah berijmâ’ (berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam ini,
seperti diungkapkan Ibnu al-Mundzir t dalam al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah
menguatkan penukilan ijma’ ini. Beliau menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal
sepakat menyatakan as-salam itu boleh.”
d. Kebolehan akad jual beli salam (pemesanan) ini juga sesuai dengan analogi akal dan
kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu-
menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan jual beli ini boleh. Karena
kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang
yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran tunai
sementara pembeli beruntung karena bisa mendapatkan barang dengan harga lebih
murah dari umumnya. Jadi, manfaatnya kembali ke kedua pihak.”
Oleh karena itu, syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu- mengatakan,
“Pembolehan mua’amalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan
kemurahan syariat Islâm. Karena mu’amalah ini berisi hal-hal yang bisa memberikan
kemudahan dan mewujudkan kebaikan bagi manusia, disamping juga bebas dari riba
dan seluruh larangan Allâh.
Bila melihat praktik jual beli salam di atas, kita dapati kemaslahatan atau keuntungan
akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Penjual memperoleh kemaslahtan dan
keuntungan berupa :
1. Jaminan mendapatkan barang (al-muslam fihi) sesuai dengan kebutuhan dan tepat
waktu.
2. Mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga lebih murah bila
dibandingkan membeli saat membutuhkan barang itu, karena :
a. Pembeli telah memberikan uang cash dalam tempo salam (pemesanan)
tersebut, padahal bisa saja ia memanfaatkan uang tunai ini untuk keperluan
lain. Sehingga pantas bila pembeli mendapatkan harga lebih murah.
b. Pembeli komitmen membeli produk tertentu padahal itu berisiko. Sebab bisa
saja, ketika barang diserahkan ternyata harga di pasar lebih murah karena
stok barang banyak atau permintaan kurang.
c. Terkadang, pembeli terpaksa harus mencari kesempatan untuk memasarkan
barang yang telah dipesan itu, jika dia membelinya bukan untuk kebutuhan
pribadinya saja.
Dengan ini nampak jelas bahwa jual beli salam merupakan sarana efektif untuk
menyatukan dua unsur penting produksi yaitu harta dan aktifitas produksi dengan
metode yang diterima semua pihak terkait dalam pembagian hasil.
Namun perlu diwaspadai perilaku buruk sebagian pemilik modal yang memancing
ikan di air keruh, ketika para petani atau pengusaha industri sangat membutuhkan
modal cepat. Dalam kondisi sepert ini, terkadang sebagian pemilik modal
“memanfaatkan” jual beli salam sebagai sarana menekan harga barang hingga
sangat terpuruk. Seandaianya bukan karena kebutuhan mendesak, tentu mereka
menolak tawaran modal tersebut. Ini tidak bisa dibenarkan dan terlarang karena
masuk dalam kategori bai’ul mudhthar (jual beli dalam keadaan terpaksa).
Disamping rukun, untuk keabsahan jual beli salam, para Ulama menetapkan
syarat-syarat sah.
Secara garis besar, para Ulama menggolongkan syarat-syarat ini menjadi dua
yaitu :
1. Syarat umum jual beli dan ini pernah dimuat dalam majalah Assunnah edisi
09/Thn XIII/Dzulhijjah 1431/Desember 2009M
2. Syarat khusus pada jual beli salam ada enam yaitu :
1) Jual beli ini pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu
dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang
dipesan adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas,
seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan kriteria
ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah
pihak dan menghindarkan sengketa. Dalam memberikan kriteria masuk dalam
syarat ini perlu diperhatikan bahwa masalah kriteria ini akan berbeda dari
zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang disampaikan para Ulama ahli
fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak bisa diberikan kreteria
jelas itu pasti benar, sebab dengan perkembangan teknologi dan
pengetahuan muncul alat yang dapat mendeteksi criteria dengan jelas
sehingga dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang disepakati ketika akad.
Contoh ; Apabila Ali hendak memesan beras kepada Budi, maka Ali wajib
menyebutkan jenis beras yang diinginkan (misalnya Beras Rojolela), asal
barangnya, kualitas dan kuantitasnya, perkarung diisi berapa kilogram
serta produk tahun kapan.
Kriteria-kriteria ini pasti berpengaruh pada harga. Karena harga beras akan
berbeda sesuai dengan perbedaan jenis, kualitas, asal daerah dan tahun
panennya. Perhatikanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits
di atas :
َ َ َمن أَسْ ل
ٍ ُوم إلى أ َج ٍل َمعْ ل
وم ٍ ُوم َو َو ْز ٍن َمعْ ل
ٍ ُف في َشيْ ٍء َففِي َكي ٍْل َمعْ ل
4) Jual beli salam harus ditentukan dengan jelas tempo penyerahan barang
pesanan
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan
tentang tempo penyerahan barang pesanan, berdasarkan sabda Rasûlullâh
َ
ٍ ُإلى أ َج ٍل َمعْ ل
وم
sampai tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]
5) Barang pesanan sudah tersedia di pasar saat jatuh tempo agar dapat
diserahkan pada waktunya
Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat
jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek
tipu-menipu dan spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam
syari’at Islam.
Seandainya barang pesanan dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka
jual beli salam tidak sah. Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian
syarat ini juga akan sangat berpotensi memancing percekcokan dan
perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan
menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.
6) Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab
penjual, bukan dalam bentuk satu barang yang telah ditentukan dan
terbatas.
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan
pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki
kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan
ukuran atau jumlah yang diinginkan pembeli.
Penjual bisa mendatangkan barang miliknya yang telah tersedia atau
membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini ditetapkan agar akad salam terhindar dari unsur gharar
(penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, karena faktor tertentu,
penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya atau dari
perusahaannya.
Contoh :
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil
tertentu misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah
ditentukan seperti ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam.
Karena keabsahan akad jual belinya sangat tergantung pada barang yang
telah ditentukan itu. Ini sangat berbeda dengan jual beli salam yang
hanya menentukan barang dengan criteria-kriteria tertentu, sehingga si
penjual bebas mencarikan harus berupa pesanan yang diserahkan
setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan barang terbatas ini karena
barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo penyerahan
sehingga jadilah gharar.
Tidak boleh juga dalam jual beli salam ini membatasinya dengan
menyatakan produk si fulan saja atau dari kebunnya fulan saja. Kecuali
bila produk perusahaan besar yang memiliki karakteristik tertentu.
Seperti membeli mobel mercy seri 200 model tahun 1994 misalnya, ini
diperbolehkan karena tidak dimiliki perusahaan selainnya.
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli salam, semoga
dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam masalah ini.
Contoh Kasus
Seorang petani yang memiliki 1 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank
syari’ah sebesar Rp 3.000.000,00 dengan akad jual-beli As-Salam. Penghasilan yang
didapat dari sawah biasanya berjumlah 2 ton dan kedelai dijual dengan harga Rp
2.000,00 per kg. Ia akan menyerahkan kedelai 3 bulan lagi.
Kemudian pengepul atau agen sembako menjual kedelai tersebut ke pasar dengan
harga Rp 3.000,00 / kg, sehingga mendapatkan keuntungan Rp 600,00 perkilo
kedelai (Rp 3-000.00 – Rp 2.400.00)
Dalam lembaga keuangan syari’ah, istilah Istishna’ acap kali digunakan. Lalu apakah yang
dimaksud dengan istishna’ ? Istishna’ adalah akad pemesanan suatu barang dari pihak 1
(pemesan) ke pihak 2 (produsen). Adapun dalam Istishna’, pemesan memiliki kriteria sendiri
untuk dibuatkan barang tersebut oleh produsen. Singkat kata, produsen harus membuatkan
barang pesanan sesuai dengan keinginan pemesan.
Akad Istishna’ sudah dikenal sejak dahulu kala di zaman Rasulullah, Nabi Muhammad SAW.
Di salah satu riwayatnya, Rasulullah diceritakan memesan cincin dari perak. Bentuk
pemesanan barang tersebut masuk ke dalam akad istishna’. Lalu, akad ini pun di zaman-
zaman selanjutnya disepakati oleh ulama sebagai salah satu akad perdagangan yang sesuai
dengan syariat Islam.
Pada dasarnya akad istishna’ adalah kegiatan pemesanan suatu produk kepada produsen
produk tersebut. Kalau didengar sekilas, mungkin Anda akan membayangkan istishna’
berlaku untuk barang kerajinan saja, namun sebenarnya banyak juga transaksi akad
Istishna’ yang ada tanpa disadari.
Rumah.
Rumah apabila dipesan sesuai dengan keinginan Anda, termasuk dalam akad
istishna’. Misalnya, ingin rumah dengan 3 kamar, desainnya minimalis, dan ada
kolam renangnya. Untuk memenuhi keinginan ini, Anda bisa memesan rumah KPR di
perbankan syariah yang menyediakan fasilitas tersebut.
Pakaian.
Apabila Anda ingin pakaian kustom sesuai dengan selera, juga termasuk dalam
istishna’. Misalnya, Anda ingin memesan jersey sepak bola dengan desain sendiri
untuk 40 orang.
Sepatu.
Apabila ukuran sepatu Anda jarang ada di pasaran, Anda pastinya akan memesan
ukuran tersebut ke tukang sepatu. Apabila melakukan transaksi tersebut
berdasarkan syariat Islam, hal tersebut termasuk akad istishna’. Dll.
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan nantinya saat barang atau produk
pesanan sudah jadi. Oleh sebab itu, kriteria barang harus jelas dideskripsikan oleh
pemesan kepada produsen sejak awal.
Dalam akad istishna’ disebutkan bahwa barang penyerahan barang yang sudah selesai
dipesan tidak ditentukan. Apabila ditentukan, akadnya akan berubah menjadi akad
salam. Akan tetapi, hal tersebut diperdebatkan oleh ulama. Menurut tradisi,
sebenarnya penentuan penyerahan barang boleh dilakukan.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa barang yang bisa ditransaksikan dengan
akad istishna’ adalah barang yang sejak dulu sudah ditransaksikan dengan akad tersebut.
Namun pendapat ini tidaklah kuat, menurut dalil-dalil tentang akad istishna’ dalam Al Qur
an dan As Sunnah, tidak ada batasan barang yang bisa menggunakan akad Istishna’.
1. Pengertian Istishna’
Lafal Istishna’ berasal dari kata shana’ah (نع.. )صyang artinya membuat sesuatu.
Kemudian ditambah alif, sindanta’ menjadi Istishna’ (نع..)استص. Secara etimologi Istishna’
artinya minta dibuatkan. Sedangkan menurut terminologi merupakan suatu kontrak jual beli
antara penjual dan pembeli, dimana pembeli memesan barang dengan kriteria yang jelas
dan harganya yang dapat diserahkan secara bertahap atau dapat juga dilunasi.
Sistem Istishna’ adalah sistem pembiayaan atas dasar pesanan, untuk kasus ini
dimana objek atau barang yang diperjual belikan belum ada. Menurut ulama fiqh istishna’
sama dengan salam dari segi objek pesanannya yaitu sama-sama dipesan terlebih dahulu
dengan ciri-ciri dan kriteria khusus, sedangkan perbedaannya adalah jika Salam
pembayarannya dilakukan diawal sekaligus, sedangkan Istishna’ bisa dibayar diawal,
angsuran dan bisa juga diakhir.
ون..انع وتك..نعھ الص..ا سیص..راء م..د على ش..أي العق, تعریف اإلستصناع ھو عقد مع صانع علي عمل ثيء معین في الذمة
العین ولعمل من الصنع.
Artinya: Ketahuilah Istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk
mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian, yakni akad untuk membeli sesuatu
yang dibuat seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.
واالستصناعھوشرأمایضعوقفاللطلب
Artinya:
Istishna’ secara etimologi adalah masdar dari sishna a’asy-sya’i, artinya meminta
membuatkan sesuatu, yakni meminta kepada seseorang pembuat untuk mengerjakan
sesuatu. Sedangkan secara terminologi Istishna’ adalah transaksi terhadap barang dagangan
dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah
barang yang harus dikerjakan dan pekerja pembuat barang itu.
Dalam buku Fiqh Muamalah disebutkan, jual beli Istishna’ adalah jual beli antara
pemesan (mustashni’) dengan penerima pesanan (shani’) atas sebuah barang dengan
spesifikasi tertentu (mashnu’), contohnya untuk barang-barang industri maupun properti.
Spesifikasi dan harga barang haruslah sudah disepakati di awal akad, sedangkan
pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Apakah pembayaran dilakukan di muka,
melalui cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Sedangkan menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, Istishna’ adalah jual beli
barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria persyaratan tertentu yang
disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.
Dalam buku Bank Islam oleh Adiwarman A.Karim yang menjelaskan tentang fatwa
DSN-MUI, terlihat bahwa jual beli Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (mustashni’) dan penjual (shani’).
Transaksi jual beli Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayarannya, apakah
pembayarannya dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu pada masa yang
akan datang.
Menurut jumhur fuqaha, jual beli Istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad
as-salam. Biasanya, jenis ini digunakan dibidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan
jual beli Istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan jual beli as-Salam.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami, bahwa jual beli
Istishna’ adalah akad antara dua pihak dimana pihak pertama (orang yang memesan)
meminta kepada pihak kedua (orang yang membuat/ produsen) untuk dibuatkan suatu
barang. Pihak pertama disebut mustashni’ sedangkan pihak kedua, yaitu penjual disebut
shani’, dan sesuatu yang menjadi objek akad disebut mushnu’ atau barang yang dipesan
(dibuat).
Akad Istishna’ adalah akad yang menyerupai akad as-salam, karena bentuknya
menjual barang yang belum ada (ma’dum) dan sesuatu yang akan dibuat itu pada akad
ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual, hanya saja ada beberapa
perbedaan dengan as-salam karena:
1. Dalam Istishna’ harga atau alat pembayaran tidak harus dibayar dimuka seperti pada akad
as-salam
Sebagai bentuk jual beli, Istishna’ mirip dengan as-salam. Namun, ada beberapa
perbedaan lainnya diantaranya adalah:
1.Objek as-salam selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek Istishna’ bisa
untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi
lebih dahulu.
2.Harga dalam akad as-salam harus dibayar penuh dimuka, sedangkan harga dalam
Istishna’ tidak harus dibayar penuh dimuka melainkan dapat juga dicicil atau dibayar
dibelakang.
3.Akad as-salam tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara dalam Istishna’ akad
dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi.
4.Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian penting dari akad as-salam, namun
dalam akad Istishna’ tidak merupakan keharusan.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada jual beli salam juga berlaku pada
jual beli Istishna’, sungguh demikian, para ulama membahas lebih lanjut keabsahan jual beli
Istishna’ dengan penjelasan sebagai berikut:
Menurut mazhab Hanafi, jual beli Istishna’ termasuk akad yang dilarang. Mereka
mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak jual penjualan harus ada dan dimiliki
penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak jual beli Istishna’ atas dasar
Istihsan karena alasan berikut ini :
1.Masyarakat telah mempraktekan jual beli Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa
ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan Istishna’ sebagai kasus Ijma’ atau
konsensus umum.
2.Jual beli Istishna’ syah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama
tidak bertentangan dengan al-Qur an dan as-Sunnah.
3.Keberadaan jual beli Istishna’ berdasarkan kebutuhan masyarakat. Banyak yang sering
terjadi barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung melakukan
kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka
4.Di dalam syari’ah dimungkinkan adanya penyimpanan terhadap qiyas bedasarkan ijma’
ulama.
Dalam buku fiqh muamalah oleh Ahmad Wardi Muslich, dijelaskan bahwa menurut
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad Istishna’ dibolehkan atas dasar akad as-salam dan
kebiasaan manusia. Syarat-syarat yang berlaku pada salam juga berlaku untuk Istishna’.
Diantara syarat tersebut adalah penyerahan seluruh harga (alat pembayaran) di dalam
majelis akad, seperti halnya akad salam, menurut Syafi’iyah Istishna’ itu hukumnya sah, baik
masa penyerahan barang dibuat (dipesan) ditentukan atau tidak, termasuk apabila
diserahkan secara tunai.
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa jual beli Istishna’ adalah syah
atas dasar qiyas dan aturan umum syari’ah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual
akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya
kemungkinan perselisihan atas dasar jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan
dengan pencantuman as-salam spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material
pembuatan barang tersebut.
Istishna’ merupakan salah satu pengembangan jual beli, waktu penyerahan barang
dilakukan dikemudian hari sementara pembayarannya dapat dilakukan melalu cicilan atau
ditangguhkan. Karena jual beli Istishna’ merupakan khusus dari jual beli as-salam, maka
landasan hukum syariah jual beli Istishna’ mengikuti ketentuan jual beli as-salam. Dalil yang
mempebolehkan Istishna’ adalah sebagai berikut:
Landasan al-Qur an
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.(Q.S. Al-Baqarah : 282).
Dari ayat di atas telah jelas dikemukakan dalam Islam pelaksanaan jual beli Istishna’
bahwa pembeli membayar pada masa penangguhan yang terlebih dahulu disepakati kapan
pembayaran dilakukan. Maka diharuskan menuliskannya dan adanya kesaksian dari
kesepakatan yang dilakukan kedua belah pihak, maka jika memungkinkan harus disaksikan
oleh dua orang saksi. Hali ini dikarenakan jika kedua belah pihak dapat dipercaya atau
terkadang salah satunya meninggal dunia, sehingga tidak dapat diketahui lagi pihak penjual
atas pembeli dan sebaliknya.
Kemudian dalam al-Qur an juga dijelaskan bahwa dalam jual beli harus bebas
memilih jika ada unsur pemaksaan tanpa hak, jual beli tidak syah berdasarkan firman Allah
swt surat an-Nisa ayat 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah
maha penyayang kepadamu”.
Ayat ini dengan tegas melarang orang memakan harta orang lain atau hartanya
sendiri dengan jalan bathil. Memakan harta sendiri dengan jalan bathil adalah
membelanjakan hartanya pada jalan maksiat. Memakan harta orang lain dengan cara bathil
ada berbagai caranya, seperti pendapat Suddi, memakannya dengan jalan riba, judi,
menipu, menganiaya. Termasuk juga dalam jalan yang batal ini segala jual beli yang dilarang
syara’.
Landasan As-Sunnah
Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Khallal berkata, telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Tsabit Al-Bazzar berkata, telah menceritakan kepada
kami Nashr bin Al-Qasim dari 'Abdurrahman bin Dawud dari Shalih bin Shuhaibdari
Bapaknya ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Tiga hal yang di
dalamnya terdapat barakah; jual beli yang memberi tempo, peminjaman, dan campuran
gandum dengan jelai untuk dikonsumsi orang-orang rumah bukan untuk dijual.(H.R. Ibnu
Majah).
Landasan Ijma’
Menurut mazhab Hanafi, jual beli Istishna’ termasuk akad yang dilarang karena
secara qiyasi (prosedur analogi) bertentangan dengan semangat jual beli juga termasuk jual
beli ma’dum (jual beli yang masih belum ada). Dalam jual beli kontrak penjualan harus ada
dan dimiliki oleh penjual. Sementara dalam Istishna’ pokok kontrak itu belum ada atau tidak
dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar
Istihsan (menganggapnya baik) karena alasan sebagai berikut:
a.Masyarakat telah mempraktekan jual beli Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa
ada keberatan sama sekali. Hal inilah yang melatar belakangi perbedaan ulama dalam
menghukumi jual beli Istishna’.
b.Di dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas, dan hal ini telah
menjadi konsensus ulama (ijma’).
c.Keberadaan jual beli Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang
memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar, sehingga mereka cendrung melakukan
kontrak agar orang lain membuatkan barang yang diperlukan tersebut.
d.Jual beli Istishna’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama
tidak bertentangan dengan Al-Qur an dan As-Sunnah.
Rukun dari Istishna’ yang harus terpenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :
a. Pelaku akad, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan
barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan.
b. Objek akad, yaitu barang (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harganya.
Hukum objek akad transaksi jual beli Istishna’ meliputi barang yang diperjual belikan dan
harga barang tersebut. Terkait dengan barang Istishna’ DSN dalam fatwanya
menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Ketentuan tersebut
adalah:
5.Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang yangsejenis sesuai kesepakatan.
7.Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan, bukan barang massal.
c. Ijab dan kabul yang menunjukan pernyataan kehendak jual beli Istishna’kedua belah
pihak.
Ijab dan qabul Istishna’ merupakan pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak,
dengan cara penawaran dari penjual danpenerima yang dinyatakan oleh pembeli.
Pelepasan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara),
tindakan maupun tulisan. Tergantung pada praktek yang lazim di masyarakat dan
menunjukan keridhaan satu pihak untuk penjual barang Istishna’ dan pihak pembeli
barang Istishna’. Dan pada dasarnya Istishna’ tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi
kondisi sebagai berikut:
a.Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya.
b.Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi
pelaksanaan atau penyelesaian akad.
Syarat jual beli Istishna’ menurut pasal 104 s.d. pasal 108 kompilasi hukum ekonomi
syari’ah adalah sebagai berikut:
a. Jual beli Istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang
dipesan.
b. Jual beli Istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan.
c. Dalam jual beli Istishna’ identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai
permintaan pemesan.
d. Pembayaran dalamjual beli Istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang
disepakati.
e. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak boleh satupun tawar menawar kembali
terhadap isi akad yang sudah disepakati
f. Jika objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pesanan dapat
menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pesanan.
Adapun syarat yang diajukan ulama untuk memperbolehkannya transaksi jual beli sistem
pesanan adalah:
1. Adanya kejelasan jenis, ukuran, macam dan sifat barang karena ia merupakan objek
transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.
2. Merupakan barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku dalam hubungan antar
manusia. Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam
kehidupan manusia.
3. Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang
ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad as-salam, menurut pandangan
Abu Hanifah.
Dalam akad jual beli Istishna’ waktu penyerahan barang tidak merupakan keharusan.
Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad Istishna’, pembeli dapat
menetapkan waktu penyerahan maksimal yang berarti bahwa jika perusahaan terlambat
memenuhi, pembeli tidak terikat untuk menerima barang dan membayar harganya.
Hukum objek akad transaksi jual beli Istishna’ meliputi barang yang diperjual belikan
dan harga barang tersebut. Terkait dengan barang Istishna’ DSN dalam fatwanya
menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Ketentuan tersebut
adalah:
f. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan
kesepakatan.
i. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak pilih) untuk melanjutkan atau membatalkan.
Meskipun jual beli Istishna’ dibolehkan dalam Islam, akan tetapi dalam
pelaksanaannya harus memenuhi aturan-aturan hukum Islam. Seperti penipuan terhadap
banyaknya barang pesanan yang tidak sesuai dengan pembayaran yang tidak tepat pada
waktu, merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam Islam, karena ini merupakan
penzaliman karena tidak sesuai dengan akad.
1. Jual beli yang membawa kepada kemaksiatan adalah terlarang (haram) misalnya babi,
khamar, makanan dan minuman yang diharamkan secara umum.
2. Transaksi jual beli yang samar dan belum jelas hasilnya atau barang tersebut tidak dapat
diserahkan kepada pembeli. Seperti menjual buah-buahan yang masih dipohon,
menjual burung di udara semuanya diharamkan apabila ada unsur penipuan.
3. Islam memberikan kebebasan jual beli pada setiap orang maka persaingan yang sehat
juga dibenarkan.
4. Jual beli yang diberantas Islam adalah membeli atau menjual sesuatu yang diketahui
sebagai hasil perampokan, cucian atau yang diperoleh secara tidak benar
M. Qurais Shihab menetapkan empat prinsip dalam ekonomi Islam: tauhid,
keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab. Selanjutnya, dalam menetapkan etika
bisnis ia merincikan sebagai berikut:
a. Kejujuran
b. Keramah tamahan
Adapun ketentuan pembayaran menurut fatwa tentang jual beli Istishna’ adalah sebagai
berikut:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,barang ataupun
manfaat.
a. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
b. Semua ketentuan dalam jual belias-salam yang tidak disebut diatas berlaku pula pada jual
beli Istishna’.
c. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban atau terjadi perselisihan diantara kedua
belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah
tidak tercapainya kesepakatan melalui musyawarah
Setiap apapun yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya pasti mempunyai hikmah-hikmah yang
terkandung didalamnya. Akan tetapi, karena kesibukan manusia itu sendiri, terkadang
manusia tidak pernah merasakan hikmah yang terkandung di dalamnya. Manusia tidak biasa
menyingkap rahasia dari apa yang telah Allah SWT isyaratkan. Tidak jarang manusia
menganggap bahwa jika apa yang terjadi pada dirinya tidak sesuai dengan harapan, maka
mereka terkadang menganggap Allah SWT tidak adil atau hal-hal lainnya yang semuanya itu
bisa menutup pintu dibukanya rahmat.
Begitu pun hikmah yang terkandung dalam sistem jual beli Istishna’ (pesanan) adalah :
1. Untuk mempermudah manusia dalam bermuamalat.
2. Untuk mensejahterakan ekonomi manusia.
3. Merupakan kebutuhan masyarakat yang memerlukan barang yang tidak tersedia di
pasar.
4. Orang yang mempunyai perusahaan seringkali butuh uang untuk memenuhi
kebutuhan perusahaannya, bahkan sewaktu-waktu bisa menjadi kendala atas
kemajuan perusahaan.
5. Sebagai media tolong-menolong antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
5. Agunan Pembiayaan
Mengacu kepada ketentuan jenis pembiayaan masing-masing barang yang di pesan
nasabah sebagai agunan pokok, namun apabila diperlukan dengan pertimbangan resiko
selama masa pembangunan, nilai agunan harus mengcover fasilitas yang dicairkan. Dan
apabila tidak mencukupi bank bank dapat meminta tambahan agunan. Pengikatan agunan
agar berpedoman kepada buku pedoman pembiayaan kecil syariah.
6. Asuransi
Asuransi kerugian pada pembiayaan produktif ditutup asuransi kerugian pada
perusahaan asuransi syariah yang ditunjuk dan masuk dalam perusahaan rekanan BNI yang
dikelola oleh DRK dengan beban nasabah mengacu kepada ketentuan yang berlaku pada
masing-masing jenis pembiayaan.
Untuk pembiyaan konsumtif nasabah ditutup asuransi jiwa pada perusahaan
asuransi yang ditunjuk dan masuk dalam daftar perusahaan rekanan BNI yang dikelola oleh
DRK dan premi menjadi beban nasabah.