Anda di halaman 1dari 14

BAB V

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT KONSTITUSI


1. Sistem Pemerintahan Negara
Sistem pemerintahan negara dalam batang tubuh (pasal-pasal) dijelaskan lebih rinci
sebagai Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang pada
dasarnya berisikan: bentuk negara, sistem konstitusi, kedaulatan rakyat, sistem pemerintahan
presidensiil, pertanggungjawaban Presiden, kedudukan menteri negara, dan kekuasaan kepala
negara. Ketujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia menurut UUD
1945 hasil amandemen adalah sebagai berikut:
a. Indonesia ialah Negara yang Berdasar atas Hukum
Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasarkan atasu kekuasaan belaka.
Negara hukum adalah negara yang dalam penyelenggaraan kekuasaannya tidak berdasarkan atas
kekuasaan semata-mata, melainkan didasarkan atas hukum dan dibatasi oleh hukum. Bukannya
kekuasaan pemerintah, tetapi hukumlah yang mempunyai kedudukan tertinggi. Dengan demikian
setiap kegiatan pemerintah/kemasyarakatan harus berdasarkan hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Hukum disini adalah hukum arti material, hukum dalam
arti luas, yang berarti setiap tindakan negara harus mempertimbangkan dua aspek, yaitu aspek
kegunaan dan aspek landasan hukumnya. Kunci pertama ini menegaskan bahwa Indonesia
adalah Negara Hukum (legal state, rechtstaat).
b. Sistem Konstitusional
Pemerintah berdasar atas konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan
yang tidak terbatas). Sistem ini mempertegas bahwa pengendalian pemerintahan atau
penyelenggaraan negara dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi dan bukan kekuasaan yang
tidak terbatas. Hukum dasar tertulis Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
demikian, pemerintahan Indonesia berdasar pada UUD 1945. Kunci kedua ini menegaskan
bahwa Indonesia menggunakan sistem konstitusional, yaitu UUD 1945.
c. Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Rakyat
Menurut Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002 kekuasaan tertinggi di
tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini berarti terjadi suatu reformasi kekuasaan
tertinggi dalam negara secara kelembagaan tertinggi negara, walaupun esensinya tetap rakyat
yang memiliki kekuasaan. MPR menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002, hanya memiliki
kekuasaan melakukan perubahan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presidan, serta
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai masa jabatan, atau jikalau melanggar konstitusi.
Oleh karena itu sekarang Presiden bersifat neben bukan untergeordnet, karena Presiden dipilih
langsung oleh rakyat menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002, Pasal 6 A ayat (1).
d. Presiden ialah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi
Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden merupakan penyelenggara
pemerintahan tertinggi yang kedudukannya berada di samping MPR dan DPR, karena Presiden
dipilih langsung oleh rakyat, menurut UUD 1945 Pasal 6 A ayat (1). Jadi menurut UUD 1945 ini
Presiden tidak lagi merupakan mandataris MPR, melainkan dipilih langsung oleh rakyat.
e. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Sistem ini menurut UUD 1945 sebelum amandemen dijelaskan dalam Penjelasan UUD
1945, namun dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 juga memiliki isi yang sama sebagai
berikut: “Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden harus
mendapat persetujuan DPR untuk membentuk undang-undang (Gezetzgebung) menurut Pasal 5
ayat (1) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegrooting)
sesuai dengan Pasal 23. Oleh karena itu Presiden harus bekerjasama dengan DPR, akan tetapi
Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung
pada DPR.
f. Menteri Negara ialah Pembantu Presiden. Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada
DPR.
Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara (Pasal 17 ayat (2) UUD
1945 hasil amandemen 2002. Menteri-menteri Negara itu tidak bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
g. Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas
Sistem ini dinyatakan secara tidak eksplisit dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 dan
masih sesuai dengan Penjelasan UUD 1945 dijelaskan sebagai berikut: Menurut UUD 1945 hasil
amandemen 2002, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung (UUD 1945
hasil amandemen 2002 Pasal 6A ayat (1). Dengan demikian dalam sistem kekuasaan
kelembagaan negara Presiden tidak lagi merupakan mandataris MPR bahkan sejajar dengan DPR
dan MPR. Hanya jikalau Presiden melanggar Undang-Undang maupun Undang-Undang Dasar,
maka MPR dapat melakukan pemakzulan (impeachment).
2. Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat, cratos/cratein
yang berarti kekuasaan. Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani kuno
(abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu
suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik di jalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Sifat langsung ini dapat diselenggarakan karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana,
wilayahnya terbatas (negara kota terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk
sedikit (300 ribu penduduk dalam satu negara kota). Ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk
warga negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk
mayoritas yang terdiri dari budak beliandan pedagang asing, ketentuan demokrasi tidak berlaku.
Menurut Hoogerwerf (1979:174), demokrasi adalah cara pembentukan kebijakan yang ada
selama anggota-anggota suatu kelompok mempunyai kemungkinan untuk mempengaruhi secara
langsung atau tidak langsung isi, proses, dan dampak dari kebijakan kelompok itu. Demokrasi
politik adalah demokrasi di dalam sistem politik. Lawan dari demokrasi adalah otokrasi. Otokrasi
adalah cara membentuk kebijakan yang terjadi apabila hanya pemimpin dan bukan anggota-
anggota lainnya mempunyai kemungkinan mempengaruhi kebijakan kelompok, secara langsung
atau tidak langsung.
Dahl (1985:9), mengemukakan bahwa dalam berbagai kurun waktu sepanjang lebih dari
2000 tahun, proses-proses demokratis secara khusus hanya digunakan pada negara-negara yang
sangat kecil, seperti negara-negara kota di Yunani dan Italia pada abad pertengahan.
Peningkatan penerapan cita-cita demokrasi pada negara bangsa di abad ke-17 dan seterusnya
mensyaratkan lembaga-lembaga politik baru yang secara radikal berbedadari yang diterapkan di
negara-negara kota.
Budiardjo mengemukakan bahwa, dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat
langsung, tetapi berdasarkan pewakilan (representative democracy). Gagasan demokrasi Yunani
boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat sewaktu bangsa Romawi yang sedikit banyak
masih kenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku bangsa Eropa barat dan benua Eropa
memasuki abad pertengahan (600-1400). Masyarakat abad pertengahan dicirikan oleh struktur
sosial yang feodal, yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-
pejabat agama lainnya, yang kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antar para
bangsawan. Dilihat dari sudut pandang perkembangan demokrasi abad pertengahan
menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta tahun 1215 di Inggris.
Sebelum abad pertengahan berakhir, permulaan abad ke-16 di Eropa Barat muncul negara-
negara nasional (national state) dalam bentuk yang modern. Eropa barat mengalami beberapa
perubahan sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih
modern. Dua kejadian ini ialah renaissanse (1350-1600) yang terutama berpengaruh di Eropa
Selatan seperti Italia, dan reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eroa
Utara seperti Jerman, dan Swiss.
Renasissanse adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesusastraan dan
kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan telah tersisihkan, yang membelokkan
perhatian yang tadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan ke arah soal-
soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya berbagai pandangan baru. Reformasi serta
perang-perang agama yang menyusul akhirnya menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri
dari penguasaan gereja, baik di bidang spiritual dalam bentuk dogma, maupun dalam bidang
sosial politik. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh
diselewengkan oleh raja, yang menurut pola yang sudah lazim masa itu kekuasaannya tak
terbatas. Misalnya, monarki-monarki absolut yang rajanya menganggap berhak atas tahtanya
berdasarkan konsep hak suci raja (divine right of king), king diantaranya Issabela dan Ferdinand
di Spanyol, dan Raja-raja Bourbone di Prancis.
Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori
rasionalistis yang umumnya dikenal sebagai social contract (kontrak sosial). Salah satu asasnya
ialah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (nature) yang mengandung
prinsip-prinsip keadilan universal, artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia
termasuk raja, bangsawan, dan rakyat jelata. Para hakikatnya teori-teori hak sosial ini untuk
mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan memantapkan hak-hak politik rakyat. Filsuf
yang mencetuskan gagasan ini antara lain, John Locke dari Inggris dan Montesquieu dari
Prancis.
Menurut Henry B. Mayo, dalam bukunya An Introduction to Democratic Theory,
sebagaimana dikutip oleh Budiardjo (2008:118-119), bahwa demokrasi didasari oleh beberapa
nilai (values), yang perwujudannya sangat bergantung kepada perkembangan sejarah serta
budaya politik masing-masing negara, yaitu:
a. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peacefull
settlement of conflict).
b. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah (peacefull changes in a changing society).
c. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rules).
d. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coersion).
e. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity).
f. Menjamin tegaknya keadilan.
Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi, menurut Budiardjo perlu diselenggarakan
beberapa lembaga sebagai berikut:
a. Pemerintahan yang bertanggungjawab.
b. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili berbagai golongan dan kepentingan dalam
masyarakat, yang dipilih dalam pemilu, mengadakan pengawasan, memungkinkan oposisi
yang konstruktif, serta memungkinkan penilaian terhadap kebijakan pemerintah secara
kontinyu.
c. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik (sistem dwipartai,
multipartai), yang menyelenggarakan hubungan kontinyu antara masyarakat dengan
pemimpinnya.
d. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.
e. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan
(2008:120).
Menurut Dahl (1985:18) terdapat beberapa lembaga khusus yang menegaskan sebagai
rezim negara demokrasi yaitu :
a. Kontrol atas keputusan-keputusan pemerintah tentang kebijaksanaan secara konstitusional
dibebankan pada penjabat-penjabat yang dipilih.
b. Para penjabat yang dipilih selalu berasal dari proses pemilihan yang dilakukan secara jujur,
setiap unsur-unsur paksaan dianggap sebagai suatu hal yang sangat memalukan.
c. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak dalam memilih penjabat-penjabat resmi.
d. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk dipilih sebagai penjabat resmi
dalam pemerintahan, meskipun batas umur untuk dipilih mungkin lebih tinggi daripada batas
umur untuk memilih.
e. Warga negara mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat tanpa ancaman akan dihukum
mengenai soal-soal politik yang ditentukan secara luas, termasuk melancarkan kritik terhadap
para penjabat, pemerintahan, rezim, tata sosioekonomi dan ideologi yang berlaku.
f. Warganegara mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif,
karena memang sumber-sumber dimaksud ada dan dilindungi hukum.
g. Untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk yang disebut di atas, setiap warga, negara
juga mempunyai hak untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi yang
relatif independen, termasuk partai-partai politik dan kelompok kepentingan yang bebas.
Karakteristik pemerintahan demokratis menurut Michael adalah sebagai berikut:
a. The rule of law---the same laws and the same judicial processes apply to all citizens.
b. Limits on government—the constraints on government action are defined, processes exist to
maintain those limitations, and officials are held accountable if they are breached.
c. The principle of representation---the people who are subject to the laws must be equally
represented in the legislative process that makes those laws.
d. The protection of individuals and property---the assumption that individuals have rights and
freedoms, which include as a minimum the own property and the right to contest government
decisions.
e. The institutionalisation of the process of government –in which functions are delineated,
responsibilities are defined, and the mech anisms for change, including elections, are
prescribed (2006:31).

Secara formal prosedural, sebagaimana bisa diketahui melalui ketentuan dalam UUD 1945
serta berbagai undang-undang terkait, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara
demokrasi. Misalnya pengaturan dalam konstitusi tentang bentuk pemerintahan republik,
kedaulatan rakyat, lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat termasuk di daerah, pemilu
dan pilkada, hak asasi manusia dan kekuasaan kehakiman. Hal ini kemudian ditindaklanjuti
dengan terbitnya berbagai undang-undang yang mengatur antara lain tentang DPR, MPR, DPRD,
pemilu, pilkada, HAM dan lembaga peradilan/kekuasaan kehakiman (MA dan MK).
Demokrasi dalam arti substantif tentu akan dapat dilihat dan dinilai dari bagaimana
ketentuan, nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi berjalan sesuai dengan seharusnya.
Misalnya dalam berbagai aspek pelaksanaan pemilu, kebebasan berpendapat dan kinerja
lembaga-lembaga pemerintahan.

3. Hak Asasi Manusia


Menurut Asshiddiqqie, doktrin atas hak asasi manusia (HAM) sekarang ini sudah diterima
secara universal sebagai a moral, political and legal framework, and as a guidline dalam
membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan, penindasan dan perlakuan yang
tidak adil (2009:343). Oleh karena itu, dalam faham negara hukum, jaminan perlindungan HAM
dianggap ciri yang mutlak harus ada di setiap negara. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya,
jaminan-jaminan HAM ini juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam UUD atau konstitusi
tertulis negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy) dan dianggap sebagai materi
terpenting yang harus ada dalam konstitusi, selain format kelembagaan, dan pembagian
kekuasaan negara serta mekanisme hubungan antar lembaga negara.
Menurut Budiardjo, masalah HAM dan perlindungan terhadapnya merupakan bagian
penting dari demokrasi. Dengan meluasnya konsep dalam konteks globalisasi dewasa ini,
masalah HAM menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir semua belahan dunia. Sebenarnya
sudah dari zaman dulu, masalah HAM dikenal di banyak kawasan dunia, tetapi yang paling
banyak sumber tertulisnya, dengan demikian lebih terkenal, ialah negara-negara barat. Dengan
demikian, konsepsi negara-negara barat dari semula telah mendominasi pemikiran negara-negara
yang tergabung dalam PBB waktu mereka, seusai Perang Dunia II yang amat dahsyat itu, ingin
merumuskan suatu dokumen hak asasi manusia yang dapat diterima secara universal. Sementara
itu dunia terus berubah, dan proses globalisasi telah menyentuh hampir semua aspek kehidupan
manusia. Karenanya juga tidak mengherankan jika konsepsi melalui HAM mengalami
perkembangan.
HAM biasanya dianggap sebagai hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang melekat atau
inherent padanya karena dia adalah manusia. Dalam mukadimah Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik (1966), dicanangkan bahwa hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang
melekat pada manusia (These right derive from the inherent dignity of the human person.). Hak
ini sangat mendasar atau asasi sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang
sesuai dengan bakat, cita-cita, serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya
dimiliki semua manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender.
Menurut Budiardjo (2008:212), terdapat tiga generasi hak asasi, yaitu: Generasi Pertama,
adalah hak sipil dan politik yang sudah lama dikenal dan selalu diasosiasikan dengan pemikiran
di negara-negara barat. Generasi Kedua adalah Hak ekonomi, sosial dan budaya yang gigih
diperjuangkan oleh negara-negara komunis yang dalam masa perang dingin sering dinamakan
Dunia Kedua, yang kemudian didukung oleh negara-negara yang baru membebaskan diri dari
penjajahan kolonial, yang sering disebut Dunia Ketiga. Generasi Ketiga adalah hak atas
perdamaian dan hak atau pembangunan, yang terutama diperjuangkan oleh negara-negara Dunia
Ketiga.
Cikal bakal konsep HAM di dunia barat terdapat dalam karangan beberapa filsuf abad ke
-17, antara lain John Locke yang merumuskan beberapa hak alam yang dimiliki manusia secara
alamiah. Akan tetapi sebenarnya beberapa abad sebelumnya, yaitu pada zaman pertengahan,
masalah HAM sudah mulai mencuat di Inggis, yaitu dengan ditandatanganinya suatu perjanjian,
Magna Charta, tahun 1215, antara Raja John dan sejumlah bangsawan. Magna Charta sampai
sekarang masih dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perkembangan demokrasi di Barat.
Abad ke-17 dan 18, pemikiran mengenai HAM maju dengan lebih pesat, dengan mulai
dipertanyakannya keabsahan raja-raja yang bertindak sewenang-wenang, yang kekuasaannya
berdasarkan konsep kekuasaan wahyu Ilahi. Pemikiran ini tercermin dalam karangan beberapa
filsuf seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesqieu, dan J. J. Rouseau. Semuanya
membayangkan bahwa suatu saat manusia mengembangkan rasionya dan sampai pada
kesimpulan bahwa untuk terjaminnya hak-hak itu, “keadaan alam” perlu ditinggalkan dan diganti
dengan kehidupan bernegara berdasarkan suatu kontral sosial antara penguasa dengan
masyarakat. Ini yang kemudian dinamakan teori kontrak sosial.
John Locke merumuskan hak-hak atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan (life, liberty,
and property) serta pemikiran bahwa penguasa harus memerintah dengan persetujuan rakyat.
Montesqieu menekankan perlunya pembagian kekuasaan dalam negara sebagai sarana menjamin
hak-hak manusia, suatu sistem yang kemudian dikenal dengan istilah trias politica. Filsuf
Prancis lain, J. J. Rouseau menekankan perlunya kebebasan bagi manusia.
Hak asasi pada tahap itu masih terbatas pada hak di bidang politik seperti hak atas
kebebasan, kesamaan, dan menyatakan pendapat, yang dicantumkan pada beberapa piagam. Di
Inggris, hak itu diundangkan dalam undang-undang hak (bill of right, 1689) yang diterima
setahun sesudah parlemen berhasil mengusir raja James II dan mengundang putrinya Marry
beserta suaminya William of Orange, untuk menduduki tahta kerajaan Inggris.
Jika pemikiran John Locke, menjadi pegangan bagi rakyat Amerika saat memberontak
melawan penguasa Inggris, maka pemikiran Rouseau menjadi inspirasi bagi rakyat Prancis untuk
memulai revolusi (1789) melawan Raja Bourbone, Louis ke XVI, yang kemudian dikenal dengan
deklarasi mengenai hak manusia dan warga negara (Declaration des Droits de I’Homme et du
Citoyen). Rumusannya adalah tentang hak atas kebebasan (liberte), kesamaan (egalite), dan
kesetikawanan (fraternite). Pada perkembangan berikutnya dalam suasana Perang Dunia II,
Presiden Amerika Serikat F. D. Roosevelt, tahun 1941 merumuskan empat kebebasan (the four
freedoms) yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan
beragama (freedom of religion), kebebasan dari ketakutan (freedom from fear), dan kebebasan
dari kemiskinan (freedom from want).
Sesudah Perang Dunia II, tahun 1948, PBB mendeklarasikan Universal Declaration Of
Human Rights, sebagai pedoman sekaligus standar minimum yang dicita-citakan oleh seluruh
umat manusia. Sekalipun sifatnya tidak mengikat secara yuridis, namun deklarasi tersebut
mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada taranya. Berikutnya, komisi hak
asasi PBB menyusun sesuatu yang lebih mengikat dari pada sekedar demokrasi yaitu dalam
bentuk perjanjian (covenant). Diantaranya lahirlah Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (International Covenant International On Economic, Social And Cultural Rights),
dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil and Political
Right), yang kemudian diikuti oleh lahirnya kovenan-kovenan lainnya.
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pada perkembangan tatanan
kehidupan politik dan kenegaraan di Indonesia, HAM mendapatkan kedudukan yang kuat karena
secara eksplisit tertuang dalam UUD 1945, mulai Pasal 28 A sampai 28 J.
Selain memiliki undang-undang tentang HAM tersebut, secara konstitutional kedudukan
HAM sangat kuat pula karena lahirnya undang-undang tersebut merupakan pelaksanaan dari
TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal lainnya yang merupakan perkembangan positif dalam
penegakan HAM di Indonesia adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993. Selain itu, terbit
pula berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan HAM antara lain:
a. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
b. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
c. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
d. UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
e. UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
f. UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

4. Dinamika Konstitusi Dalam Sejarah Indonesia


UUD 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu: Sejak tanggal 18 Agustus 1945
sampai dengan 17 Agustus 1950. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 UUD
diberlakukan surut satu hari, mulai tanggal 17 Agustus 1945. Meskipun tanggal 27 Desember
1949 bentuk negara berubah menjadi Negara Serikat (RIS) dan berlaku konstitusi RIS 1949,
tetapi UUD 1945 masih dipakai di Negara bagian RIS yaitu Negara Republik Indonesia yang
beribukota di Yogyakarta dan sejak diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai
sekarang.
Pada masa berlakunya UUD 1945 terjadi beberapa penyimpangan konstitusional, yaitu:
a. Masa Awal Kemerdekaan
Sejak berlakunya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 mulai berlaku tata hukum baru
yang bersumber pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan tidak berlaku lagi tata hukum
lama (zaman kolonial). Pada kurun waktu 1945-1949 UUD 1945 jelas tidak dapat dilaksanakan
dengan baik. Negara Indonesia sedang mengalami masa pancaroba, usaha bangsa Indonesia
untuk mempertahankan kemerdekaan. Oleh karenanya pada masa tersebut banyak terjadi
penyimpangan terhadap UUD 1945. Sistem pemerintahan dan kelembagaan yang ditetapkan
dalam UUD 1945 jelas belum dapat dilaksanakan. MPR dan DPR belum terbentuk, DPA masih
bersifat sementara. Waktu itu masih diberlakukan Ketentuan Aturan Peralihan Pasal IV yang
menyatakan “Sebelum Majelis Permusyawaratan, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Pertimbangan Agung terbentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan dibantu Komite Nasional”.
Beberapa penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa ini adalah:
a. Berubahnya fungsi Komite Nasional Pusat dari pembantu Presiden menjadi badan yang
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menentukan GBHN (Maklumat Wakil Presiden No. X
tanggal 16 Oktober 1945).
b. Perubahan sistem kabinet presidensil menjadi sistem kabinet parlementer berdasarkan
usulan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat tanggal 11 November 1945 diumumkan
dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Pada tanggal 3 November 1945
Pemerintah mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden tentang pembentukan partai-partai
politik, partai politik dapat memimpin segala aliran paham yang ada di masyarakat.
b. Masa Pemerintahan Orde Lama (1959-1968)
Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 UUD 1945 berlakunya kembali bagi bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Alasan dikeluarkannya Dekrit Presiden karena
Konstituante tidak dapat (gagal) menjalankan tugasnya untuk menetapkan UUD yang tetap
sebagai pengganti UUDS 1950. Keadaan ini dianggap oleh Presiden sebagai hal yang dapat
membahayakan bagi keutuhan dan keselamatan bangsa dan Negara Indonesia. Disamping
adanya dukungan yang kuat dari sebagian besar rakyat Indonesia.
Diktum Dekrit Presiden berbunyi:
a. Menetapkan pembubaran Konstituante
b. Menetapkan berlakunya UUD 1945, dan menyatakan tidak berlaku lagi UUDS 1950
c. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
Dalam gerak pelaksanaannya UUD 1945 semasa Orde Lama juga mengalami beberapa
penyimpangan:
a. Belum dibentuknya lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945 seperti MPR, DPR, DPA,
dan BPK. Semuanya masih bersifat sementara.
b. Demokrasi yang berdasarkan Pancasila diubah menjadi demokrasi terpimpin, MPRS,
menetapkan pidato Presiden (17 Agustus 1959) yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi
Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik (Manipol) sebagai GBHN yang bersifat tetap
(TAP MPRS No. I/MPRS/1960).
c. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS
d. Presiden membubarkan DPR karena DPR tidak menyetujui Rancangan Pendapatan dan
Belanja Negara yang diajukan oleh Pemerintah, dan membentuk DPR Gotong Royong
(DPR-GR), dan
e. Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara. Presiden sendiri
menjadi anggota DPA.
c. Masa Pemerintahan Orde Baru (1968-1998)
Dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, PKI telah dua kali mengkhianati negara.
Atas dasar itulah, rakyat menghendaki dan menuntut PKI dibubarkan. Namun pimpinan negara
pada waktu itu tidak mau mendengarkan dan tidak mau memenuhi tuntutan rakyat, sehingga
timbullah apa yang disebut situasi politik antara rakyat dan Presiden yang makin meruncing yang
membuat keadaan ekonomi dan keamanan makin tidak terkendali. Dengan dipelopori oleh
mahasiswa dan pemuda, rakyat menyampaikan tri tuntutan rakyat (Tritura), yaitu: Bubarkan PKI,
Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, serta Turunkan harga-harga/perbaiki ekonomi.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang intinya
memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto untuk mengambil langkah-langkah pengamanan
yang dianggap perlu untuk menyelamatkan keadaan. Lahirnya Supersemar ini dianggap sebagai
lahirnya pemerintahan Orde Baru. Orde Baru lahir dengan tekad awalnya adalah untuk
mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia atas dasar pelaksanaan
Pancasila dan UUD secara murni dan konsekuen.
Pelaksanaan UUD 1945 semasa Orde Baru lebih cenderung berpihak kepada rezim yang
berkuasa daripada upaya menegakkan kedaulatan rakyat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam UUD 1945 itu sendiri. Pemerintah Orde Baru banyak melakukan penyimpangan
dalam pelaksanaan Pemilu diantaranya campur tangan birokrasi terlalu besar dalam
mempengaruhi pilihan rakyat, panitia pemilu tidak independen, memihak salah satu kontestan,
kompetisi antar kontestan pemilu tidak leluasa, rakyat tidak bebas kampanye karena dihambat
aparat keamanan/perizinan, penghitungan suara tidak jujur, serta rakyat tidak bebas
mendiskusikan dan menentukan pilihan (Eep Saefulloh Fatah. 1997: 22-23)
d. Masa Reformasi / Era Global (1998-sekarang)
Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru pembicaraan mengenai perlunya UUD 1945
diamandemen mulai terbuka. Beberapa pakar mengemukakan beberapa alasan perlunya UUD
1945 diamandemen:
a. UUD 1945 saat ditetapkan oleh PPKI adalah bersifat sementara. Saat ditetapkan oleh PPKI,
Ketua PPKI Ir. Soekarno mengemukakan bahwa UUD yang disahkan rapat adalah UUD
yang bersifat sementara/UUD Kilat (Revolutie Grondwet), kelak akan dibuat UUD yang
lebih lengkap dan sempurna.
b. UUD 1945 menumbuhkan figur Presiden yang diktatorial. Hal ini terlihat dalam Pasal 7
yang dapat digunakan oleh Presiden untuk memegang jabatan cukup lama.
c. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru telah diberikan kekuasaan yang sangat besar
kepada Presiden baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan. Kalau
dibandingkan dengan masa Orde Lama justru terkesan lebih parah.
Ada beberapa indikator akan hal tersebut antara lain:
a. Dengan adanya fusi antar partai politik sehingga hanya dua partai politik dan satu Golkar
telah memberangus sistem demokrasi. Adanya single majority sama dengan one party
system.
b. Secara material, kekuasaan Presiden tidak terbatas, meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif.
c. MPR dijadikan corong Presiden yang tidak akan mengubah UUD, lembaga-lembaga Negara
yang lain melakukan politik “ yes men”, tidak ada mekanisme check and balances.
Sebagai usaha untuk mengembalikan kehidupan negara yang berkedaulatan rakyat
berdasarkan UUD 1945, salah satu aspirasi yang terkandung di dalam semangat reformasi adalah
melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Reformasi konstitusi yang telah dilakukan
merupakan langkah besar demokrasi dalam upaya menyempurnakan UUD 1945 menjadi
konstitusi yang demokratis, sesuai semangat zaman yang sanggup mewadahi dinamika bangsa
dan perubahan zaman dimasa mendatang. Dengan UUD 1945 yang telah diamandemen itu maka
di hadapan bangsa Indonesia telah terbentang suatu era Indonesia Baru yang lebih demokratis
dan lebih maju. Penulisan tentang amandemen UUD 1945 ini dimaksudkan sebagai bahan kuliah
Pendidikan Pancasila, sekaligus sebagai upaya mensosialisasikan hasil Sidang Tahunan MPR
2002 agar kalangan masyarakat pada umumnya dan kalangan sivitas akademika dapat
memahami latar belakang/alasan dilakukannya amandemen dan memahami isi serta maksud
tujuannya.
Ada beberapa alasan dilakukannya amandemen yaitu:
a. Menghindari penyalahgunaan dan tafsiran sesuai keinginan penguasa, karena demikian
ringkasnya
b. UUD 1945 belum mencerminkan secara fundamental dan utuh prinsip-prinsip negara
kesejahteraan, negara hukum dan kedaulatan rakyat
c. Secara politis dan sosiologis dalam sejarahnya menunjukkan hubungan disharmoni antara
rakyat dan negara
d. Dari segi bahasa, perumusan norma dan sistematika UUD 1945 perlu diperbaharui sesuai
perkembangan zaman
e. Salah satu tuntutan reformasi total yang antiotoritarianisme, militerisme, sentralisme dan
KKN-isme pada masa Orde Baru.
Pada masa 19 tahun lebih era reformasi ini, kebutuhan untuk kembali mengamandemen
konstitusi tampaknya secara sungguh-sungguh saat ini sudah digaungkan oleh berbagai
kalangan. Satu diantaranya adalah sebagaimana yang muncul dalam salah satu hasil rapimnas
PDI Perjuangan beberapa waktu lalu tentang perlunya menghidupkan kembali garis-garis besar
haluan negara (GBHN). Hal ini tentunya harus mendapat perhatian dari segenap elemen bangsa
karena menyangkut perangkat kehidupan politik yang sangat mendasar. Terkait dengan hal ini,
patut pula dicermati adanya aspirasi kelompok tertentu yang menginginkan kembali
menggunakan UUD 1945 yang awal, artinya yang sebelum mengalami amandemen sebanyak
empat kali.

Anda mungkin juga menyukai