Daftar isi
1Latar Belakang
2Pemberontakan
3Akhir
4Lihat juga
5Catatan kaki
6Bacaan lebih lanjut
Latar Belakang
Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir
Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak disepakatinya Perjanjian
Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri,
namun Amir beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian
kabinet tersebut.
Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis
Indonesia yang lama tinggal di Uni Soviet (sekarang Rusia) ini menjelaskan tentang “pekerjaan
dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menawarkan gagasan yang
disebutnya “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Musso menghendaki satu partai kelas buruh
dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai
yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis
Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah
pemerintahan yang disebut "Komite Front Nasional".
Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya
kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerja sama
internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk
menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya berencana
untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu
Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Penguasaan itu
dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya. [1]
Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di
kota Surakarta, serta mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan
Siliwangi yang ada di sana.
Mengetahui hal itu, pemerintah langsung memerintahkan kesatuan-kesatuan TNI yang tidak
terlibat adu domba untuk memulihkan keamanan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini
dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto.
Pemberontakan
Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta,
pada 18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa
Timur, dan pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari
berikutnya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun, PKI
juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa Tengah.[2] Pemberontakan ini
menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta
beberapa petugas polisi dan tokoh agama.
Akhir
Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat.
Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai
gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh
Kolonel A. H. Nasution.[3]
September 1948, Proses introgasi terhadap anggota PKI.
September 1948, tampak TNI bersenjata dan masyarakat yang menangkap anggota PKI.
Interogasi yang dilakukan oleh seorang prajurit TNI kepada simpatisan PKI.
Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi Belanda,
namun dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuan-
kesatuan lainnya yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak akhirnya dapat
dimusnahkan.[4]
Kondisi korban sebelum dieksekusi.
Korban eksekusi
September 1948, Foto setelah dilakukannya eksekusi terbuka kepada anggota PKI.
Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso yang melarikan diri ke Sumoroto,
sebelah barat Ponorogo. Dalam peristiwa itu, Musso berhasil ditembak mati. Sedangkan Amir
Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Amir
sendiri tertangkap di daerah Grobogan, Jawa Tengah.[3]
Pemberontakan DI/TII di Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Dimulai dengan
pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi itu
menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dibawah
kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang
mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada
pertengahan tahun 1947. Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa penuh
atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun
militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit
memperoleh pengikut. [1]
Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil
mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Pada
masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai
sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.
Tidak lama setelah pemberontakan pecah, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo segera memberikan penjelasan secara runut tentang peristiwa
tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Oktober 1953.[2]
Daftar isi
1Latar belakang
2Lihat pula
3Rujukan
o 3.1Bacaan lanjutan
Sejarah Indonesia
Garis waktu
Prasejarah[tampilkan]
Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]
Kerajaan Islam[tampilkan]
Kerajaan Kristen[tampilkan]
Kolonialisme Eropa[tampilkan]
Kemunculan Indonesia[tampilkan]
Kemerdekaan[tampilkan]
Menurut topik[tampilkan]
Portal Indonesia
l
b
s
Daftar isi
1Latar belakang
o 1.1Angkatan kelima
o 1.2Isu sakitnya Bung Karno
o 1.3Isu masalah tanah dan bagi hasil
o 1.4Faktor Malaysia
o 1.5Faktor Amerika Serikat
o 1.6Faktor ekonomi
2Peristiwa
o 2.1Isu Dewan Jenderal
o 2.2Isu Dokumen Gilchrist
o 2.3Isu Keterlibatan Soeharto
o 2.4Korban
3Pascakejadian
o 3.1Penangkapan dan pembantaian
o 3.2Supersemar
o 3.3Pertemuan Jenewa, Swiss
4Peringatan
5Lihat pula
6Bacaan lebih lanjut
7Pranala luar
8Referensi
Latar belakang
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia[4] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah
sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat
untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di
satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan
anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan
skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju
dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI
untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka
dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang
mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih
untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan
pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa
operasinya disabotase dari belakang[5]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di
Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan
berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga
diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka
anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk
keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak
sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi
keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman,
ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan
adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal
ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan
PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di
lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (7 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang
bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau
musuh saya. Itu terserah kamu. … Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya
akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[4]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi
Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan
dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor Amerika Serikat
Artikel utama: Aktivitas CIA di Indonesia
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat
tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam
Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada
bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena
mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar,
hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8
Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di
Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada
Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan
PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan
mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekret Supersemar Amerika memberikan daftar nama-
nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan
tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan
"ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antre beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk
menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang
menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang
sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang
tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian
mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang
yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
Peristiwa
Sumur Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh
dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap
loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap
gerakan tersebut.
Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka
untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan
jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan
membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist
Artikel utama: Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew
Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang
oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Our local army friends"
(Teman tentara lokal kita) yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah
dibeli oleh pihak Barat[6]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-
nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat
mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John
Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis
skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia
kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu
menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul
Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak
penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan
Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson
and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the
CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files,
Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext
for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia),
Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
Pascakejadian
Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan
menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.
Pascapembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi
vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan
Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September
yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan
kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai
oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem
072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka
diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas
menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan
sekretaris jenderal PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk
mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.
Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-
organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan
angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-
Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-
rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita
mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia
untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto
pada saat Suharto disumpah[7]:
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan
negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan
daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan,
dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca
Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam
kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu
dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta
engkau! ”
Beberapa bulan setelah peristiwa ini, seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang yang
diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan
untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan
Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Jumlah orang yang dibantai
belum diketahui secara pasti – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang,
sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya
satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan
pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-
laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara lima ratus ribu sampai dengan satu juta anggota dan pendukung-
pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang
didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan
melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga
pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di
mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-
daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar
terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang
menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai
Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus
dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau
dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis
"anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang
mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini
dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada
akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang
sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon
Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan
tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk
mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk
melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali
digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-
Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24
November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan
antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada
bulan November 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-
perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British
Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank,
dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak
dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di
situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi
bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport
mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil
mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan
ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Peringatan
Pihak terlibat
TNI Tentara APRA
KNIL[1]
Kekuatan
Sejarah Indonesia
Garis waktu
Prasejarah[tampilkan]
Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]
Kerajaan Islam[tampilkan]
Kerajaan Kristen[tampilkan]
Kolonialisme Eropa[tampilkan]
Kemunculan Indonesia[tampilkan]
Kemerdekaan[tampilkan]
Menurut topik[tampilkan]
Portal Indonesia
l
b
s
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950 di mana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan
komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan
membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah
direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh
pimpinan tertinggi militer Belanda.
Daftar isi
1Latar belakang
2Surat ultimatum
3Desersi
4Kudeta
5Rujukan
6Pranala luar
7Referensi
Desersi[sunting | sunting sumber]
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST
dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer
di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang
berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan
APRA untuk ikut dalam kudeta, tetapi dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten
G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI
Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal
Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang
sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan
Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140
orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan
dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta[sunting | sunting sumber]
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret merah dan
baret hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling
mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda
dimulai, pada 23 Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan
Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA
bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di
jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong,
sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST
dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap
Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari
pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul,
sehingga serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan
pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik terhadap Westerling atas
kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak
ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST
dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari
pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh
Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950
dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne
Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah
melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan
bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan
serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari
Belanda).
Peristiwa Andi Azis
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Artikel atau bagian artikel ini tidak
memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga
isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel
ini dengan menambahkan referensi yang layak.
Tulisan tanpa sumber dapat dipertanyakan dan
dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. (Januari
2018)
Pihak terlibat
Pertempuran[sunting | sunting sumber]
Gerakan ini diawali dengan kegiatan pasukan APRIS (ABRI) yang diganggu oleh KL/KNIL dan
kerap kali melakukan provokasi serta konflik dengan pasukan APRIS. Pertempuran keduanya
meletus pada tanggal 5 Agustus 1950. Tentara KL/KNIL berhasil ditaklukkan oleh APRIS dengan
mengerahkan seluruh kekuatan pasukan dari angkatan darat, laut, dan udara.
Republik Maluku Selatan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
1950–1963
Bendera
Lambang
Lagu kebangsaan: Maluku
Tanah Airku
Teritori yang diklaim Republik
Maluku Selatan.
Status Terasingkan sejak
1963
Pemerintah Republik
an
Presidena
• April–Mei Johanis
1950 Manuhutu
• 1950–1966 Chris Soumokil
• 1966–1992 Johan Manusama
• 1993–2010 Frans
Tutuhatunewa
• 2010– John Wattilete
sekarang
Sejarah
Presiden[sunting | sunting sumber]
Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama (1966–
1993).
Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954 bersembunyi dan
memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap ABRI di Seram pada
tanggal 2 Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta dan dihukum
mati. Ia dieksekusi pada tanggal 12 April 1966.
Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans
Tutuhatunewa M.D. pada tahun 1993–2010. Mereka tetap tidak menyerukan aksi
kekerasan terhadap Belanda maupun Indonesia. Presiden dalam pengasingan
menyatakan bahwa generasi muda harus berfokus pada pendidikan dan
pengembangan diri mereka di Belanda jika benar-benar ingin mendukung dan
membangun Maluku Selatan.
Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden ketiga
Indonesia, mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk membantu
pemulangan generasi pertama suku Maluku ke tanah airnya jika mereka berhenti
[4][5]
menuntut kemerdekaan.
John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden
pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih
pragmatis ketimbang presiden-presiden sebelumnya.
Bendera[sunting | sunting sumber]
Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan memiliki
proporsi 2:3. Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950 pukul 10.00. Dua
hari kemudian, pemerintah merilis penjelasan tentang arti bendera. Warna biru
melambangkan laut dan kesetiaan, putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih, hijau
tumbuh-tumbuhan, dan merah nenek moyang dan darah rakyat.
Sejarah Indonesia
Garis waktu
Prasejarah[tampilkan]
Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]
Kerajaan Islam[tampilkan]
Kerajaan Kristen[tampilkan]
Kolonialisme Eropa[tampilkan]
Kemunculan Indonesia[tampilkan]
Kemerdekaan[tampilkan]
Menurut topik[tampilkan]
Portal Indonesia
l
b
s
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI)
merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan
keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad
Husein di Padang, Sumatra Barat, Indonesia.
Gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di
mana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.
[1]
Daftar isi
1Awal Gerakan
2Pengumuman berdirinya PRRI
o 2.1Pengumumannya
o 2.2Sebab berdirinya PRRI
3Operasi Militer
4Kabinet PRRI
5Pasca-PRRI
6Referensi
Awal Gerakan[sunting | sunting sumber]
Gerakan ini bermula dari acara reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20-
25 November 1956. Dari pertemuan tersebut di hasilkan perlunya Otonomi Daerah agar
bisa menggali potensi dan kekayaan Daerah dan disetujui pula pembetukan Dewan
Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein komandan resimen IV dan tetorium I
yang berkedudukan di Padang. Namun upaya ini gagal.
Pada tanggal 20 Desember 1956.Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah
Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya Gubernur yang
ditunjuk Pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan Daerah. Di samping itu
di berbagai Daerah muncul pula dewan-dewan lain yakni:
Pasca-PRRI[sunting | sunting sumber]
Peristiwa ini belakangan menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku
[6]
Minangkabau ke daerah lain. Menurut catatan Dr. Mochtar Naim dalam
bukunya, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984), sebelum terjadinya
peristiwa PRRI, jumlah orang Minang di Jakarta diperkirakan kurang dari seratus ribu
orang, tetapi setelah peristiwa tersebut, jumlahnya meningkat menjadi beberapa ratus
ribu. Bahkan menurut perkiraan Gubernur jakarta pada tahun 1971 sudah terdapat
[7]
sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta.
Selain itu juga menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar
[8]
masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak ,
padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih
menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan
pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa pra kemerdekaan. Selain
beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga
diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang
[9]
kalah serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI
[6]
tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.
Majelis Permusyawaratan Federal
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Sejarah Indonesia
Garis waktu
Prasejarah[tampilkan]
Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]
Kerajaan Islam[tampilkan]
Kerajaan Kristen[tampilkan]
Kolonialisme Eropa[tampilkan]
Kemunculan Indonesia[tampilkan]
Kemerdekaan[tampilkan]
Menurut topik[tampilkan]
Portal Indonesia
l
b
s
Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal
Overleg (BFO) adalah sebuah komite yang didirikan oleh Belanda untuk
mengelola Republik Indonesia Serikat (RIS) selama Revolusi Nasional
Indonesia (1945–1949). Komite ini terdiri dari 15 pemimpin negara bagian dan daerah
otonom di dalam RIS dengan masing-masing negara bagian memiliki satu suara.
Komite ini bertanggung jawab untuk mendirikan pemerintahan sementara pada tahun
[1]
1948 sebagaimana dirumuskan dalam Persetujuan Meja Bundar. Sebagian besar
perwakilan BFO berasal dari luar Jawa dimana kehadiran Partai Republik lebih lemah
[2]
dan dukungan untuk negara-negara federal Belanda lebih kuat.
Karena hubungannya dengan Belanda, BFO dianggap sebagai kolaborator oleh
Republik Indonesia yang tidak mempercayai sistem federal dan menganjurkan
[3]
suatu negara kesatuan Republik Indonesia. Menyusul aksi politik Belanda yang
kedua pada bulan Desember 1948, BFO mendukung resolusi Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa yang meminta pemulihan pemerintah Republik
di Yogyakarta sebelumnya untuk terlibat dalam Konferensi Meja Bundar Belanda-
Indonesia di Den Haag. Setelah pertemuan dengan pimpinan Republik yang dipenjara
di Pulau Bangka dan sebuah serangan balasan Republikan yang sukses di Yogyakarta
pada tanggal 3 Maret 1949, BFO menjadi semakin kecewa dengan kekejaman Belanda
dan menganjurkan masuknya orang-orang Republik dalam negosiasi dan sistem
[4]
federal.
Daftar isi
1Sejarah
o 1.1Kampanye "Negara Boneka" Van Mook
o 1.2Persidangan
o 1.3Konferensi Meja Bundar dan Republik
Indonesia Serikat
2Keanggotaan
3Lihat pula
4Catatan kaki
5Referensi
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Kampanye "Negara Boneka" Van Mook[sunting | sunting sumber]
Konferensi Inter-Indonesia
Sebelum melangkah ke forum internasional, wakil-wakil RI berunding dua kali dengan
wakil-wakil BFO dalam Konferensi Inter-Indonesia di Yogyakarta (22 Juli 1949),
[6]
dan Jakarta (1 Agustus 1949). Mereka sepakat mengenai aspek-aspek terpenting
dalam usaha menciptakan suatu sistem politik baru. Perundingan itu kemudian
[7]
dilanjutkan ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Keanggotaan[sunting | sunting sumber]
BFO terdiri atas pimpinan 15 negara bagian bentukan Belanda, yang memiliki populasi
[8]
antara 100,000 hingga 11 juta jiwa.
Bandjar
Banka
Billiton
Jawa Tengah
Borneo Timur (tidak termasuk bekas wilayah Kerajaan Pasir)
Groot Dajak (Dajak Besar)
Riouw
Federasi Kalimantan Tenggara
Borneo Barat (Wilayah khusus)
Sejak awal pembentukan BFO terdapat tokoh-tokoh yang dominan dalam setiap rapat
yang diadakan BFO. Tokoh tersebut adalah Anak Agung Gde Agung (Negara Indonesia
Timur), R.T Adil Puradiredja (Pasundan), Sultan Hamid II (Borneo Barat), dan T.
Mansoer (Sumatra Timur). Masing-masing tokoh memanfaatkan setiap kesempatan
dalam BFO untuk mempengaruhi anggota lainnya agar mendukung usaha dan
pemikirannya. Anak Agung dan Adil Puradiredja berusaha agar BFO mendekati RI,
sedangkan Sultan Hamid II dan T. Mansoer berusaha agar BFO tetap mengikuti
rencana Belanda.