Anda di halaman 1dari 47

Pemberontakan PKI 1948

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Keakuratan artikel ini diragukan dan artikel ini perlu


diperiksa ulang dengan mencantumkan referensi
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Lihat diskusi mengenai artikel ini di halaman
diskusinya.
Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut Peristiwa Madiun adalah pemberontakan
komunis yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 di kota Madiun. Pemberontakan ini
dilakukan oleh "Front Demokrasi Rakyat" (FDR), yang terdiri atas Partai Komunis
Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI) Pemuda
Rakyat dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Daftar isi

 1Latar Belakang
 2Pemberontakan
 3Akhir
 4Lihat juga
 5Catatan kaki
 6Bacaan lebih lanjut

Latar Belakang
Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir
Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak disepakatinya Perjanjian
Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri,
namun Amir beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian
kabinet tersebut.
Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis
Indonesia yang lama tinggal di Uni Soviet (sekarang Rusia) ini menjelaskan tentang “pekerjaan
dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menawarkan gagasan yang
disebutnya “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Musso menghendaki satu partai kelas buruh
dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai
yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis
Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah
pemerintahan yang disebut "Komite Front Nasional".
Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya
kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerja sama
internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk
menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya berencana
untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu
Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Penguasaan itu
dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya. [1]
Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di
kota Surakarta, serta mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan
Siliwangi yang ada di sana.
Mengetahui hal itu, pemerintah langsung memerintahkan kesatuan-kesatuan TNI yang tidak
terlibat adu domba untuk memulihkan keamanan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini
dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto.

Pemberontakan
Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta,
pada 18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa
Timur, dan pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari
berikutnya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun, PKI
juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa Tengah.[2] Pemberontakan ini
menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta
beberapa petugas polisi dan tokoh agama.

Akhir
Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat.
Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai
gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh
Kolonel A. H. Nasution.[3]
September 1948, Proses introgasi terhadap anggota PKI.

September 1948, tampak TNI bersenjata dan masyarakat yang menangkap anggota PKI.

Interogasi yang dilakukan oleh seorang prajurit TNI kepada simpatisan PKI.
Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi Belanda,
namun dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuan-
kesatuan lainnya yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak akhirnya dapat
dimusnahkan.[4]
Kondisi korban sebelum dieksekusi.

Korban eksekusi

September 1948, Kondisi korban setelah eksekusi.

September 1948, Foto setelah dilakukannya eksekusi terbuka kepada anggota PKI.

September 1948, proses eksekusi massal terhadap anggota PKI.

Eksekusi dilakukan dengan cara ditembak.

Eksekusi dilakukan dengan cara ditembak.

Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso yang melarikan diri ke Sumoroto,
sebelah barat Ponorogo. Dalam peristiwa itu, Musso berhasil ditembak mati. Sedangkan Amir
Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Amir
sendiri tertangkap di daerah Grobogan, Jawa Tengah.[3]
Pemberontakan DI/TII di Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Dimulai dengan
pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi itu
menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dibawah
kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang
mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada
pertengahan tahun 1947. Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa penuh
atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun
militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit
memperoleh pengikut. [1]
Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil
mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Pada
masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai
sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.
Tidak lama setelah pemberontakan pecah, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo segera memberikan penjelasan secara runut tentang peristiwa
tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Oktober 1953.[2]

Daftar isi

 1Latar belakang
 2Lihat pula
 3Rujukan
o 3.1Bacaan lanjutan

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh
pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatra
Utara yang beribu kota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik
masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia
dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950). Kekhawatiran kembalinya kekuasaan
para ulee balang yang sejak lama telah menjadi pemimpin formal pada lingkup adat dan politik
di Aceh[3][4].
Keinginan dari masyarakat Aceh untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka.
[5]
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan, kekecewaan Daud
Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen
rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat
Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut dikabarkan diambil oleh Jakarta
berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap untuk sebuah pemberontakan
guna memisahkan diri dari negara Indonesia.[6][7]
Gerakan 30 September
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar


kualitasnya dapat dipastikan. Mohon bantu kami
untuk mengembangkan artikel ini dengan
cara menambahkan rujukan ke sumber tepercaya.
Pernyataan tak bersumber bisa saja
dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Gerakan 30
September" – berita · surat
kabar · buku · cendekiawan · JSTOR (Pelajari cara
dan kapan saatnya untuk menghapus pesan
templat ini)

Untuk artikel mengenai film tentang peristiwa Gerakan 30 September, lihat Pengkhianatan G


30 S/PKI.

"Gestapu" beralih ke halaman ini. Halaman ini berbeda dengan Gestapo.

Bagian dari seri artikel mengenai

Sejarah Indonesia

Garis waktu

Prasejarah[tampilkan]

Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]

Kerajaan Islam[tampilkan]
Kerajaan Kristen[tampilkan]

Kolonialisme Eropa[tampilkan]

Kemunculan Indonesia[tampilkan]

Kemerdekaan[tampilkan]

Menurut topik[tampilkan]

 Portal Indonesia

 l
 b
 s

Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI,


sering disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), atau
juga Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada
tanggal 30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh
perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu
usaha kudeta (yang hampir sekaligus).[1]

Daftar isi

 1Latar belakang
o 1.1Angkatan kelima
o 1.2Isu sakitnya Bung Karno
o 1.3Isu masalah tanah dan bagi hasil
o 1.4Faktor Malaysia
o 1.5Faktor Amerika Serikat
o 1.6Faktor ekonomi
 2Peristiwa
o 2.1Isu Dewan Jenderal
o 2.2Isu Dokumen Gilchrist
o 2.3Isu Keterlibatan Soeharto
o 2.4Korban
 3Pascakejadian
o 3.1Penangkapan dan pembantaian
o 3.2Supersemar
o 3.3Pertemuan Jenewa, Swiss
 4Peringatan
 5Lihat pula
 6Bacaan lebih lanjut
 7Pranala luar
 8Referensi

Latar belakang

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar di seluruh dunia, di


luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh
yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan para petani anggota Barisan Tani
Indonesia yang berjumlah 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi
penulis dan artis serta pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan
pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan. Kemudian, Sukarno menetapkan konstitusi di
bawah dekret presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting.
Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin"
Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
mengatasi masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik, serta korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
Angkatan kelima
Artikel utama: Angkatan Kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan
100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan
ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965, Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana menteri
RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Akan
tetapi, petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-
mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-
bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat".
Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan
Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dengan polisi dan
para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani
berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan
partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan
dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi
anggota kabinet. Jenderal-jenderal tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh
Sukarno disamakan dengan setingkat menteri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama
jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet
Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".[2]
Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia


berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari
antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik
pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim
militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan
bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang
itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin
mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jenderal-jenderal
militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan
dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai
dan mereka akan bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap
berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro
PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung
Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit
ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-
Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari
wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik
pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak
jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah
yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing
aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi
di Sumatra Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian
digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya. Keributan antara PKI dan Islam
(tidak hanya NU, tetapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di
hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain juga
terjadi hal demikian.
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah
satu faktor penting dalam insiden ini[3]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu
penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada
akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran


menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang
negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri
Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno
terhadap Malaysia pun meledak. ”

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia[4] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah
sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat
untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di
satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan
anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan
skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju
dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI
untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka
dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang
mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih
untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan
pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa
operasinya disabotase dari belakang[5]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di
Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan
berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga
diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".

“ Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin


yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri
tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak
mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia
tidak mungkin menjadi boneka. ”

Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka
anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk
keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak
sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi
keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman,
ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan
adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal
ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan
PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di
lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (7 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang
bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau
musuh saya. Itu terserah kamu. … Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya
akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[4]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi
Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan
dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor Amerika Serikat
Artikel utama: Aktivitas CIA di Indonesia

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat
tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam
Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada
bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena
mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar,
hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8
Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di
Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada
Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan
PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan
mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekret Supersemar Amerika memberikan daftar nama-
nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan
tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan
"ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antre beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk
menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang
menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang
sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang
tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian
mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang
yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa
Sumur Lubang Buaya

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh
dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap
loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap
gerakan tersebut.
Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka
untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan
jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan
membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist
Artikel utama: Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew
Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang
oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Our local army friends"
(Teman tentara lokal kita) yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah
dibeli oleh pihak Barat[6]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-
nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat
mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John
Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis
skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia
kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu
menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul
Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak
penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan
Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson
and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the
CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files,
Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext
for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia),
Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

 Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando


Operasi Tertinggi)
 Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
 Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
 Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
 Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
 Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu
CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

 Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.


Leimena)
 Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
 Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Pascakejadian
Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan

Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan
menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.

Pascapembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi
vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan
Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September
yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan
kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai
oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem
072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka
diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas
menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan
sekretaris jenderal PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk
mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.
Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-
organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan
angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-
Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-
rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita
mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia
untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto
pada saat Suharto disumpah[7]:

“ Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat


pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan
daripada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia
yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di
atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri
di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan
negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan
daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan,
dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca
Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam
kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu
dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta
engkau! ”

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana pada bulan Februari 1966, perwakilan Uni-


Sovyet berusaha untuk menghindari pengutukan atas pembantaian orang-orang yang dituduh
sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan
pujian dari rezim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari,
menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal,
Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika,
Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa
yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan dan pembantaian
Artikel utama: Pembantaian di Indonesia 1965–1966
Penangkapan Simpatisan PKI

Beberapa bulan setelah peristiwa ini, seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang yang
diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan
untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan
Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Jumlah orang yang dibantai
belum diketahui secara pasti – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang,
sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya
satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan
pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-
laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara lima ratus ribu sampai dengan satu juta anggota dan pendukung-
pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang
didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan
melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga
pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di
mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-
daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar
terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang
menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai
Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus
dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau
dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis
"anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang
mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini
dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada
akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang
sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon
Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar

Wikisource memiliki naskah sumber yang


berkaitan dengan artikel ini:
Surat Perintah (11 Maret 1966)
Artikel utama: Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan
tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk
mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk
melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali
digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-
Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24
November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan
antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada
bulan November 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-
perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British
Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank,
dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak
dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di
situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi
bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport
mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil
mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan
ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan

Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30


September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian
tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal
30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera
di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di
makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film
itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September – 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian
acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga
jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam
rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara
itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit,
Haryo Sasongko, dan Putmainah.
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Untuk kelompok milisi APRA, lihat Angkatan Perang Ratu Adil.

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)


Kudeta 23 Januari

Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia

Para prajurit TNI yang tewas dalam Peristiwa Kudeta APRA

Tanggal 22 Januari–23 Januari 1950[2]


Lokasi Bandung dan Jakarta, Jawa
Hasil Pendudukan sementara Bandung oleh Tentara APRA [3]
Percepatan integrasi negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat ke
dalam Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1950.[4]

Pihak terlibat

 TNI Tentara APRA
 KNIL[1]

Tokoh dan pemimpin

Kolonel Sadikin [5] Raymond Westerling [5]


Mayor Jenderal Engels[6] Letnan tak teridentifikasi[5]

Kekuatan

Divisi Siliwangi[2] 523 prajurit APRA [3]


4,500 Prajurit TNI[3]
Korban

Sekitar 100 jiwa[3] Ringan[3]

Bagian dari seri artikel mengenai

Sejarah Indonesia

Garis waktu

Prasejarah[tampilkan]

Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]

Kerajaan Islam[tampilkan]

Kerajaan Kristen[tampilkan]

Kolonialisme Eropa[tampilkan]

Kemunculan Indonesia[tampilkan]

Kemerdekaan[tampilkan]

Menurut topik[tampilkan]

 Portal Indonesia

 l
 b
 s
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950 di mana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan
komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan
membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah
direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh
pimpinan tertinggi militer Belanda.

Daftar isi

 1Latar belakang
 2Surat ultimatum
 3Desersi
 4Kudeta
 5Rujukan
 6Pranala luar
 7Referensi

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa
Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000
orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8
Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil
Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan
desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang
Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman
van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan
Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang
telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu
jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya
Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan
tindakan tersebut, tetapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.

Surat ultimatum[sunting | sunting sumber]


Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, tetapi juga
di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani
Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman.
Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak
semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerja sama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J.
Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan
Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling
mengunjungi Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu
bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi
pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi
Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling.
Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya
antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952,
Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid
II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van
Maarseveen berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda
yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven,
bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950
menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor
risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah
dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld
menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan
Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

Desersi[sunting | sunting sumber]
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST
dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer
di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang
berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan
APRA untuk ikut dalam kudeta, tetapi dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten
G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI
Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal
Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang
sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan
Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140
orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan
dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.

Kudeta[sunting | sunting sumber]
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret merah dan
baret hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling
mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda
dimulai, pada 23 Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan
Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA
bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di
jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong,
sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST
dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap
Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari
pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul,
sehingga serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan
pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik terhadap Westerling atas
kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak
ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST
dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari
pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh
Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950
dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne
Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah
melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan
bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan
serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari
Belanda).
Peristiwa Andi Azis
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Artikel atau bagian artikel ini tidak
memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga
isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel
ini dengan menambahkan referensi yang layak.
Tulisan tanpa sumber dapat dipertanyakan dan
dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. (Januari
2018)

Peristiwa Andi Azis

Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia

Tanggal 15 April 1950 (penangkapan Andi Azis)


5 Agustus 1950 (penyerangan terhadap pasukan KL/KNIL)
Lokasi Makassar
Jakarta
Hasil Penangkapan Andi Azis (15 April 1950)
Pembasmian pasukan KL/KNIL (5 Agustus 1950)
Percepatan integrasi negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat ke dalam
Republik Indonesia (17 Agustus 1950).

Pihak terlibat

 APRIS  KNIL (KL)

Tokoh dan pemimpin

Alex Kawilarang Andi Azis


Hamengkubuwana IX

Peristiwa Andi Azis adalah upaya pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis, seorang


mantan perwira KNIL, yang berusaha untuk mempertahankan keberadaan Negara Indonesia
Timur dan enggan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Andi Azis, para
perwira APRIS (ABRI) (dari kalangan mantan anggota KNIL) harus bertanggung jawab terhadap
gangguan keamanan di wilayah Negara Indonesia Timur yang menurutnya didalangi oleh
pemerintah.

Awal gerakan[sunting | sunting sumber]


Andi Azis adalah seorang mantan perwira KNIL yang bergabung menjadi perwira APRIS (ABRI),
kemudian beliau diterima sebagai perwira APRIS. Pelantikannya disaksikan oleh Letkol Ahmad
Yunus Mokoginta, yang merupakan Panglima Tentara Teritorium Negara Indonesia Timur.
Namun kemudian, beliau justru menggerakkan pasukannya dari para mantan perwira KL/KNIL
lainnya untuk menyerang markas APRIS dan menyandera sejumlah perwira APRIS, termasuk
Letkol A. Y. Mokoginta. Setelah menguasai Makassar, beliau menyatakan bahwa Negara
Indonesia Timur harus dipertahankan. Ia menuntut agar para perwira APRIS (dari kalangan
mantan anggota KNIL) harus bertanggung jawab terhadap gangguan keamanan di
wilayah Indonesia Timur yang menurutnya didalangi oleh pemerintah.
Pada tanggal 8 April 1950, pemerintah membuat ultimatum yang meminta Andi Azis agar
segera datang ke Jakarta. Karena, apabila beliau tidak mengindahkan ultimatum tersebut, maka
Kapal Angkatan Laut Hang Tuah akan mem-bom kota Makassar. Selain itu, ultimatum
pemerintah tersebut juga meminta agar Andi Azis mempertanggungjawabkan perbuatannya
dalam waktu 4 x 24 jam, tetapi ultimatum tersebut tetap juga tidak diindahkan. Setelah batas
waktu terlewati, pemerintah mengirimkan pasukan di bawah Kolonel Alex Kawilarang. Dan
akhirnya, pada tanggal 15 April 1950, Andi Azis datang ke Jakarta dengan perjanjian dari Sri
Sultan Hamengkubuwana IX bahwa beliau tidak akan ditangkap. Tetapi, ketika Andi Azis datang
ke Jakarta, beliau justru langsung ditangkap.

Pertempuran[sunting | sunting sumber]
Gerakan ini diawali dengan kegiatan pasukan APRIS (ABRI) yang diganggu oleh KL/KNIL dan
kerap kali melakukan provokasi serta konflik dengan pasukan APRIS. Pertempuran keduanya
meletus pada tanggal 5 Agustus 1950. Tentara KL/KNIL berhasil ditaklukkan oleh APRIS dengan
mengerahkan seluruh kekuatan pasukan dari angkatan darat, laut, dan udara.
Republik Maluku Selatan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Republik Maluku Selatan

1950–1963

Bendera

Lambang

Lagu kebangsaan: Maluku
Tanah Airku
Teritori yang diklaim Republik
Maluku Selatan.

Status Terasingkan sejak
1963

Ibu kota Ambon

Pemerintah Republik
an

Presidena  
• April–Mei Johanis
1950 Manuhutu
• 1950–1966 Chris Soumokil
• 1966–1992 Johan Manusama
• 1993–2010 Frans
Tutuhatunewa
• 2010– John Wattilete
sekarang

Sejarah  

• Didirikan 25 April 1950


• Dibubarkan Desember 1963

Didahului oleh Digantikan oleh


Hindia Belanda Indonesia
a. Terasingkan sejak 1966.
Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan
Maluku yang diproklamasikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya
[butuh rujukan]
adalah Seram, Ambon, dan Buru.  RMS di Ambon dikalahkan oleh militer
Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di Seram masih berlanjut sampai
Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintah RMS ke
Seram, kemudian mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda pada tahun
1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Chris Soumokil ditangkap militer Indonesia
dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam pengasingan dilantik di Belanda.
Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete, pengacara
berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 2010.
Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Jajahan Belanda mencapai jumlah
tersebut pada abad ke-19 dengan didirikannya Hindia Belanda. Perbatasan Indonesia
saat ini terbentuk melalui ekspansi kolonial yang berakhir pada abad ke-20. Pasca-
pendudukan oleh Kekaisaran Jepang tahun 1945, para pemimpin nasionalis di Pulau
Jawa menyatakan kemerdekaan Indonesia. Tidak semua wilayah dan suku di Indonesia
yang langsung bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[1]
 Pemberontakan pribumi pertama yang terorganisasi muncul di Maluku Selatan
dengan bantuan pemerintah dan militer Belanda. Kontra-revolusioner Maluku Selatan
awalnya bergantung pasa perjanjian pascakolonial yang menjanjikan bentuk negara
federal.
Daftar isi
 1Pengasingan
 2Presiden
 3Bendera
 4Lambang
 5Lagu kebangsaan
o 5.1Lirik
 6Perkembangan RMS saat ini
o 6.1Perkembangan politik di Belanda
o 6.2Perkembangan politik di Indonesia
 7Lihat pula
 8Referensi
Pengasingan[sunting | sunting sumber]

Teks Proklamasi dari Republik Maluku Selatan, 25 April


1950.
Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia pada
November 1950, sedangkan perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau
Seram sampai 1962. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintahan
RMS dari pulau-pulau tersebut dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di
[2]
Belanda.  Tahun berikutnya, 12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat
ke Belanda dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan "Republik Maluku
Selatan".
Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan teror di Belanda. Sejumlah
penelitian berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak adanya
[3]
dukungan dari pemerintah Belanda.
Serangan pertama dilancarkan tahun 1970 di rumah Duta Besar Indonesia di
Wassenaar. Seorang polisi Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti oleh
pembajakan kereta api di Wijster tahun 1975. Pembajakan tersebut dibarengi oleh
serangan buatan lain di konsulat Indonesia di Amsterdam. Tiga sandera dieksekusi di
kereta dan seorang berkebangsaan Indonesia cedera parah saat mencoba kabur dari
konsulat. Pada tahun 1977, terjadi pembajakan kereta di De Punt yang dibarengi oleh
penyanderaan sekolah dasar di Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara paksa melalui
serbuan marinir Bijzondere Bijstands Eenheid (BBE) yang menewaskan enam teroris
dan dua sandera. Aksi RMS terakhir terjadi tahun 1978 ketika balai provinsi di
Assen diduduki anggota RMS. Aksi ini juga digagalkan oleh pasukan BBE.
Sejak 1980-an sampai sekarang, belum ada serangan baru yang dilancarkan RMS.

Presiden[sunting | sunting sumber]
Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama (1966–
1993).
Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954 bersembunyi dan
memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap ABRI di Seram pada
tanggal 2 Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta dan dihukum
mati. Ia dieksekusi pada tanggal 12 April 1966.
Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans
Tutuhatunewa M.D. pada tahun 1993–2010. Mereka tetap tidak menyerukan aksi
kekerasan terhadap Belanda maupun Indonesia. Presiden dalam pengasingan
menyatakan bahwa generasi muda harus berfokus pada pendidikan dan
pengembangan diri mereka di Belanda jika benar-benar ingin mendukung dan
membangun Maluku Selatan.
Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden ketiga
Indonesia, mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk membantu
pemulangan generasi pertama suku Maluku ke tanah airnya jika mereka berhenti
[4][5]
menuntut kemerdekaan.
John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden
pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih
pragmatis ketimbang presiden-presiden sebelumnya.

Bendera[sunting | sunting sumber]
Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan memiliki
proporsi 2:3. Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950 pukul 10.00. Dua
hari kemudian, pemerintah merilis penjelasan tentang arti bendera. Warna biru
melambangkan laut dan kesetiaan, putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih, hijau
tumbuh-tumbuhan, dan merah nenek moyang dan darah rakyat.

Bendera RMS sebelum 2011


 

Bendera RMS sejak 2011


Lambang[sunting | sunting sumber]

Lambang Republik Maluku Selatan


Lambang RMS menampilkan burung merpati putih Maluku bernama 'Pombo'. Merpati
putih dianggap sebagai simbol positif dan harapan baik. 'Pombo' ditunjukkan bersiap-
siap terbang, sayapnya setengah terbuka dan di paruhnya terdapat cabang pohon
damai. Dadanya bertuliskan 'parang', 'salawaku', dan bentuk tombak.
Bagian blazon dari lambang RMS bertuliskan 'Mena - Moeria'. Slogan ini berasal dari
bahasa Maluku Melanesia asli. Sejak dulu, kata-kata ini diteriakkan oleh nakhoda dan
pendayung perahu tradisional Maluku, Kora Kora, untuk menyeragamkan gerakan
mereka saat ekspedisi lepas pantai. Slogan ini berarti 'Depan - Belakang', tetapi bisa
juga diterjemahkan menjadi 'Saya pergi- Kita mengikuti' atau 'Satu untuk semua-
Semua untuk satu'.

Lagu kebangsaan[sunting | sunting sumber]


Lagu kebangsaan RMS berjudul "Maluku Tanah Airku" dan dikarang dalam bahasa
Melayu oleh Chr. Soumokil dan O. Sahalessy dengan aksara Latin dan Maluku
[6]
Melanesia.
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Bagian dari seri artikel mengenai

Sejarah Indonesia

Garis waktu

Prasejarah[tampilkan]

Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]

Kerajaan Islam[tampilkan]

Kerajaan Kristen[tampilkan]

Kolonialisme Eropa[tampilkan]

Kemunculan Indonesia[tampilkan]

Kemerdekaan[tampilkan]

Menurut topik[tampilkan]
 Portal Indonesia

 l
 b
 s
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI)
merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan
keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad
Husein di Padang, Sumatra Barat, Indonesia.
Gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di
mana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.
[1]

Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan pemberlakuan otonomi


daerah yang lebih luas. Ultimatum tersebut bukan tuntutan pembentukan negara baru
maupun pemberontakan, tetapi lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi
[2]
dijalankan.  Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum
stabil pasca-agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat
dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan,
terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Bibit-bibit konflik tersebut mulai terjadi sejak dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950
tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatra Tengah waktu itu yang
mencakup wilayah provinsi Sumatra Barat, Riau yang kala itu masih mencakup
[3]
wilayah Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.
[1]
Bagaimanapun, pertentangan ini dianggap sebagai sebuah pemberontakan  oleh
pemerintah pusat, yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi
pemerintahan tandingan, dan kemudian ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer
terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia. Semua tokoh PRRI
adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI. Sebagaimana
ditegaskan Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di Istana Negara April 1957;
Landasan perjuangan daerah tetap Republik Proklamasi dan berkewajiban untuk
menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.

Daftar isi
 1Awal Gerakan
 2Pengumuman berdirinya PRRI
o 2.1Pengumumannya
o 2.2Sebab berdirinya PRRI
 3Operasi Militer
 4Kabinet PRRI
 5Pasca-PRRI
 6Referensi
Awal Gerakan[sunting | sunting sumber]
Gerakan ini bermula dari acara reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20-
25 November 1956. Dari pertemuan tersebut di hasilkan perlunya Otonomi Daerah agar
bisa menggali potensi dan kekayaan Daerah dan disetujui pula pembetukan Dewan
Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein komandan resimen IV dan tetorium I
yang berkedudukan di Padang. Namun upaya ini gagal.
Pada tanggal 20 Desember 1956.Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah
Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya Gubernur yang
ditunjuk Pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan Daerah. Di samping itu
di berbagai Daerah muncul pula dewan-dewan lain yakni:

 Dewan Gajah di Sumatra Utara pimpinan Kolonel Maludin Simbolon


 Dewan Garuda di Sumatra Selatan pimpinan Letkol R. Barlian
 Dewan Manguni di Sulawesi Utara pimpinan Letkol Ventje Sumual.
Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, pemerintah pusat mengadakan
musyawarah nasional pada September tahun 1957. Kemudian Musyawarah Nasional
Pembangunan pada November 1957 yang bertujuan mempersiapkan pembangunan di
daerah secara integral. Namun tetap saja gagal bahkan semakin memanas.

Pengumuman berdirinya PRRI[sunting | sunting sumber]


Pengumumannya[sunting | sunting sumber]
Selanjutnya diadakan rapat raksasa di Padang. Letkol Ahmad Husein selaku pimpinan
mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya
kepada Presiden dengan waktu 5 X 24 jam dan Presiden diminta kembali kepada
kedudukan konstitusionalnya. Ultimatum ini ditolak oleh Pemerintah Pusat, bahkan
Ahmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari Angkatan Darat. Pada tanggal 15
Februari 1958 Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia di Padang. Pemerintah tersebut membuat Kabinet
dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya
Sebab berdirinya PRRI[sunting | sunting sumber]
Sebab berdirinya PRRI adalah tuntutan otonomi luas dan kekecewaan terhadap
pemerintah pusat karena dianggap telah melanggar undang-undang. Juga pemerintah
yang cenderung sentralis, sehingga pembangunan di daerah menjadi terabaikan

Operasi Militer[sunting | sunting sumber]


Peta operasi yang dilancarkan oleh Tentara Nasional
Indonesia terhadap PRRI dan Permesta pada 1958
Pemerintah Pusat menganggap gerakan tersebut harus segera ditumpas dengan
kekuatan senjata. Lantas Pemerintah melakukan operasi gabungan yang terdiri
dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Operasi pun dilancarkan sebagai berikut:
1. Operasi tegas dengan sasaran Riau
2. Operasi 17 Agustus pimpinan Kolonel Ahmad Yani
3. Operasi sapta marga
4. Operasi sadar di bawah pimpinan letkol Dr. Ibnu Sutowo
Dalam waktu singkat banyak pimpinan PRRI yang menyerahkan diri pada 29
Mei 1961 Ahmad Husein menyerahkan diri dan berakhirlah pemberontakan PRRI

Kabinet PRRI[sunting | sunting sumber]


Kabinet PRRI terdiri dari:

 Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,


 Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat
memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
 Kol. Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,
 Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
 Muhammad Sjafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
 J.F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
 Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
 Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
 Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
[4][5]
 Abdul Gani Usman  sebagai Menteri Sosial,
 Kol. Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah
Mr. Assaat sampai di Padang

Pasca-PRRI[sunting | sunting sumber]
Peristiwa ini belakangan menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku
[6]
Minangkabau ke daerah lain.  Menurut catatan Dr. Mochtar Naim dalam
bukunya, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984), sebelum terjadinya
peristiwa PRRI, jumlah orang Minang di Jakarta diperkirakan kurang dari seratus ribu
orang, tetapi setelah peristiwa tersebut, jumlahnya meningkat menjadi beberapa ratus
ribu. Bahkan menurut perkiraan Gubernur jakarta pada tahun 1971 sudah terdapat
[7]
sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta.
Selain itu juga menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar
[8]
masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak ,
padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih
menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan
pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa pra kemerdekaan. Selain
beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga
diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang
[9]
kalah   serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI
[6]
tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.
Majelis Permusyawaratan Federal
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Bagian dari seri artikel mengenai

Sejarah Indonesia

Garis waktu

Prasejarah[tampilkan]

Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]

Kerajaan Islam[tampilkan]

Kerajaan Kristen[tampilkan]

Kolonialisme Eropa[tampilkan]

Kemunculan Indonesia[tampilkan]

Kemerdekaan[tampilkan]

Menurut topik[tampilkan]
 Portal Indonesia

 l
 b
 s
Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal
Overleg (BFO) adalah sebuah komite yang didirikan oleh Belanda untuk
mengelola Republik Indonesia Serikat (RIS) selama Revolusi Nasional
Indonesia (1945–1949). Komite ini terdiri dari 15 pemimpin negara bagian dan daerah
otonom di dalam RIS dengan masing-masing negara bagian memiliki satu suara.
Komite ini bertanggung jawab untuk mendirikan pemerintahan sementara pada tahun
[1]
1948 sebagaimana dirumuskan dalam Persetujuan Meja Bundar.  Sebagian besar
perwakilan BFO berasal dari luar Jawa dimana kehadiran Partai Republik lebih lemah
[2]
dan dukungan untuk negara-negara federal Belanda lebih kuat.
Karena hubungannya dengan Belanda, BFO dianggap sebagai kolaborator oleh
Republik Indonesia yang tidak mempercayai sistem federal dan menganjurkan
[3]
suatu negara kesatuan Republik Indonesia.  Menyusul aksi politik Belanda yang
kedua pada bulan Desember 1948, BFO mendukung resolusi Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa yang meminta pemulihan pemerintah Republik
di Yogyakarta sebelumnya untuk terlibat dalam Konferensi Meja Bundar Belanda-
Indonesia di Den Haag. Setelah pertemuan dengan pimpinan Republik yang dipenjara
di Pulau Bangka dan sebuah serangan balasan Republikan yang sukses di Yogyakarta
pada tanggal 3 Maret 1949, BFO menjadi semakin kecewa dengan kekejaman Belanda
dan menganjurkan masuknya orang-orang Republik dalam negosiasi dan sistem
[4]
federal.

Daftar isi
 1Sejarah
o 1.1Kampanye "Negara Boneka" Van Mook
o 1.2Persidangan
o 1.3Konferensi Meja Bundar dan Republik
Indonesia Serikat
 2Keanggotaan
 3Lihat pula
 4Catatan kaki
 5Referensi
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Kampanye "Negara Boneka" Van Mook[sunting | sunting sumber]

H.J.J van Mook


Pendirian Badan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federale
Overleg disingkat BFO) tidak lepas dari pembentukan negara federal di Indonesia.
Rencana pembentukan negara federasi di Indonesia awalnya dicetuskan oleh Letnan-
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook. Rencana tersebut mengharuskan van
Mook mengubah ketatanegaraan di Indonesia. Pengubahan ketatanegaraan mengalami
hambatan karena di Indonesia telah berdiri Republik Indonesia, sehingga Van Mook
mengawali rencana membentuk negara federal dengan
menyebarluaskan federalisme di Indonesia pada konferensi yang berlangsung di Hooge
Veluwe. Konferensi tersebut gagal memperjuangkan federalisme di Indonesia karena
bertentangan dengan keinginan Belanda yang menginginkan RI juga masuk
[5]
dalam persemakmuran di bawah Belanda.
Van Mook kembali mengadakan konferensi di Malino tanggal 15 Juli sampai 25
Juli 1946. Konferensi tersebut menghasilkan keputusan bahwa peserta konferensi
dengan suara bulat menyetujui pengubahan ketatanegaraan di Indonesia menjadi
federasi. Setelah konferensi Malino, van Mook kembali mengadakan Konferensi
Pangkal Pinang dan Konferensi Denpasar. Konferensi tersebut menjadi langkah awal
pembentukan negara federal di Indonesia, yaitu membentuk Negara Indonesia Timur,
sebagai negara bagian yang pertama didirikan. Setelah itu Belanda berhasil
membentuk negara-negara dan daerah otonom lainnya di Indonesia.

Konferensi Malino, 1946


Van Mook kembali mengadakan konferensi untuk mewujudkan rencananya membentuk
Negara Indonesia Serikat (NIS) di Indonesia. Konferensi diadakan
di Bandung tanggal 27 Mei 1948 bertempat di Gedung Parlemen Negara Pasundan.
Konferensi tersebut dihadiri oleh wakil dari negara dan daerah otonom di Indonesia,
yaitu Negara Indonesia Timur, Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa
Tengah, Pasundan, Jawa Timur, Borneo Timur, Borneo Barat, Bandjar, Bangka,
dan Riau. Pada konferensi federal van Mook mengajukan suatu rancangan
pemerintahan yang telah disusunnya, yaitu pembentukan Pemerintah Federal
Sementara atau Voorlopige Federale Regering (VFR). VFR rancangan van Mook
merupakan lembaga pemerintahan yang telah ada di Indonesia dan hanya berganti
nama untuk mendapatkan kembali simpati dari bangsa Indonesia.
Peserta konferensi kecewa karena van Mook tidak memberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan ataupun usul pengubahan rancangan VFR. Kekecewaan
tersebut membuat Ide Anak Agung Gde Agung dan R.T. Adil Puradiredja sepakat
kembali mengadakan konferensi serupa yang bertujuan membuat rancangan
pemerintahan federal di Indonesia. Konferensi tersebut diadakan di Bandung tanggal 7
Juli 1948 dan diberi nama konferensi satuan-satuan kenegaraan atau konferensi
kenegaraan (Staatkundige Enheden Conferentie). Konferensi kenegaraan lebih dikenal
sebagai Majelis Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federale Overleg atau
BFO).
Persidangan[sunting | sunting sumber]
Anggota BFO memulai sidang pertamanya di Bandung pada 7 Juli 1948. Konferensi
BFO dihadiri oleh peserta konferensi federal 27 Mei. Tujuan konferensi BFO adalah
mencari jalan keluar dari situasi politik yang gawat akibat permasalahan antara RI dan
Belanda dan diharapkan konferensi dapat mencetuskan suatu rancangan pemerintahan
yang jauh lebih baik dari rancangan van Mook, apabila RI juga bersedia menjadi bagian
dari pemerintahan federal yang meliputi seluruh Indonesia.

Ide Anak Agung Gde Agung bersama Sultan Hamid


II dari Pontianak
BFO kembali melanjutkan konferensi selama tiga hari mulai tanggal 15 Juli sampai 18
Juli 1948. Pada konferensi tiga hari tersebut, BFO membicarakan rancangan
pemerintah peralihan yang dinamai Pemerintah Federal Interim (Federale Interim
Regering atau FIR). Pembicaraan tersebut berkaitan dengan ikut sertanya RI dalam
susunan FIR. Apabila RI tidak berkenan maka FIR tetap akan dibentuk untuk
menyiapkan sebuah negara serikat yang terdiri dari orang-orang Indonesia saja.
Setelah terbentuknya FIR akan diadakan sebuah perundingan kembali untuk
mengupayakan RI menjadi bagian dari FIR.
BFO mengumumkan resolusinya pada konferensi pers tanggal 27 Juli 1948 di Gedung
Indonesia Serikat Jl. Pejambon No.6 Jakarta. Resolusi BFO berisi enam dasar yang
digunakan dalam memutuskan 26 butir pasal. Resolusi pertama BFO berisikan tentang
konsep pemerintahan yang berbentuk federal dan terdiri dari direktorium,
beranggotakan sekurang-kurangnya tiga orang dari Indonesia. Resolusi tersebut juga
telah mencakup penentuan wakil negara federal dan daerah otonom di Dewan
Perwakilan Rakyat berdasarkan jumlah penduduk. Golongan minoritas juga
mendapatkan hak untuk memiliki perwakilan di dewan perwakilan.
Tanggal 21 Januari 1949 dilakukan pertemuan antara delegasi BFO, Mr. Djumhana dan
dr. Ateng dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk
membahas rencana pembicaraan antara wakil Republiken dan Belanda. Delegasi
Republik Mohammad Roem menyatakan bahwa RI bersedia berunding dengan BFO
jika diawasi oleh Komisi PBB. Pertemuan RI-Belanda-BFO kemudian dilakukan di Hotel
Des Indes, Jakarta pada tanggal 14 April 1949. Hasil pertemuan ini diantaranya
angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya, Pemerintah
Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar, Pemerintah Republik
Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta, dan Angkatan bersenjata Belanda akan
menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan ini, pada 22 Juni 1949 kembali diadakan
perundingan antara RI, BFO dan Belanda. Pertemuan ini menghasilkan keputusan
bahwa kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat
sesuai perjanjian Renville pada 1948, Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah
persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak serta Hindia Belanda akan
menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia.
Konferensi Meja Bundar dan Republik Indonesia
Serikat[sunting | sunting sumber]

Konferensi Inter-Indonesia
Sebelum melangkah ke forum internasional, wakil-wakil RI berunding dua kali dengan
wakil-wakil BFO dalam Konferensi Inter-Indonesia di Yogyakarta (22 Juli 1949),
[6]
dan Jakarta (1 Agustus 1949).  Mereka sepakat mengenai aspek-aspek terpenting
dalam usaha menciptakan suatu sistem politik baru. Perundingan itu kemudian
[7]
dilanjutkan ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda


KMB digelar pada 23 Agustus 1949, ketika itu delegasi Indonesia dipimpin
oleh Mohammad Hatta, sementara delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II. Pada
konferensi tersebut, dibentuk komisi-komisi yang membahas berbagai aspek dalam
rangka serah terima dari Belanda pada Republik Indonesia Serikat, serta persiapan
pembentukan Uni Indonesia Belanda. KMB berakhir pada 2 November 1949 dengan
terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 14 November 1949 di Jakarta, wakil dari semua anggota BFO dan
pemerintah Indonesia menandatangani Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Selain
menunjuk wakil-wakil untuk duduk di Senat Republik Indonesia Serikat, BFO juga
menunjuk wakil-wakilnya untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Serikat (DPR RIS).

Keanggotaan[sunting | sunting sumber]
BFO terdiri atas pimpinan 15 negara bagian bentukan Belanda, yang memiliki populasi
[8]
antara 100,000 hingga 11 juta jiwa.

Republik Indonesia Serikat. Negara konstituen Republik


Indonesia ditunjukkan dengan warna merah. Negara
Indonesia Timur ditunjukkan dengan warna emas.
Konstituen lainnya digambarkan dengan warna biru.
Daerah otonom ditunjukkan dengan warna putih.
Negara Bagian

  Negara Indonesia Timur


  Jawa Timur
  Sumatra Timur
  Madoera
  Pasundan (Jawa Barat)
  Sumatra Selatan
Negara Otonom

  Bandjar
  Banka
  Billiton
  Jawa Tengah
  Borneo Timur (tidak termasuk bekas wilayah Kerajaan Pasir)
  Groot Dajak (Dajak Besar)
  Riouw
  Federasi Kalimantan Tenggara
  Borneo Barat (Wilayah khusus)
Sejak awal pembentukan BFO terdapat tokoh-tokoh yang dominan dalam setiap rapat
yang diadakan BFO. Tokoh tersebut adalah Anak Agung Gde Agung (Negara Indonesia
Timur), R.T Adil Puradiredja (Pasundan), Sultan Hamid II (Borneo Barat), dan T.
Mansoer (Sumatra Timur). Masing-masing tokoh memanfaatkan setiap kesempatan
dalam BFO untuk mempengaruhi anggota lainnya agar mendukung usaha dan
pemikirannya. Anak Agung dan Adil Puradiredja berusaha agar BFO mendekati RI,
sedangkan Sultan Hamid II dan T. Mansoer berusaha agar BFO tetap mengikuti
rencana Belanda.

Anda mungkin juga menyukai