Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abad XX ditandai dengan oleh kemajuan yang mencengangkan dalam
penanganan dan pencegahan infeksi, seperti penemuan antibiotik yang ampuh, imunisasi
yang kompleks serta sanitasi yang modern. Akan tetapi infeksi yang tetap menjadi
penyebab penyakit yang tersering pada manusia. Bahkan pada Negara – Negara dengan
pelayanan medis yang sangat maju sekalipun, penyakit infeksi masih merupakan
penyebab utama penyakit yang serius. Di Negara berkembang penyakit infeksi
merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang paling kritis (Kowalak, Welsh, &
Mayer, 2011).
Infeksi merupakan respon organisme tuan rumah terhadap suatu pathogen atau
substansi penyebab penyakit, hal tersebut terjadi apabila mikroorganisme yang merusak
jaringan tubuh masuk dan berkembang biak dalam tubuh (Djuantoro, 2014). Salah satu
bagian tubuh yang dapat terinfeksi adalah abdomen. Di dalam abdomen terdapat
membrane serosa yang melapisi rongga abdomen yang dinamakan peritoneum.
Terjadinya inflamasi pada peritoneum ini dinamakan peritonitis, hal ini dapat terjadi
diakibatkan adanya infeksi bakteri; organisme yang diantaranya berasal dari saluran
gastrointestinal atau, pada wanita, dari organ reproduktif internal, luka tembus abdomen,
atau inflamasi yang luas yang berasal dari organ di luar area peritoneum, seperti ginjal.
Bakteri yang paling umum menyebabkan peritonitis adalah E.Coli, Klebsiella, Proteus,
dan Pseudomonas (Price & Wilson, 2006; Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010)
Peritonitis merupakan sebuah kondisi yang biasa terjadi dalam kehidupan, yang
memerlukan intervensi bedah segera dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
yang signifikan (Memon et al., 2012). Di Indonesia sendiri peritonitis masih menjadi
salah satu penyebab tersering dari akut abdomen yang merupakan suatu gawat abdomen.
Sebuah penelitian di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil padang pada 98 penderita
peritonitis yang memenuhu kriterian inklusi dan eksklusi menyimpulkan bahwa
prevalensi peritonitis lebih banyak terjadi pada laki-laki (68,4%) dibandingkan wanita
(31,6%). Menurut usia, terbanyak terjadi pada kelompok usia 10-19 (24,5%) tahun.
Peritonitis terbanyak disebabkan akibat perforasi apendiks (53,1%), sebagauian besar
mendapat penatalaksanaan berupa laparatomi eksplorasi dan apendektomi (64,3%), lama

PERITONITIS 1
rawat 4-7 hari (45,9%) dan sebagian besar keluar dalam keadaan hidup (85,7%)
(Japanesa, Zahari, & Rusjadi, 2014).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui proses asuhan
keperawatan dengan gangguan sistem digestive yaitu peritonitis
C. Manfaat Penulisan Makalah
1. Mahasiswa dapat mengetahui konsep teori pada peritonitis
2. Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan pada peritonitis

PERITONITIS 2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Peritonitis

Peritonitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi peradangan lokal atau umum pada
membrane serosa yang melapisi rongga perut dan menutupi jeroan atau disebut dengan
peritoneum (Smeltzer, Hinkle, Bare, & Cheever, 2010; Lewis, Dirksen, Heitkemper, &
Bucher, 2014; Swearingen, 2016). Peradangan disebabkan oleh bakteri atau zat (kimia)
yang mengiritasi yang masuk rongga perut oleh karena luka penetrasi atau perforasi organ
di saluran gastrointestinal atau reproduksi (Wilkinson J. M., Treas L. S., Barnett K.,
2016). Biasanya kondisi akut dan memerlukan perawatan penyebab utama serta efeknya.
Insiden peritonitis dan septikemia telah menurun dengan penggunaan antibiotik
profilaksis, tetapi peritonitis tetap menjadi ancaman dalam banyak situasi (Gould &
Dyer, 2013).
Menurut (Amin Huda, 2015; Swearingen, 2016) peritonitis menurut peritonitis dibagi
menjadi 4 bagian yaitu :
1. Peritonitis primer atau spontaneus bakterial peritonitis (SBP)
Yaitu peritonitis yang disebabkan oleh kuman yang masuk ke rongga peritoneum
melalui aliran darah atau pada pasien perempuan melalui alat genetalia dengan kata
lain infeksi cairan asketik tanpa sumber pembedahan intra-abdomen yang tampak
jelas (Mustafa et al., 2015). Pada kasus ini lebih sering menyerang anak-anak dengan
syndrome nefritis atau sirosis hati dan umumnya terjadi pada anak perempuan
dibandingkan anak laki-laki. Kondisi lainnya, ascites yang terjadi dengan sirosis hati
menyediakan lingkungan cair yang sangat baik bagi bakteri untuk berkembang (Lewis
et al., 2014).
2. Peritonitis Sekunder
Peritonitis ini merupakan infeksi yang terjadi pada peritoneum akibat adanya infeksi
kuman aerob dan anaerob, perforasi atau rupturnya organ abdominal sehingga
melepaskan isinya (empedu, enzim, dan bakteri) (Lewis et al., 2014), dan lebih sering
terjadi pada bila ada sumber intra peritoneal seperti appendicitis, divertikulus,
salpingitis, kolestistitis, pancreatitis dan sebagainya. Peritonitis ini terjadi bisa kuman

PERITONITIS 3
masuk ke rongga peritoneum dalam jumlah yang banyak melalui lumen saluran
pencernaan.

3. Peritonitis Tersier
dipahami sebagai stadium lanjut dari penyakit, ketika peritonitis klinis dan tanda-
tanda sepsis dan kegagalan multiorgan menetap atau kambuh setelah pengobatan
untuk peritonitis sekunder (Mustafa et al., 2015). Peradangan peritoneum
menghasilkan edema jaringan, perkembangan fibrinous exudate, dan hipermotilitas
saluran usus. Ketika penyakit berkembang, ileus paralitik terjadi, dan cairan usus,
yang kemudian tidak dapat diserap kembali, bocor ke dalam rongga peritoneum.
Sebagai akibat dari pergeseran cairan, curah jantung dan perfusi jaringan berkurang,
menyebabkan gangguan fungsi jantung dan ginjal. Jika infeksi atau peradangan
berlanjut, gagal napas dan syok bisa terjadi. Peritonitis sering bersifat progresif dan
bisa berakibat fatal (Swearingen, 2016).
4. Peritonitis yang terjadi akibat adanya pemasangan benda asing yag di pasang di dalam
rongga peritoneum yang meliputi :
- Kateter ventikulo
- Kateter peritoneal
- Continous ambulatory peritonela dialysis (CAPD) (Peritonitis Primer/sekunder)

B. Penyebab Peritonitis
Menurut (Amin Huda, 2015; Lewis et al., 2014) penyebab terjadinya peritonitis yaitu :
1. Infalamasi yang diakibatkan oleh bakteri yang terdiri dari
a. Mikroorganisme yang berasal dari saluran percernaan
b. Infalamasi dan perforasi akibat appendicitis
c. Tukak lambung/duodenum
d. Tukak thypoid
e. Disentri amoeba
f. Tukak tumor
g. Salpingitis
h. Diverticulitis
2. Secara langsung dari luar meliputi :
a. Operasi yang tidak steril
b. Trauma akibat kecelakaan, luka tembak, tusukan pisau (Lewis et al., 2014).

PERITONITIS 4
Selain dari hal di atas, menurut (Smeltzer, Hinkle, et al., 2010) penyebab terjadinya
peritonitis yaitu adanya infeksi bakteri yang yang berasal dari saluran pencernaan maupun
akibat dari adanya truma eksternal misalnya uka robek atau luka tikam pada perut.
Bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya peritonitis yaitu Escherichia coli, Klebsiella,
Proteus, Pseudomonas, dan Streptococcus

C. Patofisiologi

Menurut (Timby, Barbara K; Smith, 2010) patofisiologi terjadinya peritonitis yaitu


adanya perforasi ulkus peptikum, ulkus pada usus, trauma pada perut, inflamatory bowel
desease, kehamilan ektopik, dialysis peritoneal merupakan penyebab umum terjadinya
peradangan pada peritoneum yaitu kantong serosa yang melapisi rongga perut yang
disebut dengan peritonitis. Pada saat bakteri infeksisus yang masuk ke dalam peritoneum
akan menyebabkan terjadinya pembentukan abses secara local dan maupun secara
menyeluruh. Pada kondisi ini terjadi ileusparalitik dan terjadin bendungan di usus akibat
udara dan cairan yang awalnya ditandai adanya respon hipermortilitas pada tractus usus.
Pada peritoneum bakteri yang masuk akan mengalami proliferasi yaitu suatu kondisi
dimana terjadinya perkembangkbiakan jumlah bakteri yang sangat pesat yang
menyebabkan terjadinya edema pada jaringan dan kebocoran cairan di dalam rongga
perut. Pada cairan di rongga perut akan meningkatkan jumlah bakteri, protein, darah dan
sel darah putih sehingga cairan pada pembuluh darah bergeser ke perut yang bisa
menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah dan berpotensi terjadi syok
hipovolemik dan syok septik serta dapat bisa menyebabkan kematian.
Sekitar 30% pasien dengan peritonitis primer mengalami insufisiensi ginjal yang telah
ditemukan sebagai prediktor paling sensitif terhadap mortalitas (Mustafa et al., 2015)

PERITONITIS 5
Gambar : Penyebab umum peritonitis

D. Manifestasi klinik

Menurut (Black & Hawks, 2015) tanda dan gejala dari peritonitis yaitu terjadi nyeri yang
terlokalisasi (misalnya. Apendisitis atau diverticulitis sebelum perforasi) (Mustafa et al.,
2015), Rasa sakit cenderung meningkat dengan gerakan apa pun (Gould & Dyer, 2013),
nyeri secara umum, mual, muntah, demam (suhu > 37. ℃ [> 100 ℉]) adalah tanda yang
paling umum terjadi, terjadi pada 50% hingga 80% kasus) (Mustafa et al., 2015),
terkadang napas menjadi dangkal, Distensi abdomen, takikardia manifestasi bervariasi
tergantung pada tingkat keparahan dan kondisi yang mendasarinya (Lewis et al., 2014).
Tanda-tanda dehidrasi dan hipovolemia, termasuk turgor kulit menurun, mukosa bukal
kering,
pucat, tekanan darah rendah, agitasi (Gould & Dyer, 2013). Suara usus menurun
menunjukkan onset ileus paralitik dan obstruksi sekunder (Gould & Dyer, 2013).
Pada pemeriksaan laboratorium terjadi peningkatan leukosit (20.000/mm3) dan ditandai
dengan peningkatan neutrofil, sedangkan pada pemeriksaan radiologi dilakukan foto atau
CT Scan untuk melihat adanya pelebaran dan pembengkakan pada usus dan untuk melihat
adanya udara bebas dan cairan pada rongga abdomen (Black & Hawks, 2014).

PERITONITIS 6
Selain hal di atas menurut (Smeltzer, Hinkle, et al., 2010) tanda dan gejala terjadinya
peritonitis yaitu ditandai dengan peningkatan suhu tubuh hingga 38oC yang menandakan
terjadinya infeksi.

E. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dalam menegakkan diagnosis terjadinya


peritonitis yaitu pemeriksaan darah rutin khususnya untuk melihat adanya peningkatah
leukosit, USG Complete Abdomen atau CT Scan untuk melihat adanya penumpukan
udara maupun cairan dalam peritoneum dan pemeriksaan kultur darah yang bertujuan
untuk mengidentifikasi jenis bakteri yang menyebabkan terjadinya infeksi (Timby,
Barbara K; Smith, 2010).
 Serum tests : Dapat mengungkapkan adanya leukositosis, biasanya dengan
pergeseran ke kiri (mungkin satu-satunya tanda peritonitis tersier);
hemokonsentrasi; nitrogen urea darah tinggi (BUN); dan ketidakseimbangan
elektrolit, terutama hipokalemia. Hipoalbuminemia dan waktu prothrombin
berkepanjangan (PT), dalam kombinasi dengan leukositosis, sangat khas
(Swearingen, 2016).
 Nilai gas darah arteri: Dapat mengungkapkan hipoksemia (PaO2 kurang dari 80
mm Hg) atau asidosis (pH kurang dari 7,40) (Swearingen, 2016)
 Urinalisis: Sering dilakukan untuk menyingkirkan genitourinary keterlibatan
(misalnya, pielonefritis) (Swearingen, 2016).
 Computed Tomography (CT) Scan dengan bahan kontras oral dan intravena
sangat meningkatkan deteksi sumber peritonitis intra-abdomen (Mustafa et al.,
2015).
 Pemeriksaan x-ray Abdomen: Untuk menentukan keberadaan putaran usus dan
tingkat abnormal cairan dan gas, yang biasanya mengumpulkan di usus besar dan
kecil di hadapannya dari perforasi atau obstruksi. "Udara bebas" di bawah
diafragma juga dapat divisualisasikan, yang menunjukkan perforasi viscus
(Swearingen, 2016).
 Pemeriksaan x-ray dada: Distensi abdomen dapat meningkatkan elevasi
diafragma. Nyeri akibat peritonitis dapat membatasi proses pernapasan dan
menyebabkan infiltrat terkait di lobus bawah. Pada tahap selanjutnya, perubahan
osmolalitas serum memungkinkan efusi pleura terjadi (Swearingen, 2016).

PERITONITIS 7
 Paracentesis untuk aspirasi peritoneal dengan kultur dan sensitivitas dan jumlah
sel: Dapat dilakukan untuk menentukan keberadaan darah, bakteri, empedu,
nanah, dan konten amilase dan mengidentifikasi organisme penyebab. Pewarnaan
Gram cairan asites positif hanya sekitar 25% dari pasien ini. Diagnosis peritonitis
bakteri dikonfirmasi oleh kultur positif cairan asites dan jumlah sel dan perbedaan
cairan asites yang penting untuk peningkatan jumlah polimorfonuklear (PMN)
250 sel / mm3 atau lebih besar. Cairan asitik juga dapat diuji untuk total protein,
konsentrasi glukosa, dan dehidrogenase laktat untuk membedakan peritonitis
bakterial spontan dari peritonitis bakterial sekunder (Swearingen, 2016)
 Pasien dengan asites juga harus menjalani paracentesis untuk bukti SBP (Mustafa
et al., 2015)

F. Komplikasi

Menurut (Smeltzer, Hinkle, et al., 2010; Lewis et al., 2014) komplikasi yang dapat terjadi
akibat peritonitis yaitu :
1. Resiko terjadinya sepsis
2. Syok hipovolemik
3. Ashesi pada usus
4. Pembentukan abses intraabdominal
5. Ileus paralitik
6. Acute respiratory distress syndrome

G. Penatalaksaan medis

Penatalaksanaan medis terjadinya peritonitis menurut (Amin Huda, 2015)


1. Manajemen infeksi yaitu dengan pemberian antibiotic
2. Mematkan bakteri dan racun yang ada dalam tubuh
3. Fungsi organ harus diperbaiki
4. Mengontrol proses inflamasi

PERITONITIS 8
Selain dari hal di atas untuk kondisi yang akut harus segera dilakukan laparatomi
eksplorasi yang meliputi :

1. Preoperasi
Tindakan yang dilakukan yaitu resusitasi cairan, oksigenasi, NGT/DC, antibiotic,
pengendalian suhu tubuh
2. Operasi
Tindakan yang dilakukan meliputi control sumber infeksi, pencucian rongga
peritoneum, debridement radikal, irigasi kontinyu, stage abdominar repair
3. Post operasi
Tindakan yang dilakukan yaitu dengan balance cairan, perhitungan nutrisi, monitor
tanda-tanda vital, pemeriksaan laboratorium, pemberian antibiotic untuk menghindari
nfeksi sekunder.
 SBP dibedakan dari peritonitis sekunder dengan laparotomi (atau laproscopy)
dan analisis asites cairan (Mustafa et al., 2015)

H. Penatalaksanaan keperawatan

Menurut (Smeltzer, Hinkle, et al., 2010; Black & Hawks, 2014) penatalaksaan tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien dengan peritonitis yaitu :
a. Lakukan manajemen terjadinya nyeri
b. Monitoring terjadinya peningkatan suhu tubuh
c. Manajemen asupan cairan, elektrolit dan makanan secara bertahap dan mengurangi
cairan parenteral seperti yang ditentukan
d. Kontrol infeksi

PERITONITIS 9
PATWAYS

Invasi kuman ke lapisan peritoneum oleh berbagai kelainan pada sistem


gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen atau
perforasi organ pasca trauma abdomen

Respon peradangan pada peritoneum

Peritonitis Intervensi
pembedahan
laparatomi
Penurunan aktivitas fibrinolitik intraabdoment

Pembentukan eksudat fibrinosa atau abses pada peritonium

Peningkatan permeabilitas
Anoreksia, Mual, Distensi Abdomen
pembuluh darah kapiler
Muntah, kembung

Akumulasi cairan akibat Respon lokal saraf terhadap


Intake Nutrisi tidak inflamasi
kebocoran pada kapiler &
adekuat
membran
Nyeri
Ketidakseimbangan
Hipovolemia Nutrisi

Respon psikologis misinterpretasi


Ketidakseimbangan cairan Cemas perawatan dan proses penyakit

PERITONITIS 10
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN PERITONITIS
(Black & Hawks, 2009; Doenges, Marilinn E., Moorhouse, Mary F., Murr, 2010; Gloria M
Bulecek and Howard K Butcher and Joane M Dochterman and Cheryl M Wagner, 2013;
Muttaqin, Arif, Sari, 2011; Sue Moorhead and Marion Jhonson, and Meridean L Mas, 2013;
T Heather Herdman dan Shigemi Kamitsuru, 2015)

A. PENGKAJIAN

SIRKULASI

Tanda : takhokardia, diaphoresis, pallor, hipotensi sebagai tanda shock

ELIMINASI

Gejala : Ketidak mamupan untuk BAB atau flatus, dan kadang – kadang diare

Tanda : Cegukan, Output urin menurun, warna gelap, Suara usus menurun atau tidak

ada (ileus)Bunyi usus yang nyaring dan terburu-buru,Kekakuan perut,

distensi, rebound tenderness; hiperresonansi atau tympani (ileus), pada

auskultasi ditemukan bunyi pekak tidak didengar akibat dariudara bebas di

perut.

NUTRISI DAN CAIRAN

Gejala : anoreksia, mual, muntah dan haus

Tanda : Suara usus hipoaktif , muntah proyektil, Membran mukosa kering, turgor kulit

yang buruk

PAIN / KENYAMAN

Tanda : Nyeri perut berat yang mendadak, berat, atau persisten, Nyeri bisa

digeneralisasikan, terlokalisir, menjalar sampai ke bahu yang bertambah jika

ada gerakan,

PERITONITIS 11
Gejala : Distensi abdomen, kekakuan, rebound tenderness, Perilaku distraksi,

kegelisahan, fokus pada diri sendiri, Pengunaan otot perut, fleksi lutut,

Berbaring di posisi kaku, hampir tidak bergerak (Movious, 2006)

PERNAPASAN

Tanda : Pernapasan dangkal dan takhikardia.

KEAMANAN

Tanda : Demam biasanya suhu lebih dari 38 ° C, atau hipotermia sebagai tanda shock

sepsis, mengigil

SEKSUAL

Gejala : Riwayat Peradangan Organ Panggul (Salpingitis), Infeksi Nifas, Aborsi

Septik, Abses Retroperitonial Infeksi, Aborsi Septik, Abses Retroperitonel

B. PRIORITAS KEPERAWATAN

1. Kontrol infeksi.

2. Pulihkan dan / atau pertahankan volume sirkulasi.

3. Tingkatkan kenyamanan.

4. Menjaga nutrisi.

5. Berikan informasi tentang proses penyakit, kemungkinan komplikasi dan kebutuhan

perawatan

C. DISCARGE PLANING

1. Infeksi teratasi.

2. Komplikasi dicegah atau diminimalkan.

3. Nyeri lega.

4. Proses penyakit, komplikasi potensial, dan terapeutik

rejimen dipahami.

5. Rencanakan untuk memenuhi kebutuhan setelah dipulangkan.

PERITONITIS 12
1. INTERVENSI

No Domain Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi


& kelas

1 Domanin Nyeri akut sehubungan NOC: Control nyeri Management Nyeri


12 Kelas dengan Iritasi kimiawi Criteria hasil: Tindakan Mandiri
1 dari peritoneum parietal  Laporkan rasa sakit 1. Amati dan lokasi dokumen, tingkat
(racun), lega atau terkontrol. keparahan (skala 0 hingga 10), dan
Trauma ke jaringan dan  Tunjukkan karakter nyeri, seperti stabil,
Akumulasi cairan di penggunaan intermiten, atau kolik.
rongga perut dan keterampilan 2. Catat respons terhadap obat-obatan,
peritoneum (distensi relaksasi atau metode dan laporkan kepada dokter jika sakit
abdomen) lain untuk tidak berkurang.
Mungkin dibuktikan oleh meningkatkan 3. Anjurkan bedrest, memungkinkan
Verbalizations of pain kenyamanan. klien untuk mengambil posisi
Penjaga otot, rebound kenyamanan.
tendeness ,ekspresi wajah 4. Gunakan linen katun lembut; lotion
menunjukan rasa sakit, calamine; kompres basah, seperti
fokus pada diri yang butuhkan.
sendiri,Perilaku distraksi, 5. Kontrol suhu lingkungan.
respon otonom atau 6. Dorong penggunaan teknik relaksasi
emosional (kecemasan) seperti visualisasi, dan latihan
pernapasan dalam.
7. Menyediakan kegiatan pengalihan.
8. Luangkan waktu untuk
mendengarkan dan menjaga kontak
dengan sering klien.

PERITONITIS 13
Tindakan Kolaborasi
1. Mempertahankan apa-apa melalui
mulut (NPO) status; masukkan dan
pertahankan NGT terbuka seperti
yang ditunjukkan.
2. Berikan obat, seperti yang
ditunjukkan oleh keluhan, misalnya:
Antikolinergik, seperti dicyclomine
(Bentyl), clyco-pirolate (Robinul),
dan propantheline (Pro-Banthine)
Obat penenang, seperti fenobarbital,
Opioid, seperti meperidine (Demerol)
dan hydrocodone, dengan
acetaminphen (Vicodin, Lortab)
Antiemetik, seperti ondansetron
(Zofran), proklorperazin
(Compazine), dan promethazine
(Phenergan)
Antibiotik, baik obat tunggal atau
anti infeksi
Kombinasi.

2. Risiko Kekurangan NOC : Hidrasi Management cairan dan elektolit


Volume caiaran Keseimbangan cairan Tindakan Mandiri
Faktor risiko : yang cukup yang 1. Mempertahankan catatan akurat
Efek dari NGT terbuka; dibuktikan oleh: asupan dan output (I & O), mencatat
muntah, distensi, dan  tanda-tanda vital yang kurang dari asupan dan peningkatan
hipermotilitas lambung stabil berat jenis urine.
Asupan terbatas secara  Mukosa mulut 2. Nilai kulit dan selaput lendir, pulsa

PERITONITIS 14
medis. lembab perifer,
 turgor kulit yang baik dan isi ulang kapiler.
 kapiler isi ulang 3. Pantau tanda dan gejala peningkatan
 output urin yang atau lanjutan mual atau muntah, kram
sesuai secara individu perut, lemas, berkedut, kejang,
 tidak ada muntah. denyut jantung tidak teratur,
parestesia, hipoaktif atau tidak ada
suara usus, dan pernapasan yang
tertekan.
4. Hilangkan pemandangan berbahaya
dan bau dari lingkungan.
5. Lakukan kebersihan mulut yang
sering dengan obat kumur bebas
alkohol; terapkan pelumas.
6. Kaji adanya perdarahan yang tidak
biasa: mengalir dari tempat-tempat
suntikan, epistaksis, gusi berdarah,
ecchymosis, petechiae, hematemesis,
dan melena.
7. Gunakan jarum suntik berukuran
kecil untuk suntikan dan terapkan
dengan kuat tekanan lebih lama dari
biasanya setelah venipuncture.
Kolaboratif

1. Jaga klien NPO seperlunya.


2. Masukkan tabung NG, sambungkan
ke suction, dan pertahankan
kepantasan, sebagai

PERITONITIS 15
ditunjukkan.
3. Berikan antiemetik, seperti
promethazine (Phenergan),
prochlorperazine (Compazine), atau
ondansetron (Zofran).
4. Tinjau studi laboratorium seperti
Hgb / Ht, elektrolit, gas darah arteri
(ABG) (pH), dan waktu
pembekuan.
5. Berikan cairan IV, elektrolit, dan
vitamin K.

Domain 2 Risiko pemenuhan nutrisi NOC :Status nutrisi Manajemen Nutrisi


Kelas 2 : kurang dari kebutuhan  Laporkan bantuan Tindakan Kolaborasi
tubuh mual dan muntah. 1. Perkirakan atau hitung asupan kalori.
 Demonstrasikan Berikan komentar tentang nafsu
Faktor risiko : perkembangan makan untuk minimum
Pembatasan diet yang menuju kenaikan 2. Timbang berat badan .
itentukan berat badan yang 3. Konsultasikan dengan klien tentang
Mual dan muntah, diinginkan atau suka dan tidak suka, makanan yang
Dispepsia, pertahankan berat menyebabkan distress, dan jadwal
Nyeri ,Hilangnya nutrisi; badan sebagai makan yang disukai.
gangguan pencernaan individu yang sesuai 4. Sediakan suasana yang
lemak karena obstruksi menyenangkan saat makan
aliran empedu 5. Berikan kebersihan mulut sebelum
makan.
6. Tawarkan minuman bersoda dengan
makanan jika ditoleransi.
7. Kaji adanya distensi abdomen, sering

PERITONITIS 16
bersendawa, menjaga,dan
keengganan untuk bergerak.
8. Ambulasikan dan tingkatkan
aktivitas, seperti yang ditoleransi.
Kolaboratif
1. Berkonsultasilah ahli gizi,
2. Mulai diet rendah lemak setelah NGT
di lepas
3. Memajukan diet seperti yang
ditoleransi, biasanya rendah lemak,
berserat tinggi.
4. Membatasi makanan yang
menghasilkan gas seperti bawang,
kubis, dan popcorn, dan makanan dan
cairan tinggi lemak seperti mentega,
makanan yang digoreng, dan kacang.
5. Memantau studi laboratorium:
nitrogen urea darah (BUN), kadar
prealbumin, albumin, total protein,
dan transferin.
6. Berikan pemberian nutrisi parenteral
atau enteral sesuai kebutuhan.

4 Domain 9 Ansietas berhubungan NOC: kontrol NIC: Pengurangan Kecemasan


Kelas 2 dengan kecemasan Tindakan Mandiri
Dengan Krisis situasional Criteria hasil:
Ancaman kematian,  Menyatakan 1. Evaluasilah tingkat kecemasan, catat
perubahan status kesadaran akan persepsi situasi klien dan tanggapan
kesehatan, Faktor perasaan dan cara- verbal dan nonverbal.

PERITONITIS 17
fisiologis, keadaan cara sehat untuk 2. Dorong untuk ekspresi emosi.
hipermetabolik menghadapinya. 3. Tinjau faktor fisiologis yang ada,
Mungkin dibuktikan oleh  Laporkan kecemasan seperti sepsis atau toksin terkait
Ketegangan meningkat, dikurangi ke tingkat dengan infeksi, obat-obatan, dan
tidak berdaya yang dapat dikelola. ketidakseimbangan metabolik.
Ketakutan, ketidakpastian, Tampil santai. 4. Berikan informasi yang sedang
kekhawatiran, perasaan berlangsung mengenai proses
akan datangnya penyakit dan perawatan yang
malapetaka diantisipasi.
Stimulasi simpatik; 5. Berikan dukungan. Akui kecemasan
kegelisahan, fokus pada dan ketakutan.
diri sendiri 6. Jangan menolak atau meyakinkan
klien bahwa semuanya akan baik-
baik saja.
7. Berikan secara akurat dan faktual
dalam memberikan informasi.
Kesalahpahaman yang benar tentang
proses penyakit dan kemungkinan
perawatan.
8. Jadwalkan istirahat yang cukup dan
waktu tidak terganggu untuk tidur.
9. Berikan tindakan kenyamanan:
kehadiran keluarga, lingkungan yang
tenang,
musik lembut, gosok belakang, dan
Therapeutic Touch (TT).

PERITONITIS 18
C. EVIDANCE BASED PRACTICE

1. Tingkat Peritonitis (Li et al., 2016)


 Pemantauan program dilakukan setidaknya setiap tahun, mengenai kejadian
peritonitis (1C).
 Parameter yang dipantau harus mencakup tingkat peritonitis keseluruhan,
tingkat peritonitis dari organisme tertentu, persentase pasien per tahun yang
bebas peritonitis, dan kerentanan antimikroba dari organisme yang
menginfeksi (1C).
2. Pemeriksaan Penunjang (Ginès et al., 2010; Pericleous, Sarnowski, Moore,
Fijten, & Zaman, 2016)
 Rekomendasi: Pemeriksaan diagnostik Paracentesis harus dilakukan pada
semua pasien dengan sirosis dan asites yang di rawat di rumah sakit untuk
menyingkirkan dugaan Spontaneous bacterial peritonitis (SBP). Pemeriksaan
diagnostik Paracentesis dapat juga dilakukan pada pasien dengan perdarahan
gastrointestinal, syok, demam, atau tanda-tanda lain peradangan sistemik,
gejala gastrointestinal, serta pada pasien dengan fungsi hati dan/atau ginjal
yang memburuk, dan ensefalopati hepatic (Level A1).
 Diagnosis SBP didasarkan pada jumlah neutrofil di cairan asites > 250 / mm3
sebagaimana ditentukan oleh mikroskopi (Level A1)
 Kultur cairan asites sering negatif bahkan jika dilakukan dalam botol kultur
darah dan tidak diperlukan untuk diagnosis SBP, tetapi penting untuk panduan
terapi antibiotik (Level A1). Kultur darah harus dilakukan pada semua pasien
dengan SBP yang dicurigai sebelum memulai pengobatan antibiotik (Level
A1).
 Pasien dengan suspek bakteri peritonitis sekunder harus menjalani
pemeriksaan radiologi yang tepat seperti CT scan (Level A1).
 Pasien yang sembuh dari SBP memiliki kelangsungan hidup jangka panjang
yang buruk dan harus dipertimbangkan untuk transplantasi hati (Level A1).

PERITONITIS 19
3. Pengobatan (Ginès et al., 2010; Pericleous et al., 2016)
 Antibiotik empiris harus dimulai segera setelah diagnosis SBP (Level A1).
 Karena organisme penyebab paling umum dari SBP adalah bakteri aerobik
Gram-negatif, seperti E. coli, pengobatan antibiotik lini pertama adalah
sefalosporin generasi ketiga (Level A1).
 Sekitar 90% pasien dengan SBP dapat disembuhkan dengan terapi antibiotik.
Yang dibuktikan dengan penurunan jumlah neutrofil asites menjadi <250 /
mm3 dan kultur steril cairan asites, jika positif saat diagnosis (Level A1).
4. Peritonitis terkait peritoneal dialisis (pd)
 Program Pelatihan PD dilakukan oleh staf perawat dengan kualifikasi dan
pengalaman yang sesuai (1C).
Metode pelatihan memiliki pengaruh penting pada risiko infeksi PD. Banyak
penelitian diperlukan sebagai pendekatan terbaik untuk melatih pasien pada
teknik PD untuk meminimalkan infeksi terkait PD. Sayangnya, bukti tingkat
tinggi yang membimbing bagaimana, di mana, kapan, dan oleh siapa pelatihan
PD harus dilakukan masih kurang. Deskripsi terperinci dari praktek pelatihan
PD yang direkomendasikan telah dicakup dalam panduan International
Society for Peritoneal Dialysis (ISPD), yang setiap program PD harus
berkonsultasi saat mempersiapkan pelatih dan mengembangkan kurikulum
khusus untuk pelatihan PD. Intinya, semua perawat dalam pelatihan PD harus
menerima pendidikan yang memadai untuk melakukan pelatihan dan
pendidikan lanjutan berikutnya untuk memperbarui dan mengasah
keterampilan mengajar mereka. Setiap program harus memiliki kurikulum
yang ditetapkan yang diikuti dalam mengajar pasien prosedur dan teori PD.
Menguji keterampilan praktis pasien di akhir pelatihan sangat penting (Li et
al., 2016).
 Peritonitis selalu didiagnosis ketika paling sedikit 2 dari yang berikut ini ada :
(1) gambaran klinis yang konsisten dengan peritonitis, yaitu nyeri perut dan/

PERITONITIS 20
atau cairan dialisis berawan; (2) jumlah sel darah putih dialisis> 100 / μL
atau> 0,1 x 109 / L (setelah waktu tinggal paling sedikit 2 jam), dengan >
50% polimorfonuklear; dan (3) kultur buangan dialisis positif (1C) (Li et al.,
2016)

5. Diet minyak ikan (fish oil) sebagai penghambat proses inflamasi

P : Peritonitis
I :Minyak ikan (DHA [docosahexaenoic acid], EPA [asam eicosapentaenoic],
Omega 3 fatty acids, omega 3 oils)
C : Minyak Jagung, tidak diberikan minyak ikan
O : Penurunan respons Inflamasi
 Menggunakan PubMed Database (2013-2018)
Nama ilmiah: DHA (docosahexaenoic acid), EPA (asam eicosapentaenoic)
Nama umum lainnya: Omega 3 fatty acids, omega 3 oils (Skidmore-Roth,
2015).

Minyak ikan (mediator endogen) ketika dikomsumsi dapat mengubah sintesis


prostaglandin dan leukotrien utama (pro-inflamasi lipid), yang menyebabkan
penurunan respons inflmasi. Sebanyak empat artikel animal studi
experimental meneliti efek dari minyak ikan terhadap respons inflamasi pada
mencit dimana minyak ikan dapat menununkan respon inflamasi (peningkatan
awal jumlah sel NK, sIL-6R dan TGF-β), mempercepat onset resolusi dan
dapat meningkatkan intensitas dan durasi fase resolusi (eosinofil) dan
penyembuhan (Tomasdottir, Vikingsson, Freysdottir, & Hardardottir, 2013),
meningkatan sel B1 (perlindungan terhadap infeksi sekunder) peritoneum,
lebih banyak sel IgM (+) di limpa dan lebih tinggi serum antibodi IgM
spesifik mBSA (Tomasdottir, Thorleifsdottir, & Vikingsson, 2014), menunda
perekrutan neutrofil dari darah ke peritoneum pada awal peradangan, ia
memiliki potensi untuk meningkatkan jumlah neutrofil peritoneum

PERITONITIS 21
(Arnardottir, Freysdottir, & Hardardottir, 2013), Mengubah keseimbangan
mediator lipid menuju ke keadaan pro-resolusi dan anti inflamasi tanpa secara
drastis mengubah jumlah atau fenotipe populasi sel imun bawaan lokal
(Chacon, Phillips, Chacon, Kelleher, & Soybel, 2016), Dapat disimpulkan
Efek Minyak ikan (fish oil) pada penurunan respons inlamasi (peritonitis)
terbukti menimbulkan efek yang menguntungkan terhadap fase pro-revolusi
dan meningkatkan efek anti inflamasi. Namun bukti secara RCT penggunaan
minyak ikan pada klien dengan peritonitis belum ada, untuk perlu dilakukan
penelitian terkait penggunaannya pada manusia sehingga penerapannya secara
klinis dapat dipertanggung jawabkan.

6. Pengajaran Keluar-pasien dan Discharge Planning (Swearingen, 2016)

Ketika memberikan pengajaran keluarga pasien, fokus pada informasi


sensoris, hindari memberikan informasi yang berlebihan, dan lakukan inisiasi
rujukan kunjungan perawat untuk pemantauan perawatan luka dan pengajaran
tindak lanjut yang diperlukan. Sertakan informasi lisan dan tertulis tentang
hal-hal berikut:

a. Obat-obatan, termasuk nama obat, dosis, jadwal, tujuan, tindakan


pencegahan, dan potensi efek samping. Juga mendiskusikan interaksi
obat-obat, obat-obatan, dan ramuan obat-obatan.
b. Perubahan aktivitas seperti yang ditentukan oleh perawatan kesehatan
penyedia, seperti menghindari angkat berat (lebih dari 10 lb),
beristirahat setelah periode kelelahan, semakin maksimal jumlah
istirahat, dan secara bertahap meningkatkan aktivitas toleransi.
c. Memberi tahu penyedia perawatan kesehatan tentang indikator berikut
kekambuhan: demam, menggigil, sakit perut, muntah, distensi
abdomen.
d. Jika pasien telah menjalani operasi, indikator luka infeksi: demam,

PERITONITIS 22
nyeri, menggigil, pembengkakan insisi, gigih eritema, drainase
purulen.
e. Pentingnya perawatan medis lanjutan; konfirmasi tanggal dan saat
janji medis berikutnya.

PERITONITIS 23
BAB IV
PEMBAHASAN

Peritonitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi peradangan pada serosa


membrane yang melapisi rongga perut dan menutupi jeroan atau disebut dengan
peritoneum. Penyebab dari peritonitis ialah infeksi bakteri yang yang berasal dari
saluran pencernaan maupun akibat dari adanya trauma eksternal misalnya luka robek
atau luka tikam pada perut, serta akibat dari asites sindrom nefrotik, Pasien dengan
CAPD dan penyakit radang panggul (Smeltzer, Hinkle, et al., 2010).
Peritonitis selalu didiagnosis ketika paling sedikit 2 dari yang berikut ini ada :
(1) gambaran klinis yang konsisten dengan peritonitis, yaitu nyeri perut dan/ atau
cairan dialisis berawan; (2) jumlah sel darah putih dialisis> 100 / μL atau> 0,1 x 109 /
L (setelah waktu tinggal paling sedikit 2 jam), dengan > 50% polimorfonuklear; dan
(3) kultur buangan dialisis positif (1C) (Li et al., 2016).
Untuk menegakkan diagnosa peritonitis dilakukan pemeriksaan penunjang
(Ginès et al., 2010; Pericleous, Sarnowski, Moore, Fijten, & Zaman, 2016) :
 Diagnostik Paracentesis harus dilakukan pada semua pasien dengan sirosis dan
asites yang di rawat di rumah sakit untuk menyingkirkan dugaan Spontaneous
bacterial peritonitis (SBP). Pemeriksaan diagnostik Paracentesis dapat juga
dilakukan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, syok, demam, atau
tanda-tanda lain peradangan sistemik, gejala gastrointestinal, serta pada pasien
dengan fungsi hati dan/atau ginjal yang memburuk, dan ensefalopati hepatic
(Level A1).
 Diagnosis SBP didasarkan pada jumlah neutrofil di cairan asites > 250 / mm3
sebagaimana ditentukan oleh mikroskopi (Level A1). Kultur cairan asites sering
negatif bahkan jika dilakukan dalam botol kultur darah dan tidak diperlukan
untuk diagnosis SBP, tetapi penting untuk panduan terapi antibiotik (Level A1).

PERITONITIS 24
 Kultur darah harus dilakukan pada semua pasien dengan SBP yang dicurigai
sebelum memulai pengobatan antibiotik (Level A1).
 Pasien dengan suspek bakteri peritonitis sekunder harus menjalani pemeriksaan
radiologi yang tepat seperti CT scan (Level A1).
 Pasien yang sembuh dari SBP memiliki kelangsungan hidup jangka panjang yang
buruk dan harus dipertimbangkan untuk transplantasi hati (Level A1).
Setelah penegakan diagnosis Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
pengobatan antibiotik empiris harus dimulai segera (Level A1). Karena organisme
penyebab paling umum dari SBP adalah bakteri aerobik Gram-negatif, seperti E. coli,
pengobatan antibiotik lini pertama adalah sefalosporin generasi ketiga (Level A1).
Sekitar 90% pasien dengan SBP dapat disembuhkan dengan terapi antibiotik. Yang
dibuktikan dengan penurunan jumlah neutrofil asites menjadi <250 / mm3 dan kultur
steril cairan asites, jika positif saat diagnosis (Level A1) (Ginès et al., 2010;
Pericleous et al., 2016)
Peritonial dialisis (PD) merupakan penyebab umum terjadinya peradangan
pada peritoneum sehingga sangat diperlukan untuk program pelatihan PD. Metode
pelatihan memiliki pengaruh penting pada risiko infeksi PD. Banyak penelitian
diperlukan sebagai pendekatan terbaik untuk melatih pasien pada teknik PD untuk
meminimalkan infeksi terkait PD. Sayangnya, bukti tingkat tinggi yang membimbing
bagaimana, di mana, kapan, dan oleh siapa pelatihan PD harus dilakukan masih
kurang. Deskripsi terperinci dari praktek pelatihan PD yang direkomendasikan telah
dicakup dalam panduan International Society for Peritoneal Dialysis (ISPD), yang
setiap program PD harus berkonsultasi saat mempersiapkan pelatih dan
mengembangkan kurikulum khusus untuk pelatihan PD. Intinya, semua perawat
dalam pelatihan PD harus menerima pendidikan yang memadai untuk melakukan
pelatihan dan pendidikan lanjutan berikutnya untuk memperbarui dan mengasah
keterampilan mengajar mereka. Setiap program harus memiliki kurikulum yang

PERITONITIS 25
ditetapkan yang diikuti dalam mengajar pasien prosedur dan teori PD. Menguji
keterampilan praktis pasien di akhir pelatihan sangat penting (Li et al., 2016).
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena
kapiler dan membran mengalami kebocoran, jika defisit cairan tidak di koreksi
dengan cepat dapat menimbulkan kematian sel. pada cairan di rongga perut akan
meningkatkan jumlah bakteri, protein, darah dan sel darah putih sehingga cairan pada
pembuluh darah bergeser ke perut yang bisa menyebabkan terjadinya penurunan
tekanan darah dan berpotensi terjadi syok hipovolemik dan syok septik serta dapat
bisa menyebabkan kematian. (Timby, Barbara K; Smith, 2010)
Penatalaksanaan keperawatan yang perlu di perhatikan ialah kebutuhan rasa
nyaman nyeri, ketidak seimbangan nutrisi dan cairan, dan tingginya tingkat
kecemasan pada klien serta perubahan tingkat kesadaran apabila terjadi syok sepsis,
disisi lain perlu adanya penatalaksanaan pre dan pascaoperatif bila terdapat
intervesnsi bedah laparatomi ekslorasi.
Salah satu masalah proses keperawatan pada pasien dengan peritonitis ialah
lamanya proses penyembuhan akibat meningkatnya proses inflamasi. Beberapa jurnal
penelitian menyatakan Minyak ikan (mediator endogen) ketika dikomsumsi dapat
mengubah sintesis prostaglandin dan leukotrien utama (pro-inflamasi lipid), yang
menyebabkan penurunan respons inflmasi. Sebanyak empat artikel animal studi
experimental meneliti efek dari minyak ikan terhadap respons inflamasi pada mencit
dimana minyak ikan dapat menununkan respon inflamasi (peningkatan awal jumlah
sel NK, sIL-6R dan TGF-β), mempercepat onset resolusi dan dapat meningkatkan
intensitas dan durasi fase resolusi (eosinofil) dan penyembuhan (Tomasdottir et al.,
2013), meningkatan sel B1 (perlindungan terhadap infeksi sekunder) peritoneum,
lebih banyak sel IgM (+) di limpa dan lebih tinggi serum antibodi IgM spesifik
mBSA (Tomasdottir et al., 2014), menunda perekrutan neutrofil dari darah ke
peritoneum pada awal peradangan, ia memiliki potensi untuk meningkatkan jumlah
neutrofil peritoneum (Arnardottir et al., 2013), Mengubah keseimbangan mediator
lipid menuju ke keadaan pro-resolusi dan anti inflamasi tanpa secara drastis

PERITONITIS 26
mengubah jumlah atau fenotipe populasi sel imun bawaan lokal (Chacon et al., 2016),
Dapat disimpulkan Efek Minyak ikan (fish oil) pada penurunan respons inlamasi
(peritonitis) terbukti menimbulkan efek yang menguntungkan terhadap fase pro-
revolusi dan meningkatkan efek anti inflamasi. Namun bukti secara RCT penggunaan
minyak ikan pada klien dengan peritonitis belum ada, untuk perlu dilakukan
penelitian terkait penggunaannya pada manusia sehingga penerapannya secara klinis
dapat dipertanggung jawabkan

PERITONITIS 27
BAB V
PENUTUP

D. Kesimpulan
Adapun simpulan dalam makalah ini ialah
1. Peritonitis merupakan perdangan peritonium yang terjadi pada pasien dengan
penyebab utama yang paling sering sirosis hepatis, asites, sindrom nefrotik,
pasien dengan CAPD, ruptur viscus, ulserasi colon dan penyakit radang
panggul. Diagnosis dini dan terapi antibiotik empiris merupakan hal yang
penting. Kelangsungan hidup akan menurun jika terjadi penundaan dalam
pemberian antibiotik pada pasien dengan syok septik
2. Peritonitis menghasilkan efek sistemik yang berat, perubahan sirkulasi,
perpindhan cairan dan masalah pernapasan dapat menyebabkan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang parah. Bila hal ini terjadi perlu
dilakukan operasi laparotomi ekslorasi untuk pencucian rongga peritonium,
kontrol sumber infeksi, debridement radikal, irigasi kontinue dan stage
abdominal repair.
3. Dalam penatalaksanaan keperawatan yang perlu di perhatikan ialah
kebutuhan rasa nyaman nyeri, ketidak seimbangan nutrisi dan cairan, dan
tingginya tingkat kecemasan pada klien serta perubahan tingkat kesadaran
apabila terjadi syok sepsis, disisi lain perlu adanya penatalaksanaan pre dan
pascaoperatif bila terdapat intervesnsi bedah laparatomi ekslorasi.
4. Untuk pemeriksaan diagnostik paracentesis harus dilakukan pada semua
pasien dengan sirosis dan asites yang di rawat di rumah sakit untuk
menyingkirkan dugaan Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) yang di
dasarkan pada jumlah neutrofil di cairan asites > 250/mm3, dan perlu adanya
kultur cairan asites untuk panduan terapi antibiotik.
5. Diet minyak ikan sebagai penghambat proses inflamasi merupakan intervensi
yang sangat baik. Namun penggunaan pada manusia khsusnya pada pasien

PERITONITIS 28
peritonitis belum ada, namun bukti empiris berdasarkan EBP pada hewan
sudah banyak.

E. Saran
1. Perlu adanya peningkatan kemampuan perawat mengenai intervensi
keperawatan berdasarkan EBP khususnya masalah keperawatan pada pasien
peritonitis.
2. Diharapkan adanya pelatihan peritoneal dialisis.
3. Diharapkan perawat meneliti tentang diet minyak ikan sebagai penghambat
proses inflamasi pada pasien peritonitis.

PERITONITIS 29
DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda. (2015). APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN


DIAGNOSA MEDIS & NANDA. Jogjakarta: Mediaction Publishing Jogjakarta.
https://doi.org/978-602-72002-2-7
Arnardottir, H. H., Freysdottir, J., & Hardardottir, I. (2013). Dietary fish oil increases
the proportion of a specific neutrophil subpopulation in blood and total
neutrophils in peritoneum of mice following endotoxin-induced inflammation ☆ .
The Journal of Nutritional Biochemistry, 24(1), 248–255.
https://doi.org/10.1016/j.jnutbio.2012.05.012
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2009). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen
Klinis untuk Hasil yand diharapkan (Edisi 8). Elsevier Ltd.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen
Klinis untuk Hasil yand diharapkan (Edisi 8). Elsevier Ltd.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2015). Keperawatan Medikal Bedah: Keperawatan
Klinis untuk Hasil yang di Harapkan (8th ed.). Singapore: ELSEVIER.
Chacon, A. C., Phillips, B. E., Chacon, M. A., Kelleher, S. L., & Soybel, D. I. (2016).
Oral Omega-3 Fatty Acids Promote Resolution in Chemical Peritonitis. Journal
of Surgical Research. https://doi.org/10.1016/j.jss.2016.06.036
Djuantoro, D. (2014). Buku Ajar ilustrasi Patofisiologi. In M. Ginting (Ed.).
Tangerang Selatan: Bina Rupa Aksara Publisher.
Doenges, Marilinn E., Moorhouse, Mary F., Murr, A. C. (2010). Nursing Care
Palns : Guidelines for individualizing client care across teh life span (8th ed.).
Philadelphia: Davis company.
Ginès, P., Angeli, P., Lenz, K., Møller, S., Moore, K., Moreau, R., … Hayes, P.
(2010). EASL clinical practice guidelines on the management of ascites,
spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Journal
of Hepatology, 53(3), 397–417. https://doi.org/10.1016/j.jhep.2010.05.004
Gloria M Bulecek and Howard K Butcher and Joane M Dochterman and Cheryl M

PERITONITIS 30
Wagner. (2013). Nursing Intervention Clasification. (I. N. and R. Devi, Ed.).
Gould, B. E., & Dyer, R. (2013). Pathophysiology for the Health Professions
(FOURTH EDI). Elsevier Inc.
Japanesa, A., Zahari, A., & Rusjadi, S. R. (2014). Pola Kasus dan Penatalaksanaan
Peritonitis Akut di Bangsal, 5(1), 209–214.
Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisiologi
(Professional Guide to Pathophysiology). Jakarta: EGC.
Lewis, S. L. M., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2014). Medical-
Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems (Ninth
edit). Elsevier.
Li, P. K. T., Szeto, C. C., Piraino, B., de Arteaga, J., Fan, S., Figueiredo, A. E., …
Johnson, D. W. (2016). ISPD peritonitis recommendations: 2016 update on
prevention and treatment. Peritoneal Dialysis International, 36(5), 481–508.
https://doi.org/10.3747/pdi.2016.00078
Memon, A. A., Siddiqui, F. G., Abro, A. H., Agha, A. H., Lubna, S., & Memon, A. S.
(2012). An audit of secondary peritonitis at a tertiary care university hospital of
Sindh, Pakistan (PDF Download Available), (July 2008), 1–5.
Mustafa, M., Menon, J., Muniandy, R., Sieman, J., Sharifa, A., & Illzam, E. (2015).
Pathophysiology, Clinical manifestation and Diagnosis of Peritonitis. IOSR
Journal of Dental and Medical Sciences Ver. I, 14(10), 2279–861.
https://doi.org/10.9790/0853-141017479
Muttaqin, Arif, Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi kasus
keperawatan Mmedikal bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Pericleous, M., Sarnowski, A., Moore, A., Fijten, R., & Zaman, M. (2016). The
clinical management of abdominal ascites, spontaneous bacterial peritonitis and
hepatorenal syndrome: A review of current guidelines and recommendations.
European Journal of Gastroenterology and Hepatology, 28(3), e10–e18.
https://doi.org/10.1097/MEG.0000000000000548

PERITONITIS 31
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses
Penyakit. (H. Hartanto, Ed.) (6th ed.). Jakarta: EGC. https://doi.org/9794487333
Skidmore-Roth, L. (2015). MOSBY’S HANDBOOK OF HERBS & NATURAL
SUPPLEMENTS. Mosby, an imprint of Elsevier Inc.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
Suddarth’s TextBook of Medical - Surgical Nursing (12th ed.). Philadelphia,
United States: Lippincott Williams & Wilkins.
Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). BRUNNER &
SUDDATH’S Textbook of Medical-Surgical Nursing.
Sue Moorhead and Marion Jhonson, and Meridean L Mas, and E. S. (2013). Nursing
Outcomes Clasification (NOC) (Intasari N).
Swearingen, P. L. (2016). All-in-one nursing care planning resource : medical-
surgical, pediatric, maternity, psychiatric nursing care plans (4th editio).
Elsevier Inc.
T Heather Herdman dan Shigemi Kamitsuru. (2015). Diagnosa Keperawatan,
Defenisi Dan Klasifikasi 2015-2017. (Monica Ester, Ed.) (10th ed.). Jakarta.
Timby, Barbara K; Smith, N. E. (2010). Introductory Medical-Surgical Nuring. ( e
Gentzler, Ed.) (10th ed.). Philadelphia.
Tomasdottir, V., Thorleifsdottir, S., & Vikingsson, A. (2014). ScienceDirect Dietary
omega-3 fatty acids enhance the B1 but not the B2 cell immune response in mice
with antigen-induced peritonitis ☆ . The Journal of Nutritional Biochemistry,
25(2), 111–117. https://doi.org/10.1016/j.jnutbio.2013.09.010
Tomasdottir, V., Vikingsson, A., Freysdottir, J., & Hardardottir, I. (2013). Dietary
fish oil reduces the acute inflammatory response and enhances resolution of
antigen-induced peritonitis ☆ . The Journal of Nutritional Biochemistry.
https://doi.org/10.1016/j.jnutbio.2013.03.005
Wilkinson J. M., Treas L. S., Barnett K., S. M. H. (2016). Fundamentals of Nursing.
F. A. Davis Company, 1. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

PERITONITIS 32

Anda mungkin juga menyukai