Abstract
Silver rasbora is endemic fish with limited distribution in Java. Degradation of their habitat is the result of
jatigede reservoir. The purpose of this research is to analyze the aspect of fish biology of silver rasbora.
The specimens used in this study were part of the specimens collected. The ideal habitat for silver
rasbora is fresh water that has an optimum temperature of 26 - 30 ° C. Growth, reproduction and food
habits are the main aspects that need to be known to make observations. The growth aspect can be
known by measuring TL, SL, FL, the reproductive aspects of looking at the sexes and gonads while the
food and feeding habits see from what is in the stomach. a significant correlation between the weight of
the ovaries and the number of eggs, and to classify the index fish taken from the observed river.
30
22.5
20
10 6.5 7.5 8
4 1.5
1 0.5
0
33-39 40-46 47-53 54-60 61-67 68-74 75-81 82-88 89-95
interval (mm)
Grafik diatas menunjukan panjang ikan paray tertinggi pada kelas 4 yaitu sebesar 48,5%, sedangkan
kelas interval yang memiliki interval terendah ada pada kelas interval 9 sebesar 0,5%. Hal ini dapat
digunakan untuk menganalisis kapan waktu ikan mencapai ukuran tertentu, karena pada bulan
November ini telah diketahui bahwa ukuran dominan ikan nila berkisar 54-60 mm. Ikan ini berwarna
perak kebiruan dengan paniang total mencapai 81,1 mm dan 30-31 linea lateralis (Rachmatika, 2003).
50
45 43
40
35
30 26.5
presentase(%)
25
20
15 9.5
10 6.5 6.5
5 3.5 3.5
0.5 0.5
0
96 .71 .46 .21 .96 .71 .46 .21 .96
-0. -1 -2 -3 -3 -4 -5 -6 -6
.22 .97 .72 .47 .22 .97 .72 .47 .22
0 0 1 2 3 3 4 5 6
interval (gram)
Gambar 2 . Grafik Distribusi Bobot Ikan Paray
Distribusi bobot ikan paray bervariasi dengan presentase paling tinggi sebesar 43% pada interval 0.97-
1.71 gr dan presentase terendah sebesar 0.5% pada kelas interval 8 dan 9. Perubahan bobot pada setiap
jenis ikan dapat dihasilkan dari perubahan pakan dan alokasi energi untuk tumbuh dan reproduksi yang
menyebabkan bobot ikan berbeda walaupun memiliki panjang yang sama (Meretsky et al. 2000). Apabila
terlalu banyak individu yang ada diperairan tidak seimbang dengan ketersediaan makanan diperairan,
maka akan terjadi kompetisi terhadap makan tersebut yang akan menemukan pertumbuhan sehingga
dalam satu keturunan akan terdapat perbedaan ukuran. Dari data tersebut dapat dinyatakan
pertumbuhan panjang ikan paray ini tergolong maksimum dibanding dengan pertumbuhan bobotnya atau
dapat disebut sebagai alometrik negatif (Effendi 1997).
1
0.8
0.6 f(x) = 2.7 x − 4.57
R² = 0.55
0.4
0.2
0
1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
Santoso (2003), menyatakan bahwa angka korelasi diatas 0.5 menunjukan korelasi yang cukup kuat,
sedangkan dibawah 0.5 menunjukan korelasi lemah. Berdasarkan hasil analisis bahwa antara panjang
dan bobot tubuh ikan paray menunjukan hubungan yang kuat, hal ini terlihat dari nilai r korelasi yang kuat
yaitu 0.549. Artinya panjang tubuh ikan tersebut hanya mempengaruhi berat ikan sebanyak 54.9%
sedangkan 45.1 % adalah faktor lainnya. ikan lalawak yang ada diperairan umum.
Nilai slope yang di dapat dari 200 sampel ikan paray didapatkan nilai b sebesar 2.697 atau b < 3 , nilai b
tersebut dapat menentukan tipe pertumbuhan apa yang dimiliki oleh populasi ikan. Menurut Effendie
(1997) jika nilai b < 3, hubungan yang terbentuk adalah allomatrik negatif atau pertambahan panjang
lebih cepat dari pada pertumbuhan bobot.
Hasil data angkatan diatas sesuai teori yang menyatakan Faktor luar yang utama ialah makanan dan
suhu perairan. Makanan dengan kandungan nutrisi yang baik akan mendukung pertumbuhan dari ikan
tersebut sendangkan suhu akan mempengaruhi proses kimiawi tubuh (Effendie 2002).
2.00
1.80 1.75 1.82 1.74
1.60
1.60 1.47
1.40 1.33
1.25 1.21
1.20 1.11
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
33-39 40-46 47-53 54-60 61-67 68-74 75-81 82-88 89-95
Berdasarkan grafik diatas, didapatkan bahwa nilai faktor kondisi optimum belum diketahui karena kurva
grafik masih bernilai positif atau masih mengalami peningkatan dari 1,25-1,82 dan adanya penurunan
faktor kondisi dari 1,82-1,11. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan paray ini masih belum memijah
karena faktor kondisinya masih meningkat, faktor seperti pemijahan dapat menurunkan faktor kondisi.
Secara keseluruhan, kisaran nilai faktor kondisi betina lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini diduga
bahwa ikan betina memiliki kondisi lebih baik saat mengisi gonadnya dengan cell sex dalam proses
reproduksi dibandingkan dengan ikan jantan (Effendie 1997).
Faktor kondisi atau indeks ponderal dan sering disebut faktor K yang merupakan hal yang penting dari
pertumbuhan ikan, karena faktor kondisi dapat digunakan untuk menganalisis populasi. Beragamnya
faktor kondisi disebabkan olehpengaruh makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonadnya
(Effendie,2002).
54
Jantan
Betina
144
Penelitian terhadap Ikan paray dilakukan pada 198 ekor, menghasilkan 144 ekor ikan jantan dan 54 ekor
ikan betina, sehingga menghasilkan perbandingan rasio kelamin ikan jantan dan ikan betina sebesar 73:
27. Sehingga banyak ikan jantan lebih besar dari presentase betina, maka ikan paray erupakan poliandri
dimana jumlah jantan lebih banyak dibandingkan betina, sesuai dengan pernyataan Rahardjo, 2011
bahwa perilaku pemijahan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu promiscuous,poligami, dan monogami.
Poligami dibagi dua,yaitu poliandri dan poligini. Poliandri artinya jumlah jantan lebih banyak daripada
betina saat bereproduksi.
Hubungan panjang total dan bobot tubuh serta faktor kondisi suatu ikan bergantung kepada makanan,
umur, jenis seks dan kematangan gonad (Effendi 1997). Ikan melakukan reproduksi secara eksternal,
ikan jantan dan ikan betina mengeluarkan sperma dan telur, cara reproduksi tersebut dikenal sebagai
oviparus, yaitu telur dibuahi dan berkembang diluar tubuh ikan. Rasio kelamin merupakan perbandingan
antara jantan dan betina dalam suatu populasi (Herawati 2017).
45 42
40
35
A
30 26
25
20
15 13
11
10 8
10 6 7
5 2 1 1 11 2 441 1 21
0
33-39 40-46 47-53 54-60 61-67 68-74 75-81 82-88 89-95
12 11
10 B
8 7
6 5
4 4
4 3
2 2 2 2 2
2 1 1 1 1 1 1 111 1
0
33-39 40-46 47-53 54-60 61-67 68-74 75-81 82-88 89-95
Gambar 6. Grafik Tingkat Kematangan Gonad Ikan Paray Jantan (a) dan Betina (b)
Tingkat kematangan gonad ikan paray jantan didominasi TKG I, yaitu ikan belum siap untuk memijah
adalah pada rata-rata panjang ikan 54-60 mm. Tingkat kematangan gonad ikan paray betina didominasi
TKG IV, yaitu ikan sudah siap untuk memijah adalah pada rata-rata panjang ikan 75-81 mm.umumnya
pertambahan bobot gonad pada ikan betina sebesar 10-25% dari bobot tubuh dan pertambahan pada
jantan sebesar 5-10%. Pengetahuan tentang kematangan gonad diperlukan antara lain untuk mengetahui
perbandingan ikan yang matang gonad dan yang belum dari stok ikan yang ada dalam perairan, ukuran
atau umur pertama kali ikan memijah atau belum (Effendie 1979).
12.00%
9.9%
10.00%
8.00%
6.7%
6.00% 5.0% 5.28%
4.39%
4.00%
2.27% 1.77%
1.5%
2.00% 0.9% 0.61%
0.00%
I II III IV V
JANTAN BETINA
Gambar 7. Grafik TKG Terhadap IKG Ikan Paray
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa IKG berhubungan erat dengan TKG. Ikan jantan nilai IKG
yang makin besar menunjukan semakin matang gonad. Saat TKG IV merupakan nilai IKG maksimum
pada ikan jantan sebesar 5,28%, tetapi ketika memasuki TKG V nilai IKG nya menurun drastis menjadi
0,61%. Ikan paray jantan memiliki nilai IKG maksimum pada TKG IV. Hal ini terjadi karena pada TKG IV,
berat gonad pada ikan jantan semakin membesar dan berkembang tetapi pada TKG V gonad tersebut
mulai mengkerut dan mengecil sehingga bobotnya juga semakin kecil (Effendie 1979).
Berdasarkan hasil pengamatan pada ikan paray betina, nilai IKG maksimum terdapat pada TKG IV 9,9%,
tetapi ketika memasuki TKG V nilai IKGnya menurun menjadi 6,7%. Semakin tinggi kematangan gonad
maka garis tengah telur di dalam ovarium semakin besar dan gonad bertambah berat (Larasati 2011).
Nilai IKG betina lebih besar daripada ikan jantan karena pada saat.
1.40
1.21
1.20
1.00
0.80
0.62
0.60
0.40
0.23
0.20 0.14 0.10
0.01 0.02 0.05 0.01 0.07
0.00
I II III IV V
IKG(%) HSI(%)
Gambar 8. Hubungan HSI dengan TKG dan IKG pada Ikan Paray
Berdasarkan data hasil pengamatan angkatan berupa grafik diatas nilai rata-rata HSI ikan paray yang
diuji tertinggi terdapat pada TKG II yaitu sebesar 1,21%. Sedangkan nilai HSI terendah ikan paray ini
terdapat pada TKG IV dikarenakan nilainya 0,01%. Semakin tinggi tingkat kematangan gonad maka nilai
HSI pun semakin tinggi, hal ini terjadi karena adanya proses vitelogenesis pada hati ikan. HSI yang tinggi
pula menggambarkan cadangan energi yang ada pada tubuh ikan sewaktu ikan mengalami
perkembangan kematangan gonad (Herawati 2017).
Perbedaan ukuran (bobot tubuh dan panjang total) akan menyebabkan berbedanya ukuran bobot
ovarium dan juga akan menyebabkan berbedanya nilai fekunditas, sedangkan fekunditas yang paling
besar didapatkan kelompok 1a sebanyak 3.753 butir. Ikan yang baru pertama kali matang gonad memiliki
ukuran tubuh lebih kecil bila dibandingkan dengan ikan yang telah mengalami beberapa kali matang
gonad (Synder 1983).
Fekunditas rata-rata ikan paray dari sungai-sungai yang diamati berkisar antara 920-3753 butir.
Berdasarkan jumlah ini ikan paray memiliki fekunditas yang relatif kecil bila dibandingkan dengan anggota
Cyprinid yang lain. Hartoto et al. (1985).
Berdasarkan data yang diperoleh dari data angkatan, tingkat kematangan telur pada TKG IV ikan paray
secara umum memiliki telur dengan kondisi telah melebut bejumlah lebih banyak daripada jumlah telur
yang masih berada ditengah maupun jumlah telur yang berada dipi atau menuju kutub. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tingkat kematangan telur pada TKG IV sudah tinggi atau sudah masuk kedalam fase
VII dengan keterangan folikel post-ovulatory yaitu setelah matang folikel prcah dan oosit dilepaskan.
Peneliti lain menyebutkan tahap ini dengan istilah GVBD (Germinal Vesicle Break Down).
1.93
10.27
14.01
9.54
Berdasarkan grafik indeks preponderan di atas dapat diketahui makanan utama, makan pelengkap, dan
makanan tambahan dari kebiasaan makanan pada Ikan paray. Makanan utama Ikan paray adalah
fitoplankton yang memiliki nilai indeks preponderan sebesar 31,27%. Makanan pelengkap Ikan paray
adalah zooplankton (14,01%) dan bagian bagian hewan (10,27%). Makanan tambahan Ikan paray yaitu
yang memiliki indeks preponderan kurang dari benthos sebesar 1.93%.
Menurut Sulistiyarto dkk. (2010), ikan paray merupakan omnivora karena makanan utamanya adalah
detritus, hewan invertebrata, dan tumbuhan.
Tingkat trofik dari Ikan paray memiliki nilai Tp sebesar 2,57. Indeks bagian terbesar merupakan detritus
sebesar 62%, kemudian fitoplankton 33%, zooplankton 28%, dan bagian tumbuhan 10%. Tingkat trofik
adalah urutan-urutan tingkat pemanfaatan makanan atau material dan energi seperti yang tergambarkan
oleh rantai makanan. Tingkat trofik ikan diketahui berdasarkan hubungan antara tingkat trofik organisme
pakan dan kebiasaan makanan ikan sehingga dapat diketahui kedudukan ikan tersebut dalam ekosistem(
Herawati 2017).
Berdasarkan nilai tingkat trofik Ikan paray ini merupakan omnivore, sesuai dengan literatur bahwa tingkat
trofik ikan dikategorikan menjadi tingkat trofik 2 yaitu untuk ikan yang bersifat herbivora, tingkat 2,5 untuk
ikan omnivora dan tingkat trofik 3 atau lebih untuk ikan yang bersifat karnivora (Herawati 2017).
Kesimpulan
a. Pertumbuhan pada ikan paray yang berasal dari Waduk JatiGede ini bersifat allometrik negatif,
dengan nilai b = 2,697.
b. Reproduksi pada ikan paray ini,dengan rasio kelamin pada ikan paray yaitu, jantan 73% dan betina
27%. Dapat dilihat dari nilai TKG, baik ikan jantan maupun ikan betina sebagian besar berada fase
bunting dan mijah, yang artinya siap untuk melakukan perkawinan. Persentase IKG ikan paray ini
umumnya berkisar antara 0.9-9.9%.
c. Food Habit Ikan paray yang ada pada populasi ini lebih bersifat omnivore dengan nilai tingkat Tp
sebesar 2,57.
Saran
Kebersihan laboratorium harus dijaga agar praktikan dan asisten nyaman di dalam ruangan praktikum
selain itu agar proses praktikum menjadi lebih efektif. Adapun sarana dan prasarana harus mendukung
selama kegiatan praktikum berlangsung. Praktikum mengenai analisis aspek biologis ini masih
terkendala masalah data hasil praktikum, pada pengolahannya banyak ditemukan kendala, seperti masih
banyak data yang missed atau kosong sehingga rata-rata yang didapatkan kurang valid. Untuk itu, harus
diperhatikan lagi prosedur kerja dan pemahaman dan materi dasar yang menunjang jalannya praktikum
ini agar tidak ada lagi kesalahan data.
Daftar Pustaka
Alamsjah, Z. 1974. Ichthiyologi Sistematika. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi.
Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID) : Yayasan Pustaka Nusantara.
Fujaya, Yushinta. 2004. ”Fisiologi Ikan (Dasar Pengembangan Teknik Perikanan)”. PT. Rineka Cipta :
Jakarta
Herawati, Titin. 2017. Metode Biologi Perikanan : Pedoman Kerja Laboratorium. Unpad Press, Bandung.
Kottelat, M.S. Wirjoatmodjo, A. Whitten dan S.N.Kartikas ari. 199 6. Fresh water western Indonesict and
Sulawesi. Periplus edition Limited.
Rachmatika, I. 2003. Fislt Fauna oJ The Gunung Halimun Nationol Park, West Juvu. BCP- LIPI- JICA-
PHKA. Jakarta.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta. Bogor.
Sulash-i dan D.I.Hartoto. 1 9 85. Kebiasaan makan ikan Rasbora lateristtiata dan Puntitts birtotatus di
Citamanjaya dun Cibinua Kawasan kulon. Zoo Indonesia no. 4: 1 -7.