Oleh:
Ridwan Darmawan
NIM. 1113011000052
Oleh:
Ridwan Darmawan
NIM. 1113011000052
Dibawah Bimbingan
Dosem Pembimbing Skripsi
Yang Mengesahkan
Pembimbing
Mengetahui:
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
i
ABSTRACT
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta menganugerahkan nikmat sehat
kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan
semoga memberi manfaat bagi yang membacanya.
Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw. sebagai suri tauladan terbaik, berserta keluarga, para sahabat dan
para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulisan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak
sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat do’a, perjuangan,
kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai
pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh karena ini, dengan
segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
dan selaku dosen pembimbing yang dengan penuh perhatian telah
memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi serta ilmu pengetahuan
kepada penulis. Kebaikan Bapak dalam segala hal akan selalu terkenang
iii
bagi diri penulis. Semoga keberkahan hidup senantiasa mengiringi, dan
senantiasa berada dalam lindungan Allah.
4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya.
5. Dr. Dimyati, MA., selaku Dosen Penasehat Akademik yang dengan
penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi
serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
6. Kedua orang tua penulis, yaitu ayahanda Susanto dan ibunda Sri
Nurhayati yang telah merawat dengan penuh kasih sayang, yang
berjuang untuk memberikan pendidikan tinggi kepada putranya,
mendidik dengan sabar, tulus dan ikhlas, serta memotivasi dan
mendo’akan penulis dalam setiap langkahnya.
7. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat dan takzim penulis,
yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan membimbing penulis
selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Semoga Ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan
mendapatkan keberkahan dari Allah Swt.
8. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Bu Isti selaku Staff
Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah yag telah
memberikan kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.
9. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, yang telah membantu
penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang
penulis butuhkan.
10. Kedua adik tercinta, Dinda Aulia Putri dan Raihan Gilang Pamungkas,
yang telah mendukung penulis, tempat bertukar pikiran, memberikan
canda dan tawa yang menjadi motivasi dan inspirasi bagi penulis dalam
menyelesaikan penulisan ini.
11. Penyemangat terdekat Afif Faizin dan Safitri Era Globalisasi yang selalu
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus
berjuang menempuh pendidikan hingga terselesaikan penulisan ini.
12. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam Angkatan
2013, terutama kelas B “CABHE” semoga keberkahan dan kesuksesan
selalu menyertai kalian semuanya. Terima kasih telah menjadi teman,
sahabat, saudara, sekaligus keluarga yang selalu ada untuk menjadi
tempat bertukar pikiran dan bantuan dalam penulisan ini. Semoga Allah
Swt. membalas kebaikan kalian semuanya.
13. Adik Kelas, Argarry Akbar yang selalu memberikan dukungan,
semangat dan bantuan kepada penulis dalam penulisan ini. Semoga
Allah Swt. membalas semua kabaikan kalian.
iv
14. Sahabat yang selalu setia dan sedia memberikan nasihat, perhatian,
semangat, canda dan tawa, yaitu Amala Firman Akhi yang sama-sama
menempuh Pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Muhammad Hilal Baqi mahasiswa FAI di
Universitas Muhammadiyah Jakarta, semoga persahabatan kita abadi
sampai ke surga-Nya.
15. Tak lupa segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
namun turut membantu penulis dalam penulisan skripsi ini ataupun
memberikan pelajaran hidup bagi penulis. Penulis tidak dapat
membalasnya dengan apapun, semoga Allah Swt. yang akan membalas
dengan balasan yang sebaik-baiknya di dunia dan akhirat.
Demikian skripsi ini dibuat, seperti pepatah tiada gading yang tak retak, begitu pun
dengan pembuatan skripsi ini, penulis menyadari dan mengakui bahwa masih
terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, baik dari segi kepenulisan,
susunan kalimat ataupun yang lainnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat penulis harapkan dalam kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama, lebih khusus bagi
penulis sendiri, dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam.
Ridwan Darmawan
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
2. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Rangkap
Tanda Huruf Latin Tanda Huruf Latin
a ai
i au
u (tempatnya di bawah tabel vokal
Contoh: rangkap)
َ = َكتkataba
ََب َ = َكيkaifa
َْف
َف
َ ‘ = ع ُِرurifa َ = َح ْو َلhaula
vi
3. Madd (Panjang)
Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda
ـَا ā
ـِي î
ـُو ū
Contoh:
ََ = كَانkāna َ = قِ ْي َلqîla
عا
َ َ = دda’ā َ = َيقُ ْو ُلyaqūlu
4. Tā’ Marbūţah
Tā’ Marbūtah hidup transliterasinya adalah /t/.
Tā’ Marbūtah mati transliterasinya adalah /h/.
Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tā’ Marbūtah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka
Tā’ Marbūtah itu ditransliterasikan menjadi /h/. Contoh:
= حديقةَالحيواناتḫadîqāt al-ḫayawānāt atau ḫadîqātul ḫayawānāt.
= المدرسةَاإلبتدائيةal-madrasat al-ibtidā’iyyah atau al-madrasatul ibtidā’iyyah.
= همزةhamzah
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah/tasydîd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang
diberi tanda syaddah (digandakan).
Contoh:
َعلَّ َم
َ = ‘allama َ = يُك َِر ُرyukarriru
= ُك ِر ََمkurrima ُ = ال َّم َدal-maddu
6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf
yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.
Contoh:
ُ ص ََل َة
َ = الaş-şalātu
vii
b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan
bunyinya. Contoh:
َ = الفَ َل ُقal-falaqu ُ ِ = البَاحal-bāḫiśu
َث
7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti
alif, contoh:
َُ = أَك َْلتakaltu
ََ = أ ُ ْوتūtiya
ِي
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh:
ََ = ت َأ ْ ُكلُ ْونta’kulūna
َش ْيء
َ = syai’un
8. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya. Contoh:
= القُ ْرآنal-Qur’ān
ُ = ال َم ِد ْينَةَُال ُمن ََّو َرَةal-Madînatul Munawwarah
َي
ْ = ال َم ْسعُ ْو ِدal-Mas’ūdi
viii
DAFTAR ISI
ix
BAB IV ............................................................................................................................. 44
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 44
A. Tafsir Ayat ............................................................................................................ 44
B. Penerapan di Sekolah ............................................................................................ 66
BAB V .............................................................................................................................. 79
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 79
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 79
B. Implikasi ............................................................................................................... 79
C. Saran ..................................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 81
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
M.Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.1.
2
Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000), Cet. VII, h.
55.
1
2
3
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 3.
3
penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan batil, yang halal dan
haram.4
ِقلِهلِيستويِٱلذينِيعلمونِوٱلذينِلِيعلمونِإَّناِي تذكرِأولواِٱأللبَٰب
4
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir al-Bashri al-Dimasyqi, Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005) Jilid I, h. 347
5
Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran”. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 122
6
Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol. 6, No. 2,
Desember 2011, h. 259
4
berasal dari bahasa Arab al-‘ilm yang berarti mengetahui hakikat sesuatu
dengan sebenar-benarnya.7
7
Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol. 6, No. 2,
Desember 2011, h. 259 lihat Majma‘ al-Lughah al-Arabiyah, Mu‘jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-
Da‘wah, 1990, hal. 624.
8
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), h. 5
9
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10.
5
10
Izzatur Rusuli dan Zakiul Fuady M. Daud Ilmu Pengetahuan Dari John Locke Ke Al-
Attas. Jurnal Pencerahan, Vol. 9 No. 1, Maret 2015, h. 14
11
Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 123
12
Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 123-124
6
ِ)3(ِ)ِاق رأِوربُّكِاألكرم2(ِسانِمنِعلق
ِ )ِخلقِاْلن1(ِاق رأِبسمِربكِالذيِخلق
)5(ِ)ِعلمِاْلنسانِماَِلِي علم4(ِالذيِعلمِبلقلم
13
M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur`an (Bandung: Mizan, 2006), h. 442
7
لدن ِعلما, keduanya menggunakan sebuah kata dengan makna dari sisi
kami, jadi dapat kita nisbahkan antara rahmat dan ilmu keduanya datang
dari sisi Allah swt.
14
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 39
15
Ibid, h. 54
8
16
Agus Sutiyoni, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali. Nadwa Jurnal Pendidikan
Islam Vol. 7, Nomor 2, Oktober 2013, h. 317
17
Ibid,
9
kemudian keluarlah apa yang ada di dalam hati berupa kekuatan sampai
perbuatan dengan tanpa tambahan pencarian dan kesulitan. 18
ِسأنبيكِعنِتفصيلهاِببيا ِن#ِأخيِلنِتنالِالعلمِإلِبستة
ِوِدرهمِصحبةِأستاذِوِطولِزما ِن#ِذكاءِوِحرصِوِاجتهاد
Dari uraian di atas kita dapat temui bahwa ilmu ladunni hanya bisa
didapatkan bagi seseorang yang telah mendidik dirinya hingga mencapai
tingkat kesempurnaan, hilangya tabiat kotor, ketamakan dan angan-angan
sesat. Tentunya untuk mencapai kesempurnaan tersebut dibutuhkan syarat-
syarat yang disebutkan oleh Imam Syafi’i yaitu kecerdasan, ambisi, jihad,
modal, bimbingan guru dan waktu yang lama, sehingga terbentuklah akhlak
yang mulia bagi orang yang menjalaninya.
18
Ibid.
10
yang baik sehingga kita mendapatkan rahmat Allah dengan adanya Ilmu
yang kita pelajari.
19
Ramadhan, Al-Quran, Hanya Sebagai Pajangan Belaka, diakses dari
http://mahasiswa.iainpalu.ac.id/blog/alquran-hanya-sekedar-pajangan-belaka/ pada 10 maret 2018
11.00
20
Edward Febriyatri Kusuma, Kisah Kelam Ibu Guru di Jaktim yang Dipukul dan
Dijambak Siswanya, Detik.com, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-
kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-
siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385 pada tanggal 10
Maret 2018 10.45
11
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya
yaitu:
21
Gito Yudha Pratomo, Eksistensi Tuhan di Mata Orang Jenius, CNN Indonesia, diakses
dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-7440/eksistensi-tuhan-di-
mata-orang-jenius pada tanggal 10 Maret 2018 jam 10.50
12
E. Tujuan Penelitian
Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Konsep
Ilmu Laduni dalam pandangan Al-Quran (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat
65) adalah memberikan penjabaran mengenai bagaimana konsep Ilmu
Laduni menurut pandangan Al-Quran dan bagaimana seharusnya seseorang
berprilaku ketika akan berhadapan dengan seorang guru. Hal ini
dikarenakan pada masa ini makna ilmu sendiri yang mulai terkikis dengan
paham barat sehingga umat Islam banyak meninggalkan rujukan pentingnya
dalam bepegang pada agama dan masih banyaknya murid yang lupa
bagaimana sebaiknya bertata krama kepada gurunya. Adapun yang lebih
ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk
menjelaskan bagaimanakah konsep ilmu laduni menurut pandangan Al-
Quran kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65.
F. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak.
KAJIAN TEORI
1
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ilmu diakses pada 31 Juli 2019
2
Akhmad Sodiq, Epistemologi Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 22-23.
3
Al-Ghazali, Ar-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10.
14
15
oleh Abdul Djalal, dalam bukunya Ulumul Qur’an bahwa ilmu itu ialah
sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu membedakan dengan panca
inderanya, sehingga tidak mungkin mengakibatkan berlawanan.4
4
Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000) h. 2
5
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10.
6
Abd. Muin Salim, Al-Quran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, dalam Jurnal Mitra,
Media Komunikasi Antar PTAIS (Cet. I; Makassar : Kencana, 2004), h. 18- 19.
16
َٰ ولئنِٱت بعتِأهواءهمِمنِبعدِماِجاءكِمنِٱلعلمِإنكِإذاِلمن
ِِٱلظلمني
Terjemahan:
ِبحنكِلِعلمِلناِإلِماِعلمت ناِإِنكِأنتِٱلعلِيمِٱلكيم
َٰ قالواِس
Terjemahnya :
قالِإَّناِأوتيتهَِۥِعل َٰىِعلمِعندي
Terjemahnya :
17
7
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010, h.
178
18
hal. Yang kedua, yaitu ilmu yang didapat melalui pendengaran tanpa
penelitian; seperti mengetahui hasil pertambahan angka 1 dan 2 menjadi
3 (1 + 2 = 3).
8
Ibid, h. 179
9
Fathul Mufid, Metode Memperoleh Ilmu Huduri, Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November
2012, h. 281
10
Ibid.
19
jiwa, maka itu adalah hasil dari tashawwur. Tashawwur juga memiliki
arti interpretasi. Selanjutnya cara memperolehnya terbagi atas dua
metode yaitu nazhari dan kasbi.11
11
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,
1999), Cet. 3, h. 482.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-
kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang
20
menguatkan daya aqliyah. Saat daya aqliyah menguat, maka nur ilahiy
akan nampak pada inti akal yang murni. Maka saat itulah akal dilimpahi
ma’rifat dan kesempurnaan ilmu pengetahuan. Pada proses ini subjek
berperan aktif untuk menyiapkan wadah yang diperlukan untuk
menampung limpahan nur ilahiy. Hasil akhir dari cara kedua ini adalah
ilmu ladunni.
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi
Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36.
15
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 84 – 85.
21
16
Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-
kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,
22
Paradigma ilmu kasbi ini adalah firman Allah dalam QS. al-Alaq
(96): 1-5, yakni :
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi
Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36.
23
ِِِٱقرأِوربُّكِٱألكرم٢ِنسنِمنِعلق
َٰ ِِخلقِٱْل١ِٱقرأِبٱسمِربكِٱلذيِخلق
٥ِنسنِماَِلِيعلم
َٰ ِعلمِٱْل٤ِِِٱلذيِعلمِبٱلقلم٣
ِوٱألفِٔدةِلعلكمِتشكرون
17
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 68
26
b. Proses Berpikir
Adapun yang dimaksud dengan al-tafkir ialah
pengaktifan jiwa dari jiwa universal. Seperti pembahasan
sebelumnya dalam konsep metafisika al-Ghazali, Jiwa
Universal (al-Nafs al-Kulli) lebih lembut dan lebih mulia
dibanding jiwa seluruh makhluk. Pengajaran dari Jiwa
Universal merupakan bentuk pengajaran yang paling kuat
dan membekas dalam jiwa dibanding dengan seluruh
pengajaran ilmuan ataupun para pendidik lainnya.
Ketika cahaya akal telah mampu mengalahkan sifat-
sifat jiwa, maka pencari ilmu akan merasa cukup dengan
sedikit berpikir namun mampu menandingi orang yang
banyak belajar. Hal ini karena jiwa tersebut telah mampu
menemukan faedah dari kontemplasi sesaat yang tidak
ditemukan oleh jiwa material dengan belajar setahun.
Bagaimanapun juga proses belajar tidak bisa lepas dari
berpikir sehingga mayoritas ilmu teoritis (al-‘ulum al-
nadhariyah) dan teknologi teoritis (al-shana’i al-ilmiyah)
dihasilkan oleh para ilmuwan dengan kejernihan pemikiran
dan kekuatan kontemplasi tanpa menambah bacaan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa ketika pintu
pemikiran terbuka pada jiwa, ia segera dapat mengetahui
cara berpikirdan berkontemplasi. Maka hatinya akan
memberi penjelasan, mata batinnya terbuka sehingga
18
Ibid.
27
19
Ibid., h. 70
20
Ibid., h. 65
28
3. Ilmu Ladunni
َٰ ف وجداِعبداِمنِعبادنِءات َٰينهِرحةِمنِعندنِوعِل
ِمنهِمنِلدنِعلما
21
Ibid, h. 68.
30
22
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Semarang: Toha Putra, T.t.), h. 12 – 13.
31
23
Nukilan asli: ََهوَالذيَيفيضَعلىَالقلبَمنَغيرَاكتسابَوال:َالعلمَاللدني،ًعلَّ ْمناهَُمِ ْنَلَدُنَّاَع ِْلما َ َو:وقولهَتعالى
َ
َ،َوذلكَبعدَتطهيرَالقلبَمنَالنقائصَوالرذائل.َ»َُعلمَ َماَلَ ْمَ َي ْعلَ ْم
َ هللا َُ هَ ثر و
ْ
َ ََ أ َ ِم
ل ع
َ َامَِ بََ
ل ع
َِم ََ«من:َلم َقالَعليهَالصَلةَوالس،تعلم
َ،َواألسرارَالربانية،َ َفاضتَعليهَالعلومَاللدنية،َوانجذبَإلىَحضرةَالرب،َفإذاَكملَتطهيرَالقلب،وتفرغهَمنَالعَلئقَوالشواغل
ََمنَغيرَأن،َبلَتُسلمَألربابها،َومنهاَماَالَتفهمهاَالعقولَوالَتحيطَبهاَالنقول،منهاَماَتفهمهاَالعقولَوتدخلَتحتَدائرةَالنقول
ََومنهاَماَتفيض،َومنهاَماَتفيضَعليهمَفيَجانبَعلمَالغيوبَكمواقعَالقدرَوحدوثَالكائناتَالمستقبلة،يقتدىَبهمَفيَأمرها
ََوباهلل.َإلىَغيرَذلكَمنَعلومَهللاَتعالى،َومنهاَفيَأسرارَالحروفَوخواصَاألشياء،عليهمَفيَعلومَالشرائعَوأسرارَاألحكام
التوفيق. Lihat Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo:
Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287.
24
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010,
h. 182-183
32
ِ ِإل ِمن ِٱرتض َٰى ِمنِرسولِفِإنِۥه2٦َِٰعلم ِٱلغيب ِفل ِيظهر ِعل َٰى ِغيبِٓهۦ ِأحدا
ِ2٧ِيسلكِمنِبنيِيديهِومنِخلفهَِۦِرصدا
ٌِ إَّناَِيشىِاَّللِمنِعبادهِالعلماءِإنِاَّللِعز ٌيزِغف
ور
pun bersujud di hadapan Adam. Sekaitan dengan ini Abd Muin Salim
menyatakan bahwa para malaikat tidak mempunyai pengetahuan dan
kemampuan seperti yang dimiliki Adam. Ini berarti mereka mengakui
pula kelebihan yang dimiliki Adam, sehingga karena mereka
menghormat kepada Adam sesuai perintah Tuhan. Bagi keturunan
Adam yang berilmu itu, dijanjikan oleh Allah pada derajat yang lebih
tinggi. Dalam QS. al-Mujadalah (58): 11, Allah berfirman :
يرفعِٱَّللِٱلذينِءامنواِمنكمِوٱلذينِأوتواِٱلعلمِدر َٰجت
25
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010,
h. 185
35
berilmu harus juga mengantarkan dirinya kepada amal dan karya yang
bermanfaat.26
Berdasar pada interpretasi di atas, maka dapat dirumuskan
bahwa orang yang beriman tidak diangkat derajatnya bilamana ia tidak
berilmu. Demikian pula sebaliknya, orang yang berilmu tidak diangkat
derajatnya bila ia tidak beriman. Karena itu, ilmuan yang diangkat
derajatnya yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah mereka memiliki
spiritualitas keagamaan yang tinggi.
Banyak orang mengira, bahwa ilmu laduni itu sangat sulit untuk
didapat. Mereka berkata; ilmu laduni itu berada di luar jangkauan
kemampuan manusia. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Untuk
mendapatkan ilmu laduni itu, caranya hanya dengan jalan membangun
sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab itu
adalah amal dan zuhud.27
Adapun al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Akhmad Shodiq
menjelaskan bahwa ilmu ladunni dapat dicapai dengan tiga model
pendidikan, yaitu28:
26
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010,
h. 186
27
Muhammad Luthfi Gahzali, Sejarah Ilmu Laduni, (Semarang: Abshor, 2008) h. 4
28
Akhmad Shodiq, Op. Cit., h. 91.
36
ِمنِعملِمباِعلمِأورثهِللاِالعلمِماَِلِيعلمِ(رواهِأبوِنعيمِمنِأنس
)ِبسندِضعيف
Beliau juga bersabda:
ِمنِاخلصِهللِأربعنيِصباحاِاظهرِللاِتعاَلِالكمةِمنِقلبهِعلى
)ِلسانهِ(رواِهِأبوِنعيمِمنِأبوِأيوبِبسندِضعيف
3. Dengan kontemplasi (tafkir). Apabila jiwa telah terdidik dan
mencintai ilmu, secara otomatis akan terjadi proses kontemplasi
(tafkir). Pada saat itu hasil pikir akan sangat ditentukan oleh cara
yang ditempuh. Jika cara yang ditempuh salah, ia akan terjatuh
pada lembah kehinaan yang merugikan. Jika pemikir itu
menempuh jalan yang benar jadilah ia cendikiawan yang
tercerahkan (dzawiy al-albab). Pada saat itu akan terbuka
baginya timbangan (mizan) kebenaran yang ada dalam hatinya,
sehingga ia menjadi ilmuwan (‘alim) yang sempurna, intelektual
(‘aqil) yang kokoh
METODOLOGI PENELITIAN
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif.
Menurut Lexy J. Moleong, “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.,
secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah”.1 Dalam hal ini, penulis menggunakan
pendekatan deskriptif analisis dengan menggunakan metode kajian analisis
berupa studi kepustakaan (Library Research). Menurut Mestika Zed, studi
pustaka ialah “Serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian”.2 Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan dengan cara
1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013), Cet. 31, h. 6
2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), h. 3
38
39
Dalam ilmu tafsir, terdapat dua metode penafsiran yaitu tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bil ra’yi. Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran
dengan menggunakan dalil Al-Quran itu sendiri, hadits Nabi SAW,
pendapat para sahabat dan perkataan para tabi’in yang menjelaskan maksud
dan makna dari nash-nash Al-Quran. Sedangkan tafsir bil ra’yi adalah
metode penafsiran Al-Quran berdasarkan ijtihad mufassirnya dengan
3
menjadikan akal pikiran (ra’yi) sebagai pendekatan utamanya. Menurut
pendapat Abd al-Hayy al-Farmawi yang dikutip oleh Muhammad Amin
Suma, menyebutkan metode penelitian tafsir dengan corak penalaran (bil
ra’yi) terbagi menjadi empat macam, yaitu: tafsir al-taḫlili, tafsir al-ijmali,
tafsir al-muqaran, dan tafsir al-maudhu’i.4
C. Fokus Penelitian
Menurut Sugiyono, “Batasan masalah dalam penelitian kualitatif
disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat
3
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana Pustaka,
2005), h. 18-19
4
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Ed. I, Cet. I,
h. 378-379
5
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 117.
40
D. Prosedur Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil data dari beberapa
sumber buku yang berhubungan erat dengan pembahasan yang akan
penulis bahas yang disebut dengan istilah “library research” (penelitian
kepustakaan) yakni pengambilan data dari buku-buku atau karya ilmiah
yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik berupa tafsir,
Al-Quran, dan ilmu ladunni.
1. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengumpulkan
beberapa literatur-literatur atau buku-buku yang terdiri dari data
primer dan data sekunder, yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu literatur-literatur karya
peneliti atau teoritis yang orisinil. Dalam hal ini,
sumber data primer yang digunakan adalah kitab-
kitab tafsir yang membahas tentang surat al-Kahfi
ayat 65, diantaranya:
1) Al-Quran dan Terjemahnya
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2006), Cet. I, h. 233
41
2. Analisis Data
Untuk teknik analisis data, dalam mengambil
kesimpulan bersumber dari data-data yang telah didapat, baik
data primer maupun data sekunder.
Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat
peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara
mengorganisasikan data, memilah mana data yang
sesungguhnya penting atau tidak, ukuran penting atau tidaknya
mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab
fokus penelitian, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola dan hubungan-hubungan.7 Oleh karena itu, untuk teknik
analis data, dalam mengambil kesimpulan bersumber dari data-
7
Lexy J. Moleong, Op. Cit.,, h. 248
42
data yang telah didapat, baik dalam data primer maupun data
sekunder. Penelitian tafsir adalah suatu ragam acuan atau
pedoman dari sebuah penyelidikan secara seksama terhadap
penafsiran Al-Quran yang pernah dilakukan oleh generasi
terdahulu untuk mengetahui secara pasti mengenai berbagai hal
yang terkait.8 Dalam buku Membumikan Al-Quran karya M.
Quraish Shihab, bahwa beliau menjelaskan proses menggunakan
metode tahlili adalah menguraikan segala sesuatu yang dianggap
perlu oleh seorang mufassir.9 Karena penelitian ini
menggunakan metode penafsiran tahlili (deskriptif analisis),
maka penulis akan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam surah al-
Kahfi ayat 65, serta menerangkan makna-makna yang tercakup
didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir
yang menafsirkan ayat tersebut. Dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Menguraikan kosa kata yang terdapat pada ayat tersebut,
dalam penelitian ini berarti peneliti memulai dengan
mengartikan kosa kata-kosa kata yang akan diteliti oleh
penulis, yaitu dalam surat Al-Kahfi ayat 65
b. Kemudian menjelaskan munasabah atau hubungan ayat
yang terkait dengan ayat yang akan diteliti. Dengan
demikian, penulis berarti menguraikan munasabah yang
terkait dengan surat Al-Kahfi ayat 65
c. Menjelaskan asbab al-nuzul ayat apabila terdapat riwayat
mengenainya. Dalam penelitian ini, penulis menguraikan
asbab al-nuzul yang terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 65
8
Rosihon Anwar, dkk., Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), Cet. III,
h. 201
9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 67
43
10
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 68.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Tafsir Ayat
ِوإذِقالِموسىِلفتاهِلِأب رحِحَّتِأبِلغَِممعِالبحرينِأوِأمضيِحقبا
ِ)ِف لماِجاوزاِقالِلفتاهِآتناِغِداءنِلقدِلقيناِمنِسفِرنِهذاِنصبا٦1(
ِ)ِقالِأرأيتِإذِأوي ناِإَلِالصخرةِفإّنِنسيتِالوتِوماِأنسانيهِإل٦2(
)٦4(ِِفارتداِعلىِآثِرِهاِقصصا
Quraish Shihab menjelaskan awal kisah tersebut dengan mengutip
dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Ibn
Abbas bahwa Ubay bin Ka’ab berkata bahwa dia mendengar Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya Musa tampil berkhutbah di depan Bani
Israil, lalu dia ditanya, ‘siapakah orang yang paling dalam ilmunya?’,
Musa menjawab, ‘saya’. Maka Allah mengecamnya karena dia tidak
mengembalikan pengetahuan tentang hal tersebut kepada Allah. Lalu
Allah mewahyukan kepadanya bahwa, ‘Aku mempunyai seorang
hamba yang berada di pertemuan dua lautan. Dia lebih mengetahui
1
Mayoritas ulama memfathahkan huruf kha sehingga dibaca Khadir. Lihat al-Alusi, Ruh
al-Ma’any, Juz 8, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2013), h. 301.
44
45
2
Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Volume 8,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 89.
3
Yusya adalah satu di antara dua belas orang yang diutus untuk memata-matai penduduk
Kan’an di daerah Halab (sekarang Aleppo di Suriah) serta Hebron di Palestina. Menurut Ibn
Asyur, dia lahir sekitar 1463 SM dan wafat sekitar 1353 SM dalam usia 110 tahun. Ibid., h. 90-91.
4
Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo: Doktor
Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287.
46
suatu pantai. Pada pantai itu ada َ ِالصخرةbatu yang di sisinya terdapat
airnya. Ikan itu hidup kembali lalu َِِسرب فاَّتذ ِسبيله ِِف ِالبحر
menceburkan dirinya ke laut dengan cara seperti orang yang hilang
masuk ke terowongan atau lubang di dalam tanah. Dalam arti, lenyap
Nabi Musa berkata kepada Yusya’ ِآتنِاِغداءن ِلقِد ِلقيناِمن ِسفرن ِهذا
5
Ibid.
47
6
Para ulama berbeda pendapat mengenai status Khidir seorang nabi atau wali dan masih
hidup atau sudah wafat. Ibnu Ajibah memilih pendapat bahwa Khidir adalah nabi dan diberikan oleh
Allah nikmat umur yang panjang. Hal ini karena Khidir dikisahkan bertemu dengan banyak wali
dan shalihin, sehingga kesaksian bahwa Khidir masih hidup mencapai derajat mutawatir. Lihat Ibnu
Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo: Doktor Hasan Abbas
Zaki, 1998), h. 288.
7
Al-Alusi, Op. Cit., h. 302.
8
Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo:
Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 288.
48
ِ عندنdan ilmu ِمنِلدن, yang keduanya bermakna dari sisi Kami. Al-
Biqa’i menulis pendapat Abu al-Hasan al-Harrali, kata ‘inda dalam
bahasa Arab adalah menyangkut sesuatu yang jelas dan tampak,
sedangkan kata ladun untuk sesuatu yang tidak tampak. Thabathaba’i
berpendapat kata rahmat yang disandingkan dengan ‘indina bermakna
rahmat kenabian. Sehingga memperkuat argumentasi Ibnu Ajibah
bahwa Khidir seorang nabi. Kata ladun yang disandingkan dengan kata
ilm mengisyaratkan mengenai ilmu hakikat yang dilimpahkan oleh
Allah kepada Khidir.9
Sejalan dengan itu, al-Nasafi menjelaskan kalimat ِآت ي ناه ِرحة ِمن
9
Quraish Shihab, Op. Cit., h. 95-96.
49
akal melalui pemahaman nash dan ilmu yang tidak mampu diserap akal
serta tidak terlingkup dalam nash akan tetapi mampu diterima karena
bersumber dari-Nya dan perkara itu tidak mampu ia laksanakan.
Kemudian ilmu yang berkaitan dengan hal gaib seperti peristiwa takdir
dan kejadian-kejadian di masa yang akan datang, ilmu yang terkait
dengan perkara-perkara syariat dan rahasia-rahasia hukum, ilmu tentang
rahasia kekhususan huruf-huruf dan simbol, dan ilmu lainnya yang
dilimpahkan dari luasnya samudera ilmu Allah.10
10
Nukilan asli: ََهوَالذيَيفيضَعلىَالقلبَمنَغيرَاكتسابَوال:َالعلمَاللدني،ًعلَّ ْمناهَُمِ ْنَلَدُنَّاَع ِْلما َ َو:وقولهَتعالى
َ
َ،َوذلكَبعدَتطهيرَالقلبَمنَالنقائصَوالرذائل.َ»َُعلم َ َماَلَ ْم َ َي ْعلَ ْم
َ هللا َُ هَ ثر وَ أَ ِم
ل
َ ْ َ َ َِ ع َ ام بَ ل
َ ع
َِم ََ«من:َلم صَلةَوالس َقالَعليهَال،تعلم
َ،َواألسرارَالربانية،َفاضتَعليهَالعلومَاللدنية،َوانجذبَإلىَحضرةَالرب،َفإذاَكملَتطهيرَالقلب،وتفرغهَمنَالعَلئقَوالشواغل
ََمنَغيرَأن،َبلَتُسلمَألربابها،َومنهاَماَالَتفهمهاَالعقولَوالَتحيطَبهاَالنقول،منهاَماَتفهمهاَالعقولَوتدخلَتحتَدائرةَالنقول
ََومنهاَماَتفيضَعليهم،َومنهاَماَتفيضَعليهمَفيَجانبَعلمَالغيوبَكمواقعَالقدرَوحدوثَالكائناتَالمستقبلة،يقتدىَبهمَفيَأمرها
َوباهللَالتوفيق.َإلىَغيرَذلكَمنَعلومَهللاَتعالى،َومنهاَفيَأسرارَالحروفَوخواصَاألشياء،َ فيَعلومَالشرائعَوأسرارَاألحكام.
Lihat Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo: Doktor
Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287.
11
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,
1999), Cet. 3, h. 482.
50
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-
51
menguatkan daya aqliyah. Saat daya aqliyah menguat, maka nur ilahiy
akan nampak pada inti akal yang murni. Maka saat itulah akal dilimpahi
ma’rifat dan kesempurnaan ilmu pengetahuan. Pada proses ini subjek
berperan aktif untuk menyiapkan wadah yang diperlukan untuk
menampung limpahan nur ilahiy. Hasil akhir dari cara kedua ini adalah
ِوعلمناهِمنِلدنِعلماmenurut al-Razi. 15
Musa tidak akan pernah berhenti dalam perjalanan mencari ilmu itu.
adalah Allah. Hal ini juga sejalan dengan makna surat al-Fatihah ayat 2
yaitu َ المد َِّلل ِرب ِالعالمنيsegala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.
kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi
Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 35-36.
15
Ibid., h. 482-483.
52
Kata rabb pada ayat ini salah satu maknanya adalah pendidik. Jika
penulis memperluas makna ayat tersebut memiliki arti segala puji bagi
Allah Tuhan yang mendidik seluruh alam, termasuk manusia. Sehingga
hakikatnya, manusia adalah objek didikan Allah. Adanya subjek kami
manusia dapatkan dengan belajar. Akan tetapi ada ilmu yang didapatkan
dengan cara objek ilmu tersebut yang mendatangi manusia. Contohnya
adalah komet. Manusia tidak kuasa mendatangkan komet. Akan tetapi
kometlah yang mendatangi manusia. Sedangkan manusia di bumi hanya
mempersiapkan alat untuk mengamati dan mengabadikan momen yang
mungkin terjadi dalam hitungan tahun hingga puluhan tahun. Dari
proses mengamati itu kemudian muncul penelitian yang mengolah
informasi tentang komet itu menjadi pengetahuan. Artinya, dalam
realita memungkinkan ilmu mendatangi manusia, yaitu ilmu ladunni.
قالِلهِموسىِهلِأتبعكِعلىِأنِت علمنِِماِعلمتِرشدا
Artinya: Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar
engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan
kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”
Ayat ini mengandung pelajaran betapa halusnya akhlak Nabi Musa
kepada Khidir. Dalam ayat ini Nabi Musa digambarkan sebagai murid
16
Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2009), cet. 3, h. 242.
54
kalimat ك
ِ هلِأتبع.
2. Nabi Musa yang memiliki kekuasaan sebagai nabi tetap meminta izin
kepada Khidir untuk belajar kepadanya. Hal tersebut ditunjukkan
hatinya dengan meyakini semua ilmu datang dari Allah. Dan Allah
telah memuliakan gurunya, yakni Khidir, dengan ilmu tersebut.
17
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,
1999), Cet. 3, h. 483-484.
55
Sangat penting bagi murid untuk menata hati demikian. Sebab jika ia
tidak meyakini bahwa ilmu datangnya dari Allah, ilmu tersebut tidak
akan mendatangkan manfaat bahkan cenderung membuat ia lalai dari
Allah. Kelalaian ini bisa berbentuk kesombongan, kedengkian
terhadap orang ‘alim, penyalahgunaan ilmu untuk kebatilan, bahkan
menutup mata hatinya dari cahaya iman, sebagaimana yang terjadi
pada kalangan atheis yang menuhankan sains dan meniadakan causa
prima dari seluruh kejadian di alam, yakni Allah. Di sini letak fungsi
agama sebagai pagar yang membatasi kegunaan ilmu hanya untuk
perkara yang mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat. Fungsi
ini akan muncul seiring kesadaran manusia bahwa satu-satunya
sumber ilmu adalah Allah.
9. Kata ِك
ِ أتبعbermakna murid mengikuti guru dalam segala kondisi.
Seorang pengikut sejati tidak sekedar mendengar, tapi mengikuti cara
berpikir, berucap, dan berperilaku serta taat pada perintah orang yang
diikutinya.
10. Semakin dalam ilmu yang dimiliki seseorang, maka akan semakin
besar perasaan suka cita dan bahagia pada dirinya. Penuntut ilmu
sejati akan berusaha keras untuk mendapatkan hal tersebut, dan juga
akan sangat menghormati pemilik ilmu (guru) dengan adab yang
sempurna. Hal ini ditunjukkan oleh Nabi Musa. Ia adalah nabinya
Bani Israil yang dianugerahi kitab Taurat. Nabi yang dipilih Allah
untuk bercakap-cakap dengan-Nya langsung tanpa perantara. Nabi
yang diberikan mukjizat yang melemahkan lawan-lawannya dan
menakjubkan bagi yang melihatnya. Derajat yang tinggi itu tidaklah
menghalangi Nabi Musa untuk datang kepada Khidir dengan penuh
ketawaduan. Seperti sebuah pepatah, padi semakin berisi akan
semakin merunduk, seperti itu pula akhlak Nabi Musa kepada Khidir.
kata َك
ِ أتبعyang didahulukan dari kata ِأنِت علمن.
Selain kedua belas pelajaran tersebut, ada pelajaran lain yang mampu
penulis tafsirkan dari keadaan Nabi Musa sebagai murid.
)منِعملِمباِعلمِأورثهِللاِالعلمِماَِلِيعلمِ(رواهِأبوِنعيم
untuk mencari orang yang lebih tinggi ilmunya daripadanya, yaitu Khidir.
Penulis memaknai perintah Allah ini sebagai proses mujahadah riyadhah
Nabi Musa berupa tazkiyah (pensucian diri dari sifat buruk) dan tashfiyah
(penghiasan diri dengan sifat baik). Perjalanan tersebut ia lalui dengan
sungguh-sungguh, bahkan ia mengatakan jika perlu selamanya akan
berjalan dalam pencariannya itu demi memenuhi perintah Allah tersebut.
Artinya, dalam proses mendapatkan ilmu ladunni seorang murid harus
rela bersusah payah melakukan mujahadah riyadhah dengan tazkiyah dan
tashfiyah. Dan proses itu tidaklah keluar dari perintah Allah. Tidak
mungkin mujahadah riyadhah dilalui dengan menyelesihi perintah Allah.
Mujahadah riyadhah dilakukan dalam rangka menjalankan perintah Allah
dan menjauhi larangannya dengan sebaik-baiknya. Proses mujahadah
riyadhah tersebut sejalan dengan surat al-Ankabut ayat 69 yaitu
18
Abuddin Nata, Pengembangan Profesi Keguruan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Tp.,
2018), h. 27.
60
19
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Juz 3, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Tt.), h. 3.
61
20
Akhmad Sodiq, Prophetic Character Building Tema Pokok Pendidikan Akhlak menurut
Al-Ghazali, (Jakarta: Kencana, 2018), h. 13-14.
21
Al-Razi, Op. Cit., h. 392.
62
22
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 16.
23
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 18.
24
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 20-21.
63
25
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 21-22.
26
Akhmad Sodiq, Op. Cit. h. 23.
64
disiksa, yang dicela, dan yang dituntut.27 Antara hati dan ilmu
sebagaimana cermin dan objek. Cermin akan memantulkan objek yang
ada di depannya, dan tidak bisa direkayasa. Hati yang bersih merupakan
cermin yang menghadap kepada Allah dan menerima limpahan ilmu-
Nya.
Mengenai keempat daya rohani ini, al-Ghazali memberikan
metafora sebagai berikut
Jiwa itu laksana sebuah negeri. Ladangnya adalah dua tanganm dua
kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya. Tuan tanahnya adalah nafsu
seksual (syahwat) dan nafsu agresi (ghadab) adalah penjaganya. Al-qalb
adalah rajanya dan al-aql adalah perdana menterinya. Wajib bagi sang
raja tersebut untuk bermusyawarah dengan perdana menteri guna
menjadikan tuan tanah itu tunduk di bawah kendali perintah perdana
menteri demi kelanggengan kerajaan dan kemakmuran negeri.
Demikianlah kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah dengan al-aql
guna menjadikan nafsu syahwat dan ghadab di bawah kendali
perintahnya. Dengan demikian, situasi jiwa benar-benar tentram
sehingga mampu mencapai sebab kebahagiaan makrifat terhadap realitas
transedental (al-hadrah al-ilahiyah). Akan tetapi, jika akal berada di
bawah al-ghadab dan syahwat maka hancurlah jiwa itu dan jadilah al-
qalb sebagai yang celaka di akhirat.28
Oleh karena iu, mujahadah riyadhah mutlak diperlukan untuk
mengendalikan hawa nafsu, menempatkan al-qalb sebagai pemerintahan
jiwa, dan menjadikan al-qalb dan al-‘aql dipenuhi oleh nur ilahiy dan
limpahan ilmu ladunni. Prinsip-prinsip mujahadah riyadhah,
sebagaimana dijelaskan oleh Akhmad Sodiq, di antaranya adalah:
a. Melawan tuntutan nafsu. Yaitu melawan setiap yang mengenakkan
dan menyenangkan yang melawan syara’. Menurut Yahya bin
Muadz al-Razi, sebagaimana dikutip al-Ghazali, dasar mujahadah
riyadhah ada empat yaitu sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur,
dan menahan rasa sakit dari keburukan manusia. Dengan sedikit
makan maka akan melemahkan syahwat, dengan sedikit tidur maka
bersihlah semua kehendak. Dengan sedikir bicara maka selamatlah
27
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 42
28
Al-Ghazali, Kimiya al-Saadah, (Beirut: t.p., t.th.), h. 116 dalam Akhmad Sodiq, Op.
Cit., h. 59-60.
65
diri kita dari segala macam bahaya. Adapun sabar dari menahan rasa
sakit, maka akan menyampaikan kita pada segala tujuan. Praktek
dari sedikit makan adalah memperbanyak puasa. Sedikit bicara
adalah memperbanyak zikir, membaca al-Quran, dan hanya
berbicara hal yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Sedikit tidur
adalah banyak bangun malam (qiyam al-lail) untuk bermunajat dan
tahajud.
b. Riyadhah yang relevan. Terdapat beberapa bentuk riyadhah yang
disesuaikan dengan penyakit yang ada dalam hati murid, di
antaranya29
1) Keburukan akhlak karena awam agama, dapat disembuhkan
dengan belajar ilmu syariat.
2) Ahli maksiat, dapat disembuhkan dengan meninggalkan
maksiat tersebut.
3) Sombong, dapat disembuhkan dengan berperilaku seperti
orang hina/gembel.
4) Suka berhias, sebaiknya diberi tugas untuk membersihkan
kamar mandi, selokan, dapur, dan tempat kotor lainnya untuk
menghancurkan sifat itu.
5) Rakus dan tamak, dapat disembuhkan dengan banyak puasa
dan mengurangi makan.
6) Nafsu seksual yang bergejolak, dapat disembuhkan dengan
banyak berpuasa.
7) Pemarah, dapat disembuhkan dengan dibiasakan diam saat
dicaci maki dan direndahkan orang agar terbiasa menahan
beban kemarahan itu.
8) Penakut dn lemah hati, dapat disembuhkan dengan mencari
tantangan di alam guna melatih keberaniannya. Dalam
konteks sekarang bisa melakukan aktifitas outbond.
29
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 122-124.
66
B. Penerapan di Sekolah
1. Pendidikan Akhlak pada Siswa
30
Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Hadits al-Arbain al-Nawawiyah, (Surabaya: Maktabah
Ahmad Nabhan, T.Th.), h. 6.
67
• Membiasakan
membaca doa
sebelum makan,
sesudah makan,
sebelum tidur, doa
belajar, dan doa
Ibadah
harian lainnya
• Mulai diajarkan tata
cara shalat dan ibadah
1-3 harian
SD
• Membiasakan diri
rapih dalam
berpakaian, disiplin
dengan datang ke
Akhlak sekolah tepat waktu,
duduk di tempatnya
dengan rapih, dan
piket kelas
69
• Bermain dan
bersosialisasi dengan
teman yang seumuran,
tidak mengucapkan
kata-kata kasar
kepada teman dan
guru
• Membiasakan makan
dengan tangan kanan
• Membiasakan salam
dengan mencium
tangan guru
• Mulai dibiasakan
shalat
• Membiasakan
menjadwal waktu
makan (sarapan,
siang, dan malam),
tidak terlalu rakus saat
Mujahadah
makan
Riyadhah
• Menghindari diri dari
berteman dengan
teman yang berakhlak
buruk seperti
sombong, jahil, dan
sebagainya
• Diajarkan kalimat-
kalimat thayyibah
• Membiasakan untuk
membantu guru di
kelas dan luar kelas
• Membiasakan salam
Akhlak
dengan mencium
tangan guru
• Membiasakan disiplin
• Membiasakan
menutup aurat
• Membiasakan untuk
mengucapkan kalimat
thayyibah, karena di
thayyibah akan
menjadi “pengganti”
dari kata-kata kasar
itu.
• Mulai dibiasakan
puasa sunnah dan
belajar puasa wajib
(bisa dimulai dari
puasa setengah hari
sampai satu hari
penuh tergantung
kesanggupan anak)
• Membiasakan
membaca al-Quran
sebelum belajar
• Membiasakan hidup
sederhana dalam hal
pakaian, makanan,
dan sebagainya
• Diwajibkan shalat
wajib di sekolah
(zuhur) dan shalat
jumat
• Membiasakan
1-3 Ibadah sedekah setiap hari
SMP
jumat
• Membiasakan shalat
tepat waktu di masjid
• Mempelajari ilmu
akidah dan fikih
72
• Membiasakan taat
beribadah
• Membiasakan untuk
membantu guru di
sekolah
• Tidak berkata kasar
dan berbicara dengan
nada keras di depan
guru
• Lebih banyak bergaul
dengan yang sejenis
(laki-laki dengan
sesama, perempuan
dengan sesama) untuk
belajar menghindari
pergaulan bebas
Akhlak
• Membiasakan
membantu
membersihkan masjid
setelah shalat
berjamaah
(menggulung karpet,
menyapu, dll.)
• Membiasakan salam
dengan mencium
tangan guru
• Membiasakan
membantu guru tanpa
perlu disuruh/diminta
73
• Menunduk ta’zhim
ketika guru lewat di
hadapannya
• Membiasakan untuk
puasa sunnah senin
dan kamis, puasa
sunnah daud, dan
puasa sunnah lainnya
• Membiasakan untuk
bangun lebih pagi dan
qiyam al-lail di rumah
Mujahadah • Mewajibkan
Riyadhah membaca al-Quran
sebelum belajar
• Membiasakan zikir
setelah shalat
• Menghindari diri dari
lagu-lagu percintaan
dan yang mengandung
lirik/video erotis
• Diwajibkan shalat
wajib di sekolah
(zuhur) dan shalat
jumat
• Mempelajari ilmu
akidah, fikih, dan
akhlak (tasawuf
akhlaqi)
• Diajarkan mencintai
nabi dan orang-orang
shalih
• Membiasakan salam
dengan mencium
tangan guru
• Menunduk ta’zhim
ketika guru lewat di
hadapannya
• Berbicara yang sopan
terhadap guru, tidak
Akhlak
mengeraskan suara
dan tidak menatap
mata guru saat
berbicara
• Membiasakan
membantu guru tanpa
perlu disuruh/diminta
• Membiasakan puasa
sunnah senin dan
kamis, puasa sunnah
Mujahadah daud, dan puasa
Riyadhah sunnah lainnya
• Membiasakan zikir
setelah shalat
75
• Memperbanyak
membaca shalawat
kepada Nabi
Muhammad
31
KBBI Daring https://kbbi.web.id/spiritual.html diakses pada 20 Maret 2019
32
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta, Rajawali Press, 1989), h. 480 dalam
Zulfatmi, Kompetensi Spiritual Pendidik (Suatu Kajian pada Unsur Kalbu), Jurnal Mudarrisuna,
Vol. 7 No. 2 Juli-Desember 2017, h. 172.
76
33
Pengertian takwa dapat dilihat pada Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Arbain al-
Nawawiyah, (Surabaya: Maktabah Ahmad Nabhan, T.Th), h. 57.
77
akidahnya batal. Apabila guru memiliki akidah seperti ini, tentu saja
nur ilahiy tidak akan masuk ke dalam hatinya sehingga ia tidak bisa
meneruskan pancarannya kepada murid-muridnya.
Kemudian seorang guru harus menguasai ilmu fikih. Ilmu fikih
adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah amaliyah yang digali dari
dalil-dalil yang terperinci34. Ilmu fikih terbagi atas 4 bagian, yaitu
ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayah. Fikih ibadah mengatur
hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat, puasa,
zakat, dan haji. Fikih muamalah berkaitan dengan hubungan ekonomi
antar manusia seperti hutang-piutang, jual-beli, dan sebagainya. Fikih
munakahat berkaitan dengan hubungan individu dan keluarga seperti
pernikahan, perceraian, dan warisan. Fikih jinayah berkaitan dengan
ketatanegaraan seperti hudud, jarimah, dan qishash. Dalam penguasaan
ilmu fikih, seorang guru setidaknya menguasai bab fikih ibadah,
muamalah, dan munakahat sebagai fikih yang bersentuhan langsung
dengan kehidupan sehari-hari. Adapun fikih jinayat tidak bersentuhan
langsung karena di Indonesia fikih jinayat tidak menjadi hukum positif.
Penguasaan ilmu-ilmu syariat tersebut menjadi syarat dari
dilimpahkannya ilmu ladunni oleh Allah kepada guru, sebagaimana
hadits yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Adapun
pengetahuan akhlak tidak penulis masukkan ke dalam kompetensi
spiritual karena telah masuk ke dalam kompetensi kepribadian.
Adapun bentuk mujahadah riyadhah yang bisa dilakukan oleh guru
di antaranya:
a. Membiasakan shalat wajib tepat waktu
b. Menjalankan kewajiban syariat
c. Menjauhkan diri dari larangan Allah
d. Menjalankan puasa sunnah (senin dan kamis atau daud)
e. Menjalankan shalat sunnah dhuha, rawatib, dan sebagainya
34
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Indonesia: Al-Haramain, 2004), h. 11.
78
A. Kesimpulan
B. Implikasi
79
80
C. Saran
NIM : 1113011000052
Paraf
No Referensi
Pembimbing
Bab I
M.Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),
1
h.1.
Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2
2000), Cet. VII, h. 55.
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi
3
Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 3.
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir al-Bashri al-Dimasyqi, Lubaabut
4 Tafsiir Min Ibni Katsiir, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2005) Jilid I, h. 347
Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya
5 dalam Pembelajaran”. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010,
h. 122
Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol.
6
6, No. 2, Desember 2011, h. 259
Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol.
7 6, No. 2, Desember 2011, h. 259 lihat Majma‘ al-Lughah al-Arabiyah,
Mu‘jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-Da‘wah, 1990, hal. 624.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja
8
Grafindo Persada, 1999), h. 5
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos
9
Pustaka, 2017), h. 10.
Izzatur Rusuli dan Zakiul Fuady M. Daud Ilmu Pengetahuan Dari John
10 Locke Ke Al-Attas. Jurnal Pencerahan, Vol. 9 No. 1, Maret 2015, h. 14
15 Ibid., h. 482-483.
Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:
16
Departemen Agama RI, 2009), cet. 3, h. 242.
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-
17
Turats al-Arabiy, 1999), Cet. 3, h. 483-484.
Abuddin Nata, Pengembangan Profesi Keguruan dalam Perspektif
18
Islam, (Jakarta: Tp., 2018), h. 27.
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Juz 3, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-
19
Arabiyah, Tt.), h. 3.
Akhmad Sodiq, Prophetic Character Building Tema Pokok Pendidikan
20
Akhlak menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Kencana, 2018), h. 13-14.
21 Al-Razi, Op. Cit., h. 392.
22 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 16.
23 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 18.
24 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 20-21.
25 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 21-22.
26 Akhmad Sodiq , Op. Cit. h. 23.
27 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 42
Al-Ghazali, Kimiya al-Saadah, (Beirut: t.p., t.th.), h. 116 dalam Akhmad
28
Sodiq, Op. Cit., h. 59-60.
29 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 122-124.
Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Hadits al-Arbain al-Nawawiyah,
30
(Surabaya: Maktabah Ahmad Nabhan, T.Th.), h. 6.
KBBI Daring https://kbbi.web.id/spiritual.html diakses pada 20 Maret
31
2019
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta, Rajawali Press, 1989),
h. 480 dalam Zulfatmi, Kompetensi Spiritual Pendidik (Suatu Kajian
32
pada Unsur Kalbu), Jurnal Mudarrisuna, Vol. 7 No. 2 Juli-Desember
2017, h. 172.
Pengertian takwa dapat dilihat pada Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-
33 Arbain al-Nawawiyah, (Surabaya: Maktabah Ahmad Nabhan, T.Th), h.
57.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Indonesia: Al-Haramain,
34
2004), h. 11.
Yang Mengesahkan
Pembimbing