Anda di halaman 1dari 107

KONSEP ILMU LADUNNI DALAM PERSPEKTIF

AL-QUR’AN (KAJIAN TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 65)


Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan


untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan. (S.Pd)

Oleh:
Ridwan Darmawan
NIM. 1113011000052

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
KONSEP ILMU LADUNNI DALAM PERSPEKTIF AL-
QUR’AN
(KAJIAN TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 65)
Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan


untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan. (S.Pd)

Oleh:
Ridwan Darmawan
NIM. 1113011000052

Dibawah Bimbingan
Dosem Pembimbing Skripsi

Drs. Abdul Haris, M.Ag.


NIP. 19660901 199503 1 001

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi Berjuduul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran (Kajian


Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65)” disusun oleh Ridwan Darmawan, NIM.
1113011000052, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui
bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah dan berhak untuk diujikan pada
siding munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas.

Jakarta, 25 Juni 2019

Yang Mengesahkan

Pembimbing

Drs. Abdul Haris, M.Ag.


NIP. 196609011995031005
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi dengan judul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran


(Kajian Tafsir Al-Quran Surat Al-Kahfi Ayat 65)” oleh Ridwan Darmawan
dengan NIM 1113011000052 telah diujikan pada sidang Munaqasyah Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 25 Juli 2019 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana S1 Pendidikan (S.Pd.)
dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 25 Juli 2019


Panitia Ujian Munaqasah
Tanggal Tanda Tangan
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi)
Drs. Abdul Haris, M.Ag.
NIP. 19660901 199503 1 001 ………….. ……………..
Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Program Studi)
Drs. Rusdi Jamil, M.Ag.
NIP. 19621231 199503 1 005 ………….. ……………..
Penguji 1
Drs. H Achmad Gholib, M.Ag.
NIP. 19541015 197902 1 001 ………….. ……………..
Penguji 2
Yudhi Munadi, M.Ag.
NIP. 19701203 199803 1 003 ………….. ……………..

Mengetahui:
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Dr. Sururin, M.Ag.


NIP. 19710319 199803 2 001
LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK

Ridwan Darmawan (1113011000052) Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif


Al-Quran (Kajian Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65) Skripsi untuk Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tar2biyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep ilmu


ladunni menurut pandangan Al-Quran pada kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65 serta
mengetahui bagaimana seseorang dapat mengusahakan untuk mendapatkan ilmu
tersebut.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
melalui kajian studi kepustakaan (library research). Dengan cara mengumpulkan
data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan
permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian
dianalisis dengan metode tahlili, yaitu metode penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang
dilakukan dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan dan mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung di
dalamnya. Untuk mendukung penelitian ini, penulis menggunakan sumber utama
kitab tafsir, di antaranya Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Mafatih al-
Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan Al-Bahr Al-Madid karya Ibnu ‘Ajibah al-
Hasani.
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memperoleh kesimpulan bahwa
ilmu ladunni adalah ilmu yang dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal
tersebut didapatkan setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan
kotoran serta meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika proses
penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh Allah ke hadirat-
Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-rahasia rabbaniyah.
Usaha yang dapat dilakukan untuk memperoleh ilmu tersebut yaitu: Meluruskan
niat untuk mencari ilmu; Meneguhkan tujuan untuk mencari ilmu; Memiliki
prasyarat berupa penguasaan ilmu syariat; Menaati perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya; Melakukan mujahadah riyadhah; Memiliki adab yang baik kepada
guru (tawadhu, memuliakan guru, dan lemah lembut); Berkhidmah kepada guru.

Kata kunci: Nilai; Ilmu; Ladunni; Surah al-Kahfi; ayat 65

i
ABSTRACT

Ridwan Darmawan (1113011000052) the concept of Ladunni knowledge


according to the viewpoint of the Quran (on the commentary study of Surah
Al-Kahf verse 65) Undergraduate Thesis for the Department of Islamic
Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Islamic State
University Syarif Hidayatullah Jakarta
The purposes of this research are to discover the concept of Ladunni
knowledge according to the viewpoint of the Quran on the commentary study of
Surah Al-Kahf verse 65 and to find out on how a certain person attempted to obtain
the knowledge.
In this research the writer used a qualitative approach through library
research. By collecting datas or materials related to the discussion of the problem,
which taken from library sources, subsequently analyzed in the method of tahlili,
i.e. the method of translating verses from the Quran which is done by explaining all
aspects that contained in verses that are interpreted and described the elucidations
of its meaning. To support this research, the writer uses some sources of
commentary books, amongst them are Almishbah by M Quraish Shihab, Mafatih
al-Ghaib by Fakruddin al-Razi, and Al-Bahr Al-Madid by Ibn ‘Ajibah al-Hasani.
As an outcomes of this research, the writer obtained that Ladunni
knowledge is a knowledge that is bestowed on the heart without the learning
process. This is obtained after going through the stages of spiritual sanctification
from neglect and filth and negating the need and concern besides Allah. When the
process of sanctification of mind has been perfect, a servant will be brought by God
to His presence and bestowed upon him the knowledge of Ladunni and the secrets
of rabbaniyah. Some efforts to obtain this knowledge, i.e. : Reinforce the intention
of seeking knowledge; Affirming the purpose of seeking knowledge; Having a
prerequisite in the form of mastering the knowledge of Shari'a; Obeying God's
commands and staying away from His prohibitions; Doing the riyadhah mujahadah;
Having a good attitude to the teacher (tawadhu, honoring the teacher, and being
gentle); dedicating to the teacher.

ii
KATA PENGANTAR

ِ ِ‫للاِ ِالرحِنِِ ِالرحِِيم‬


ِ ِِ‫سم‬
ِ ِ‫ب‬
ِ ‫حةِِللاِِ ِوبرِكِاتِِه‬
ِ ‫السلِمِِعِِليِكِمِِِوِر‬
ِ
ِِ‫ِومِن‬
ِ ‫ستِهِدِيِهِ ِِونِعِ ِوذِ ِبِهللِ ِمِنِ ِشِِرِورِ ِأِنِفِسِنِا‬
ِ ِ‫ستِغِفِِرهِ ِ ِون‬
ِ ِ‫ستِعِيِنِهِ ِ ِون‬
ِ ِ‫إِنِ ِالِمِدِ ِهللِِنِمِدِهِ ِ ِون‬
ِِ‫ِأِشِهِدِِِأنِِلِِإِلهِِإِل‬.ِ‫ِمِنِِيِهِدِهِِللاِِفِلِِمِضِلِِلِهِِ ِومِنِِيِضِلِلِِفِلِِهِادِيِِلِه‬,‫اتِأِعِمِالِنِا‬ ِ ِ‫سِيِئ‬
ِ‫ِاللهِمِِصلِِوسِِلمِِِوبِِركِِعِِلىِسِيِدِ ِن‬.
ِ ِ‫كِلِهِِِوأِ ِشهِدِِأِنِِمِمِدِاِعِبِ ِدهِِِوِرسِ ِوِله‬
ِ ِ‫للاِوحِدِهِِلِِشِِري‬
ِ
ِ ِ‫مِمِدِِ ِوعِِلىِآلِهِِِوأِصِحِابِهِِِومِنِِاهِتِدِىِِبداهِإَلِي ومِالقيامة‬

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta menganugerahkan nikmat sehat
kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan
semoga memberi manfaat bagi yang membacanya.
Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw. sebagai suri tauladan terbaik, berserta keluarga, para sahabat dan
para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulisan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak
sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat do’a, perjuangan,
kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai
pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh karena ini, dengan
segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
dan selaku dosen pembimbing yang dengan penuh perhatian telah
memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi serta ilmu pengetahuan
kepada penulis. Kebaikan Bapak dalam segala hal akan selalu terkenang

iii
bagi diri penulis. Semoga keberkahan hidup senantiasa mengiringi, dan
senantiasa berada dalam lindungan Allah.
4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya.
5. Dr. Dimyati, MA., selaku Dosen Penasehat Akademik yang dengan
penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi
serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
6. Kedua orang tua penulis, yaitu ayahanda Susanto dan ibunda Sri
Nurhayati yang telah merawat dengan penuh kasih sayang, yang
berjuang untuk memberikan pendidikan tinggi kepada putranya,
mendidik dengan sabar, tulus dan ikhlas, serta memotivasi dan
mendo’akan penulis dalam setiap langkahnya.
7. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat dan takzim penulis,
yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan membimbing penulis
selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Semoga Ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan
mendapatkan keberkahan dari Allah Swt.
8. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Bu Isti selaku Staff
Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah yag telah
memberikan kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.
9. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, yang telah membantu
penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang
penulis butuhkan.
10. Kedua adik tercinta, Dinda Aulia Putri dan Raihan Gilang Pamungkas,
yang telah mendukung penulis, tempat bertukar pikiran, memberikan
canda dan tawa yang menjadi motivasi dan inspirasi bagi penulis dalam
menyelesaikan penulisan ini.
11. Penyemangat terdekat Afif Faizin dan Safitri Era Globalisasi yang selalu
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus
berjuang menempuh pendidikan hingga terselesaikan penulisan ini.
12. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam Angkatan
2013, terutama kelas B “CABHE” semoga keberkahan dan kesuksesan
selalu menyertai kalian semuanya. Terima kasih telah menjadi teman,
sahabat, saudara, sekaligus keluarga yang selalu ada untuk menjadi
tempat bertukar pikiran dan bantuan dalam penulisan ini. Semoga Allah
Swt. membalas kebaikan kalian semuanya.
13. Adik Kelas, Argarry Akbar yang selalu memberikan dukungan,
semangat dan bantuan kepada penulis dalam penulisan ini. Semoga
Allah Swt. membalas semua kabaikan kalian.

iv
14. Sahabat yang selalu setia dan sedia memberikan nasihat, perhatian,
semangat, canda dan tawa, yaitu Amala Firman Akhi yang sama-sama
menempuh Pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Muhammad Hilal Baqi mahasiswa FAI di
Universitas Muhammadiyah Jakarta, semoga persahabatan kita abadi
sampai ke surga-Nya.
15. Tak lupa segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
namun turut membantu penulis dalam penulisan skripsi ini ataupun
memberikan pelajaran hidup bagi penulis. Penulis tidak dapat
membalasnya dengan apapun, semoga Allah Swt. yang akan membalas
dengan balasan yang sebaik-baiknya di dunia dan akhirat.
Demikian skripsi ini dibuat, seperti pepatah tiada gading yang tak retak, begitu pun
dengan pembuatan skripsi ini, penulis menyadari dan mengakui bahwa masih
terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, baik dari segi kepenulisan,
susunan kalimat ataupun yang lainnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat penulis harapkan dalam kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama, lebih khusus bagi
penulis sendiri, dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 25 Juni 2019


Penulis,

Ridwan Darmawan

v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi merupakan aspek berbahasa yang ditulis dengan huruf


berbahasa Arab yang digunakan dalam penulisan dan penyusunan skripsi.
Transliterasi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
Tidak ‫ص‬ ş
‫ا‬
dilambangkan ‫ض‬ đ
‫ث‬ ś ‫ط‬ ţ
‫ح‬ ḫ ‫ظ‬ ť
‫خ‬ kh ‫ع‬ ‘
‫ذ‬ ż ‫غ‬ ģ
‫ش‬ sy ‫ة‬ h

2. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Rangkap
Tanda Huruf Latin Tanda Huruf Latin
a ai
i au
u (tempatnya di bawah tabel vokal
Contoh: rangkap)
َ ‫ = َكت‬kataba
َ‫َب‬ َ ‫ = َكي‬kaifa
َ‫ْف‬
َ‫ف‬
َ ‫‘ = ع ُِر‬urifa َ‫ = َح ْو َل‬haula

vi
3. Madd (Panjang)
Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda
‫ـَا‬ ā
‫ـِي‬ î
‫ـُو‬ ū
Contoh:
ََ‫ = كَان‬kāna َ‫ = قِ ْي َل‬qîla
‫عا‬
َ َ‫ = د‬da’ā َ‫ = َيقُ ْو ُل‬yaqūlu

4. Tā’ Marbūţah
Tā’ Marbūtah hidup transliterasinya adalah /t/.
Tā’ Marbūtah mati transliterasinya adalah /h/.
Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tā’ Marbūtah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka
Tā’ Marbūtah itu ditransliterasikan menjadi /h/. Contoh:
‫ = حديقةَالحيوانات‬ḫadîqāt al-ḫayawānāt atau ḫadîqātul ḫayawānāt.
‫ = المدرسةَاإلبتدائية‬al-madrasat al-ibtidā’iyyah atau al-madrasatul ibtidā’iyyah.
‫ = همزة‬hamzah

5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah/tasydîd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang
diberi tanda syaddah (digandakan).
Contoh:
َ‫علَّ َم‬
َ = ‘allama َ‫ = يُك َِر ُر‬yukarriru
‫ = ُك ِر ََم‬kurrima ُ‫ = ال َّم َد‬al-maddu

6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf
yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.
Contoh:
ُ ‫ص ََل َة‬
َ ‫ = ال‬aş-şalātu

vii
b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan
bunyinya. Contoh:
َ‫ = الفَ َل ُق‬al-falaqu ُ ِ‫ = البَاح‬al-bāḫiśu
َ‫ث‬

7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti
alif, contoh:
َُ‫ = أَك َْلت‬akaltu
ََ ‫ = أ ُ ْوت‬ūtiya
‫ِي‬
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh:
ََ‫ = ت َأ ْ ُكلُ ْون‬ta’kulūna
َ‫ش ْيء‬
َ = syai’un

8. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya. Contoh:
‫ = القُ ْرآن‬al-Qur’ān
ُ ‫ = ال َم ِد ْينَةَُال ُمن ََّو َرَة‬al-Madînatul Munawwarah
َ‫ي‬
ْ ‫ = ال َم ْسعُ ْو ِد‬al-Mas’ūdi

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK .......................................................................................................................... i
ABSTRACT ....................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................................vi
DAFTAR ISI......................................................................................................................ix
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................................. 11
C. Pembatasan Masalah ............................................................................................. 11
D. Rumusan Masalah ................................................................................................. 11
E. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 12
F. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 12
BAB II .............................................................................................................................. 14
KAJIAN TEORI ............................................................................................................. 14
A. Pengertian Ilmu Ladunni....................................................................................... 14
1. Pembagian Ilmu dalam Islam ............................................................................ 14
2. Ilmu Kasbi menurut Al-Ghazali........................................................................ 22
3. Ilmu Ladunni ..................................................................................................... 29
4. Kemuliaan Orang-orang yang Berilmu Menurut Al-Quran .............................. 32
B. Metode Mempelajari Ilmu Ladunni ...................................................................... 35
C. Hasil Penelitian Yang Relevan ............................................................................. 36
BAB III............................................................................................................................. 38
METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................... 38
A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................................................. 38
B. Metode Penelitian ................................................................................................. 38
C. Fokus Penelitian .................................................................................................... 39
D. Prosedur Penelitian ............................................................................................... 40

ix
BAB IV ............................................................................................................................. 44
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 44
A. Tafsir Ayat ............................................................................................................ 44
B. Penerapan di Sekolah ............................................................................................ 66
BAB V .............................................................................................................................. 79
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 79
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 79
B. Implikasi ............................................................................................................... 79
C. Saran ..................................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 81

x
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi


Muhammad saw. dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta
mengandung ajaran-ajaran yang dapat membuat orang mukmin bahagia,
yakni akidah, akhlak, dan syariat.1 Al-Quran merupakan kitab suci terakhir
dan diturunkan sebagai penutup dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Quran
isinya mencakup seluruh inti wahyu yang telah diturunkan kepada para nabi
dan rasul sebelumnya Nabi Muhammad saw. Al-Quran adalah mukjizat
Nabi Muhammad saw. yang terbesar di antara mukjizat-mukjizat lainnya.

Menurut Abdul Wahab Khallaf sebagaimana yang dikutip oleh


Abuddin Nata, Al-Quran adalah Firman Allah yang diturunkan kepada hati
Rasulullah, Muhammad bin Abdullah melalui al-Ruh al-Amin (Jibril as.)
dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar, agar
ia menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi
undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan
menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan
membacanya.2

Al-Quran adalah sumber utama dalam ajaran Islam dan merupakan


pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat
petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablu min Allah wa hablu
min an-nas), bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Untuk
memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), maka langkah pertama
yang harus dilakukan adalah memahami kandungan isi al-Quran dan

1
M.Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.1.
2
Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000), Cet. VII, h.
55.

1
2

mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh


dan konsisten.3

Al-Quran adalah pedoman hidup manusia dan umat Islam


khususnya. Tanpa pegangan atau pedoman, manusia akan kehilangan arah.
Kehidupan manusia penuh dengan berbagai persoalan, dari persoalan yang
paling ringan sampai yang paling berat. Pada zaman nabi semua persoalan
dapat diselesaikan langsung oleh nabi. Jika ada persoalan yang rumit yang
nabi sendiri mengalami kesulitan, maka Allah memberi petunjuk melalui
wahyu. Setelah Rasulullah tiada, manusia perlu pedoman agar kehidupan
mereka tidak kacau balau. Wahyu-wahyu Allah yang dihimpun dalam al-
Quran itu menjadi pedoman yang lengkap bagi manusia dalam menjalin
hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan alam
lingkungannya.

Allah swt. berfirman dalam surat al-Baqarah (2) ayat 185

ِ ِ‫هدىِللناسِوب ي َٰنتِمنِٱهلد َٰىِوٱلفرقان‬

Artinya: “Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-


penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat tersebut adalah pujian bagi al-
Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang

beriman, membenarkan, dan mengikutinya. Kata ‫ت‬


ِ ‫َوبينا‬menegaskan bahwa
al-Quran dalil yang nyata bagi orang yang memperhatikan dan
memahaminya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya,
berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan untuk melawan

3
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 3.
3

penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan batil, yang halal dan
haram.4

Al-Quran telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna


yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-
kegiatan ilmiah atau penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan
ilmiah merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam yang
masing-masing bagian memberikan sumbangan terhadap yang lainnya.5

Dalam surat al-Zumar (39) ayat 9 Allah menegaskan :

ِ‫قلِهلِيستويِٱلذينِيعلمونِوٱلذينِلِيعلمونِإَّناِي تذكرِأولواِٱأللبَٰب‬

Artinya: “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui


dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”

Pada ayat di atas kita menemukan kata berbunyi َ ‫ يعلمون‬yang

berasal dari akar kata ِ‫ علمِ–ِيعلم‬yang mempunyai masdar “ilmu”. Menurut

Badr al-Din al-‘Aini, yang dikutip oleh Irwan Malik Marpaung, ia


mendefinisikan, bahwa ilmu secara bahasa merupakan bentuk masdar dari
pecahan kata kerja ‘alima yang berarti tahu,6 dilanjutnya yang dikutip dari
Majma al-Lughah al-‘Arabiyah menyatakan secara etimologis, kata ilmu

4
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir al-Bashri al-Dimasyqi, Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005) Jilid I, h. 347
5
Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran”. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 122
6
Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol. 6, No. 2,
Desember 2011, h. 259
4

berasal dari bahasa Arab al-‘ilm yang berarti mengetahui hakikat sesuatu
dengan sebenar-benarnya.7

Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk


yang sadar. Kesadaran manusia itu dapat disimpulkan dari
kemampuannya berpikir, berkehendak dan merasa. Dengan pikirannya
manusia mendapatkan (ilmu) pengetahuan.8 Menurut bahasa, kata ilmu
adalah masdar yang maknanya sinonim dengan paham dan makrifat. Para
ahli filsafat, mendefinisikan kata ilmu sebagai suatu gambaran yang
dengan sifat itu orang yang mempunyainya akan menjadi jelaslah
baginya sesuatu urusan. Sedangkan menurut al-Ghazali mengatakan
dalam al-Risalah al-Ladunniyah, bahwa ilmu adalah gambaran jiwa yang
berpikir (al-nafs al-natiqah) dan jiwa yang tenang menghadapi hakikat
segala sesuatu, serta gambaran abstrak dari materi dengan wujud fisik,
kualitas, kuantitas, esensi, dan zatnya, manakala ia tunggal. Orang yang
mengetahuinya berarti ia adalah samudera yang mampu mengenali dan
menggambarkan, Sedangkan objek yang diketahui merupakan zat sesuatu,
yang mana ilmu tentangnya terukir dalam jiwa.9

Menurut Syed Naquib al-Attas yang dikutip oleh Izzatur Rusuli


dan Zakiul Fuady M. Daud, ilmu terbagi menjadi dua macam, meskipun
keduanya merupakan satu kesatuan yang sempurna. Pertama, ilmu yang
diberikan oleh Allah swt. sebagai karunia-Nya kepada insan. Kedua, ilmu
yang dicapai dan diperoleh manusia berdasarkan daya usaha akliahnya

7
Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol. 6, No. 2,
Desember 2011, h. 259 lihat Majma‘ al-Lughah al-Arabiyah, Mu‘jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-
Da‘wah, 1990, hal. 624.
8
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), h. 5
9
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10.
5

sendiri yang berasal dari pengalaman hidup, indera jasmani, nazar-


akali, perhatian, penyelidikan, dan pengkajian. 10

Di dalam Al-Quran pun kita banyak temukan kalimat-kalimat yang


menuntut manusia untuk selalu berpikir tentang tanda-tanda kebesaran
Tuhannya yang ada di sekelilingnya, sehingga ia dapat mencapai suatu ilmu
tertentu dari pemikiran dan pengamatannya tersebut.

Menurut Ghulsyani yang dikutip oleh Jamal Fakhri, al-Quran


sebagai kalam Allah diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat
praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Quran bukanlah ensiklopedi
sains dan teknologi apalagi al-Quran tidak menyatakan itu secara
gamblang.11 Dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Quran
memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang
cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat. Bahkan, pesan (wahyu)
paling awal yang diterima Nabi saw. mengandung indikasi pentingnya
proses investigasi (penyelidikan). Informasi al-Quran tentang fenomena
alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian
manusia kepada pencipta alam yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana
dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta
mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya. Dalam visi al-
Quran, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu,
pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada
Tuhannya.12 Pandangan Al-Quran tentang ilmu dapat diketahui prinsip-
prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad dalam surat Al ‘Alaq ayat 1-5

10
Izzatur Rusuli dan Zakiul Fuady M. Daud Ilmu Pengetahuan Dari John Locke Ke Al-
Attas. Jurnal Pencerahan, Vol. 9 No. 1, Maret 2015, h. 14
11
Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 123
12
Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 123-124
6

ِ)3(ِ‫)ِاق رأِوربُّكِاألكرم‬2(ِ‫سانِمنِعلق‬
ِ ‫)ِخلقِاْلن‬1(ِ‫اق رأِبسمِربكِالذيِخلق‬

)5(ِ‫)ِعلمِاْلنسانِماَِلِي علم‬4(ِ‫الذيِعلمِبلقلم‬

Artinya: 1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang


menciptakan 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah 3.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah 4. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya

Wahyu pertama tersebut tidak menjelaskan sesuatu yang harus


dibaca karena al-Quran menghendaki umatnya membaca semua hal selama
bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
Pengulangan membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar
menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali
mengulang-ulang bacaan, tetapi hal itu mengisyaratkan bahwa mengulang-
ulang bacaan bismi Rabbik akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan
baru, walaupun yang sesuatu yang dibaca itu sama.

Kata iqra` dalam ayat tersebut akar katanya berarti menghimpun.


Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks
tertulis maupun tidak. Jadi, iqra` berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah,
maupun diri sendiri, yang tertulis maupun tidak.13

Dalam wahyu pertama ini mengisyaratkan perintah untuk mengkaji


ilmu. Kajian-kajian tersebut meliputi tiga aspek, yaitu mengenai objek-
objek yang menjadi kajian ilmu, bagaimana cara memperoleh ilmu dan
bagaimana pemanfaatan dan pengembangan ilmu menurut pandangan al-
Quran.

13
M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur`an (Bandung: Mizan, 2006), h. 442
7

Allah swt berfiman dalam surat al-Kahfi (18) ayat 65:

َٰ ‫ف وجداِعبداِمن عبادنِءات َٰينهِرحةِمنِعندنِوعل‬


ِ‫منهِمنِلدنِعلما‬

Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara


hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.

Dari ayat di atas kita menemukan kata ِ‫رحةِمنِعندن‬dan ِ‫علمناِمن‬

‫لدن ِعلما‬, keduanya menggunakan sebuah kata dengan makna dari sisi

kami, jadi dapat kita nisbahkan antara rahmat dan ilmu keduanya datang
dari sisi Allah swt.

Imam Al-Ghozali dalam bukunya ar-Risalah al-Laduniyah


menyatakan ilmu itu ada dua macam, ilmu Syar’i dan ilmu Aqli. Bagi orang
yang telah menguasai, kebanyakan ilmu syar’i itu rasional. Dan menurut
sebagian ahli makrifat, sebagaian besar ilmu rasional itu bersifat syar’i.14

Imam Ghazali kembali menjelaskan bahwa ilmu manusia bisa


diperoleh melalui dua jalan: Pertama, pengajaran manusia; kedua,
pengajaran Tuhan. Cara pertama adalah cara lazim dan jalan yang bisa
diindra serta diakui oleh semua orang berakal. Dan pengajaran Tuhan
melalui dua bentuk: dari luar, dengan belajar; dari dalam, dengan
konsentrasi dalam perenungan. Sebab merenung menggunakan bati itu
memiliki kedudukan yang sama dengan belajar dalam konteks lahir.15

Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Agus Sutiyono ilmu ladunni


adalah mengalirnya cahaya ilham, terjadi setelah taswiyah

14
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 39
15
Ibid, h. 54
8

(penyempurnaan). Untuk mendapatkan ilmu ladunni harus melalui beberapa


proses sebelum sampai pada tingkat penyempurnaan. Imam al-Ghazali
menggolongkan ilmu Ladunni termasuk pengajaran bersifat ketuhanan.
Ia membagi dua jalan pengajaran, yaitu pemberian pelajaran melalui
wahyu dan pemberian melalui ilham. Pemberian pelajaran melalui wahyu
terjadi apabila hati sudah sempurna Dzat-Nya, maka hilang tabiat yang
kotor, ketamakan dan angan-angan yang sesat. Jiwa selalu
menghadapkan wajahnya kepada Sang Pencipta yang menumbuhkannya.
Ilmu ini biasanya diterima nabi. 16

Adapun pembelajaran melalui ilham adalah peringatan jiwa


kullyah (total) kepada jiwa manusia secara juz’i (sebagian), yang bersifat
kemanusiaan sesuai dengan kadar kesiapan dan kekuatan penerimanya.
Ilham sendiri adalah bekas wahyu. Wahyu adalah penjelasan perkara
gaib, sedangkan ilham adalah bentuk samarnya. Ilmu yang diperoleh dari
wahyu dinamakan ilmu nabawy, sedang- kan ilmu yang diperoleh dari ilham
dinamakan ilmu ladunni. 17

Ilmu ladunni adalah ilmu yang pencapaiannya tanpa perantara


antara jiwa seseorang dengan Allah. Ia seperti cahaya dari lampu gaib yang
jatuh ke dalam hati yang bening, bersih dan halus. Proses munculnya
ilham melalui penuangan akal kully dan dari penyinaran jiwa kuliyyah.
Karena itu wahyu merupakan per-hiasan para nabi sedangkan ilham
merupakan perhiasan para wali (kekasih Allah). Apabila pintu pikiran
telah terbuka atas jiwa, seseorang akan mengerti bagaimana cara
berpikir dan bagaimana kembali dengan ketajaman pikirannya kepada
orang yang dicari. Hati menjadi lapang, mata hati menjadi terbuka,

16
Agus Sutiyoni, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali. Nadwa Jurnal Pendidikan
Islam Vol. 7, Nomor 2, Oktober 2013, h. 317
17
Ibid,
9

kemudian keluarlah apa yang ada di dalam hati berupa kekuatan sampai
perbuatan dengan tanpa tambahan pencarian dan kesulitan. 18

Imam Syafi’i r.a. pernah menggugah sebuah syair tentang


bagaimana sebaiknya seseorang dalam mencari ataupun menuntut ilmu
yang berbunyi:

‫ِسأنبيكِعنِتفصيلهاِببيا ِن‬#ِ‫أخيِلنِتنالِالعلمِإلِبستة‬

‫ِوِدرهمِصحبةِأستاذِوِطولِزما ِن‬#ِ‫ذكاءِوِحرصِوِاجتهاد‬

Artinya: Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali


dengan enam perkara. Aku akan menyebutkan perinciannya:
(yaitu) Kecerdasan, Ambisi, Jihad, Modal, Bimbingan Guru dan Waktu
Yang Lama.

Dari uraian di atas kita dapat temui bahwa ilmu ladunni hanya bisa
didapatkan bagi seseorang yang telah mendidik dirinya hingga mencapai
tingkat kesempurnaan, hilangya tabiat kotor, ketamakan dan angan-angan
sesat. Tentunya untuk mencapai kesempurnaan tersebut dibutuhkan syarat-
syarat yang disebutkan oleh Imam Syafi’i yaitu kecerdasan, ambisi, jihad,
modal, bimbingan guru dan waktu yang lama, sehingga terbentuklah akhlak
yang mulia bagi orang yang menjalaninya.

Di antara syarat-syarat di atas yang dijabarkan oleh Imam Syafi’i


adalah bimbingan dari seorang guru, karena gurulah yang membimbing kita
sehingga kita tidak tersesat mengambil jalan dalam menuntut ilmu.
Sehingga wajiblah bagi kita untuk menghormati para guru dengan adab

18
Ibid.
10

yang baik sehingga kita mendapatkan rahmat Allah dengan adanya Ilmu
yang kita pelajari.

Namun nyatanya pada dewasa ini kita banyak menemukan banyak


Muslim yang menjadikan Al-Quran hanya sebagai pajangan di rumahnya19,
tanpa dibaca apalagi ditadabburi, sehingga banyak dari kita yang
kebingungan ketika menemui sebuah permasalahan hidup. Karena bukan
kitab yang telah diturunkan oleh Pencipta manusia yang kita baca dan kaji
melainkan tulisan-tulisan fiksi yang hanya dapat mengisi angan dalam hati.

Masyarakat memandang ilmu yang ada saat ini sudah benar-benar


ilmu yang tinggi sehingga menjadikan dirinya tinggi pula di hadapan para
manusia, padahal jika kita pelajari lebih dalam lagi, masih teramat banyak
ilmu yang belum kita ketahui dan pelajar.

Jauh lagi kita temukan orang-orang pada umumnya bahkan


masyarakat Muslim yang kurang memiliki adab yang baik saat mencari ilmu
dari gurunya. Akhir-akhir ini kita banyak sekali menemui berita-berita
terkait permasalahan di atas seperti seorang guru di Jakarta Timur yang
dipukul dan dijambak oleh siswanya sendiri,20 dan masih banyak lagi
contoh-contoh kurangnya akhlak seorang yang ingin menuntut ilmu kepada
seorang guru. Sehingga jika kita pandang dari sisi keIslaman menyebabkan
kurang barakahnya ilmu sampai-sampai Allah enggan untuk menurunkan
rahmat-Nya untuk si penuntut ilmu, sehingga setelah ia mempelajari banyak
bidang ilmu bukan malah mendekatkannya kepada Sang Pemilik Ilmu

19
Ramadhan, Al-Quran, Hanya Sebagai Pajangan Belaka, diakses dari
http://mahasiswa.iainpalu.ac.id/blog/alquran-hanya-sekedar-pajangan-belaka/ pada 10 maret 2018
11.00
20
Edward Febriyatri Kusuma, Kisah Kelam Ibu Guru di Jaktim yang Dipukul dan
Dijambak Siswanya, Detik.com, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-
kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-
siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385 pada tanggal 10
Maret 2018 10.45
11

malah menjadikan ia semakin jauh dari mengenal Tuhannya, lebih parahnya


sampai ia tidak mengakui adanya Tuhan.21

Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan membahas


masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi
dengan judul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran (Kajian
Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan


diatas. maka penulis perlu mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Ada anggapan bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang sangat


langka dan tidak ada cara untuk mendapatkannya.
2. Masih banyak yang belum mengerti bagiamana sebenarnya
konsep ilmu laduni dalam perspektif al-Quran dalam surat al-
Kahfi ayat 65.
3. Masih ada umat Muslim yang kurang berakhlak ketika belajar
dengan guru.

C. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis


perlu untuk mengarahkan permasalahan yang akan diteliti dan akan
dibatasi hanya pada konsep ilmu laduni dalam perspektif Al-Quran (Kajian
tafsir surat al-Kahfi ayat 65) dan bagaimana cara untuk memperolehnya.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya
yaitu:

21
Gito Yudha Pratomo, Eksistensi Tuhan di Mata Orang Jenius, CNN Indonesia, diakses
dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-7440/eksistensi-tuhan-di-
mata-orang-jenius pada tanggal 10 Maret 2018 jam 10.50
12

1. Bagaimanakah konsep ilmu laduni menurut pandangan Al-Quran


dalam surat al-Kahfi ayat 65?
2. Bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkannya
sebagai implementasi dari tafsiran surat al-Kahfi ayat 65?

E. Tujuan Penelitian
Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Konsep
Ilmu Laduni dalam pandangan Al-Quran (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat
65) adalah memberikan penjabaran mengenai bagaimana konsep Ilmu
Laduni menurut pandangan Al-Quran dan bagaimana seharusnya seseorang
berprilaku ketika akan berhadapan dengan seorang guru. Hal ini
dikarenakan pada masa ini makna ilmu sendiri yang mulai terkikis dengan
paham barat sehingga umat Islam banyak meninggalkan rujukan pentingnya
dalam bepegang pada agama dan masih banyaknya murid yang lupa
bagaimana sebaiknya bertata krama kepada gurunya. Adapun yang lebih
ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk
menjelaskan bagaimanakah konsep ilmu laduni menurut pandangan Al-
Quran kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65.

F. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak.

1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan serta pengalaman penulis


mengenai penelitian ini, baik dalam merencanakan ataupun
melaksanakan penelitian.
2. Bagi universitas, menambah khazanah ilmiah di kalangan akademis
khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih
gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisasi
serta dapat dipraktikkan dalam membangun guru-guru yang
berkualitas, penuh integritas, dan memiliki semangat pengabdian.
13

3. Bagi guru, untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjadi


tauladan yang baik bagi muridnya serta sifat apa saja yang harus
ditanamkan pada diri setiap guru dan murid
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Ilmu Ladunni

1. Pembagian Ilmu dalam Islam

Dalam KBBI kata Ilmu sendiri memiliki 3 makna : yaitu


pertama, pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu, kedua,
pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin,
dan sebagainya), ketiga, Maha mengetahui, sifat yang wajib bagi Allah
Swt.1, sedangkan menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Akhmad Sodiq
dalam bukunya Epistemologi Islam, Kata ilm (ilmu pengetahuan) adalah
bentuk kata ambiguitas (musytarak: mempunyai banyak arti) yang
meliputi penglihatan dan perasaan. Kata ‘ilm itu menurutnya telah
mengalami perluasan makna. Dalam wacana Islam awal kata tersebut
berarti ilmu pengetahuan tentang Allah, tanda-tanda perbuatan-Nya
terhadap hamba dan makhluk-Nya. Pada fase berikutnya kata ‘ilm
mengalami perluasan makna yang mencakup berbagai jenis
pengetahuan.2 al-Ghazali mengatakan lagi dalam ar-risalah al-
ladunniyah, bahwa ilmu adalah gambaran jiwa yang berpikir (an-nafs
an-natiqah) dan jiwa yang tenang menghadapi hakikat segala sesuatu,
serta gambaran abstrak dari materi dengan wujud fisik, kualitas,
kuantitas, esensi, dan zatnya, manakala ia tunggal, Sedangkan objek
yang diketahui merupakan zat sesuatu, yang mana ilmu tentangnya
terukir dalam jiwa.3 Sedangkan Menurut Abu Musa al-Asy'ari, dikutip

1
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ilmu diakses pada 31 Juli 2019
2
Akhmad Sodiq, Epistemologi Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 22-23.
3
Al-Ghazali, Ar-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10.

14
15

oleh Abdul Djalal, dalam bukunya Ulumul Qur’an bahwa ilmu itu ialah
sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu membedakan dengan panca
inderanya, sehingga tidak mungkin mengakibatkan berlawanan.4

Adapun kemuliaan ilmu itu sejauh kemuliaan objek yang


diketahui, dan derajat orang yang mengetahui pun sesuai derajat
ilmunya. Tidak diragukan lagi bahwa objek ilmu yang paling utama,
paling tinggi, paling mulia, dan paling agung adalah Allah; Pembuat
(ash-Shani’), Pendahulu (al-Mubdi`), Maha Benar lagi Esa (al-Haqq al-
Wahid).5 Sedangkan terminologi ilmu dalam Al-Quran mengandung
empat pengertian,6 yakni :

1. Pengetahuan yang dinisbatkan kepada Allah. Jenis ini hanya


dapat diketahui oleh Allah sendiri. Keberadaan pengetahuan
ini disebut dalam QS. Hud (11): 14, yakni :

ِ‫فإَلِيسجيبواِلكمِفٱعلمواِأَّناِأنزلِبعلمِٱَّللِوأنِلِإ َٰلهِإلِهوِف هلِأنتم‬


ِ14ِ‫ُّمسلمون‬
Terjemahan:

Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima


seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu) :
“Ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan
dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Allah swt.
selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada
Allah)?”

4
Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000) h. 2
5
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10.
6
Abd. Muin Salim, Al-Quran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, dalam Jurnal Mitra,
Media Komunikasi Antar PTAIS (Cet. I; Makassar : Kencana, 2004), h. 18- 19.
16

2. Pengetahuan yang diwahyukan Allah kepada Nabi dan


utusan-Nya. Pengetahuan seperti ini bersifat khusus dan
dalam eksistensinya tertuang ke dalam kitab suci dan ajaran
para Rasul-Nya. Misalnya QS. al-Baqarah (2): 145, yakni :

َٰ ‫ولئنِٱت بعتِأهواءهمِمنِبعدِماِجاءكِمنِٱلعلمِإنكِإذاِلمن‬
ِ‫ِٱلظلمني‬
Terjemahan:

Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan


mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu
–kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.

Pengetahuan yang disandarkan kepada malaikat yang


diberikan Allah swt, yang hakekatnya hanya Allah sendiri
yang tahu. Hal ini disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2) : 32,
yakni :

ِ‫بحنكِلِعلمِلناِإلِماِعلمت ناِإِنكِأنتِٱلعلِيمِٱلكيم‬
َٰ ‫قالواِس‬
Terjemahnya :

Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada


yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

4. Pengetahuan yang dimiliki manusia seperti yang terkandung


dalam QS. al-Qashash (28) : 78, yakni :

‫قالِإَّناِأوتيتهَِۥِعل َٰىِعلمِعندي‬
Terjemahnya :
17

Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi


harta itu, karena ilmu yang ada padaku”.

Pengertian-pengertian ilmu yang terinterpretasi dari ayat-ayat di


atas, memberikan indikasi bahwa ilmu atau pengetahuan dalam jiwa
manusia tidaklah bersamaan dengan keberadaan manusia itu sendiri.
Manusia dilahirkan tanpa mempunyai pengetahuan sedikitpun dan pada
tahap selanjutnya manusia memperoleh pengetahuan melalui ta’lim dari
Allah swt. Dengan demikian, tidaklah berarti bahwa pengajaran Allah
swt. tentang ilmu kepada manusia terjadi secara otomatis, justru Al-
Quran mengisyaratkan beberapa cara bagaimana manusia menemukan
ilmu atau pengetahuan tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ilmu
dalam Al-Quran lazimnya dipergunakan dalam dua batasan pengertian,
yakni ilmu yang dinisbahkan kepada Allah dan ilmu yang dinisbahkan
kepada manusia.

Abd. Muin Salim yang dikutip oleh Muchlis Nadjmuddin


mengatakan bahwa dengan merujuk pada term-term al-‘ilm beserta
devariasinya di dalam Al-Quran, kelihatannya para mufassir berbeda-
beda dalam mengklasifikasikan ilmu. Ada yang berpendapat bahwa
ilmu terdiri atas dua, yakni ilmu nazari dan ilmu ‘amali. Yang pertama,
yaitu ilmu yang sudah cukup dengan mengetahuinya tanpa harus
mengamalkannya, seperti mengetahui adanya makhluk hidup di dalam
sebuah genangan air. Yang kedua, yaitu ilmu yang tidak cukup hanya
dengan mengetahuinya saja, tetapi harus dengan diamalkan, seperti ilmu
tentang ibadah kepada Allah swt.7

Ada pula yang membagi ilmu tersebut menjadi “aqli”dan


“sam’i”. Yang pertama, yaitu ilmu yang didapat melalui penelitian;
seperti ilmu tentang adanya hubungan saling mempengaruhi antara dua

7
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010, h.
178
18

hal. Yang kedua, yaitu ilmu yang didapat melalui pendengaran tanpa
penelitian; seperti mengetahui hasil pertambahan angka 1 dan 2 menjadi
3 (1 + 2 = 3).

Dalam dunia pendidikan, ada yang disebut dengan “ilmu Islam”


dan “ilmu Barat”, “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Demikian
seterusnya, sehingga tidak ditemukan kata sepakat mengenai pembagian
atau klasifikasi ilmu dalam berbagai perspektif. 8

Musa Asy’arie, yang dikutip oleh Fathul Mufid, dalam bukunya


Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, menjelaskan bahwa ilmu
dapat diperoleh melalui dua jalan, yaitu jalan kasbi atau husuli dan jalan
ladunni atau huduri. Jalan kasbi atau husuli adalah cara berpikir
sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap
melalui proses pengalaman, penelitian, percobaan, dan penemuan.9
Sementara ilmu ladunni atau huduri hanya diperoleh orang-orang
tertentu dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi
dengan proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalb,
sehingga semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca
dengan jelas tercerap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang
tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung, dimana Tuhan
bertindak sebagai pengajarnya.10

Fakhruddin al-Razi (selanjutnya ditulis al-Razi) menjabarkan


tentang pengetahuan dan metode memperoleh ilmu. Menurut al-Razi,
terdapat dua jenis pengetahuan dilihat dari hasilnya yaitu tashdiq dan
tashawwur. Jika pengetahuan itu dapat dihukumi (benar atau salah),
maka itu adalah hasil dari tashdiq. Jika pengetahuan itu tidak dapat
diverifikasi benar atau salah, akan tetapi hanya mampu dirasakan oleh

8
Ibid, h. 179
9
Fathul Mufid, Metode Memperoleh Ilmu Huduri, Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November
2012, h. 281
10
Ibid.
19

jiwa, maka itu adalah hasil dari tashawwur. Tashawwur juga memiliki
arti interpretasi. Selanjutnya cara memperolehnya terbagi atas dua
metode yaitu nazhari dan kasbi.11

Metode nazhari adalah metode untuk mendapatkan ilmu yang


tidak memerlukan usaha dan penelitian. Hal ini karena secara otomatis
akal dan jiwa mampu mengetahuinya. Pengetahuan tashawwur yang
diperoleh melalui metode ini misalnya pengetahuan manusia akan rasa
sakit dan nikmat. Sedangkan pengetahuan tashdiq misalnya eksistensi
(wujud) dan ketiadaan (‘adam) merupakan dua hal yang bertentangan
dan tidak mungkin berada dalam satu kondisi. Eksistensi pasti akan
menegasikan ketiadaan, begitupun sebaliknya. Pengetahuan tashdiq
menghasilkan sebuah hukum atas perkara, dalam contoh di atas, ada
atau tiadanya sesuatu.12

Kemudian metode kasbi adalah metode untuk mendapatkan ilmu


melalui usaha. Hal ini dikarenakan jiwa tidak memiliki informasi dasar
sehingga memerlukan informasi dari luar untuk mengolahnya menjadi
pengetahuan. Dalam metode kasbi terdapat dua cara untuk memperoleh
informasi. Cara yang pertama adalah melalui proses berpikir,
mengobservasi, dan meneliti. Pada cara ini subjek berperan aktif dalam
menggali informasi dari objek. Hasil akhir dari cara pertama ini adalah
rumpun ilmu alam, sosial, dan agama (syariat). 13

Adapun cara yang kedua adalah melalui metode mujahadah dan


riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya khayaliyah14 serta

11
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,
1999), Cet. 3, h. 482.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-
kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang
20

menguatkan daya aqliyah. Saat daya aqliyah menguat, maka nur ilahiy
akan nampak pada inti akal yang murni. Maka saat itulah akal dilimpahi
ma’rifat dan kesempurnaan ilmu pengetahuan. Pada proses ini subjek
berperan aktif untuk menyiapkan wadah yang diperlukan untuk
menampung limpahan nur ilahiy. Hasil akhir dari cara kedua ini adalah
ilmu ladunni.

Al-Ghazali dalam kitabnya al-Risalah al-Ladunniyah ia


membagi metode pencapaian pengetahuan dalam 2 model yaitu: metode
pendidikan humanis (al-ta’lim al-insaniy) dan metode pendidikan
transendental (al-ta’lim al-rabbaniy).15 Dari dua model di atas kita bisa
melihat ada peranan manusia yang lebih dominan yaitu pada metode
pendidikan humanis dengan kata lain kita dapat menyebutnya juga
sebagai metode kasbi dan pada metode kedua lebih bisa kita sebut
dengan ladunni karena kekuasaan untuk memberikan pembelajaran
tersebut hanya ada atas kuasa Allah.

Pendapat al-Razi bertolak belakang dengan pendapat al-Ghazali.


Jika al-Ghazali menggolongkan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan melalui
jalan penelitian kepada ilmu kasbi dan ilmu ladunni merupakan
golongan tersendiri, al-Razi justru memasukkan ilmu ladunni kepada
metode kasbi.

benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi
Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36.
15
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 84 – 85.
21

Penulis melihat maksud al-Razi memisahkan antara ilmu nazhari


dan kasbi karena perbedaan usaha subjek. Subjek dianggap otomatis
mengetahui ilmu nazhari, sebaliknya subjek butuh usaha untuk
mendapatkan ilmu kasbi. Hal tersebut pula yang mendasari al-Razi
untuk menggolongkan ilmu ladunni ke dalam ilmu kasbi, karena subjek
memerlukan usaha untuk menyiapkan wadah bagi ilmu tersebut.

Sedangkan al-Ghazali memisahkan antara ilmu kasbi dan ilmu


ladunni karena ilmu kasbi mampu diusahakan secara aktif oleh subjek
dengan melakukan penelitian terhadap objek ilmu pengetahuan. Dan
pada ilmu ladunni, subjek tidak dapat memaksa ilmu tersebut untuk
hadir, melainkan hanya menunggu curahan nur ilahiy dari Allah.
Dengan kata lain, menurut al-Ghazali, pada ilmu ladunni subjek bersifat
pasif.

Terlepas dari perbedaan itu, menurut hemat penulis, penjelasan


al-Ghazali dan al-Razi sebenarnya saling melengkapi. Perbedaan sudut
pandang dalam mengelompokkan ilmu ladunni entah berdiri sendiri atau
masuk ke dalam ilmu kasbi hanya karena subjek dan objek ilmu itu.
Dalam memperoleh ilmu ladunni, memang subjek perlu aktif untuk
menyiapkan wadahnya. Di sisi lain, subjek harus rela menunggu
curahan nur ilahiy pada wadah yang telah ia siapkan.

Dari penjabaran al-Ghazali dan al-Razi dapat kita simpulkan


bahwa Ilmu Laduni adalah Curahan Nur Ilahy dari Allah kepada hati
seseorang yang telah berusaha menyucikan batinnya melalui metode
mujahadah dan riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya
khayaliyah16 serta menguatkan daya aqliyah, ia adalah ilmu yang akan

16
Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-
kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,
22

menghantarkan seseorang kepada keyakinannya karena bersumber dari


sumber yang Satu, ia juga ilmu yang mampu menyingkapkan hijab hati
atas sesuatu, sehingga nampaklah baginya kebenaran akan sesuatu itu.

2. Ilmu Kasbi menurut Al-Ghazali

Ilmu kasbi, yakni pengetahuan yang diperoleh manusia


bersumber dari luar dirinya melalui pengalaman hidup ataupun dengan
usaha yang disengaja. Sedangkan Menurut al-Ghazali, pendekatan
pembelajaran humanis atau kasbi merupakan metode pencapaian
pengetahuan yang didasarkan pada usaha manusia secara aktif memalui
kegiatan intelektual. Hal ini terdapat tiga macam, macam yang pertama
misalnya adalah pengetahuan lingkungan hidup yang merupakan bagian
dari kehidupan manusia seperti matahari yang terbit di Timur dan
terbenam di Barat. Bentuk yang lebih kompleks adalah pengetahuan
atau budaya yang diwarisi secara tidak disadari. Sedang macam kedua
misalnya adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan usaha-usaha
belajar, mendengar keterangan atau membaca dari tulisan-tulisan yang
ada, dan dalam bentuk kompleks adalah yang diperoleh dengan
penelitian.

Paradigma ilmu kasbi ini adalah firman Allah dalam QS. al-Alaq
(96): 1-5, yakni :

daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi
Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36.
23

ِ‫ِِٱقرأِوربُّكِٱألكرم‬٢ِ‫نسنِمنِعلق‬
َٰ ‫ِِخلقِٱْل‬١ِ‫ٱقرأِبٱسمِربكِٱلذيِخلق‬

٥ِ‫نسنِماَِلِيعلم‬
َٰ ‫ِعلمِٱْل‬٤ِ‫ِِٱلذيِعلمِبٱلقلم‬٣

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia


Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.

Ayat di atas, mengandung pesan ontologis tentang sumber ilmu


pengetahuan. Pada ayat tersebut Allah swt. memerintahkan Nabi saw.
agar membaca. Sedangkan yang dibaca itu obyeknya bermacam-
macam. Yaitu ada yang berupa ayat-ayat yang tertulis (ayat al-
quraniyah), dan dapat pula ayat-ayat Allah swt. yang tidak tertulis (ayat
al-kauniyah). Membaca ayat-ayat qur’aniyah, dapat menghasilkan ilmu
agama seperti fikih, tauhid, akhlak dan semacamnya. Sedangkan
membaca ayat-ayat kauniyah dapat menghasilkan sains seperti fisika,
biologi, kimia, astronomi dan semacamnya.

Dapatlah dirumuskan bahwa ilmu kasbi tersebut bersumber dari


ayat-ayat qur’aniyah dan kauniyah, dan untuk memperolehnya maka
manusia dituntut untuk senantiasa membaca. Timbul pertanyaan,
mengapa kata iqra’ atau perintah membaca dalam sederatan ayat di atas,
terulang dua kali yakni pada ayat 1 dan 3. Jawabannya menurut penulis
bahwa, perintah pertama dimaksudkan sebagai perintah mencari ilmu,
sedang yang kedua perintah untuk mengajarkan ilmu kepada orang lain.
Ini mengindikasikan bahwa ilmu kasbi harus dituntut dengan uasaha
yang maksimal dan memfungsikan segala potensi yang ada pada diri
manusia. Setelah ilmu tersebut diperoleh, maka amanat selanjutnya
adalah mengajarkan ilmu tersebut, dengan cara tetap memfungsikan
segala potensi tersebut.
24

Potensi-potensi pada diri manusia yang harus digunakan untuk


menuntut ilmu tersebut adalah al-sama (pendengaran), al-bashar
(penglihatan), dan al-fu’ad (hati). Ketiga potensi ini disebutkan dalam
beberapa secara bersamaan, misalnya dalam QS. al-Nahl (16): 78

ِ‫وٱَّللِأخرجكمِمنِبطونِأم َٰهتكِمِلِ ِتعلمونِش ِٔياِوجعلِلكِمِٱلسمعِوٱألبصَٰر‬

ِ‫وٱألفِٔدةِلعلكمِتشكرون‬

Ketiga potensi yang disebutkan dalam ayat di atas, merupakan


alat potensial untuk memperoleh pengetahuan. Karena itu, Allah swt.
telah memberikan pendengaran, penglihatan dan hati kepada manusia
agar dipergunakan untuk merenung, memikirkan dan memperhatikan
apa-apa yang ada di luar dirinya. Dari hasil lacakan penulis, kata al-
sam’u di dalam Al-Quran selalu digunakan dalam bentuk tunggal dan
selalu mendahului kata al-abshar dan al-af’idah. Sebab didahulukannya
al-sam’u (pendengaran) disini, mengisyaratkan bahwa potensi
pendengaran lebih berfungsi ketimbang penglihatan dan hati dalam
proses pencarian ilmu. Namun demikian, dalam pandangan penulis
bahwa ketika ketiga potensi ini tidak saling menopang maka tidak akan
membuahkan ilmu yang sempurna. Dikatakan demikian, karena ketiga
potensi tersebut sangat terkait.

Kaitan antara ketiga potensi tersebut adalah bahwa pendengaran


bertugas memelihara ilmu pengetahuan yang telah ditemukan oleh
orang lain, penglihatan bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan
menambahkan hasil penelitian dengan mengadakan pengkajian
terhadapnya. Hati bertugas membersihkan ilmu pengetahuan dari segala
sifat yang jelek, lalu mengambil beberapa kesimpulan.
25

Dari ketiga potensi ia atas menurut Al-Ghazali dapat mengambil


dua bentuk pembelajaran humanis atau kasbi yaitu: proses belajar
mengajar (ta’lim) dan proses berpikir (al-tafkir)

a. Pendekatan pembelajaran humanis


Al-Ghazali mendefinisikan al-ta’lim sebagai upaya
seseorang (peserta didik) untuk mengambil manfaat
(pengetahuan) dari pendidik (al-syaikh al-juziy) sebagai kiat
untuk mengeluarkan pengetahuan dari potensi (al-quwwah)
kepada aktualitas (al-fi’il). Batasan tersebut dikembangkan
di atas paradigma bahwa ilmu pengetahuan menurut Al-
Ghazali terpendah secara potensial di dasar jiwa. Tepatnya
di dalam hati. Keberadaan ilmu itu seperti mutiara di dasar
lautan. Ketika jiwa peserta didik tersebut telah beranjak
dewasa maka jadilah ia seperti tanaman yang berbuah17.
Artinya, ketika manusia itu telah dewasa ia akan bisa
berpikir dan membentuk kesimpulan-kesimpulan.
Dari kedua kesimpulan yang dapat diambil
kesimpulan yang baru sehingga pengetahuan orang tersebut
bercabang-cabang. Apa yang dijelaskan al-Ghazali tampak
sejalan dengan dialektika Friedrich Hegel. Menurut Hegel
proses berpikir itu diawali dengan tesis, kemudian muncul
antitesis dan selanjutnya diambil sintesis. Sintesis tersebut
selanjutnya dianggap sebagai tesis kembali untuk
selanjutnya dicari antitesis dan sintesisnya demikian
seterusnya sampai mencapai kebenaran tertinggi.
Jika diperhatikan model pencapaian melalui proses
belajar mengajar ini merupakan model pencapaian rasional
pertama di mana akal masih baru saja bergerak dari kondisi

17
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 68
26

potensial menuju aktual. Karena proses pergeseran kondisi


itu dibantu oleh pendidik – sebagai faktor ekstern –, maka
model ini oleh al-Ghazali disebut sebagai model dari luar (al-
thariq min kharij).18

b. Proses Berpikir
Adapun yang dimaksud dengan al-tafkir ialah
pengaktifan jiwa dari jiwa universal. Seperti pembahasan
sebelumnya dalam konsep metafisika al-Ghazali, Jiwa
Universal (al-Nafs al-Kulli) lebih lembut dan lebih mulia
dibanding jiwa seluruh makhluk. Pengajaran dari Jiwa
Universal merupakan bentuk pengajaran yang paling kuat
dan membekas dalam jiwa dibanding dengan seluruh
pengajaran ilmuan ataupun para pendidik lainnya.
Ketika cahaya akal telah mampu mengalahkan sifat-
sifat jiwa, maka pencari ilmu akan merasa cukup dengan
sedikit berpikir namun mampu menandingi orang yang
banyak belajar. Hal ini karena jiwa tersebut telah mampu
menemukan faedah dari kontemplasi sesaat yang tidak
ditemukan oleh jiwa material dengan belajar setahun.
Bagaimanapun juga proses belajar tidak bisa lepas dari
berpikir sehingga mayoritas ilmu teoritis (al-‘ulum al-
nadhariyah) dan teknologi teoritis (al-shana’i al-ilmiyah)
dihasilkan oleh para ilmuwan dengan kejernihan pemikiran
dan kekuatan kontemplasi tanpa menambah bacaan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa ketika pintu
pemikiran terbuka pada jiwa, ia segera dapat mengetahui
cara berpikirdan berkontemplasi. Maka hatinya akan
memberi penjelasan, mata batinnya terbuka sehingga

18
Ibid.
27

keluarlah apa-apa yang terpendam (pengetahuan) dalam jiwa


sebagai potensi menjadi aktualitas tanpa harus menambah
bacaan. 19
Strategi belajar yang ditawarkan al-Ghazali bagi
mereka yang telah menjangkau tingkat al-‘aql bi al-fi’l ialah
dengan hanya sedikit belajar yakni hanya mempelajari
secara global dan hal-hal penting saja. Ia memberi contoh:
seorang matematikawan tidak perlu menghabiskan umurnya
hanya untuk mempelajari seluruh unsur matematika, tapi
cukup mempelajari prinsip-prinsip global dan tema-tema
pentingnya. Dari prinsip global dan tema-tema penting
tersebut kemudian diolah dan dikiaskan. Begitu juga seorang
dokter, ia tidak akan mampu mempelajari seluruh bagian
pengobatan bagi setiap orang, tetapi cukup dengan
mengetahui prinsip-prinsip umum dan melakukan terapi
berdasarkan kekhususan masing-masing pasien. Demikian
juga halnya dengan seorang faqih, astronom dan
sebagainya.20
Dalam Bahasa Arab terdapat banyak term-term yang
semakna dengan proser berpikir tersebut diantaranya
Tafakkur, tadzakkur, nazhar, ta'ammul, i'tibar, tadabbur, dan
istibshar, semua kata ini mirip artinya; sama dalam satu sisi
tapi berbeda dalam sisi yang lain.
Disebut tafakkur kerana dalam semua proses itu
menggunakan dan menghadirkan fikiran. Dan, disebut
tadzakkur kerana menghadirkan ilmu yang harus diingat-
ingat setelah terlupa dan hilang. Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila
mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka (tadzakkur)

19
Ibid., h. 70
20
Ibid., h. 65
28

ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat


kesalahan-kesalahannya."(Al-A'raaf:201)
Disebut nazhar kerana melihat dengan mata hati pada
hal yang difikirkan. Adapun disebut ta'ammul kerana
mengulang-ulang fikiran sampai terlihat jelas dan terbuka
bagi hatinya. Sementara itu, disebut i'tibar (yang bererti
menyeberangi) kerana dia menyeberang dari suatu hal ke hal
yang lain; dia menyeberang dari hal yang difikirkannya
menuju ke pengetahuan ketiga. Yang disebut dengan
pengetahuan ketiga ini adalah tujuan dalam i'tibar itu. Ia
disebut sebagai ‘ibrah. Ini untuk menunjukkan bahwa ilmu
dan pengetahuan telah menjadi haal (karakter) bagi
pemiliknya. Dengan begitu, seseorang dapat melintas atau
menyeberang menuju sesuatu yang diinginkannya. Allah
SWT berfirman,
"Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran ('ibrah) bagi orang yang takut (kepada
Rabbnya)." (An-Naazi'aat: 26)
"Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat
pelajaran ('ibrah) yang besar bagi orang-orang yang
mempunyai penglihatan." (An-Nuur: 44)
Disebut tadabbur kerana merupakan perenungan
tentang akibat dan akhir suatu perkara. Allah SWT
berfirman,
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan
(yaddabbaru) perkataan (Kami)?" (Al-Mukminuun: 68)
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan
(yatadabbaruun) Al-Qur'an? Kalau Al-Qur'an itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa: 82)
29

Jadi, arti mentadabburi suatu kalimat adalah


memikirkannya dari bahagian awal sampai akhir, kemudian
mengulang-ulangi perenungannya.
Dan disebut istibshar, (wazan istif'al dari kata
tabasshur) yang bererti jelas dan tersingkapnya sesuatu hal
di depan bashirah (mata hati).
Baik tadzakkur mahupun tafakkur punya faedah
masing-masing. Tadzakkur berarti hati mengulang-ulang apa
yang diketahuinya agar tertanam dengan kuat di dalamnya,
sehingga tidak terhapus dan pudar dari dalam hati secara
keseluruhan. Adapun tafakkur berarti memperbanyak ilmu
dan mencari apa yang belum ada di hati. Jadi tafakkur itu
gunanya mencari ilmu dan tadzakkur berguna untuk
menjaganya. Oleh kerana itu, Hasan Al-Bashri berkata,
"Para ulama senantiasa memanfaatkan tafakkur dan
tadzakkur. Mereka berbicara dengan hati sampai akhirnya
hati itu melahirkan hikmah."

3. Ilmu Ladunni

Ilmu Laduni adalah ilmu yang diperoleh tanpa perantara antara


jiwa dengan Tuhan. Ia tiada lain laksana cahaya yang berasal dari pelita
gaib yang mengenai hati yang bersih, kosong, dan lembut.21 Ilmu
ladunni adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses
belajar. Paradigma ilmu ladunni ini adalah firman Allah dalam QS. al-
Kahfi (18): 65, yakni:

َٰ ‫ف وجداِعبداِمنِعبادنِءات َٰينهِرحةِمنِعندنِوعِل‬
ِ‫منهِمنِلدنِعلما‬

21
Ibid, h. 68.
30

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-


hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami,
dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu itu menghidupkan hati


dari kebutaan, sinar penglihatan dari kegelapan dan kekuatan badan
dari kelemahan yang menyampaikan hamba ke kedudukan orang-
orang yang baik dan derajat yang tinggi. Memikirkan tentang ilmu
itu mengimbangi puasa, mempelajarinya mengimbangi mendirikan
malam, dengan ilmu Allah Swt. ditaati, dengannya Dia ditauhidkan,
dimuliakan, dengannya hamba menjadi wara’, dengannya sanak
kerabat disambung, dengannya diketahui halal dan haram. Ilmu itu
pemimpin sedangkan amal adalah pengikutnya orang-orang yang
berbahagia itu diberi ilham mengenai ilmu dan orang-orang yang celaka
itu terhalang.22

Ibnu Ajibah menjelaskan mengenai ilmu ladunni dalam


tafsirnya, al-Bahr al-Madid, bahwa ilmu ladunni adalah ilmu yang
dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal tersebut didapatkan
setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan kotoran serta
meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika proses
penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh Allah
ke hadirat-Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-
rahasia rabbaniyah. Di antaranya adalah ilmu yang dapat diserap oleh
akal melalui pemahaman nash dan ilmu yang tidak mampu diserap akal
serta tidak terlingkup dalam nash akan tetapi mampu diterima karena
bersumber dari-Nya dan perkara itu tidak mampu ia laksanakan.
Kemudian ilmu yang berkaitan dengan hal gaib seperti peristiwa takdir
dan kejadian-kejadian di masa yang akan datang, ilmu yang terkait
dengan perkara-perkara syariat dan rahasia-rahasia hukum, ilmu tentang

22
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Semarang: Toha Putra, T.t.), h. 12 – 13.
31

rahasia kekhususan huruf-huruf dan simbol, dan ilmu lainnya yang


dilimpahkan dari luasnya samudera ilmu Allah.23

Menurut Muchlish Nadjmuddin bahwa ilmu ladunni ini, adalah


pengetahuan limpahan, misalnya ilham atau serupa. Karena itu tepat
juga bila dikatakan bahwa ia sama dengan ilmu wahbiy sebagaimana
yang dikonsepsikan oleh Abd Muin Salim yaitu pengetahuan yang
diperoleh manusia bersumber dari luar dirinya sebagai pemberian Tuhan
kepadanya baik untuk kepentingannya sendiri maupun untuk
kepentingan kemanusiaan dan juga lingkungannya.24

Kalau kembali dicermati QS. Al-Alaq (96) yang telah dikutip


terdahulu, disana memang dijelaskan bahwa disamping ilmu kasbi ada
juga ilmu ladunni. Allah swt. “mengajar dengan qalam”, yakni mengajar
manusia melalui upaya mereka adalah tergolong sebagai ilmu kasbi.
Sedangkan Allah swt. “mengajar apa yang mereka tidak ketahui”, tanpa
usaha mereka, tetapi langsung sebagai curahan rahmat-Nya, inilah yang
disebut dengan ilmu ladunni. Perlu penulis tegaskan disini bahwa
manusia dalam memperoleh ilmu ladunni memiliki syarat-syarat
tertentu, misalnya yang bersangkutan adalah seorang nabi atau rasul-
Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Jin (72) 26-27,
yakni :

23
Nukilan asli: َ‫َهوَالذيَيفيضَعلىَالقلبَمنَغيرَاكتسابَوال‬:‫َالعلمَاللدني‬،ً‫علَّ ْمناهَُمِ ْنَلَدُنَّاَع ِْلما‬ َ ‫َو‬:‫وقولهَتعالى‬
َ
َ،‫َوذلكَبعدَتطهيرَالقلبَمنَالنقائصَوالرذائل‬.َ»‫َُعلمَ َماَلَ ْمَ َي ْعلَ ْم‬
َ ‫هللا‬ َُ ‫ه‬َ ‫ث‬‫ر‬ ‫و‬
ْ
َ ََ ‫أ‬ َ ‫ِم‬
‫ل‬ ‫ع‬
َ َ‫ا‬‫م‬َِ ‫ب‬ََ
‫ل‬ ‫ع‬
ِ‫َم‬ َ‫َ«من‬:‫َلم‬ ‫َقالَعليهَالصَلةَوالس‬،‫تعلم‬
َ،‫َواألسرارَالربانية‬،َ ‫َفاضتَعليهَالعلومَاللدنية‬،‫َوانجذبَإلىَحضرةَالرب‬،‫َفإذاَكملَتطهيرَالقلب‬،‫وتفرغهَمنَالعَلئقَوالشواغل‬
َ‫َمنَغيرَأن‬،‫َبلَتُسلمَألربابها‬،‫َومنهاَماَالَتفهمهاَالعقولَوالَتحيطَبهاَالنقول‬،‫منهاَماَتفهمهاَالعقولَوتدخلَتحتَدائرةَالنقول‬
َ‫َومنهاَماَتفيض‬،‫َومنهاَماَتفيضَعليهمَفيَجانبَعلمَالغيوبَكمواقعَالقدرَوحدوثَالكائناتَالمستقبلة‬،‫يقتدىَبهمَفيَأمرها‬
َ‫َوباهلل‬.‫َإلىَغيرَذلكَمنَعلومَهللاَتعالى‬،‫َومنهاَفيَأسرارَالحروفَوخواصَاألشياء‬،‫عليهمَفيَعلومَالشرائعَوأسرارَاألحكام‬
‫التوفيق‬. Lihat Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo:
Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287.
24
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010,
h. 182-183
32

ِ‫ ِإل ِمن ِٱرتض َٰى ِمنِرسولِفِإنِۥه‬2٦ِ‫َٰعلم ِٱلغيب ِفل ِيظهر ِعل َٰى ِغيبِٓهۦ ِأحدا‬

ِ2٧ِ‫يسلكِمنِبنيِيديهِومنِخلفهَِۦِرصدا‬

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, Maka Dia


tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.
Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

Penulis tidak menemukan adanya ayat secara qat’iy yang


melegalisasi bahwa selain nabi/rasul akan memperoleh ilmu ladunni.
Akan tetapi dengan memahami tafsiran firman Allah dalam QS. Fathir
(35):28, yakni

ٌِ ‫إَّناَِيشىِاَّللِمنِعبادهِالعلماءِإنِاَّللِعز ٌيزِغف‬
‫ور‬

dan hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa “ulama adalah


pewaris nabi”, praktis bahwa ilmu ladunni dapat saja diperoleh oleh
siapa selain nabi dengan syarat dia adalah ulama yang notabene sebagai
“pewaris nabi”. Pada sisi lain, dalam pandangan penulis bahwa potensi
“al-af’idah” atau “al-fu’ad” yang dianugerahkan Allah kepada manusia
itu, jika senantiasa dipelihara dengan baik, dalam artian manusia
mensucikan jiwanya dan menjernihkan kalbunya, praktis bahwa ilmu
ladunni tersebut akan dicapainya. Jadi, ilmu tidak selamanya diperoleh
melalui proses belajar-mengajar, tetapi ia adalah ilham yang
dinampakkan Allah ke dalam hati orang-orang yang dikehendakinya.

4. Kemuliaan Orang-orang yang Berilmu Menurut Al-Quran

Dalam sederetan ayat Al-Quran dikatakan bahwa manusia


adalah makhluk yang termulia. Faktor kemuliaan manusia disebabkan
ia memiliki ilmu pengetahuan, dan karena demikian sehingga malaikat
33

pun bersujud di hadapan Adam. Sekaitan dengan ini Abd Muin Salim
menyatakan bahwa para malaikat tidak mempunyai pengetahuan dan
kemampuan seperti yang dimiliki Adam. Ini berarti mereka mengakui
pula kelebihan yang dimiliki Adam, sehingga karena mereka
menghormat kepada Adam sesuai perintah Tuhan. Bagi keturunan
Adam yang berilmu itu, dijanjikan oleh Allah pada derajat yang lebih
tinggi. Dalam QS. al-Mujadalah (58): 11, Allah berfirman :

‫يرفعِٱَّللِٱلذينِءامنواِمنكمِوٱلذينِأوتواِٱلعلمِدر َٰجت‬

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu


dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Berkenaan dengan turunnya ayat tersebut, dijelaskan dalam


riwayat bahwa ketika di hari Jum'at Nabi saw. berada di suatu tempat
majelis ilmu yang sempit, saat mana tengah menerima tamu dari
penduduk Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar, tiba-tiba
sekelompok seorang yang didalamnya termasuk Tsabit bin Qais datang
dan ingin duduk di bagian depan tempat tersebut. Mereka berdiri
memuliakan Nabi saw. dan mengucapkan salam kepadanya. Nabi
menjawab salam yang lainnya. Mereka berdiri disampingnya dan
menunggu agar diberikan tempat agak luas. Namun orang yang dating
terdahulu tetap tidak memberikan peluang. Kejadian tersebut kemudian
mendorong Nabi saw. mengambil inisiatif dan berkata kepada sebagian
orang yang ada disekitarnya, berdirilah kalian, berdirilah kalian.
Kemudian berdirilah sebagian kelompok tersebut berdekatan dengan
orang yang datang terdahulu, sehingga Nabi saw. tampak menunjukkan
kekecewaannya dihadapan mereka. Dalam keadaan demikian itulah ayat
tersebut diturunkan.
34

Dengan mencermati sebab nuzul di atas, maka dapat dipahami


bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan "majelis ilmu". Hal ini
lebih jelas bila dikutip potongan ayat sebelumnya, yakni fil majalis
maksudnya adalah apabila kamu diminta berdiri selama berada di
majelis Rasulullah, maka segeralah berdiri. Masih terkait dengan sebab
nuzulnya, dapat dipahami bahwa ayat tersebut mendorong untuk selalu
diadakannya kegiatan majelis ilmu, karena dengan begitu maka orang
yang aktif di dalamnya akan diangkat derajatnya yang tinggi di sisi
Allah.
Abd Muin Salim yang di kutip oleh Muchlis Nadjmuddin25 juga
menegaskan bahwa QS. Al-Mujadalah (58): 11 (di atas pen.)
menunjukkan bahwa Al-Quran memberikan kedudukan lebih tinggi
kepada orang yang beriman dan berilmu. Hanya saja, yang menjadi
permasalahan sekaitan dengan ayat tersebut adalah : siapakah yang
paling tinggi derajatnya disini. Apakah orang yang beriman? Atau orang
yang berilmu? Atau keduanya memperoleh derajat yang sama? Menurut
penulis, jawabannya adalah terlebih dahulu harus diinterpretasikan term
utul ilm yang terdapat dalam ayat tersebut.
Term utul ilmi kelihatannya semakna dengan term (1) ulul al-ilm
dalam QS. Ali Imran (3): 18; (2) al-rasikhun fi al-ilm dalam QS. Ali
Imran (3): 7; (3) al-alimun dalam QS. al-Ankabut (29): 43; (4) al-ulama
dalam QS. Fathir (35): 28; (5) ulu al-bab dalam QS. al-Talaq (65): 10.
Semua term ini menunjuk pada pengertian bahwa prasyarat orang
berilmu menurut Al-Quran adalah harus beriman. Di samping ilmu-ilmu
yang dikuasainya harus pula didasari nilai-nilai keimanan kepada Allah
dan disertai dengan niat yang ikhlas, baik dan dimanfaatkan ke jalan
yang benar sesuai tuntunan ajaran agama. Dengan kata lain, orang yang

25
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010,
h. 185
35

berilmu harus juga mengantarkan dirinya kepada amal dan karya yang
bermanfaat.26
Berdasar pada interpretasi di atas, maka dapat dirumuskan
bahwa orang yang beriman tidak diangkat derajatnya bilamana ia tidak
berilmu. Demikian pula sebaliknya, orang yang berilmu tidak diangkat
derajatnya bila ia tidak beriman. Karena itu, ilmuan yang diangkat
derajatnya yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah mereka memiliki
spiritualitas keagamaan yang tinggi.

B. Metode Mempelajari Ilmu Ladunni


Muhammad Luthfi Ghazali dalam bukunya Sejarah Ilmu Laduni
mengutip pendapat Al-Imam As-Suyuti yang mengatakan:

Banyak orang mengira, bahwa ilmu laduni itu sangat sulit untuk
didapat. Mereka berkata; ilmu laduni itu berada di luar jangkauan
kemampuan manusia. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Untuk
mendapatkan ilmu laduni itu, caranya hanya dengan jalan membangun
sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab itu
adalah amal dan zuhud.27
Adapun al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Akhmad Shodiq
menjelaskan bahwa ilmu ladunni dapat dicapai dengan tiga model
pendidikan, yaitu28:

1. Dengan cara menggali seluruh ilmu dan mengambil bagian


terpentingnya.
2. Dengan cara melakukan latihan rohani (riyadhah) yang benar
dan pendekatan pada Allah (muraqabah) yang saleh. Jalan
kedua ini merupakan jalan sufi. Al-Ghazali mendasarkannya
pada hadis-hadis Nabi yang mengisyaratkan hakikat ilmu ini,
yaitu:

26
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010,
h. 186
27
Muhammad Luthfi Gahzali, Sejarah Ilmu Laduni, (Semarang: Abshor, 2008) h. 4
28
Akhmad Shodiq, Op. Cit., h. 91.
36

ِ‫منِعملِمباِعلمِأورثهِللاِالعلمِماَِلِيعلمِ(رواهِأبوِنعيمِمنِأنس‬

)ِ‫بسندِضعيف‬
Beliau juga bersabda:

ِ‫منِاخلصِهللِأربعنيِصباحاِاظهرِللاِتعاَلِالكمةِمنِقلبهِعلى‬

)ِ‫لسانهِ(رواِهِأبوِنعيمِمنِأبوِأيوبِبسندِضعيف‬
3. Dengan kontemplasi (tafkir). Apabila jiwa telah terdidik dan
mencintai ilmu, secara otomatis akan terjadi proses kontemplasi
(tafkir). Pada saat itu hasil pikir akan sangat ditentukan oleh cara
yang ditempuh. Jika cara yang ditempuh salah, ia akan terjatuh
pada lembah kehinaan yang merugikan. Jika pemikir itu
menempuh jalan yang benar jadilah ia cendikiawan yang
tercerahkan (dzawiy al-albab). Pada saat itu akan terbuka
baginya timbangan (mizan) kebenaran yang ada dalam hatinya,
sehingga ia menjadi ilmuwan (‘alim) yang sempurna, intelektual
(‘aqil) yang kokoh

C. Hasil Penelitian Yang Relevan

Adapun Hasil Penelitian yang Relevan dengan penelitian Penulis adalah


sebagai Berikut:
1. “Metode Pembelajaran Dalam Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
(Telaah Tafsir Surat al-Kahfi ayat 60–82). Ditulis oleh Annisa
Aprilyanti Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Pendidikan Agama Islam tahun 2017, di dalam penelitiannya tersebut
penulis menjabarkan macam-macam metode yang terjadi dalam proses
pembelajaran nabi Musa kepada Nabi Khidir yang diantaranya adalah;
Pertama, Metode Demonstrasi, kedua, Metode Tanya Jawab dan yang
Ketiga, Metode Hukuman. Sedangkan dalam penelitian yang sedang
37

penulis lakukan adalah mencari konsep ilmu Ladunni yang terdapat


dalam surat al-Kahfi ayat 65.
2. “Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali” ditulis oleh Agus Sutiyono
IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2013. Di dalam penelitiannya
tersebut penulis menjabarkan bagaimana Imam al-Ghazali menjelaskan
tentang Ilmu Ladunni dan bagaimana agar bisa mendapatkannya.
Sedangkan penulis menjabarkan tentang ilmu Ladunni tafsiran dari surat
al-Kahfi ayat 65 dan menjabarkannya menurut beberapa ulama
terdahulu juga ulama modern
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian


Objek yang akan diteliti pada kesempatan kali ini adalah Konsep
Ilmu Ladunni yang terdapat di dalam Al-Quran sebagai tafsiran dari surat
al-Kahfi ayat 65 dengan contoh perjalanan Nabi Musa untuk mencari ilmu
kepada Nabi Khidir, serta bagaimanakah metode yang untuk memperoleh
ilmu ladunni.
Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu
terhitung dari mulai bulan Januari sampai dengan September 2018, dengan
mengumpulkan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari
berbagai sumber buku dan kitab tafsir yang ada di perpustakaan, artikel,
jurnal, serta website yang berhubungan dengan penelitian.

B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif.
Menurut Lexy J. Moleong, “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.,
secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah”.1 Dalam hal ini, penulis menggunakan
pendekatan deskriptif analisis dengan menggunakan metode kajian analisis
berupa studi kepustakaan (Library Research). Menurut Mestika Zed, studi
pustaka ialah “Serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian”.2 Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan dengan cara

1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013), Cet. 31, h. 6
2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), h. 3

38
39

membaca, mengkaji, menelaah, mendeskripsikan, dan menganalisa buku-


buku teks, baik yang bersifat teoritis maupun empiris. Dalam hal ini, sumber
data penelitian berasal dari literatur-literatur yang berkaitan dengan tema
penelitian ini.

Dalam ilmu tafsir, terdapat dua metode penafsiran yaitu tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bil ra’yi. Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran
dengan menggunakan dalil Al-Quran itu sendiri, hadits Nabi SAW,
pendapat para sahabat dan perkataan para tabi’in yang menjelaskan maksud
dan makna dari nash-nash Al-Quran. Sedangkan tafsir bil ra’yi adalah
metode penafsiran Al-Quran berdasarkan ijtihad mufassirnya dengan
3
menjadikan akal pikiran (ra’yi) sebagai pendekatan utamanya. Menurut
pendapat Abd al-Hayy al-Farmawi yang dikutip oleh Muhammad Amin
Suma, menyebutkan metode penelitian tafsir dengan corak penalaran (bil
ra’yi) terbagi menjadi empat macam, yaitu: tafsir al-taḫlili, tafsir al-ijmali,
tafsir al-muqaran, dan tafsir al-maudhu’i.4

Penelitian ini merupakan penelitian tafsir, dengan menggunakan


corak penalaran (bil ra’yi) dengan metode tahlili (deskriptif analisis).
Menurut M. Quraish Shihab, metode tahlili (deskripstif analisis) adalah
pengkajian arti dan makna serta maksud dari ayat-ayat Al-Quran terkait
dengan menjelaskan ayat per-ayat sesuai urutan dalam mushaf melalui
penafsiran kosakata, penjelasan asbâbun nuzûl, munasabah ayat serta
kandungannya sesuai dengan keahlian mufassir.5

C. Fokus Penelitian
Menurut Sugiyono, “Batasan masalah dalam penelitian kualitatif
disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat

3
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana Pustaka,
2005), h. 18-19
4
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Ed. I, Cet. I,
h. 378-379
5
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 117.
40

umum”.6 Melihat dari pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa


yang ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penelitian
ini, yaitu kajian tafsir mengenai Konsep Ilmu Ladunni yang terdapat dalam
Al-Quran (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65) serta upaya apa saja yang
dapat kita lakukan sehingga kita bisa mendapatkan Ilmu Ladunni. Akan
tetapi, penulis juga menyertakan surat al-Kahfi ayat 60-64 dan ayat 66 untuk
membantu memahami latar belakang dan metode mendapatkan ilmu
ladunni dengan memanfaatkan munasabah antar ayat.

D. Prosedur Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil data dari beberapa
sumber buku yang berhubungan erat dengan pembahasan yang akan
penulis bahas yang disebut dengan istilah “library research” (penelitian
kepustakaan) yakni pengambilan data dari buku-buku atau karya ilmiah
yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik berupa tafsir,
Al-Quran, dan ilmu ladunni.

Sedangkan dalam metode pembahasan menggunakan metode


deskriptif analisis, yaitu:

1. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengumpulkan
beberapa literatur-literatur atau buku-buku yang terdiri dari data
primer dan data sekunder, yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu literatur-literatur karya
peneliti atau teoritis yang orisinil. Dalam hal ini,
sumber data primer yang digunakan adalah kitab-
kitab tafsir yang membahas tentang surat al-Kahfi
ayat 65, diantaranya:
1) Al-Quran dan Terjemahnya

6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2006), Cet. I, h. 233
41

2) Kitab Tafsir (Tafsir Al-Mishbah, Mafatih al-


Ghaib, dan Al-Bahr Al-Madid)
3) Hadits-hadits Nabi dalam kitab Shahih Bukhari
dan Muslim
4) Al-Risalah Al-Ladunniyah karangan Imam Al-
Ghazali
5) Epistemologi Islam karya Dr. Akhmad Sodiq,
M.A.
b. sumber sekunder sebagai berikut:
1) Tafsir yang berkaitan dengan pembahasan
2) Buku-buku, Ebook dan Jurnal yang berkaitan
dengan Al-Quran, ilmu ladunni dan cara
mendapatkannya
3) Kamus-kamus yang relevan dengan pembahasan

Dan literatur lain yang dianggap relevan dengan


pembahasan

2. Analisis Data
Untuk teknik analisis data, dalam mengambil
kesimpulan bersumber dari data-data yang telah didapat, baik
data primer maupun data sekunder.
Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat
peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara
mengorganisasikan data, memilah mana data yang
sesungguhnya penting atau tidak, ukuran penting atau tidaknya
mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab
fokus penelitian, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola dan hubungan-hubungan.7 Oleh karena itu, untuk teknik
analis data, dalam mengambil kesimpulan bersumber dari data-

7
Lexy J. Moleong, Op. Cit.,, h. 248
42

data yang telah didapat, baik dalam data primer maupun data
sekunder. Penelitian tafsir adalah suatu ragam acuan atau
pedoman dari sebuah penyelidikan secara seksama terhadap
penafsiran Al-Quran yang pernah dilakukan oleh generasi
terdahulu untuk mengetahui secara pasti mengenai berbagai hal
yang terkait.8 Dalam buku Membumikan Al-Quran karya M.
Quraish Shihab, bahwa beliau menjelaskan proses menggunakan
metode tahlili adalah menguraikan segala sesuatu yang dianggap
perlu oleh seorang mufassir.9 Karena penelitian ini
menggunakan metode penafsiran tahlili (deskriptif analisis),
maka penulis akan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam surah al-
Kahfi ayat 65, serta menerangkan makna-makna yang tercakup
didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir
yang menafsirkan ayat tersebut. Dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Menguraikan kosa kata yang terdapat pada ayat tersebut,
dalam penelitian ini berarti peneliti memulai dengan
mengartikan kosa kata-kosa kata yang akan diteliti oleh
penulis, yaitu dalam surat Al-Kahfi ayat 65
b. Kemudian menjelaskan munasabah atau hubungan ayat
yang terkait dengan ayat yang akan diteliti. Dengan
demikian, penulis berarti menguraikan munasabah yang
terkait dengan surat Al-Kahfi ayat 65
c. Menjelaskan asbab al-nuzul ayat apabila terdapat riwayat
mengenainya. Dalam penelitian ini, penulis menguraikan
asbab al-nuzul yang terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 65

8
Rosihon Anwar, dkk., Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), Cet. III,
h. 201
9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 67
43

d. Lalu menjelaskan hal-hal lain yang berkaitan dengan ayat


yang akan diteliti. Dalam hal ini, penulis menjelaskan makna
yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 65.10
3. Penarikan Kesimpulan
Setelah penulis mengumpulkan bahan-bahan yang
berhubungan dengan masalah yang akan di bahas dalam
skripsi ini, kemudian penulis analisis dan narasikan untuk
diambil kesimpulan.

10
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 68.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Tafsir Ayat

1. Kisah Pertemuan Nabi Musa dan Khidir


Untuk memahami tafsir ayat 65 tentu harus dipahami latar belakang
pertemuan antara Nabi Musa dan Khidir1 yang termaktub pada ayat 60-
64.

ِ‫وإذِقالِموسىِلفتاهِلِأب رحِحَّتِأبِلغَِممعِالبحرينِأوِأمضيِحقبا‬

ِ‫)ِف لماِب لغاَِممعِب ينهماِنسياِحوَتماِفاَّتذِسبيلهِِفِالبحرِسرب‬٦0(

ِ‫)ِف لماِجاوزاِقالِلفتاهِآتناِغِداءنِلقدِلقيناِمنِسفِرنِهذاِنصبا‬٦1(

ِ‫)ِقالِأرأيتِإذِأوي ناِإَلِالصخرةِفإّنِنسيتِالوتِوماِأنسانيهِإل‬٦2(

ِ‫)ِقالِذلكِم ِاِكناِن بغ‬٦3(ِ‫الشيطانِأنِأذكرهِواَّتذِسبيلهِِفِالبحِرِعجبا‬

)٦4(ِِ‫فارتداِعلىِآثِرِهاِقصصا‬
Quraish Shihab menjelaskan awal kisah tersebut dengan mengutip
dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Ibn
Abbas bahwa Ubay bin Ka’ab berkata bahwa dia mendengar Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya Musa tampil berkhutbah di depan Bani
Israil, lalu dia ditanya, ‘siapakah orang yang paling dalam ilmunya?’,
Musa menjawab, ‘saya’. Maka Allah mengecamnya karena dia tidak
mengembalikan pengetahuan tentang hal tersebut kepada Allah. Lalu
Allah mewahyukan kepadanya bahwa, ‘Aku mempunyai seorang
hamba yang berada di pertemuan dua lautan. Dia lebih mengetahui

1
Mayoritas ulama memfathahkan huruf kha sehingga dibaca Khadir. Lihat al-Alusi, Ruh
al-Ma’any, Juz 8, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2013), h. 301.

44
45

daripada engkau’. Nabi Musa as. bertanya , ‘Tuhan, bagaimana aku


dapat bertemu dengannya?’ Allah berfirman,’ambillah seekor ikan, lalu
tempatkan ia di wadah yang terbuat dari daun kurma lalu di tempat
mana engkau kehilangan ikan itu, maka di sanalah dia’”.2
Allah menerangkan kepada Nabi Musa bahwa hamba tersebut lebih
mengetahui, maksudnya ia dilimpahi ilmu hakikat dari sisi-Nya.
Sedangkan posisi Nabi Musa saat itu sebagai rasul yang bertugas
menjaga syariat yang Allah turunkan kepada Bani Israil. Sehingga
pengetahuan yang dilimpahkan kepada Nabi Musa adalah pengetahuan
syariat. Jika diibaratkan, antara Nabi Musa dan hamba itu memiliki
keunggulan masing-masing. Nabi Musa diminta oleh Allah untuk
mempelajari keunggulan hamba tersebut, yang tidak lain berkat
limpahan ilmu dari Allah sendiri.
Kemudian Nabi Musa berangkat untuk menemui hamba Allah
tersebut dengan membawa seorang pembantu dan makanan serta seekor
ikan yang telah mati. Tekadnya yang kuat diperlihatkan melalui kalimat

ِ‫لِأب رحِحَّتِأب لغَِممعِالبحرين‬aku tidak akan berhenti sebelum sampai


kepada pertemuan dua arus lautan.
Dalam pendapat lain, kemungkinan ikan tersebut telah dimasak
karena ia ditempatkan pada wadah kurma dan baru diketahui hilangnya
saat hendak dimakan. Sebagian pendapat menyebutkan pembantu
tersebut adalah Yusya bin Nun.3 Tampaknya Ibnu Ajibah berpendapat
bahwa Yusya’ juga termasuk Nabi, dengan memberikan gelar
‘alaihima al-salam saat menyebut Yusya’ dan Musa.4ِ

2
Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Volume 8,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 89.
3
Yusya adalah satu di antara dua belas orang yang diutus untuk memata-matai penduduk
Kan’an di daerah Halab (sekarang Aleppo di Suriah) serta Hebron di Palestina. Menurut Ibn
Asyur, dia lahir sekitar 1463 SM dan wafat sekitar 1353 SM dalam usia 110 tahun. Ibid., h. 90-91.
4
Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo: Doktor
Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287.
46

Tatkala di perjalanan, mereka berdua singgah pada malam hari di

suatu pantai. Pada pantai itu ada َ ِ‫الصخرة‬batu yang di sisinya terdapat

mata air kehidupan. Tidak seorangpun yang menyentuhnya kecuali


akan hidup dengan umur panjang.5 Mereka berdua tidur di tempat itu.
Beberapa saat Yusya’ bangun dan berwudhu di mata air. Ternyata ikan
yang dibawa sebagai bekal perjalanan mereka berdua terkena percikan

airnya. Ikan itu hidup kembali lalu َِ‫ِسرب‬ ‫فاَّتذ ِسبيله ِِف ِالبحر‬
menceburkan dirinya ke laut dengan cara seperti orang yang hilang
masuk ke terowongan atau lubang di dalam tanah. Dalam arti, lenyap

begitu saja. Hal ini membuat Yusya’ ِ‫عجبا‬terheran-heran.

Nabi Musa pun bangun dan mereka berdua melanjutkan perjalanan.


Sampailah mereka pada tengah hari dan Nabi Musa mulai merasa lapar.

Nabi Musa berkata kepada Yusya’ ِ‫آتنِاِغداءن ِلقِد ِلقيناِمن ِسفرن ِهذا‬

َ ‫نصبا‬untuk memberikan bekal yang mereka bawa untuk dimakan. ِ‫لقد‬

ِ‫لقيناِمنِسفرنِهذاِنصبا‬juga mengisyaratkan betapa lapar dan lelahnya


Nabi Musa dalam perjalanan tersebut. Akan tetapi, saking ajaibnya
peristiwa terceburnya ikan yang mereka bawa ke laut, Yusya’ sampai
lupa untuk memberitahukan hal itu kepada Nabi Musa. Kemudian

Yusya’ berkata, ِ ‫“فإّن ِنسيت ِالوت‬aku benar-benar dibuat takjub

hingga lupa memberitahumu wahai Nabi”, َِ‫“ ِوماِأنسانيهِإلِالشيطان‬dan

aku tidaklah lupa kecuali dilalaikan oleh syaitan”. Perkataan ini


tidaklah keluar kecuali karena adab kepada Allah. Yusya’ menisbatkan

5
Ibid.
47

kealpaannya kepada syaitan, walaupun hakikatnya segala yang terjadi


adalah kehendak Allah. Karena syaitanlah yang selalu membisikkan
was-was kepada manusia sehingga lalai dari mengingat Allah.

Ketika mengetahui hal tersebut, Nabi Musa berkata َِ‫ذلكِماِكناِن بغ‬

itulah tempat yang kita tuju. Keduanya َ‫فارتداِعلىِآثرِها‬kembali dengan

mengikuti َ ‫قصصا‬jejak kaki yang tercetak di atas pasir. Akhirnya

mereka bertemu dengan hamba Allah itu, yakni Khidir6, yang


mengenakan baju hijau dan berada di atas permadani hijau di
permukaan air7. Mereka mengucapkan salam kepadanya. Khidir
menjawab salam mereka dengan perkataan, “semoga keselamatan
untukmu juga, wahai nabi kaum Bani Israil”. Nabi Musa bertanya,
“siapa yang memberitahumu bahwa aku adalah nabi kaum Bani
Israil?”. Khidir menjawab, “Dialah (Allah) yang memberitahuku, juga
memberitahumu.”8ِ

2. Tentang Ilmu Ladunni


Allah menerangkan bahwa Khidir dianugerahi oleh-Nya rahmat dan
ilmu dari sisi-Nya. Sebagaimana dalam ayat 65,

)٦5(ِ‫ف وجداِعبداِمنِعبادنِآت ي ناهِرحةِمنِعندنِوعلمناهِمنِلدنِعلما‬

6
Para ulama berbeda pendapat mengenai status Khidir seorang nabi atau wali dan masih
hidup atau sudah wafat. Ibnu Ajibah memilih pendapat bahwa Khidir adalah nabi dan diberikan oleh
Allah nikmat umur yang panjang. Hal ini karena Khidir dikisahkan bertemu dengan banyak wali
dan shalihin, sehingga kesaksian bahwa Khidir masih hidup mencapai derajat mutawatir. Lihat Ibnu
Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo: Doktor Hasan Abbas
Zaki, 1998), h. 288.
7
Al-Alusi, Op. Cit., h. 302.
8
Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo:
Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 288.
48

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Khidir dianugerahi rahmat ِ‫من‬

ِ‫ عندن‬dan ilmu ِ‫منِلدن‬, yang keduanya bermakna dari sisi Kami. Al-
Biqa’i menulis pendapat Abu al-Hasan al-Harrali, kata ‘inda dalam
bahasa Arab adalah menyangkut sesuatu yang jelas dan tampak,
sedangkan kata ladun untuk sesuatu yang tidak tampak. Thabathaba’i
berpendapat kata rahmat yang disandingkan dengan ‘indina bermakna
rahmat kenabian. Sehingga memperkuat argumentasi Ibnu Ajibah
bahwa Khidir seorang nabi. Kata ladun yang disandingkan dengan kata
ilm mengisyaratkan mengenai ilmu hakikat yang dilimpahkan oleh
Allah kepada Khidir.9

Sejalan dengan itu, al-Nasafi menjelaskan kalimat ِ‫آت ي ناه ِرحة ِمن‬

ِ ‫عندن‬yang dimaksud dengan rahmat adalah wahyu dan kenabian atau

ilmu atau panjang umurnya Khidir. Sedangkan kalimat ِ‫وعلمناهِمنِلدن‬

ِ ‫علما‬maknanya adalah berita dari alam gaib. Dalam pendapat lain

maknanya adalah ilmu ladunni yaitu ilmu yang didapatkan seorang


hamba melalui jalan ilham.

Ibnu Ajibah menjelaskan ilmu ladunni adalah ilmu yang


dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal tersebut didapatkan
setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan kotoran serta
meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika proses
penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh Allah
ke hadirat-Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-
rahasia rabbaniyah. Di antaranya adalah ilmu yang dapat diserap oleh

9
Quraish Shihab, Op. Cit., h. 95-96.
49

akal melalui pemahaman nash dan ilmu yang tidak mampu diserap akal
serta tidak terlingkup dalam nash akan tetapi mampu diterima karena
bersumber dari-Nya dan perkara itu tidak mampu ia laksanakan.
Kemudian ilmu yang berkaitan dengan hal gaib seperti peristiwa takdir
dan kejadian-kejadian di masa yang akan datang, ilmu yang terkait
dengan perkara-perkara syariat dan rahasia-rahasia hukum, ilmu tentang
rahasia kekhususan huruf-huruf dan simbol, dan ilmu lainnya yang
dilimpahkan dari luasnya samudera ilmu Allah.10

Fakhruddin al-Razi (selanjutnya ditulis al-Razi) dalam

menjelaskan kalimat ‫وعلمناه ِمن ِلدن ِعلما‬ menjabarkan tentang

pengetahuan dan metode memperoleh ilmu. Menurut al-Razi, terdapat


dua jenis pengetahuan dilihat dari hasilnya yaitu tashdiq dan tashawwur.
Jika pengetahuan itu dapat dihukumi (benar atau salah), maka itu adalah
hasil dari tashdiq. Jika pengetahuan itu tidak dapat diverifikasi benar
atau salah, akan tetapi hanya mampu dirasakan oleh jiwa, maka itu
adalah hasil dari tashawwur.11 Lebih lanjut penjelasan tashdiq
merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan hal lain, misalnya
bersedekah itu digolongkan sebagai perbuatan baik karena menolong
orang yang kesusahan. Kata “karena” di situ merupakan bentuk kaitan
sebuah pengetahuan dengan hal lain. Sebaliknya, tashawwur merupakan
pengetahuan yang berdiri sendiri, yang tergambar di dalam jiwa.
Misalnya seorang anak melihat rumah yang indah. Rumah itu akan

10
Nukilan asli: َ‫َهوَالذيَيفيضَعلىَالقلبَمنَغيرَاكتسابَوال‬:‫َالعلمَاللدني‬،ً‫علَّ ْمناهَُمِ ْنَلَدُنَّاَع ِْلما‬ َ ‫َو‬:‫وقولهَتعالى‬
َ
َ،‫َوذلكَبعدَتطهيرَالقلبَمنَالنقائصَوالرذائل‬.َ»‫َُعلم َ َماَلَ ْم َ َي ْعلَ ْم‬
َ ‫هللا‬ َُ ‫ه‬َ ‫ث‬‫ر‬ ‫و‬َ ‫أ‬َ ‫ِم‬
‫ل‬
َ ْ َ َ َِ ‫ع‬ َ ‫ا‬‫م‬ ‫ب‬َ ‫ل‬
َ ‫ع‬
ِ‫َم‬ َ‫َ«من‬:‫َلم‬ ‫صَلةَوالس‬ ‫َقالَعليهَال‬،‫تعلم‬
َ،‫َواألسرارَالربانية‬،‫َفاضتَعليهَالعلومَاللدنية‬،‫َوانجذبَإلىَحضرةَالرب‬،‫َفإذاَكملَتطهيرَالقلب‬،‫وتفرغهَمنَالعَلئقَوالشواغل‬
َ‫َمنَغيرَأن‬،‫َبلَتُسلمَألربابها‬،‫َومنهاَماَالَتفهمهاَالعقولَوالَتحيطَبهاَالنقول‬،‫منهاَماَتفهمهاَالعقولَوتدخلَتحتَدائرةَالنقول‬
َ‫َومنهاَماَتفيضَعليهم‬،‫َومنهاَماَتفيضَعليهمَفيَجانبَعلمَالغيوبَكمواقعَالقدرَوحدوثَالكائناتَالمستقبلة‬،‫يقتدىَبهمَفيَأمرها‬
‫َوباهللَالتوفيق‬.‫َإلىَغيرَذلكَمنَعلومَهللاَتعالى‬،‫َومنهاَفيَأسرارَالحروفَوخواصَاألشياء‬،َ ‫فيَعلومَالشرائعَوأسرارَاألحكام‬.
Lihat Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo: Doktor
Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287.
11
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,
1999), Cet. 3, h. 482.
50

berada dalam ingatannya. Bentuk atapnya, jumlah pintunya, warna-


warni tanaman pada halamannya, dan seterusnya. Pengetahuan
tashawwur tidak terkait dengan hal lain di luar gambaran itu.
Selanjutnya cara memperolehnya terbagi atas dua metode yaitu nazhari
dan kasbi.

Metode nazhari adalah metode untuk mendapatkan ilmu yang


tidak memerlukan usaha dan penelitian. Hal ini karena secara otomatis
akal dan jiwa mampu mengetahuinya. Pengetahuan tashawwur yang
diperoleh melalui metode ini misalnya pengetahuan manusia akan rasa
sakit dan nikmat. Sedangkan pengetahuan tashdiq misalnya eksistensi
(wujud) dan ketiadaan (‘adam) merupakan dua hal yang bertentangan
dan tidak mungkin berada dalam satu kondisi. Eksistensi pasti akan
menegasikan ketiadaan, begitupun sebaliknya. Pengetahuan tashdiq
menghasilkan sebuah hukum atas perkara, dalam contoh di atas, ada
atau tiadanya sesuatu.12

Kemudian metode kasbi adalah metode untuk mendapatkan ilmu


melalui usaha. Hal ini dikarenakan jiwa tidak memiliki informasi dasar
sehingga memerlukan informasi dari luar untuk mengolahnya menjadi
pengetahuan. Dalam metode kasbi terdapat dua cara untuk memperoleh
informasi. Cara yang pertama adalah melalui proses berpikir,
mengobservasi, dan meneliti. Pada cara ini subjek berperan aktif dalam
menggali informasi dari objek. Hasil akhir dari cara pertama ini adalah
rumpun ilmu alam, sosial, dan agama (syariat). 13

Adapun cara yang kedua adalah melalui metode mujahadah dan


riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya khayaliyah14 serta

12
Ibid.
13
Ibid.
14
Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-
51

menguatkan daya aqliyah. Saat daya aqliyah menguat, maka nur ilahiy
akan nampak pada inti akal yang murni. Maka saat itulah akal dilimpahi
ma’rifat dan kesempurnaan ilmu pengetahuan. Pada proses ini subjek
berperan aktif untuk menyiapkan wadah yang diperlukan untuk
menampung limpahan nur ilahiy. Hasil akhir dari cara kedua ini adalah

ilmu ladunni. Inilah yang dimaksud dengan kalimat ِ‫آت ي ناهِرحةِمنِعندن‬

ِ‫وعلمناهِمنِلدنِعلما‬menurut al-Razi. 15

Menurut penulis, ayat ini memiliki beberapa pelajaran. Pertama,


ayat ini menerangkan bahwa seorang pelajar harus memiliki tekad untuk
mendatangi ilmu. Hal ini dijelaskan oleh Nabi Musa yang memiliki
tekad untuk bertemu dan belajar kepada Khidir. Bahkan tekad itu

dibulatkan dengan kalimat َ ‫أو ِأمضي ِحقبا‬yang bermakna bahwa Nabi

Musa tidak akan pernah berhenti dalam perjalanan mencari ilmu itu.

Kedua, kata ِ‫علمناه‬ menjelaskan bahwa pendidik yang hakiki

adalah Allah. Hal ini juga sejalan dengan makna surat al-Fatihah ayat 2

yaitu َ ‫ المد َِّلل ِرب ِالعالمني‬segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.

kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi
Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 35-36.
15
Ibid., h. 482-483.
52

Kata rabb pada ayat ini salah satu maknanya adalah pendidik. Jika
penulis memperluas makna ayat tersebut memiliki arti segala puji bagi
Allah Tuhan yang mendidik seluruh alam, termasuk manusia. Sehingga
hakikatnya, manusia adalah objek didikan Allah. Adanya subjek kami

pada ِ‫ علمناه‬memberikan isyarat bahwa Allah melibatkan pihak lain

dalam proses pendidikan rabbaniy. Pihak yang dimaksud jika dalam


surat al-Fatihah ayat 2 adalah alam dan segala isinya sebagai objek
informasi yang diteliti dan diobservasi oleh manusia yang menghasilkan
rumpun ilmu alam, sosial, dan syariat. Maka pihak yang dimaksud
dalam surat al-Kahfi ayat 65 ini adalah malaikat yang menyampaikan
ilham dari Allah kepada manusia berupa ilmu ladunni.

Ketiga, kata ِ‫آتِي ناه‬ mengisyaratkan tidak semua ilmu mampu

manusia dapatkan dengan belajar. Akan tetapi ada ilmu yang didapatkan
dengan cara objek ilmu tersebut yang mendatangi manusia. Contohnya
adalah komet. Manusia tidak kuasa mendatangkan komet. Akan tetapi
kometlah yang mendatangi manusia. Sedangkan manusia di bumi hanya
mempersiapkan alat untuk mengamati dan mengabadikan momen yang
mungkin terjadi dalam hitungan tahun hingga puluhan tahun. Dari
proses mengamati itu kemudian muncul penelitian yang mengolah
informasi tentang komet itu menjadi pengetahuan. Artinya, dalam
realita memungkinkan ilmu mendatangi manusia, yaitu ilmu ladunni.

Keempat, kata ِ ‫علمناه‬menunjukkan bahwa pada hakikatnya

seluruh ilmu pengetahuan yang ada merupakan pengejawantahan dari


samudera af’al Allah. Ilmu merupakan wilayah kekuasaan Allah yang
akan Allah berikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Manusia
sebagai ciptaan Allah yang dianugerahi daya akal sebagai potensi
tempat menampung nur ilahiy harus mampu menjernihkan jiwanya
53

untuk dapat mengaktualisasikan potensi tersebut. Yaitu dengan


memelihara batin dari dosa.

Sesungguhnya Allah telah menunjukkan kepada manusia


bagaimana cara untuk mendapatkan ilmu ladunni pada rangkaian ayat
selanjutnya, yaitu ayat 66-82. Pada skripsi ini penulis memfokuskan
pembahasan pada metode yang Allah jelaskan secara tersirat di
rangkaian ayat tersebut secara deskriptif.

3. Nabi Musa sebagai Perwujudan Murid Ideal

Al-Quran merupakan perbendaharaan kalamullah yang sangat kaya


akan pelajaran dan hikmah. Termasuk di antara mujizatnya adalah
kesinambungan antar ayat dan antar surat, yang dikenal dengan istilah
munasabah. Munasabah adalah keterkaitan dan keterpaduan hubungan
antara bagian-bagian ayat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam al-Quran.16
Berkaitan dengan hal itu, penulis berpendapat bahwa Allah tidaklah
menunjukkan kepada manusia tentang ilmu ladunni, kecuali Allah juga
menunjukkan metode untuk mendapatkannya. Pada sub-bab sebelumnya
penulis telah menjabarkan latar belakang pertemuan Nabi Musa dan
Khidir serta makna dari ilmu ladunni yang Allah anugerahkan kepada
Khidir. Pada sub-bab ini penulis hendak menjabarkan mengenai metode
mendapatkan ilmu ladunni berdasarkan penafsiran QS al-Kahfi ayat 66.

‫قالِلهِموسىِهلِأتبعكِعلىِأنِت علمنِِماِعلمتِرشدا‬
Artinya: Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar
engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan
kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”
Ayat ini mengandung pelajaran betapa halusnya akhlak Nabi Musa
kepada Khidir. Dalam ayat ini Nabi Musa digambarkan sebagai murid

16
Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2009), cet. 3, h. 242.
54

yang ideal. Al-Razi dalam tafsirnya menjabarkan 12 pelajaran yang


ditunjukkan pada ayat ini, yaitu17:
1. Nabi Musa menjadikan dirinya sebagai pengikut Khidir dengan

kalimat ‫ك‬
ِ ‫هلِأتبع‬.
2. Nabi Musa yang memiliki kekuasaan sebagai nabi tetap meminta izin
kepada Khidir untuk belajar kepadanya. Hal tersebut ditunjukkan

dengan kalimat ‫ك‬


ِ ‫هل ِأتبع‬. Artinya Nabi Musa mampu melepaskan

jubah kekuasaannya dan merendahkan ucapannya di depan Khidir.


Kata-katanya yang lembut dan penuh adab tersebut tidaklah datang
kecuali dari hati yang tawadhu.

3. Kalimat ِ ِ‫أن ِت علمن‬merupakan pengakuan atas kebodohan diri Nabi


Musa dan pengakuan atas kemuliaan pengetahuan yang dimiliki oleh
Khidir. Nabi Musa menganggap dirinya adalah gelas kosong yang
siap diisi oleh Khidir.

4. Kata ِ ‫من‬dalam kalimat ِ ‫ِما ِعلمت‬bermakna sebagian. Maksudnya


adalah Nabi Musa berharap Khidir mengajari sebagian saja dari ilmu
yang telah Allah berikan kepadanya. Bukan seluruh ilmu yang Khidir
miliki. Seolah-olah Nabi Musa berkata bahwa, “Aku tidak berniat
belajar kepadamu untuk menyaingimu wahai guru, akan tetapi cukup
bagiku sebagian saja dari ilmu yang engkau miliki agar aku
mendapatkan petunjuk”.

5. Kalimat ِ ‫عِلمت‬mengandung makna Nabi Musa mampu menata

hatinya dengan meyakini semua ilmu datang dari Allah. Dan Allah
telah memuliakan gurunya, yakni Khidir, dengan ilmu tersebut.

17
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,
1999), Cet. 3, h. 483-484.
55

Sangat penting bagi murid untuk menata hati demikian. Sebab jika ia
tidak meyakini bahwa ilmu datangnya dari Allah, ilmu tersebut tidak
akan mendatangkan manfaat bahkan cenderung membuat ia lalai dari
Allah. Kelalaian ini bisa berbentuk kesombongan, kedengkian
terhadap orang ‘alim, penyalahgunaan ilmu untuk kebatilan, bahkan
menutup mata hatinya dari cahaya iman, sebagaimana yang terjadi
pada kalangan atheis yang menuhankan sains dan meniadakan causa
prima dari seluruh kejadian di alam, yakni Allah. Di sini letak fungsi
agama sebagai pagar yang membatasi kegunaan ilmu hanya untuk
perkara yang mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat. Fungsi
ini akan muncul seiring kesadaran manusia bahwa satu-satunya
sumber ilmu adalah Allah.

6. Kalimat ِ‫رشدا‬menjelaskan tujuan belajar dari Nabi Musa adalah untuk

mencapai irsyad dari Allah. Irsyad adalah petunjuk atas kebenaran


hakiki. Jika tanpanya, maka dapat dipastikan seorang murid akan
tenggelam dalam kesesatan. Oleh karena itu, ilmu ladunni diraih
bukan untuk dipamerkan dan disombongkan, melainkan untuk
mengetahui kebenaran yang hakiki. Jika ada yang mengaku-aku telah
mendapatkan ilmu ladunni tetapi digunakan dalam rangka sombong
dan pamer, sungguh ia telah tersesat dari jalan Allah.

7. Kalimat ِ‫أنِت علمنِِماِعلمت‬merupakan permohonan Nabi Musa untuk

diajarkan sebagian ilmu yang dimiliki oleh Khidir sebagaimana


Khidir diajarkan oleh Allah. Permohonan ini mengisyaratkan bahwa
Nabi Musa memohon diberikan nikmat menuntut ilmu dari Khidir
sebagaimana ia diberikan nikmat ilmu oleh Allah. Hal itu sejalan

dengan adagium ِ‫“أنِعبدِمنِت علمتِمنهِحرفا‬Aku adalah hamba dari

seseorang yang mengajariku satu huruf”.


56

8. Kalimat ِ‫هلِأتبعك‬merupakan petunjuk bagi guru bahwa murid adalah

pengikutnya dalam cara berpikir dan bertindak. Maka menerima


murid dan mendidiknya sebagaimana ia dulu dididik adalah sebuah
kewajiban moral. Hal tersebut tercermin pada penerimaan Khidir
kepada Nabi Musa.

9. Kata ِ‫ك‬
ِ ‫أتبع‬bermakna murid mengikuti guru dalam segala kondisi.
Seorang pengikut sejati tidak sekedar mendengar, tapi mengikuti cara
berpikir, berucap, dan berperilaku serta taat pada perintah orang yang
diikutinya.
10. Semakin dalam ilmu yang dimiliki seseorang, maka akan semakin
besar perasaan suka cita dan bahagia pada dirinya. Penuntut ilmu
sejati akan berusaha keras untuk mendapatkan hal tersebut, dan juga
akan sangat menghormati pemilik ilmu (guru) dengan adab yang
sempurna. Hal ini ditunjukkan oleh Nabi Musa. Ia adalah nabinya
Bani Israil yang dianugerahi kitab Taurat. Nabi yang dipilih Allah
untuk bercakap-cakap dengan-Nya langsung tanpa perantara. Nabi
yang diberikan mukjizat yang melemahkan lawan-lawannya dan
menakjubkan bagi yang melihatnya. Derajat yang tinggi itu tidaklah
menghalangi Nabi Musa untuk datang kepada Khidir dengan penuh
ketawaduan. Seperti sebuah pepatah, padi semakin berisi akan
semakin merunduk, seperti itu pula akhlak Nabi Musa kepada Khidir.

11. Kalimat ِ ِ‫هل ِأتبعك ِعلىِأن ِت علمن‬menegaskan bahwa yang pertama


kali harus dilakukan murid kepada gurunya adalah khidmah. Khidmah
adalah bakti yang diberikan oleh murid kepada gurunya. Dalam artian
siap sedia membantu gurunya tanpa perlu diminta, tidak menolak
permintaannya, dan sigap dalam menjalani perintah. Khidmah ini
merupakan kunci meraih ridho guru. Apabila guru sudah ridho kepada
muridnya, maka guru tidak segan-segan untuk melimpahkan ilmunya
57

kepada murid itu. Langkah khidmah-ridho-ilmu ini tergambar dengan

kata َ‫ك‬
ِ ‫أتبع‬yang didahulukan dari kata ِ‫أنِت علمن‬.

12. Kalimat ِِ‫هلِأتبعكِعِلىِأنِت علمن‬menerangkan bahwa seorang murid

tidaklah mencari sesuatu dari gurunya kecuali ilmu. Kelurusan niat


seorang murid akan menentukan kesuksesannya mendapatkan
pelajaran dari gurunya.

Selain kedua belas pelajaran tersebut, ada pelajaran lain yang mampu
penulis tafsirkan dari keadaan Nabi Musa sebagai murid.

Pertama, Nabi Musa sebelum menuntut ilmu telah berada dalam


kesempurnaan ilmu syariat. Sehingga ia mampu berkata bahwa dirinyalah
orang yang paling pintar di dunia, walaupun hal itu ditegur oleh Allah
karena perbuatannya menyelisihi adab syariat yaitu takabbur. Artinya,
usaha untuk mendapatkan ilmu ladunni pertama-tama adalah menguasai
ilmu syariat. Ilmu syariat itu merupakan timbangan benar-salah dalam
proses mendapatkan pengetahuan gaib. Mengapa demikian? Karena pada
kenyataannya syetan mampu menggoda para salik sehingga seolah-olah
pengetahuan yang ia dapatkan dari Allah padahal itu hanyalah tipuan
syetan. Syetan akan mengajak salik untuk menyelisihi syariat. Akan
sangat berbahaya jika salik tidak menguasai ilmu syariat terlebih dahulu.

Kedua, penguasaan ilmu syariat juga merupakan prasyarat


seseorang untuk mendapatkan ilmu ladunni, sebagaimana hadits,

)‫منِعملِمباِعلمِأورثهِللاِالعلمِماَِلِيعلمِ(رواهِأبوِنعيم‬

Dan Nabi Musa sudah memenuhi prasyarat tersebut.

Ketiga, Nabi Musa ditegur oleh Allah karena sikapnya yang


menyelisihi adab syariat tersebut. Sebagai penebusannya, ia diminta
58

untuk mencari orang yang lebih tinggi ilmunya daripadanya, yaitu Khidir.
Penulis memaknai perintah Allah ini sebagai proses mujahadah riyadhah
Nabi Musa berupa tazkiyah (pensucian diri dari sifat buruk) dan tashfiyah
(penghiasan diri dengan sifat baik). Perjalanan tersebut ia lalui dengan
sungguh-sungguh, bahkan ia mengatakan jika perlu selamanya akan
berjalan dalam pencariannya itu demi memenuhi perintah Allah tersebut.
Artinya, dalam proses mendapatkan ilmu ladunni seorang murid harus
rela bersusah payah melakukan mujahadah riyadhah dengan tazkiyah dan
tashfiyah. Dan proses itu tidaklah keluar dari perintah Allah. Tidak
mungkin mujahadah riyadhah dilalui dengan menyelesihi perintah Allah.
Mujahadah riyadhah dilakukan dalam rangka menjalankan perintah Allah
dan menjauhi larangannya dengan sebaik-baiknya. Proses mujahadah
riyadhah tersebut sejalan dengan surat al-Ankabut ayat 69 yaitu

ِ‫والذينِجاهدواِفيناِلن هدي ن همِسب لناِوإنِاَّللِلمعِالمحسنني‬

Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami,


benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

Pada kisah Nabi Musa, Allah benar-benar menunjukkan jalan-Nya yaitu


mempertemukannya dengan Khidir melalui serangkaian kejadian yang
ajaib. Ini merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada
hamba-Nya yang tulus berjalan menuju-Nya.
Kesimpulan dalam pemaparan sub-bab ini adalah hal-hal yang wajib
ada pada murid ingin mendapatkan ilmu ladunni sebagai berikut:
a. Meluruskan niat untuk mencari ilmu
b. Meneguhkan tujuan mencari ilmu yaitu mendapatkan irsyad
c. Memiliki prasyarat berupa penguasaan ilmu syariat
d. Menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya
e. Melakukan mujahadah riyadhah
59

f. Memiliki adab yang baik kepada guru (tawadhu, memuliakan guru,


dan lemah lembut)
g. Berkhidmah kepada guru

4. Khidir sebagai Guru

Sesungguhnya Allah telah merangkum dua hal yang mulia yang


terdapat pada Khidir dalam ayat 65, yang sekaligus menjelaskan pribadi
Khidir sebagai guru sejati yang bisa dicontoh oleh kita. Dua hal tersebut
adalah pribadi Khidir sebagai ‘abdan min ‘ibadina dan pemberian Allah
kepada Khidir yaitu rahmat berupa nubuwwah dan ilmu ladunni. Jika
pada pembahasan sebelumnya penulis focus menjelaskan tentang ilmu
ladunni, maka pada pembahasan ini penulis akan membahas mengenai
kalimat ‘abdan min ‘ibadina.
Kata ‘abdan memiliki akar kata ‘abdun yang bermakna hamba.
Dalam al-Quran, kata ‘abdun digunakan untuk memuliakan orang yang
mendapatkan gelar itu. Seperti dalam surat al-Isra’ ayat 1 “’abdihi”.
Allah memuliakan Nabi Muhammad yang diperjalankan oleh-Nya pada
malam hari dari Masjid al-Haram sampai Masjid al-Aqsa dan diangkat
ke Sidratul Muntaha dengan kata ‘abd.
Derajat ‘abd bukanlah derajat yang mudah untuk dicapai. Derajat
hamba merupakan pencapaian tertinggi dalam hubungan manusia dengan
Allah. Derajat itu didapatkan dengan perjuangan menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya, dalam bentuk
mujahadah dan riyadhah, melalui proses tazkiyah dan tashfiyah.
Artinya, seorang guru yang ingin menjadi guru sejati, mengetahui
hakikat ilmu dan mampu mendidik manusia menjadi insan yang kamil
selain mesti memiliki kompetensi pedagogik, professional, kepribadian,
dan sosial18, juga memiliki kompetensi spiritual. Kompetensi spiritual

18
Abuddin Nata, Pengembangan Profesi Keguruan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Tp.,
2018), h. 27.
60

adalah kompetensi guru yang meliputi; 1) memiliki pengetahuan agama


yang baik; 2) memiliki akhlak kepada Allah dan sesama manusia; 3)
menerapkan prinsip mujahadah riyadhah dalam kesehariannya.
Kompetensi spiritual dibutuhkan oleh guru untuk mendapatkan karunia
ilmu ladunni dan penyingkapan pengetahuan hakiki.
Kompetensi spiritual yang dimiliki Khidir membuatnya “pantas”
mencapai derajat hamba, mendapatkan rahmat dan ilmu dari Allah. Kata
rahmat sekaligus menunjukkan betapa luasnya kosakata dalam al-Quran.
Andai Allah menggunakan kata nubuwwah dan yang bermakna sama
dengan kenabian, atau waliyy dan yang bermakna sama dengan
kewalian, maka penerapan konsep ini akan sulit dilaksanakan di tataran
praktis di sekolah. Sebab tidak semua guru tentu menjadi wali, apalagi
pintu kenabian sudah tertutup. Akan tetapi, kata rahmat menunjukkan
bahwa hal itu dapat diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki,
sesuai dengan nama-Nya yang mulia, al-Rahman. Sehingga membuka
peluang untuk diterapkan dalam proses belajar mengajar di sekolah.

5. Daya Rohani dan Mujahadah Riyadhah

Sebelum menjelaskan mujahadah riyadhah, penulis terlebih dahulu


menjelaskan daya rohani agar pengetahuan tentang mujahadah riyadhah
tersistematis. Daya-daya rohani, sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali
terdiri atas empat bagian. Yaitu al-ruh, al-nafs, al-aql, dan al-qalb.19
Daya yang pertama adalah al-ruh. Al-ruh memiliki dua definisi.
Definisi pertama adalah sejenis sesuatu yang halus yang bersumber pada
lubang hati jasmani, lalu menyebar melalui pembuluh darah yang
merasuk ke seluruh anggota tubuh. Peredaran roh pada tubuh dan
limpahan cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan
penciumannya, pada seluruh anggota tubuh seperti limpahan cahaya
lampu yang diedarkan di setiap sudut rumah. Sesungguhnya lampu itu

19
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Juz 3, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Tt.), h. 3.
61

tidak sampai pada suatu bagian rumah melainkan ia menerangi dengan


cahaya itu. Kehidupan ini seperti cahaya yang tampak pada dinding
ruangan, sedangkan roh adalah lampunya. Pergerakan roh di dalam tubuh
itu sepeti gerakan lampu di sekeliling rumah yang digerakkan oleh
penggerak lampu itu. Definisi kedua adalah sesuatu yang halus, yang
mengetahui, yang menyerap dari manusia. Roh adalah persoalan yang
mengagumkan, bersifat ketuhanan dan mayoritas akal tidak mampu
memahami hakikatnya.20 Dalam al-Quran surah al-Isra ayat 85 Allah
menerangkan “Qul al-ruh min amri rabbi”. Al-Razi menjelaskan bahwa
roh adalah substansi tunggal yang unik (basit) yang tidak dapat tercipta
kecuali melalui firman Allah kun fa yakun. Kehadiran roh ini karena amr
(perintah) Allah guna memberi manfaat bagi badan. Roh ini pada
awalnya kosong dari ilmu pengetahuan. Dalam proses kehidupan ia
berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lebih maju, dari kekurangan
menuju kesempurnaan.21
Menurut al-Ghazali, roh yang merupakan hakikat manusia adalah
substansi tunggal yang terpisah oleh materi. Ia adalah sinar (‘adhwa)
yang mujarradah yang rasional bukan terrestrial. Roh tidak akan hancur,
rusak, dan mati kecuali sekedar berpisah dengan badan dan yang
menunggu kembali kepada Allah pada hari kiamat. Zat roh tidak terkait
(ghair muttasil) dengan anggota badan dan tidak terpisah darinya. Akan
tetapi, ia menghadap ke badan, memberi manfaat kepadanya dan
mengemanasi. Emanasi roh itu tampak pada cahayanya atas otak (al-
dimagh), yang merupakan wadah (mazhar)-nya yang khusus. Emanasi
roh ini mengambil bagian depan otak tersebut sebagai penjaga (haris),
bagian pertengahannya sebagai pengatur (wazir) dan pemerintah
(mudbir), serta pada bagian belakang otak sebagai gudang informasi
(khazinah) dan penyimpan informasi (khazin). Emanasi roh itu pada

20
Akhmad Sodiq, Prophetic Character Building Tema Pokok Pendidikan Akhlak menurut
Al-Ghazali, (Jakarta: Kencana, 2018), h. 13-14.
21
Al-Razi, Op. Cit., h. 392.
62

seluruh anggota tubuh menjadikannya sebagai pelaku lahiriah dan


pengendara.22
Daya yang kedua adalah al-nafs. Al-nafs juga memiliki dua definisi.
Definisi pertama adalah makna menyeluruh dari daya marah/agresivitas
(al-ghadab) dan daya syahwat dalam diri manusia. Makna ini yang
biasanya digunakan oleh ahli tasawwuf, dan memang mereka
menghendaki menghimpun sifat buruk dalam kata nafs. Maka mereka
mengatakan bahwa wajib bermujahadah untuk melawan nafsu. Definisi
kedua adalah sesuatu yang halus. Iada adalah manusia secara hakikat.
Jiwa mausia dan zatnya.23
Tabiat nafsu terdiri atas syahwat dan ghadab. Syahwat adalah segala
keinginan yang berkaitan dengan seksualitas, makanan, materi,
kedudukan/jabatan, dan prestise. Nafsu syahwat selalu rakus, berhasrat,
dan menginginkan kenikmatan. Tabiat ghadab adalah daya agresivitas
yang berfungsi sebagai penjamin keamanan. Daya emosi ini sangat
penting untuk meraih hal yang diinginkan syahwat.24 Pada dasarnya dua
tabiat itu dibutuhkan untuk bertahan hidup. Misalnya, syahwat ada dalam
nafsu makan dan ghadab ada dalam upaya mencari makan. Bila
keduanya hilang, maka manusia bisa mati. Sehingga tujuan dari
mujahadah adalah untuk mengontrol nafsu agar tetap pada tempatnya dan
tidak menjurus kepada yang diharamkan oleh Allah.
Terdapat empat karakteristik nafsu negatif, yaitu 1) bahamiyah
(kebinatangan) yang darinya lahir sifat rakus, loba untuk memenuhi
nafsu perut dan kelamin sehingga muncul perzinaan, homoseksual,
mencuri, dan sebagainya; 2) sabu’iyah (kebuasan) yang darinya lahir
marah, dengki, pertengkaran, caci maki, pembunuhan, dan pemborosan
harta; 3) syaitaniyah (kesetanan) yang darinya lahir sifat menipu, berbuat
kemungkaran, khianat, bermuka dua, dan kesesatan lainnya; 4)

22
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 16.
23
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 18.
24
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 20-21.
63

rububiyah (ketuhanan) yang darinya lahir sifat sombong, bangga,


otoriter, suka pujian, suka kemuliaan, dan sebagainya.25
Keadaan nafsu terbagi menjadi tiga. Yaitu nafsu al-ammarah bi al-
su’, lawwamah, dan muthmainnah.26 Ketiga nafsu itu dibagi atas dasar
respon terhadap keinginan syahwat. Nafsu al-ammarah bi al-su’ tidak
melakukan penentangan dan mengikuti keinginan syahwat. Nafsu
lawwamah menentang dan melakukan perlawanan terhadap keinginan
syahwat sehingga senantiasa tidak stabil. Terkadang akalnya
mengalahkan nafsunya sehingga dirinya menjadi taat, terkadang nafsu
mengalahkan akal sehingga ia jatuh ke dalam kemaksiatan. Tingkatan
tertinggi nafsu terdapat pada muthmainnah, yaitu nafsu yang telah tenang
dari guncangan batin atas syahwat. Nafsu ini telah menghadap pada
kebenaran dan ketenangan dari ilahi.
Daya yang ketiga adalah al-aql. Al-aql memiliki dua definisi.
Definisi pertama adalah ilmu tentang hakikat persoalan-persoalan. Akal
dalam konteks ini adalah gambaran dari sifat ilmu yang tempatnya di
dalam hati. Definisi kedua dari akal adalah yang menyerap ilmu
pengetahuan.
Daya yang keempat adalah al-qalb. Al-qalb juga memiliki dua
definisi. Definisi pertama adalah daging berbentuk buah sanubari yang
terletak di dada sebelah kiri yaitu daging khusus yang di dalamnya ada
lubang, dan di dalam lubang itu ada darah hitam yang merupakan roh
(dalam arti jiwa sensitif) dan tambangnya (pembuluh darah). Hati dalam
makna ini ada dalam manusia,binatang, bahkan mayat sekalipun karena
termasuk kepada materi. Definisi kedua adalah sesuatu yang halus,
bersifat ketuhanan (rububiyah), bersifat rohani dan berkaitan dengan hati
jasmani. Hati ini adalah hakikat manusia. Dialah yang menyerap,
mengetahui, mengenal dari manusia, yang diajak bicara oleh Allah, yang

25
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 21-22.
26
Akhmad Sodiq, Op. Cit. h. 23.
64

disiksa, yang dicela, dan yang dituntut.27 Antara hati dan ilmu
sebagaimana cermin dan objek. Cermin akan memantulkan objek yang
ada di depannya, dan tidak bisa direkayasa. Hati yang bersih merupakan
cermin yang menghadap kepada Allah dan menerima limpahan ilmu-
Nya.
Mengenai keempat daya rohani ini, al-Ghazali memberikan
metafora sebagai berikut
Jiwa itu laksana sebuah negeri. Ladangnya adalah dua tanganm dua
kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya. Tuan tanahnya adalah nafsu
seksual (syahwat) dan nafsu agresi (ghadab) adalah penjaganya. Al-qalb
adalah rajanya dan al-aql adalah perdana menterinya. Wajib bagi sang
raja tersebut untuk bermusyawarah dengan perdana menteri guna
menjadikan tuan tanah itu tunduk di bawah kendali perintah perdana
menteri demi kelanggengan kerajaan dan kemakmuran negeri.
Demikianlah kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah dengan al-aql
guna menjadikan nafsu syahwat dan ghadab di bawah kendali
perintahnya. Dengan demikian, situasi jiwa benar-benar tentram
sehingga mampu mencapai sebab kebahagiaan makrifat terhadap realitas
transedental (al-hadrah al-ilahiyah). Akan tetapi, jika akal berada di
bawah al-ghadab dan syahwat maka hancurlah jiwa itu dan jadilah al-
qalb sebagai yang celaka di akhirat.28
Oleh karena iu, mujahadah riyadhah mutlak diperlukan untuk
mengendalikan hawa nafsu, menempatkan al-qalb sebagai pemerintahan
jiwa, dan menjadikan al-qalb dan al-‘aql dipenuhi oleh nur ilahiy dan
limpahan ilmu ladunni. Prinsip-prinsip mujahadah riyadhah,
sebagaimana dijelaskan oleh Akhmad Sodiq, di antaranya adalah:
a. Melawan tuntutan nafsu. Yaitu melawan setiap yang mengenakkan
dan menyenangkan yang melawan syara’. Menurut Yahya bin
Muadz al-Razi, sebagaimana dikutip al-Ghazali, dasar mujahadah
riyadhah ada empat yaitu sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur,
dan menahan rasa sakit dari keburukan manusia. Dengan sedikit
makan maka akan melemahkan syahwat, dengan sedikit tidur maka
bersihlah semua kehendak. Dengan sedikir bicara maka selamatlah

27
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 42
28
Al-Ghazali, Kimiya al-Saadah, (Beirut: t.p., t.th.), h. 116 dalam Akhmad Sodiq, Op.
Cit., h. 59-60.
65

diri kita dari segala macam bahaya. Adapun sabar dari menahan rasa
sakit, maka akan menyampaikan kita pada segala tujuan. Praktek
dari sedikit makan adalah memperbanyak puasa. Sedikit bicara
adalah memperbanyak zikir, membaca al-Quran, dan hanya
berbicara hal yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Sedikit tidur
adalah banyak bangun malam (qiyam al-lail) untuk bermunajat dan
tahajud.
b. Riyadhah yang relevan. Terdapat beberapa bentuk riyadhah yang
disesuaikan dengan penyakit yang ada dalam hati murid, di
antaranya29
1) Keburukan akhlak karena awam agama, dapat disembuhkan
dengan belajar ilmu syariat.
2) Ahli maksiat, dapat disembuhkan dengan meninggalkan
maksiat tersebut.
3) Sombong, dapat disembuhkan dengan berperilaku seperti
orang hina/gembel.
4) Suka berhias, sebaiknya diberi tugas untuk membersihkan
kamar mandi, selokan, dapur, dan tempat kotor lainnya untuk
menghancurkan sifat itu.
5) Rakus dan tamak, dapat disembuhkan dengan banyak puasa
dan mengurangi makan.
6) Nafsu seksual yang bergejolak, dapat disembuhkan dengan
banyak berpuasa.
7) Pemarah, dapat disembuhkan dengan dibiasakan diam saat
dicaci maki dan direndahkan orang agar terbiasa menahan
beban kemarahan itu.
8) Penakut dn lemah hati, dapat disembuhkan dengan mencari
tantangan di alam guna melatih keberaniannya. Dalam
konteks sekarang bisa melakukan aktifitas outbond.

29
Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 122-124.
66

9) Cinta harta, dapat disembuhkan dengan bersedekah.


c. Ta’dib berjenjang, yaitu memulai latihan dari yang ringan sampai
yang berat.
d. Cegah nafsu yang mengenakkan.

B. Penerapan di Sekolah
1. Pendidikan Akhlak pada Siswa

Dalam tataran penerapan di sekolah, prinsip yang digunakan untuk


mengusahakan mendapatkan ilmu ladunni adalah “menciptakan guru
seperti Khidir dan murid seperti Musa”. Penulis awali dengan jalannya
pendidikan akhlak pada siswa.
Pendidikan akhlak pada siswa sebenarnya sudah ada dalam mata
pelajaran Akidah Akhlak. Tapi bukan itu maksud penulis. Penulis
hendak menitikberatkan penerapan akhlak antara guru-murid
sebagaimana hubungan antara Musa-Khidir. Ada beberapa akhlak yang
harus diterapkan kepada siswa berdasarkan tafsir ayat ini:
a. Siswa hendaknya memiliki ketaatan kepada Allah, yaitu
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangannya, dan
melaksanakannya dengan landasan cinta. Sebagaimana Nabi Musa
yang sudah memiliki “modal” ini sebelum belajar kepada Khidir.
Dalam hal ini, siswa dididik untuk merasa sebagai hamba yang
butuh kepada Allah, alih-alih sebagai hamba yang ditakut-takuti
dengan ancaman neraka jika tidak taat. Imam Nawawi memang
menjelaskan bahwa terdapat 3 pendorong ketaatan kepada Allah
yaitu takut, harap, dan cinta.30 Akan tetapi menaati Allah dengan
landasan cinta adalah yang utama. Tugas guru adalah membimbing
anak untuk memiliki rasa butuh kepada Allah, misalnya anak
dibimbing untuk menjalankan shalat 5 waktu sebagai bentuk

30
Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Hadits al-Arbain al-Nawawiyah, (Surabaya: Maktabah
Ahmad Nabhan, T.Th.), h. 6.
67

terimakasih atas nikmat dari-Nya, selalu mengucapkan kalimat


thayyibah karena itu adalah kalimat yang Allah cintai, dan lain
sebagainya.
b. Siswa hendaknya diajarkan husnuzhon dan menghormati guru sejak
dalam pikirannya. Siswa dibimbing untuk memposisikan guru
sebagai jembatan ilmu. Tanpa didikan guru, siswa tidaklah mampu
mencapai ilmu hakiki. Walaupun di masa sekarang guru bukan satu-
satunya sumber belajar, tapi pemahaman yang benar tetap harus
melalui diaektika antara guru dan murid. Poin ini juga akan menjadi
solusi untuk mengurangi tindakan-tindakan yang tidak beretika dari
murid kepada gurunya. Tidak akan ada lagi guru yang diremehkan
oleh siswanya sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini.
c. Siswa hendaknya dididik untuk berbicara yang sopan dan bersikap
santun kepada guru, sebagaimana gaya bicara Nabi Musa kepada
Khidir. Gaya bicara yang sopan dan sikap yang santun merupakan
buah dari ketawadhuan murid kepada gurunya. Sehingga yang harus
dididik pertama kali agar siswa mampu berperilaku demikian adalah
ketawadhuan. Misalnya murid dibimbing untuk memahami bahwa
ilmu itu datangnya dari Allah, sehingga ia tidak akan menjadi pintar
kecuali dengan rahmat Allah. Perasaan tawadhu’ akan muncul
tatkala ia sadar gurunya merupakan jembatan ia menuju Allah,
dalam kata lain, lau la murabbi ma ‘araftu Rabbi.
d. Setelah siswa memiliki rasa tawadhu, hendaknya dididik untuk
memiliki rasa khidmat kepada guru. Khidmat kepada guru
merupakan bagian dari khidmat kepada ilmu. Misalnya murid
diajarkan untuk membantu guru, piket kebersihan kelas agar suasana
belajar kondusif.
e. Siswa dididik untuk melakukan mujahadah riyadhah dalam bentuk
tazkiyah dan tashfiyah. Misalnya dibimbing untuk shalat berjamaah,
puasa sunnah, sedekah setiap hari jumat, membiasakan ucapan yang
baik kepada sesama, membiasakan zikir setelah shalat berjamaah,
68

menghimbau untuk melaksanakan qiyam al-lail (shalat tahajjud) di


rumah, melaksanakan pembinaan spiritual dalam bentuk malam bina
iman taqwa, dan sebagainya.

Berikut penulis jabarkan rintisan indikator pendidikan akhlak yang bisa


diterapkan di sekolah sebagai upaya mempersiapkan wadah nur ilahiy:

Kelas Aspek Indikator


Jenjang

• Membiasakan
membaca doa
sebelum makan,
sesudah makan,
sebelum tidur, doa
belajar, dan doa
Ibadah
harian lainnya
• Mulai diajarkan tata
cara shalat dan ibadah
1-3 harian
SD

• Membiasakan diri
rapih dalam
berpakaian, disiplin
dengan datang ke
Akhlak sekolah tepat waktu,
duduk di tempatnya
dengan rapih, dan
piket kelas
69

• Bermain dan
bersosialisasi dengan
teman yang seumuran,
tidak mengucapkan
kata-kata kasar
kepada teman dan
guru
• Membiasakan makan
dengan tangan kanan
• Membiasakan salam
dengan mencium
tangan guru

• Mulai dibiasakan
shalat
• Membiasakan
menjadwal waktu
makan (sarapan,
siang, dan malam),
tidak terlalu rakus saat
Mujahadah
makan
Riyadhah
• Menghindari diri dari
berteman dengan
teman yang berakhlak
buruk seperti
sombong, jahil, dan
sebagainya

• Belajar cara membaca


Ibadah
4-6 al-Quran dan doa-doa
70

harian yang lebih


panjang
• Mulai ditegaskan
untuk shalat wajib
• Diajarkan shalat
sunnah misalnya
dhuha
• Diajarkan mencintai
para nabi dan orang-
orang shalih

• Diajarkan kalimat-
kalimat thayyibah
• Membiasakan untuk
membantu guru di
kelas dan luar kelas
• Membiasakan salam
Akhlak
dengan mencium
tangan guru
• Membiasakan disiplin
• Membiasakan
menutup aurat

• Membiasakan untuk
mengucapkan kalimat
thayyibah, karena di

Mujahadah jenjang kelas ini anak

Riyadhah mulai mengenal kata-


kata kasar dari teman
sepergaulannya.
Sehingga kalimat
71

thayyibah akan
menjadi “pengganti”
dari kata-kata kasar
itu.
• Mulai dibiasakan
puasa sunnah dan
belajar puasa wajib
(bisa dimulai dari
puasa setengah hari
sampai satu hari
penuh tergantung
kesanggupan anak)
• Membiasakan
membaca al-Quran
sebelum belajar
• Membiasakan hidup
sederhana dalam hal
pakaian, makanan,
dan sebagainya

• Diwajibkan shalat
wajib di sekolah
(zuhur) dan shalat
jumat
• Membiasakan
1-3 Ibadah sedekah setiap hari
SMP
jumat
• Membiasakan shalat
tepat waktu di masjid
• Mempelajari ilmu
akidah dan fikih
72

• Membiasakan taat
beribadah

• Membiasakan untuk
membantu guru di
sekolah
• Tidak berkata kasar
dan berbicara dengan
nada keras di depan
guru
• Lebih banyak bergaul
dengan yang sejenis
(laki-laki dengan
sesama, perempuan
dengan sesama) untuk
belajar menghindari
pergaulan bebas
Akhlak
• Membiasakan
membantu
membersihkan masjid
setelah shalat
berjamaah
(menggulung karpet,
menyapu, dll.)
• Membiasakan salam
dengan mencium
tangan guru
• Membiasakan
membantu guru tanpa
perlu disuruh/diminta
73

• Menunduk ta’zhim
ketika guru lewat di
hadapannya

• Membiasakan untuk
puasa sunnah senin
dan kamis, puasa
sunnah daud, dan
puasa sunnah lainnya
• Membiasakan untuk
bangun lebih pagi dan
qiyam al-lail di rumah
Mujahadah • Mewajibkan
Riyadhah membaca al-Quran
sebelum belajar
• Membiasakan zikir
setelah shalat
• Menghindari diri dari
lagu-lagu percintaan
dan yang mengandung
lirik/video erotis

• Diwajibkan shalat
wajib di sekolah
(zuhur) dan shalat
jumat

SMA 1-3 Ibadah • Membiasakan


sedekah setiap hari
jumat
• Membiasakan shalat
tepat waktu di masjid
74

• Mempelajari ilmu
akidah, fikih, dan
akhlak (tasawuf
akhlaqi)
• Diajarkan mencintai
nabi dan orang-orang
shalih

• Membiasakan salam
dengan mencium
tangan guru
• Menunduk ta’zhim
ketika guru lewat di
hadapannya
• Berbicara yang sopan
terhadap guru, tidak
Akhlak
mengeraskan suara
dan tidak menatap
mata guru saat
berbicara
• Membiasakan
membantu guru tanpa
perlu disuruh/diminta

• Membiasakan puasa
sunnah senin dan
kamis, puasa sunnah
Mujahadah daud, dan puasa
Riyadhah sunnah lainnya
• Membiasakan zikir
setelah shalat
75

• Memperbanyak
membaca shalawat
kepada Nabi
Muhammad

2. Kompetensi Spiritual Guru

Spiritual menurut KBBI adalah “berhubungan dengan atau bersifat


kejiwaan (rohani, batin)”.31 Dalam kamus psikologi, sebagaimana yang
dikutip Zulfatmi, spirit adalah suatu zat atau makhluk immaterial,
biasanya bersifat ketuhanan, yang diberi sifat dari karakteristik
manusia, kekuatan, tenaga, semangat, vitalitas, energy disposisi, moral,
atau motivasi.32 Melihat dari definisi di atas, maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa kompetensi spiritual adalah kemampuan guru untuk
menjalin hubungan ketuhanan antara guru dengan Allah. Kompetensi
ini letaknya ada di dalam batin dan tidak bisa diukur. Akan tetapi
walaupun tidak bisa diukur, kompetensi ini melahirkan akhlak
perbuatan yang bisa diamati dan dibuat indikatornya. Dalam hal ini,
diharapkan guru memiliki kompetensi spiritual sebaik Khidir yang
mampu menjadi guru Nabi Musa, atau setidaknya meneladani Khidir.
Di antara kompetensi spiritual Khidir adalah 1) Khidir merupakan
hamba Allah yang saleh; 2) Khidir menguasai ilmu syariat. Berikut
penulis paparkan kriteria dari 2 kompetensi tersebut.
Menjadi guru saleh artinya seorang guru mesti bertakwa kepada
Allah, yaitu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala

31
KBBI Daring https://kbbi.web.id/spiritual.html diakses pada 20 Maret 2019
32
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta, Rajawali Press, 1989), h. 480 dalam
Zulfatmi, Kompetensi Spiritual Pendidik (Suatu Kajian pada Unsur Kalbu), Jurnal Mudarrisuna,
Vol. 7 No. 2 Juli-Desember 2017, h. 172.
76

larangan-Nya33. Pertama, wajib bagi muslim yang bertakwa untuk


menjalankan perintah Allah yang wajib, di antaranya adalah
menjalankan shalat wajib 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhan,
menunaikan zakat, dan berhaji jika telah mampu.
Kedua, menghiasi diri dengan amalan-amalan sunnah seperti shalat
di masjid dengan berjamaah, puasa sunnah senin dan kamis, puasa
daud, menjaga shalat rawatib, dan amalan-amalan sunnah lainnya.
Ketiga, dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seorang
muslim juga melaksanakan mujahadah, yaitu melawan hawa nafsu
dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang dibenci oleh Allah berupa
maksiat dan kezaliman. Kezaliman bisa berbentuk kezaliman pada diri
sendiri seperti tidak melaksanakan shalat, berzina, atau kezaliman
kepada orang lain seperti mencuri dan ghibah. Serta riyadhah yaitu
menghiasi diri dengan perkara-perkara yang baik seperti melaksanakan
amalan sunnah, taubat, zuhud, tawakal, sabar, dan syukur. Seorang guru
yang saleh mesti melengkapi tiga kriteria di atas.
Selain itu, pada kompetensi kedua ini guru diharapkan memiliki
pengetahuan ilmu syariat, terlepas dari mata pelajaran yang diampunya
di sekolah. Hal ini karena kompetensi spiritual sifatnya universal, tidak
terbatas pada guru mata pelajaran PAI saja. Pengetahuan ilmu syariat
wajib dimiliki oleh setiap guru muslim, seperti akidah dan fikih.
Pengetahuan akidah diperlukan agar seorang guru memiliki bekal
keyakinan yang kuat kepada Allah. Keyakinan yang kuat juga tidak
boleh salah sasaran, misalnya seorang guru yang meyakini Allah duduk
di atas ‘arsy, Allah memiliki tangan sebagaimana manusia, Allah naik
dan turun setiap sepertiga malam terakhir sebagaimana manusia
bergerak, merupakan guru yang akidahnya tidak lurus. Bila ia
beribadah, hakikatnya ia telah salah alamat. Ia bukan menyembah Allah
yang Maha Esa, tapi menyembah zat yang disifatinya itu, dan

33
Pengertian takwa dapat dilihat pada Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Arbain al-
Nawawiyah, (Surabaya: Maktabah Ahmad Nabhan, T.Th), h. 57.
77

akidahnya batal. Apabila guru memiliki akidah seperti ini, tentu saja
nur ilahiy tidak akan masuk ke dalam hatinya sehingga ia tidak bisa
meneruskan pancarannya kepada murid-muridnya.
Kemudian seorang guru harus menguasai ilmu fikih. Ilmu fikih
adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah amaliyah yang digali dari
dalil-dalil yang terperinci34. Ilmu fikih terbagi atas 4 bagian, yaitu
ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayah. Fikih ibadah mengatur
hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat, puasa,
zakat, dan haji. Fikih muamalah berkaitan dengan hubungan ekonomi
antar manusia seperti hutang-piutang, jual-beli, dan sebagainya. Fikih
munakahat berkaitan dengan hubungan individu dan keluarga seperti
pernikahan, perceraian, dan warisan. Fikih jinayah berkaitan dengan
ketatanegaraan seperti hudud, jarimah, dan qishash. Dalam penguasaan
ilmu fikih, seorang guru setidaknya menguasai bab fikih ibadah,
muamalah, dan munakahat sebagai fikih yang bersentuhan langsung
dengan kehidupan sehari-hari. Adapun fikih jinayat tidak bersentuhan
langsung karena di Indonesia fikih jinayat tidak menjadi hukum positif.
Penguasaan ilmu-ilmu syariat tersebut menjadi syarat dari
dilimpahkannya ilmu ladunni oleh Allah kepada guru, sebagaimana
hadits yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Adapun
pengetahuan akhlak tidak penulis masukkan ke dalam kompetensi
spiritual karena telah masuk ke dalam kompetensi kepribadian.
Adapun bentuk mujahadah riyadhah yang bisa dilakukan oleh guru
di antaranya:
a. Membiasakan shalat wajib tepat waktu
b. Menjalankan kewajiban syariat
c. Menjauhkan diri dari larangan Allah
d. Menjalankan puasa sunnah (senin dan kamis atau daud)
e. Menjalankan shalat sunnah dhuha, rawatib, dan sebagainya

34
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Indonesia: Al-Haramain, 2004), h. 11.
78

f. Membiasakan bangun malam (qiyam al-lail) untuk tahajud


g. Membiasakan membaca al-Quran saat sendirian maupun
bersama-sama dengan siswa
h. Membiasakan zikir setelah shalat wajib, khususnya di sekolah
agar menjadi teladan bagi siswa
i. Membiasakan makan makanan yang halal
j. Menjauhi ghibah, iri dengki, namimah (mengadu domba), dan
akhlak buruk lainnya
k. Menjadi teladan akhlak baik bagi siswa

3. Peran Sekolah dan Orang Tua

Untuk mewujudkan pendidikan akhlak, diperlukan kerjasama antara


guru, sekolah, dan orang tua. Misalnya dalam rangka pendidikan shalat
wajib 5 waktu. Di sekolah siswa hanya melewatkan satu waktu shalat
yaitu shalat zuhur. Sedangkan empat waktu lainnya siswa habiskan di
rumah dan di luar rumah. Artinya orang tua harus berperan untuk
mendidik anaknya melaksanakan shalat wajib 5 waktu. Begitu juga
pembiasaan doa-doa harian memerlukan peran aktif orang tua di rumah
agar pembiasaan tersebut benar-benar terinternalisasi dalam diri siswa.
Guru juga harus berperan aktif dalam mengajarkan, menghimbau, dan
mengingatkan siswa selama siswa di sekolah. Adapun peran sekolah
mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan, misalnya masjid
yang bersih dan nyaman. Sekolah juga memiliki peran regulasi dalam
mengatur cara berpakaian siswa, peraturan wajib membaca al-Quran
sebelum belajar, dan sebagainya.
Dalam mewujudkan kompetensi spiritual guru, peran sekolah
mutlak diperlukan. Sekolah harus menyediakan sarana dan prasarana
ibadah yang baik. Sekolah bisa memfasilitasi dengan mengadakan
majelis ta’lim bagi guru-guru sebagai sarana mendalami ilmu syariat.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dalam al-Quran telah tersirat tentang ilmu yang Allah limpahkan


kepada hati yang jernih, melalui kisah Nabi Musa dan Khidir dalam surat
al-Kahfi ayat 65, yaitu ilmu ladunni. Ilmu ladunni adalah ilmu yang
dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal tersebut didapatkan
setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan kotoran serta
meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika proses
penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh Allah ke
hadirat-Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-rahasia
rabbaniyah. Di antaranya adalah ilmu yang dapat diserap oleh akal melalui
pemahaman nash dan ilmu yang tidak mampu diserap akal serta tidak
terlingkup dalam nash akan tetapi mampu diterima karena bersumber dari-
Nya dan perkara itu tidak mampu ia laksanakan. Kemudian ilmu yang
berkaitan dengan hal gaib seperti peristiwa takdir dan kejadian-kejadian di
masa yang akan datang, ilmu yang terkait dengan perkara-perkara syariat
dan rahasia-rahasia hukum, ilmu tentang rahasia kekhususan huruf-huruf
dan simbol, dan ilmu lainnya yang dilimpahkan dari luasnya samudera ilmu
Allah.
Untuk mendapatkan ilmu ladunni, seseorang harus memiliki kriteria
yaitu: a. Meluruskan niat untuk mencari ilmu, b. Meneguhkan tujuan
mencari ilmu yaitu mendapatkan irsyad, c. Memiliki prasyarat berupa
penguasaan ilmu syariat, d. Menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya, e. Melakukan mujahadah riyadhah, f. Memiliki adab yang baik kepada
guru (tawadhu, memuliakan guru, dan lemah lembut), g. Berkhidmah
kepada guru

B. Implikasi

Terdapat beberapa implikasi berdasarkan hasil penelitian ini antara lain:

79
80

1. Implikasi terhadap akhlak siswa, yaitu siswa harus ditanamkan adab


kepada guru sejak dini, dilatih untuk melakukan mujahadah riyadhah
dalam kesehariannya, dan memiliki jiwa khidmah pada ilmu dan guru.
2. Implikasi terhadap kompetensi guru, yaitu guru harus memiliki
kompetensi spiritual agar dapat membimbing siswa mendapatkan
pengetahuan ilahi yang hakiki.

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, penulis memiliki beberapa saran antara lain:


1. Bagi penulis agar lebih mendalami ilmu syariat terutama ilmu tafsir al-
Quran dan ilmu tasawuf sehubungan dengan konsentrasi dalam
pendidikan akhlak.
2. Bagi jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan lembaga pendidikan Islam lainnya agar mencetak guru-guru
yang memiliki kompetensi spiritual yang baik.
3. Bagi sekolah agar mempersiapkan sarana dan prasarana ibadah yang
diperlukan, peran regulasi dalam mengatur cara berpakaian siswa,
peraturan wajib membaca al-Quran sebelum belajar, dan sebagainya.
Dalam mewujudkan kompetensi spiritual guru sekolah berperan sebagai
fasilitator dengan mengadakan majelis ta’lim bagi guru-guru sebagai
sarana mendalami ilmu syariat.
4. Bagi guru PAI agar meningkatkan profesionalitas dalam kompetensi
spiritual dengan jalan mujahadah riyadhah agar mampu membimbing
siswa kepada pengetahuan hakiki.
5. Bagi pembaca agar selalu melaksanakan mujahadah riyadhah agar jiwa
menjadi bersih dan mendapatkan limpahan ilmu ladunni dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Al Munawar, Said Agil Husin. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.


Jakarta: Ciputat Pers. 2002.

Al-Alusi. Ruh al-Ma’any Juz 8. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2013.


Al-Dimasyqi, Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri. Lubaabut Tafsiir Min Ibni
Katsiir Jilid I, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
2005.
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Juz I. Semarang: Toha Putra. T.t.
_________. al-Risalah al-Ladunniyyah. Terj. Kaserun. Jakarta: Turos Pustaka. 2017.
_________. Ihya Ulum al-Din Juz 3. Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah. T.t.
Al-Hasani, Ibnu Ajibah. al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3. Kairo: Doktor
Hasan Abbas Zaki. 1998.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Hadits al-Arbain al-Nawawiyah. Surabaya: Maktabah
Ahmad Nabhan. T.t.
Al-Razi, Fakhruddin. Mafatih al-Ghaib Juz 21 Cet. 3. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy.
1999.
Anwar, Rosihon dkk., Pengantar Studi Islam Cet. III. Bandung: Pustaka Setia. 2014.
Buchori, Didin Saefuddin. Metodologi Studi Islam. Bogor: Granada Sarana Pustaka. 2005.
Departemen Agama RI. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya Cet. 3. Jakarta: Departemen
Agama RI. 2009.
Djalal, Abdul. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu. 2000.
Fakhri, Jamal. Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010.
Gahzali, Muhammad Luthfi. Sejarah Ilmu Laduni. Semarang: Abshor. 2008.
J.P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta, Rajawali Press, 1989 dalam Zulfatmi,
Kompetensi Spiritual Pendidik (Suatu Kajian pada Unsur Kalbu), Jurnal
Mudarrisuna, Vol. 7 No. 2 Juli-Desember 2017.
KBBI Daring https://kbbi.web.id/spiritual.html diakses pada 20 Maret 2019
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Indonesia: Al-Haramain. 2004
Kusuma, Edward Febriyatri. Kisah Kelam Ibu Guru di Jaktim yang Dipukul dan Dijambak
Siswanya, Detik.com, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-
kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-
siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385
pada tanggal 10 Maret 2018 10.45
Majma‘ al-Lughah al-Arabiyah, Mu‘jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-Da‘wah, 1990.
Marpaung, Irwan Malik. Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol. 6, No. 2,
Desember 2011.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Cet. 31. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2013.
Mufid, Fathul. Metode Memperoleh Ilmu Huduri, Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November
2012.
Musa, M.Yusuf. Al-Quran dan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. 1988.
Nadjmuddin, Muchlis. Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010.
Nata, Abuddin. Al-Quran dan Hadits Cet. VII. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2000.
____________. Pengembangan Profesi Keguruan dalam Perspektif Islam. Jakarta: Tp.,
2018.
Pratomo, Gito Yudha. Eksistensi Tuhan di Mata Orang Jenius, CNN Indonesia, diakses
dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-
7440/eksistensi-tuhan-di-mata-orang-jenius pada tanggal 10 Maret 2018 jam 10.50
Ramadhan, Al-Quran, Hanya Sebagai Pajangan Belaka, diakses dari
http://mahasiswa.iainpalu.ac.id/blog/alquran-hanya-sekedar-pajangan-belaka/
pada 10 maret 2018 11.00
Rusuli, Izzatur dan Zakiul Fuady M. Daud. Ilmu Pengetahuan Dari John Locke Ke Al-
Attas. Jurnal Pencerahan, Vol. 9 No. 1, Maret 2015.
Salim, Abd. Muin Al-Quran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Jurnal Mitra,
Media Komunikasi Antar PTAIS. Cet. I, Makassar : Kencana. 2004.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat Cet. VII. Bandung: Mizan. 1994.
_______________. Wawasan al- Qur`an. Bandung: Mizan. 2006.
_______________. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Volume 8.
Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Sodiq, Akhmad. Epistemologi Islam. Jakarta: Kencana. 2017.
_____________. Prophetic Character Building Tema Pokok Pendidikan Akhlak menurut
Al-Ghazali. Jakarta: Kencana. 2018.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D Cet. I. Bandung: Alfabeta.
2006.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an Ed. I, Cet. I. Jakarta: Rajawali Pers. 2013.
Sutiyoni, Agus. Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali. Nadwa Jurnal Pendidikan
Islam Vol. 7, Nomor 2, Oktober 2013
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
LEMBAR UJI REFERENSI

Nama : Ridwan Darmawan

NIM : 1113011000052

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul : Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran (Kajian


Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65)

Paraf
No Referensi
Pembimbing

Bab I
M.Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),
1
h.1.
Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2
2000), Cet. VII, h. 55.
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi
3
Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 3.
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir al-Bashri al-Dimasyqi, Lubaabut
4 Tafsiir Min Ibni Katsiir, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2005) Jilid I, h. 347
Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya
5 dalam Pembelajaran”. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010,
h. 122
Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol.
6
6, No. 2, Desember 2011, h. 259
Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol.
7 6, No. 2, Desember 2011, h. 259 lihat Majma‘ al-Lughah al-Arabiyah,
Mu‘jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-Da‘wah, 1990, hal. 624.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja
8
Grafindo Persada, 1999), h. 5
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos
9
Pustaka, 2017), h. 10.
Izzatur Rusuli dan Zakiul Fuady M. Daud Ilmu Pengetahuan Dari John
10 Locke Ke Al-Attas. Jurnal Pencerahan, Vol. 9 No. 1, Maret 2015, h. 14

Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya


11 dalam Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h.
123
Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya
12 dalam Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h.
123-124
M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur`an (Bandung: Mizan, 2006), h.
13
442
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos
14
Pustaka, 2017), h. 39
15 Ibid, h. 54
Agus Sutiyoni, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali. Nadwa Jurnal
16
Pendidikan Islam Vol. 7, Nomor 2, Oktober 2013, h. 317
17 Ibid,
18 Ibid.
Ramadhan, Al-Quran, Hanya Sebagai Pajangan Belaka, diakses dari
19 http://mahasiswa.iainpalu.ac.id/blog/alquran-hanya-sekedar-pajangan-
belaka/ pada 10 maret 2018 11.00
Edward Febriyatri Kusuma, Kisah Kelam Ibu Guru di Jaktim yang Dipukul
dan Dijambak Siswanya, Detik.com, diakses dari
https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-kelam-ibu-guru-di-
20
jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-
siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-
1834683729.1520998385 pada tanggal 10 Maret 2018 10.45
Gito Yudha Pratomo, Eksistensi Tuhan di Mata Orang Jenius, CNN
Indonesia, diakses dari
21 https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-
7440/eksistensi-tuhan-di-mata-orang-jenius pada tanggal 10 Maret
2018 jam 10.50
BAB II
1 Akhmad Sodiq, Epistemologi Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 22-23.

Al-Ghazali, Ar-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos


2
Pustaka, 2017), h. 10.
3 Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000) h. 2
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos
4
Pustaka, 2017), h. 10.
5 Abd. Muin Salim, Al-Quran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, dalam
Jurnal Mitra, Media Komunikasi Antar PTAIS (Cet. I; Makassar :
Kencana, 2004), h. 18- 19.
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X
6
Edisi Juli 2010, h. 178
7 Ibid, h. 179
Fathul Mufid, Metode Memperoleh Ilmu Huduri, Al-Tahrir, Vol. 12, No.
8
2 November 2012, h. 281
9 Ibid.
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-
10
Turats al-Arabiy, 1999), Cet. 3, h. 482.
11 Ibid.
12 Ibid.
Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini
mendapatkan informasi empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman
pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya imajinatif tempat
merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah
mampu mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan.
Daya ini telah ada pada masa kanak-kanak, misalnya saat mainannya
diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang benda
tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam
Misykat al-Anwar, daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur
(24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material alam dunia yang pekat,
tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
13 dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan
mendekati batas makna-makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga
hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran cahaya dari akal
murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat
diperlukan untuk membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak
goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari keteraturan. Jadi fungsi
daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh
imajinatif untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena
kekhasan ini maka daya imajinatif diibaratkan dengan kaca. Kaca yang
jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga nyala sinar
lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq,
Epistemologi Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36.
14 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 84 – 85.
Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos
15
Pustaka, 2017), h. 68
16 Ibid.
17 Ibid., h. 70
18 Ibid., h. 65
19 I bid, h. 68.
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Semarang: Toha Putra, T.t.), h. 12 –
20
13.
Nukilan asli: َ‫َهوَالذيَيفيضَعلىَالقلب‬:‫َالعلمَاللدني‬،ً‫علَّ ْمناهَُمِ ْنَلَدُنَّاَع ِْلما‬ َ ‫َو‬:‫وقولهَتعالى‬
َ
َ‫َعلمَ َماَلَ ْم‬
َ ُ ‫هللا‬َُ ‫ه‬َ ‫ث‬‫ر‬ ‫و‬
ْ
َ ََ ‫أ‬ َ ‫ِم‬
‫ل‬ ‫ع‬
َ َ‫ا‬ ‫م‬
َِ ‫ب‬ََ
‫ل‬ ِ‫م‬‫ع‬َ َ‫َ«من‬:‫َلم‬‫والس‬ َ‫َقالَعليهَالصَلة‬،‫منَغيرَاكتسابَوالَتعلم‬
‫ »يَ ْعلَ َْم‬. َ‫َفإذاَكمل‬،‫َوتفرغهَمنَالعَلئقَوالشواغل‬،‫وذلكَبعدَتطهيرَالقلبَمنَالنقائصَوالرذائل‬
َ‫َمنهاَما‬،‫َواألسرارَالربانية‬،‫َفاضتَعليهَالعلومَاللدنية‬،‫َوانجذبَإلىَحضرةَالرب‬،‫تطهيرَالقلب‬
َ‫َبل‬،‫َومنهاَماَالَتفهمهاَالعقولَوالَتحيطَبهاَالنقول‬،‫تفهمهاَالعقولَوتدخلَتحتَدائرةَالنقول‬
21 َ‫َومنهاَماَتفيضَعليهمَفيَجانبَعلمَالغيوب‬،‫َمنَغيرَأنَيقتدىَبهمَفيَأمرها‬،‫تُسلمَألربابها‬
َ‫َومنهاَماَتفيضَعليهمَفيَعلومَالشرائعَوأسرار‬،‫كمواقعَالقدرَوحدوثَالكائناتَالمستقبلة‬
َ‫َوباهلل‬.‫َإلىَغيرَذلكَمنَعلومَهللاَتعالى‬،‫َومنهاَفيَأسرارَالحروفَوخواصَاألشياء‬،‫األحكام‬
‫التوفيق‬. Lihat Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran
al-Majid Juz 3, (Kairo: Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287.

Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X


22
Edisi Juli 2010, h. 182-183
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X
23
Edisi Juli 2010, h. 185
Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X
24
Edisi Juli 2010, h. 186
[1]
Muhammad Luthfi Gahzali, Sejarah Ilmu Laduni, (Semarang: Abshor,
25
2008) h. 4
26 Akhmad Shodiq, Op. Cit., h. 91.
BAB III
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT
1
Remaja Rosdakarya, 2013), Cet. 31, h. 6
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
2
Indonesia, 2008), h. 3
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada
3
Sarana Pustaka, 2005), h. 18-19
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
4
Ed. I, Cet. I, h. 378-379
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu
5 dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h.
117.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
6
(Bandung: Alfabeta, 2006), Cet. I, h. 233
7 Lexy J. Moleong, Op. Cit.,, h. 248
Rosihon Anwar, dkk., Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
8
2014), Cet. III, h. 201
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994),
9
Cet. VII, h. 67
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994),
10
Cet. VII, h. 68.
BAB IV
Ma yoritas ulama memfathahkan huruf kha sehingga dibaca Khadir.
1 Lihat al-Alusi, Ruh al-Ma’any, Juz 8, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2013), h. 301.
Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran
2
Volume 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 89.
Yusya adalah satu di antara dua belas orang yang diutus untuk memata-
matai penduduk Kan’an di daerah Halab (sekarang Aleppo di Suriah)
3
serta Hebron di Palestina. Menurut Ibn Asyur, dia lahir sekitar 1463 SM
dan wafat sekitar 1353 SM dalam usia 110 tahun. Ibid., h. 90-91.
[1]Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid
4
Juz 3, (Kairo: Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287.
5 Ibid.
Para ulama berbeda pendapat mengenai status Khidir seorang nabi atau
wali dan masih hidup atau sudah wafat. Ibnu Ajibah memilih pendapat
bahwa Khidir adalah nabi dan diberikan oleh Allah nikmat umur yang
panjang. Hal ini karena Khidir dikisahkan bertemu dengan banyak wali
6
dan shalihin, sehingga kesaksian bahwa Khidir masih hidup mencapai
derajat mutawatir. Lihat Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi
Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo: Doktor Hasan Abbas Zaki,
1998), h. 288.
7 Al-Alusi, Op. Cit., h. 302.
Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz
8
3, (Kairo: Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 288.
9 Quraish Shihab, Op. Cit., h. 95-96.

Nukilan asli: ِ‫ِهوِالذيِيفيضِعلىِالقلبِمنِغري‬:‫ِالعلمِاللدّن‬،‫ِوعلمناهِمنِلدنِعلما‬:‫وقولهِتعاَل‬


ِ‫ِوذلكِبعدِتطهريِالقلب‬.ِ»‫ِ«منِعملِمباِعلمِأورثهِللاِعلمِماَِلِي علم‬:‫ِقالِعليهِالصلةِوالسلم‬،‫اكتسابِولِتعلم‬
ِ‫ِفاضتِعليه‬،‫ِواجنذبِإَلِحضرةِالرب‬،‫ِفإذاِكملِتطهريِالقلب‬،‫ِوتفرغهِمنِالعلئقِوالشِواغل‬،‫منِالنقائصِوالرذائل‬
ِ‫ِومنهاِماِلِتفهمهاِالعقولِول‬،‫ِمنهاِماِتفهمهاِالعقولِوتدخلِحتتِدائرةِالنقول‬،‫ِواألسرارِالربنية‬،‫العلومِاللدنية‬
10 ِ‫ِومنهاِماِتفيضِعليهمِِفِجانبِعلمِالغيوب‬،‫ِمنِغريِأنِيقتدىِِبمِِفِأمرها‬،‫ِبلِتسلمِألربِبا‬،‫حتيطِِباِالنقول‬
ِ‫ِومنهاِِفِأسرار‬،‫ِومنهاِماِتفيضِعليهمِِفِعلومِالشرائعِوأسرارِاألحكام‬،‫كمواقعِالقدرِوحدوثِالكائناتِاملستقبلة‬
‫ِوبهللِالتوفيق‬.‫ِإَلِغريِذلكِمنِعلومِللاِتعاَل‬،‫الروفِوخواصِاألشياء‬. Lihat Ibnu Ajibah al-
Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo:
Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287.
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-
11
Turats al-Arabiy, 1999), Cet. 3, h. 482.
12 Ibid.
13 Ibid.

Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini


mendapatkan informasi empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman
pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya imajinatif tempat
merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah
mampu mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan.
Daya ini telah ada pada masa kanak-kanak, misalnya saat mainannya
diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang benda
tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam
Misykat al-Anwar, daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur
(24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material alam dunia yang pekat,
tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
14 dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan
mendekati batas makna-makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga
hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran cahaya dari akal
murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat
diperlukan untuk membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak
goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari keteraturan. Jadi fungsi
daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh
imajinatif untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena
kekhasan ini maka daya imajinatif diibaratkan dengan kaca. Kaca yang
jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga nyala sinar
lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq,
Epistemologi Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 35-36.

15 Ibid., h. 482-483.
Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:
16
Departemen Agama RI, 2009), cet. 3, h. 242.
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-
17
Turats al-Arabiy, 1999), Cet. 3, h. 483-484.
Abuddin Nata, Pengembangan Profesi Keguruan dalam Perspektif
18
Islam, (Jakarta: Tp., 2018), h. 27.
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Juz 3, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-
19
Arabiyah, Tt.), h. 3.
Akhmad Sodiq, Prophetic Character Building Tema Pokok Pendidikan
20
Akhlak menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Kencana, 2018), h. 13-14.
21 Al-Razi, Op. Cit., h. 392.
22 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 16.
23 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 18.
24 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 20-21.
25 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 21-22.
26 Akhmad Sodiq , Op. Cit. h. 23.
27 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 42
Al-Ghazali, Kimiya al-Saadah, (Beirut: t.p., t.th.), h. 116 dalam Akhmad
28
Sodiq, Op. Cit., h. 59-60.
29 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 122-124.
Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Hadits al-Arbain al-Nawawiyah,
30
(Surabaya: Maktabah Ahmad Nabhan, T.Th.), h. 6.
KBBI Daring https://kbbi.web.id/spiritual.html diakses pada 20 Maret
31
2019
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta, Rajawali Press, 1989),
h. 480 dalam Zulfatmi, Kompetensi Spiritual Pendidik (Suatu Kajian
32
pada Unsur Kalbu), Jurnal Mudarrisuna, Vol. 7 No. 2 Juli-Desember
2017, h. 172.
Pengertian takwa dapat dilihat pada Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-
33 Arbain al-Nawawiyah, (Surabaya: Maktabah Ahmad Nabhan, T.Th), h.
57.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Indonesia: Al-Haramain,
34
2004), h. 11.

Jakarta, 25 Juni 2019

Yang Mengesahkan
Pembimbing

Drs. Abdul Haris, M.Ag.


NIP. 19660901 199503 1 005

Anda mungkin juga menyukai