Anda di halaman 1dari 29

ILMU DALAM AL-QUR`ĀN

Diajukan sebagai tugas UAS dalam Mata Kuliah Tafsīr Mauḍū’i

Dosen Pengampu : Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA

Oleh :
Retno Prayudi
21200340100030

Program Studi Ilmu Al-Qur`ān dan Tafsīr


Fakultas Ushuluddin
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta
1442 H/ 2021 M

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didalam al-Qur`ān, sebagian besar kata ilmu selalu disandingkan dengan hal-hal
bersifat positif, karena ilmu selain merupakan salah satu sifat Allah, ilmu juga sebagai warisan
terbesar yang diberikan oleh para Nabi untuk umatnya. Al-Fairuzabadi mengatakan bahwa
ilmu merupakan peninggalan para Nabi yang menjadi satu-satunya warisan terbesar mereka,
sebab, ilmu dapat membangun jiwa, mencerahkan nurani, merawat hati dari berbagai
kerusakan, serta menjadi kunci dalam menimbang segala ucapan, perilaku dan keadaan setiap
manusia.

Ilmu berdiri sebagai penentu dalam membedakan antara keraguan dengan keyakinan,
celaka dengan selamat, Hidayah dengan kesesatan, serta sebagai pengungkap sesuatu yang
masih samar. Kebutuhan jiwa manusia pada ilmu, ibarat butuhnya fisik terhadap asupan
makanan, bahkan lebih besar dari kebutuhan ini, sebab, seorang manusia membutuhkan
makanan setidaknya dua kali dalam sehari, sementara kebutuhan terhadap ilmu, sama
jumlahnya dengan tiap kali manusia menghela nafas. 1

Ribuan dalil yang menunjukan atas kemuliaan serta keutamaan ilmu, juga bagi
siapapun yang menenggelamkan diri dalam lautan ilmu, bahwa orang yang berilmu lebih
dihargai dibanding orang yang gemar beribadah. Perumpamaan ini dikatakan Rasūlullāh dalam
hadits riwayat Abū al-Dardā`:

ِ )ِ 3641ِ:ِ‫اكبِِ(رواهِأبواِداوود‬
ِ ِ‫كو‬
ِ ِ‫ك ِفضِلِِ ِالقِمِرِِلِيِلِةِِالِبِدِرِِعِلِىِسِائِرِِال‬
ِ ِِ‫إِنِِفِضِلِِأِهِلِِالعِلِمِِعِلِىِالِعِبِاد‬

“Keistimewaan seorang ahli ilmu terhadap orang ahli ibadah seperti istimewanya
bulan purnama dimalam yang cerah terhadap seluruh bintang-bintang” (H.R. Abu
Dawud : No. 3641).2
Bahkan didalam al-Qur`ān terdapat sanjungan luar biasa yang diberikan Allah kepada
Ahl al-‘Ilm, dalam surah Āli ‘Imrān ayat 18 Allah berfirman:

ُ ُ ُ ٰۤ ٰ
ً ُ ٗ ُ‫ه‬
١٨ِ…ِِۗ‫ِاّٰللِانهِلآِالهِالاِهوَِۙوالملىِٕكةِواولواِالعلمِقاۤىِٕماِۢبالقسط‬ ‫شهد‬

1
Mujīd al-Dīn ibn Muḥammad al-Fairuzabadi, Basā`ir żawī al-Tamyīz fī Laṭā`if al-Kitāb al-‘Azīz, Jilid
4 (Kairo: Lajnah Iḥyā` al-Turāṣ al-Islāmi, 1996), h. 91.
2
Abū Dāwūd Sulaiman al-Sajastanī, Sunan Abū Dāwūd, Jilid 2, Kitāb al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1996), h. 523.

2
“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, (Allah) yang menegakkan
keadilan. (Demikian pula) para malaikat dan orang berilmu..”
Jika kita perhatikan pada ayat ini, bagaimana Allah memuji dirinya, kemudian berlanjut
menyanjung para Malaikat serta diakhiri dengan penyebutan Ahl al-‘Ilm sebagai bentuk
pemuliaan serta mengangkat derajat mereka. Tentu dengan dalil yang disebutkan diatas,
mewakili dari banyaknya keutamaan tentang ilmu baik dari al-Qur`ān maupun al-Ḥadīṣ
Rasūlullāh, menurut ‘Abd al-Sattār Muḥammad Nawīr didalam kitabnya al-Qur`ān wa al-‘Ilm,
bahwa lafaẓ )‫ (ع ل م‬tertulis didalam al-Qur`ān dengan segala bentuk derivasi maknanya terdapat
lebih dari 800 kali, ini merupakan perhatian besar al-Qur`ān terhadap ilmu, terlebih kepada
ilmu yang berkaitan dengan pondasi agama, serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia dan mampu menunjukan pada jalan kebenaran.3

Sementara Yūsuf al-Qarḍāwī merinci lebih detail tentang lafaẓ )‫ (ع ل م‬didalam al-
Qur`ān, menurutnya lafaẓ ini baik dalam bentuk Ism, Fi’il (kata kerja), atau Masdar terdapat
pada masing-masing surah Makiyah dan Madaniyah disebutkan sebanyak 100 kali. Kemudian
kata kerja berbentuk Jama’ )‫ (تعلمون‬tertulis sebanyak 56 kali, dan ada 3 kali penyebutan kata
kerja ini dengan tambahan )‫(فستعلمون‬, 9 kali dengan sīgah )‫(تعلموا‬, 85 kali dengan sīgah )‫(يعلمون‬,
7 kali dengan sīgah )‫(يعلموا‬, dan sebanyak 48 kali disebutkan dengan kata kerja )‫ (علَّ َم‬baik
derivasi dan yang berkaitan dengan kata kerja tersebut. 4 Ia juga menambahkan bahwa
banyaknya jumlah yang dipaparkan dalam al-Qur`ān mengenai Ilmu menunjukan akan
mulianya ilmu dan besarnya perhatian al-Qur`ān terhadap ilmu.

Dari sedikit uraian diatas, kita mengetahui bahwa al-Qur`ān adalah kitab ilmu dan
menjunjung tinggi serta memuliakan ilmu sekaligus menyeru seluruh manusia untuk mencari
ilmu, mengingat ayat pertama yang diturunkan terdapat isyarat-isyarat keilmuan secara umum.
Baik ilmu yang diarahkan kepada al-Qur`ān sebagai kitab al-Masṭūr, juga pada ilmu yang
diarahkan pada kitab al-Manẓūr seperti alam semesta dan kehidupan. Ini semua tentu agar
manusia membawa akal pikirannya tertuju kepada Allah dengan segala kuasanya.
Sebagaimana al-Rāgib mengatakan dalam kitabnya al-Mufradāt, bahwa ilmu diartikan sebagai:

ُ ُ ُ ُ ُ
ِ ِ‫كشِفِ ِوِتِبِيِنِ ِلِلِمِجِ ُِهوِلِ ِمِنِ ِأِيِ ِنِو‬
ِِ‫ع ِوِفِىِأِيِ ِمجِالِ ِحِتِىِتِتِضِح‬ ِ ِ‫كلِ ِإِدِرِاكِ ِو‬
ِ ِ‫اك ِالشِ ِيءِ ِحِ ِقيِقِ ِت ِه ِف‬ ِ ِ ‫الِعِلِ ُِم‬
ِ ِ‫ ِإِدِر‬:ِ ِ‫هو‬
ُ ُ ُ ُ
ِ ِ‫كنِِلِلِإِنِسِانِِفِ ُِهوِِدِاخِلِِفِ ِيِمِعِنِ ِىِ((الِعِلِ ِم))ِالِذِيِِيِتِحِد‬
ِ‫ثِفِيِِ ِال ِقرِآن‬ ِ ِ‫حِقِيِقِ ِت ِهِِبقِدِرِِ ِال ُِمم‬

3
‘Abd al-Sattār Muḥammad Nawīr, Al-Qur`ān wa Al-‘Ilm (Kairo: Maktabah Kuliyyah Usūl al-Dīn, t.th),
h. 205.
4
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), h. 71.

3
“Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu beserta kebenarannya. Setiap pengetahuan
dan segala penguraian juga penjelasan terhadap sesuatu yang belum diketahui dari
segi apapun, baik dari jenis, tempat, hingga diketahui kejelasannya sesuai batas
kemampuan manusia maka ini termasuk kedalam makna (Ilmu) yang dimaksudkan oleh
al-Quran.”5
Dari pengertian ini, kita mengetahui bahwa terdapat benang merah antara ilmu
keduniaan maupun ilmu keagamaan sudah terdapat isyarat yang jelas di dalam al-Qur`ān dan
memiliki satu tujuan, yaitu menguatkan nilai-nilai ketauhidan dan meyakini bahwa ilmu
merupakan sebuah jalan menuju Hidayah Allah. Namun, jika ditarik pada realitas sosial, saat
ini banyak sekali manusia yang menjadikan ilmu sebagai jalan meloloskan kepentingan pribadi
maupun kelompok, penghormatan ilmu dalam bentuk gelar misalnya, sudah menjadi bahan
dagangan dan menjadi objek eksploitasi untuk segelintir orang demi mendapatkan apa yang di
kehendaki hawa nafsunya, contohnya; Sengaja membeli gelar akademik (Doktor Honoris
Causa) demi mendapat jabatan dan popularitas masyarakat. Contoh lain, beberapa pejabat yang
memiliki gelar akademis, namun perilaku dan sikap mereka seakan menyalahi sebagai orang
yang berilmu. Esensi ilmu seakan dikaburkan, tak lagi memiliki tujuan untuk menata
kehidupan manusia kepada jalan kebenaran, justru sebagian manusia menjadikan ilmu
mengubah dirinya semakin tersesat dan jauh dari petunjuk seperti yang dititahkan oleh al-
Qur`ān

Atas dasar inilah, penulis tertarik untuk membahas lebih mendalam terkait kedudukan
Ilmu didalam al-Qur`ān, serta seberapa penting ilmu mempengaruhi manusia didalam
kehidupan, termasuk dampak seperti apa yang muncul bagi orang yang berilmu.

B. Batasan Masalah
Mengingat terdapat banyaknya jumlah ayat yang membahas berkaitan dengan ilmu,
maka perlu bagi penulis membatasi penelitian agar lebih terarah. Secara garis besar, penulis
akan membahas dua Bab besar (Bab III dan Bab IV). Pertama, tentang Ilmu dan Ulama (Ahl
al-‘Ilm) yang mana didalamnya terdapat tiga subjudul; 1). Kedudukan Ilmu 2). Kedudukan
Ulama (Ahl al-‘Ilm) 3). Pengaruh Ilmu terhadap Ulama (Ahl al-‘Ilm). Kedua, tentang Anjuran
menuntut Ilmu yang didalamnya terdapat dua subjudul; 1). Anjuran untuk Menambah dan
Menuntut Ilmu 2). Adab dalam menuntut Ilmu.

5
Al-Rāghib al-Isfahāni, Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur`ān (Beirut: Dār al-Ma’rifah, t.th), h. 343.

4
BAB II
METODE PENELITIAN TAFSIR MAUDU’I
A. Sejarah Tafsīr Mauḍū’i
Para penggiat dan pengkaji tafsīr al-Qur`ān, mulai menaruh perhatian pada ilmu Tafsīr
Mauḍū’i tentang siapa penggagas awal dan pertama kali diterapkan, mereka sepakat bahwa
pada dasarnya, embrio Tafsīr Mauḍū’i sudah muncul sejak era Rasūlullāh, hanya saja
penafsiran ini belum menggunakan istilah Mauḍū’i. Namun, terdapat beberapa penjelasan
Rasūlullāh yang teridentifikasi sebagai Tafsīr Mauḍū’i. Untuk lebih memudahkan urutan
dalam menyusun perkembangan Tafsīr Mauḍū’i, penulis menyusun setidaknya, terdapat empat
periode perkembangan Tafsīr Mauḍū’i sejak era Rasūlullāh hingga era Kontemporer.

Pertama, era Rasūlullāh dengan ditandai adanya penafsiran al-Qur`ān dengan al-
Qur`ān, salah satu contohnya pada saat diturunkannya surah al-An’ām ayat 82:

ُ ُ ٰۤ ُ ُ ُ ُ ٰ
٨٢ِِࣖ‫الذينِامنواِولمِيلب ُسوٓاِايمانهمِبظلمِاول ِٕىكِل ُه ُمِالام ُنِوهمِمهتدون‬

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan


keẓaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat
petunjuk.”
Lantas, para Sahabat merasa resah, dan mengadukannya pada Rasūlullāh kemudian
bertanya “Adakah dari kami yang tidak pernah menẓalimi diri kami sendiri?” maka Rasūlullāh
menjawab “Dia (lafaẓ Ẓālīm) bukan seperti yang kalian sangka, namun, ia bermakna seperti
yang terdapat pada surah Luqman ketika ia menasihati anaknya”.

ُ ‫ه‬ ُ ٗ ُ ُ ُ
ِ‫واذِقالِلق ٰم ُنِلابنهٖ ِوهوِيعظه ِٰي ُبنيِلاِتشركِباّٰلل‬
ِ ١٣ِ‫ِۗانِالشركِلظلمِعظيم‬

“(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai
anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
itu benar-benar kezaliman yang besar.”
Dari kisah ini, para Sahabat menduga bahwa maksud dari lafaẓ ‫ الظلم‬diartikan sebagai
kemaksiatan, tentu mereka sadar bahwa mereka bukanlah termasuk yang Ma’sūm dan terjaga
dari kemaksiatan, sehingga mereka menyimpulkan bahwa pelaku maksiat tidak akan selamat,
dan tidak satupun dari Sahabat selamat. Maka Rasūlullāh menyebutkan surah Luqman sebagai
penjelas maksud dari lafaẓ ‫ الظلم‬ini, dan diartikan sebagai sebuah kesyirikan.

5
Tafsīr al-Qur`ān bi al-Qur`ān yang seringkali dijelaskan oleh Rasūlullāh semasa hidupnya,
disepakati oleh ulama tafsir sebagai embrio terbentuknya Tafsīr Mauḍū’i.6

Kedua, interpretasi terhadap al-Qur`ān berlanjut pada masa Sahabat, yang mana pada
masa ini terdapat penjelasan dari para Sahabat terkhusus Ibn ‘Abbās, tentang ayat-ayat al-
Qur`ān yang terkesan ada perbedaan makna dan saling berbenturan, tren ini mulai menjamur
pada masa Sahabat. Sehingga, ada beberapa Sahabat yang mencoba mengumpulkan ayat-ayat
ini, kemudian menjelaskannya. Seperti contoh yang dilakukan oleh Sahabat Ibn ‘Abbās dalam
kasus ayat penciptaan langit dan bumi. Didalam surah al-Nāzi’āt ayat 27-30 menjelaskan
bahwa Allah mendahulukan penciptaan langit dibanding bumi.

ٰ ُ ٰ ً ُ
ِ‫ ِوالارضِبعد‬٢٩ِۖ‫ ِواغطشِليلهاِواخرجِضحىها‬٢٨َِۙ‫ ِرفعِسمكهاِفس هوىها‬٢٧ِِۗ‫ءانتمِاشدِخلقاِامِالسما ُۤءِِۚبنىها‬
ٰ ٰ
ِ ٣٠ِِۗ‫ذلكِدحىها‬

“Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat ataukah langit yang telah dibangun-Nya?
(27) Dia telah meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya. (28) Dia
menjadikan malamnya (gelap gulita) dan menjadikan siangnya (terang benderang).
(29) Setelah itu, bumi Dia hamparkan (untuk dihuni). (30)”
Sementara pada surah Fussilat ayat 9 dijelaskan bahwa Allah menciptakan bumi
terlebih dahulu.

ٰ ٰ ً ٗ ُ ُ ُ ُ
ِ‫قلِاىِٕنكمِلتكف ُرونِبالذيِخلقِالارضِفيِيومينِوتجعلونِلهِٓاندادا‬
ِ ِ٩ِِۚ‫ِۗذلكِربِالِعلمين‬

“Katakanlah, “Pantaskah kamu mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam


dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam.”
(9).
Menjawab adanya persilangan makna secara Ẓāhir, Ibn ‘Abbās menanggapi kedua ayat
ini bahwa Allah menciptakan bumi dalam waktu dua hari tanpa menciptakan isinya, kemudian
Allah menciptakan langit dan meratakannya dalam waktu dua hari pula, baru setelah itu, Allah
menghamparkan isi bumi dengan segala macam isinya seperti air, pegunungan, dan segala
pemandangan yang ada di bumi selama dua hari berikutnya, sehingga, dalam penciptaan bumi
secara utuh terdapat masa empat hari, sementara penciptaan langit selama dua hari.7

6
Musṭafā Muslim, Mabāḥiṣ fī al-Tafsīr al-Mauḍū’i (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), h. 17. Lihat juga;
Salāḥ ‘Abd al-Fattāḥ al-Khālidī, al-Tafsīr al-Mauḍū’i (Amman, Dār al-Nafā`is, 2012), h. 32.
7
Muḥammad al-Sayyid ‘Awwāḍ, al-Tafsīr al-Mauḍū’i; Namāżaj Taṭbīqiyah fī Ḍaw’i al-Qur`ān al-
Karīm (Kairo: Maktabah Kuliyyah Usūl al-Dīn Jāmi’ah al-Azhar, 2017), h. 34-35.

6
Penafsiran bergaya seperti ini, cukup sering terjadi pada era Sahabat, yang menjelaskan
tentang adanya al-Ta’āruḍ bayna Nusus al-Qur’ān, yang memfokuskan terhadap tema tema
tertentu namun seakan ada makna yang berbenturan seperti contoh yang telah disebutkan.

Ketiga, pengkaji dan peneliti al-Qur`ān juga mengarahkan perhatian mereka terhadap
perkembangan pada masa Fuqahā`, interpretasi mereka terhadap ayat-ayat hukum dihimpun
menjadi satu tema serta menerapkan adanya bab-bab seperti bab Shalat, terdapat didalamnya
tetang hukum mendirikan Shalat, bacan-bacaanya, serta pembahasan yang masih terkait pada
bab besarm juga terdapat adanya kesimpulan hukum baru, serta adanya ijtihad para ulama
dalam menafsirkan ayat-ayat hukum. Pada masa inilah, konsep Tafsīr Mauḍū’i sudah mulai
terlihat, namun belum seperti pada konsep Tafsīr Mauḍū’i saat ini.8

Diantara kitab tafsir pada era ini diantaranya; kitab Aḥkām al-Qur`ān karya Abū Bakr
al-Jassās (w. 330 H), Aḥkām al-Qur`ān karya al-Kiyalharāsi (w. 504 H), Aḥkām al-Qur`ān
karya Abū Bakr Ibn al-‘Arabi (w. 543 H).

Keempat, seiring berkembangnya zaman, kajian Tafsīr Mauḍū’i semakin menjadi pusat
perhatian para cendekiawan muslim, karena peran Tafsīr Mauḍū’i dalam mengungkap rahasia-
rahasia makna al-Qur`ān, juga berperan penting dalam memperteguh aqidah seseorang,
terlebih, abad ke 19 Masehi merupakan hari terberat bagi kebanyakan kaum muslim diseluruh
penjuru negeri, adanya ekspansi dari barat ke negara Afrika, Timur Tengah dan negara Islam,
berhasil memporak porandakan masyarakat muslim menjadi masayarakat terbelakang, doktrin-
doktrin disisipkan barat kedalam masyarakat muslim dalam upaya menjauhkan mereka dari al-
Qur`ān, melihat realita muslim yang ada pada saat itu, munculah sekelompok sarjana muslim
dari rahim Al-Azhar, diprakarsai oleh al-Syaikh Sayyid al-Kūmi dan beberapa ulama dari
fakultas Ushuluddin, mematangkan konsep Tafsīr Mauḍū’i guna menjawab semua tuduhan dan
doktrin barat, upaya ini membuahkan hasil, hingga kini, Tafsīr Mauḍū’i yang disusun oleh al-
Kūmi mendapat apresiasi oleh penerus-penerusnya, hingga lahirlah banyak karya akademik
dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer.

Diantara beberapa karya yang lahir pada abad ini adalah; al-Insān fī al-Qur`ān karya
‘Abbās Maḥmūd al-‘Aqqād (w.1964M), al-Yahūd fī al-Qur`ān karya Muḥammad ‘Izzah
Darwazah (1984 M), Ẓāhirah al-Nifāq fī al-Qur`ān karya ‘Abd al-Raḥmān Ḥabbanakah
(w.2004), dan Mutasyābih al-Qur`ān Dirāsatan Mauḍū’iyyatan karya ‘Adnān Muḥammad

8
Musṭafā Muslim, Mabāḥiṣ fī al-Tafsīr al-Mauḍū’i, h. 19.

7
Zarzūr. Semua karya tersebut memiliki dampak yang sangat besar karena berhasil memaparkan
apa yang dimaksudkan al-Qur`ān dengan pendekatan-pendekatan penemuan terbaru dan lebih
bersifat kontemporer.9

Dengan demikian, bahwa perkembangan Tafsīr Mauḍū’i sebenarnya sudah muncul


pada era Rasūlullāh, secara teknis tidak jauh berbeda, namun apa yang dilakukan pada masa-
masa sebelumnya tidak menggunakan istilah seperti yang digunakan era kontemporer seperti
Tafsīr Mauḍū’i saat ini.

B. Biografi Musṭafā Muslim (1940-2021M)

Tidak terdapat banyak sumber yang didapat oleh penulis dalam menjelaskan tentang
biografi Musṭafā Muslim, namun ada beberapa sumber yang berhasil dikumpulkan untuk
mengungkap tokoh ulama muslim satu ini, Musṭafā lahir pada tahun 1940 Masehi di sebuah
daerah bernama ‘Ain al-‘Arab, termasuk dalam propinsi Aleppo di selatan Suriah. Musṭafā
merupakan sepupu dari politisi Suriah bernama Sāliḥ Muslim Muḥammad. Masa
pendidikannya terbilang cukup menjanjikan, tingkat sarjana berhasil diselesaikan di
Universitas Damaskus dengan konsentrasi Syarī’ah Islāmiyah pada tahun 1965, berlanjut pada
tingkat Magister yang dituntaskan di Universitas Al-Azhar Kairo pada tahun 1969 dan
berlanjut tingkat Doktoral di Universitas yang sama pada tahun 1974 namun untuk dua jenjang
terakhirnya Musṭafā mengganti fokusnya pada konsentrasi Tafsīr dan Ilmu-ilmu al-Qur`ān.

Kecerdasan Musṭafā memang sudah terlihat dalam karir pendidikannya, disertasi yang
berjudul I’jāz al-Qur`ān al-Karīm membawa dirinya mendapat gelar doktor dengan nilai
Mumtāz Ma’a Martabah Syarf dibawah asuhan al-Syaikh ‘Alī Maḥmud Khalīl al-Khusarī.
Setelah menyelesaikan doktoralnya, Musṭafā terjun kedalam dunia pendidikan, terbukti hampir
sepanjang hidupnya dihabiskan untuk menulis buku dan mengajar di berbagai universitas
dalam dan luar negeri. Diantaranya Universitas Imam Saud di Saudi Arabia, Universitas al-
Syāriqah di Uni Emirat Arab dan terakhir di Universitas al-Zahrā di Turki.

Terdapat sejumlah karangan yang menghiasi kampus-kampus ternama dan mewarnai


corak ilmu keislaman terutama dalam bidang Tafsīr dan Ilmu-ilmu al-Qur`ān, ada sekitar 17
karangan Musṭafā yang sudah dicetak serta terdapat jurnal-jurnal keislaman dan hasil penelitian
baik yang terpublikasi maupun tidak.

9
Salāḥ ‘Abd al-Fattāḥ al-Khālidī, al-Tafsīr al-Mauḍū’i, h. 37.

8
Musṭafā akhirnya kembali ke sisiNya, setelah berjuang melawan virus Covid-19, beliau
menghembuskan nafas terakhir pada hari Kamis 17 April 2021 saat berusia 81 tahun di kota
Ghazi Entab, Turki.

C. Metode dan Langkah Tafsīr Mauḍū’i bi al-Ayat menurut Musṭafā Muslim

Musṭafā Muslim dalam kitabnya Mabāḥiṣ menyusun langkah-langkah yang harus


ditempuh bagi siapapun yang hendak menulis Tafsīr Mauḍū’i bi al-Ayat sebagai berikut;

1. Memilih tema untuk diterapkan pada judul yang menjadi inti pembahasan kajian
Tafsīr Mauḍū’i.
2. Menghimpun beberapa ayat yang berkaitan erat dengan pembahasan tema besar,
termasuk ayat pendukung.
3. Menyusun dari ayat-ayat tersebut berdasarkan masa turunnya wahyu, ini dapat
diperhatikan melalui Asbāb al-Nuzūl, dikarenakan, apa yang diturunkan periode
Makkiyyah tentu lebih bersifat Universal seperti perintah tentang berinfaq, zakat,
berbuat baik, dibanding ayat yang diturunkan pada periode Madaniyyah yang
didominasi pleh ayat-ayat hukum.
4. Penelaahan kajian tafsir ini haruslah bersifat menyeluruh dengan merujuk pada
kitab-kitab tafsir tahlili, karena didalam tafsir tahlili terdapat banyak penjelasan
mengenai Asbāb al-Nuzūl, penjabaran lafaẓ-lafaẓ dan penggunaannya serta
kesinambungan antar kalimat yang ada didalam al-Qur`ān.
5. Setelah berhasil mengumpulkan makna-makna ayat seputar tema besar, penkaji
haruslah dapat menyimpulkan sub-sub tema yang terkandung serta masih terhubung
dengan tema besar. Akan sangat baik jika berhasil menyusun kerangka berpikir dari
tema yang diambil.
6. Kemudian, pengkaji memaparkan tafsir secara umum dari hasil penelitiannya dan
tidak terbatas pada penjabaran makna lafaẓ saja, bertujuan agar apa yang ingin
disampaikan al-Qur`ān benar-benar terserap oleh pembaca dan memberikan
dampak positif, alangkah lebih baik jika dikuatkan dengan dalil-dalil Ḥadīṣ
Rasūlullāh, perkataan Sahabat serta terdapat pendapat-pendapat Mufassirin pada
sebagian ayat-ayat yang kontradiktif.
7. Sebaiknya, bagi pengkaji haruslah menyusun Tafsīr Mauḍū’i menggunakan metode
dan gagasan ilmiah serta menyusun kerangka penelitian sebagaimana karya ilmiah
lainnya seperti menyampaikan penggunaan metode yang dipilih pengkaji di bagian

9
prolog. Serta Menyusun pada tiap tema terdiri dari bab-bab, serta menyusun bab
terdiri dari sub-sub judul, serta diakhiri dengan khulasah dan kesimpulan ringkas
dari penelitian sebuah tema.
8. Memperhatikan tujuan dari penelitian ini berupa; Pertama, memprioritaskan al-
Qur`ān serta memaparkan dalam bentuk yang dapat menarik perhatian serta
menyebutkan hikmah dari pensyariatan terhadap kebutuhan masyarakat dan
memberikan dampak positif. Kedua, sajikan dengan bahasa yang ilmiah dan dapat
dipertanggung jawabkan serta tersusun rapi dalam merangkai kerangka berpikir
agar memberikan pengaruh pada pembaca.10
D. Kodifikasi ayat yang terdapat lafaẓ )‫(ع ل م‬

Untuk menelusuri terkait lafaẓ )‫ (ع ل م‬yang terdapat pada al-Qur`ān, peneliti merujuk
pada kamus al-Mu’jam al-Mufahras lī alfāẓ al-Qur`ān karya Muḥammad Fu`ad ‘Abd al-Bāqi11
yang akan penulis suguhkan dalam bentuk table sebagai berikut;

Jumlah
No kata/‫لفظ‬ Rincian Surat
Ayat
M 2:60, M 2:187, M 2:235, K 7:160, M 8: 23, M 8:66, M
1 َ‫َع ِل َم‬ 12 Ayat
24:41, K 45:9, M 48:18, M 48:27, M 73:20, M 73:20
2 َ ‫َع ِل َم‬
‫ت‬ K 37:158, K 81:14, K 82:5 3 Ayat
ُ
3 ‫َع ِلمت َم‬ M 2:65, K 12:73, K 12:89, M 24:33, K 56:62 5 Ayat
ُ ُُ َ
4 ‫ن‬
َ ‫ع ِلمتموه‬ M 60: 10 1 Ayat
ََ
5 ‫َع ِلمت َه‬ M 5:116 1 Ayat
6 َ ‫َع ِلم‬
‫نا‬ K 12:51, K 12:81, K 15:24, K 15:24, M 32:50, K 50:4 6 Ayat
ُ
7 ‫َع ِل َم َه‬ M 4:83 1 Ayat
8 َ ‫َع ِل ُم‬
‫وا‬ M 2:102, K 28:75 2 Ayat
M 2:30, M 2:33, M 2:33, M 2:259, M 5:116, K 6:50, K 7:62, K
9 ‫أعل َُم‬ 11 Ayat
7:188, K 11:31, K 12:86, K 12:96, M 2:106
َ M 2:106, M 2:107, M 4:113, M 5:40, M 5:116, M 9:43, K 11:79, K
10 ‫تعل َُم‬ 12 Ayat
14:38, K 19:65, M 22:70, K 28:13, M 32:17
َ
11 َ ‫لتعل ُم‬
‫ن‬ K 20:71, K 38:88 2 Ayat
َ
12 ‫تعل ُم َهَا‬ K 11:49 1 Ayat
َ
13 ‫تعل ُم ُه َم‬ M 9:101 1 Ayat
َ M 5:97, M 6:91, K 10:5, K 12:80, K 17:12, M 33:5, M 48:27, M
14 ‫تعل ُموَا‬ 9 Ayat
65:12

10
Musṭafā Muslim, Mabāḥiṣ fī al-Tafsīr al-Mauḍū’i, h. 37-39.
11
Muḥammad Fu`ād ‘Abd al-Baqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur`ān, Bāb al-‘Ilm (Kairo:
Maṭba’ah Dār al-Kutub al-Misriyyah, 1945), h. 469-481.

10
M 2:22, M 2:30, M 2:42, M 2:80, M 2:151, M 2:169, M 2:184, M
2:188, M 2:216, M2:232, M 2:239, M 2:280, M 3:71, M 3:66, M 6:
67, M6:81, M 6: 135, K 7:28, K 7:33, K 7:38, K 7: 62, K 7:75, K
َ َ 7:123, M 8:27, M 9:41, K 10:68, K 11:39, K 11:93, K 12:86, K
15 َ ‫تعل ُمو‬
‫ن‬ 56 Ayat
12:96, K 16:8, K 16:43, K 16:55, K 16:73, K 16:78, K 16: 95, K
21:7, K 23:84, K 23:88, K23: 114, M 24:19, M 26:49, K 26:132, K
29:16, K 30:34, K 30:56 K 39:39, K 56:61, K 56:76, M 61:5, M
61:11, M 62:9, K 71:4, K 102:3, K 102:4, K 102:5
َ َ َ
16 َ ‫فستعل ُمو‬
‫ن‬ K 20:135, K 67:17, K 67:29 3 Ayat
َُ ُ َ
17 ‫تعلمونه َم‬ M 8:60 1 Ayat
ُ َ
18 ‫تعل ُموه َم‬ M 48:25 1 Ayat
َ M 2:143, M 3:167, M 5:113, K 6:33, K 15:170, K 16:103, K 18:12,
19 ‫نعل َُم‬ 12 Ayat
K 34:21, K 36:72, M 47:31, K 50:16, K 69:49
َ
20 ‫نعل ُم ُه َم‬ M 9:101 1 Ayat
M 2:216, M 2;220, M 2:232, M 2:235, M 2:255, M 3:7, M 3:29, M
3:66, M 3:140, M 3:142, M 3:142, M 3:166, M 3:167, M 4:63, M
4:94, M 4:94, M 4:97, M 4:99, K 6:3, K 6:3, K 6:59, K 5:60, M 8:70,
M 9:16, M 9:42, M9:78, K 10:18, K 11:5, K 11:6, K 12:52, M 13:8,
M 13:19, M 13:33, M 13:42, K 16:19, K 16:23, K 16:39, K 16:70, K
16:74, K 16:91, K 20:7, K 20:110, K 21:4, K 21:28, K 21:39, K
21 ‫َيعل َُم‬ 21:110, K 21:110, M 22:5, M 22:54, M 22:70, M 22:76, M 24:19, M 93 Ayat
24:29, M 24:63, M 24:64, K 25:6, K 27:25, K 27:65, K 27:74, K
28:69, K 28:78, K 29:42, K 29:45, K 29:52, K 31:34, K 33:18, K
33:51, K 34:2, K 36:16, K 40:19, K 41:22, K 42:25, K 42:35, M
47:19, M 47:26, M 47:30, M 49:16, M 49:18, M 57:4, M 57:25, M
57:29, M 58:7, M 63:1, M 64:4, M 64:4, K 67:14, K 72:28, M 73:20,
K 73:31, K 87:7, K 96:5, K 96:14, K 100:9
22 ‫َس َيعل َُم‬ M 13:42, M 26:227 2 Ayat
23 َ ‫ل َيعل َم‬
‫ن‬ M 29:3, M 29:3, M 29:11, M 29:11 4 Ayat
ُ
24 ‫َيعل ُم َه‬ M 2:197, M 2:270, M 3:29, M 26:197 4 Ayat
25 َ ‫َيعل ُم‬
‫ها‬ K 6:59, K 6:59 2 Ayat
26 ‫َيعل ُم ُه َم‬ M 8: 60, K 14:9, K 18:22 3 Ayat
27 َ ‫َيعل ُم‬
‫وا‬ M 9:63, M 9:78, M 9:97, M9:104, K 14:52, K 18:21, M 39:52 7 Ayat
M 2:13, M 2:26, M2 :75, M 2:77, M 2:78, M 2:101, M 2:102, M
2:103, M 2:113, M 2:118, M 2:144, M 2:146, M 2:230, M 3:75, M
3:78, M 3:135, M 5:104, K 6:37, K 6:97, K 6: 105, K 6:114, K 7:32,
K 7:131, K 7:182, K 7:187, M 8:34, M 9:6, M 9:11, M 9:93, K 10:5,
K 10:55, K 10:89, K 12:21, K 12:40, K 12:46, K 12:68, K 15:3, K
َ 15:96, K 16:38, K 16:41, K 16:56, K 16:75, K 16:101, K 21:24, K
28 َ ‫َيعل ُمو‬
‫ن‬ 85 Ayat
24:25, K 25:42, K 27:52, K 27:61, K 28:13, K 28:57, K 29:41, K
29:64, K 29:66, K 30:6, K 30:7, K 30:30, K 30:59, K 31:25, K 34:14,
K 34:28, K 34:36, K 36:26, K 36:36, K 37:170, K 39:9, K 39:9, K
39:26, K 39:29, K 39:49, M 40:57, K 40:70, K 41:3, K 42:18, K
43:86, K 43:89, K 44:39, K 45:18, K 45:26, K 52:47, M 58:14, M
63:8, M 68:33, K 68:44, K 70:39, K 82:13
َ
29 َ ‫َس َيعل ُمو‬
‫ن‬ K 19:75, K 54:26, K 72:24, K 78:4, K 78;5 5 Ayat
30 ‫اعل َم‬ M 2:260, M 5:49, K 28:50, M 47:19 4 Ayat

11
M 2:194, M 2: 196, M 2:203, M 2:209, M 2:223, M 2:231, M 2: 233,
M 2:235, M 2:235, M 2:244, M 2:267, M 5:34, M 5:92, M 5:98, M
31 َ ‫اعل ُم‬
‫وا‬ 27 Ayat
8:25, M 8:24, M 8:28, M 8:40, M 8:41, M 9:2, M 9:3, M 9:36, M
9:123, K 11:14, M 49:7, M 57: 17, M 57:20,
32 ‫ِل ُيعل ََم‬ M 24:32 1 Ayat
َّ
33 ََ ‫َعل‬
‫م‬ M 2:31, M 55:2, K96:4, K 96:5 4 Ayat
َ ُ َّ
34 َ ‫َعلمت‬
‫ك‬ M 5:110 1 Ayat
ُ َّ
35 َ‫َعلمتم‬ M 5:4 1 Ayat
َ َ َّ
36 ‫َعلمتنا‬ M 2:32 1 Ayat
َ َّ
37 َ ‫َعلمت‬
‫ن‬ K 12:101 1 Ayat
َ َّ
38 َ ‫َعل َم‬
‫ك‬ M 4:113 1 Ayat
ِّ
39 َ ‫َعلم‬
‫ن‬ K 12:37 1 Ayat
ُ َّ
40 ‫َعل َم َه‬ M 2:251, M 2:282, K 53:5, M 55:4 4 Ayat
ُ
41 َ ‫تع ِل َم‬
‫ن‬ K 18:66 1 Ayat
َ ُ
42 َ ‫تع ِل ُمو‬
‫ن‬ M 3:79, M 49:16 2 Ayat
َ ُ
43 َ ‫تع ِل ُمون ُه‬
‫ن‬ M 5:4 1 Ayat
ُ ِّ ُ
44 ‫َو ِلن َعل َم َه‬ K 12:21 1 Ayat
ِّ
45 َ ِ ‫ُي َعل َم‬
‫ان‬ M 2:102 1 Ayat
َ ِّ
46 َ ‫ُي َعل ُم‬
‫ك‬ K 12:6 1 Ayat
ُ ِّ
47 ‫ُي َعل ُمك َم‬ M 2:151, M 2:151, M 2:282 3 Ayat
ُ ِّ
48 ‫ُي َعل ُم َه‬ M 3:48, K 16:103 2 Ayat
ِّ
49 ‫ُي َعل ُم ُه َم‬ M 2:129, M 3:164, M 62:2 3 Ayat
َ
50 َ ‫ُيع ِل ُمو‬
‫ن‬ M 2:102 1 Ayat
َ ِّ
51 َ ‫ُعلم‬
‫ت‬ K 18:66 1 Ayat
ُ ِّ
52 ‫ُعلمت َم‬ M 6:91 1 Ayat
َ ِّ
53 ‫ُعلمنَا‬ K 27:16 1 Ayat
َ َّ َ
54 َ ‫َيت َعل ُمو‬
‫ن‬ M 2:102, M 2:102 2 Ayat
‫َع ِال َم‬
K 6:73, M 9:94, M 9:105, M 13:9, K 23:92, K 32:6, K 34:3, K 35:38,
55 13 Ayat
K 39:46, M 59:22, M 62:8, M 64:18, K 72:26
َ
56 َ ‫ال َع ِال ُمو‬
‫ن‬ K 29:43 1 Ayat
57 ََ ‫َع ِال ِم‬
‫ي‬ K 12:44, K 21:51, K 21:81, K 30:22 4 Ayat
58 ‫ُعل َما َُء‬ M 26:197, K 35:28 2 Ayat
ُ K 15:21, K 15:4, K 15:38. K 26:38, K 26:155, K 37:41, K 37:164, K
59 ‫َمعلو َم‬ 11 Ayat
38:81, K 56:50, K 70:24, K 17:22
ُ
60 َ ‫َمعلو‬
‫مات‬ M 2:197, M 22:28 2 Ayat
ِّ
61 ‫ُم َعل َم‬ K 44:14 1 Ayat
M 3:36, M 3:167, M 4:25, M 4:45, M 5:61, K 6:53, K 6:58, K 6:117,
K 6:117, K 6:119, K 6:124, M 10:40, K 11:31, K 12:77, K 16:101, K
16:125, K 16:125, K 17:25, K 17:47, K 17:54, K 17:55, K 17:84, K
62 ‫أعل َُم‬ 18:19, K 18:21, K 18:22, K 18:26, K 19:70, K 20:104, M 22:68, K 49 Ayat
23:96, K 26:188, K 28:37, K 28:56, M 28:85, M 29:10, K 29:32, K
39:70, K 46:8, K 50:45, K 53:30, K 53:30, K 53:32, K 53:32, M 60:
1, M 60:10, K 68:7, K 68:7, K 84:23

12
M 2:29, M 2:32, M 2:95, M 2:115, M 2:127, M 2:137, M 2:158, M
2:181, M 2:215, M 2:224, M 2:227, M 2:231, M 2:244, M 2:246, M
2:247, M 2:256, M 2:261, M 2:268, M 2:273, M 2:282, M 2:283, M
3:34, M 3:35, M 3:63, M 3:73, M 3:73, M 3:92, M 3:115, M 3:119,
M 3:121, M 3:154, M 4:12, M 4:26, M 4:176, M 5:7, M 5:54, M
5:76, M 5:97, K 6:13, K 6:83, K 6:96, K 6:101, K 6:115, K 6:128, K
6:139, K 7:109, K 7:112, K 7:200, M 8:17, M 8:42, M 8:53, M 8:61,
M 8:71, M 8:75, M 9:15, M 9:28, M 9:44, M 9:37, M 9:60, M 9:97,
M 9:98, M 9:103, M 9:106, M 9:110, M 9:115, K 10:36, K 10:65, K
63 ‫َع ِلي َم‬ 10:79, K 11:5, K 12:6, K 12:19, K 12:34, K 12:50, K 12:55, K 12:76, 140 Ayat
K 12:83, K 12:100, K 15:25, K 15:53, K 15:86, K 16:28, K 16:70, K
21:4, M 22:52, M 22:59, K 23;51, M 24:18, M 24:21, M 24:28, M
24:32, M 24:35, M 24:41, M 24:58, M 24:59, M 24:60, M 24:64, K
26:34, K 26:37, K 26:220, K 27:6, K 27:78, M 29:5, K 29:60, K
29:62, K 30:54, K 31:23, K 31:24, K 24:26, K 35:8, K 35:38, K
36:38, K 36:79, K 36:81, K 39:7, K 40:2, K 41:12, K 41:36, K 42:12,
K 42:24, K 42:50, K 43:9, K 43;84, K 44:6, K 49:1, K 49:8 K 49:13,
K 49:16, K 51:28, K 51:30, M 57:3, M 57:6, M 58:7, M 60:10, M
62:7, M 64:4, M 64:11, M 66:2, M 66:3, K 67:13

M 4:11, M 4:17, M4:24, M 4:32, M 4:35, M 4:39, M 4:70, M 4:92,


64 َ ‫َع ِلي‬
‫ما‬ M 4:104, M 4:111, M 4:127, M 4:147, M 4:148, M 4:170, M 33:1, M 22 Ayat
33:40, M 33:51, M 33:54, K 35:44, M 48:4, M 48:26, M 76:30
65 َ‫َعَّل ُم‬ M 5:109, M 5:116, M 9: 78, K 34:48 4 Ayat
M 2:32, M 2:120, M 2:145, M 2:247, M 3:7, M 3:18, M 3:19, M
3:61, M 3:66, M 3:66, M 4:157, M 4:162, M 5: 109, K 6;100, K
6:108, K 6:119, K 6:140, K 6:143, K 6: 144, K 6:148, K 7:7, K 7:52,
K 10:93, K 11:14, K 11:46, K 11:47, K 12:68, K 12:76, M 13:37, M
13:43, K 16:25, K 16:27, K 16:70, K 17:36, K 17:85, K 17:107, K
66 ‫العل َُم‬
ِ 18:5, K 19:43, M 22:3, M 22:5, M 22:8, M 22:54, M 22:71, M 23:15, 80 Ayat
K 27:40, K 27:42, K 28:78, K 28:80, K 29:8, K 29:49, K 30:29, K
30:56, K 31:6, K 31:15, K 31:20, K 31:34, M 34:6, K 38:69, K
39:49, K 40:42, K 40:83, K 41:47, K 42:14, K 43:20, K 43: 61, K 43:
85, K 44:32, K 45:17, K 45:23, K 46:4, K 46:23, K 46:23, M 47:16,
M 48:25, K 53:28, K 53:30, K 53:35, M 58:11, K 67:26, K 102:5
K 6:80, K 7:19, K 12:22, K 18:65, K 20:98, K 20:110, K 20:114, K
67 ‫ِعلمَا‬ 14 Ayat
21:74, K 21:79, K 27:15, K 27:84, K 28:14, K 40:7, M 65:12
68 ‫ِعل ِم َِه‬ M 2:255, M 4:166, K 10:39, K 35:11, K 41:47, 5 Ayat
69 ‫ِعل ُم َهَا‬ K 7:187, K 7:187, K 20:52, M 33:63 4 Ayat
70 ‫ِعل ُم ُه َم‬ K 27:66 1 Ayat
71 ‫م‬
َ ِ ‫ِعل‬ K 26:112 1 Ayat
َ َ
72 ‫اْلعال ِ َم‬ K 42:32 1 Ayat
َ
73 َ ‫َعَّل َم‬
‫ات‬ K 16:16 1 Ayat
Catatan:
M : Menunjukan ayat Madaniyah
K : Menunjukkan ayat Makiyyah
Contoh : M 2:60 Maksudnya adalah ayat Madaniyah 2 (Nomor Surat) : 60 (Nomor Ayat)

13
BAB III
ILMU DAN ULAMA
A. Kedudukan Ilmu
Tak satupun agama yang sangat memperhatikan tentang ilmu selain Islam dan tak
satupun kitab yang sangat menjunjung tinggi ilmu selain al-Qur`ān, terlepas dari mulianya
kedudukan yang diberikan Allah terhadap ilmu, ilmu juga seringkali diserupakan bagai cahaya
yang dapat membawa manusia kepada kebenaran dan petunjuk, karena ilmu dapat membuka
segala yang samar dan terhalang sehingga membantu manusia meniti jalan yang diridhai
Allah.12

Tanda keutamaan ilmu terlihat jelas pada wahyu yang pertama kali diterima oleh
Rasūlullāh, meskipun hanya berjumlah lima ayat, namun wahyu ini memberikan isyarat
terhadap urgensi membaca dan ilmu, dua hal ini sangat erat kaitannya dan tidak bisa
dipisahkan. Allah berfirman dalam surah al-‘Alaq ayat 1-5 :

ِ‫ِعلمِالانسان‬٤َِۙ‫ِالذيِعلمِبالقلم‬٣َِۙ‫ِاقرأِوربكِالاكر ُم‬٢ِۚ‫ِخلقِالانسانِمنِعلق‬١ِۚ‫اقرأِباسمِربكِالذيِخلِق‬

٥ِِۗ‫ماِلمِيعلم‬

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! (1) Dia menciptakan
manusia dari segumpal darah. (2) Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia, (3) yang
mengajar (manusia) dengan pena. (4) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (5)
Pada ayat ini, mencakup beberapa hal, diantaranya: Pertama, al-Qirā`ah atau bacaan
sebagai kunci dari ilmu. Kedua, al-Qalam atau pena sebagai alat untuk menjaga ilmu. Ketiga,
penguatan ilmu dengan adanya tulisan. Keempat, materi atau objek dari ilmu.13 Dalam
rangkaian wahyu pertama ini terdapat kata al-Qirā`at dua kali, kata al-Qalam satu kali dan
kata al-‘Ilm tiga kali. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati dan menjunjung
tinggi ilmu serta menganjurkan bagi manusia untuk memiliki ilmu dan mencarinya pada tiap
kesempatan.

Ayat kelima pada surah al-‘Alaq yakni ‫ علم اإلنسان ما لم يعلم‬merupakan isyarat pada
manusia bahwa pada dasarnya, semua manusia tidak memiliki ilmu, maka dengan diberikannya
ilmu, tentu akan terjadinya perbedaan antara orang berilmu dan tidak berilmu, sekaligus derajat
mereka akan berpindah dari derajat yang lebih rendah kepada beberapa derajat yang lebih

12
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm, h. 91.
13
Muḥammad al-Sayyid ‘Awwāḍ, al-Tafsīr al-Mauḍū’i, h. 74.

14
tinggi dan derajat kemuliaan, hal ini juga terjadi pada Nabi Adam, sosok makhluk lemah
tercipta dari tanah hitam namun diberi keistimewaan sebagai manusia pertama serta
mendapatkan ilmu secara langsung melalui Allah dan menjadikannya sebagai Khalīfah fī al-
Ard, didalam surah al-Baqarah ayat 31 Allah berfirman:

ٰ ُ ُ ُ ٰٓ ٰۤ ُ ُ ٰ
ِ ٣١ِ‫وعلمِادمِالاسماۤءِكلهاِثمِعرض ُهمِعلىِالملىِٕكةِفقالِانۢب ُٔـونيِباسماۤءِهؤلاۤءِانِكنتمِصدقين‬

“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia


memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku
nama-nama (benda) ini jika kamu benar!”
Rasyīd Riḍā mengatakan dalam Tafsīr al-Manār, bahwa ilmu yang didapat Nabi Adam
dari Allah tidak terbatas pada mengetahui sebuah nama saja, melainkan ilmunya mencakup
pada hal-hal yang bersifat detail. Sehingga ada perbedaan antara ilmu para malaikat dengan
ilmu Nabi Adam saat ia memaparkan kembali nama-nama yang diajarkan Allah dihadapan
Malaikat. Meskipun pada hakikatnya Malaikat mengetahui nama-nama yang disebutkan oleh
Nabi Adam, namun pemaparannya lebih terperinci dan lebih bersifat komperhensif sebab Nabi
Adam dipersiapkan untuk menjadi Khalīfah di muka bumi, maka ada pengkhususan yang
diajarkan oleh Allah terhadapnya.14 Sehingga, para malaikat pun tunduk dan bersujud padanya
setelah mengakui bahwa manusia yang disiapkan Allah layak menjadi pemangku Khalīfah di
muka bumi berkat ilmu yang diajarkan pada Nabi Adam.

Dari ayat tersebut, tentu dapat kita simpulkan bahwa dengan adanya ilmu, akan
merubah pergeseran kedudukan manusia menjadi lebih mulia, bahkan para Malaikat sekalipun
bersimpuh lutut dan bersujud dihadapan Nabi Adam, sebagai bentuk pengagungan pada Allah
yang memberikan manusia ilmu. Selaras dengan surah al-Mujādilah ayat 11:

ُ ُ ُ ٰ
ُ ‫ِاّٰللِالذينِام ُنواِمنكمِوالذينِاو ُتواِالعلمِدر ٰجتِو ه‬
ِ ١١ِ‫اّٰللِبماِتعملونِخبيِر‬ ُ ‫ِيرفع ه‬...
ِۗ َۙ

“….Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan


orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang
kamu kerjakan.”
Ibn ‘Āsyūr mengatakan bahwa kata ‫ درجات‬dalam bentuk Ism Nakirah menandakan
makna tidak terbatas, derajat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang diberi ilmu
meliputi derajat duniawi dan derajat ukhrawi.15 Jika kita saksikan seksama, banyak sekali
penghargaan-penghargaan terhadap para ilmuwan berupa Nobel, gelar akademik, perilaku

14
Muḥammad Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, Jilid 1 (Kairo: Dār al-Manār, 1948), h. 64.
15
Al-Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr, Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Jilid 28 (Tūnis: Dār Tūnisia Li al-Nasyr, 1984), h. 236.

15
masyarakat terhadap orang berilmu tentu akan terasa berbeda, ini merupakan bentuk
pengangkatan Allah bagi orang berilmu semasa di dunia, juga apa yang dijanjikan ketika di
akhirat, akan diberikannya ganjaran berupa Surga.

B. Kedudukan Ulama (Ahl al-‘Ilm)


Perhatian al-Qur`ān tidak hanya terbatas pada ilmu, penyebutan ‫ الذين أوتوا العلم‬atau
disebut sebagai Ahl al-‘Ilm seringkali disandingkan dengan penambahan keistimewaan dari
berbagai aspek, seperti aspek pemikiran, aspek teologis, dan aspek moral menjadikan mereka
pantas mendapatkan keistimewaan ini. Para Ahl al-‘Ilm termasuk kedalam orang-orang yang
sudah terbukanya jalan kebenaran dan melihat petunjuk dari apa yang dibawa oleh Rasūlullāh.
Allah berfirman dalam surah Saba` ayat 6:

ٰ ُ ُ ُ ُ
ِ ٦ِ‫يِالىِصراطِالعزيزِالحميد‬
ٓ ‫د‬‫ه‬ ‫ي‬‫ِو‬
َۙ‫ق‬ ‫ح‬‫ِال‬
ِ ‫و‬‫ِه‬ ‫ك‬ ‫ب‬ ‫ِر‬ ‫ن‬ ‫ِم‬ ‫ك‬ ‫ي‬‫ل‬ ‫ِا‬ ‫ل‬‫ز‬‫ن‬‫ِا‬ ‫ي‬
ٓ ‫ذ‬‫ِال‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫واِال‬‫ت‬ ‫ويرىِالذينِاو‬

“Orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa (wahyu) yang diturunkan


kepadamu (Nabi Muhammad) dari Tuhanmu itulah yang benar dan memberi petunjuk
ke jalan (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.”
Kemudian pada surah al-Ḥājj ayat 54 Allah juga berfirman:

ٰ ُ ٰ ‫ه‬ ُ ُ ُُ ٗ ُ ُ ُ ُ ُ
ِ‫وليعلمِالذينِاوتواِالعلمِانهِالحقِمنِربكِف ُيؤمنواِبهٖ ِفتخبتِلهِقلوبهمِِۗوِانِاّٰللِلهادِالذينِامنوٓاِالىِصراط‬

ِ ٥٤ِ‫مستقيم‬

“Agar orang-orang yang telah diberi ilmu itu mengetahui bahwa ia (Al-Qur’an) adalah
kebenaran dari Tuhanmu sehingga mereka beriman dan hati mereka tunduk
kepadanya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemberi petunjuk kepada orang-
orang yang beriman ke jalan yang lurus.”
Dari kedua ayat tersebut, kita mengerti bahwa buah dari memiliki ilmu adalah semakin
kuatnya Iman, semakin kokohnya keyakinan, serta semakin meningkatknya kepercayaan
kepada Allah sang maha pemilik ilmu. Orang-orang yang diberi ilmu, akan menemukan segala
jawaban dari keraguan mereka berdasarkan ilmu,16 terutama ilmu keagamaan yang bersumber
dari al-Qur`ān juga al-Ḥadīṣ, semakin berilmu, mereka semakin tunduk kepada Allah, dan
memahami takdirnya sebagai seorang hamba Allah. Ini merupakan ciri utama seorang yang
diberi ilmu sebagaimana firman Allah dalam surah al-Isrā` ayat 107-109:

16
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm, 89.

16
ُ ٰ ُ ُ ُ ً ُ ٰ ُ ُ ُ
ِ‫ِسبحنِربنآِانِكانِوعد‬ ‫ ِويقولون‬١٠٧َِۙ‫ِسجدا‬ ‫اِيتلىِعليهمِيخرونِللاذقان‬ ‫… ِانِالذينِاوتواِالعلمِمنِقبل ٖهِٓاذ‬.
ً ُ ُ ُ ُ ُ ً ُ
١٠٩ِِ‫ِويخرونِللاذقانِيبكونِويزيدهمِخشوِعا‬١٠٨ِ‫ربناِلمفعولا‬

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Berimanlah kamu kepadanya (Al-Qur’an) atau


tidak usah beriman (itu sama saja bagi Allah)! Sesungguhnya orang-orang yang telah
diberi pengetahuan sebelumnya, apabila (Al-Qur’an) dibacakan kepada mereka,
mereka menyungkurkan wajah (dengan) bersujud.” (107) Mereka berkata, “Mahasuci
Tuhan kami. Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti terlaksana.” (108) Mereka
menyungkurkan wajah seraya menangis dan ia (Al-Qur’an) menambah kekhusyukan
mereka.” (109)
Al-Qur`ān bagi para Ahl al-‘Ilm tak lagi dimaknai sebatas perkataan-perkataan saja,
tetapi mereka jadikan al-Qur`ān itu sebagai petunjuk dan argumentasi yang paling jelas serta
dalil sempurna dan menjadi bukti kebenaran Rasūlullāh. Tentu tidak ada yang menolak al-
Qur`ān sebagai sumber ilmu kecuali mereka yang mengingkari Allah dan Rasulnya. Ahl al-
‘Ilm begitu disanjung oleh al-Qur`ān, mereka tak lagi menilai apapun berdasarkan penampakan
Ẓāhir, namun lebih pada inti karena hati mereka semakin berilmu akan semakin menjadikan
mereka tunduk, patuh dan taat kepada Allah sebagaimana firman Allah dalam surah Fāṭir ayat
28:

ُ ‫ه‬ ُ ‫ه‬
٢٨ِ‫…ِانماِيخشىِاّٰللِمنِعبادهِالعل ٰۤم ُؤاِِۗانِاّٰللِعزِيزِغفور‬

“….Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”
C. Pengaruh Ilmu bagi Ulama (Ahl al-‘Ilm)
Sebagaimana yang diserukan al-Qur`ān, bahwa ilmu seharusnya menjadikan seseorang
mendapat petunjuk pada keyakinan dan keimanan, serta membimbing pada kebenaran, dan
mengarah pada jalan yang diridhai Allah seperti beberapa ayat sebelumnya bahwa orang-orang
yang diberi ilmu, niscaya akan mendapat petunjuk dan berada dalam jalan kebenaran. Namun,
jika kita melihat realitas yang ada saat ini, cukup banyak orang yang berilmu tidak selalu berada
dalam kebenaran, bahkan menjadikan ilmu sebagai alat yang ditunggangi untuk kepentingan
hawa nafsu dan kelompok, misalnya, kita melihat ada beberapa pejabat yang justru terjerat
dalam kasus pidana, korupsi, suap menyuap, jual beli jabatan, sementara untuk dapat berdiri di
kursi pemerintahan tentulah bukan orang yang tidak berilmu terlebih orang bodoh, mengapa
ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya semakin orang berilmu semakin dekat pula dengan
kebenaran?

17
Al-Syaikh Yūsuf al-Qarḍāwi mengatakan didalam bukunya yang berjudul Al-‘Aql wa
al-‘Ilm fī al-Qur`ān al-Karīm ada perbedaan pendapat tentang dampak ilmu terhadap orang yang
berilmu, ia mengungkapkan perbedaan pendapat ini tidak hanya terjadi di kalangan ulama Muslim,
tetapi juga terjadi pada kalangan Filsuf klasik seperti Socrates dan Aristoteles. Socrates beranggapan
bahwa semakin banyak pengetahuan seseorang dan bobot ilmunya semakin berat tentulah secara
otomatis akal akan mengikutinya, ilmu menjadi penenang jiwanya, karena ada sebuah koneksi antara
ilmu dengan perbuatan dan langkah menuju kebenaran.

Berbeda dengan pendahulunya, Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda, menurutnya


sebuah pengetahuan sendiri tidaklah selalu tertuju pada petunjuk, berapa banyak manusia yang
mengetahui banyak ilmu, namun perilaku justru berjalan melawan arah, menuju apa yang menjadi
ambisi hawa nafsu dan syahwatnya.17

Uniknya, perbedaan pendapat ini, terjadi pula di kalangan ulama-ulama Muslim, seperti yang
diungkapkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah di dalam kitabnya berjudul Miftāḥ Dār al-Sa’ādah bahwa
ada perbedaan di kalagan Ulama tentang apakah ilmu selalu memberikan petunjuk atau ilmu tidaklah
harus memberi petunjuk?18 Diantara dalil masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:

Pertama, mereka yang berpendapat bahwa ilmu haruslah memberi petunjuk, dan siapapun yang
mengetahui kebenaran tidak diragukan lagi bahwa ia akan mendapat petunjuk (Hidayah). Diantara dalil
yang mendukung argumentasi mereka diantaranya:

Allah berfirman pada surah al-Nisā` ayat 162:

ُ ُ ُ ُ ُ ‫ه‬ ٰ
ࣖ ِ‫ِالرسخوِنِفىِالعلمِمن ُهمِوال ُمؤمنون ُِيؤمنونِبمآِانزلِاليكِومآِانزلِمنِقبلك‬
١٦٢…. ‫لكن‬

“Akan tetapi, orang-orang yang ilmunya mendalam di antara mereka dan orang-orang
mukmin beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan
pada (kitab-kitab) yang diturunkan sebelummu….”
Kemudian Allah berfirman pada surah al-Ra’d ayat 19:
ُ ُ
ِ ١٩ِ…ِِۗ‫افمنِيعل ُمِانمآِانزلِاليكِمنِربكِالحقِكمنِهوِاع ٰمى‬

“Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu (Nabi
Muhammad) dari Tuhanmu adalah kebenaran sama dengan orang yang buta? …”
Kemudian Allah berfirman pada surah Saba` ayat 6:

17
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm, h. 98.
18
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Miftāḥ Dār al-Sa’ādah wa Mansyūr Walāyah Ahl al-‘Ilm wa al-Irādah,
Jilid 1(Riyāḍ: Dār Ibn ‘Irfān, 1996), h. 305.

18
ٰ ُ ُ ُ ُ
ِ ٦ِ‫يِالىِصراطِالعزيزِالحميد‬
ٓ ‫د‬‫ه‬ ‫ي‬‫ِو‬
َۙ‫ق‬ ‫ح‬‫ِال‬ ‫و‬‫ِه‬ ‫ك‬ ‫ب‬
ِ ‫ِر‬ ‫ن‬ ‫ِم‬ ‫ك‬ ‫ي‬‫ل‬ ‫ِا‬ ‫ل‬‫ز‬‫ن‬‫ِا‬ ‫ي‬
ٓ ‫ذ‬‫ِال‬ ‫م‬‫ل‬ ‫ع‬ ‫واِال‬‫ت‬ ‫ويرىِالذينِاو‬

“Orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa (wahyu) yang diturunkan


kepadamu (Nabi Muhammad) dari Tuhanmu itulah yang benar dan memberi petunjuk
ke jalan (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.”
Didalam al-Qur`ān sangat banyak ayat-ayat yang menunjukan bahwa dampak dari
orang yang berilmu akan menemukan petunjuk dan jalan kebenaran serta menafikan adanya
kesesatan bagi orang berilmu.19 Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Mulk ayat 10:

ٰ ُ ُ ُ ُ
ِ ١٠ِ‫وقالواِلوِكناِنسم ُعِاوِنعقلِماِكناِفيِٓاصحبِالسعير‬

“Mereka juga berkata, “Andaikan dahulu kami mendengarkan atau memikirkan


(peringatan itu), tentulah kami tidak termasuk ke dalam (golongan) para penghuni
(neraka) Sa‘ir (yang menyala-nyala).”
Ayat ini menunjukan bahwa mereka yang berada dalam kesesatan adalah orang-orang
yang tak mau mendengarkan dan tidak mau menggunakan akalnya, ayat ini kemudian
diperjelas oleh Allah dalam surah al-Ankabūt ayat 43:

ٰ ُ ُ
ِ ٤٣ِ‫وتلكِالامثالِنضر ُبهاِللناسِۚوماِيعقلهآِالاِالعل ُمون‬

“Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia. Namun, tidak ada yang
memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu.”
Allah menegaskan bahwa orang-orang yang tidak menggunakan akalnya sama halnya
dengan orang yang tidak berilmu, dan ini tertuju pada mereka yang berada dalam kekufuran
dan kesesatan, karena didalam al-Qur`ān terkadang menyifati mereka dengan kata )‫(ال يعلمون‬
tidak mengetahui, terkadang dengan kata )‫ (ال يعقلون‬tidak menggunakan akal, terkadang
menggunakan kata )‫ (ال يشعرون‬tidak merasakan, terkadang pula menggunakan kata )‫(ال يفقهون‬
tidak mengerti dan terkadang menggunakan kata )‫ (ال يسمعون‬tidak mendengarkan. Maksud dari
tidak mendengarkan disini adalah, tidak mendengarkan jalan kebenaran sehingga mereka tetap
berada dalam kesesatan, atau mereka sebenarnya mendengar namun tidak
memperdulikannya.20

Kedua, kelompok yang mengatakan bahwa ilmu tidak selalu menunjukan pada
Hidayah, petunjuk dan kebenaran. Melihat realita yang ada bahwa banyak sekali orang yang

19
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm, 100.
20
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm, 101.

19
berilmu namun justru semakin sesat bahkan menuju kekufuran, dalil yang mereka gunakan
diantaranya;

Allah berfirman didalam surah Fussilat ayat 17:

ٰ ٰ ُ
ِ ١٧ِ…ِ‫واماِث ُمودِفهدين ُهمِفاستحبواِالع ٰمىِعلىِال ُهدى‬

“Adapun (kaum) Samud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih
menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu.”
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Ṣamūd sudah mendapatkan penjelasan, pengetahuan
dan mereka sudah mengetahui kebenaran itu namun, mereka lebih memilih kekufuran
dibanding mengikuti jalan kebenaran itu sendiri.

Allah kemudian juga berfirman didalam surah al-Naml ayat 13 dan 14:

ُُ ً ُ ُ ُ ٰ ُ ً ُ ‫فلماِجاۤءت ُهم ِٰا ٰي ُتن‬


ِ ١٤…ِِۗ‫ِوجحدواِبهاِواستيقنتهآِانف ُس ُهمِظلماِوعل ًّوا‬١٣ِِۚ‫اِمبصرةِقالواِهذاِسحرِمبين‬

“Ketika mukjizat-mukjizat Kami yang terang itu sampai kepada mereka, mereka
berkata, “Ini sihir yang nyata.” (13) Mereka mengingkarinya karena kezaliman dan
kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya...” (14).
Allah menegaskan bahwa ayat ini ditujukan untuk orang-orang Kāfir yang mengetahui
kebenaran, bahkan lebih dari sekedar mengetahui, bukan ditujukan pada mereka yang Jāhil
(bodoh). Namun lagi lagi mereka memilih tetap berada didalam kekufuran. Dalil kelompok ini
juga dikuatkan oleh firman Allah dalam surah Āli ‘Imrān ayat 70-71:

ُ ُ ٰ ُ ُ ‫ه‬ ٰ ُ ٰ
ِ‫ِيٰٓاهلِالكتبِلمِتلب ُسونِالحقِبالباطلِوتكت ُمونِالحقِوانتم‬٧٠ِ‫يٰٓاهلِالكتبِلمِتكف ُرونِبا ٰيتِاّٰللِوانتمِتشهدون‬

ِ ٧١ِِࣖ‫تعل ُمون‬

“Wahai Ahl al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah,99) padahal kamu
mengetahui (kebenarannya)? (70) Wahai Ahl al-Kitab, mengapa kamu
mencampuradukkan yang hak dengan yang batildan kamu menyembunyikan
kebenaran, padahal kamu mengetahui? (71).”
Terlihat jelas bahwa kekafiran dalam ayat ini, menunjukan bukan mereka tidak
mengetahui, bahkan apa yang terjadi, mereka sebenarnya sangat mengetahui kebenaran yang
dibawa oleh Rasūlullāh namun sangat disayangkan, mereka mengingkari kebenaran itu dan
tetap berada dalam kesesatan.

Melihat perbedaan antara ulama Islam sendiri, Ibn Qayyim al-Jauziyyah mencoba
mendudukan perbedaan pendapat ini dengan menjelaskan lebih rinci tentang makna Hidayah
atau petunjuk yang satu sisi disandingkan sebagai dampak dari ilmu, namun sisi lain ilmu tidak

20
selalu memberikan petunjuk, Ibn Qayyim lalu membagi tingkatan Hidayah yang dimaksud
dalam al-Qur`ān terbagi menjadi empat tingkatan.

Pertama: al-Hidāyah al-‘Āmmah, yaitu petunjuk yang ditujukan kepada seluruh


makhluk mulai dari hewan dan manusia, hidayah ini bertujuan untuk kebaikan dalam berbagai
perkara berupa naluri dan insting. Ini dipertegas dengan firman Allah dalam surah al-A’lā ayat
1-3:

ٰ
ِ ٣ِۖ‫ِوالذيِقدرِفهدى‬٢ِۖ‫ِالذيِخلقِفس هوى‬١َِۙ‫سبحِاسمِربكِالاعلى‬

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi (1) yang menciptakan, lalu


menyempurnakan (ciptaan-Nya), (2) yang menentukan kadar (masing-masing) dan
memberi petunjuk (3).”
Kedua: al-Hidāyah al-Bayān wa al-Adillah, yaitu petunjuk yang digunakan sebagai
argumentasi pendapatnya, hidayah semacam ini tidak mengarahkan pada kebenaran secara
utuh dan terbatas pada permulaan ilmu. Sebagaimana firman Allah pada surah Fussilat ayat 17:

ٰ ٰ ُ
ِ ١٧ِ…ِ‫واماِث ُمودِفهدين ُهمِفاستحبواِالع ٰمىِعلىِال ُهدى‬

“Adapun (kaum) Samud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih
menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu.”
Ketiga, al-Hidāyah al-Mujībah wa al-Mustalzimah li al-Ihtidā`, menurut Ibn
Qayyim al-Jauziyyah tingkatan ketiga ini termasuk kedalam hidayah yang wajib diberikan bagi
orang berilmu, bahkan mustahil jika hidayah ini tidak sampai pada orang-orang yang berilmu.

Keempat, al-Hidāyah fi al-Ākhirah Ilā al-Ṭarīq al-Jannah wa al-Nār, yaitu


petunjuk yang ditujukan pada manusia untuk memilih jalan kebenaran, dan petunjuk bagi
manusia ketika di dunia agar tercapai pada kebahagiaan akhirat. Sebagaimana firman Allah
dalam surah al-A’rāf ayat 43:

ُ ُ ُ
ُ ‫ِّٰللِالذيِه ٰدىناِل ٰهذاِِۗوماِكناِلنهتِديِلولآِانِه ٰدىن ه‬
ِ ٤٣ِ..ِِۗ‫اِاّٰللِِۚلقدِجاۤءت ُِر ُسلِربناِبالحق‬
‫ُ ه‬
‫…ِوقالواِالحمد‬

“… Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke (surga)
ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami.
Sungguh, rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran…..”
Dari pembagian yang dipaparkan Ibn Qayyim,21 penulis menyimpulkan bahwa ilmu
yang tidak didalami secara berulang tidak akan sampai pada hidayah yang menyelamatkan

21
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Miftāḥ Dār al-Sa’ādah, 307-309.

21
dirinya dari kesesatan dan kekufuran, sebagaimana yang dipaparkan al-Qur`ān pada surah al-
Taubah ayat 122:

ُ ُ
ِ ١٢٢…ِ‫…فلولاِنفرِمنِكلِفرقةِمن ُهمِطاۤىِٕفةِليتفق ُهواِفىِالدينِولينذ ُرواِقوم ُهم‬

“…Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal
bersama Rasūlullāh) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi
peringatan kepada kaumnya…”
Tentang ayat ini, Rasyīd Riḍā menjelaskan bahwa sebuah kewajiban bagi muslim
dalam mencari dan menuntut ilmu, serta memperdalam ilmu yang berkaitan dengan Agama,
karena hal ini memberikan manfaat besar bagi orang tersebut dan meberikan kebaikan bagi
sekitar. Bahkan dapat membantu masyarakat menemukan jalan kebenaran serta hidayah.22

22
Muḥammad Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, Jilid 11 (Kairo: Dār al-Manār, 1948), h. 78.

22
BAB IV
ANJURAN MENCARI ILMU
A. Anjuran untuk Menambah dan Mencari Ilmu
Salah satu yang menjadi fokus al-Qur`ān adalah ilmu, karena ilmu dapat
menghantarkan seseorang menuju keimanan, tiap kali seseorang muslim mendalami ilmu, tentu
akan semakin bertambah keyakinan dan keimanannya, Allah berfirman dalam surah Ṭāhā ayat
114:

ً ُ
ِ ١١٤ِ‫…وقلِربِزدنيِعلما‬

“… katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”


Sayyid Ṭanṭāwi menguraikan maksud dari ayat ini sebagai perintah Allah kepada
Rasūlullāh agar senantiasa memohon untuk terus diberikannya ilmu termasuk ilmu yang
bermanfaat lainnya dan tidak terbatas pada ilmu agama saja, dikarenakan ilmu agama tentu
sudah disempurnakan seiring diterimanya wahyu.23 Sementara al-Alūsi menanggapi ayat ini
sebagai dalil kemuliaan ilmu dengan adanya perintah bagi Rasūlullāh senantiasa memohon
agar Allah menambahkan baginya ilmu. Al-Alūsi juga menambahkan bahwa ada Sebagian
ulama yang berpendapat bahwa Rasūlullāh tidak hanya diperintahkan untuk menambah ilmu
saja, namun juga memohon untuk ditambahkan keimanan, pemahaman, keyakinan dan ilmu
yang bermanfaat.24

Beberapa anjuran lain dari al-Qur`ān terhadap ilmu diantaranya; ilmu haruslah diambil
dari sumber yang murni (al-Qur`ān dan al-Ḥadīṣ), melakukan perjalanan dalam mencarinya,
serta mengambil dari yang ulama memang kapasitas sudah teruji dan diuakui. Tentu, orang
yang sudah menancapkan dirinya pada ilmu, sejauh apapun ilmu ditempuh akan terasa dekat,
sesulit apapun rintangan yang menghalang akan terasa ringan.

Al-Qur`ān tidak terbatas pada anjuran-anjuran saja, bahkan al-Qur`ān memberikan


contoh panutan dalam mencari ilmu dari sosok Nabi Musa bin ‘Imrān, satu dari sekian Rasul
Ūlū al-Azmi yang digelari sebagai Kalīmullah, melalui perjalanan kisahnya menuntut ilmu
kepada Nabi Khiḍr terdapat banyak nasihat dan hikmah yang dapat dipetik.25

23
Muḥammad al-Sayyid Ṭanṭāwi, Al-Tafsīr al-Wasīṭ Li al-Qur`ān al-Karīm, Jilid 9 (Kairo: Dār al-
Nahdah, 1998), h. 157.
24
Syihāb al-Dīn al-Alūsi, Rūh al-Ma’ānī fī Tafsīr al-Qur`ān al-‘Aẓīm wa Sab’a al-Maṣānī, Jilid 15
(Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), h. 577.
25
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm, h. 218.

23
Kisah pencarian ilmu Nabi Musa yang diselimuti rangkaian ujian dan perjuangan
tertuang dalam Surah al-Kahf mulai dari ayat 60-82. Perjalanan ini tidak dilaluinya sendiri,
namun didampingi oleh salah satu muridnya yang bernama Yūsya’ ibn Nūn meskipun pada
akhirnya, mereka berdua terpisah.26 Perjalanan Nabi Musa bermula dari wahyu yang
diturunkan oleh Allah karena pertanyaan segolongan kaumnya yang menanyakan “Adakah
orang lain yang lebih tahu darimu?” kemudian Nabi Musa menjawab “Tidak ada”, maka
turunlah wahyu yang mengatakan bahwa terdapat salah satu hambaNya bernama Nabi Khiḍr.
Dari sinilah semangat Nabi Musa muncul dan siap menempuh perjalanan mencari Nabi Khiḍr
untuk menambah Ilmu. Allah berfirman dalam surah Al-Kahf ayat 66:

ً ُ ُ ٰٓ ُ ٰ ٗ
ِ ٦٦ِ‫قالِله ُِموسىِهلِاتبعكِعلىِانِتعلمنِِماِعلمت ُِرشدا‬

“Nabi Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau


mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari apa yang telah diajarkan kepadamu
(untuk menjadi) petunjuk?”

Al-Suyūṭī menjelaskan ayat ini didalam tafsirnya bahwa Nabi Musa meminta pada Nabi
Khidr agar menerima dirinya sebagai salah satu murid dan meminta padanya Sebagian ilmu,
ini menunjukan adanya anjuran agar senantiasa manusia selalu berusaha menambah ilmu.27

B. Adab dalam Menuntut Ilmu


Mengingat kembali tentang perjalanan Nabi Musa bertemu Nabi Khiḍr dalam menuntut
ilmu, terdapat nasihat-nasihat dan pendidikan yang ingin disampaikan oleh Allah melalui
Rasulnya, dari kisah ini, kita tentu mengetahui kedudukan Nabi Musa lebih tinggi dibanding
Nabi Khiḍr, ia merupakan pilihan Allah yang kemudian diangkat menjadi RasulNya. Namun,
ketika mendapatkan wahyu bahwa ada seorang hambaNya lebih memiliki pengetahuan
dibanding dirinya, ia tidak segan dan merasa dirinya tetap lebih tinggi dibanding Nabi Khidr.
Dengan semangat, ia bergegas menempuh perjalanan hanya untuk menemui Nabi Khidr dan
mengambil beberapa Ilmu darinya.28 Inilah bukti, bahwa sebaiknya dalam menuntut ilmu
seseorang harus bersikap Tawāḍu’.

Kemudian, usai bertemunya Nabi Musa dengan Nabi Khiḍr, ia meminta izin agar Nabi
Khiḍr memperkenankan Nabi Musa mengikuti dirinya dan menjadi murid Nabi Khiḍr dalam

26
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm, h. 220.
27
Jalāl al-Dīn al-Maḥalli dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālain (Kairo: Dār al-Hadis, t.th), h.
390.
28
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm, h. 227.

24
menambah ilmu. Mufassirin sepakat, sebagaimana telah disebutkan, bahwa perjalanan Nabi
Musa bukanlah dalam rangka mencari ilmu Syari’at atau berkaitan dengan agama, karena para
Nabi dan Rasul sudah tercukupi pengetahuan Syari’at mereka melalui wahyu yang diturunkan
langsung pada mereka. Perjalanan ini, menunjukan bahwa Nabi Musa juga dianjurkan mencari
ilmu lain yang bermanfaat. Ibn ‘Āsyūr mengatakan bahwa ilmu yang diajarkan oleh Nabi Khiḍr
adalah ilmu Siyāsah Khāssah, bukan Siyāsah ‘Āmmah. Karena didalam al-Qur`ān terkandung
kisah bagaimana Nabi Khidr menerapkan ‫ الجلب المصالح‬dan ‫ دفع المفسدة‬sepanjang perjalanan
dirinya bersama Nabi Musa. 29

Allah berfirman dalam surah Al-Kahf ayat 66:

ً ُ ُ ٰٓ ُ ٰ ٗ
ِ ٦٦ِ‫قالِله ُِموسىِهلِاتبعكِعلىِانِتعلمنِِماِعلمت ُِرشدا‬

“Nabi Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau


mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari apa yang telah diajarkan kepadamu
(untuk menjadi) petunjuk?”
Terlihat jelas dalam ayat ini, permintaan Nabi Musa pada Nabi Khiḍr sangatlah santun,
dengan mengatakan َ‫ َهل أ َت َّبعك‬menunjukkan kerendahan hati dan meminta izin sebelum
mengikuti seseorang. Nabi Musa terlihat sangat mengerti bahwa dirinya tidak lebih baik dari
Nabi Khiḍr hingga memilih kata ini sebagai permulaan pertemuan.

Kemudian Allah berfirman dalam surah al-Kahf ayat 67-68:

ُ ُ ٰ
ِ ٦٨ِ‫ِوكيفِتصب ُرِعلىِماِلمِتحطِبهٖ ِخب ًرا‬٦٧ِ‫قالِانكِلنِتستطيعِمعيِصب ًرا‬

“Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku. (67)
Bagaimana engkau akan sanggup bersabar atas sesuatu yang engkau belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya?” (68)
Nabi Khiḍr lalu menjelaskan pada Nabi Musa, bahwa perlu memiliki kesabaran ketika
hendak mengikuti dirinya, namun Nabi Musa meyakinkan Khiḍr bahwa dirinya akan berusaha
sekuat mungkin bersabar. Terlihat pada ayat 69:

ُ ‫قالِستج ُدنيِانِشاۤء ه‬
٦٩ِ‫ِاّٰللِصاب ًراِولآِاعصيِلكِام ًرا‬ ٓ

“Dia (Nabi Musa) berkata, “Insyaallah engkau akan mendapatiku sebagai orang
yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.”

29
Al-Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr, Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Jilid 15, h. 370.

25
Sebuah pelajaran berharga bagi kita, bahwa dalam menuntut ilmu, haruslah memiliki
sifat sabar, sabar dalam hal apapun, terhadap sikap guru, dalam memahami pelajaran yang sulit
dicerna, terhadap panjangnya waktu. Karena dengan kesabaran inilah, pertolongan Allah akan
memudahkan segala urusan-urusannya.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengatakan dalam kitabnya, bahwa ayat kisah perjalanan Nabi
Musa berguru dengan Nabi Khidr terdapat banyak hal yang dapat dihimpun berupa adab dan
etika ketika ia berguru pada Nabi Khidr. Beberapa Mufassirin juga menyebutkan tentang poin
penting etika dalam menuntut ilmu yang diajarkan oleh Nabi Musa.

Pertama, pengakuan dan penyerahan Nabi Musa sebagai pengikut Nabi Khidr.

Kedua, permintaan izin untuk menjadi pengikutnya, menggambarkan sikap Tawāḍu’


Nabi Musa dan sikap rendah hati yang dimilikinya.

Ketiga, lafaz ‫ على أ َن ت َعل َمن‬menunjukan pengakuan Nabi Musa bahwa dirinya tidak
memiliki banyak pengetahuan.

Keempat, lafaz ) َ‫ (مما علمت‬kata )‫ (من‬menunjukkan Sebagian. Bahwa apa yang dipinta
Nabi Musa dari Nabi Khiḍr hanya sebagian ilmu yang diberikan Allah padanya, sementara ia
belum mengetahuinya. Ini juga menunjukkan sikap tawāḍu’ Nabi Musa dalam menuntut ilmu.

Kelima, lafaz ) َ‫ (مما علمت‬juga merupakan bentuk sanjungan Nabi Musa bahwa Nabi
Khidr telah diberikan ilmu yang tidak diberikannya pada dirinya.

Keenam, lafaz )‫شدا‬


َ ‫ (َر‬menjadi alasan Nabi Musa berguru pada Nabi Khiḍr untuk
menambah ilmu sekaligus menambah petunjuk.30

Ketujuh, pada ayat ke 78-82, Nabi Khiḍr memberitahu Nabi Musa alasan melakukan
pekerjaan yang membuat Nabi Musa bertanya-tanya. Seperti; menenggelamkan perahu,
membunuh anak kecil, serta merenovasi dinding rumah yang hampir roboh. Semua sikap Nabi
Khiḍr merupakan bentuk peringatan dari seorang guru terhadap muridnya yang juga
semestinya dimiliki oleh seorang guru dalam menjaga muridnya dari pemahaman-pemahaman
yang kurang tepat.31

30
Yūsuf al-Qarḍāwi, Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm, h. 230-231.
31
Al-Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr, Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Jilid 15, h. 372.

26
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perhatian al-Qur`ān terhadap ilmu sangatlah besar, ini terlihat pada wahyu pertama
yang diturunkan berupa isyarat-isyarat ilmu, termasuk membaca, meneliti, dan memahami
segala yang membawa pada jalan kebenaran. Kedudukan ilmu yang begitu mulia, menjadikan
siapapun yang diberi ilmu memiliki keistimewaan serupa, karena ilmu pulalah, seorang yang
semula tidak memiliki pengetahuan apapun, ketika diberikannya ilmu, maka malaikatpun
tunduk dihadapannya, ini yang terjadi pada Adam Abū al-Basyar.

Begitupun para Ahl al-‘Ilm, semakin bertambah ilmu mereka, bertambah pula
keyakinan mereka, menguatkan aqidah, dan memperteguh keimanan hingga mereka dapat terus
melangkah menapaki jalan-jalan kebenaran. Ini merupakan jaminan dari Allah terhadap Ahl
al-‘Ilm, selain itu, keistimewaan berupa pengangkatan derajat mereka telah menjadi janji pasti
dari Allah.

Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah, ada banyak orang-orang berilmu yang
justru perilaku dan etikanya jauh dari petunjuk dan jalan kebenaran, sehingga, keniscayaan
hidayah bagi orang berilmu seakan kontradiktif denga napa yang disampaikan al-Qur`ān
Realitas inilah yang kemudian menjadi perbedaan pendapat antara dua kelompok dalam
menilai ilmu akan menuju pada hidayah, sementara yang lain menganggap ilmu tidak
memberikan hidayah. Perdebatan ini ditengahi dengan pendapat Ibn Qayyim al-Jauziyyah yang
membagi jenis-jenis hidayah menjadi empat tingkatan.

Pertama, Hidāyah al-‘Āmmah.

Kedua, Hidāyah al-Bayān wa al-Adillah.

Ketiga, Hidāyah al-Mujībah wa al-Mustalzimah li al-Ihtidā`.

Keempat, Hidāyah al-Ākhirah ilā al-Ṭarīq al-Jannah wa al-Nār.

Maka, menurut Ibn Qayyim, hidayah merupakan keniscayaan bagi mereka yang terus
menerus mendalami ilmu, terutama untuk mereka yang menyelami pada ilmu agama. Jika
seseorang dinilai berilmu namun perilaku yang diperbuat jutru menyelisihi kebenaran, tentu
belum dapat dimasukan ke dalam ketegori Ahl al-‘Ilm dan hidayah belum seutuhnya diterima.

27
Selain berbicara mulianya ilmu, al-Qur`ān juga menganjurkan untuk terus menambah
ilmu, karena semakin bertambah ilmu, akan semakin bertambah keimanan. Juga menganjurkan
untuk menempuh perjalanan demi mencari ilmu. Kisah Nabi Musa bin ‘Imran merupakan
panutan yang disuguhkan al-Qur`ān sebagai sosok penuntut ilmu dan serta mengajarkan etika-
etika dalam terhadap guru.

Adapun adab dan etika yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu sebagaiman contoh
yang diajarkan Nabi Musa diantaranya; memiliki rasa Ikhlas, Tawāḍu’, meminta izin untuk
diajarkan, bersungguh-sungguh, taat kepada guru dan tidak mencela bagaimanapun sikap
seorang guru, Serta diniatkan untuk menambah hidayah dan mencapai jalan kebenaran.

B. Saran
Tentu apa yang penulis sampaikan tidak dapat disajikan secara menyeluruh dan
komperhensif, keterbatasan keilmuan yang penulis miliki menjadi batasan dalam pemaparan
penelitian ini, namun penulis tidak akan berhenti sampai disini, dan akan selalu mengeksplor
penelitian-penelitian lainnya, terutama yang berkiatan dengan Tafsīr Mauḍū’i, maka dari itu,
akan sangat membahagiakan penulis jika terdapat masukan, tambahan, sanggahan dan
komentar yang membangun, agar penulis dapat meningkatkan penelitian kali ini menjadi lebih
baik dan bermanfaat.

28
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Baqī, Muḥammad Fu`ād. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur`ān, Bāb al-‘Ilm.
Kairo: Maṭba’ah Dār al-Kutub al-Misriyyah, 1945.

‘Awwāḍ, Muḥammad al-Sayyid. al-Tafsīr al-Mauḍū’i; Namāżaj Taṭbīqiyah fī Ḍaw’i al-


Qur`ān al-Karīm. Kairo: Maktabah Kuliyyah Usūl al-Dīn Jāmi’ah al-Azhar, 2017.

al-Alūsi, Syihāb al-Dīn. Rūh al-Ma’ānī fī Tafsīr al-Qur`ān al-‘Aẓīm wa Sab’a al-Maṣānī, Jilid
15. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.

al-Fairuzabadi, Mujīd al-Dīn ibn Muḥammad. Basā`ir żawī al-Tamyīz fī Laṭā`if al-Kitāb al-
‘Azīz, Jilid 4. Kairo: Lajnah Iḥyā` al-Turāṣ al-Islāmi, 1996.

al-Isfahāni, Al-Rāghib. Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur`ān. Beirut: Dār al-Ma’rifah, t.th.

al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. Miftāḥ Dār al-Sa’ādah wa Mansyūr Walāyah Ahl al-‘Ilm wa al-
Iradah, Jilid 1. Riyāḍ: Dār Ibn ‘Irfān, 1996.

al-Khālidī, Salāḥ ‘Abd al-Fattāḥ. al-Tafsīr al-Mauḍū’i. Amman, Dār al-Nafā`is, 2012.

al-Qarḍāwi, Yūsuf. Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur`ān al-Karīm. Kairo : Maktabah Wahbah, 1996.

al-Sajastanī, Abū Dāwūd Sulaiman. Sunan Abū Dāwūd, Jilid 2. Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1996.

Ibn ‘Āsyūr, Al-Ṭāhir. Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Jilid 28. Tūnis: Dār Tūnisia Li al-Nasyr, 1984.

Muslim, Musṭafā. Mabāḥiṣ fī al-Tafsīr al-Mauḍū’i. Damaskus: Dār al-Qalam, 2000.

Nawīr, ‘Abd al-Sattār Muḥammad. Al-Qur`ān wa Al-‘Ilm. Kairo: Maktabah Kuliyyah Usūl al-
Dīn, t.th.

Riḍā, Muḥammad Rasyīd. Tafsīr al-Manār, Jilid 1. Kairo: Dār al-Manār, 1948.

Ṭanṭāwi, Muḥammad al-Sayyid. Al-Tafsīr al-Wasīṭ Li al-Qur`ān al-Karīm, Jilid 9. Kairo: Dār
al-Nahdah, 1998.

29

Anda mungkin juga menyukai