Anda di halaman 1dari 13

A.

Biografi singkat al-Maudūdī


Abū al-A’lā al-Maudūdī dilahirkan pada tanggal 29 September 1903 M di sebuah kota
Bernama Aurangabad di selatan India, ayahnya yang Bernama Sayyid Aḥmad Ḥasan al-
Maudūdī seorang tokoh ulama yang juga memiliki kekerabatan dengan Sayyid Aḥmad Khān,
mereka berdua pendiri Universitas Islam di Aligarh.1 Dan dari garis ayahnya, al-Maudūdī
memiliki garis keturunan pada Sayyidina Husein bin Ali. Sementara Ibunya Bernama Ruqayya
Baygham Mirza.2
Pendidikan dasar hingga menengah dihabiskan di kota kelahirannya dibawah asuhan
langsung ayah al-Maudūdī, kecerdasan dirinya sudah tampak sejak usia dini, bukti
kecerdasannya adalah ia mampu pernah menerjemahkan kitab al-Islām wa al-Islāḥ milik
Syaikh ‘Abd al-Azīz al-Syāwisy dari Bahasa Arab ke Bahasa Urdu saat dirinya masih berusia
13 tahun.3
Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia berkecimpung di dunia politik dan media
masa, kemudian pada tahun 1948 al-Maudūdī pindah ke Pakistan dan fokusnya beralih pada
ranah dakwah serta keagamaan, dan pada tahun 1969 al-Maudūdī menghadiri muktamar yang
diselenggarakan oleh Universitas Qairuwan berlokasi di Kota Fes, Maroko.
Pada Tahun 1972, al-Maudūdī menyelesaikan kitab tafsirnya yang berjudul Tafhīm al-
Qur`ān, kitab ini diselesaikannya dalam kurun waktu sekitar 30 tahun 4 bulan4, ini disebabkan
karena al-Maudūdī menulis kitab tafsirnya di berbagai tempat yang berbeda dan dengan situasi
yang berbeda5. Pergerakan al-Maudūdī dalam bidang dakwah dinilai sangat berpengaruh bukan
hanya pada anak benua India saja, namun memberikan dampak pada negara-negara Islam
lainnya, sehingga al-Maududi mendapatkan penghargaan dari King Faisal raja Arab Saudi pada
masanya.
Diusia senjanya, al-Maudūdī mulai merasa kelehan dan mengidap beberapa penyakit,
hingga dirinya melakukan pengobatan oleh Dokter Aḥmad Fāruq al-Maudūdī yang berkerja di
Amerika, namun akhirnya al-Maudūdī wafat di Bufallo kemudian jasadnya dikembalikan ke
Lahore dan dimakamkan pada 26 September 1979 M.
B. Faktor pendorong al-Maudūdī menulis Tafhīm al-Qur`ān
Masyhur bagi kita bahwa abad ke 19 Masehi merupakan puncak terpuruknya dunia
Islam masuk ke dalam penjajahan kolonial Barat, yang mana penjajahan ini bukan hanya
menyerang fisik umat Muslim, melainkan pada perang pemikiran serta pembatasan ruang gerak
para ilmuan muslim.
Untuk bisa melepaskan masayrakat dari belenggu ini, ulama-ulama muslim selalu
bergelora menyuarakan gebrakan pembaharuan pemikiran dan membantah pemikiran-
pemikiran asing, karena melihat belum adanya tafsir yang memperhatikan permasalahan ini

1
Alīfuddin Turabi, al-Ustadz abu al-A’la al-Maududi wa Manhajuhu fi tafsir al-Qur`an al-Karim, (Tesis
S2., Universitas Umm al-Qura` Makkah, 1403 H/1982M), 115.
2
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 117.
3
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 123.
4
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 170.
5
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 330.
kecuali hanya beberapa saja terbesitlah dalam pikiran al-Maudūdī untuk menulis tafsir al-
Qur`ān dengan penafsiran progresif dan modern.6
Selain itu, al-Maudūdī berpendapat bahwa untuk menghasilkan pandangan-pandangan
yang dapat menjawab ragam tantangan permasalahan modern tidak bisa dilakukan kecuali
dengan memperhatikan penafsiran al-Qur`ān itu sendiri.7
C. Metode al-Maudūdī dalam Tafsir Tafhīm al-Qur`ān
1. Perhatiannya pada beberapa penamaan surat
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa terkadang sebuah surat dalam al-Qur`ān
memiliki lebih dari satu nama, penamaan sebuah surat dapat ditinjau dari beberapa sudut
pandang, adakalanya penamaan sebuah surat dilihat dari kandungan secara umum yang
menjadi pembahasan sebuah surat, atau kadangkala diadaptasi dari sebuah nama yang ada
dalam salah satu ayat surat tersebut, ini semua tentu terdapat aspek penting yang masih
berkaitan dengan tujuan utama sebuah surat.8 Beberapa contoh yang diterapkan oleh al-
Maudūdī, terhadap penamaan sebuah surat diantaranya;
• Nama surat al-Fātiḥah, menurut al-Maudūdī diambil dari posisi surat al-Fātiḥah sebagai
pembuka al-Qur`ān.
• Beliau menyebutkan pula ada beberapa surat memiliki ragam nama, diantaranya surat
Bani Isrāīl, diambil dari ayat ke 4:
َ ْ ٰ َْ َ َ
٤ .... ‫َوقضينآ ِالى َب ِن ْ ٓي ِاس َرا ِۤء ْيل‬
“Kami wahyukan kepada Bani Israil…”
Dan memiliki juga memiliki nama al-Isrā` berdasarkan ayat pertama:
ً َ َ ْ َ ْ َّ َ ٰ ْ ُ
١.....‫ي اس ٰرى ِبع ْب ِد ٖه ل ْيلا‬ ٓ ‫سبحن ال ِذ‬
“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada
malam…”

2. Perhatiannya pada pembatasan tempat dan waktu turunnya al-Qur`ān


Keterangan tentang tempat dan waktu turunnya al-Qur`ān memainkan peran penting
dalam mengungkap sebuah hukum bagi para pembacanya, ini menjadi salah satu yang
diperhatikan oleh al-Maudūdī. Contohnya; dalam surat al-Aḥzāb, disebutkan olehnya terdapat
tiga peristiwa penting. Pertama, perang Aḥzāb terjadi pada bulan Syawwāl tahun kelima
Hijriyah. Kedua, perang bani Quraiẓah yang terjadi pada bulan Żū al-Qa’dah di tahun yang
sama. Ketiga, pernikahan Nabi dengan Sayyidah Zainab bint Jahsy yang terjadi pada bulan Żū
al-Qa’dah.9
3. Fokus pada penjelasan dan latar belakang sejarah turunnya al-Qur`ān

6
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 325.
7
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 329.
8
Muḥammad Ghaiṣuddin Ḥāfiż, “Manhaj al-Ustāż al-Maudūdī fī tafsīrihī “Tafhīm al-Qur`ān” Dirāsāt,
al-Jāmi’ah al-Islāmiyah Syītāgung, vol.3, (Desember 2006): 15.
9
Muḥammad Ghaiṣuddin Ḥāfiż, “Manhaj al-Ustāż al-Maudūdī, 16.
Latar belakang peristiwa turunnya wahyu menjadi sangat penting dalam mengungkap
sebuah makna sebenarnya, dan menjadi penjelas atas kaidah al-‘ibrah fi ‘umūmi al-Lafżi lā bi
khusūs al-Sabab. Sehingga, diharapkan bagi pembaca berhasil menyentuh makna yang
terkandung didalam al-Qur’ān. Al-Maudūdī sangat antusias mengurai tentang peristiwa dibalik
turunnya al-Qur’ān, seperti contoh dalam surat al-Ahzāb, terdapat penjelasan pertempuran
antara dua kelompok muslim dan kafir di medan Uhud, kemudian di tahun yang sama juga
terdapat pertempuran melawan bani Quraiẓah dan diakhiri dengan penolakan al-Maudūdī
terhadap penyerangan Musyrikin terhadap personal Rasulūllāh yang memerintahkan Zaid
menceraikan Zainab agar dapat dinikahi oleh Rasūlullāh.10
4. Pemaparan ringkas tentang tema umum surat
Salah satu metode yang digunakan, al-Maudūdī sebelum membahas tafsīr sebuah surat,
ia memaparkan secara singkat tentang pokok-pokok yang terkandung dalam sebuah surat
beserta poin penting. Contoh; pada surat al-Ahzāb disebutkan al-Maudūdī pada ayat ke 28 dan
ke 35 terdapat dua tema utama. Pertama, Allah memilihkan pendamping Nabi. Kedua, Allah
mengajarkan tahapan dalam memperbaiki sosial masyarakat. 11
5. Perhatiannya terhadap Tafsīr bi al-Ma`ṣūr
Al-Maudūdī termasuk mufassir yang menggunakan metode bi al-Ma`ṣūr dalam
penulisan kitab tafsirnya, dan menjadikan penafsiran al-Qur`ān dengan al-Qur`ān, al-Qur`ān
dengan Ḥadīṣ Rasūlullāh, juga perkataan sahabat sebagai sumber utama penafsirannya.
6. Perhatiannya pada kisah-kisah didalam al-Qur`ān
Kisah-kisah didalam al-Qur`ān menjadi perhatian khusus bagi al-Maudūdī dan
menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan kisah-kisah, seperti maksud dari adanya
pengulangan kisah, serta mengkoneksikan antara kisah didalam al-Qur`ān terhadap tahapan
dalam berdakwah, sehingga para pendakwah dapat mengambil hikmah dari kisah-kisah dalam
al-Qur`ān. Selain itu, al-Maudūdī memaparkan adanya kesamaan antara Rasūlullāh dengan
Nabi Musa dalam berdakwah.12
7. Perhatiannya pada ayat-ayat tentang hukum Syar’i
Al-Maudūdī sangat memperhatikan betul permasalahan seputar Fiqh yang terdapat
pada ayat-ayat al-Qur`ān, terdapat banyak pemaparannya tentang berbagai pandangan ulama
Fiqh serta pendapat mereka, dan diakhiri dengan pemilihan pendapat paling diunggulkan. Al-
Maudūdī termasuk orang yang objektif dalam memaparkan pendapat dan ragam pandangan
ulama, seringkali ia mengkomparasaikan berbagai pandangan namun pendapatnya tehadap
suatu pandangan tidak berdasarkan sikap fanatisme pada kelompok manapun.13
Contohnya, tentang penjelasan hukum Zinā didalam surat al-Nūr ayat 2:

10
Muḥammad Ghaiṣuddin Ḥāfiż, “Manhaj al-Ustāż al-Maudūdī, 16.
11
Muḥammad Ghaiṣuddin Ḥāfiż, “Manhaj al-Ustāż al-Maudūdī, 17.
12
Muḥammad Ghaiṣuddin Ḥāfiż, “Manhaj al-Ustāż al-Maudūdī, 19.
13
Muḥammad Ghaiṣuddin Ḥāfiż, “Manhaj al-Ustāż al-Maudūdī, 20.
َْ َ ََ َ ْ ْ َ ْ َّ َ ُ َ َّ َ
َ ‫اجل ُد ْوا ُكَّل‬
٢ .... ‫اح ٍد ِمن ُهما ِمائة جلد ٍة‬
ِ ‫و‬ ِ ‫الزا ِنية والز ِاني ف‬

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya


seratus kali.”
Al-Maudūdī memaparkan beberapa pendapat mengenai arti dari Zinā, dan memilih
makna Zinā paling populer dari masing-masing ulama, contoh: Mażhab Ḥanafi mengartikan
Zinā dengan “Hubungan seorang laki-laki dan perempuan pada kemaluannya serta bukanlah
seorang budak” kemudian Mażhab Māliki mendefiniskan Zinā dengan “Hubungan seksual
seorang mukallaf pada kemaluan manusia yang bukan budak miliknya” sementara Mażhab
Syāfi’ī mengartikan dengan “Tenggelamnya kemaluan laki-laki yang sudah baligh dan berakal
kedalam salah satu lubang Wanita yang bukan budak miliknya” dari beberapa pandangan
ulama, al-Maudūdī meringkas makna Zinā menjadi “Hubungan seorang perempuan tanpa
adanya ikatan yang sah dan hanya melampiaskan hawa nafsu”14
Begitu juga yang dilakukan al-Maudūdī terhadap permasalahan Fiqhiyyah dan hukum
syari’at, metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

• Al-Maudūdī menggunakan perbandingan antar ulama dan mengambil kesimpulan


hukum dari pendapat terkuat, penjelasannya menggunakan narasi yang lugas dan
mudah dipahami.
• Sandaran tiap-tiap kesimpulan hukum, diambil berdasarkan nash al-Qur`ān, al-Ḥadīṣ
juga perkataan sahabat dan ulama-ulama pada abad satu dan kedua Hijriyah.
• Pemilihan pendapat, terkadang dilakukan al-Maudūdī dengan memilih pendapat yang
paling diunggulkan, kadangkala al-Maudūdī mempersilahkan pembaca untuk memilih
pendapat mana yang dipilih pembaca.
• Al-Maudūdī seorang yang anti terhadap fantisme kelompok, terkadang pendapat
Ḥanafiyah diunggulkan dibanding Mālikiyah, dan adakalanya pendapat Syāfi’iyah
diunggulkan dibanding Ḥanafiyah dalam pembahasan hukum bagi Zinā karena
terpaksa.15
8. Perhatiannya pada atlas dan lokasi yang disebutkan dalam al-Qur`ān
Salah satu yang menjadi pusat perhatian al-Maudūdī dalam menafsirkan al-Qur`ān
adalah, perhatian terhadap sebuah lokasi dan atlas yang disebutkan didalam al-Qur`ān dan
menjelaskan dimana lokasi tersebut berada. Pada tanggal 3 November 1959 sampai bulan
Februari 1960 al-Maudūdī pernah melakukan sebuah perjalanan khusus yang sengaja ditujukan
untuk melihat langsung lokasi yang disebutkan al-Qur`ān dengan pendampingan dari beberapa
Sejarawan dan pakar Geografi, sehingga berhasil mengumpulkan 43 lokasi, ini menjadi
penguat dalam pemaparannya tentang lokasi-lokasi yang disebutkan al-Qur`ān.16
9. Penelitian terhadap kitab-kitab Samawi

14
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 483.
15
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 506.
16
Muḥammad Ghaiṣuddin Ḥāfiż, “Manhaj al-Ustāż al-Maudūdī, 20.
Meskipun kitab-kitab Samawi seperti Injil dan Taurat dikenal sudah banyak melewati
perubahan, al-Maudūdī sangat yakin bahwa masih ada beberapa prinsip-prinsip kebenaran
yang selaras dengan ajaran Islam, dan tidak ada salahnya jika mengutip apa yang disampaikan
oleh kitab Samawi lainnya selama tidak menyalahi ajaran Islam.
Al-Maudūdī berpendapat bahwa dengan merujuknya pada Injil dan Taurat, merupakan
bentuk bantahan untuk mematahkan argumen-argumen mereka sendiri, dan menetapkan
kesucian al-Qur`ān serta membenarkan apa yang tertera didalam al-Qur`ān.17 Selain itu, al-
Maudūdī mengurai beberapa tujuan dari penggunaan kitab-kitab suci lainnya:

• Merinci lebih detail tentang apa yang dijelaskan oleh al-Qur`ān secara global,
menurutnya al-Qur`ān bukanlah sebuah buku cerita yang harus menjelaskan semua
detailnya.
• Mengungkap kekeliruan dan kejanggalan pada kitab-kitab terdahulu, diantaranya;
dalam Taurat disebutkan bahwa kemukjizatan tongkat Musa berpindah pada Harun
tanpa adanya pembuktian dalil, ini bertolak belakang dengan kenyataan yang
disebutkan oleh al-Qur`ān serta sebagai bukti Taurat mengalami perubahan.
• Menolak keras terhadap tuduhan yang mengatakan bahwa al-Qur`ān merupakan hasil
pembelajaran Rasūlullāh dari ulama Ahli Kitab. Menanggapi ini, al-Maudūdī menilai
bahwa ini sebagai tuduhan kosong, karena apa yang dijelaskan al-Qur`ān lebih sesuai
dengan histori para Nabi.18
10. Bantahan terhadap kejanggalan penafsiran al-Qur`ān
Pengalihan tafsir dari makna sesungguhnya yang dilakukan beberapa kelompok dari
Syī’ah, Qādiyaniyah dan para penolak sunnah dari masa lampau hingga kini, seringkali
dilakukan dengan maksud mendukung kepentingan kelompok mereka, sehingga al-Qur`ān
tidak pernah sampai pada makna utamnya karena penyelewangan makna yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok ini, maka al-Maudūdī dalam penafsirannya ikut membantah beberapa
argumen sesat mereka.
Didalam prolog Tafsīr Tafhīm al-Qur`ān al-Maudūdī mengatakan :
“Pondasi utama dalam memahami al-Qur`ān alangkah baiknya belajar untuk
membuka pola pikir terlebih dahulu, tidak terikat dan terbebas dari pemahaman atau
kelompok tertentu, entah itu beriman dengan kitab suci maupun tidak, seyogyanya
dapat menerima seluruh pandangan. Seandainya, seseorang selalu mengedepankan
argumennya sendiri, tentu tidak akan pernah mampu untuk mencapai pada apa yang
dimaksudkann oleh al-Qur`ān, dan kalua sudah memiliki pola piker seperti ini, jelas
berbagai macam referensi dan kitab-kitab tidak akan memiliki arti.”19
Diantara narasi yang digunakan oleh al-Maudūdī dalam mematahkan pandangan
sebuah kelompok, ada beberapa yang menjadi ciri khas penyampaiannya:

• Mengikuti cara berpikir ilmiah dan berinovasi dalam menafsirkan al-Qur`ān

17
Muḥammad Ghaiṣuddin Ḥāfiż, “Manhaj al-Ustāż al-Maudūdī, 20.
18
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 523-524.
19
Muḥammad Ghaiṣuddin Ḥāfiż, “Manhaj al-Ustāż al-Maudūdī, 20.
• Menjadikan al-Qur`ān sebagai alat untuk membantah pemikiran keliru serta
menggunakan pendekatan Rasional, Fiqh, dan Teologi .
• Melangkah dengan pendekatan adab al-Ijtimā’i atau sosial masyarakat.
Contoh bantahan al-Maudūdī terhadap Syī’ah:
Beberapa pandangan populer Syī’ah tentang hak kekhalifahan ‘Alī bin Abī Ṭālib sesuai
wasiat Rasūlullāh, keutamaan‘Alī bin Abī Ṭālib dari sahabat lain, juga tuduhan dan cacian
mereka yang dilontarkan pada Istri Rasūlullāh tidak terlepas dari dukungan penafsiran yang
dibuat-buat, mereka menjadikan beberapa ayat al-Qur`ān dialih tafsirkan pada penistaan istri
Rasūlullāh sebagai penguat kebohongan Syī’ah dan seringkali mengkoneksikan dengan ḥadīṣ-
ḥadīṣ Nabi yang jelas tidak ada kaitannya.20 Contoh bantahan al-Maudūdī terhadap kekeliruan
tafsir surat al-Ahzāb ayat 6:

ُ ُ ُ َْ َُْ َ ْ ْ ٰ َ َّ َ
٦ ….. ‫النب ُّي ا ْولى ِبال ُمؤمِ ِن ْين ِم ْن انف ِس ِه ْم َواز َواجهٓ اَّم ٰهت ُه ْم‬
ِ

“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan
istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka”
Menurut penafsiran Syī’ah, ayat ini berlaku hanya semasa hidup Nabi, sepeninggal
Nabi, ‘Aisyah bukan lagi seorang Umm al-Mu`minīn dan ‘Alī bin Abī Ṭālib telah mentalaqnya
sebagai perwakilan Rasūlullāh, ini juga diperkuat dengan perkataan Abū Mansūr al-Ṭabarsī
dalam kitab al-Iḥitijāj yang mengatakan;
“Rasulullah berkata pada ‘Alī: Wahai Abū al-Ḥasan, kemuliaan (sebagai Umm al-
Mu`minīn) terdapat pada mereka selama mereka patuh kepada Allah, maka Ketika
mereka tidak patuh, ceraikanlah mereka dan hilangkan kemuliaan ini dari mereka”
Lalu al-Maudūdī menanggapai keanehan penafsiran ini dengan menjelaskan makna
terkandung dalam surat al-Ahzāb ayat 6 tersebut, penyebutan “Wa Azwājuhū
Ummahātuhum” ditujukan pada semua istri Rasūlullāh tanpa terkecuali, termasuk ‘Aisyah,
dan membantah tuduhan ‘Alī bin Abī Ṭālib menceraikan ‘Aisyah selepas Rasūlullāh wafat
dengan menggunakan akal, menurutnya, sangat tidak masuk akal, bahkan sekalipun orang
biasa saja terkesan sangat aneh jika ada seseorang menceraikan istrinya setelah wafat,
ditambah, keanehan ini diserahkan kepada menantunya sebagai perwakilan dari Rasūlullāh
agar mentalaq istri-istri Nabi.21
D. Karakteristik Tafsīr Tafhīm al-Qur`ān22
1. Tafsīr bergaya Modern
Dalam penyusunan kitab tafsīrnya, al-Maudūdī Menyusun tata letaknya menjadi tiga
bagian penting pada tiap halaman, satu sisi untuk naskah al-Qur`ān, satu sisi untuk
terjemahannya kedalam bahasa Urdu, dan satu sisi terakhir untuk catatan penjelasan pribadi al-

20
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 533.
21
Alifuddin Turabi, “al-Ustadz abu al-A’la,” 535.
22
Ditulis oleh Dr. Mustansir Mir: Pengajar Islamic Studies di Universitas of Michigan, Ann Arbor,
Michigan.
Maudūdī. Menariknya, menurut Mustansir Mik, kitab Tafsīr Tafhīm al-Qur`ān bukan hanya
mudah dipahami, tetapi juga menyenangkan. Ini disebabkan al-Maudūdī menampilkan
terjemah tafsirnya kedalam bahasa yang indah, serta pandai menggambarkan dengan narasi
yang dapat dengan mudah di terima oleh pembaca. Dikatakan, Tafsīr dengan bahasa Urdu ini
termasuk kedalam Tafsīr terjemah dengan peminat terbanyak pertama. Selain tentang
keindahan bahasanya, Tafsīr ini juga mendapat sentuhan bergaya modern karena al-Maudūdī
dalam tiap penafsirannya didukung oleh penelitian terbaru dibidang Fisika, Kedokteran dan
Arkeologi, sehingga Tafsīr ini dapat diterima oleh siapapun baik dari kalangan Muslim ataupun
Non Muslim.23
2. Pengalihan Bahasa
Al-Maudūdī memandang bahwa sejumlah kitab Tafsīr lain dengan berbahasa Urdu
dinilai gagal24 dalam menyampaikan keindahan bahasa al-Qur`ān, dan mengabaikan nilai gaya
bahasa al-Qur`ān yang sebenarnya adalah penyampaian secara lisan, bukan sekedar wahyu
yang tertulis. Tafhīm al-Qur`ān menajadi bukti keseriusan keberhasilan al-Maudūdī untuk
menghadirkan terjemah al-Qur`ān dengan pendekatan bahasa yang indah. Dari beberapa
karakteristik pendekatan kebahasaan yang digunakan dalam penafsrian Tafhīm al-Qur`ān
diantaranya;
Pertama, terjemahan yang dilakukan al-Maudūdī terkadang menggunakan metode
ekspositori,25 yaitu luasnya pemaparan dalam menerjemahkan apa yang disebut oleh al-Qur`ān
secara ringkas. Contohnya Ketika menjelaskan kalimat ‫ وذكرهم بأيام هللا‬pada surat Ibrāhīm ayat 5:
ّٰ
٥ … ‫اّلل‬ ّٰ َ ْ ُ ْ َ َ ْ ُّ َ ُ َ َ
ٰ ُّ َ َ َ ْ َ ْ ْ ْ َ ٰ
ٰ ٰ ْ ُ َْ َ َْ ْ َََ
ِ ‫ىم‬ ِ ‫ولقد ارسلنا موسى ِباي ِتنآ ان اخ ِرج قومك ِمن الظلم ِت ِالى النو ِر ە وذ ِكرهم ِباي‬
“Sungguh Kami benar-benar telah mengutus Musa dengan (membawa) tanda-tanda
(kekuasaan) Kami (dan Kami perintahkan kepadanya), “Keluarkanlah kaummu dari
berbagai kegelapan kepada cahaya (terang-benderang) dan ingatkanlah mereka
tentang hari-hari Allah.”

Secara pemaknaan biasa, kalimat ini memiliki arti “dan ingatkanlah mereka tentang
hari-hari Allah”. Berbeda dengan al-Maudūdī, kalimat ini dijelaskan dengan bahasa lain yang
lebih indah “Nasihatilah umatmu dengan mengingatkan mereka pada peristiwa-peristiwa
penting dalam sejarah Ilahi”.26
Kedua, dalam menerjemahkan kata-kata yang tidak bisa dijelaskan secara makna atau
Idiomatik al-Qur`ān, al-Maudūdī akan menyandingkannya dengan Idiom bahasa Urdu yang
setara.27 Salah satu contohnya pada surat Fāṭir ayat 13 tentang kata ‫ قطمير‬yang diartikan secara
bahasa adalah “kulit tipis yang menutupi sebuah kurma”.

23
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran” American Journal of Islamic Social
Science, vol.2, (Desember 1985): 235.
24
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 235.
25
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 236.
26
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 236.
27
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 237.
ْ َ ُ ُ َ ُ ْ َ َ ْ َّ
١٣ ‫… َوال ِذين تدع ْون ِم ْن د ْو ِنهٖ َما َي ْم ِلك ْون ِم ْن ِقط ِم ْي ٍر‬
“Mereka yang kamu seru (sembah) selain-Nya tidak mempunyai (sesuatu walaupun)
setipis kulit kurma.”
Al-Maudūdī menerjemahkan kalimat ini dengan “Ia tidak memiliki apapun meskipun
hanya sebuah kulit tipis yang menutupi kurma” penerjemahan dengan mengalih bahasakan
sebuah Idiom inilah yang menjadikan Tafhīm al-Qur`ān memiliki nilai lebih dibanding dengan
tafsir berbahasa Urdu lain.
Ketiga, menggabungkan beberapa makna dan beberapa arti yang masih memiliki
koneksi dengan sebuah kata dalam al-Qur`ān menjadi salah satu karakteristik penafsiran
Tafhīm al-Qur`ān. Contoh pada surat al-Zumār ayat 21:

ْ َْ َ ْ َ َ َ َ َ َ ً َ َ َّ َ َ َ ْ َ َ ّٰ ََّ َ َ ْ َ َ
٢١……‫الم تر ان اّلل انزل ِمن السما ِۤء ماۤء فسلكه ين ِابيع ِفى الار ِض‬
“Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah menurunkan air (hujan) dari langit,
lalu Dia mengalirkannya menjadi sumber-sumber air di bumi.”

Secara bahasa, kata ‫ ينابيع‬diartikan sebagai mata air. Namun al-Maudūdī mengartikan
kata ini dengan menyebutkan beberapa makna yang masih berkaitan dengan makna pokok,
yaitu dengan menerjemahkan sebagai “anak sungai, air mancur, dan aliran sungai”.28
Penerjemahan ini juga terjadi pada surat al-Takāṣur ayat pertama:
ُ َ َّ ُ ْ َ
١ ‫ال ٰهىك ُم التكاث ُر‬
“Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu”

Ayat ini hanya terdiri dari dua kata, namun al-Maudūdī mempertajam penerjemahannya
dengan “Ambisimu untuk melipatgandakan harta duniawi dan saling bersaing satu sama lain,
telah membuat dirimu seperti tanpa kepala”.29
Namun, terkadang al-Maudūdī memadukan penerjemahan sebuah ayat, jauh dari arti
sebenarnya dan terbilang aneh. Contohnya ketika menerjemahkan ayat 61 dari surat al-Najm:
َ ُ ُ َْ
٦١ ‫َوانت ْم ٰس ِمد ْون‬
“sedangkan kamu lengah (darinya).”
Kata ‫ سامدون‬biasanya diberikan untuk menunda sesuatu, namun al-Maudūdī
menerjemahkannya dengan makna “Terlibat dalam bernyanyi dan bermain musik” sehingga,
terjemah yang terjadi adalah “dan Anda menunda ini dengan menyibukkan diri Anda dalam
bernyanyi dan bermain musik”. Terjemahan ini cukup jauh dari kata yang dimaksud pada ayat
al-Qur`ān.

28
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 238.
29
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 238.
Namun, dibalik beberapa kekurangan al-Maudūdī, kelebihan dan keistimewaan al-
Maudūdī dalam menerjemahkan Tafhīm al-Qur`ān melebihi jumlah dari kekurangannya.
3. Pengenalan dan Pengantar Surat
Al-Maudūdī mengatakan dalam prolog Tafhīm al-Qur`ān:
“Untuk memahami al-Quran sepenuhnya, sangat penting untuk mengingat pula latar
belakang ayat-ayat tersebut, karena tidak memungkinkan untuk memaparkan latar
belakang surat pada terjemahan, maka akan saya tulis pada permulaan setiap surat
yang membahas tentang kronologi (Mekah atau Madinah) surat, latar belakang surat
(Asbabun Nuzul), dan memaparkan analisis (Tafsir Ijmali) surat tersebut.”
Menariknya, dalam menyusun sebuah kronolgi surat dan menentukan apakah surat
tersebut diturunkan pada periode Mekah atau Madinah, al-Maudūdī mengawalinya dengan
menganalisa sebuah surat (Khitab Ayat), kemudian dibuatkan tabel30 atau diagram untuk
menyusun surat-surat Makiyah sehingga dapat ditentukan, mana surat yang diturunkan di
Mekah atau di Madinah. Juga menentukan sebuah surat yang hanya diawali dengan ayat
Makiyah atau sebagian Makiyah dan sebagian Madaniyah.
Kemudian, dalam pemaparan pendahuluan surat, al-Maudūdī juga menjelaskan
peristiwa sejarah dan berkaitan dengan tema-tema yang ada didalam sebuah surat. Namun,
biasanya ini akan dikhususkan pada surat yang memiliki ayat panjang dan menengah,
pemaparan al-Maudūdī menyerupai esai pendek dengan menggambarkan lingkungan sosio-
kultural dimana surat itu diturunkan. Menurut Mustansir Mir, prolog surat terbaik ada pada
surat al-Anfāl, al-Taubah, al-Nūr, al-Ahzāb, al-Hasyr dan al-Fīl.31
4. Catatan Penjelasan (Explanatory Notes)
Al-Maudūdī nuliskan dalam prolog Tafhīm al-Qur`ān:
“Saya menghindari penjelasan-penjelasan yang membuat pembaca beralih dari al-
Qur`ān dan akan menjelaskan hanya pada dua kesempatan: 1). Ketika saya rasa
pembaca akan membutuhkan penjelasan, timbul pertanyaan, atau menjawab sebuah
keraguan. 2). Ketika pembaca akan gagal memahami sebuah ayat tertentu dan tidak
memahami makna sebenarnya dari sebuah ayat.”32
Namun, didalam Tafhīm al-Qur`ān, al-Maudūdī sangat menjauhi dan bebas dari diskusi
teologis, juga tidak ada pembahasan mendalam dari masalah-masalah yang berkaitan dengan
ulūm al-Qur`ān. Fokus al-Maudūdī dalam menambahkan catatan penjelasan tidak terlepas dari
dua motif utama, yaitu: Islam sebagai sistem kehidupan dan relevansi Islam di zaman Modern.
5. Islam sebagai pengatur Kehidupan
Pokok pemikiran al-Maudūdī adalah, bahwa Islam merupakan sebuah sistem kehidupan
yang mengatur semua bidang urusan manusia. Untuk dapat hidup, Islam harus dilaksanakan

30
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 239.
31
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran,239.
32
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran,240.
secara keseluruhan. Gagasan ini, tentu bukan hasil produk original pemikiran al-Maudūdī,33
apa yang digaungkannya adalah penawaran Islam sebagai kunci dalam sebuah kerangka yang
disusun secara teratur. Karena menurutnya, dalam kehidupan akan adanya keterikatan satu
sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Al-Maudūdī berpedoman pada surat al-Zumār ayat ke 2:
َّ ْ ْ َ َ َ ْ ْ َ َّ
َْ ُ ً ْ ُ َ ّٰ ُ ْ َ َ َ ٰ ْ َ
٢ ‫الدين‬
ِ ‫ِانآ انزلنآ ِاليك ال ِكتب ِبالح ِق فاعب ِد اّلل مخ ِلصا له‬
“Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad)
dengan hak. Maka, sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.”

Menurut al-Maudūdī, kata ini bermakna menjadikan agama al-dīn sebagai sumber
utama kehidupan manusia, kehidupan hanya ditujukan untuk beribadah kepada Allah, maka,
kata al-dīn dimaknai dengan beberapa pengertian yaitu, kedaulatan dan ketundukan.
Menurutnya, umat Islam menafsirkan kata al-dīn sering dimaknai terbatas. Padahal, kata ini,
memiliki dimensi terhadap duniawi lebih kuat dibanding dimensi duniawi lainnya.34
Al-Maudūdī juga bersandar pada surat Yūsuf ayat 76:

ُ ّٰ َ َ َّ ْ َ َّ َ ْ ْ
ْ ُ َ َ َ ُ َْ َ َ َ َ ُ ْ ُ َْ َ ٰ َ
٧٦..... ‫ك ِال ٓا ان يشاۤء اّلل‬
ِ ‫ كذ ِلك ِكدنا ِليوسف ما كان ِليأخذ اخاه ِفي ِدي ِن الم ِل‬.....
“…Demikianlah Kami mengatur (rencana) untuk Yusuf. Dia tidak dapat menghukum
saudaranya menurut hukum raja, kecuali Allah menghendakinya..”

Menanggapi surat ini menurut al-Maudūdī, kata al-dīn dianggap sebagai hukum negara,
dan al-Qur`ān telah menjelaskan lengkap tentang makna ini secara luas. Dengan ayat ini
pulalah, al-Maudūdī berusaha membungkam bagi mereka yang mengatakan bahwa agama
hanya mengatur penyembahan tuhan saja dan tidak ada sangkut pautnya terhadap Budaya,
Politik, Ekonomi, Hukum, Peradilan dan hal lain yang berkaitan dengan dunia ini.35 Pendapat
al-Maudūdī dikuatkan lagi dengan Surat al-Syūrā ayat 13:
ُ َ َ َ َ َْ َ َ ٰٓ
١٣… ِ‫الدين َولا تتفَّرق ْوا ِف ْيه‬ ْ ْ ْ َ ٰ ْ َُ َ ْ ْ َ ْ َّ َ َ َ
ِ ‫… وما وصينا ِبهٖ ٓ ِاب ٰر ِهيم وموسى و ِعيسى ان ا ِقي ُموا‬
“…dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah
agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di
dalamnya...”

Menurut al-Maudūdī, kata ‫ أقيموا‬disini bukanlah bermakna kepada hal-hal yang bersifat
fisik, namun lebih pada yang bersifat abstrak, dan kata ini lebih pantas digunakan untuk
“mendirikan” dan “menegakkan” sehingga, ayat ini dimaknai tidak terbatas mendirikan, tetapi
juga mengatur, menegakkan dan menyebarkan serta menerapkan agama sebagai hukum
pemerintahan beserta seluruh administrasi negara dijalankan dibawah pengawasannya.36

33
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran,241.
34
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 242.
35
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 242.
36
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 242.
Bahkan, pendekatan al-Maudūdī terhadap Islam sebagai System of Life sangat terlihat
jelas pada beberapa penafsirannya. Contoh pada surat al-Baqarah ayat 205:

َ ْ َْ ّٰ َ َ
٢٠٥…‫َواِ ذا ت َولى َس ٰعى ِفى الا ْر ِض ِل ُيف ِسد ِف ْي َها‬
“Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat
kerusakan di Bumi”
Kata ‫ تولى‬yang memilki arti “berpaling” diterjemahkan al-Maudūdī dengan “dan ketika
dia memperoleh kekuasaan, semua kegiatannya di bumi akan banyak terjadinya kerusakan
(korupsi)” walaupun ketika kita membaca pada ayat sebelumnya, maka akan ada pemaknaan
lain, namun, al-Maudūdī menggiring dengan pemaknaan berbau politik.
6. Kesesuaian Islam pada hari ini
Motif ini masih berkaitan dengan karakterisitik sebelumnya, bahwa Islam bukan hanya
mengatur kehidupan beragama namun juga merupakan aturan yang dapat diterapkan pada
kehidupan saat ini. Contohnya ketika al-Maudūdī membahas tentang ayat Riba dalam surat al-
Baqarah ayat 275 :

٢٧٥ ‫الر ٰبوا‬ َ ‫اّلل ْال َب ْي َع َو َحَّر‬


‫م‬
َ ْ ُ
ُ ّٰ ‫ك ب َاَّن ُه ْم َقال ْوٓا اَّن َما ال َب ْي ُع م ْث ُل الر ٰبواۘ َوا َحَّل‬َ ٰ
ِ ِ ِ ِ ِ ‫ذ ِل‬
“Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba.
Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”

Menurut al-Maudūdī, Riba dan Jual-Beli dibedakan oleh Allah, yang pertama dilarang,
yang kedua diizinkan. Dan al-Maudūdī menambahkan bahwa sebenarnya tuhan ingin
menghapus Riba dan membiarkan Jual-Beli serta Sedekah dan Zakat tetap bertumbuh. Al-
Maudūdī memandang ayat ini merupakan sebuah sistem Islam yang mengatur kehidupan
manusia dari sisi ekonomi, al-Maudūdī menyatakan bahwa Islam sebenarnya sudah membekali
manusia dengan pedoman yang absolut dalam bidang ketatanegaraan baik masalah Sosial,
Perdata, Pidana, dan Hukum Internasional.37
E. Konsep Jāhiliyah menurut al-Maudūdī
Konsep hukum Jāhiliyyah yang keberadaannya sudah muncul pada periode awal
sejarah Islam serta dipahami sebagai antonim dari hukum Islam seperti yang telah
dikemukakan di sejumlah ayat al-Quran yang mana kata Jāhiliyyah dan Islam selalu dikaitkan
dan dihubungkan oleh misi kenabian.38 Salah satunya ada pada surat al-Maidah ayat 50:
َ ُ َ ً ْ ُ ّٰ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ َّ َ ْ َ ْ ُ َ َ
٥٠ ࣖ ‫اّلل حكما ِلق ْو ٍم ُّي ْو ِقن ْون‬
ِ ‫اه ِلي ِة يبغون ومن احسن ِمن‬ِ ‫افحكم الج‬

“Apakah hukum Jāhiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”

37
Mustansir Mir, “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran, 244.
38
Jan-Peter Hartung, A System of Life : Maududi and the Ideologisation of Islam, Chapter: Forging a
System (Oxford Universtiy Press, 2014), 4.
Term Jāhiliyyah menjadi bahan perbincangan bukan hanya di kalangan ulama
kontemporer saja, bahkan seorang orientalis Ignaz Goldziher memahami kata Jāhiliiyah yang
berakar dari kata Jāhil sebagai masa kebiadaban dan buruknya moralitas sebuah umat juga
mengacu pada karakter liar dan terburu-buru, bukan pada kelemahan karakter atau
ketidaktahuan. Sebaliknya, Istilah ini merupakan kebalikan dari sifat Ḥālim (lemah lembut atau
jinak) namun karakter seperti ini tidak dianggap sebagai perilaku yang buruk bagi masyarakat
Arab pra-Islam, hingga datanglah Nabi Muhammad membawa risalah dan misi kenabian untuk
memberikan perubahan besar pada tatanan sosial di semenanjung Arab.
Sementara Shepard menerjemahkan istilah Jāhiliyyah yang tertulis didalam al-Qur`ān
mengacu pada prinsip-prinsip moral dan prilaku masyarakat Arab yang menentang dan
membangkang pada perintah Nabi. Sehingga, term Jāhiliyyah selalu dikaitkan dengan
pertentangan masyarakat seperti; fanatik tehadap suku/golongan, seringnya menumpahkan
darah serta penyembahan terhadap banyak tuhan (Polithesime), yang dinilai bertentangan
terhadap etika dan hukum-hukum yang dibawa oleh Islam39.
Berbeda dengan al-Maudūdī, melihat realita kurun waktu dimana ia hidup, makna
Jāhiliyyah tidak lagi diartikan seperti periode klasik, menurutnya, Jahiliyyah merupakan segala
tindakan dan prilaku manusia yang bertentangan dengan budaya, moralitas serta asas-asas
mentalitas Islam.40 Pengertian al-Maudūdī lebih mencakup secara umum dan dari segala aspek,
menurutnya, Islam yang ia bayangkan adalah jalan kebenaran yang mencakup segala gerak-
gerik kehidupan. Melihat fakta yang ada, pandangan al-Maudūdī cukup diperhitungkan oleh
beberapa tokoh sarjana muslim lainnya. Bahkan, al-Maudūdī melebarkan makna Jāhiliyyah
dengan ketidakpercayaan atau kekufuran, menurutnya, ketidakpercayaan berarti penolakan
untuk menaati tuhan, menolak menerima jalan kebenaran, menolak hukum (Qānūn) berupa
perintah dan larangan yang sudah diturunkan Allah melalui Rasūlullāh.41 Sehingga, dari dasar
pemaknaan tentang Jāhiliyyah al-Maudūdī inilah, ia memberikan penyambung dengan konsep
Islam sebagai sistem Universal dan mampu menembus batasan-batasan baik secara geografis
maupun kebangsaan.
Dari sini pulalah tercipta penolakan al-Maudūdī tentang teori Demokrasi sebagai sistem
pemerintahan pada suatu negara, menurutnya Demokrasi merupakan produk barat dan menolak
kedaulatan Tuhan sebagai kedaulatan tertinggi, al-Maudūdī melihat kenyataan dari sistem
penerapan Demokrasi tidak memperbaiki keadaan Sosial-Ekonomi, Sosial-Politik bahkan
keadilan hukum. Melihat kenyataan seperti ini, maka haruslah sebuah negara Islam yang
berlandaskan Syarī’ah dan agama didirikan, serta hanya mereka yang berideologi Islam yang
berhak memangku untuk mengatur negara, sedangkan negara Nasional, menurut al-Maudūdī
hanya mengutamakan kepentingan bangsanya sendiri dan mengacuhkan bangsa lain, sehingga
akan menimbulkan ketegangan dan permusuhan antara negara.42

39
Jan-Peter Hartung, A System of Life, Chapter : Forging a System, 4.
40
Jan-Peter Hartung, A System of Life, Chapter : Forging a System, 6.
41
Jan-Peter Hartung, A System of Life, Chapter : Forging a System, 12.
42
Anwar Sanusi. “Pemikiran Politik Abul A’la al-Maududi.” Inspirasi: Jurnal fakultas Adab Dakwah
Ushuluddin. Vol 8, no. 2 (Juni 2011): 19-20.
F. Kesimpulan
Mengesampingkan pemikiran tentang “Negara Islam” yang masih bersifat pro dan
kontra diantara kalangan ulama, sosok al-Maudūdī merupakan salah satu tokoh dengan
berbagai macam keistimewaan yang dimilikinya, terlebih kepandaiannya dalam
menerjemahkan bahasa Arab pada bahasa Ibu (Urdu) di negara tempat ia dilahirkan, ditambah
pengakuan banyak cendekiawan mengakui terjemahan al-Maudūdī memiliki nilai keindahan
bahasa yang tinggi, dimana tidak ditemukan tafsir al-Qur`ān kedalam bahasa Urdu seindah
terjemahan al-Maudūdī.
Selain itu, al-Maudūdī juga termasuk sarjana muslim kontemporer yang menolak
fanatisme kepada maẓhab tertentu, ini dibuktikan dalam pemaparan tentang bab yang berkaitan
dengan hukum Fiqh, terlihat jelas bahwa al-Maudūdī sosok yang objektif, juga sumbangsih
pemikiran dan kontribusi perubahan memberikan dampak besar terhadap anak benua India dan
negara-negara muslim lainnya, tentu, ini tidak terlepas dari kepribadian al-Maudūdī dan
kecerdasannya.
Menanggapi pemikiran al-Maudūdī, penulis tentu tidak layak untuk mengomentari apa
yang diusung olehnya, karena perbandingan keilmuan yang tidak bisa disetarakan oleh al-
Maudūdī. Namun secara sikap, penulis lebih condong pada apa yang disampaikan oleh al-
Qur’ān bukanlah sebuah keharusan untuk mendirikan negara Islam, al-Qur`ān hanya mengatur
dan mengarahkan dengan prinsip-prinsip juga dasar-dasar dalam segala aspek yang berkaitan
dengan kehidupan dunia, baik dari sisi eknomi, politik, sosial dan ilmu pengetahuan.
G. Daftar Pustaka
Hartung, Jan-Peter. A System of Life : Maududi and the Ideologisation of Islam, Chapter :
Forging a System Oxford Universtiy Press, 2014.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Lembaga Pentashihan Mushaf
al-Qur’an, 2019.
Mir, Mustansir “Some Features of Mawdudui’s Tafhim Al-Quran.” American Journal of
Islamic Social Science, vol.2, (Desember 1985): 235.
Sanusi, Anwar “Pemikiran Politik Abul A’la al-Maududi.” Inspirasi: Jurnal fakultas Adab
Dakwah Ushuluddin. Vol 8, no. 2 (Juni 2011): 19-20.
Turabi, Alifuddin, “al-Ustadz abu al-A’la al-Maududi wa Manhajuhu fi tafsir al-Qur`an al-
Karim.” Tesis S2., Universitas Umm al-Qura` Makkah, 1982.

Anda mungkin juga menyukai