Anda di halaman 1dari 22

Kisah Turunnya Adam ke Bumi Prespektif al-Ṣa’labī dan Rasyīd Riḍā;

Studi Komparatif Kitab Tafsīr al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur`ān dan Tafsīr
Al-Manār Terhadap Q.S Al-Baqarah : 35 – 37

Dosen Pengampu : Dr. Abdul Muthalib

originality excellent
transliteration exellent
footnotes very good
you get A

Oleh :
Retno Prayudi
21200340100030

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIEF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/ 2021 M

1
Abstract

The characteristic that distinguishes the Qoran from other holy books is the
conciseness in describing a group of stories of the previous people, it is not a drawback if the
Qoran does not tell much in detail, the emphasis of the Qoran is more on the interpretation
behind the stories told. However, on the other hand, human interest in hearing more detailed
stories has resulted in many absorption stories from previous scriptures, so that many stories
from the old and new testaments have been included in the interpretation of the Qoran by
several mufassir.
This paper aims to examine several stories of the people and previous prophets by
comparing the two interpretations with different backgrounds, more specifically, the author
limits the story of Adam's descent to Earth from the two major mufassir by Ats-Tsa'labi and
Rashid Rida with the method qualitative, then analyzed and compared between the two
regarding the letter al-Baqarah verses 35-37.
Keywords: Adam, Descend, Caliph.

Abstraksi

Ciri khas yang membedakan al-Qur`ān dengan kitab suci lainnya adalah keringkasan
dalam memaparkan sekelompok kisah umat-umat terdahulu, bukanlah sebuah kekurangan jika
al-Qur`ān tidak banyak menceritakan secara detail, penekanan al-Qur`ān lebih kepada
pentadabburan dibalik kisah yang diceritakan. Namun, disisi lain, ketertarikan manusia untuk
mendengar kisah-kisah lebih detail, membuat banyak cerita serapan-serapan dari kitab suci
sebelumnya, sehingga, banyak cerita dari perjanjian lama dan baru masuk kedalam penafsiran
al-Qur`ān dengan sengaja disisipi oleh beberapa mufassir.

Tulisan ini bertujuan meneliti, tentang beberapa kisah umat dan nabi terdahulu dengan
membandingkan antara dua penafsiran dengan latar belakang yang berbeda, lebih khususnya,
penulis membatasi terhadap kisah turunnya Adam ke Bumi dari dua tafsir besar karya al-
Ṣa’labī dan Rasyīd Riḍā dengan metode kualitatif, kemudian di analisis dan
mengkomparasikan antara keduanya megenai surat al-Baqarah ayat 35-37.

Kata Kunci: Adam, Turun, Khalīfah.

2
PENDAHULUAN

Ragam kisah turunnya Adam ‘alaihissalām ke muka bumi, telah menjadi perdebatan
panjang dari zaman ke zaman, bukan hanya terjadi antar agama Nasrani yang meyakini bahwa
Adam telah dijatuhi hukuman berupa turunnya ke muka bumi akibat kedurhakaannya
melanggar perintah Allah, sementara Islam berkeyakinan sebaliknya, turunnya Adam ke muka
bumi justru sebagai bentuk kemuliaan tertinggi, karena dipercaya oleh Allah untuk mengatur
serta menjadi pemimpin atau Khalīfah.

Menariknya, perbedaan tentang kisah turunnya Adam, juga tertuang dalam beberapa
kitab tafsir, ini terjadi, karena dalam al-Qur`ān tidak ada penjelasan secara detail tentang kisah-
kisah umat terdahulu termasuk turunnya Adam ke muka bumi.

Bahkan, seiring berjalannya waktu, sebagian Mufassir sengaja menyisipkan riwayat


Isrāīliyyāt kedalam kitab tafsir mereka, dan yang sangat disayangkan adalah, tidak adanya
tak cocok
komentar atau penjelasan lebih lanjut terhadap riwayat yang dicantumkan1, terlebih yang
bertentangan dengan ‘Aqidah dan Syari’at Islam. Tentu, ini akan menjadi kegelisahan
tersendiri bagi orang awam yang membaca tanpa mengetahui hakikat dari kisah-kisah dalam
al-Qur`ān.

Terjadinya perbedaan dalam tubuh para mufassir, disebabkan adanya kecendrungan


ulama yang menafsirkan al-Qur`ān. Sebagian ada yang memang mengedapankan riwayat
dalam penafsirannya atau dikenal sebagai Tafsīr bi al-Ma`tsūr, baik riwayat saḥīh dari
Rasūlullāh, perkataan Sahabat dan Tābi’īn maupun riwayat yang belum dapat dipastikan ke-
cocok
shahīhan-nya, bahkan sebagian ulama lain terdapat riwayat-riwayat Isrāīliyyāt,2 sementara
sebagian mufassir lainnya, justru hanya menggunakan riwayat saḥīh dan cenderung
menggunakan akal pikiran dan pandangannya dalam mentadabburi al-Qur`ān sehingga,
lahirlah Tafsīr bi al-Ra`yi.

1
Muḥammad Ḥusein al-Żahabī, Al-Ittijāhāt al-Munḥarīfah fī tafsīr al-Qur`ān al-Karîm (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1986), 32.
2 tulis miring
Qahṭān Khairī al-Qaisī, al-Dakhīl fī Tafsīr al-Imām Abī al-Ḥasan al-Bakrī, (Tesis S2., Universitas al-
Anbar Iraq, 1441 H/2020M), 56. Qahṭān Khairī al-Qaisī didalam tesisnya bahwa Israiliyyat adalah berita-berita
yang diceritakan oleh Ahli Kitab yang sudah memeluk Islam juga termasuk kedalam Riwayat Israiliyyat,
meskipun sebagaian besarnya Israiliyyat bersumber dari orang Yahudi dan Nasrani karena sering berkumpul dan
bertukar cerita dan berita dengan muslim di berbagai kesempatan sosial.
lebih didominasi khabar Israiliyyat, karena dari awal
Islam
3 memang banyak lebih bergaul dengan mereka( see
the texs)
Lalu, timbul pertanyaan, bagaimana melihat dua sisi penafsiran dengan latar belakang
berbeda, apakah keduanya relevan atau salah satunya lebih diunggulkan? Untuk menjawab
pertanyaan ini perlu adanya penjelasan mendalam dari dua istilah penafsiran diatas.

Secara garis besar, para ulama tafsir, membagi cara mufassirun dalam menafsirkan
kedalam dua metode; Tafsīr bi al-Ma`ṣūr dan Tafsīr bi al-Ra`yi. Beberapa ulama memberikan
pandangannya dalam pengertian kedua istilah ini, diantaranya:

Pertama, Tafsīr bil Ma`ṣūr adalah penjelasan makna al-Qur`ān dengan menggunakan
ayat lain didalam al-Qur`ān itu sendiri, juga penafsiran dari ḥadīṣ Rasūlullāh sebagaimana kita
telah mengetahui bahwa fungsi ḥadīṣ adalah sebagai penjelas dari sifat al-Qur`ān yang
universal, kemudian juga penafsiran yang menrujuk kepada perkataan sahabat, yang terakhir
adalah penafsiran yang menukil dari perkataan Tābi’īn, Maka dari itu, sumber referensi
terbesar dalam penulisan Tafsīr bil Ma`ṣūr hanya ada tiga, ayat dalam al-Qur`ān, ḥadîts
cocok
Rasūlullāh, perkataan sahabat.3 Beberapa tafsir yang menggunakan metode tafsīr bi al-Ma`ṣūr
adalah; Tafsīr al-Jāmi’ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur`ān karangan Ibnu Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-
Kasyf wa al-Bayân karangan al-Ṣa’labī, tafsīr ad-Dūr al-Manṣūr karangan al-Suyūṭi dan lain
sebagainya.

Syaikh Muḥammad ‘Alī Salāmah, menyebutkan, walaupun Tafsīr bi al-Ma`ṣūr


dianggap sebagai cara penafsiran terbaik, menurutnya, ada kelemahan dalam penafsiran
dengan metode seperti ini;

1. Terdapat, banyaknya riwayat-riwayat berstatus ḍa’īf pada Tafsīr bi al-Ma`ṣūr,


Imam Syāfi’i mengatakan bahwa beliau menemukan lebih dari seratus riwayat ḍa’īf
dan berasal dari riwayat Ibnu ‘Abbās, banyaknya jumlah ini, karena ada pihak yang
sengaja memalsukan riwayat dan disandarkan kepada Ibnu ‘Abbās.
2. Pengaruh adanya politik dalam Islam, terutama para pendukung Syī’ah yang
menyebarkan segala pembenaran mengatasnamakan sayyidina ‘Alī.
3. Banyaknya riwayat Isrāīliyāt yang tercampur dalam penafsiran al-Qur`ān, terlebih
setelah beberapa pembesar Yahudi memeluk Islam, banyak kebudayaan dan cerita-
cerita dari mereka menyusup kedalam riwayat.

3
Muḥammad ‘Alī Salâmah, Manhāj al-Furqān fī Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 2 (Kairo: Maktabah al-Īman,
2002), 9.

4
4. Pengikisan sanad ḥadīṣ pasca kehidupan Tābi’īn, ketika itu, penyebutan ḥadīṣ sudah
tidak menggunakan penyebutan sanad, hingga siapapun dapat memalsukan dan
membuat ḥadīṣ palsu.4
ok

Kedua, Tafsīr bi al-Ra`yi diartikan sebagai tafsīr al-Qur`ān dengan cara mengerahkan
kemampuan serta ijtihād mufassir sesuai batasan-batasan keilmuan yang disepakati oleh para
ulama dalam menafsirkan al-Qur`ān, diantara contoh tafsīr yang menggunakan metode bi al-
Ra`yi adalah; Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib karangan Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr al-Kasysyāf
karangan al-Zamakhsyārī, Tafsîr al-Manār karangan Rasyīd Riḍā.

Pada metode kedua ini, ada perbedaan pendapat tentang penerimaan tafsīr bi al-Ra`yi,
sebagian ada yang membolehkan sebagian lain melarang, berikut penjelasan dalil dari masing-
masing pendapat;

Pertama, ulama yang menolak tafsīr bi al-Ra`yi dan ijtihād, dalil mereka diantaranya;

1. Ḥadīṣ Rasūlullāh :

)‫من قال يف القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ (رواه أبوا داود‬
“Siapapun yang mengatakan didalam al-Qur’an dengan menggunakan
pandangannya, jika dia benar, maka sebenarnya ada dalam kesalahan” (H.R Abū
Dāwūd).

2. Juga dengan ḥadīṣ Rasūlullāh :

)‫من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار من قال يف القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار ( رواه الرتميذي‬
“Siapapun yang berdusta atas nama diriku dengan sengaja, maka dia akan di
dudukan di Neraka, dan siapapun yang berkata apa yang ada didalam al-Qur’an
dengan pendapatnya, maka akan didudukan di Neraka”. (H.R Tirmīżī).

Kedua, ulama yang membolehkan tafsīr bi al-Ra`yi dan ijtihād, dalil mereka
diantaranya;

1. Menurut pendapat Syaikh Muḥammad Abū Syuhbah dalam kitabnya al-Isrāīliyyāt


wa al-Mauḍū’āt fī kutub at-Tafsīr jika kita bersandar dengan dalil penolakan tafsīr
bi al- Ra`yi tentu pendalaman dan penelitian terhadap makna al-Qur`ān tidak akan
berkembang, jika meneliti lebih dalam dari dalil yang digunakan mereka, maksud

4
Muḥammad ‘Alī Salāmah, Manhāj al-Furqān fī Tafsīr al-Qurān, 18-19.

5
kata ‫ برأيه‬adalah mereka yang berpendapat tanpa ilmu yang mendukung penafsiran
al-Qur’ān dan lebih dominan kepada hawa nafsu mereka.5
ok
2. Tidak diragukan lagi, bahwa tafsīr bi al-Ma`ṣūr sudah banyak terkontaminasi
dengan banyaknya ḥadīṣ ḍa’īf, ḥadīṣ mauḍū’ bahkan Isrāīliyyāt. Maka dari itu,
dibolehkannya berijtihad untuk menafsirkan al-Qur’ān.

Kesimpulannya, bahwa tafsīr bi al-Ra`yi terbagi menjadi dua, tafsīr al-Mażmūm al-
Mardūd atau tafsīr bi al-Ra`yi tercela yaitu, tafsīr yang tidak disertai dengan keilmuan
mumpuni bagi mufassir atau tafsīr al-Qur`ān dengan hawa nafsu dan hanya untuk
pembenaran atau tafsīr yang sengaja dibuat untuk mendukung golongan.

Kemudian ada tafsīr al-Mamdūḥ al-Maqbūl atau tafsīr bi al-Ra`yi terpuji yaitu,
tafsir yang berdiri diatas pondasi keilmuan, teruji baik dari ilmu linguistik, ilmu hukum
syariat, Usūl al-Fiqh, ‘Ulūm al-Qur`ān, ‘Ulûm al-Ḥadīṣ dan yang lebih terpenting, tidak
bertentangan dengan Riwayat saḥīh dan tidak berbenturan dengan akal sehat.
footnotes needed

Dari uraian pembagian tafsir diatas, beragam latar belakang mufassir dalam
menafsirkan al-Qur`ān baik dari metode, corak kepenulisan, dan dari segi pendekatan, akan
menjadi pembahasan menarik ketika di komparasikan untuk membahas sebuah ayat yang sama,
ketertarikan inilah yang menjadi dasar penulis untuk meneliti lebih dalam dari masing-masing
mufassir dengan latar belakang berbeda, dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan tafsīr
c
al-Kasyf wa al-Bayān dan tafsīr al-Manār dalam memaparkan kisah turunnya Adam ke Bumi.

Selain dari kedua buku primer tersebut, penulis juga merujuk kepada buku-buku
pendukung seperti kitab Al-Ittijāhāt al-Munḥarīfah milik Syaikh Ḥusain al-Żahabi, kitab al-
Isrāīliyyāt wa al-Mauḍū’āt fī Kutub al-Tafsīr milik Syaikh Muḥammad Abū Syuhbah, kitab
Manhāj al-Furqān fī Tafsīr al-Qur’ān Milik Syaikh Muḥammad Sayyid ‘Alī Salāmah dan
beberapa kitab pendukung lainnya

Sementara metodologi yang penulis gunakan untuk penelitian ini adalah dengan cara
metode kualitatif, yaitu mengumpulkan data-data dan sumber yang mendukung kepenulisan,
kemudian mendeskripsikan serta menganalisis dengan melihat penafsiran yang di paparkan
masing-masing mufassir, lalu terakhir, mengkomparasikan antara pandangan kedua mufassir
tersebut terhadap persoalan yang sama.

5
Muḥammad Abū Syuhbah, Al-Isrāīliyyât wa al-Mauḍū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Kairo: Maktabah al-
Sunnah, 2005), 79.

6
PEMBAHASAN

A. Biografi Abū Isḥāq al-Ṣa’labī dan sekilas tentang Tafsīr al-Kasyf wa al-Bayān

Al-Ṣa’labī memiliki nama lengkap Aḥmad bin Muḥammad bin Ibrāhīm, beliau lebih
dikenal dengan julukan al-Ṣa’labī di kalangan ulama pada zamannya, beliau dilahirkan di kota
Naisabur, Khurāsān pada tahun 380 H, ada sebagian yang berpendapat bahwa beliau lahir pada
tahun 381 H dan wafat pada tahun 427 H. Seperti banyak halnya para ulama, bahwa seorang
ulama tentu lahir dengan situasi dan kondisi berbeda baik dari geografis, lingkungan tempat
tinggal, bahkan penguasa pada zamannya yang akan membentuk karakter seseorang, al-Ṣa’labī
hidup pada akhir abad ke 4 H yaitu ketika masa ‘Abbāsiyyah memipin sebagian besar wilayah
timur tengah. Semasa hidupnya, beliau mengalami tiga masa kepemimpinan ‘Abbāsiyyah,
yaitu

1. Khalīfah al-Ṭāi’ullāh (363 – 381 H)


2. Khalīfah al-Qādir Billāh (381- 422 H)
3. Khalīfah al-Qā`im bi Amrillāh ( 422 – 467 H)

Dalam keterangan beberapa sejarawan, bahwa al-Ṣa’labī mengalami hari-hari berat


pada masa pemerintahan Khalīfah al-Qādir dan Khālifah al-Qā`im, 6 karena pada era ini banyak
perpecahan dan perebutan wilayah kekuasaan, termasuk buruknya peraturan pemerintah, serta
mulai tersebarnya pemahaman Syī’ah Rafīḍah dan menyerang pemikiran-pemikiran yang tak
selaras dengan mereka, namun keadaan ini tidak begitu mempengaruhi tempat tinggal al-
Ṣa’labī. Sehingga, kelompok Sunnī sebagai pemahaman yang dianut mayoritas penduduk
Khurāsān dan sekitarnya termasuk Naisabūr tidak begitu terkontaminasi dengan keadaan pada
waktu itu.

Namun, walaupun dari buruknya keadaan ini, justru sebaliknya, perkembangan ilmu
keagamaan semakin kuat dan diperkokoh, mengingat banyaknya kelompok-kelompok Syī’ah
yang menjadi kegelisahan tersendiri, penguatan nilai-nilai pengetahuan agama yang benar
haruslah bisa membentengi umat Islam pada masa itu, begitu juga yang kemudian dilakukan
oleh keluarga al-Ṣa’labī, merupukan sebuah keberuntungan baginya, karena tumbuh di tempat

6
Abū Isḥāq al-Ṣa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 1(Jeddah: Dār at-Tafsīr, 2015),
28-29.

7
terjaga dan menjadi pusat akademis serta tidak sedikit ulama ulama terkenal lahir dari kota
Naisabūr seperti Imam Muslim bin al-Hajjāj al-Naisabūri pemilik kitab Saḥīh Muslim.

Setelah menempuh perjalanan keilmuan dari banyak ulama terkemuka yang didatangi
al-Ṣa’labī serta meraup lautan ilmu dari mereka, al-Ṣa’labī memulai membuka majlis-majlis
ilmu di tempat kelahirannya serta seringkali mengadakan talaqqi keilmuan.

Al-Ṣa’labī dikenal sebagai ulama dengan keilmuan yang luas, tidak hanya pakar dalam
satu disiplin ilmu, namun beliau juga handal dalam disiplin ilmu lain, seperti Fiqh yang
cenderung kepada mażhab Syāfi’i dan ilmu ‘Aqīdah yang lebih condong kepada Mażhab al-
Asy‘ārī, ini terlihat pada kitab tafsir beliau yang menjelaskan beberapa ayat dengan ta’wīl7.

Berbicara tentang penafsiran dan pentakwilan, tentu tidak bisa dilepaskan dengan karya
fenomenal al-Ṣa’labī yaitu kitab tafsīr al-Kasyf wa al-Bayān, yang tidak jarang dijadikan
referensi oleh ulama-ulama setelahnya, seperti al-Wāhidī pengarang kitab Asbāb al-Nuzūl, al-
Baghāwī pengarang kitab Ma’ālim al-Tanzīl, juga Ibnu Hajar al-‘Aqalānī begitu sering
mengutip perkataan al-Ṣa’labī. Al-Żahabi mengatakan dalam salahsatu kitabnya bahwa tafsīr
al-Kasyf wa al-Bayân atau yang lebih dikenal dengan tafsir al-Tsa’labi hanya tersisa empat
juz dari naskah aslinya dan tersimpan hingga kini di perustakaan Universitas al-Azhar8.

B. Biografi Rasyīd Riḍā dan sekilas tentang tafsīr al-Manār

Rasyīd Riḍā memiliki nama lengkap Muḥammad Rasyīd bin ‘Alī Riḍā Muḥammad
Syams al-Dīn bin Minla ‘Alī seorang pemimpin di sebuah desa al-Qalamun, merupakan
keturunan Baghdad dan tersambung nasabnya sampai kepada sayyidina ‘Alī bin Abī Ṭālib
melalui jalur Ḥusain dari Ibu dan Ayahnya.

Rasyīd Riḍā dilahirkan pada tahu 1282 H atau bertepatan dengan 1865 M di sebuah
desa Bernama al-Qalamun, beliau tumbuh disana serta menghabiskan pendidikan dasarnya
pada madrasah al-Rasyîdiyah, kemudian melanjutkan jenjang Ṣanāwiyahnya di kota Tripoli
)‫ (طرابلس‬serta mendalami ilmu agama dan beberapa ilmu bahasa seperti bahasa Turki di kota
ini hingga akhirnya Rasyīd Riḍā ketika berusia tujuh belas tahun pindah ke Madrasah asuhan
Syaikh Ḥasan al-Jisr9, dari sinilah ia benar-benar mendalami tentang pengetahuan keagamaan
mulai dari ilmu Filsafat, ilmu Ḥadīṣ, Fiqh Syāfi’i, Manṭiq dan lain sebagainya.

7
Abū Isḥāq al-Ṣa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 1 98-99.
8
Muḥammad Ḥusein al-Żahabi, Al-Ittijāhāt al-Munḥarīfah fī tafsīr al-Qur`ān al-Karîm, 29
9
Syaikh Ḥasan al-Jisr hidup antara tahun 1845-1908 M. Sumber: ar.wikipedia.org./wiki/‫محمد بهجة البطار‬

8
Perjalan kehidupannya berpindah ke Mesir pada tahun 1315 H/1898 M guna
menyambung tali keilmuan dengan Syaikh Muḥammad ‘Abduh di Masjid al-Azhar pada tahun
1899, dikatakan bahwa pada masa-masa abad 19 memang kebanyakan pelajar Suriah gemar
mencari dan menimba ilmu ke seluruh penjuru dunia, salah satu yang menjadi tujuan utama
pencarian ini, adalah Mesir. Termasuk Rasyīd Riḍā yang sengaja datang ke Mesir untuk
bertemu Muḥammad ‘Abduh.10

Kegigihan dan semangat juang dalam memperbaiki masalah sosial, agama, dan dan
ekonomi menjadi fokus utama Rasyīd Riḍā, bahkan beliau berusaha mengeluarkan umat Islam
secara khusus di Mesir pada waktu itu, dan seluruh umat Islam di dunia pada umumnya dari
keterpurukan, banyak ide-ide yang lahir dari kepala Rasyīd Riḍā, semua ini tak lepas dari
pengaruh gurunya yaitu Muḥammad ‘Abduh, bahkan beliau sampai mendesak agar gurunya
membuka kajian tafsīr Modern terpusat pada kajian-kajian perbaikan masyarakat hingga
akhirnya disetujui oleh Muḥammad ‘Abduh dan dilakukan pertama kali pada teras masjid al-
Azhar, tidak berhenti sampai disini, Rasyīd Riḍā akhirnya mempublikasikan semua kajian yang
disampaikan oleh Muḥammad ‘Abduh melalui surat kabar dengan nama al-Manār, dari sinilah
penyebutan tafsīr al-Manār bermula. Namun, kajian ini tidak berlanjut sampai keseluruhan al-
Qur’ān, hanya sampai pada surat al-Nisā` ayat 125, dikarenakan tak lama setelah itu,
Muḥammad ‘Abduh wafat, dan dilanjutkan oleh Rasyīd Riḍā hingga surat Yūsuf ayat 10111
dikarenakan pula, Rasyīd Riḍā menutup usia pada tahun 1935 M. kemudian, tafsīr al-Manār
ini disempurnakan oleh ulama terkemuka dari Suriah bernama Syaikh Bahjat al-Bayṭār.12
Maka, tidak heran jika dalam tafsīr al-Manār terkesan ada perubahan metode kepenulisan dan
beberapa langkah penafsiran, ini semua didasari lahirnya tafsīr al-Manār dari beberapa
pemikiran Muḥammad ‘Abduh, Rasyīd Riḍā dan Syaikh Bahjat al-Bayṭār, pengakuan ini juga
disampaikan oleh Rasyīd Riḍā sebelum melanjutkan kajian tafsir yang terhenti pada surat al-
Nisa ayat 125, beliau mengatakan;

“Ada perbedaan setelah wafatnya (Muḥammad ‘Abduh) didalam tubuh tafsīr al-
manār, akan adanya perluasan makna dalam tiap kata, dan ada pendalaman dalam
tiap hukum yang diterangkan oleh al-Qur’ān, serta akan banyak persoalan yang
menjadi perbincangan para ulama…”13
not italic

10
Muhammad Emin Nur Muhammed, “Muhammad Rasyīd Riḍā wa Tafsīruhu al-Manār (Baḥṣ Taḥlīlī)”,
Islami Ilimler Dergisi, vol.14, no. 1 (Musim Semi 2019): 109.
11
Muhammad Emin Nur Muhammed, “Muhammad Rasyīd Riḍā”, 114.
12
Syaikh Bahjat al-Bayṭār merupakan ulama kenamaan dan merupakan salah satu murid dari Syaikh
Jamāluddin al-Qasīmi, beliau dilahirkan di Damaskus pada tahun 1894 M dan wafat pada tahun 1976 M. Sumber:
ar.wikipedia.org./wiki/‫محمد بهجة البطار‬
13
Muḥammad Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, Jilid 1 (Kairo: Dār al-Manār, 1948), 16.

9
Walaupun, tafsīr ini telah diselesaikan oleh Syiakh Bahjat, namun tetap beliau
nisbatkan tafsīr ini kepada Rasyīd Riḍā dan Muḥammad ‘Abduh. Tafsīr ini juga termasuk
kedalam tafsīr yang bercorak Ādab al-Ijtimā’ī dan mengedapankan nilai-nilai sosial
didalamnya.

C. Penafsiran al-Ṣa’labī terhadap surat al-Baqarah ayat 35-36


َ ُ َ َ َ َ َّ ٰ َْ َ َ ُْ ُ ْ َ ًَ ْ َ ُ َ ََّ ْ َ ُ َ َ ْ َ ُ َٰ َْ ُ
‫﴿ َوقلنا يٰٓاد ُم ْاسك ْن انت َوز ْوجك الجنة َوكلا ِمن َها َرغدا حيث ِشئتماۖ َولا تق َر َبا ه ِذ ِه الشج َرة فتك ْونا ِم َن‬
َ ّٰ
)35 :2/‫ ﴾ ( البقرة‬٣٥ ‫الظ ِل ِم ْين‬
“Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga,
makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan
janganlah kamu dekati pohon ini, sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!”
َ ََّ ْ َ ُ َ َ ْ َ ُ َٰ َْ ُ
‫َوقلنا يٰٓاد ُم ْاسك ْن انت َوز ْوجك الجنة‬
Al-Ṣa’labī menjelaskan dalam kitab tafsirnya tentang kalimat ini, bahwa nabi Adam
ketika berada di Surga, tidak ada siapapun yang menemani, hingga akhirnya Adam
tertidur, dan ditengah lelapnya, Allah menciptakan pasangan bagi Adam dari tulang rusuk
bagian bawah, tanpa dirinya sadar dan tanpa adanya rasa sakit.14
Terdapat perdebatan dikalangan mufassir tentang pemaknaan ‫ الجنة‬dalam ayat ini,
diantaranya; Kelompok Qadariah15 mengatakan bahwa Surga yang ditinggali Adam dan
Hawa bukanlah surga yang bersifat kekal, tapi sebuah taman, dari taman-taman yang ada
di dunia, dalil mereka, bahwa Surga di akhirat bukanlah tempat yang ada didalamnya ujian
dan beban.
Al-Ṣa’labī menjawab, bahwa penduduk surga tetap mendapat beban dan perintah
yang harus ditunaikan, sementara, ada ulama lain menjawab bahwa Allah sangat berhak
untuk mebalikkan sebuah keadaan seperti diujinya Adam ketika di Surga, dan memberikan
nikmat pada Ibrāhīm ketika didalam api
َ ُْ ُ ْ َ ًَ ْ َُ
ۖ‫َوكلا ِمن َها َرغدا حيث ِشئتما‬

Kemudian, al-Ṣa’labī menerangkan kalimat ini, bahwa Adam dan Hawa diberikan
nikmat yang tiada terkira, kapanpun, dimanapun dan apapun kemauan mereka berdua,
Allah akan berikan.
footnoteneeded

14
Abū Isḥāq Al-Ṣa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 3 (Jeddah: Dār al-Tafsīr, 2015),
233.
15
Mażhab Qadariyah adalah, penganut bahwa seorang hamba bebas melakukan perbuatan tanpa adanya
ikatan atau keinginan Allah. Dapat dilihat pada kitab al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 3 h. 234.

10
َ َ َّ ٰ َْ َ
‫َولا تق َر َبا ه ِذ ِه الشج َرة‬

Tentang potongan ayat ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tafsir,
sebagian mengartikan pelarangan ini berlaku untuk satu jenis pohon, artinya ada beberapa
pohon, selama dalam jenis yang sama, maka dilarang untuk didekati, sebagian ulama
mengatakan, bahwa pelarangan ini, hanya untuk satu pohon khusus, sementara Sayyidina
‘Alī bin Abī Ṭālib mengatakan bahwa, maksud dari kata pohon disini adalah pohon kayu
putih )‫(الكافور‬. Dikatakan pula bahwa pohon itu bernama Hulbah, ada juga yang
mengatakan pohon Sunbulah, pohon Tin, pohon Anggur dan lain sebagainya.16
َْ ُ َ ُ ُ َْ ْ ُ ْ َْ ُ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ْ َ ٰ َّ َ ََّ َ َ
ٌّ‫ضك ْم ل َب ْعض َع ُد ٌّوۚ َولك ْم فى الا ْر ِض ُم ْس َت َقر‬ ‫﴿ فازل ُهما الش ْيط ُن عن َها فاخ َرج ُهما ِِما كانا ِف ْيهِۖ َوقلنا اه ِبطوا بع‬
ِ ٍ ِ
ٰ ٌ َ
)36 :2/‫ ﴾ ( البقرة‬٣٦ ‫َّو َمتاع ِالى ِح ْي ٍن‬
“Lalu, setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya dikeluarkan
dari segala kenikmatan ketika keduanya ada di sana (surga). Kami berfirman,
“Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu
ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”

ْ َ َ َّ َ ُ َ ْ َ َ َ ْ َ ُ ٰ َّ َ ُ ََّ َ َ
ِ‫فازلهما الش ْيطن عنها فاخ َرجهما ِِما كانا ِفيه‬

Pada potongan ayat ini, al-Ṣa’labī kembali menceritakan dan mengutip riwayat
Isrāīliyyāt seperti pada ayat sebelumnya (penciptaan Hawa), pada ayat ini, diceritakan
bahwa Iblis meminta kepada penjaga surga agar diizinkan masuk kedalamnya, namun
permintaannya ditolak, hingga akhirnya Iblis merubah wujud menjadi hewan melata,
memiliki empat kaki dan dalam bentuk yang indah sehingga diizinkan masuk oleh penjaga
surga dari salah satu sudut pintu surga, dari sinilah mula peristiwa penggodaannya
terhadap Adam dengan cara memberikan bisikan terhadap Hawa untuk mengajaknya
mendekati pohon terlarang dan keinginan Iblis untuk mengeluarkannya dari Surga17.

16
Abū Isḥāq Al-Ṣa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān, Jilid 3, 236-237. Boleh saja kita menerjemahkan dari
salah satu penafsiran ini, karena pengetahuan ini tidak memberikan kita manfaat sekalipun mengetahuinya dan
tidak merugikan kita jika tidak mengetahuinya, karena memang tidak ada dasar yang konkret terkait penafsiran
pohon yang dimaksud.
17
Abū Isḥāq Al-Ṣa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān, Jilid 3, 240. Cerita ini sudah disepakati beberapa ulama,
bahwa berasal dari riwayat Isrāīliyāt, dan sudah dijelaskan riwayat berujung kepada Wahb bin Munabbih.
Sebagian ulama tafsir menafikan dan tidak menganggap riwayat Isrāīliyyāt ini. Bahkan Syaikh Abū Syuhbah,
publisher and
dalam kitabnya yang berjudul al-Isrāīliyyāt wa al-Mauḍū’āt fī Kutub al-Tafsīr halaman 179 mengatakan ‘setiap
date
kisah yang bersumber dari Isrāīliyyāt, selalu dilebih-lebihkan dan tercampur antara haq dan bathil’.

11
Ada riwayat lain, yang mengatakan bahwa Adam tidak pernah mendekati pohon
terlarang, namun Hawa memberinya khamr hingga mabuk kemudian memakan buah dari
pohon terlarang.18
ُ َ ْ ُ ُ ْ ُ ْ َْ ُ
‫َوقلنا اه ِبط ْوا َبعضك ْم ِل َبع ٍض عد ٌّو‬

Didalam potongan ayat ini, al-Ṣa’labī tidak banyak menjelaskan secara detail tentang
pemaknaan kata ‫ الهبوط‬hanya dimaknai dengan kata ‫ النزول‬atau turun. Dan objek dalam ayat
ini ditujukan bukan hanya kepada Adam dan Hawa saja, melainkan termasuk kepada Iblis
dan Ular.19 Fokus penjelasan al-Ṣa’labī justru tertuju dimana tempat Adam, Hawa, Iblis
dan Ular diturunkan. Adam diturunkan di daerah bernama Sarandīb20, Hawa diturunkan di
Jeddah21, Iblis diturunkan di Ubulah22, dan Ular diturunkan di Asbahan.
maybe Isfahan in Iran?
ٰ ٌ َ َ َ َْ ُ َ
‫َولك ْم ِفى الا ْر ِض ُم ْستق ٌّر َّو َمتاع ِالى ِح ْي ٍن‬

Al-Ṣa’labī tidak banyak menjelaskan ayat ini, kecuali hanya penjelasan-penjelasa


sederhana, seperti pada potongan ayat in, beliau hanya menjelaskan bahwa setelah
diturunkannya Adam ke Bumi, ia mendapatkan tempat yang tetap dan diberikan
kesempatan untuk menikmati apa yang ada di dunia hingga batas waktu yang ditentukan
dan ajal menjemput.
َّ َ ُ ٗ َّ ْ َ َ َ َ َ
ُ ‫التَّو‬ َ َ ٰ ّٰٓ َ َ َ
)37 :2/‫ ﴾ ( البقرة‬٣٧ ‫الر ِح ْي ُم‬
َّ ‫اب‬ ‫﴿ فتلقى اد ُم ِم ْن َّر ِبهٖ ك ِل ٰم ٍت فتاب عليهِۗ ِانه هو‬

“Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun
menerima tobatnya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha
Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah : 37).
ْ َ َ َ ‫َف َت َل ّٰٓقى ٰا َد ُم م ْن َّرب َكل ٰمت َف َت‬
ِ‫اب عليه‬ ٍ ِ ٖ‫ِ ه‬ ِ

Pemaparan al-Ṣa’labī terhadap potongan ayat ini, adanya perbedaan pendapat


diantara ulama tentang makna ‫ الكلمات‬diantaranya;

18
Abū Isḥāq Al-Ṣa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān, Jilid 3, 240-241. Pendapat ini jelas tertolak, karena
didapati dalam sanadnya seseorang bernama Abū Isḥāq Saduq, dirinya dikenal Mudallas (sering memalsukan
ḥadīṣ).
19
Abū Isḥāq Al-Ṣa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān, Jilid 3, 241. Pendapat ini, juga dicantumkan oleh al-
Ṭabari dalam tafsirnya Juz 1 halaman 240, dengan penilaian sanad riwayat ini ‘Majhūl’ tidak diketahui
kebenarannya.
20
Abū Isḥāq Al-Ṣa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān, Jilid 3, 241. Menurut pentahqiq kitab tafsir al-Ṣa’labī,
Kota Sarandīb kemungkinan ada di India, karena dari susunan katanya berasal dari bahasa India ‫ ديب‬bermakna
pulau. Sedangkan kata ‫ سرن‬belum diketahui maknanya.
21
Kota ini berada di bawah Kerajaan Arab Saudi.
22
Abū Isḥāq Al-Ṣa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān, Jilid 3, 241. Salah satu empat kota tertua yang berada di
Iraq, dikatakan, kota ini lebih tua dari Basrah.

12
Pertama, Ibnu ‘Abbās berkata:
“Bahwa Adam mengatakan kepada Allah ‘Wahai Tuhan, bukankah kau
menciptakanku dengan kuasamu?’ Allah menjawab ‘Benar’ Adam berkata
‘Bukankah kau telah meniupkan kepadaku dengan izinmu?’ Allah menjawab
‘Benar’, Adam berkata ‘Bukankah kau mendahulukan kasih sayangmu ketimbang
murkamu?’ Allah menjawab ‘Benar’, Adam berkata lagi ‘Bukankah kau
menempatkanku di Surgamu? Alla menjawab ‘Benar’, Adam berkata lagi ‘Lantas
mengapa kau keluarkanku dari Surgamu?’ Allah menjawab ‘Karena buruknya
perbuatan dosamu’, Adam berkata lagi ‘Wahai Tuhan, jika aku bertaubat dan
memperbaiki perbuatankun apakah engkau akan mengembalikanki ke Surga?’ Allah
Menjawab ‘Ya’”.

Percakapan ini, yang dimaksud Ibnu ‘Abbās sebagai sebuah ‫ الكلمات‬.23


who?
Kedua, menurut Muḥammad bin Ka’ab al-Qurāẓi, maksud dari ‫ الكلمات‬adalah perkataan
Adam :

‫لا إله إلا أنت سبحانك وبحمدك عملت سوءا وظلمت نفسي فتب علي إنك أنت التواب الرحيم‬

“Tiada Tuhan selain engkau (Allah), Maha suci diri-Mu, dan pujian hanya bagi-
Mu, aku telah melakukan keburukan, dan telah mendzhalimi diriku, maka terimalah
taubatku, sesungguhnya engkau maha penerima taubat lagi maha pengasih24.

Ketiga, Sebagian ulama berpendapat tentang makna ‫ الكلمات‬adalah, ketika Adam melihat
pada ‘Arsy, dan menatap pada langit-langit yang tertulis kalimat

‫لا إله إلا اهلل محمد رسول اهلل‬

Maka Adam berdoa:

‫يا رب أسألك بحق محمد أن تغفر لي‬

“Wahai Tuhan, aku meminta padamu dengan kebenaran Muhammad, maka


ampunilah aku”.
Maka Allah segera mengampuni Adam25.
Keempat, Mujāhid, al-Ḥasan dan Ibn ‘Abbās juga pernah menjelaskan, bahwa yang
dimaksud dari ‫ الكلمات‬ada dalam surat al-A’rāf ayat 23:
ْٰ َ ُ ََ َ َ َ ََ ْ َ َّ ْ َ ُ ْ َ َ َ َ َ َّ َ َ
)23 :7/‫ ﴾ ( الاعراف‬٢٣ ‫﴿ قالا َربنا ظل ْمنآ انف َسنا َواِ ن ل ْم تغ ِف ْر لنا َوت ْرح ْمنا لنك ْونَّن ِم َن الخ ِس ِر ْي َن‬

23
Abū Isḥāq al-Ṣa’labi, al-Kasyfu wa al-Bayān, Jilid 3, 245. Berada pada kitab al-Mustadrak karangan
al-Ḥākim, beliau menyebutkan bahwa sanad ini, memiliki status Sāḥih.
24
Abū Isḥāq al-Ṣa’labi, al-Kasyfu wa al-Bayān, Jilid 3, 247.
25
Abū Isḥāq al-Ṣa’labi, al-Kasyfu wa al-Bayān, Jilid 3, 51. Riwayat ini juga disebutkan di beberapa kitab
tafsīr seperti; al-Samarqandī dalam kitabnya al-Baḥr al-‘Ulūm Juz.1 h. 112, al-Qurṭūbī dalam kitabnya al-Jāmi lī
Aḥkām al-Qu`rān Juz. 1 h. 276, Abū Ḥayyān dalam kitabnya al-Baḥr al-Muḥīṭ Juz 1 h. 318.

13
“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika
Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk
orang-orang yang rugi.”

D. Penafsiran Rasyīd Riḍā terhadap surat al-Baqarah ayat 35-37

َ ُ َ َ َ َ َّ ٰ َْ َ َ ُْ ُ ْ َ ًَ ْ َ ُ َ ََّ ْ َ ُ َ َ ْ َ ُ َٰ َْ ُ
‫﴿ َوقلنا يٰٓاد ُم ْاسك ْن انت َوز ْوجك الجنة َوكلا ِمن َها َرغدا حيث ِشئتماۖ َولا تق َر َبا ه ِذ ِه الشج َرة فتك ْونا ِم َن‬
َ ّٰ
)35 :2/‫ ﴾ ( البقرة‬٣٥ ‫الظ ِل ِم ْين‬

“Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga,
makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan
janganlah kamu dekati pohon ini, sehingga kamu termasuk orang-orang ẓālim!”
Cukup berbeda dengan pemaparan yang dijelaskan al-Ṣa’labī, jika al-Ṣa’labī lebih
condong kepada penafsiran dengan menggunakan riwayat, maka Rasyīd Riḍā menuliskan
penjelasan dengan pendekatan aspek sosial kemasyarakatan. Langkah awal, Rasyīd Riḍā
menguraikan secara global tentang maksud dari ayat ini, yaitu tentang diciptakannya
pasangan untuk Adam, kemudian pelarangan terhadap sebuah pohon, dan rencana Iblis
untuk mengeluarkan keduanya dari Surga, ini sudah sangat masyhur.

Kemudian, Rasyīd Riḍā menjelaskan bahwa ada perbedaan pendapat diantara ulama
Ahl Sunnah wa al-Jamā’ah pada kata ‫ الجنة‬dalam ayat ini.

Pertama, mayoritas ulama Sunnī, Muhaqqiqīn, dan Ahl al-Lughah sepakat bahwa
surga yang di maksud adalah sebuah taman atau sebuah tempat yang dikelilingi oleh
pepohonan rindang sehingga menutupi siapapun yang ada didalamnya.

Kedua, Abū Mansūr al-Māturidī, berpendapat tentang ‫ الجنة‬yang dimaksud adalah


sebuah taman dari kebanyakan taman-taman dimana Adam dan Hawa mendapatkan banyak
kenikmatan didalamnya, al-Māturidī menegaskan bahwa pembahasan ini bukanlah ranah
kita dalam menentukan surga mana yang dimaksud, karena memang tidak adanya
pembahasan secara konkret tentang tempat ini26. you need to look at
the Tafsir of al- Maturidi too
Rasyīd Riḍā kemudian mengumpulkan beberapa kejanggalan-kejanggalan yang
sering dipertanyakan didalam penjelasan ayat ini

1. Allah menciptakan Adam dan keturunannya untuk menjadi Khalīfah, namun,


kemudian ada penjelasan bahwa diturunkannya sebagai bentuk hukuman yang
justru bertentangan dengan tujuan awal?

26
Muḥammad Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, Jilid 1, 277.

14
2. Bukankah Surga hanya diperuntukkan bagi orang yang beriman? lantas Iblis yang
terlaknat bagaimana mungkin bisa menembus dan masuk kedalam Surga?
3. Surga bukanlah tempat adanya taklîf bagi penghuninya.
4. Tidak mungkin adanya pelarangan didalam Surga, karena Surga tempat
menikmati segalanya.
5. Dan tidak mungkin adanya perbuatan dosa di dalam Surga.

Dari kejanggalan-kejanggalan diatas, Rasyīd Riḍā mencoba menanggapi dan


merujuk kepada pendapat gurunya Muḥammad ‘Abduh, namun tidak semua kejanggalan
ini dapat diuraikan karena akan menjadi bahasan yang tidak mudah dan akan mengulur
waktu, mengutip penjelasan al-Ustāż27 bahwa tidak adanya penjelasan dalam kitab tafsir
manapun yang menjelaskan bahwa Surga yang ditinggali Adam dan Hawa adalah surga
yang berada di Akhirat, ini juga diperkuat, bahwa Surga hanya dikhususkan bagi orang
bertaqwa dan sebagai tempat balasan kebaikan sementara Adam dan Hawa menempati
Surga bukan dengan alasan ketaqwaannya.

Didalam ayat ini terdapat kata ‫ اسكن‬atau menetaplah, bukan dengan kata ‫ ادخل‬jika
memang Adam diciptakan di bumi kemudian berpindah ke Surga. Akan tetapi, Allah
menggunakan kata ‫ اسكن‬menunjukan bahwa Adam diciptakan didalam Surga (dunia) atau
didekatnya.

Berlanjut kedalam pembahasan

َ ّٰ َ ُ َ َ َ َ َّ ٰ َْ َ َ ُْ ُ ْ َ ًَ ْ َُ
‫َوكلا ِمن َها َرغدا حيث ِشئتماۖ َولا تق َر َبا ه ِذ ِه الشج َرة فتك ْونا ِم َن الظ ِل ِم ْين‬

Rasyīd Riḍā tidak banyak menjelaskan secara detail, hanya menjelaskan bahwa
didalam Surga, Adam dan Hawa dapat menikmati segala kenikmatan seutuhnya, kecuali
terhadap satu pohon agar dihindari oleh Adam dan Hawa. Tidak ada pembahasan tentang
jenis pohon yang dimaksud, karena memang tidak ada kesepakatan ulama dan tidak ada
penjelasan dari Allah sendiri, namun Rasyīd Riḍā mengajak pembaca untuk memetik
hikmah yang terkandung didalam ayat bahwa akan selalu ada ujian dari Allah untuk
menilai bahwa seseorang akan mendapat kemuliaan jika bertahan dengan prinsip yang
ditetapkan oleh Allah, atau justru akan menjadi celaka jika melanggar prinsip.

27
Muḥammad Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, Jilid 1, 277. Diantara murid-murid yang setia kepada
Muḥammad ‘Abduh, mereka selalu menjulukinya dengan kata ‫ األستاذ‬termasuk Rasyīd Riḍā yang menggunakan
kata ini didalam tafsīr al-Manār.

15
ََ َْ ُ َ ُ َ ْ ُ ُ ْ ُ ْ َُْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ْ َ ٰ َّ َ ََّ َ َ
‫﴿ فازل ُهما الش ْيط ُن عن َها فاخ َرج ُهما ِِما كانا ِف ْيهِۖ َوقلنا اه ِبط ْوا َبعضك ْم ِل َبع ٍض عد ٌّوۚ َولك ْم ِفى الا ْر ِض ُم ْستق ٌّر‬
ٰ ٌ َ
)36 :2/‫ ﴾ ( البقرة‬٣٦ ‫َّو َمتاع ِالى ِح ْي ٍن‬

“Lalu, setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya dikeluarkan


dari segala kenikmatan ketika keduanya ada di sana (surga). Kami berfirman,
“Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu
ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”
Begitupun dalam ayat ini, sangat minim sekali penjelasan dari Rasyīd Riḍā, selain
memang tidak ada landasan dalil yang dipercaya, dan Ijma’ ulama tafsīr dalam hal terkait,
juga Rasyīd Riḍā termasuk orang yang anti menggunakan riwayat dari Isrāīliyyāt, maka
dari itu, penjelasannya hanya terbatas pada pemabahasan secara universal.

Dalam tafsir al-Manār juga dijelaskan, bahwa Iblis yang enggan bersujud dihadapan
Adam atas perintah Allah, selalu berkeinginan dan mencari cara agar dapat mengeluarkan
Adam dari Surga dan kenikmatan yang ada didalamnya, akhirnya Iblis berusaha agar
Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga atas perbuatannya melanggar perintah Allah.

Berlanjut kepada penjelasan peristiwa ‫ الهبوط‬didalam ayat

ُ َ ْ ُ ُ ْ ُ ْ َُْ
ۚ‫َوقلنا اه ِبط ْوا َبعضك ْم ِل َبع ٍض عد ٌّو‬

Asal makna ‫ الهبوط‬adalah, perpindahan dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih
rendah, maka dari itu, seakan Adam turun dari langit ke Bumi, atau dari tempat yang tinggi
ke tempat yang lebih rendah jika memang kita memaknai dari asal kata tersebut.

Namun, al-Rāghib berpendapat, makna Hubūt adalah

‫الهبوط الانحدار على سبيل القهر ولا يبع‬

Atau dapat diartikan dengan dipindahkannya sesuatu tidak jauh dari tempat semula.
Al-Rāghib juga menjelaskan bahwa, peristiwa ‫ الهبوط‬tidak mungkin terjadi jika jauh dari
Surga.28 Sehingga dapat disimpulkan, bahwa peristiwa ini seperti pindahnya dari satu
negara ke negara lain, didalam al-Qur’ān Allah berfirman kepada Nabi Musa yang
ditujukan kepada bani Isrāīl dalam surat al-Baqarah ayat 61;

28
Muḥammad Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, Jilid 1, 278.

16
ُ َْ ُ َ َّ َ ْ ُ ْ
)61 :2/‫ِاه ِبط ْوا ِمص ًرا ف ِان لك ْم َّما َسالت ْمۗ ( البقرة‬

“Pergilah ke suatu kota. Pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.”(Q.S.
Al-Baqarah : 61).
ٰ ٌ َ ََ َْ ُ َ
‫َولك ْم ِفى الا ْر ِض ُم ْستق ٌّر َّو َمتاع ِالى ِح ْي ٍن‬

Dalam potongan ayat ini, dijelaskan bahwa Adam akan menjalani kehidupan di
Bumi dan menetap disana hingga waktu yang di tentukan. Rasyīd Riḍā merangkum bahwa
ada dua faidah yang dapat diambil dari ayat ini;
Pertama, dari sinilah permulaan kehidupan Adam dan Hawa dimulai, dan
menikmati apa yang ada di dalam Bumi.
Kedua, bahwa kehidupan di dunia tidak memberlakukan keabadian, semua yang
hidup akan menemukan batas waktu kehidupan mereka, sekaligus membantah bahwa apa
yang disebutkan Iblis ketika merayu Adam dan berkata jika memakan buah dari pohon
terlarang akan menjadi kekal dan abadi.
Rasyīd Riḍā menyimpulkan dari ayat ini, bahwa Allah mengeluarkan Adam dari
Surga tempat bersenang-senang, ke Bumi sebagai tempat bekerja dan berbuat kebaikan,
Allah tidak pula menghilangkan nikmat yang telah diberikan, apalagi sebagai bentuk
hukuman, ini terbukti bahwa Adam mendapatkan tempat tinggal di Bumi dan tetap bisa
menikmati kenikmatan serta kebaikan-kebaikan yang ada didalamnya.29
َّ َ ُ ٗ َّ ْ َ َ َ َ َ
ُ ‫التَّو‬ َ َ ٰ ّٰٓ َ َ َ
)37 :2/‫ ﴾ ( البقرة‬٣٧ ‫الر ِح ْي ُم‬
َّ ‫اب‬ ‫﴿ فتلقى اد ُم ِم ْن َّر ِبهٖ ك ِل ٰم ٍت فتاب عليهِۗ ِانه هو‬

Kisah ini ditutup dengan penagkuan kekhilafan Adam dan Hawa, sebagaimana yang
disepakati ulama bahwa ‫ الكلمات‬yang dimaksud terdapat pada surat al-A’rāf ayat 23
َ ْ ٰ ْ َ ََّ ْ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ْ َ ْ َّ ْ َ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ ََّ َ َ
)23 :7/‫ ﴾ ( الاعراف‬٢٣ ‫﴿ قالا ربنا ظلمنآ انفسنا واِ ن لم تغ ِفر لنا وترحمنا لنكونن ِمن الخ ِس ِرين‬

“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika
Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk
orang-orang yang rugi.”

Allah terima taubat keduanya, dan kembali kepada rahmat dan kemuliaan Allah,
karena sifat Allah yang maha pengampun dan maha penerima taubat, terkait dengan

29
Muḥammad Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, Jilid 1, 279.

17
adanya kisah-kisah atau cerita tentang turunnya Adam disebabkan karena hukuman, maka
itu semua tidaklah memiliki sumber kecuali dari Isrāīliyyāt.
Ada beberapa poin kesimpulan Rasyīd Riḍā dalam memahami kisah ini, untuk
kemudian dapat diambil sebuah hikmah.
1. Penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam sebagai teman dalam surga, hanya
ditemukan di kitab-kitab taurat dan Injil, sementara di dalam al-Qur`an hanya
ditemukan dengan kata ‫ وخلق منها زوجها‬tidak dijelaskan secara rinci, Adapun ḥadīṣ
Rasūllullāh yang menagatakan demikian, hanya sebagai bentuk kiasan atau
permisalan, bukan secara hakikat.
2. Semua Nabi dan Rasul dapat dipastikan akan mendapat jaminan penjagaan atau
Ma’sūm, begitupun Adam, para ulama sepakat bahwa kema’sūman seorang Nabi,
akan terjadi setelah dirinya diangkat menjadi Nabi, kejadian yang menimpa Adam,
merupakan kejadian saat Adam sebelum menjadi Nabi. Ada pula pendapat yang
mengatakan apa yang terjadi pada Adam, bukanlah sebuah kemaksiatan, namun
sebuah kelengahan, bukan unsur yang di sengaja.
3. Terdapat banyak permisalan dalam al-Qur`ān, seperti contoh didalam ayat ini
terdapat kata ‫ الجنة‬dan ‫ الشجر‬yang perlu diketahui oleh manusia, bahwa permisalan
yang terjadi didalam al-Qur’ān tidak semua mengandung arti yang sebenarnya.
Katakanlah, ‫الجنة‬yang dimaksud, jika diartikan sebagai surga yang sebenarnya,
akan terjadi banyak perselisihan didalam tubuh al-Qur’ān itu sendiri, namun al-
Qur’ān mengajak kita untuk mengerahkan kemampuan berpikir dan mentadabburi
al-Qur’ān lebih mendalam
4. Ada beberapa periode hikmah kemanusiaan yang dapat diambil dari kisah ini,
menurut Rasyid Ridha yang mengutip penjelasan al-Ustāż bahwa semua manusia
akan mengalami tiga periode dalam kehidupan: Pertama, periode al-Ṭufūlāh atau
anak-anak, dimana periode ini penuh dengan kenikmatan, bermain, bahkan
bersenang-senang. Kedua, periode al-Tamyīz atau periode dimana manusia mulai
memilih dan menyaring hal-hal baik dan kurang baik, mana yang manfaat dan mana
yang memberikan mudharat. Ketiga, periode al-Tadabbur, yaitu periode dimana
manusia sudah mulai mengerti dan dengan sempurna bisa menggunakan akal
pikirannya dalam menimbang sesuatu yang baik dan buruk, serta dapat
menyeimbangkan antara perbuatan pemuas hawa nafsunya, dengan perbuatan yang
dapat membawa kepada keselamatan.

18
Seperti halnya yang terjadi pada Nabi Adam, terdapat pelajaran penting yang
terkandung didalam peristiwa tersebut. Sebagai muslim yang cerdas tentu kita harus
dapat memaksimalkan akal pikiran kita dengan mentadabburi al-Qur`ān.30

E. Studi Komparatif tafsīr al-Kasyf wa al-Bayān dengan tafsīr al-Manār dalam surat
al-Baqarah ayat 35-37

Setelah penulis mencoba mengkaji dan meneliti dari kedua kitab tafsir utama dalam
pembahasan ini, terkhusus pada penafsiran masing-masing mufassir dalam menafsirkan surat
al-Baqarah ayat 35-37, ada beberapa perbedaan yang penulis dapati, dari segi metode
penafsiran, pendekatan yang digunakan masing-masing mufassir, serta corak yang digunakan
dalam menafsirkan al-Qur’ān, untuk lebih terperincinya, penulis akan memaparkan
perbandingan dari kedua mufassir tersebut, sebagai berikut:

Pertama, perbandingan metode kepenulisan masing-masing Mufassir.

Perbedaan yang penulis dapati dan dianggap paling mencolok dari kedua tafsir tersebut
adalah, al-Ṣa’labī, dalam menafsirkan surat al-Baqarah sebagian besar merujuk ke beberapa
riwayat, diantaranya dari riwayat sahabat, riwayat tābi’īn, riwayat Isrāīliyyāt, bahkan ada yang
menggunakan riwayat dari seorang perawi yang mudallas atau sering memalsukan ḥadīṣ, dan
sangat disayangkan, al-Ṣa’labi didalam menafsirkan ayat ini, tidak menjelaskan secara rinci
riwayat yang mendukung penafsirannya, juga tidak memberikan komentar apapun terhadap
riwayat Isrāīliyyāt yang digunakan. Dari banyak jumlah riwayat yang digunakan, memang al-
Ṣa’labī lebih condong kepada metode kepenulisan Tafsīr bi al-Ma`ṣūr atau bi al-Riwāyāt.

Berbeda dengan penafsiran Rasyīd Riḍā, dirinya justru menjauhi riwayat-riwayat yang
belum jelas status kesāḥīḥannya, dan menolak mentah-mentah pada riwayat Isrāīliyyāt, karena
dianggap tidak memilki kapasitas yang cukup sebagai penjelas al-Qur`ān, yang ditekankan oleh
Rasyīd Riḍā lebih kepada Tadabbur ‘Aqliyah, atau mengerahkan akal pikiran dan merenungi
maksud dari ayat-ayat yang terkandung, memang, metode kepenulisan yang dilakukan Rasyīd
Riḍā adalah Tafsīr bi al-Ra`yi.

Kedua, perbandingan pemaknaan Mufradat Gharīb masing-masing mufassir.

30
Rangkuman terhadap penjelasan Rasyīd Riḍā diakhir penjelasan surat al-Baqarah ayat 35-37 dalam
tafsīr al-Manār halaman 283-284.

19
Al-Ṣa’labī, sebagai penganut metode penafsiran bi al-Ma`ṣūr, tentu selain merujuk
kepada perkataan sahabat dan tābi’īn, beliau juga menukil dari riwayat Isrāīliyyāt sebagai
tambahan informasi walaupun tidak dipastikan kebenarannya, dan al-Ṣa’labī menerjemahkan
mufradat hanya sebatas peralihan kata, seperti ‫ الهبوط‬dimaknai dengan ‫ النزول‬saja, sehingga
menggiring pembaca tafsirnya setuju dengan riwayat Isrāīliyyāt, karena tidak ada warning dari
al-Ṣa’labī.

Sementara Rasyīd Riḍā, ketika menjelaskan Mufradat tidak sebatas peralihan makna,
namun kepada asal kata, dan di komparasikan dengan beberapa pendapat Ahl al- Lughah
lainnya, juga ditambahkan dalil dalil yang menguatkan argumentasi masing-masing pendapat
ulama.

Ketiga, perbandingan ketika menafsirkan peristiwa turunnya Adam.

Al-Ṣa’labī menggunakan kata ‫ النزول‬dalam menafsirkan kata ‫ الهبوط‬dan menjelaskan


bahwa Adam diturunkan ke muka Bumi atas dasar dosa yang diperbuat olehnya dan Hawa.
Sangat disayangkan, ketiadaan komentar atau tanggapan dari al-Ṣa’labi terhadap tafsir ayat ini,
bahkan dicantumkan rekam cerita bagaimana cara Iblis menggoda Hawa sebagai alat untuk
menggoda Adam mendekati pohon terlarang melalui riwayat Isrāīliyyāt.

Sementara Rasyīd Riḍā, mencoba mengajak pembaca dan berhasil mendudukan


masalah ini, dengan menguraikan penafsiran dari berbagai sisi, terutama pada penekanan
makna bahasanya, kenapa Allah memilih kata ‫ اسكن‬dan apa korelasinya dengan kata ‫الهبوط‬
sehingga antar ayat, tidak berbenturan makna dan memilki satu kesinambungan yang jelas. Dan
yang terpenting, Rasyīd Riḍā membantah tentang turunnya Adam sebagai hukuman dari Allah.

20
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa, kedua sumber primer dalam
kepenulisan ini memilki latar belakang tempat, masa kehidupan, dan pemikiran yang berbeda
dalam menafsirkan al-Qur`ān, khususnya dalam kali ini, terhadap penafsiran surat al-Baqarah
ayat 35-37. Al-Ṣa’labī dan Rasyīd Riḍā memiliki perbedaan dalam segi metode penafsiran
mereka, sangat menarik, ketika mufassir yang satu fokus dengan merujuk pada riwayat-riwayat
excellent
dalam menafsirkan, sementara mufassir lainnya, selain menggunakan riwayat shahih, serta
dilengkapi pula dengan mentadabburi dan mengerahkan kemampuan akal pikirannya untuk
berijtihad.

Perbedaan yang sangat mencolok dalam hal ini adalah, ketika menafsirkan ayat yang
sangat minim kejelasan sumbernya, sekalipun ditemukan riwayat penjelas, namun tingkat
kredibilitasnya masih rendah, sehingga, al-Ṣa’labī memilih dengan menggunakan riwayat
Isrāīliyyāt hampir pada tiap ayat, sementara Rasyīd Riḍā berusaha sekeras mungkin menjauhi
riwayat Isrāīliyyāt tersebut. Ini tergambar pada saat mufassir memaparkan kisah turunnya
Adam pada surat al-Baqarah, ringkasnya, al-Ṣa’labī menjelaskan bahwa Adam diturunkan oleh
Allah karena bermaksiat dan melanggar larangan-Nya, lalu kemudian bertaubat. Karena tidak
adanya komentar atau tanggapan khusus terkait riwayat yang digunakan dari al-Ṣa’labī, penulis
belum dapat menyimpulkan apakah sikap al-Ṣa’labī sepakat atau tidak, walaupun demikian,
didalam kitab yang dijadikan sumber utama terdapat pentahqiq juga mengomentari menolak
riwayat ini.

Sementara Rasyīd Riḍā dengan tegas menjelaskan bahwa Adam tidak pernah
diturunkan oleh Allah dalam bentuk hukuman, namun diturunkannya Adam ke Bumi sebagai
bentuk penghormatan sebagai Khalīfah fī al-Arḍ. Tidak bisa dibenarkan dan dilarang bersandar
pada kisah turunnya Adam karena sebuah kemaksiatan. Allahu A’lâm.

21
DAFTAR PUSTAKA

Kitab

Abū Syuhbah, Muḥammad Al-Isrāīliyyāt wa al-Mauḍū’āt fī Kutub al-Tafsīr. Kairo:


Maktabah al-Sunnah, 2005.

al-Qaisī, Qahṭān Khairī al-Dakhīl fī Tafsīr al-Imām Abī al-Ḥasan al-Bakrī, (Tesis S2.,
Universitas al-Anbar Iraq, 1441 H/2020M.

Al-Qur`an Al-Karīm.

Al-Qur`an dan Terjemahnya LPMQ Kemenag tahun 2019.

Al-Ṣa’labī, Abū Isḥāq al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur`ān. Jeddah: Dār al-Tafsīr,
2015.

Al-Żahabī, Muḥammad Ḥusein Al-Ittijāhāt al-Munḥarīfah fī tafsīr al-Qur`ān al-Karīm. Kairo:


Maktabah Wahbah, 1986.

Riḍā, Muḥammad Rasyīd Tafsīr al-Manār. Kairo: Dār-El-Manār, 1948.

Salāmah, Muḥammad ‘Alī Manhāj al-Furqān fī Tafsīr al-Qur`ān. Kairo: Maktabah al-Īman,
2002.

Jurnal

Muḥammed, Muhammad Emin Nur “Muhammad Rasyīd Riḍā wa Tafsīruhu al-Manār (Baḥṣ
Taḥlīlī)”, Islami Ilimler Dergisi, vol.14, no. 1 (Musim Semi 2019): 103.

22

Anda mungkin juga menyukai