Anda di halaman 1dari 11

Majalah Kesehatan Volume 7, Nomor 1, Maret 2020

Laporan Kasus

PERAWATAN GAGAL NAPAS AKUT AKIBAT PNEUMONITIS LUPUS DI UNIT PERAWATAN


INTENSIF DENGAN FASILITAS TERBATAS

Hanif*, Bambang Pujo Semedi**, Arie Utariani**


Abstrak

Pneumonitis lupus merupakan salah satu manifestasi klinis SLE, dapat mengalami perburukan hingga
menjadi gagal napas. Penanganan yang tepat diperlukan, meskipun dengan fasilitas terbatas. Pada laporan
ini ingin didiskusikan pengalaman klinis dalam menangani pasien dengan gagal napas akut di Unit Perawa-
tan Intensif (ICU) dengan keterbatasan fasilitas. Seorang wanita berusia 23 tahun dirawat di ICU dengan
gagal napas akut yang dicurigai akibat pneumonitis lupus. Pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi
diagnosis tidak tersedia. Keputusan untuk mempertahankan pasien dengan bantuan ventilator atau ekstu-
basi dibuat berdasarkan parameter klinis saja. Pada awalnya, kemajuan terapi cukup menjanjikan. Pasien
dapat bernapas spontan untuk beberapa hari, sebelum kemudian perlu diintubasi ulang akibat flare lupus
kedua. Kondisi klinis pasien memburuk dengan cepat dan akhirnya pasien meninggal. Dapat disimpulkan,
meskipun banyak keterbatasan di ICU, penilaian klinis dan evaluasi ketat sangat diperlukan sebagai dasar
pengambilan keputusan penting seperti kapan harus memulai dan menghentikan bantuan ventilator.

Kata kunci: gagal napas akut, ICU, pneumonitis lupus, SLE.

ACUTE RESPIRATORY FAILURE MANAGEMENT DUE TO LUPUS PNEUMONITIS


IN INTENSIVE CARE UNIT WITH LIMITED FACILITIES

Abstract

Lupus pneumonitis is one of SLE clinical manifestation, may deteriorate and become a respiratory
failure. Proper management is needed despite limited facilities. In this report, we want to discuss the experi-
ence of managing patient with acute respiratory failure in the Intensive Care Unit (ICU) with limited facilities.
A 23-years-old female admitted to ICU with acute respiratory failure suspected due to lupus pneumonitis.
Laboratory tests to confirm the diagnosis were not available. The decision to keep patient on ventilator
support or extubation was made based on clinical parameters only. In the beginning, the progress of treat-
ment seems promising. She could breathe spontaneously for a few days before we had to reintubate due to
a second lupus flare. The clinical condition was quickly deteriorated and eventually, she could not survive. To
conclude, despite many limitations in the ICU, clinical assessment and close evaluation are crucial to making
important decisions such as when to start and wean ventilatory support.

Keywords: acute respiratory failure, ICU, lupus pneumonitis, SLE.

* Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya


** Departemen Anestesiologi dan Reanimasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga-

RSUD. Dr. Soetomo Surabaya



E-mail: dr.hanif@ub.ac.id

48
Hanif, et al. Perawatan Gagal Napas Akut Akibat Pneumonitis Lupus …..

Pendahuluan kondisi distres napas. Pasien kemudian


dikonsulkan ke Unit Perawatan Intensif (ICU)
Lupus eritematosus sistemik atau SLE untuk tatalaksana lanjutan. Dari anamnesa
merupakan suatu kelainan autoimun yang terhadap pasien dan keluarga didapatkan
lebih dari 90% terjadi pada wanita usia subur, bahwa pasien mengalami sesak napas sejak
dengan tanda dan gejala bervariasi, karena satu minggu terakhir, dan memberat pagi hari
SLE dapat mengenai hampir seluruh sistem sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai
organ.1 Suatu studi di Asia Pasifik menemu- dengan batuk tanpa dahak. Didapatkan
kan data insidensi SLE sebesar 0,9-3,1 per demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah
100.000 populasi per tahun dengan preva- sakit. Pasien sudah berobat ke bidan, namun
lensi 4,3 – 45,3 per 100.000 populasi.2 The tidak ada perbaikan. Pasien diketahui hamil
Lupus Foundation of America memperkirakan 12 minggu dan riwayat mengalami perdara-
sekitar 1,5 juta kasus SLE terjadi di Amerika
han pervaginam selama kehamilan ini. Saat di
dan setidaknya 5 juta kasus di dunia.
IGD, kondisi pasien mengalami perburukan
Diperkirakan terdapat 16.000 kasus lupus
dengan kesadaran semakin menurun bersa-
baru setiap tahunnya.2 Di Indonesia, jumlah
maan dengan turunnya saturasi oksigen.
penderita lupus secara tepat belum diketahui.
Saat di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Namun, berdasarkan survei yang dilakukan
RSUD Natuna, kondisi pasien didapatkan
oleh Kalim, dkk di Malang didapatkan angka
jalan napas bebas dengan pernapasan spon-
prevalensi sebesar 0,5% terhadap total popu-
tan, laju napas 36 kali per menit, gerak dada
lasi.2
simetris, namun terdapat retraksi dinding da-
Salah satu manifestasi SLE ialah pneu-
da. Suara napas didapatkan vesikuler disertai
monitis lupus, yang ditandai dengan dyspnea
dengan ronkhi di kedua lapang paru tanpa
berat, takipnea, demam, dan hipoksemia.
ada wheezing. Saturasi oksigen perifer
Kondisi ini dapat memburuk hingga jatuh
didapatkan sebesar 82%. Perfusi akral
pada suatu kondisi gagal napas.3 Gagal na-
didapatkan hangat, kering, dan pucat, dengan
pas adalah suatu sindroma kegagalan fungsi
tekanan darah 100/70 milimeter air raksa
sistem respirasi pada salah satu atau kedua
(mmHg) dan nadi 110 kali per menit. Pasien
mekanisme pertukaran gasnya, yaitu oksi-
dalam kondisi sadar penuh, suhu tubuh saat
genasi dan eliminasi CO2. Gagal napas dapat
datang 38 oC. Kemudian, dilakukan oksi-
berupa kondisi hipoksemia ataupun hiperkap-
genasi dengan Jackson Rees (JR) 10 liter per
nea.4 Tatalaksana yang tepat serta peman-
menit dan dilakukan intubasi dan pasien
tauan ketat diperlukan untuk penanganan
dipindahkan perawatannya ke ICU.
pasien dengan kasus tersebut. Klinisi diharap-
Pemeriksaan fisik di ICU didapatkan
kan mampu memberikan penatalaksanaan
jalan napas bebas, tube in dengan controlled
semaksimal mungkin meskipun dengan fasili-
respiration, 18-20 kali per menit dengan JR 10
tas yang terbatas. Maka, pada laporan ini
lpm. Didapatkan ronkhi di seluruh lapang paru
ingin didiskusikan mengenai tatalaksana yang
namun tidak didapatkan wheezing. Saturasi
tepat pada kasus gagal napas dengan fasili-
oksigen (SpO2) didapatkan 85-90%. Perfusi
tas yang terbatas.
akral hangat kering pucat, nadi 110 kali per
menit, tekanan darah 100/53 mmHg, tingkat
Kasus
kesadaran berdasarkan Glasgow Coma Scale
(GCS) tidak dievaluasi karena pasien dalam
Seorang pasien perempuan berusia dua
kondisi tersedasi, urine via kateter dengan
puluh tiga tahun dengan berat badan 53 kilo-
inisial 450 mililiter.
gram datang ke IGD RSUD Natuna dengan

49
Majalah Kesehatan Volume 7, Nomor 1, Maret 2020

Abdomen didapatkan soefl, dengan minggu dengan portio terbuka. Setelah


bising usus positif normal dan tidak didapat- dilakukan intubasi di ICU, dilakukan juga
kan edema. Dari pemeriksaa laboratorium pemeriksaan Rontgen dada (Gambar 2A) dan
penunjang didapatkan adanya anemia (Hb didapatkan gambaran perselubungan radio-
7,3 g/dL), leukopeni (4.600 sel/uL) dan trom- opak disertai reticulogranular pattern di kedua
bositopenia (PLT 137.000 sel/uL) dengan lapang paru, menyimpulkan suatu gambaran
peningkatan C-reactive protein (CRP) (194,5 interstisial pneumonia. Dari hasil anamnesis,
mg/L) dan laju endap darah (LED) (75 mm/ pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penun-
jam). Nilai fungsi ginjal blood urea nitrogen jang, pasien didiagnosis dengan acute respi-
(BUN) 16 mg/dL dan serum kreatinin (SK) ratory failure due to pneumonia tuberculosis
0,64 mg/dL yang masih dalam batas normal. with differential diagnosis SLE+abortus
Pemeriksaan analisis gas darah tidak dapat incomplete (G3P2A0 UK 12-13 minggu).
dilakukan karena keterbatasan fasilitas Pasien kemudian dirawat di ICU selama 21
penunjang. Kemudian dilakukan pemeriksaan hari hingga mengalami perburukan kondisi
ultrasonografi (Gambar 1) dan didapatkan dan meninggal pada hari perawatan ke 22.
janin intrauterin usia kehamilan setara 13

Gambar 1. USG fetomaternal perawatan hari pertama didapatkan janin tunggal intrauterin sesuai
masa kehamilan 13 minggu.

A B

Gambar 2. Foto Rontgen dada selama perawatan.


Keterangan: A) Foto Rontgen dada perawatan hari pertama. Foto diambil pasca dilakukan intubasi, Didapat-
kan gambaran reticulogranular pattern di kedua lapang paru, menyimpulkan suatu gambaran
interstisial pneumonia, B) Foto Rontgen dada perawatan hari ke-4. Foto diambil sebelum dil-
akukan ekstubasi.

50
Hanif, et al. Perawatan Gagal Napas Akut Akibat Pneumonitis Lupus …..

Pada hari ke-1 perawatan, pernapasan SIMV VC dengan TV 350 ml, frekuensi napas
pasien dibantu ventilator dengan mode 12 kali per menit, PEEP 6 cmH2O, FiO2 35%
Synchronized Intermittent Mandatory Ventila- menghasilkan frekuensi napas 20 kali per
tion Volume Control (SIMV VC) dengan menit dengan SpO2 98-99%. Masih didapat-
volume tidal (TV) 350 ml, frekuensi napas 18 kan ronkhi pada perawatan hari ke-3. Denyut
kali per menit, positive end expiratory pres- nadi 85 kali per menit dengan tekanan darah
sure (PEEP) 6 cm H2O dan fraksi oksigen 100/60 mmHg, serta GCS 4x6. Dari pemerik-
(FiO2) 60% menghasilkan TV 340-355 ml, saan penunjang didapatkan anemia (Hb 6,0
frekuensi napas 18 kali per menit dan SpO2 g/dL), leukopenia (2800 sel/uL), trombositope-
90-93%. Didapatkan suara napas tambahan nia (PLT 158.000 sel/uL), hipoalbumin (2,05
berupa ronkhi pada kedua lapang paru tanpa g/dL) serta leukosituria (4-6/LPB) disertai
disertai wheezing. Akral masih didapatkan dengan bakteri pada pemeriksaan urin. Dari
hangat kering pucat, denyut nadi 128 kali per hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
menit dan tekanan darah 100/52 mmHg. pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis
Tatalaksana pada hari pertama di antaranya dengan acute respiratory failure due to
posisi slight head up, bantuan ventilator oksi- pneumonia tuberculosis with differential diag-
gen dengan target SpO2 >95%, fisioterapi nosis SLE+Abortus spontan+Infeksi saluran
napas dengan suction berkala sesuai indikasi, kemih (ISK). Berdasarkan temuan tersebut,
infus Ringer Laktat (RL) 1500 cc/24 jam, dengan mempertimbangkan parameter klinis
Norepinefrin (NE) 50 nano dengan target seperti rapid shallow breathing index (RSBI),
mean arterial pressure (MAP) >65 mmHg, tanda distress napas serta pemantauan
protransfusi dengan target hemoglobin (Hb) hemodinamik, pengaturan ventilator diubah
>8 g/dL, dan puasa sementara dengan selang dengan menurunkan Pressure Support (PS)
naso gastrik terbuka (Tabel 1). dan Pressure Control (PC), dan direncanakan
Pada hari ke-3 perawatan, pasien untuk dilakukan weaning. Tatalaksana
dengan bantuan ventilator dengan mode lengkap dicantumkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Rangkuman evaluasi dan tatalaksana harian pasien.
Hari Pemeriksaan fisik Penunjang Tatalaksana
ke-
1 Airway: bebas, tube in. Lab: Chest X-ray:  O2 ventilator support,
Breathing: Ventilator sup- Hb 7,3 g/dL gambaran re- target SpO2 >95%
port, mode SIMV VC, Leu 4.600 sel/uL ticulogranular  Fisioterapi nafas, suc-
TV:350 ml, RR:18x/mnt, Plt 137x103 sel/uL pattern di kedua tion berkala sesuai
PEEP 6 cmH2O, FiO2 60%, CRP 194,5 mg/dL lapang paru indikasi
à TV: 340-355 ml; RR: 18x/ LED 75mm/jam  Pro Transfusi, target
mnt, Rh +/+, Wh -/-, SpO2 Hb > 8 gr/dl
90%-93%. Nadi 128x/mnt,
TD 100/52 mmHg support
NE 50 nano. GCS tersedasi
4 Airway: bebas, tube in. Chest X-ray:  Nebul PZ 4x/hari, suc-
Breathing: Ventilator sup- Terdapat perbaik- tion berkala
port, mode spontan, PEEP 5 an dibandingkan  Transfusi PRC 1 kolf-
cmH2O, FiO2 35%, SpO2 foto sebelumnya per hari
99% (09.00) → T-Piece, O2
6 lpm, RR: 20x/mnt, SpO2
99% (13.00) → ekstubasi
→ simple mask 6 lpm, RR
22x/mnt, SpO2 100%
(14.00). Nadi 88x/mnt, TD
110/71 mmHg. GCS 456

51
Majalah Kesehatan Volume 7, Nomor 1, Maret 2020

Lanjutan Tabel 1. Rangkuman evaluasi dan tatalaksana harian pasien.


Hari Pemeriksaan fisik Penunjang Tatalaksana
ke-
12 Airway: bebas. UL Leu 8-10/LPB  O2 ventilator support,
Breathing: Non-rebreathing Leuk est +1 Eri penuh/LPB mode PSIMV, PEEP
mask 12 lpm, RR 45x/mnt Darah +3 Silinder - 6,5, FiO2 70% →
SpO2 60% (06.00) → Bag- Bakteri + target SpO2 95%,
ging, intubasi (06.00) → Protein +2 turunkan FiO2 sampai
ventilator support, mode 50% bila SpO2 > 95%
SIMV VC, TV 365 ml, RR  Nebul rutin 4x/hari
22x/mnt, PEEP 6 cmH2O, dengan combivent
FiO2 100%, RR 42x/m,  Vascon pump sesuai
SpO2 96%. Nadi 165x/mnt HD, target MAP 65
→ 89x/mnt, TD 105/65
mmHg, GCS tersedasi.
17 Airway: bebas, tube in.  O2 NRM 10 lpm, eva-
Breathing: ventilator sup- luasi ketat frekuensi
port, mode spontan, TV 285 nafas dan SpO2. Bila
ml, PEEP 9 cmH2O, FiO2 RR >40x/mnt dan
50%, RR 20x/m, SpO2 97% SpO2 <90%,
→ terekstubasi (12.00) → persetujuan intubasi
Non-rebreathing mask 10  Nebulisasi 4x/hari
lpm, RR 27x/mnt, SpO2 dengan NaCl 0,9%
98%. Nadi 109x/mnt, TD  Fisioterapi nafas,
119/70 mmHg. GCS 4x6. suction berkala sesuai
indikasi
Airway: bebas. Hb 10,9 g/dL LED 50 mm/jam  O2 ventilator support
20 Breathing: Non-rebreathing Leu 3.000 sel/uL CRP 182 mg/dL  Nebulisasi 4x/hari
mask 15 lpm, RR 49x/mnt, Plt 142x103 sel/uL BUN 24 mg/dL dengan NaCl 0,9%
SpO2 60% (06.00) → intu- MCV 71,2 fl SK 0,37 mg/dL  Fisioterapi nafas,
basi → ventilator support, MCH 22,5 pg Alb 2,75 g/dL suction berkala sesuai
mode SIMV VC, TV 300 ml, MCHC 31,7 % GDS 109 mg/dL indikasi
RR 22x/mnt, PEEP 11  Nebul NAC/8 jam
cmH2O, FiO2 100%, RR
53x/mnt→32x/mnt, SpO2
89-91, nadi 145x/mnt, TD
150/90 mmHg. GCS
tersedasi.

22 Airway: bebas, tube in. Hb 10,8 g/dL MCV 72,6 fl  O2 ventilator support
Breathing: ventilator sup- Leu 3.500 sel/uL MCH 22,1 pg
port, mode bilevel, TV 321 Plt 184x103 sel/uL MCHC 30,5%
ml, RR 22x/mnt, PEEP 15 Alb 2,75 g/dL
cmH2O, FiO2 100%, RR 37/
mnt→44x/mnt, SpO2 86%
→70%→66%, nadi 162x/
mnt, TD 163/112 mmHg.
GCS 4x6→2x2.

52
Hanif, et al. Perawatan Gagal Napas Akut Akibat Pneumonitis Lupus …..

Pada hari ke-4 perawatan, pukul 09.00 Oksigenasi dipertahankan dengan target
ventilator diubah ke dalam mode spontan, SpO2 lebih dari 95% dengan mengobservasi
dengan PEEP 5 cmH2O dan FiO2 35% ketat tanda distres napas dan SpO2 hingga
menghasilkan SpO2 99%, dan pada pukul pada perawatan hari ke-12, pasien mengala-
13.00 alat bantu napas diubah menjadi T- mi distres napas dimana saturasi mengalami
piece dengan oksigenasi 6 liter per menit, penurunan hingga SpO2 60% dengan non-
didapatkan frekuensi napas 20 kali per menit rebreathing mask 12 liter per menit dengan
dengan SpO2 99% dan pada pukul 14.00 denyut nadi 165 kali per menit serta
dengan pertimbangan parameter klinis di penurunan kesadaran (pukul 06.00), sehing-
atas, diikuti dengan perbaikan pada foto ga diputuskan untuk melakukan intubasi dan
Rontgen dada (Gambar 2B) dilakukan ekstu- mengembalikan pasien pada bantuan ventila-
basi, dan alat bantu napas diubah menjadi tor dengan mode SIMV VC, TV 365 ml,
simple mask 6 liter per menit, menghasilkan frekuensi 22 kali per menit, PEEP 6 cmH2O,
frekuensi napas 22 kali per menit dan SpO2 FiO2 100% menghasilkan frekuensi napas 42
100%. Perfusi akral hangat kering merah kali per menit dan SpO2 96%. Denyut nadi
dengan nadi 88 kali per menit, tekanan darah pasien mengalami perbaikan menjadi 89 kali
110/71 mmHg dan GCS 456. Saturasi oksi- per menit, tekanan darah didapatkan 105/65
gen terus mengalami fluktuasi hingga pada mmHg. Pada pemeriksaan urin lengkap
perawatan hari ke-8, alat bantu napas diubah didapatkan warna kuning kemerahan dan
dari simple mask 6 liter per menit menjadi keruh dengan leukosit esterase +1, darah +3,
non-rebreathing mask 12 liter per menit, leukosit 8-10/LPB, eritrosit penuh/LPB,
dengan frekuensi napas 34 kali per menit bakteri positif dan protein +2. Berdasarkan
menghasilkan SpO2 92-95%. Perfusi hangat temuan klinis dan penunjang, pasien didiag-
kering merah dengan nadi 65 kali per menit, nosis dengan acute respiratory failure due to
tekanan darah 113/74 mmHg dan GCS 456. pneumonitis lupus + community acquired
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pneumonia (CAP) + SLE + trombositopenia +
trombositopenia (PLT 99.000 sel/uL), pening- anemia hipokrom mikrositer due to suspek
katan serum transaminase (SGOT 191 U/L penyakit kronis + lupus nefritis. Pasien diper-
dan SGPT 88 U/L), serta hipoalbumin (2,9 g/ tahankan dengan bantuan ventilasi dengan
dL). Berdasarkan temuan tersebut, kadar mode Pressure Synchronized Intermittent
SpO2 pasien dipertahankan dan dipantau Mandatory Ventilation (PSIMV), PEEP 6,5
ketat dengan target SpO2 lebih dari 95%. cmH2O dengan FiO2 70% dengan target
Pasien juga dinebulisasi rutin dengan SpO2 lebih dari 95%. FiO2 diturunkan perla-
combivent untuk membantu fungsi respirasi. han sampai 50% dengan tetap mempertahan-
Norepinefrin (NE) diberikan sesuai dengan kan SpO2 lebih dari 95%.
hemodinamik pasien dengan target MAP 65 Pada hari ke-13 mode ventilator diubah
mmHg. Selain itu pasien juga diberikan menjadi SIMV VC dengan TV 360 ml,
Metilprednisolon untuk menekan proses frekuensi 25 kali per menit, PEEP 12 cmH2O,
otoimun. FiO2 100% menghasilkan frekuensi napas 38
Pada perawatan hari ke-10, oksigenasi kali per menit dan SpO2 94-98%. Tekanan
dengan non-rebreathing mask diberikan darah didapatkan 94/63 mmHg dengan nadi
dengan O2 10 liter per menit, frekuensi napas 98 kali per menit. GCS tidak dievaluasi kare-
35 kali per menit dan SpO2 88-92%. Tekanan na pasien tersedasi. Dari pemeriksaan
darah 105/65 mmHg dan denyut nadi 92 kali penunjang didapatkan trombositopenia (PLT
per menit. Panel HIV, HbsAg dan anti-HCV 89.000 sel/uL) dan hypoalbuminemia (2,69 g/
juga dievaluasi namun seluruhnya non reaktif. dL).

53
Majalah Kesehatan Volume 7, Nomor 1, Maret 2020

Ventilator dipertahankan dengan pasien mencapai 49 kali per menit dengan


pengaturan tersebut dengan target SpO2 lebih SpO2 60% dan nadi 145 kali per menit serta
dari 95%. Pada hari perawatan ke-15, ventila- tekanan darah 150/90 mmHg sehingga
tor dipertahankan dalam mode SIMV VC kemudian diputuskan untuk diintubasi dan
dengan TV 340 ml, frekuensi 16 kali menit, kembali menggunakan ventilator dengan
PEEP 10 cmH2O, FiO2 60% menghasilkan mode SIMV VC dengan TV 300 ml, frekuensi
frekuensi napas 22 kali per menit dan SpO2 22 kali per menit, PEEP 11 cmH2O, FiO2
98-100%. Tekanan darah 118/70 mmHg dan 100% dan frekuensi napas menjadi 32 kali per
denyut nadi 102 kali per menit dengan GCS menit dengan SpO2 89-91%. Pemeriksaan
4x6. Dari pemeriksaan laboratorium didapat- laboratorium hari ke-20 didapatkan anemia
kan anemia hipokrom mikrositer (Hb 11,4 g/ hipokrom mikrositer (Hb 10,9 g/dL MCV 71,2
dL, MCV 71 fl dan MCH 22,3 pg), leukopenia fl, MCH 22,5 pg), leukopenia (3.000 sel/uL),
trombositopenia (PLT 142.000 sel/uL), hypo-
(4500 sel/uL), trombositopenia (PLT 112.000
albuminemia (2,75 g/dL) serta peningkatan
sel/uL), hypoalbuminemia (2,1 g/dL) serta
LED (50 mm/jam) dan CRP (182,9 mg/L).
ditemukannya leukosit esterase +2, pro-
Pada hari perawatan ke-21, pasien kembali
teinuria (+1), hematuria (eritrosit 50-70/LPB),
mengalami desaturasi. Ventilator kemudian
leukosituria (10-20/LPB), dan bakteriuria
diubah menjadi mode bilevel dengan TV 443
(bakteri +). Berdasarkan temuan klinis dan
ml, frekuensi 22 kali per menit, PEEP 15
laboratoris, beberapa terapi yang diberikan cmH2O dan FiO2 100% menghasilkan
kepada pasien di antaranya nebulisasi 4 kali frekuensi napas 35 kali per menit dan SpO2
sehari, ceftazidim 2x1 gr, levofloxacin 1x500 86%. Tekanan darah pasien 117/77 mmHg
mg, metilprednisolon 1x30 mg, serta transfusi dan nadi 125 kali per menit. Ventilator diper-
albumin 20%. Pada hari perawatan ke-16, tahankan dengan mengupayakan saturasi
idapatkan perbaikan fungsi pernapasan meningkat hingga target 95%. Pada hari
pasien, mode ventilator diubah menjadi mode perawatan ke-22 kondisi pasien semakin
spontan dengan TV 340 ml, PEEP 9 cmH2O, menurun, dengan pengaturan seperti sebe-
FiO2 50% menghasilkan frekuensi napas 22 lumnya saturasi terus mengalami penurunan
kali per menit dengan SpO2 97-98%. Tekanan (SpO2 menurun dari 86% menjadi 70% dan
darah didapatkan 112/65 mmHg dan nadi 82 kemudian menjadi 66%) diikuti dengan denyut
kali per menit dengan GCS 4x6. Ventilator nadi yang terus meningkat hingga 162 kali per
dipertahankan dengan mode spontan dengan menit, tekanan darah meningkat hingga
PS 8 cmH2O, PEEP 9 cmH2O dan FiO2 163/112 mmHg serta penurunan kesadaran
diturunkan menjadi 45% dengan target SpO2 (GCS turun dari 4x6 menjadi 2x2) dan
lebih dari 95%. Pada hari perawatan ke-17, kemudian pasien mengalami henti jantung.
selang endotrakeal (ETT) terekstubasi (pukul Pasien merupakan DNR sehingga tidak
12.00) sehingga alat bantu pernapasan dilakukan resusitasi. Pasien meninggal pukul
diubah menjadi nonrebreathing mask 10 lpm, 13.45. Kondisi dan perjalanan penyakit pasien
frekuensi napas menjadi 27 kali menit dengan selama perawatan serta tatalaksana
SpO2 98%. Frekuensi napas dan SpO2 seluruhnya terangkum dalam Tabel 1.
dievaluasi ketat dan apabila frekuensi napas
Pembahasan
meningkat lebih dari 40 kali per menit dan
SpO2 turun hingga kurang dari 90%, pasien
Diagnosis
akan direintubasi.
Diagnosis SLE memerlukan kombinasi
Pada hari perawatan ke-20, dengan non
antara temuan klinis dan pemeriksaan labora-
rebreathing mask 15 lpm, frekuensi napas
torium.

54
Hanif, et al. Perawatan Gagal Napas Akut Akibat Pneumonitis Lupus …..

Adanya 4 dari 11 kriteria ACR (American Col- Manifestasi SLE pada paru dapat terjadi
lege of Rheumatology) memiliki sensitivitas akut maupun perlahan, yang menghasilkan
85% dan spesifisitas 95% untuk diagnosis suatu spektrum dari komplikasi SLE. Sesak
SLE.5 Selain kriteria ACR 1997, terdapat pula napas dan batuk juga dapat terjadi akibat
kriteria SLICC (Systemic Lupus International beberapa hal. Beberapa komplikasi SLE yang
Collaborating Clinics) 2012, yang terdiri dari bermanifestasi pada paru di antaranya pleuri-
18 kriteria yang terbagi menjadi dua si, efusi pleura, pneumonitis, hipertensi
kelompok, yaitu kelompok kriteria imunologis pulmonal, dan kelainan paru interstisial.
dan kelompok kriteria klinis. Pasien didiagno- Emboli paru, pneumonitis lupus, kelainan paru
sis SLE bila terdapat 4 kriteria yang seti- intersitisial kronik akibat lupus, hipertensi pul-
daknya berasal dari satu kriteria klinis dan monal, perdarahan alveolar dan infeksi paru
satu kriteria imunologis atau bila pasien telah juga dapat berkaitan dengan lupus. Pneumo-
terbukti memiliki biopsi nefritis yang sesuai nitis lupus merupakan salah satu manifestasi
dengan SLE atau dengan pemeriksaan Anti- SLE pada paru. Gejala klinis pada pasien di
nuclear Antibodies (ANA) atau antibodi anti- antaranya dyspnea berat, takipnea, demam,
dsDNA yang positif. Kriteria SLICC 2012 ini dan hipoksia. Pemeriksaan penunjang yang
lebih sensitif dibandingkan kriteria ACR 1997, diperlukan antara lain pemeriksaan darah
namun tidak lebih spesifik.6 lengkap (DL), dimana didapatkan leukosit
Penyebab pasti SLE hingga saat ini be- yang seringkali normal, limfopenia atau trom-
lum diketahui pasti, namun beberapa faktor bositopenia, hemolotik anemia, ANA tes posi-
dikaitkan dengan kondisi ini, di antaranya tif. Dari pemeriksaan foto thoraks seringkali
faktor genetik, epigenetik, etnis, imunoregu- didapatkan infiltrat pada paru.3
lasi, hormonal, dan faktor lingkungan.7,8
Tatalaksana
Manifestasi Klinis Tatalaksana SLE yaitu dengan pem-
Gangguan konstitusional pada SLE yang berian NSAIDs (Non-Steroid Anti Inflammato-
paling sering ditemukan pada kasus baru ry Drugs), kortikosteroid, DMARDs (Disease
maupun SLE flares di antaranya fatigue atau Modifying Anti Rheumatic Drugs) yang meli-
rasa kelelahan, demam, arthralgia, dan peru- puti Siklofosfamid, Metotreksat, Azathioprin
bahan berat badan. Fatigue, gejala konsti- dan Mikofenolat, serta beberapa golongan
tusional yang paling sering dihubungkan obat lainnya sesuai dengan kondisi klinis
dengan SLE dapat terjadi karena perjalanan pasien. Pada pneumonitis lupus, tatalaksana
penyakit SLE yang aktif, medikasi, kebiasaan, yang diberikan pada umumnya berupa pem-
fibromialgia maupun kelainan yang terkait. berian oksigen dan kortikosteroid.3,9
Demam juga dapat merupakan suatu kondisi Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
akibat SLE aktif, infeksi, maupun reaksi fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
terhadap obat. Perlu diingat bahwa etiologi dilakukan, belum dapat diketahui pasti diag-
infeksi harus disingkirkan karena pasien nosis SLE karena tidak dilakukannya pemerik-
dengan SLE dianggap immunocompromised saan imunologis. Namun berdasarkan temuan
sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi klinis, laboratoris, dan radiologis, kondisi
untuk terkena infeksi dan komplikasi. Namun, pasien mengarah pada suatu pneumonitis
perlu diingat pula bahwa proses infeksi akut SLE yang disertai dengan gagal napas
dapat menjadi pencetus kambuhnya SLE sehingga diberikan penatalaksanaan sesuai
sehingga fatigue dan demam dapat terjadi dengan diagnosis tersebut di atas.
akibat infeksi dan SLE secara bersamaan.

55
Majalah Kesehatan Volume 7, Nomor 1, Maret 2020

Gagal napas merupakan suatu sindroma juga diperlukan untuk mengetahui etiologi
pada sistem respirasi yang gagal melakukan gagal napas dan tatalaksana yang diperlukan
fungsinya yaitu pada salah satu atau kedua terkait penyakit yang mendasari.
mekanisme pertukaran gas, yaitu oksigenasi Pasien dengan gagal napas akut
dan eliminasi karbondioksida. Gagal napas memerlukan penanganan intensif di Unit
diklasifikasikan menjadi hipoksemia dan Perawatan Intensif. Kepastian jalan napas
hiperkapnea. Gagal napas hipoksemia (tipe yang adekuat sangat penting pada kondisi
1) ditandai dengan tekanan oksigen arterial seperti ini, yang merupakan salah satu indi-
(PaO2) kurang dari 60 mmHg dengan kadar kasi dilakukannya intubasi. Setelah jalan
tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) nor- napas aman, penatalaksanaan berikutnya
mal atau rendah. Tipe ini merupakan tipe difokuskan pada koreksi hipoksemia, dengan
yang umum ditemukan, dan berkaitan dengan target tekanan oksigen arterial (PaO2) lebih
hampir semua kelainan paru akut yang dari 60 mmHg atau saturasi oksigen arterial
berkaitan dengan hipoventilasi, ketidakseim- (SaO2) lebih dari 90%. Suplementasi oksigen
bangan ventilasi-perfusi (V/P mismatch), pada hipoksemia berat seringkali memerlukan
maupun ketidakseimbangan suplai oksigen intubasi dan ventilasi mekanik. Ventilasi
dengan kebutuhan oksigen jaringan (DO2/ mekanik diharapkan dapat mengurangi upaya
VO2 mismatch). Contoh dari gagal napas tipe pernapasan serta tingginya konsumsi oksigen
1 yaitu edema paru, pneumonia, pneumo- yang dibutuhkan untuk mempertahankan
toraks, emboli paru, ARDS (Acute Respiratory upaya napas. Pemberian ventilasi mekanik
Distress Syndrome), dan lain-lain.4 Gagal pada pasien gagal napas harus disesuaikan
napas hiperkapnea (tipe 2) ditandai dengan dengan kondisi medis yang mendasari serta
tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) temuan klinis pada pasien yang dapat berfluk-
lebih tinggi dari 50 mmHg. Hipoksemia sering tuasi (Gambar 3). 10,11
terjadi pada pasien dengan gagal napas Pemberian bantuan ventilator sangat
hiperkapnea pada udara bebas. Etiologi dibutuhkan, namun bila kondisi pasien
tersering dari gagal napas tipe 2 meliputi mengalami perbaikan, dapat dilakukan wean-
overdosis obat, penyakit neuromuskular, ing yaitu proses transisi pada pasien yang
kelainan dinding dada, serta kelainan saluran diharapkan mampu bernapas spontan setelah
napas berat (Asma, Penyakit Paru Obstruktif pemberian ventilasi mekanik. Perlu diingat
Kronik-PPOK). bahwa ketepatan waktu weaning sangat
Ketidaksesuaian ventilasi perfusi meru- penting dalam penanganan pasien di ICU.
pakan penyebab tersering terjadinya Keterlambatan pencabutan ventilator dapat
hipoksemia. Penurunan ventilasi perfusi menyebabkan terjadinya VAP (ventilator
dapat terjadi akibat penurunan ventilasi akibat acquired pneumonia) dan efek samping
kelainan paru atau akibat overperfusi dengan lainnya dari pemasangan ventilator. Pencabu-
ventilasi yang normal. Tatalaksana utama tan ventilator yang terlalu cepat dapat mem-
pada pasien dengan gangguan ventilasi per- perpanjang lama perawatan pasien di ICU
fusi adalah pemberian oksigen 100% untuk atau mengakibatkan kematian.10 Terdapat
mengeliminasi unit V/P yang rendah. beberapa indeks yang dapat digunakan untuk
Analisis gas darah diperlukan pada mengukur kesiapan weaning yang meliputi
semua kasus gagal napas untuk mengetahui tekanan inspirasi maksimal (PImax), ventilasi
masalah yang dihadapi dan tatalaksana yang per menit dan kapasitas vital. Rapid Shallow
tepat. Selain itu, pemeriksaan foto thoraks Breathing Index (RSBI) merupakan salah satu
dan elektrokardiografi (EKG) juga diperlukan indeks yang paling sering digunakan yang
pemeriksaan darah lengkap serta kimia darah pertama kali dikenalkan oleh Yang dan Tobin.

56
Hanif, et al. Perawatan Gagal Napas Akut Akibat Pneumonitis Lupus …..

RSBI merupakan rasio dari frekuensi napas berapa hari pemasangan ventilator pada
(RR) terhadap volume tidal (VT). Nilai RSBI pasien, kemudian dicoba dilakukan weaning
<105 berkaitan dengan kesuksesan proses berdasarkan kriteria RSBI tanpa pemantauan
weaning, sementara bila nilai RSBI >105 analisis gas darah karena tidak adanya fasili-
kemungkinan gagalnya proses weaning san- tas dan kondisinya stabil, namun kemudian
gat besar.10,12,13 kembali turun sehingga perlu dilakukan reintu-
Pada pasien ini didapatkan tanda dis- basi. Selain kondisi gagal nafas, gangguan
tress nafas sehingga dilakukan intubasi sege- hemodinamik dan pansitopenia juga menjadi
ra dan pemasangan ventilator. Setelah be- masalah pada pasien ini.

Gambar 3. Tatalaksana ventilator invasif dan non invasif pada gagal napas. The American
Thoracic Society menyatakan bahwa pada pasien dengan pH kurang dari 7,25, NIPPV (nasal
intermittent positive pressure ventilation) hanya bisa digunakan di ICU dengan monitor ketat
dan intubasi segera bila diperlukan.11
Keterangan: *TV: tidal volume; RR: respiratory rate; PEEP: positive end-expiratory pressure; FiO2: fraksi
O2; Rh: Ronkhi; Wh: Wheezing; SpO2: saturasi O2; TD: tekanan darah; NE: norepinefrin;
GCS: Glasgow Coma Scale.

57
Majalah Kesehatan Volume 7, Nomor 1, Maret 2020

Kesimpulan fication of Systemic Lupus Erythematosus


[online]. 1997. Available at: http://
Manajemen gagal napas memerlukan tinyurlcom/1997SLEcriteria.
tindakan yang cepat, tepat dan cermat, sesuai 6. Petri M, Orbai AM, Alarcon GS, et al. Deri
dengan kondisi klinis pasien sehingga mem- -vation and Validation of the Systemic
butuhkan monitoring ketat. Oksigenasi dan Lupus International Collaborating Clinics
ventilasi yang dilakukan perlu disesuaikan Classification Criteria for Systemic Lupus
secara berkala dengan kondisi klinis dan Erythematosus. Arthritis Rheum. 2012; 64
pemeriksaan analisis gas darah, bersamaan (8):2677-86.
dengan penatalaksanaan penyakit yang men- 7. Cooper GS, Dooley MA, Treadwell EL, St
dasari dan komplikasi yang ditimbulkan. Clair EW, Parks CG, Gilkeson GS. Hor-
Pemberian ventilasi mekanik terlalu lama atau monal, Environmental, and Infectious Risk
terlalu cepat memiliki dampak yang buruk bagi Factors for Developing Systemic Lupus
pasien dengan gagal napas. Selain itu, reintu- Erythematosus. Arthritis Rheum. 1998; 41
basi pada pasien setelah ekstubasi juga mem- (10): 1714-24.
iliki prognosa yang buruk. 8. Rahman A, Isenberg DA. Systemic Lupus
Erythematosus. N Engl J Med. 2008; 358
Daftar Pustaka (9): 929-39.
9. Thong B, Olsen NJ. Systemic Lupus Ery-
1. Livingston B, Bonner A, Pope J. Diffe- thematosus Diagnosis and Management.
rences in Clinical Manifestations between Rheumatology. 2017; 56(1): i3-i13.
Childhood-Onset Lupus and Adult-Onset 10. Fadalli A, Amini SS, Bagheri B, Taher-
Lupus: a Meta-Analysis. Lupus. 2011; 13: khanchi B. Assessment of Rapid Shallow
1345-55. Breathing Index as a Predictor for Wean-
2. Pusdatin. Situasi Lupus di Indonesia. ing in Respiratory Care Unit. Tanaffos.
Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI 2012; 11(3): 28-31.
[online]. 2017.Available at: 11. Mosier JM, Hypes C, Joshi R, et al. Venti-
www.pusdatin.kemkes.go.id/pdf.php? lator Strategies and Rescue Therapies for
id=17072400003 Management of Acute Respiratory Failure
3. Matthay RA, Schwarz M, Petty TL, et al. in the Emergency Department. Annals of
Pulmonary Manifestations of Systemic Emergency Medicine. 2015; 66(5): 529-
Lupus Erythematosus: Review of Twelve 41.
Cases of Acute Lupus Pneumonitis. Medi- 12. Yang KL, Tobin MJ. A Prospective Study
cine. 1974; 54(5): 397-409 of Indexes Predicting the Outcome of
4. Lavoisier A. Hypoxemia and Hypercap- Trials of Weaning from Mechanical Venti-
nea. In: Marino PL. The ICU Book. 4th lation. N Engl J Med. 1991; 324(21): 1445
edition. Philadelphia, PA: Lippincott Wil- - 50.
liams and Wilkins. 2014; p. 191-99. 13. Karthika M, Enezi F, Pillai L, et al. Rapid
5. American College of Rheumatology. Up- Shallow Breathing Index. Ann Thorac
date in the 1982 American College of Med. 2016; 11(3): 167–176.
Rheumatology Revised Criteria for Classi-

58

Anda mungkin juga menyukai