A. Menyesuaikan Pengendalian Untuk Perbedaan Lintas Budaya
Konsep pengendalian yang telah kita diskusikan tepat untuk organisasi vang unit kerjanya tidak terpisah secara geografis atau berbeda budaya. Tetapi teknik pengendalian berbeda di beberapa negara. Perbedaannya terutama dalam pengukuran dan langkah perbaikan dalam proses pengendalian. Dalam sebuah perusahaan global, manajer operasi di luar negeri cenderung kurang dikendalikan oleh kantor pusat, alasannya adalah adanya jarak yang membuat manajer tidak dapat diawasi secara langsung. Karena jarak menimbulkan kecenderungan untuk memformalkan pengendalian, organisasi global mengandalkan laporan formal yang ekstensif untuk pengendalian, dan kebanyakan laporan itu dikomunikasikan secara elektronik. Dampak teknologi terhadap pengendalian juga terlihat ketika membedakan negara yang berteknologi maju dengan yang kurang maju. Di negara berteknologi maju, manajer menggunakan alat pengendalian tidak langsung seperti laporan dan analisis yang dihasilkan oleh komputer selain aturan standar dan supervisi langsung untuk menjamin bahwa aktivitas kerja berjalan sesuai rencana. Di negara yang kurang berteknologi maju, manajer cenderung menggunakan supervisi langsung dan pengambilan keputusan terpusat untuk pengendalian. Manajer di luar negeri juga harus menyadari batasan tindakan perbaikan yang dapat mereka ambil. Hukum di beberapa negara melarang penutupan pabrik, mem- PHK karyawan, membawa uang ke luar dari negara tersebut, atau membawa tim manajemen baru dari luar negeri. Akhirnya, tantangan lain bagi manajer global dalam mengumpulkan data untuk pengukuran dan perbandingan adalah kemampuan untuk diperbandingkan. Misalnya, perusahaan yang membuat pakaian di Kamboja mungkin membuat produk yang sama di Skotlandia. Namun, pabrik di Kamboja lebih bersifat intensif tenaga kerja dibanding pabrik di Skotlandia sehingga perusahaan dapat mengambil keuntungan dari biaya tenaga kerja yang lebih murah di Kamboja. Hal ini membuat biaya tenaga kerja per unit, misalnya, sulit dibandingkan. B. Masalah di Tempat Kerja 1. Privasi di Tempat Kerja Atasan dapat mengetahui tentang Anda dan pekerjaan Anda. Diantara hal yang dilakukan ialah membaca e-mail (bahkan yang bertanda “pribadi” atau “rahasia”), menyadap telepon, dll. Manajer merasa perlu mengawasi yang dilakukan oleh karyawan. Alasan utamanya adalah karena karyawan dibayar untuk bekerja, bukan untuk berselancar di Web, mengetahui harga saham, menonton video online, bermain baseball fantasi, atau berbelanja hadiah untuk keluarga atau rekan. Alasan lain manajer mengawasi penggunaan e-mail dan komputer karyawan adalah manajer tidak ingin mengambil risiko digugat karena telah menciptakan lingkungan kerja yang tidak kondusif akibat pesan-pesan yang bersifat menyerang atau gambar yang tidak pantas terpajang di layar komputer rekan sekerja. Terakhir, manajer ingin memastikan rahasia perusahaan tidak dibocorkan. 2. Pencurian Oleh Karyawan Pencurian oleh karyawan didefinisikan sebagai segala pengambilan properti perusahaan tanpa izin oleh karyawan untuk penggunaan pribadi. Ahli kemanan industrial mengemukakan bahwa orang mencuri karena ada kesempatan yyang timbul dari pengawasan yang lemah dan situasi yang mendukung. Kriminologi mengatakan karena orang ditekan oleh masalah keuangan atau tekanan perilaku buruk. Psikologi klinis menyimpulkan bahwa orang mencuri karena orang itu dapat membenarkan apa pun yang dia lakukan sebagai perilaku yang benar dan tepat.
3. Kekerasan di Tempat Kerja
“Bullying (Mengintimidasi)” di tempat kerja adalah bentuk kekerasan yang cepat berkembang. Ini meliputi usaha membalas dendam atau mempermalukan untuk merusak individu atau kelompok karyawan. Tabel di bawah menjelaskan hasil survei terhadap pekerja dan pengalaman mereka dengan keributan di kantor.
Kekerasan di Tempat Kerja
Menyaksikan teriakan atau kekerasan verbal lainnya. 42% Meneriaki rekan sekerja. 29% Menangisi masalah pekerjaan 23% Melihat seseorang dengan sengaja marusak mesin atau 14% furnitur. Melihat kekerasan fisik di tempat kerja. 10% Menyerang rekan kerja. 2% Faktor-faktor yang menyumbang terjadinya kekerasan dan intimidasidi tempat kerja diantaranya yaitu karyawan merasa tertekan dengan kenaikan harga bahan bakar, ketidakpastian pekerjaan, penurunan nilai uang pensiun, jam kerja yang panjang, dll. Para ahli lain menjelaskan bahaya disfungsi lingkungan kerja dengan ciri-ciri berikut, sebagai penyumbang utama masalah: Pekerjaan karyawan yang dipicu oleh waktu, angka, dan krisis. Perubahan yang cepat dan tidak dapat diprediksi, dengan instabilitas dan ketidakpastian yang mengganggu karyawan. Gaya berkomunikasi yang destruktif, di mana manajer berkomunikasi dengan agresif secara berlebihan, merendahkan, meledak-ledak, atau gaya pasif-agresif; disindir berlebihan atau dijadikan korban. Kepemimpinan otoriter dengan cara berpikir manajer versus karyawan yang rapuh, militeristik, di mana karyawan tidak dapat mempertanyakan ide-ide, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, atau terlibat dalam usaha team- building. Perilaku defensif dengan sedikit atau tidak memberikan umpan balik kinerja; hanya angka-angka yang diperhitungkan; berteriak, intimidasi, dan menghindar adalah cara yang dipilih untuk mengatasi konflik. Menerapkan standar ganda pada kebijakan, prosedur, dan kesempatan pelatihan untuk manajer dan karyawan. Keluhan tidak dapat diatasi karena tidak ada mekanisme atau hanya yang bersifat melawan yang diatasi dan karena individu yang disfungsi tersebut mungkin dilindungi atau diacuhkan karena peraturan yang sudah lama, syarat perjanjian dengan serikat kerja, atau keengganan untuk mengatasi masalah. Karyawan yang bermasalah secara emosi, dan tidak ada keinginan dari manajer untuk menolong orang-orang ini. Pekerjaan yang membosankan, berulang-ulang, dan tidak ada kesempatan untuk melakukan hal lain atau untuk masuknya orang baru. Peralatan yang rusak atau tidak aman, atau training yang tidak sempurna, menycbabkan karyawan tidak dapat bekerja dengan efisien dan efektif. Lingkungan kerja yang berbahaya, misalnya temperatur, kualitas udara, gerakan berulang, ruangan yang sangat penuh, tingkat suara, lembur berlebihan, dan sebagainya. Untuk meminimalkan biaya, tidak ada penambahan karyawan ketika beban kerja bertambah, sehingga membahayakan kondisi dan ekspektasi kerja. Budaya kekerasan dan pengalaman kekerasan atau siksaan yang dialami seseorang, panutan yang bengis atau kejam, atau bertoleransi terhadap penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan di saat kerja. C. Mengendalikan Interaksi Pelanggan Mungkin tidak ada area yang lebih baik untuk melihat hubungan antara perencanaan dan pengendalian sebaikdi pelayanan pelanggan. Perusahaan yang menyatakan pelanggan sebagai salah satu tujuannya dengan cepat dan jelas dapat melihat apakah perusahaan itu mencapai tujuan dengan mengetahui kepuasan pelanggan terhadap pelayanan mereka. Manajer dapat mengendalikan interaksi antara tujuan dan hasilnya ketika hal itu menyangkut pelanggan dengan menggunakan konsep rantai laba pelayanan. Rantai laba pelayanan (service provit chain) adalah rangkaian pelayanan dari karyawan terhadap pelanggan untuk menghasilkan laba. Menurut konsep ini, strategi perusahaan dan sistem pemberian pelayanan mempengaruhi perlakuan karyawan terhadap pelanggan. Tingkat produktivitas pelayanan karyawan dan kualitas pelayanan mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap nilai pelayanan. Ketika nilai pelayanan tinggi, itu akan memberi dampak positif terhadap kepuasan pelanggan, sehingga menimbulkan loyalitas pelanggan. Loyalitas pelanggan meningkatkan pendapatan dan profitabilitas perusahaan. Manajer yang ingin mengendalikan interaksi pelanggan harus menciptakan hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan antara perusahaan, karyawan, dan pelanggan. Caranya dengan menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan karyawan memberikan pelayanan terbaiknya. Usaha karyawan dalam memuaskan pelanggan berpadu dengan nilai pelayanan yang diberikan oleh perusahaan, akan meningkatkan kepuasan pelanggan. Ketika pelanggan mendapat nilai pelayanan yang tinggi, pelanggan akan loyal, dan akhirnya meningkatkan perkembangan dan profitabilitas perusahaan.
D. Tata Kelola Perusahaan
Tata kelola perusahaan (corporate governance), sebuah sistem yang digunakan untuk mengelola perusahaan sehingga kepentingan pemilik perusahaan terlindungi, gagal total di Enron, seperti yang terjadi di banyak perusahaan yang tersangkut skandal keuangan. Buntut dari skandal ini, tata kelola perusahaan telah direformasi. Dua hal yang direformasi adalah peran dewan direksi dan pelaporan keuangan. Reformasi itu akhirnya mengglobal. Sebanyak 75 persen eksekutif senior perusahaan Eropa dan AS, misalnya, mengharapkan jajaran direksi mercka untuk lebih berperan aktif. Peran Dewan Direksi. Tujuan awal dari dewan direksi adalah adanya suatu kelompok, bersifat independen dari manajemen, melakukan pengawasan demi kepentingan pemegang saham, yang tidak terlibat dalam manajemen sehari-hari perusahaan. Namun, itu tidak selalu terjadi. Anggota direksi sering hanya menikmati hubungan yang nyaman dengan manajer, sehingga keduanya saling menjaga. Jenis perjanjian "quid pro quo" telah berubah. Sarbanes-Oxley Act tahun 2002 menuntut direksi perusahaan perdagangan publik di AS untuk melakukan apa yang dipercayakan dan diharapkan dari mereka. Pelaporan keuangan dan Komite Audit. Sebagai tambahan untuk memperluas peran dewan direksi, dibutuhkan aturan baru agar informasi keuangan perusahaan lebih terbuka dan transparan, seperti European Union's 8th Company Law Directive. Perubahan seperti itu menyebabkan informasi menjadi lebih baik-yaitu, informasi yang lebih akurat dan lebih mencerminkan kondisi keuangan perusahaan. Untuk memenuhi tanggung jawab pelaporan keuangan, manajer di seluruh dunia mengikuti prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh European Corporate Governance Institute.