Anda di halaman 1dari 6

Subbab 5: Isu-Isu Pengendalian Kontemporer

A. Menyesuaikan Pengendalian Untuk Perbedaan Lintas Budaya


Konsep pengendalian yang telah kita diskusikan tepat untuk organisasi vang unit
kerjanya tidak terpisah secara geografis atau berbeda budaya. Tetapi teknik pengendalian
berbeda di beberapa negara. Perbedaannya terutama dalam pengukuran dan langkah
perbaikan dalam proses pengendalian. Dalam sebuah perusahaan global, manajer operasi
di luar negeri cenderung kurang dikendalikan oleh kantor pusat, alasannya adalah adanya
jarak yang membuat manajer tidak dapat diawasi secara langsung. Karena jarak
menimbulkan kecenderungan untuk memformalkan pengendalian, organisasi global
mengandalkan laporan formal yang ekstensif untuk pengendalian, dan kebanyakan laporan
itu dikomunikasikan secara elektronik.
Dampak teknologi terhadap pengendalian juga terlihat ketika membedakan negara
yang berteknologi maju dengan yang kurang maju. Di negara berteknologi maju, manajer
menggunakan alat pengendalian tidak langsung seperti laporan dan analisis yang
dihasilkan oleh komputer selain aturan standar dan supervisi langsung untuk menjamin
bahwa aktivitas kerja berjalan sesuai rencana. Di negara yang kurang berteknologi maju,
manajer cenderung menggunakan supervisi langsung dan pengambilan keputusan terpusat
untuk pengendalian.
Manajer di luar negeri juga harus menyadari batasan tindakan perbaikan yang dapat
mereka ambil. Hukum di beberapa negara melarang penutupan pabrik, mem- PHK
karyawan, membawa uang ke luar dari negara tersebut, atau membawa tim manajemen
baru dari luar negeri.
Akhirnya, tantangan lain bagi manajer global dalam mengumpulkan data untuk
pengukuran dan perbandingan adalah kemampuan untuk diperbandingkan. Misalnya,
perusahaan yang membuat pakaian di Kamboja mungkin membuat produk yang sama di
Skotlandia. Namun, pabrik di Kamboja lebih bersifat intensif tenaga kerja dibanding
pabrik di Skotlandia sehingga perusahaan dapat mengambil keuntungan dari biaya tenaga
kerja yang lebih murah di Kamboja. Hal ini membuat biaya tenaga kerja per unit,
misalnya, sulit dibandingkan.
B. Masalah di Tempat Kerja
1. Privasi di Tempat Kerja
Atasan dapat mengetahui tentang Anda dan pekerjaan Anda. Diantara hal yang
dilakukan ialah membaca e-mail (bahkan yang bertanda “pribadi” atau “rahasia”),
menyadap telepon, dll. Manajer merasa perlu mengawasi yang dilakukan oleh
karyawan. Alasan utamanya adalah karena karyawan dibayar untuk bekerja, bukan
untuk berselancar di Web, mengetahui harga saham, menonton video online, bermain
baseball fantasi, atau berbelanja hadiah untuk keluarga atau rekan. Alasan lain
manajer mengawasi penggunaan e-mail dan komputer karyawan adalah manajer tidak
ingin mengambil risiko digugat karena telah menciptakan lingkungan kerja yang tidak
kondusif akibat pesan-pesan yang bersifat menyerang atau gambar yang tidak pantas
terpajang di layar komputer rekan sekerja. Terakhir, manajer ingin memastikan
rahasia perusahaan tidak dibocorkan.
2. Pencurian Oleh Karyawan
Pencurian oleh karyawan didefinisikan sebagai segala pengambilan properti
perusahaan tanpa izin oleh karyawan untuk penggunaan pribadi. Ahli kemanan
industrial mengemukakan bahwa orang mencuri karena ada kesempatan yyang timbul
dari pengawasan yang lemah dan situasi yang mendukung. Kriminologi mengatakan
karena orang ditekan oleh masalah keuangan atau tekanan perilaku buruk. Psikologi
klinis menyimpulkan bahwa orang mencuri karena orang itu dapat membenarkan apa
pun yang dia lakukan sebagai perilaku yang benar dan tepat.

3. Kekerasan di Tempat Kerja


“Bullying (Mengintimidasi)” di tempat kerja adalah bentuk kekerasan yang
cepat berkembang. Ini meliputi usaha membalas dendam atau mempermalukan
untuk merusak individu atau kelompok karyawan. Tabel di bawah menjelaskan hasil
survei terhadap pekerja dan pengalaman mereka dengan keributan di kantor.

Kekerasan di Tempat Kerja


Menyaksikan teriakan atau kekerasan verbal lainnya. 42%
Meneriaki rekan sekerja. 29%
Menangisi masalah pekerjaan 23%
Melihat seseorang dengan sengaja marusak mesin atau 14%
furnitur.
Melihat kekerasan fisik di tempat kerja. 10%
Menyerang rekan kerja. 2%
Faktor-faktor yang menyumbang terjadinya kekerasan dan intimidasidi
tempat kerja diantaranya yaitu karyawan merasa tertekan dengan kenaikan harga
bahan bakar, ketidakpastian pekerjaan, penurunan nilai uang pensiun, jam kerja yang
panjang, dll.
Para ahli lain menjelaskan bahaya disfungsi lingkungan kerja dengan ciri-ciri berikut,
sebagai penyumbang utama masalah:
 Pekerjaan karyawan yang dipicu oleh waktu, angka, dan krisis.
 Perubahan yang cepat dan tidak dapat diprediksi, dengan instabilitas dan
ketidakpastian yang mengganggu karyawan.
 Gaya berkomunikasi yang destruktif, di mana manajer berkomunikasi dengan
agresif secara berlebihan, merendahkan, meledak-ledak, atau gaya pasif-agresif;
disindir berlebihan atau dijadikan korban.
 Kepemimpinan otoriter dengan cara berpikir manajer versus karyawan yang
rapuh, militeristik, di mana karyawan tidak dapat mempertanyakan ide-ide,
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, atau terlibat dalam usaha team-
building.
 Perilaku defensif dengan sedikit atau tidak memberikan umpan balik kinerja;
hanya angka-angka yang diperhitungkan; berteriak, intimidasi, dan menghindar
adalah cara yang dipilih untuk mengatasi konflik.
 Menerapkan standar ganda pada kebijakan, prosedur, dan kesempatan pelatihan
untuk manajer dan karyawan.
 Keluhan tidak dapat diatasi karena tidak ada mekanisme atau hanya yang bersifat
melawan yang diatasi dan karena individu yang disfungsi tersebut mungkin
dilindungi atau diacuhkan karena peraturan yang sudah lama, syarat perjanjian
dengan serikat kerja, atau keengganan untuk mengatasi masalah.
 Karyawan yang bermasalah secara emosi, dan tidak ada keinginan dari manajer
untuk menolong orang-orang ini.
 Pekerjaan yang membosankan, berulang-ulang, dan tidak ada kesempatan untuk
melakukan hal lain atau untuk masuknya orang baru.
 Peralatan yang rusak atau tidak aman, atau training yang tidak sempurna,
menycbabkan karyawan tidak dapat bekerja dengan efisien dan efektif.
 Lingkungan kerja yang berbahaya, misalnya temperatur, kualitas udara, gerakan
berulang, ruangan yang sangat penuh, tingkat suara, lembur berlebihan, dan
sebagainya. Untuk meminimalkan biaya, tidak ada penambahan karyawan ketika
beban kerja bertambah, sehingga membahayakan kondisi dan ekspektasi kerja.
 Budaya kekerasan dan pengalaman kekerasan atau siksaan yang dialami
seseorang, panutan yang bengis atau kejam, atau bertoleransi terhadap
penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan di saat kerja.
C. Mengendalikan Interaksi Pelanggan
Mungkin tidak ada area yang lebih baik untuk melihat hubungan antara perencanaan
dan pengendalian sebaikdi pelayanan pelanggan. Perusahaan yang menyatakan pelanggan
sebagai salah satu tujuannya dengan cepat dan jelas dapat melihat apakah perusahaan itu
mencapai tujuan dengan mengetahui kepuasan pelanggan terhadap pelayanan mereka.
Manajer dapat mengendalikan interaksi antara tujuan dan hasilnya ketika hal itu
menyangkut pelanggan dengan menggunakan konsep rantai laba pelayanan.
Rantai laba pelayanan (service provit chain) adalah rangkaian pelayanan dari
karyawan terhadap pelanggan untuk menghasilkan laba. Menurut konsep ini, strategi
perusahaan dan sistem pemberian pelayanan mempengaruhi perlakuan karyawan terhadap
pelanggan. Tingkat produktivitas pelayanan karyawan dan kualitas pelayanan
mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap nilai pelayanan. Ketika nilai pelayanan tinggi,
itu akan memberi dampak positif terhadap kepuasan pelanggan, sehingga menimbulkan
loyalitas pelanggan. Loyalitas pelanggan meningkatkan pendapatan dan profitabilitas
perusahaan.
Manajer yang ingin mengendalikan interaksi pelanggan harus menciptakan hubungan
jangka panjang yang saling menguntungkan antara perusahaan, karyawan, dan pelanggan.
Caranya dengan menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan karyawan
memberikan pelayanan terbaiknya. Usaha karyawan dalam memuaskan pelanggan
berpadu dengan nilai pelayanan yang diberikan oleh perusahaan, akan meningkatkan
kepuasan pelanggan. Ketika pelanggan mendapat nilai pelayanan yang tinggi, pelanggan
akan loyal, dan akhirnya meningkatkan perkembangan dan profitabilitas perusahaan.

D. Tata Kelola Perusahaan


Tata kelola perusahaan (corporate governance), sebuah sistem yang digunakan untuk
mengelola perusahaan sehingga kepentingan pemilik perusahaan terlindungi, gagal total di
Enron, seperti yang terjadi di banyak perusahaan yang tersangkut skandal keuangan.
Buntut dari skandal ini, tata kelola perusahaan telah direformasi. Dua hal yang direformasi
adalah peran dewan direksi dan pelaporan keuangan. Reformasi itu akhirnya mengglobal.
Sebanyak 75 persen eksekutif senior perusahaan Eropa dan AS, misalnya, mengharapkan
jajaran direksi mercka untuk lebih berperan aktif.
Peran Dewan Direksi. Tujuan awal dari dewan direksi adalah adanya suatu
kelompok, bersifat independen dari manajemen, melakukan pengawasan demi
kepentingan pemegang saham, yang tidak terlibat dalam manajemen sehari-hari
perusahaan. Namun, itu tidak selalu terjadi. Anggota direksi sering hanya menikmati
hubungan yang nyaman dengan manajer, sehingga keduanya saling menjaga. Jenis
perjanjian "quid pro quo" telah berubah. Sarbanes-Oxley Act tahun 2002 menuntut direksi
perusahaan perdagangan publik di AS untuk melakukan apa yang dipercayakan dan
diharapkan dari mereka.
Pelaporan keuangan dan Komite Audit. Sebagai tambahan untuk memperluas peran
dewan direksi, dibutuhkan aturan baru agar informasi keuangan perusahaan lebih terbuka
dan transparan, seperti European Union's 8th Company Law Directive. Perubahan seperti
itu menyebabkan informasi menjadi lebih baik-yaitu, informasi yang lebih akurat dan
lebih mencerminkan kondisi keuangan perusahaan. Untuk memenuhi tanggung jawab
pelaporan keuangan, manajer di seluruh dunia mengikuti prinsip-prinsip yang
dikembangkan oleh European Corporate Governance Institute.

Anda mungkin juga menyukai