Anda di halaman 1dari 65

SUB BAB KE TIGA:

CONTOH APLIKASI FIQIH BARU DALAM STUDI PERMASALAHAN


PEREMPUAN DALAM ISLAM

Studi perempuan dalam Islam dikategorikan sebagai salah satu tema yang sangat sensitif,
yang menarik perhatian para pembela dan para musuh Islam untuk mengkajinya bermula sejak
zaman kebangkitan (sekitar tahun 70-an, pent.) hingga sekarang. Saya sendiri tidak yakin bahwa
saat ini telah hadir sebuah kajian yang otentik dan komprehensif tentang perempuan dalam Islam
yang berangkat dari hubungan dialektis antara karakter dasar Islam, yaitu istiqamah dan
hanifiyyah, dan karakter dasar manusia, yaitu fitrah yang serasi dengan hukum-hukum alam,
serta kajian yang menjadikan batas-batas hukum Tuhan sebagai tulang punggung pijakannya.

Para pembela Islam mendasarkan kajian mereka tentang tema perempuan ini semata-mata
pada perspektif fiqih. Mereka beranggapan bahwa produk-produk hukum lima madzab fiqih
adalah produk pemi kiran yang valid dan adil bagi perempuan. Sementara itu, para musuh Islam
berangkat dari sumber-sumber di luar Islam untuk memberikan solusi atas masalah perempuan.
Dalam beberapa kasus, bisa saja tawaran solusi mereka sesuai dengan prinsip-prinsip Islam tanpa
mereka sadari. Kondisi ini menjadikan mereka terjebak dalam kebingungan karena problem
perempuan Arab modern tidak dapat diselesaikan tanpa me libatkan konsep Islam tentang
perempuan yang otentik dan orisinal yang bersumber dari batasan-batasan hukum Tuhan dalam
al-Kitab dan dalam konsep kontemporer tentang Sunnah sebagaimana telah kami uraikan pada
bagian terdahulu.

Menurut hemat kami, sejumlah kesalahan yang dilakukan para pengkaji persoalan
perempuan dalam masa lalu dan khususnya terkait dengan metodologi yang diterapkan adalah:

1. Tidak adanya pemilahan antara ayat-ayat dalam al-Kitab antara bagian yang membicarakan
hak-hak perempuan, yang berisi batasan batasan hukum, dan yang hanya emuat ajaran-
ajaran moral, baik bersifat umum maupun khusus (al-ta' lima). Sebagai contoh, ayat-ayat
yang membicarakan masalah poligami. (Q.S. al-Nisa': 3) dan pakaian perempuan (Q.S. al-
Nur: 31) adalah sebagian dari ayat-ayat hudud (yang mengandung batas-batas hukum

1
Tuhan). Sedangkan ayat 59 surat al-Ahzab yang juga membicarakan masalah pakaian
perempuan termasuk bagian ayat-ayat ta'lonai yang memuat ajaran-ajaran bersifat spesifik.
Demikian juga dalam konteks hadis, para pengkaji tidak memilah antara hadis-hadis yang
memuat batasan hukum Tuhan (ahadis al-hudud) dan yang memuat ajaran-ajaran (ahadis al-
ta'limat). Tidak pada tempatnya bagi kita mencela atau merendahkan hasil pemikiran
generasi salaf yang pemahamannya tentang konsep hudud ini sangat terbatas, karena
pemahaman kontemporer tentang hudud ini hanya dapat dicapai setelah konsep matematis
tentang "limit" yang digagas oleh Issac Newton dikenal publik. Temuan Newton ini telah
memacu perkembangan ilmu pengetahuan demikian cepatnya. Atas dasar teori analisa
matematis dan teori limit yang menerangkan adanya batas maksimum dan daerah tak
terhingga", studi tentang fenomena alam semesta menghasilkan teori-teori baru yang
memuas kan, yaitu bahwa fenomena alam tidak mungkin keluar dari batas-batas
maksimalnya. Dalam al-Kitab juga terdapat informasi yang menyatakan bahwa untuk
memahami konsep hudud ini diperlukan sosok manusia modem yang jauh dari
keterbelakangan. Allah berfirman: "Orang orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan
kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." [Q.S. al-Tawbah:
97]. Kami berkesimpulan bahwa berbekal pemahaman teori limit yang memiliki kesesuaian
dengan karakter dasar Islam "al-istiqamah dan al-hanifiyyah" dan kesesuaiannya dengan
fenomena alam dan fitrah manusia, kita akan mampu meletakkan studi perempuan secara
layak dan sesuai dengan tuntutan masa kontemporer dengan tetap berdasar pada al-Kitab dan
Sunnah.

2. Adanya anggapan bahwa apa yang telah dihasilkan pada masa Nabi Saw tentang hak-hak
perempuan merupakan bentuk final usaha pembebasan posisi perempuan, atau dengan
ungkapan lain usaha pembebasan perempuan bermula dari awal diutusnya Nabi Saw dan
berakhir setalah beliau wafat. Konsekuensinya, jika para perempuan pada zaman Nabi tidak
ada yang bekerja di luar rumah atau tidak ada yang memiliki jabatan politik, hal demikian
dipahami sebagai bentuk larangan bagi perempuan untuk beraktivitas di ranah publik.

Kami berpendapat bahwa usaha pembebasan posisi perempuan dalam Islam dapat
dilihat dalam kasus perbudakan. Dalam kasus yang cukup sensitif ini Islam tidak melakukan

2
perombakan secara frontal karena dapat menyebabkan hancurnya tatanan masyarakat. Yang
ditempuh Islam adalah peletakan dasar-dasar/prinsip-prinsip pemecahan masalah dalam al-
Kitab yang dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai perkembangan zaman dalam sejarah.
Dalam konteks ini, masalah perbudakan memberikan informasi paling jelas bagaimana
hukum disampaikan secara bertahap dalam masyarakat Islam. Agen-agen produksi hanya
dapat bergerak jika ada budak (pekerja/buruh), karena mereka merupakan alat produksi yang
sangat efektif dan efesian. Islam telah meletakkan dasar-dasar pembebasan dan mengawali
usaha tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat tanpa merusak hubungan dan proses
produksi. Keberhasilan ini dicatat dalam sejarah pada abad 19. Nabi Saw wafat pada tahun
632 M, Presiden Amerika Abraham Lincoln mengumumkan penghapusan sistem perbudakan
di Amerika pada tahun 1860, atau 1228 tahun pasca wafatnya Nabi Saw. Peng. hapusan
sistem perbudakan di Amerika ini telah memicu perang antar suku dan memporak-
porandakan Amerika hingga hampir-hampir terpecah belah dalam berbagai negara bagian.
Abad 20 ini memberi kan bukti yang lebih jelas tentang hal ini. Sebagai contoh, jika Syiria
melakukan perubahan sistem produksi dari tenaga manusia ke tenaga mekanik robot dan
memanfaatkan bantuan komputer menggantikan alat hitung/ketik manual secara frontal dan
tiba-tiba, niscaya akan merusak sistem produksi dan sistem perekonomian Syiria, dan pada
gilirannya akan rusaklah masyarakat.

Dari perspektif ini kita harus melihat kembali posisi perempuan dalam Islam. Saat ini
perempuan telah menghambil semua hak yang mungkin diambilnya pada masa Nabi saw,
seperti waris atas dasar setengah bagian laki-laki karena ia tidak bekerja/mencari nafkah,
bahkan Islam telah memberikan hak terlibat dalam politik sejak hari didakwahkan. Orang
pertama yang terbunuh di jalan Islam adalah seorang perempuan, yakni Sumayyah. Para
perempuan juga ikut menghadiri pertama Islam pembaiatan Aqabah pertama dan kedua.
Kedua moment pembaiatan ini dapat dianggap sebagai bentuk konsolidasi kekuatan awal
untuk membentuk negara Islam di Yatsrib.

Dari sisi ini, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa Islam memperbolehkan
perempuan untuk melawan dan terbunuh dan pergi dari kampung halaman, tapi Islam tidak
mengatakan kepada mereka "tingallah kalian para perempuan di rumah, tugas kalian adalah
melahirkan dan mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga". Pada saat yang sama

3
dalam berbagai masalah yang tidak kalah sulitnya terkait dengan pendirian negara,
pemilihan wakil rakyat, dewan legislatif, disebutkan bahwa kewajibannya adalah sebagai ibu
dan pendidik anak-anak. Sebagian pihak berkata: Hal semacam ini belum terjadi pada masa
Nabi Saw. Kami menjawabnya: Masyarakat yang dibangun Nabi adalah bentuk masyarakat
Islam pertama (buah pertama), bukan satu satunya dan bukan yang terakhir, karena Nabi
Saw berinteraksi dalam koridor batas-batas hukum Allah. Nabi juga terlibat menentukan
definisi sebagian masalah yang termasuk dalam batas-batas hukum Allah dan masalah-
masalah yang cocok dengan keadaaan masyarakat ketika beliau hidup berinteraksi dengan
mereka.

Salah satu alasan mengapa demikian adalah bahwa tingkat peradaban masyarakat
Arab pada saat itu belum menyediakan dewan atau lembaga legislatif yang mengatur
perundang-undangan dalam masyarakat dan pada sisi lain mereka juga belum nengizinkan
perempuan menduduki posisi puncak dalam suatu organisasi. Meski demikian, dalam
sebagian kasus masyarakat Arab dapat menerima prestasi yang diraih oleh para perempuan
terpelajar, seperti Khaulah binti al-Azur dan A'isyah ibunda kaum mukminin. Islam sendiri
juga tidak melarang kiprah mereka di ranah publik

Dalam konteks ini kita harus meluruskan kesalahan metodologis yang menjadi acuan
dasar para pengkaji tema-tema perempuan dalam Islam. Kami berpendapat bahwa
pembebasan perempuan dalam Islam bermula dari masa Nabi Saw tetapi belum berakhir
pada saat itu. Kondisi pembebasan ini secara jelas tampak dalam kasus perbudakan, yang
mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan historis nilai-nilai kemanusian secara
umum dan pada masyarakat Arab secara khusus. Dengan asumsi bahwa Allah telah
memaparkan ayat-ayat hududiyah bagi perempuan dalam Umm al-Kitab, dan pada saat yang
sama ayat-ayat tersebut memuat batas-batas yang tetap dan memberikan ruang gerak di
antara batas-batas tersebut, maka ayat-ayat tersebut harus mencakup seluruh perkembangan
historis/perjalanan sejarah (terkait dengan tema perempuan)

3. Kesalahan metodologis dalam memahami sebagai ayat yang memuat terma al-Nisa', yaitu
dalam Q.S. Ali 'Imran: 14: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: segala sesuatu yang baru (al-nisa), anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.

4
Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."
Q.S. al-Baqarah: 223: "Hal-hal barumu (nisaukum) adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-
orang yang beriman." Dua ayat ini memuat terma al-Nisa'yang jika kita artikan sebagai
"perempuan dewasa" dengan anggapan kata ini merupakan bentuk plural tak beraturan dari
imra'ah-kita akan menjumpai jalan buntu yang tidak mungkin kita tembus, khususnya ketika
kita mencoba memahami Q.S. Ali 'Imran: 14 yang mencantumkan redaksi perujukan "zalika
mata'ul hayati al-dunya" yang artinya "semua itu adalah perhiasan hidup duniawi".
Konsekuensinya, kita akan memahami perempuan (nisa') sebagai bagian dari mata yang
berarti 'benda-benda yang dapat diambil manfaatnya". Dalam kenyataannya, selama ratusan
tahun perempuan memang diperlakukan layaknya "barang-barang". Dalam surat al-Baqarah,
jika redaksi "fa'tu harsakum anna syi'tum" dipahami dalam konteks hubungan suami istri, ia
akan bertolak belakang dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 222: "Mereka bertanya
kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apa bila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang mensuci kan diri."

Sudut pandang yang keliru ini menjadikan perempuan dianggap sebagai sejenis
barang dan ironisnya, fiqih Islam klasik yang kita warisi hingga kini juga sangat terpengaruh
oleh pandangan inferior ini. Yang lebih menyedihkan adalah bahwa pendapat ini
disandarkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini kita dapat melakukan justifikasi
mengapa mereka para ulama fiqih klasik] melakukan kesalahan ini. Pertama, mereka belum
memahami teori batas. Kedua, karena dalam tentang perkembangan sejarah, laki-laki selalu
menduduki posisi penguasa dalam masyarakat, sehingga ajaran Islam dipahami dan
diterapkan sesuai dengan kepentingan laki-laki. Pendapat umum menyatakan bahwa
perempuan adalah penggoda laki-laki, oleh karenanya perempuan harus menutup diri. Jika
ada pendapat menyatakan bahwa laki-laki juga menjadi penggoda bagi perempuan, mengapa
mereka tidak disuruh menutup diri? Padahal al-Kitab tidak pernah menyebutkan bahwa

5
perempuan adalah fitnah bagi laki-laki. Justru al-Kitab menyebutkan hubungan yang saling
melengkapi antara laki-laki dan perempuan dengan ungkapan yang sangat halus, yaitu
"mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka" (Q.S. al-
Baqarah: 187). Pada sisi lain, terdapat anggapan bahwa karena laki-laki membutuhkan
perempuan (istri) sebagai pengatur urusan rurah tangga dan sebagai pelampiasan dorongan
seksual, maka perempuan harus taat kepada laki laki. Pandangan ini didasarkan pada hadis
"law kuntu amiran ahadan an yasjuda li ahadin la amartu al-mar'ata an tasjuda lizawjiha"
yang artinya "Seandainya diperbolehkan penyembahan seseorang kepada orang lain, tentu
akan aku suruh seorang istri bersujud kepada suaminya". Di akherat Allah menyediakan
"hurun 'in" atau bidadari yang cantik jelita yang siap diajak bersetubuh, sehingga laki-laki
tidak membutuhkan pembantu untuk memenuhi kebutuhannya di akherat "quafchädentych"
(QS. al-Haqqah: 23). Karena di akherat laki-laki tidak lagi membutuhkan perempuan, maka
mayoritas perempuan akan dikirim ke neraka. Pemahaman ini didasarkan pada hadis Nabi:
"Tidakkah kamu melihat neraka? Aku tidak pernah menyaksikan sesuatu yang lebih
menjijikkan dari neraka seperti yang kulihat hari ini, dan kulihat kebanyakan penghuninya
adalah perempuan." Kami berpendapat bahwa kedua hadis ini, baik dari sisi struktur kalimat
maupun dari isinya, bertentangan dengan seluruh wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw dalam al-Kitab. Terkait dengan tema ini, saya telah menjelaskan pengertian
hurun 'in dalam pembahasan tentang pasangan-pasangan di surga. Kami tegaskan bahwa
ayat-ayat tentang surga dan neraka termasuk kategori ayat-ayat mutasydbihai.

Kami juga mendapati sebuah hadis palsu yang disandarkan pada Nabi Saw, bahwa beliau
bersabada: "Shalat menjadi batal karena perempuan, keledai, dan anjing; dan yang dapat
menjaga (keutuhan shalat) adalah barisan belakang (shalat) yang terdiri dari laki-laki." Hadis ini
secara eksplisit juga bertentangan dengan seluruh wahyu yang disampai kan kepada Muhammad
Saw, karena hadis ini mengandung penghinaan terhadap perempuan dengan menganggapnya
bukan bagian dari komu nitas manusia. Padahal Allah sangat memuliakan manusia dan menjadi
kannya sebagai khalifah-Nya di muka bumi.

Kita mengawali pembahasan tentang Islam dan perempuan dengan mendefinisikan


siapakah yang disebut sebagai perempuan (mar'ah)? Allah mendefiniskan perempuan,

6
sebagaimana juga laki-laki, dalam dua tataran. Pertama, tataran manusia secara fisiologis, kedua
manusia yang berakal dan berkesadaran.

Tataran pertama: Allah berfirman: "Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan


berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan" [Q.S. al-Najm: 45), dan Allah berfirman "Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran
Allah." [Q.S. al Zariyat: 49]. Dalam tataran ini, Allah perempuan dan laki-laki berada dalam satu
kategori dengan segenap makhluk lain, baik yang berakal ataupun tidak berakal, dan juga benda-
benda mati. Dalam ras manusia terdapat jenis kelamin perempuan (unsa), sebagaimana dalam
dunia binatang, khususnya mamalia. Hewan mamalia jenis betina, memiliki kemampuan
reproduksi seperti halnya manusia perempuan. Mereka memiliki organ tubuh khusus untuk
pembuahan, perkembangan janin, kehamilan, kelahiran, penyusuan, dan insting pengasuhan
keturunan. Pada dataran fisiologis ini, manusia perempuan tidak lebih istimewa dari jenis betina
pada mamalia. Demikian juga jenis laki-laki yang menjadi pasangan bagi jenis perempuan.
Keduanya diciptakan dengan fungsi saling melengkapi dan menyempurnakan. Jenis laki-laki
diberi kemampuan melakukan pembuahan. Pada sisi ini, manusia laki-laki tidak lebih istimewa
dari mamalia pejantan.

Tataran kedua: yaitu tataran manusia yang berakal, berkesadaran dan memiliki
keistimewaan di antara semua makhluk melalui peniupan nuh kedalam dirinya. Allah berfirman:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
[Q.S. al-Hujurat: 13). Allah juga berfirman: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan." [Q.S. al-Isra': 70]

Ketika Allah menyeru kepada manusia, la menyeru kepada semua makhluk berakal.
Dalam al-Qur'an, setiap seruan seperti ini diawali dengan redaksi "ya ayyuhan-nas", yang
mencakup laki-laki dan perem puan. Sedangkan dalam Umm al-Kitab, seruan ini diawali dengan
"ya ayyuha llazina amanu", yang juga mencakup laki-laki dan perempuan. Allah memuliakan

7
manusia secara keseluruhan dalam kapasitas kemanu siaannya secara adil, tak seorangpun lebih
mulia dari yang lain kecuali dengan amal salih. Dalam hal ini, kami tegaskan bahwa kehormatan
manusia jenis perempuan adalah sejajar dengan kehormatan manusia jenis laki-laki.
Kecenderungan dan pendapat seorang perempuan me miliki derajat yang sama dengan yang
dimiliki pihak laki-laki. Oleh karenanya, lontaran pendapat yang menyatakan bahwa perempuan
adalah manusia yang kurang akal dan kurang agama' harus dikaji ulang secara kritis.

Selanjutnya akan kita kaji ayat-ayat hudud yang erat kaitannya dengan masalah-masalah
perempuan.

1. Poligami

Poligami adalah salah satu masalah besar yang dihadapi oleh perempuan Arab
Islam secara khusus, dan yang dihadapi oleh Islam di depan dunia secara umum. Jika kita
memahami ayat-ayat poligami dalam Umm al-Kitab dari perspektif ayat-ayat hududiyah,
kita akan mendapat kan pemahaman yang jauh lebih baik. Kita akan memahami bahwa
ayar ayat tersebut mencakup setiap periode sejarah perkembangan manusia dan meliputi
seluruh sisi kemuliaan manusia, baik pada masa lampau maupun masa kontemporer.

Ayat-ayat hudud dalam masalah poligami adalah sebagai berikut: "Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya." [Q.S. al-Nisa': 3]. Pertama, kita akan membahas dua terma
dasar, yaitu qasata dan adala. Dalam bahasa Arab qasata adalah sebuah terma dasar yang
memiliki satu bentuk tetapi memiliki dua pengertian yang saling bertolakbelakang. Arti
pertamanya adalah "keadilan dan pertolongan," seperti dalam firman-Nya: "Sesungguh
nya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil (al-muqsitin)" [Q.S. al-Ma'idah: 42;
al-Hujurat: 9; al-Mumtahanah: 8]. Arti keduanya adalah kezaliman dan penindasan (al-
jur), seperti dalam firman-Nya: "Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
(al-qasituna), maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam". [Q.S. al-Jinn: 14].
Terma adala juga memiliki dua arti yang saling berlawanan. Arti pertama adalah

8
kelurusan/kesejajaran (straightness"/istiwa), sedangkan arti keduanya adalah
kebengkokan (curvature'i'wija). Ibnu Faris menyebutkan bahwa 'sesuatu yang disebut
sama dengan suatu yang lain adalah 'adluhu', atau yang sepadan dengannya. Meski
demikian, terdapat perbedaan nuansa makna antara qist dan 'adl. Terma qist menyiratkan
hubungan dari satu pihak saja, sedangkan adl menyiratkan hubungan persamaan antara
dua pihak. Dari pengertian ini muncullah terma mu'adalah atau kesama denganan, yaitu
kesejajaran antara dua pihak yang berbeda, seperti matematika kita merumuskan A=B
(baca: A sama dengan B).

Ayat tentang poligami ini memiliki hubungan erat dengan ayat sebelumnya karena
ada redaksi wa-in yang menghubungkan keduanya, sementara ayat sebelumnya
membicarakan hak-hak anak yatim. Allah berfirman: "Dan berikanlah kepada anak-anak
yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-
tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar" IQ.S. al-Nisa': 2]. Dalam
pembahasan kami tentang wasiat, kami telah mendefinisikan bahwa yang dimaksud
dengan anak yatim adalah anak yang tidak memiliki bapak dan masih di bawah umur atau
belum dewasa. Sedangkan ibunya masih hidup dan masih berada pada usia produktif.
Ayat-ayat poligami yang termasuk ayat-ayat hududiyah ini memberikan batasan
maksimal dan minimal, baik dari sisi jumlah/kuan titas maupun kualitas.

a. Batas-batas dalam sisi kuantitas.

Perlu dicatat bahwa ayat ini membicarakan pernikahan dengan redaksi


"fankihu" yang kemudian mengawali jumlah istri dengan angka 'dua' (maśna). Pada
dataran realitas, seorang laki-laki tidak dapat dikatakan 'menikahi dirinya sendiri' atau
menikahi setengah orang perempuan', maka batas mini mal istri adalah satu orang
perempuan, dan batas maksimalnya adalah empat orang perempuan. Proses
peningkatan jumlah ini diawali dari dua, tiga, dan terakhir empat dalam hitungan
bilangan bulat karena manusia tidak dapat dihitung dengan angka pecahan.
Kesimpulan nya, batas minimal jumlah perempuan yang dinikahi adalah satu dan
batas maksimalnya adalah empat. Penyebutan satu-persatu jumlah perempuan dalam
redaksi masna wa suläsa wa ruba harus dipahami sebagai penyebutan bilangan bulat

9
secara berurutan, sehingga tidak dapat dipahami sebagai dua + tiga + empat yang
berjumlah sembilan. Seandainya ada larangan poligami, kita tetap dapat
mengamalkan ayat ini dengan hanya menikahi satu orang perempuan sebagai batas
minimal. Dari sisi normatif, tidak ada sesuatu yang tabu dalam hal ini. Sebaliknya,
seandainya poligami dibolehkan, dan seseorang menikahi sampai empat perempuan,
maka ia tetap berada dalam batas-batas hukum Tuhan, yaitu tepat pada batas
maksimal empat. Dalam dua kasus ini kita masih bergerak dalam lingkup batas-batas
hukum Tuhan dari sisi kuantitas. Dalam sebagian kasus kita mene rapkan batas
maksimal dengan menikahi empat perempuan, dan inilah yang terjadi selama empat
belas abad, yaitu memahami ayat poligami sebagai ayat yang membatasi jumlah istri
dari satu hingga empat, tanpa mempertimbangkan kualitas perempuan yang dinikahi.
Para pelaku poligami memahami ayat: "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja" sebagai perintah menerapkan 'keadilan
di antara para istri. Oleh karena itu, mereka membenarkan pemahaman yang
menyatakan bahwa jumlah minimal dalam pernikahan adalah satu istri dan poligami
adalah sebentuk jalan keluar dari keadaan yang memaksa.

b. Batas-batas dari sisi kualitas.

Yang kami maksud dengan kualitas adalah apakah istri kedua dan seterusnya
adalah perempuan yang janda atau perawan. Dan jika janda, apakah janda yang punya
anak atau tanpa anak? Jika kita hanya memahami dari sisi kuantitas dan mengabaikan
sisi kualitas, bagaimana kita bisa menjelaskan hubungan redaksi ayat yang berbentuk
jawaban atas persyaratan' yang disebut sebelumnya? Bagaimana memahami pola
kalimat jawab al-syarti antara ayat fankihu ma taba lakum min al-Nisa'.... dengan ayat
'wain khiftum alla tuqsitu fi a-l-yatana? Dalam konteks ini, kita harus meng
hubungkan antara redaksi syarat dan redaksi jawaban syarat tersebut, sehingga kita
dapat memperoleh pemahaman sebagai berikut: Ayat ini tidak menyebutkan syarat
kualitas bagi istri pertama, sehingga terbuka kemungkinan apakah ia seorang
perawan, janda dengan anak atau janda tanpa anak. Agar terjadi keserasian antara
redaksi jawab syarat "fankihu." dan redaksi syaratnya, yaitu keadilan ke pada para
anak yatim, ayat ini harus dipahami sebagai ayat yang sedang membicarakan 'para ibu

10
janda dari anak-anak yatim' [a aramil], sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat
memberikan ke longgaran dari segi jumlah hingga empat istri, tetapi menetapkan
persyaratan bagi istri kedua, ketiga dan keempat harus seorang perempuan yang
berstatus janda yang memiliki anak. Konsekuensi nya, seorang laki-laki yang
menikahi janda ini harus memelihara anak-anak yatim yang ikut bersamanya
sebagaimana ia memelihara dan mendidik anak-anaknya sendiri. Dalam keadaan
demikian berlakukah ayat Allah pada sang suami yang melakukan poligami ini: "Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu)
mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian
apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu). Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah
kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka h ndaklah
kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah
sebagai Pengawas (atas persaksian itu)." [Q.S. al-Nisa': 6]. Jika seseorang mampu
menikahi tiga janda yang masing-masing memiliki anak, sehingga ia harus
bertanggungjawab atas kesejahteraan hidup mereka selain istri pertama dan anak-
anaknya sendiri, atau dengan kata lain ia hidup dengan sebuah "keluarga besar" yang
tentunya dari sisi finasial kondisi ini merupakan tanggungjawab yang sangat besar,
ada kekhawatiran terjadi ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam keluarga

11
tersebut. Dalam kondisi inilah kita dapat lebih me mahami firman Allah "fa-in
khiftum alla ta'dilu fa-wahidatan" yang berarti berlaku adil pada anak-anaknya sendiri
dari istri pertama dan pada anak-anak yatim yang ikut bersama istri-istrinya yang lain.
Dalam ayat ini pengertian 'adl (bertindak adil antara dua pihak) tampak dengan jelas,
yaitu tindakan adil seorang bapak kepada anak-anak dari istri pertama dan kepada
anak-anak dari istri-istri lainnya. Sedangkan tindakan qist hanya ditujukan kepada
anak-anak yatim saja, yaitu anak-anak yang dibawa oleh istri kedua, ketiga dan ke
empat, sebagaimana firman Allah "wa-in khiftum alla tuqsitu fil yatama". Jika
seorang laki-laki yang sudah beristri khawatir tidak dapat berbuat adil, baik terhadap
anak-anaknya sendiri maupun anak-anak yatim tersebut, maka hendaklah ia menikah
dengan satu 'perempuan' saja. Satu hal perlu diperhatikan bahwa pihak yang menjadi
sasaran pembicaraan dalam masalah pioligami ini adalah seseorang yang sudah
memiliki satu istri, maka dalam ayat dimulai dengan redaksi masna atau yang kedua.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan fawahidah' disini adalah istri kedua ini,
bukan istri pertama. Dengan ungkapan lain, jika seseorang yang sudah menikah
merasa mampu untuk melakukan poligami, khususnya secara finansial, Allah mem
berikan dorongan kepadanya untuk menikah lagi paling tidak dengan satu janda yang
memiliki anak sebagai istri keduanya. Pengertian ini dipertegas dengan redaksi ayat
di bagian akhir "zalika adna alla taulu". Kalimat ta'ulu berasal dari akar kata 'awala
yang berarti 'memiliki banyak keturunan dan melakukan banyak tindakan
ketidakadilan'. Seorang laki-laki yang bertanggungjawab atas keluarga besarnya yang
mencakup keempat istrinya beserta anak-anaknya memiliki beban besar berupa
tuntutan finansial dan tanggungjawab mendidik anak anaknya. Jika ia tidak mampu
mengemban tanggungjawab ini, ia akan menelantarkan keluarganya. Pada titik ini ia
telah berbuat tidak adil kepada keluarganya.

Demikianlah kita memahami hadis Nabi, jika benar: "Saya dan orang yang
menanggung kehidupan anak yatim seperti dua ini di surga, dan beliau menunjuk
kepada dua jarinya." Ada kemungkinan hadis ini merupakan komentar terhadap ayat
poligami dan sebagai motivasi bagi laki-laki kaya untuk menikahi para janda dan
memelihara anak-anak mereka.

12
Dalam konsep poligami seperti ini pembaca dapat menemukan sisi tujuan
yang sangat manusiawi. Allah membolehkan poligami selama tidak keluar dari batas-
batas hukum-Nya yang tertera dalam ayat-ayat hudud. Dengan pemahaman ini kita
dapat mengetahui bagaimana Allah sangat memperhatikan kepentingan para janda
dan anak-anak yatim. (lihat bagan nomor 1]

Penentu hukum syariat memiliki keluasan gerak untuk menyusun berbagai


bentuk syariat terkait dengan poligami ini yang disesuaikan dengan kondisi obyektif
yang melatarinya. Misalnya, ketika jumlah laki aku banyak berkurang akibat menjadi
korban perang, penentu syariat dapat menentukan kebijakan yang mengizinkan
seorang suami menikahi dua sampai empat perempuan janda yang tidak punya anak.
Tetapi harus diingat bahwa selamanya tidak diperbolehkan seorang suami menikahi
janda yang punya anak, namun ia hanya menerima janda tersebut dan menelantarkan
atau menolak mengasuh anak-anak dari janda tersebut.

Allah memberikan keringanan bagi para pelaku poligami seperti ini dengan
pembebasan mahar (al-sadāq). Allah berfirman: "Dan mereka minta fatwa kepadamu
tentang para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,
dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur'an (juga memfatwakan) tentang para
wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih
dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak
yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahuinya." IQ.S. al-Nisa': 127). Dalam ayat ini Allah
memberikan kelonggaran kepada pihak lelaki untuk tidak membayar mahar dengan
syarat ia memelihara anak-anaknya yang yatim. Dalam pernikahan poligar i, Allah
tidak mewajibkan sikap adil di antara para istri karena pada dasarnya yang diwajbkan
adalah sikap adil kepada para anak yatim. Oleh karenanya, Allah berfirman: "Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan
jika kamu mengadakan perbaikan dan me melihara diri (dari kecurangan), maka

13
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan Jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." IQ.S. al-Nisa': 1291, dan firman-
Nya: "Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-
masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha Bijaksana." [Q.S. al-Nisa': 130].

Dalam ayat ini seorang suami dituntut untuk tidak menelantarkan salah satu
istrinya dalam kapasitasnya sebagai seorang istri, maka Allah berfirman "karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung." Seorang suami harus menjaga keharmonisan kehidupan
rumah tangga nya bersama istri-istrinya. Pihak istri juga berhak mengajukan gugatan
cerai tanpa kehilangan hak-haknya. Allah berfirman: "Jika keduanya bercerai, maka
Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya.

Fiqih Islam tradisional menerapkan model poligami seperti ini sejak zaman
nabi hingga saat ini ketika kondisi perkembangan sejarah masih memberikan peluang
untuk model demikian. Namun, sekarang kondisi sejarah telah berubah dan menuntut
pemberlakuan poligami yang melibatkan sisi kuantitas dan kualitas."

Dalam konteks ini kita perlu memahami jumlah istri Nabi yang sering
digunakan para musuh Islam untuk menjelek-jelekkan kepribadi an beliau. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan adalah:

Diutusnya Muhammad Saw sebagai penutup para nabi dan rasul merupakan
batas pemisah antara generasi modern pertama (al-awwalun) dan generasi
kontemporer lanjut (al-akhirun). Generasi modern pertama adalah generasi yang
hidup sebelum beliau, sedangkan generasi kontem porer lanjut adalah generasi yang
maju dan berperadaban tinggi yang hidup sesudah beliau saw hingga datangnya hari
kiamat. Kenabian Muhammad adalah fase/periode transisi/peralihan antara generasi

14
awwalun dan dikhirün. Dari perspektif ini kita perlu memahami bahwa jumlah istri
Nabi adalah bagian dari adat kebiasaan generasi awwalum, bukan menjadi adat bagi
generasi kita yang termasuk kategori dhaman. Allah telah menegaskan hal ini dalam
firman-Nya: "Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah
ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetap kan yang demikian) sebagai sunnah-
Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu
ketetapan yang pasti berlaku," [Q.S. al-Ahzab: 38). Perhatikan redaksi ayat sebagai
sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu", juga redaksi yang
menyebutkan tindakan ini dalam wilayah mubuwwah bukan risälah, yaitu dengan
redaksi "ma kana 'ala al-nabi" bukan dengan redaksi "mā kara 'ala al-rasul."

Allah juga telah menyebutkan bahwa jumlah istri Nabi menjadi beban yang
sangat berat bagi beliau dan juga bagi kita. Karenanya, Allah memperingatkan bahwa
menikah sejumlah istri Nabi bukan Sunnah yang harus diikuti. Kami menyimpulkan
sebagai berikut: a) Kajian tentang mengapa Nabi mengambil banyak istri adalah
usaha yang sia sia karena kita mengukur model pernikahan tersebut dengan kacamata
kontemporer. Pada titik inilah kajian tersebut melakukan kesalahan pemahaman dan
pencampuradukkan. B). Nabi Saw dalam hal jumlah istri beliau selamanya tidak
menjadi teladan bagi kita, demikian juga aturan-aturan yang mengikat para istri beliau
juga bukan menjadi keharusan/teladan yang mengikat para perempuan muslimah.
Allah berfirman: "Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan
yang baik," [Q.S. al-Ahzab: 32). Allah menggunakan redaksi "nisa' al-nabi" untuk
menjelaskan bahwa hal-hal yang terkait dengan para istri Nabi adalah bagain dari
ajaran yang tidak mengikat (ta'limat), bukan penetapan hukum syari'at.

2. Warisan

Dalam sub bab hudud kami telah membahas secara singkat tema warisan dan
kami telah menjelaskan bahwa ayat-ayat waris menggam barkan ayat-ayat hududdiyah
bukan haddiyah. Sebagai penegasan tentang hal ini Allah menyatakan "tilka hududullah".
Allah memberikan setengah bagian laki-laki bagi perempuan sebagai batas minimal, dan

15
batas minimal ini berlaku ketika perempuan sama sekali tidak terlibat dalam mencari
nafkah bagi keluarga, ketika perempuan ikut mencari nafkah prosentase bagian
perempuan bertambah besar mendekati prosentase bagian laki-laki sesuai dengan
seberapa banyak ia terlibat dalam pencarian nafkah dan juga sesuai dengan tuntutan
ruang dan waktu dalam sejarah.

3. Mahar

Istilah al-sadag yang berarti mahar bagi perempuan terdapat dalam firman Allah
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makan an) yang sedap lagi baik akibatnya. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."
[Q.S. al-Nisa': 4). Allah telah mewajibkan pemberian sesuatu kepada perempuan calon
istri, yaitu mahar. Allah memberikan penekahan khusus pada sifat dasar pemberian ini
sebagai nihlah. Dalam bahasa Arab, terma nihlah berarti pemberian tanpa syarat atau
disebut dengan hadiah. Pemberian yang menjadi kewajiban seorang laki-laki kepada
calon istrinya, baik dalam jumlah besar atau kecil ini disebut sebagai hadiah simbolik".
Klasifikasi mahar menjadi 'mahar pendahuluan' dan mahar 'penghabisan' hanyalah hasil
otak-atik para ahli fiqih saja. Sedangkan pemahaman bahwa mahar kepada perempuan
tak lebih sebagai tindakan jual beli adalah pemahaman yang bukan berasal dari Islam
melainkan produk adat istiadat dari suatu masyarakat yang berbeda-beda.

Kami berpendapat bahwa batasan Allah dalam hal pernikahan ini sangat longgar
sehingga mudah dipenuhi oleh mayoritas penduduk bumi. Sedangkan batas-batas
minimal yang harus dipenuhi adalah:

a. penyerahan dan penerimaan (ijab dan qabul)

b. Persaksian (minimal dua saksi)

16
c. Mahar, yaitu hadiah tanpa syarat.

Oleh karenanya, ketika Nabi berkata kepada seorang laki-laki "carilah


(maskawin) meskipun hanya cincin dari besi", kita dapat memahami bahwa pemberian
mahar adalah termasuk bagain dari batas-batas hukum Allah sedangkan nilainya sesuai
dengan adat kebiasaan manusia dalam lingkungan tertentu dan tergan tung oleh
kemampuan manusia dalam suatu masa. Bagi pihak yang mampu memberikan cincin
berlian atau emas, maka ia berhak memberikannya. Tetapi bagi pihak yang kekurangan,
ia tetap wajib memberi kan mahar meskipun hanya berupa cincin dari besi.

Adapun terkait dengan persaksian, batas minimalnya adalah dua saksi. Jika suatu
kamonunitas menetapkan jumlah lebih dari dua saksi, penetapan itu adalah bagian dari
adat dan kebiasaan yang berlaku khusus pada komunitas tersebut. Dalam konteks
penambahan jumlah saksi ini, komunitas tersebut sama sekali tidak melakukan
pelanggaran batas hukum Allah.

4. Pakaian Bagi Laki-laki dan Perempuan dan Bagaimana Keduanya Berperilaku


dalam Masyarakat

Penjelasan tentang pakaian laki-laki dan perempuan terdapat dalam dua ayat
hudud Surat al-Nur yang diawali dengan firman Allah

Terkait dengan laki-laki, Allah berfirman: "Katakanlah kepada orang laki-laki


yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (Q.S. al- Nür: 30)

Terkait dengan perempuan, Allah berfirman: "Katakanlah kepada wanita yang


beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya,
dan janganlah mereka n enampakkan perhiasan nya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan per hiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera

17
saudara perempuan mereka, atau pihak-pihak yang terakhir (nisa'i hinna), atau budak-
budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukud kan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan ber taubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung". (Q.S. al-Nur:31).

Kami akan menjelaskan ayat ini setahap demi setahap.

Sebuah perintah ganda telah dititahkan dan diberlakukan secara sama tanpa
perbedaan, baik bagi mukmin laki-laki maupun perempuan. Perintah pertama adalah
menahan pandangan (al-gaddlu min al-basar). Mari kita kaji firman Allah "yaguddlu min
absarihim". Dalam redaksi ayat ini terdapat huruf jar "min" yang menunjukkan
pengertian "sebagian dari sesuatu" (li al-tab'id) atau berfungsi menyebut "sebagian dari
keseluruhan" (juz'un min kullin). Allah menyuruh kita untuk menahan "sebagian" dari
pandangan, bukan menahan seluruh pandangan. Redaksi ayat tidak menyebutkan obyek
langsung dari kata kerja yaguddlu, baik bagi laki laki maupun perempuan tanpa
perbedaan, yaitu bahwa Tuhan tidak menegaskan pada kita agar menahan pandangan dari
apa? Redaksi ayat menunjukkan bahwa hal itu diserahkan pada tuntutan situasi dan
kondisi (hasba al-zaman wa al-makan) serta berlaku bagi laki-laki dan perempuan
beriman tanpa perbedaan. Redaksi ayat juga menggunakan kata kerja gaddla yang dalam
bahasa Arab menunjukkan arti "perbuatan yang lemah lembut", bukan dengan perbuatan
yang serampangan atau semena-mena. Menahan dalam kata al gadladlah mengandung
pengertian "perlahan dan lemah lembut" sebagaimana dalam kalimat gusnun gaddlun
yang berarti "dahan yang lentur tidak kaku".

Berdasarkan pengertian ini kita ambil contoh berikut: Jika seorang laki-laki
mengubah desain pakaiannya dengan model tertentu yang berbeda dari biasanya dan ia
tidak suka bila orang lain melihatnya, meski yang melihat adalah laki-laki juga, sehingga
ketika sekelompok orang ramai-ramai melihatnya, maka akan timbul perasaan tidak enak
di hatinya. Demikian pula yang dialami oleh seorang perem puan yang merasa tidak enak
ketika bagian tertentu dari tubuhnya dilihat orang lain, meskipun yang melihat adalah
perempuan. Kondisi inilah yang dimasudkan oleh Allah, bahwa baik laki-laki maupun

18
perempuan agar tidak saling melihat wilayah yang tidak dikehendaki untuk dilihat. Untuk
saat ini, hal tersebut disebut sebagai etika sosial yang baik bahwa kita wajib pura-pura
tidak tahu ketika secara sengaja atau tidak menyak sikan wilayah tersebut. Inilah yang
dimaksud dengan kata kerja galda. Kami tidak menyepakati pandangan yang memahami
bahwa gaddlu al basar berarti pihak laki-laki tidak boleh melihat kepada perempuan dan
sebaliknya dalam berbagai aktifitas sehari-hari, seperti jual beli dan sebagianya.

Perintah kedua adalah menjaga kemaluan (hifzu al-fari) dalam dua kondisi
sebagaimana disebutkan dalam kitabullah, yaitu: Pertama, menjaganya dari perbuatan
zina dan setiap hubungan seksual yang tidak disyari'atkan. Kedua, menjaga kemaluan
dari pandangan (al-basar). Inilah yang dimaksud dalam Q.S. al-Nur: 30 "Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya; dan ayat 31: Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya.

Memandang (al-basar) adalah tugas mata yang berbeda dari proses melihat (al-
nazr) dan menyaksikan (al-ru'ya) yang terkadang berlang. sung di otak tanpa proses
memandang terlebih dahulu. Oleh karena itu, kami memahami bahwa menjaga kemaluan
pada laki-laki merupakan batas minimal dalam berpakaian. Untuk konteks saat ini kita
mengenal model pakaian yang sebut dengan "celana dalam untuk renang" (mayuh
sibahah) yang hanya menutupi bagian kemaluan dan pantat, atau yang oleh para ahli fiqih
disebut sebagai aurat berat (al-aurah al-mugallazah) bagi laki-laki.

Kemudian Allah menutup ayat ini dengan redaksi "innallaha khabirun bima
yasSnd'un" yang artinya "Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian perbuat"
(Q.S. al-Nur: 30). Per diketahui bahwa kata al-sun'u dapat berarti "hasil dari suatu
pekerjaan" (produk), seperti dalam firman wa yasna' al-fulka "dan dia membuat perahu"
(Q.S. Hud: 38) atau berarti "hasil dari pendidikan" seperti dalam firman-Nya (wa litasnd
ala aini) (Q.S. Thaha: 39). Dalam redaksi ayat tersebut Allah tidak meng gunakan gaya
ungkap yang bersifat keras dan mengekang, tetapi menggunakan gaya ungkap yang
bersifat mendidik sebagai gaya ungkap yang mendasar dan efektif untuk membentuk

19
generasi mukmin dan mukminah yang berintegritas tinggi memelihara kesopanan dan
menjaga kemaluan.

Pertanyaannya sekarang adalah "Tambahan ajaran apakah yang ditujukan khusus


bagi perempuan dalam al-Kitab?" Tambahan ajaran ini adalah yang terkait dengan
masalah perhiasan (al-zinah) dan aurat. Yang perlu dicatat adalah bahwa ayat surat al-Nur
di atas merupakan ayat yang menjelaskan batas minimal pakaian perempuan dan
termasuk kategori kewajiban faraid.

5. Perhiasan Perempuan (zinatu al-mar'ah)

Sebelumnya mari kita definisikan dulu istilah al-zinah. Perhiasan perempuan


dalam Q.S. al-Nur: 31 terbagi menjadi dua, yaitu: Pertama, perhiasan yang tampak (al-
zinah al-dhahirah). Kedua, perhiasan yang tersembunyi (al-zīnah al-mukhfiyah). Tetapi
apa sebenarnya yang dimak sud dengan perhiasan dalam pengertian yang dicakup oleh
ayat tersebut dan seluruh ayat yang disebutkan dalam al-Kitab, khususnya ayat-ayat
mahram dalam Q.S. al-Nisa': 22-23?

Perhiasan memiliki tiga macam bentuk, yaitu:

a. Perhiasan berwujud benda (zinah al-asya), yaitu perhiasan yang berupa penambahan
suatu benda ke benda yang lain atau pada suatu tempat untuk memperindahnya.
Contohnya adalah dekorasi dalam ruangan, desain baju, penjepit rambut, anting
kalung, gelang, dan lain-lain. Semua benda tersebut dikenakan atau dipasangkan
untuk memperindah sesuatu. Bentuk perhiasan kebendaan ini dijelaskan dalam firman
Allah Q.S. al-Nahl: 8 "dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar
kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa
yang kamu tidak mengetahuinya" dan al-A'raf: 31. "Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih lebihan”

b. Perhiasan tempat atau perhiasan lokasi (zinah al-mawaqi atau al-zinah al-makaniyah).
Perhiasan semacam ini tampak jelas berupa ruang ruang publik di daerah perkotaan.

20
Bangunan yang didirikan di atas hamparan rumput menghijau disebut sebagai taman
kota. Tempat tempat semacam ini digunakan untuk menghiasi kota sebagai tempat
yang sering dikunjungi manusia (ruang publik). Perhiasan lokasi ini dapat berupa
melestarikan alam sesuai dengan habitat aslinya atau menambahkan sesuatu yang
bersifat alami, seperti pepohonan dan tanaman bunga. Semua ini dijelaskan oleh
Allah dalam Q.S. al-Nur: 31. Agar ayat ini tidak bertentangan dengan maksud ayat al-
Maharim dalam surat al-Nisa", maka terma al-zinah dalam ayat tersebut harus
diterjemahkan sebagai perhiasan lokasi (al-zinah makaniyah), bukan sebagai
perhiasan kebendaan (al-zinah sya'yyah).

c. Perhiasan gabungan antara yang bersifat lokasi dan kebendaan. Hal ini dijelaskan
dalam Q.S. al-A'raf: 32 "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" dan Q.S. Yunus: 24 "Hingga apabila burni itu telah
sempurna keindahannya, dm memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik pemiliknya
mengira bahwa mereka pasti menguasainya". Pengertiannya adalah bahwa perkem
bangan dan kemajuan ilmu pengetahuan manusia akan memenuhi bumi dengan
berbagai bentuk hiasan lokasi dan hiasan benda. Dilihat dari sisi perhiasan lokasi,
maka seluruh tubuh perempuan adalah perhiasan. Yang dimaksud perhiasan di sini
adalah sesuatu berbentuk utuh, bukan sekedar kalung, gelang, dan sejenisnya, tetapi
seluruh tubuh perempuan.

Tubuh perempuan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, bagian tubuh
yang terbuka secara alami. Allah berfirman "janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya". Ayat ini harus dipahami bahwa
dalam tubuh perempuan terdapat perhiasan yang tersembunyi (zinah mukhfiyah).
Perhiasan ang tampak adalah apa yang secara alami tampak pada tubuh perempuan,
yaitu apa yang diper lihatkan oleh Allah dalam penciptaan tubuh perempuan, seperti
kepala, perut, punggung, dua kaki, dan dua tangan, karena kami meyakini bahwa
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang tanpa
berpakaian.

21
Kedua, bagian tubuh yang tidak tampak secara alami, yaitu yang
disembunyikan oleh Allah dalam bentuk dan susunan tubuh perempuan. Bagian yang
tersembunyi ini disebut al-juyub atau bagian-bagian yang berlubang (bercelah). Kata
al-jayb berasal dari kata ja-ya-ba seperti dalam perkataan jabtu al-qamisa, artinya aku
melubangi bagian saku baju atau aku membuat saku pada baju. Kata al-jayb
sebagaimana kami ketahui adalah bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, bukan
hanya satu tingkatan karena pada dasarnya kata ja-ya-ba berasal dari ja-wa-ba yang
dalam bahasa Arab memiliki arti dasar "lubang yang terletak pada sesuatu" dan juga
berarti dialog tanya jawab. Istilah al-juyub pada tubuh perempuan memiliki dua
tingkatan atau dua tingkatan sekaligus sebuah lubang yang secara rinci berupa: bagian
antara dua payudara, bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan, dan
pantat. Semua bagian ini disebut juyub yang wajib ditutupi oleh perempuan.

Oleh karena itu, Allah berfirman walyadribna bi humurihinna 'ala juyubuhinna


(dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung mereka di atas bagain juyub mereka).
Kata al-khimar berasal dari kha-ma-ra yang berarti tutup. Minuman keras disebut
khamr karena ia menutupi akal. Istilah al-khimar bukan hanya berlaku bagi
pengertian penutup kepala saja, tetapi semua bentuk tutup, baik bagi kepala atau
selainnya. Oleh karena itu Allah memerintahkan perempuan yang beriman untuk
menutup bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyüb, yaitu
perhiasan yang tersembunyi secara fisik dan melarang mereka untuk memperlihatkan
bagian tersebut. Hal ini diisyaratkan dalam firman-Nya wala yubdina zinatahunna
(janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka). Penampakan (al-ibda) hanya
dilakukan pada sesuatu yang ter sembunyi seperti dalam firman-Nya in tubdu mafi
anfusikum aw tukhfuhu (Q.S. al-Baqarah: 284). Kata al-ibda juga hanya
diperuntukkan bagi obyek yang berakal seperti dalam firman-Nya fabadatna huma
sau-atuhuma (Q.S. Thaha: 121). Sebagian orang menyangkal pendapat ini dengan
menya takan: "Bukankah mulut, hidung, kedua mata, dan kedua telinga masuk dalam
kategori al-juyub? Kami menjawab: "Benar, tetapi bagian-bagian tersebut adalah
juyub yang tampak karena terletak di wajah. Padahal bagian kepala perempuan atau
laki-laki merupakan bagian yang paling menonjol secara fisik yang berfungsi sebagai
ciri khas manusia." Berikut ini adalah pihak laki-laki yang boleh menyaksikan

22
terbukanya bagian juyub perempuan, yaitu suami (bu'ulatuhunna), bapak (aba ihinna),
bapak suami (aba'u bu'ulatihinna), anak laki-laki (abna'ihinna), anak laki-laki al-ba'l
(abma bu'ulatihinna), saudara laki-laki (ikhwanihinna), anak-anak laki-laki dari
saudara laki-laki (bani ikhwanihinna), anak-anak laki-laki saudara perempuan (bani
akhawatihinna).

Sebuah pendapat menyatakan: "Apakah dengan demikian berarti bahwa


seorang perempuan mukmin diperbolehkan terlihat polos tanpa busana dihadapan
pihak-pihak yang tersebut dalam ayat 31 al-Nur?". Saya menjawab: "Benar, hal itu
boleh terjadi, yaitu karena terpaksa, lengah, ataupun keadaan darurat yang
membahayakan". Jika pihak kaum mukmin hendak melarangnya, mereka berada pada
wilayah aib dan rasa malu atau atas dasar batin sosial (al-urf) masyarakat, bukan
bagian dari hal haram atau halal. Karena ayat ini mencakup pihak suami. Jika seorang
bapak melihat anak perempuannya dalam keadaan telan jang, dia tidak perlu
mengatakan, "ini adalah hal yang haram", tetapi lebih tepat ia mengatakan ini adalah
hal yang aib (memalukan)". Alasan mengapa pihak maharim ini diletakkan dalam
satu barisan dengan suami adalah karena bersama merekalah sebagian besar waktu
perempuan itu dihabiskan. Dengan demikian perempuan mukminah tersebut tidak
perlu merasa berdosa jika berinteraksi dengan mereka.

6. Pihak-pihak yang Dilarang Menyaksikan Perhiasan (Maharim Al-Zinah)

Sekarang jika kita pilah terlebih dahulu kategori al-zawj, karena ia tidak termasuk
dalam kategori mahram nikah, maka ia tetap kita posisi kan sebagai mahram yang
dilarang menyaksikan kemaluan perempuan. Dalam hal ini kita mendapati bahwa pihak
yang disebut sebagai maharim al-zinah terdiri dari tujuh orang, yaitu: bapak, orang tua
suami, anak laki laki, anak laki-laki suami, saudara laki-laki, anak laki-laki saudara laki
laki, dan anak lelaki saudara perempuan. Jika kita bandingkan, ternyata jumlah mahram
ini adalah setengah dari jumlal maharim al-nikah yang disebut dalam surat al-Nisa'.
Terdapat kategori mahram yang perempuan diperbolehkan berinteraksi bersama, tetapi
dilarang menikahi mereka dan tidak diperbolehkan bagi perempuan memperlihatkan
perhiasannya yang tersembunyi (al-juyub al-'ulwiyah) di hadapan mereka. Kategori
mahram ini adalah: paman dari pihak bapak (al-'am), paman dari pihak ibu (al-khal), anak

23
sesusuan, saudara sesusuan, suami ibu, suami anak perempan, dan suami saudara
perempuan. Sampai disini muncul per tanyaan yang memaksa kami untuk mengkoreksi
kembali pihak yang berpendapat pendapat bahwa yang dimaksud dengan zinah adalah
per hisaan berupa kalung, gelang, anting-anting, dan sebagianya yang tidak boleh
diperlihatkan oleh perempuan atau yang harus ditutup dengan kerudung, seperti rambut di
kepala. Jika pemahamannya seperti ini, maka seorang perempuan mukminah akan
menghadapi besannya (menantu lelakinya) seperti berhadapan dengan orang yang asing
sama sekali, karena ia selamanya berposisi sebagai mahram dan tidak disebut dalam ayat
malarim al ziah. Tidak dipebolehkan bagi menantu laki-laki dan paman, baik dari ayah
maupun ibu, untuk melihat perhiasan tersembunyi (zinah mukhfiyah) perempuan. Apakah
mungkin dapat dibenarkan bahwa arti aluziah adalah selain yang telah kami jelaskan?
Demikianlah kesalahan para ahli fiqih ketika memahami bahwa istilah perhiasan (al-
zinah) yang disebut dalam ayat berarti perhiasan kebendaan (zmatu al-asy-ya) padahal
yang benar adalah perhiasan tempat/lokasi (zinatu al-mawaqi'). Sebab kesalahan ini
adalah selain kesalahan dalam memahami teori hudud juga karena menganalogikan
sesuatu yang hadir berdasarkan sesuatu yang tidak ada (qiyasu syahid 'ala al-gha'ib) yang
akan kami jelaskan kemudian.

Hal ini perlu kami jelaskan, karena sudah saatnya bagi kita untuk membekali diri
dengan pemikiran yang kritis dan mengoreksi seluruh pendapat para ahli fiqih yang
terkait dengan perempuan.

Kami tambahkan di sini bahwa pihak-pihak yang kami sebut di atas memiliki
posisi hukum seperti bapak dan suami dari sisi boleh tidaknya menampakkan perhiasan.
Apa yang dimaksud dengan kalimat nisa ihinna dalam firman Allah aw nisa'ihinna?
Sebagian ahli fiqh ber pendapat bahwa apa yang dimaksud oleh kalimat tersebut adalah
"para perempuan mu'minal" sehingga mereka memahami bahwa maksud ayat tersebut
adalah bahwa perempuan tidak berhak memperlihatkan per hiasan tersembuyi mereka
kecuali di depan para perempuan mukminat. Pemahaman ini tidak benar karena jika
berarti demikian, tentu redaksi ayat akan berbunyi aw al-mu'mmat min al-Nisa', padahal
Allah meng gunakan redaksi aw nisa'ihinna. Huruf nun al-niswah dalam ayat ini
berfungsi sebagai al-tabi'iyah, bukan menunjukkan jenis kelamin. Jika dipahami sebagai

24
penunjuk jenis kelamin, maka konsekuensinya akan ada perempuannya perempuan dan
hal ini tidak benar, karena tidak logis jika kata nisa'ihinna menunjuk pada arti perempuan.
Tetapi jika yang dimaksud dengan kata binisa'ihinna alah para istri dari pihak laki-laki
yang disebut sebelumnya, seperti saudara laki-lakinya, atau anak laki laki dari saudara
laki-lakinya, dan seterusnya, maka harus memakai dlamir mim al-jama'ah (hum) sebagai
ganti nun al-niswah. Sehingga redaksinya akan menjadi aw nisa'ihim. Juga tidak dapat
dibenarkan argumen yang menyatakan bahwa penempatan nun al-niswah di sini sebagai
ganti dari mim al-jama ah karena adanya kesulitan pengucapan (dlanürah sawiyyah).

Perlu dicatat dari pendapat kami ini, bahwa kami tidak menyerukan kepada
perempuan agar hanya menutup daerah intimnya (aurat berat) saja dan membiarkan
bagian lain dari tubuhnya dalam keadaan terbuka dihadapan kedelapan pihak yang
disebut dalam ayat dan seterusnya, tetapi jika hal itu terjadi karena lengah atau terpaksa,
maka tidak ada yang dihukumi haram di dalamnya.

Selanjutnya adalah ayat yang menjelaskan pihak-pihak yang perempuan


diperbolehkan memperlihatkan sebagian dari perhiasannya, mereka adalah:

a. (Aw mamalakat aymanuhunna) Q.S. al-Nur: 31

Tema milku al-yamin membutuhkan kajian khusus. Dalam sejarah, milku al-
yamin dimaknai sebagai bagian dari perbudakan (riqqu) dan perhambaan (al-
ubudiyah). Jika kita membahasnya berangkat dari pan dangan ini, maka kita akan
menghadapi banyak masalah dan kesulitan.

b. Q.S. al-Nur:31 (awittabi'ina gayru uli al-irbati min al-rijal) "atau Pelayan-
pelayan Laki-laki yang Tidak Mempunyai Keinginan (terhadap wanita)"

Golongan laki-laki ini hukumnya mengikuti pihak-pihak yang disebut di atas.


Mereka adalah golongan laki-laki yang tidak memiliki kepentingan seksual (zawi al-
ma'arib), tetapi yang bukan termasuk golongan abnormal (al-mu'tawwihin) atau
golongan tidak waras (al majanin), karena dorongan seksual pada kedua golongan ini
tidak berarti telah padam. Contoh dari kategori gayru ulil irbah adalah seorang laki
laki yang berprofesi sebagai dokter kandungan yang ketika membantu persalinan

25
seorang perempuan tentu ia melihat kemaluannya. Meski demikian, dalam menjalani
pofesinya ini ia tidak serta merta merasakan dorongan seksual (al-ma'arib). Dalam
kondisi ini posisi dokter tersebut terhadap pasien perempuan adalah seperti hubungan
antara ayah dengan anak perempuannya atau antara ibu dengan anak lelakinya.
Tegasnya, jika dokter tersebut harus memeriksa daerah intimnya (bawah ketiak atau
daerah intim yang lain), maka hukumnya sama dengan ayahnya. Bagi perempuan
mukmin agar memahami hal ini dan mengetahui bahwa seorang perempuan berhak
pergi ke dokter yang dipercayainya dan ia merasa tenang untuk berobat kepadanya,
baik laki-laki maupun perempuan tanpa merasa terbebani bahwa hal itu haram atau
berdosa. Para dokter tersebut termasuk dalam kategori gayru uli al-irbati min al vijal.
Selain di bidang kedokteran terdapat profesi lain dan kondisi lain yang sesuai dengan
ayat ini. Bagi para mujtahid hendaknya mengkaji masalah ini lebih dalam dan
menjelaskan kepada perempuan dan pihak pihak yang terkait dengan dunia
kedokteran, seperti perawat, bidan, para medis, dan sebagianya agar memahami posisi
mereka secara proporsional.

c. Q.S. al-Nur: 31 "atau Anak-anak yang Belum Mengerti tentang Aurat Wanita."

Terkait dengan hal ini harus didefinisikan terlebih dahulu kata al murat.
Dalam bahasa Arab 'awrat artinya adalah segala sesuatu yang jika diperlihatkan, maka
seseorang akan merasa malu. Pengertian ini adalah yang disepakati oleh para tokoh
bahasa Arab. Dalam pengertian inilah Nabi menggunakan kata aurat dalam hadisnya
yang sudah disebut di muka. Kata aurat sama sekali tidak terkait dengan masalah
halal atau haram. Seandainya seorang lelaki yang berkepala botak tidak meng
inginkan orang lain mengetahui kebotakannya, kemudian dia memakai rambut palsu,
maka kepalanya yang botak termasuk aurat baginya. Dalam pengertian ini juga Rasul
bersabda dalam hadisnya man satara 'ala mu'minin 'auratahu satara allahu awratahu.
(Jami' al-Ushul, jld. VI. h. 653 654). Hadis ini menjelaskan bahwa jika seseorang
memiliki bagian tubuh tertentu yang tidak ingin diketahui oleh pihak lain, maka ia
jangan diolok-olok. Kalimat satara 'awrata al-mu'min tic ak selalu berarti bahwa kita
harus memberikan pakaian kepada orang lain. Pengertian ini di sebutkan dalam
firman Allah: "Dan (ingatlah) ketika segolongan di mara mereka berkata: "Hai

26
penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu”. Dan
sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan
berkata: "Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)". Dan
rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari"
(Q.S. al-Ahzab: 13). Dalam ayat ini secara jelas dapat dipahami bahwa rumah mereka
dalam keadaan terbuka untuk dimasuki oleh orang-orang yang tidak meminta izin (al
muhajimun). Padahal mereka tidak menginginkan hal itu terjadi dan dalam
kenyataannya memang hal itu tidak terjadi.

Dalam Q.S. al-Nür: 58 Allah menyebutkan: "Hai orang-orang yang beriman,


hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang
belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari)
yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di
tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada
dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka
melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain).
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana". Dalam ayat ini disebutkan tiga waktu bagi seseorang yang
harus minta izin sebelum memasuki sebuah ruangan pada jam-jam tidur, yaitu waktu
tidur siang (al-qailulah), setelah waktu isya', dan sebelum fajar. Ini adalah batasan
minimal untuk waktu-waktu yang tidak disukai seseorang jika ada orang lain masuk
ke ruangannya. Oleh karena itu tiga waktu ini disebut dengan istilah tiga aurat (salasu
'awrätin). Batasan maksimal bagi pemberlakuan ketentuan waktu-waktu ini adalah
dengan minta izin untuk setiap kali masuk ruangan.

Kata 'awrat berasal dari konsep tentang rasa malu, yaitu tidak adanya kerelaan
manusia untuk memperlihatkan sesuatu, baik yang ada pada dirinya maupun
perilakunya. Tingkatan rasa malu ini bersifat relatif, tidak mutlak, dan mengikuti adat
kebiasaan setempat. Ketentuan ten tang batasan daerah-daerah intim pada tubuh (al-
juyub) bersifat tetap, tetapi yang terkait dengan batasan aurat dapat berubah-ubah
sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Dalam pengertian ini, maka yang
dimaksud oleh ayat awiţtifli allazina lam yauharu 'ala 'aurati al-Nisa adalah anak-anak

27
yang tidak mengetahui mengapa seorang perempuan merasa malu dalam mengenakan
pakaian tertentu. Hal ini sangat wajar terjadi pada masa kanak-kanak karena hingga
usia tertentu mereka belum mengenal konsep malu dan aib. Pemahaman yang sesuai
dengan cakupan kategori ayat di atas adalah anak-anak yang belum mencapai usia
tertentu yang mengkondisikan mereka memahami istilah malu dan aib sebagaimana
yang dikenal dalam komunitas mereka.

Oleh karena itu, pembatasan aurat laki-laki dari pusar hingga lutut merupakan
pembatasan yang bersifat relatif, tidak mutlak, dan berdasar kan adat kebiasaan
masyarakat. Pembatasan tersebut sudah termasuk dalam ketentuan batasan aurat ini
yang bersumber dari konsep rasa malu dan aib, bukan berasal dari konsep halal dan
haram. Jika salah seorang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan konsep syariat
bagi aurat, maka pendapat tersebut tertolak. Syariat adalah batasan Tuhan dan hanya
ditetapkan dalam Kitab Allah, maka di luar batasan Tuhan merupakan batasan yang
dibuat oleh manusia. Hal ini menjelaskan kepada kita mengapa para ahli fiqih merasa
kesulitan untuk menetapkan batasan aurat ringan ('awrat mukhaffafah) dan aurat berat
('aurat mug halladlah). Mereka menetapkan batasan bagi laki-laki dan budak perem
puan secara umum, bahwa aurat beratnya adalah daerah intim bagian bawah (al-juyub
al-sufliyah). Menurut mereka perempuan merdeka diperbohlehkan memperlihatkan
aurat mughalladahnya pada seluruh mahramnya, sementara menurut saya hal itu
hanya berlaku bagi sebagian mahramnya saja, bukan seluruhnya.

d. Q.S. al-Nur: 31 "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui


perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung"

Pendapat yang menafsirkan bahwa yang dimaksud "ma yukhfina" dalam ayat
ini adalah kalung kaki yang berlonceng sehingga perempuan dilarang untuk
memasangnya dan memukulkannya di atas tanah agar suara lonceng itu tidak
terdengar atau menggunakan sepatu yang tidak mengeluarkan suara ketika dipakai
berjalan, maka tafsir tersebut tidak benar.

28
Pertama kita harus memahami kata kerja dlaraba dalam bahasa Arab. Pada
dasarnya kata dlaraba merupakan kata dasar yang kemudian dipinjam dan
dikembangkan oleh kata lain. Salah satu derivasi makna kata dlaraba adalah al-dlarbu
fi al-ardi yang berarti pekerjaan, perdagang. an, dan perjalanan sebagaimana dalam
firman Allah "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan
Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mu'min" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di
sisi Allah ada harta yang banyak" (Q.S. al-Nisa": 94). Kalimat wa iža dlarabtum fi al-
ardli dalam ayat ini berarti "jika kamu keluar di jalan Allah". Sedangkan dalam
pengertian perjalanan adalah firman Allah: "Dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengashar sembahyang (mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir Sesungguhnya orang- orang kafir itu adalah musuh yang
nyata bagimu" QS. al-Nisa": 101, dan firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman,
apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua
orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi
lalu kamu ditimpa bahaya kematian" Q.S. al-Ma'idah: 106.

Makna kedua dari kata al-dlarb adalah bentuk (al-sighah) dan pembentukan
(al-siyagah), sebagaimana disebut dalam firman Allah: "Kami telah berbuat terhadap
mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perampamaan?" (Q.S. Ibrahim:
45) dan firman-Nya: "Dan Kami Jadikan bagi masing-masing mereka perumpanaan
dan masing-masing mereka itu benar-benar telah Kami binasakan dengan sehancur-
hancumya" (Q.S. AL-Furqan: 39). Dan firmannya: "Dan sesungguhnya telah Kami
buat dalam Al Qur'an ini segala macam perumpamaan untuk manusia" (Q.S. al-Rum:
58).

Kata dharbun dipakai dalam berbagai kalimat seperti untuk menyatakan


tabiat/karakter tertentu dan dalam istilah al-sajiyah al dlarbiyah (perangai yang tetap),
sakan-akan manusia sendiri telah menetapkan perangainya sehingga tidak akan
berubah. Kata dlaraba juga dipakai untuk menyatakan macam dari suatu benda,

29
seakan-akan ia membuat suatu permisalan lain yang dianggap dapat menyerupainya,
dari pengertian ini muncullah istilah dlarbul masal (membuat perum pamaan). Al-
dlarbiyah adalah harta yang ditetapkan/dibayarkan kepada seseorang atas jerih
payahnya atau sebagai hasil keuntungan dari jual beli, atau dari pengabdiannya pada
negara. Kalimat dlaraba fulanun 'ala fulani iza hajara 'alaihi artinya seseorang
menyerahkan sebuah pekerjaan kepada orang lain, karena ia terhalang
mengerjakannya, dari sini muncul istilah al-idlrab 'an al 'amal yang berarti
mengekang diri untuk tidak melakukan suatu pekerjaan, sedangkan istilah al-idlrab'an
al-ta'am berarti mengekang nafsu untuk makan.

Dari pengertian tersebut kita dapat memahami bahwa sebab-sebab larangan


dalam redaksi ayat wala yadlribna biarjulihinna adalah agar perhiasan tersembunyi
pada tubuh perempuan, yaitu daerah intimnya (al-juydb), tidak diketahui pihak lain,
karena bagian tersebut tidak mungkin tampak kecuali memang perempuan tersebut
sengaja menampakkannya.

Dalam hal ini Allah melarang perempuan mukminah untuk melakukan suatu
usaha atau pekerjaan (al-dlarbu) yang memperlihatkan sebagian atau seluruh daerah
intimnya, seperti profesi streaptease (tari telanjang). Di samping itu perempuan juga
tidak boleh melakukan bentuk tarian lain yang memperlihatkan sebagian atau seluruh
daerah intimnya. Meski demikian, bukan berarti bahwa Tuhan mengharamkan semua
bentuk tari-tarian secara mutlak, yang diharamkan adalah memperlihatkan daerah
intim tersebut ---meski sebagian saja— secara sengaja. Terbuka nya daerah intim
perempuan tidak mungkin terjadi selain karena tuntutan profesi untuk mencari nafkah
atau karena sedang berada di daerah pantai. Dalam hal ini, kami berpendapat bahwa
dalam lingkup batasan hukum (al-hudud), Allah hanya mengharamkan dua macam
profesi bagi perempuan, yaitu pelacuran (al-biga) dan bertelanjang (al ta'riyah). Selain
dua profesi ini, perempuan dipersilahkan untuk memilih dan menjalaninya sesuai
dengan kondisi sosial, ekonomi dan geografi di mana ia hidup yang tidak
mengikatnya secara paksa dan permanen. Perempuan yang menjalani profesi yang
bertentangan dengan kebiasaan masyarakatnya hanya akan menerima celaan dari
masyarakat dan tidak terkait dengan hukum haram dari agama.

30
Di akhir ayat, Allah berfirman wa tubu ila allahi jami an (Q.S. al Nur: 31).
Dalam ayat ini kaum mukminin dan mukminat diminta untuk bertaubat, karena dalam
konteks kehidupan selalu ada kemungkinan pelanggaran terhadap ketentuan Tuhan.
Maka, mereka hanya dituntut untuk taubat tanpa dikenakan suatu hukuman. Di sini
masih tersisa satu pertanyaan: "Apakah pendapat kami tentang pakaian perempuan
dalam surat al-Nur sebagai fara'id adalah bahwa perempuan berkewajiban menutup
setengah dari daerah intimnya (aurat berat) ketika berhadapan dengan semua orang,
termasuk pihak al-ball selain suami, dan setengah auratnya lagi hanya wajib ditutup
di hadapan pihak-pihak yang disebut kan oleh ayat". Saya menjawab: "Benar
demikian". Ketentuan itu meru pakan batas minimal pakaian yang disebut sebagai
faridlah tanpa hukuman dan cukup dengan taubat saja. Hal tersebut untuk membeda
kan antara yang diperbolehkan (al-masmuh) dan yang dilarang (al mamnu"). Tetapi
apakah seorang mukminah yang bepergian dengan pakaian "mini" itu disebut sebagai
batas minimal? Saya jawab: "Dalam Q.S. al-Ahzab dijelaskan tentang pakaian yang
menyempurnakan model pakaian tersebut. Ayat ini diturunkan dalam konteks
kenabian, bukan sebagai syariat. Ayat ini juga berfungsi sebagai pengajaran untuk
menghindari terjadinya gangguan sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. al-Ahzab:
59, Ayat ini didahului dengan redaksi “yā ayyuha al-nabi" yang merupakan ciri ayat
pengajaran (ta'lim), bukan ayat penetapan syariat (tasyri'). Di sisi lain, ayat ini
diterapkan di Madinah dengan pemahaman yang bersifat lokal-temporal (mahalliyan)
yang terkait dengan tidak adanya gangguan dari orang-orang fasiq terhadap para
mukminat ketika mereka pergi untuk memenuhi kebutuhannya. Saat ini persyaratan
dan faktor-faktor tersebut sudah hilang karena mekanisme pelaksanaan ayat ini tidak
bersifat permanen. Ayat ini mengajarkan bagaimana para mukminat mengenakan
pakaian luar atau pakaian untuk melakukan aktifitas sosial yang disebut sebagai
jilbab. Jilbab berasal dari kata jalaba yang dalam bahasa Arab memiliki dua arti dasar,
yaitu: pertama, mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. Kedua,
sesuatu yang meliputi dan menutup sesuatu yang lain. Kata al semacam ini termasuk
dalam pengertian al-jalabib. Oleh karena itu, Allah berfirman yudnina 'alayhinna min
jalabi hinna (Q.S. al-Ahzab: 59). Dalam ayat ini digunakan huruf jar "min" untuk
menunjukkan sebagian dari keseluruhan (al-tabid) dan menggunakan kata yudnina

31
yang berfungsi untuk mendekatkan (li al-taqrib). Kata ini berasal dari kata danuwa
yadnu, Kata al-jalbu dan al-idnd memiliki makna yang serasi. Aktifitas mendekat
disebut dengan kata al-jalbu. Baju yang tidak bersentuhan dengan tubuh disebut al-
dunuwwu. Sebagaimana yang digunakan dalam ayat qaba qausaini aw adna yang
artinya "maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah
atau lebih dekat jalabah berarti sobekan kain (al-qasyarah) yang digunakan untuk me
nutupi luka sebelum bertambah parah dan bernanah. Kain kasa yang telah dilumuri
obat perlu digunakan untuk menutupi luka agar tidak terkena kotoran dari luar. Dari
pengertian ini muncul kata al-jilbab untuk perlindungan, yaitu pakaian luar yang
dapat berbentuk celana panjang, baju, seragam resmi, mantel, dan lain-lain. Seluruh
bentuk pakaian (lagi)." (Q.S. al-Najm: 9)

Ayat 59 surat al-Ahzab tersebut di atas berfungsi sebagai peng ajaran, bukan
sebagai penetapan hukum. Di dalamnya ditetapkan dua sebab pemberlakuan ajaran
tersebut, yaitu: pengetahuan dan adanya gangguan. Perempuan mukminah diwajibkan
untuk menutup bagian bagian tertentu dari tubuhnya yang apabila ditampakkan akan
menyebabkan adanya gangguan (al-azd). Tetapi hal ini diberlakukan dalam kerangka
pengajaran, bukan sebagai ketetapan hukum. Gangguan terdiri dari dua macam, yaitu
yang bersifat alami dan bersifat sosial. Gangguan alami terkait dengan lingkungan
geografis, seperti suhu udara dan cuaca. Perempuan mukminat hendaknya berpakaian
sesuai dengan kondisi suhu udara dan cuaca yang ada di tempat tinggalnya sehingga
tidak menimbulkan gangguan alami pada dirinya. Sebagian orang mengatakan bahwa
hal ini bkan masalah yang penting oleh karena itu tidak disebutkan dalam ayat. Ayat
hanya mengaitkan adanya gangguan dengan pengetahuan. Firman Allah an yu'rafna
fala yu'żayna. Perhatikan partikel fa yang menunjukkan adanya suatu sebab (fa' al-
sabahiyah) dan keberlanjutan (taqib) antara pengetahuan dan gangguan. Inilah yang
kita sebut sebagai gangguan sosial (al-aza al-ijtima'i). Seorang perem puan mukminah
hendaknya mengenakan pakaian luarnya dan ber aktifitas di masyarakat sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku di masya rakatnya, sehingga ia tidak menjadi sasaran
celaan dan gangguan dari orang-orang. Jika ia tidak melakukan hal itu, maka ia akan
mendapatkan gangguan sosial. Gangguan sosial inilah satu-satunya bentuk hukuman
yang diterimanya, dengan pengertian bahwa dalam kasus ini Allah tidak menetapkan

32
pahala atau hukuman tertentu baginya. Kondisi inilah yang terjadi ketika ayat ini
diterapkan di Madinah, yaitu ketika para pengacau ketenteraman sosial mengganggu
perempuan mukminat yang keluar pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan
mereka.

Agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam berpakaian, maka Nabi


menetapkan batasan maksimal dalam berpakaian bagi perempuan melalui sabdanya
(jika benar) kullu al-mar'ah awratun ma 'ada wajhiha wa kaffayha (seluruh tubuh
perempuan adalah aurat selain wajah dan kedua telapak tangannya). Di samping itu
perlu dicatat bahwa sabda Nabi ini tidak bersifat abadi. Dalam hadis ini, Nabi telah
membolehkan bagi perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya sebagai batas
maksimal, tetapi Nabi tidak membolehkan perempuan dalam kondisi bagaimana pun
(maksudnya dalam aktivitas sosial, pent.) untuk menutup wajah dan kedua telapak
tangannya, karena wajah manusia adalah ciri khasnya. Jika seorang perempuan pergi
keluar dengan hanya berpakaian yang menutup daerah intim bagian bawahnya saja
(tubuha al-sufliyah). maka ia telah keluar dari batasan Allah dan jika ia keluar tanpa
mem perlihatkan sedikit pun dari anggota tubuhnya, bahkan hingga wajah dan kedua
telapak tangannya, maka ia telah keluar dari batasan Rasulullah.

Demikianlah kami melihat bahwa pakaian mayoritas penduduk bumi berada


pada wilayah antara batasan Allah dan batasan Rasulnya yang memang merupakan
fitrah manusia dalam berpakaian. Pada kondisi tertentu mereka berpakaian hingga
mencapai garis batas yang ditentu kan, baik maksimal maupun minimal dan pada
kondisi yang lain terkadang melanggar batasan tersebut.

7. Hukum Berpakaian bagi Perempuan yang Tidak Mengharapkan Pernikahan

Allah telah menetapkan hukum khusus dan kebebasan yang besar dalam
berpakaian bagi perempuan muqa'adat yang tidak lagi mengharap kan pernikahan, tanpa
melihat tingkat umur mereka. Allah berfirman: "Dan perempuan-perempuan tua yang
telah terhenti (dari haid dan meng andung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas
mereka dosa menanggal kan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan

33
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui." (Q.S. al-Nur: 60).

Kata al-qawa'idu berasal dari kata qa'ada yang merupakan satu kata dasar yang
menunjukkan pengertian "berdiam dalam sesuatu", tetapi tidak berarti dalam kondisi
duduk. Kata al-qu'ud (berdiam) adalah lawan kata dari kata al-qiyam (berdiri). Kata al-
qu'ud disebut dalam firman Allah: "Mereka berkata: "Hai Musa, kami sekali-sekali tidak
akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah
kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya
berdiam menanti di sini saja" (Q.S. al-Ma'idah: 24). Kata al-qu'ud juga berarti berdiam,
tanpa pergerakan, dan mencegah diri pergi berperang. Sedang kan kata al-qiyam berarti
keberlangsungan (al-istimrar), seperi dalam kalimat "wajadtu fulanan qaiman al ara'si
amalihi" (aku mendapati sese orang tetap menjalani karirnya), maksudnya adalah bahwa
ia menerus kan pekerjaannya.

Dalam pengertian ini muncullah konsep perempuan-perempuan yang non-aktif


(al-qawa'idu mina al-Nisa') mereka adalah para perempuan, berapun usianya, yang tidak
aktif lagi karena disebabkan suatu penyakit, seperti cacat tubuh yang permanen (al-
syalal), sehinga tidak lagi meng harapkan pernikahan, oleh karena itu Allah berfirman
(allati la yarjuna nikahan). Kalimat ini tidak selalu berarti bahwa mereka tidak menyukai
perkawinan dan bukan sebagaimana yang dipahami para ahli fiqh bahwa al-fawaid adalah
perempuan yang berdiam di rumah karena mengalami haidl. Untuk kondisi terakhir ini
Allah menyebutnya dalam firman-Nya va'isna minal mahidl, bukan dengan redaksi
qa'adna 'anil mahid, maka lebih tepat kondisi tersebut disebut sinnul ya'si lil marah (masa
puber bagi perempuan) bukan dengan istilah sinn al-qu'ud (masa istirahat total).

Firman Allah Q.S. al-Nur: 60 "tiadalah atas mereka dosa menanggal kan pakaian
mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan,". Kata al-junāh berasal dari
kata janaha berarti penyimpangan (al-mhiraf), seperti dalam kalimat janahat al-safinah
aw al-ta'irah 'an masariha yang artinya 'kapal laut atau kapal terbang menyimpang dari
jalurnya'. Ber dasarkan hal ini muncul konsep al-janahah, yaitu konsep penyimpang. an
perbuatan yang kadarnya jauh lebih ringan dari perbuatan kriminal (al-jarūnah),
berdasarkan firman Allah "Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku

34
(dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang
menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kauem Shaleh, sedang kaum Lut tidak (pula)
jauh (tempatnya) dari kamu" (Q.S. Hud: 59).

Adapun kata kerja wadla'a dalam linguistik Arab memiliki satu kata dasar yang
menunjukkan pada arti keluarnya suatu benda, dan meletak kan pengeluarannya, seperti
dalam firman Allah "Dan perempuan-perem puan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." Q.S. al-talaq: 4, dan dalam firman-Nya
"Maka tatkala isteri "Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan" (Q.S. Ali 'Imran: 36). Ketika
seorang perempuan melahirkan kandungannya, maka ia akan menge luarkan semua yang
dikandungnya dari rahimnya dan meletakkannya. Dalam hal ini Allah berfirman "yadla'na
siyabahunna". Kata siyab adalah nama jenis yang dipakai untuk menunjukkan semua
yang dikenakan pada tubuh mansuia, baik berupa pakaian dalam maupun pakaian luar.
Kata syiah berasal dari kata sayaba, derivasinya antara lain adalah kata al-šiyab dan al-
masābah. Kata al-sawb berarti setiap perbuatan baik dan positif yang dikerjakan manusia.
Dalam ayat disebutkan "yadla'na siyabahunna" artinya menanggalkan seluruh pakaian
dan disyaratkan tanpa bermaksud memperlihatkan perhiasannya yang tersembunyi, yaitu
daerah intim tubuhnya pada orang lain. Allah berfirman "gayra muta barrijat bigmatin".
Kata baraja dalam linguistik Arab berarti menampak kan (al-buruz), memperlihatkan (al-
zuhur) dan tempat bersandar (al malja'). Kata al baraj artinya 'yang tampak' dan pada saat
yang sama, ia berfungsi sebagai tempat bersandar untuk penjagaan. Oleh karena itu, ayat
ini memakai redaksi “gayra mutabarrijat bizinatin". Syarat yang ditetapkan adalah agar
pelakunya tidak bermaksud memperlihatkan selain kemaluan-perhiasannya yang
tersembunyi, dan hal ini sangat jelas terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat
banyak perempuan non aktif (al-mu'aqqidät), baik yang disebabkan oleh sakit ataupun
usia tua yang membutuhkan kamar mandi air panas atau perlu berjemur dengan sinar
matahari pagi demi kesehatan. Aktifitas ini mengkondisi kan mereka untuk
menanggalkan hampir seluruh pakaian yang mereka kenakan, sehingga menampakkan
tubuh mereka —selain bagian ke maluan (aurat berat) - di hadapan orang lain yang
merawat dan mem bantu mereka. Kondisi semacam ini berada pada wilayah prioritas
(tarjih), bukan masalah halal ataupun haram. Allah berfirman wa 'an yasta'fifna khairun

35
lahunna, dalam arti bahwa jika perempuan tersebut masih bisa berusaha agar tidak
memperlihatkan perhiasannya yang tersembunyi (daerah intim), maka hal itu lebih baik
bagi mereka.

Selanjutnya akan kami jelaskan di mana letak kesalahan tafsir tradisional terkait
dengan masalah pakaian perempuan. Jika kita men jadikan kondisi perempuan Arab yang
hidup di jazirah Arab sebelum turunnya al-Nur: 31 dan al-Ahzab 59 sebagai standar
kajian, maka kita mendapati hal-hal berikut:

a. Sebelum kedua ayat tersebut diturunkan, perempuan Arab tidak dalam kondisi
telanjang tanpa pakaian.

b. Laki-laki dan perempuan Arab mengenakan model baju yang bersifat lokal sesuai
kondisi dan kebiasaan yang berlaku dalam masayarakat mereka dan sesuai dengan
tingkat kualitas pakaian yang bisa dihasil kan. Nabi sendiri berpakaian seperti
kaumnya sehingga kebanyakan orang Arab yang pergi ke Madinah tidak dapat
membedakan antara Nabi dengan orang Arab yang lain, karena mereka mengenakan
model pakaian yang sama. Sampai-sampai mereka bertanya: "Siapa di antara kalian
adalah Muhammad?"

Demikian juga dengan perempuan Arab, pakaian mereka disesuai kan dengan
kebiasaan yang berlaku di tempat tersebut. Mereka terbiasa mengenakan baju panjang
dan memakai kerudung di atas kepala untuk melindunginya dari panas. Pakaian yang
dikenakan oleh perempuan Baduwi sekarang adalah pakaian yang juga dikenakan
oleh umm al miưminin, Khadijah (RA) yang wafat sebelum surat al-Nur dan al-
Ahzab diturunkan. Pakaian beliau adalah murni pakaian kedaerahan. Ketika ayat 31
surat al-Nür diturunkan, maka perempuan Arab mulai memper hatikan pakaian yang
biasa mereka kenakan. Mereka tidak mengubah sedikitpun bentuk pakaian mereka,
hanya saja mereka menyadari adanya kemungkinan terlihatnya bagian payudara
karena pakaian luar bagian depan mereka terbuka, maka mereka menutupi bagian
tersebut dengan kerudung dari atas kepala mereka, sedangkan daerah intim (al-juyub)
lainnya sudah tertutup dengan pakaian lokalnya. Hal inilah yang juga dilakukan oleh
Aisyah, umm al-mu'minin (RA) hingga hampir tak ada perbedaan antara pakaian

36
beliau dengan pakaian Khadijah (RA), khususnya yang terkait dengan tutup kepala
(al-khimar). Dari sini ter dapat pemahaman yang salah bahwa yang dimaksud dengan
al-juyub adalah bagian dada saja.

Oleh karena itu apa yang kita sebut sekaran dengan istilah "pakaian syariat"
sebenarnya ia adalah pakaian perempuan Arab mukminah dan Nasrani pada abad
ketujuh Masehi. Batas minimal pakaian perempuan mukminah dijelaskan dalam surat
al-Nur dan berlaku bagi seluruh perempuan mukminat di muka bumi, di mana saja,
dan kapan saja. Perempuan Arab mukminah hendaknya memperbaiki pemahaman
keliru tersebut yang dihasilkan oleh model analogi antara fenomena yang hadir,
berupa pakaian seluruh kaum muslimat di muka bumi pada setiap zaman dan tempat,
dengan fenomena yang telah hilang berupa pakaian kedaerahan perempuan Arab pada
abad ke tujuh masehi. Qiyas semacam ini yang disebut qiyas al-syahid ala al-ghaib
tidak bisa dibenarkan, kecuali jika kita memang menganggap bahwa perempuan Arab
sebelum di turunkannya surat al-Nur dan al-Ahzab dalam kondisi telanjang tanpa
pakaian. Anggapan ini tentu saja tidak benar Kita jangan mencampur adukkan antara
pakaian yang disyariatkan oleh Allah dalam kitab-Nya dengan model pakaian
kedaerahan yang berlaku dalam masyarakat Arab. Pencampuradukkan ini terjadi
secara nyata dalam kasus muncul. nya konsep pakaian syariat (al-libas al-syar'i),
sebuah kerancuan yang ditimbulkan oleh model analogi antara hadir dengan yang
tidak hadir. Demikianlah, bahkan hingga saat ini, kita hampir tidak bisa membeda kan
antara pakaian perempuan muslimat mukminat Arab dengan mus limat Nasrani yang
tinggal di Huran, daerah sebelah utara Syiria. Kedua nya mengenakan pakaian yang
sama, yaitu pakaian daerah tradisinal yang bersifat historis (al-ziyyu al-qaumi al-
tarikhi al-taqlidi).

c. Agar kita dapat memahami secara penuh dua ayat pada surat an-Nur dan surat al-
Ahzab, maka jangan membayangkan adanya perempuan yang sama sekali telanjang
lalu ingin masuk Islam. Pakaian seperti apa yang harus dipakainya!

d. Kita harus memahami bahwa perempuan mukminah di negara mana pun, hendaknya
mereka mengenakan pakaian yang sesuai dengan kebiasaan setempat dengan

37
berpegang pada ayat 31 al-Nur sebagai kewajiban syariat (faridlah) dan ayat 59 al-
Ahzab sebagai pengajaran (ta'lim), bukan sebagai penetapan hukum (tasyri')

e. Adapun terkait dengan berbagai pendapat fiqh yang melihat bahwa suara perempuan
adalah aurat menurut kami pendapat ini hanyalah dugaan palsu, karena pada masa
Nabi, perempuan menghadiri shalat Jum'at di Madinah, terkadang mereka juga
bertemu Nabi di jalanan dan menanyakan sesuatu kepada beliau dan beliaupun
menjawab pertanyaan tersebut. Selain itu, perlu dicatat bahwa aurat adalah masalah
yang terkait dengan rasa malu (al-haya) bukan masalah haram. Artinya jika sebuah
masyarakat menyukai suara perempuan dan tidak menganggapnya sebagai aib,
bahkan dalam bentuk nyanyian sekalipun, maka tak ada dosa sedikitpun dalam
masalah tersebut.

Ada sebagian orang yang mengatakan apakah para ahli fiqih tidak mengetahui
bahasa Arab dan kamilah yang mengetahuinya sekarang? Sesungguhnya kesalahan itu
tidak terletak pada bahasa, tetapi merupa kan kesalahan metodologis. Ketika para
ulama membaca ayat Q.S. al Nur: 31 dan Q.S. al-Ahzab: 59, pada saat yang sama
mereka juga mem baca hadis Nabi “kullu al-mar'ah awratun ma ada wajhiha wa
kaffayha" yang artinya: "Seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali wajah dan
telapak tangannya".

8. Hubungan Kekeluargaan Antara Laki-laki dan Perempuan Hubungan


kekeluargaan antara laki-laki dan perempuan dapat dibagi ke dalam dua kategori
utama:
a. Hubungan emosional atau yang bersifat perasaan. Hubungan ini berbentuk antara
lain, hubungan kasih sayang, cinta, loyalitas, dan komitmen antara lak-laki dan
perempuan. Dalam hal ini posisi laki laki adalah sebagai libas' bagai perempuan,
demikian juga perem puan adalah libas' bagi laki-laki. Terma al-libas berasal dari kata
labisa yang dalam bahasa Arab berarti percampuran dan intervensi [saling
mengurusi). Pengertian ini tersirat dalam firman Allah "Dihalalkan bagi kamu pada
malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri isteri kamu; mereka itu adalah
pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (hunna libāsullakum wa
antum libasullahunna)" [Q.S. al-Baqarah: 187). Hubungan cinta dan kasih sayang

38
merupakan hubungan yang saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan.
Keduanya sama-sama memiliki potensi perasaan dan kecenderungan yang sama, yang
satu tidak lebih istimewa dari yang lain. Kita harus memahami bahwa perempuan
bukan suatu barang yang dimiliki laki-laki, demikian juga sebaliknya.
b. Hubungan ekonomi yang terjalin secara obyektif dan konsekuensi hubungan sosial
yang terjadi dan tidak terpisah darinya. Hubungan seperti ini dijelaskan dalam firman-
Nya "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu,
maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatir kan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyu sahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka.

Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." [Q.S. al-
Nisã': 34]. Ayat ini dimulai dengan redaksi informatif "al-rijalu qawwamuna 'ala al-nisa".
Ayat ini menegaskan adanya hubungan yang bersifat obyektif antara laki-laki dan perem
puan, yakni bahwa laki-laki adalah qawwam yang mengandung arti guardian, penjaga,
dan pelindung bagi perempuan. Terma al-qaw. wamiyah ini diletakkan dalam konteks
suatu hubungan yang alami. universal antara menusia berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan, bukan dalam konteks yang eksklusif antara laki-laki yang beriman dan
perempuan yang beriman. Kita tidak menjumpai ayat yang menyatakan al-mu'minuna

39
qawwamuna 'ala al-mu'mimat. Oleh karena itu, informasi ini harus berlaku universal di
seluruh penjuru bumi. Dalam ayat ini disebutkan faktor-faktor yang menjadikan laki-laki
memiliki peran pelindung bagi perempuan. Jika faktor-faktor ini lenyap, lenyap pulalah
peran pelindung laki-laki atau jika faktor-faktor ini berpindah pada pihak perempuan,
beralih pulalah peran pelindung di atas pundak perempuan. Unsur-unsur pembentuk
faktor yang menjadikan laki-laki atau perempuan berperan sebagai pelindung adalah:

1) kekuatan fisik "bima faddlalallahu ba'dlahum 'ala badlin"


2) kekuatan finansial/ekonomi "wabima anfaqu min amwalihim".

Redaksi ayat yang menyatakan "ba’dlähum 'alad'dlim" mengandung pengertian


hubungan timbal balik, jika faktor ini beralih dari satu pihak ke pihak yang lain, peran
perlindungan juga akan mengikuti peralihan tersebut. Dengan kata lain, seluruh manusia,
baik laki-laki maupun perempuan, secara obyektif mampu memiliki faktor-faktor
tersebut. Hal ini dapat dijelaskan melalui dua perspektif berikut ini: kita dapat mengamati
dua perspektif yang saling berkebalikan. Dalam kondisi ketika pihak laki-laki (suami)
sakit, misalnya mengalami kebutaan atau cacat seumur hidup sehingga dalam kegiatan
sehar-hari ia sangat tergantung pada perawatan dari pihak perempuan (istri), maka dalam
kondisi ini secara jelas peran perlindungan "perintah dan larangan" beralih ke pun dak
istri. Jika seorang suami mememiliki penghasilan yang sangat sedikit, sementara istrinya
berpenghasilan jauh lebih besar sehingga mayoritas pengeluaran rumah tangga
ditanggung oleh istri, maka peran perli dungan telah diambil alih oleh sang istri. Bentuk
hubungan yang bersifat obyektif ini juga terjadi dalam urusan antar negara. Negara kaya
dan kuat cenderung memiliki peran superior atas negara miskin dan lemah. Hal ini dapat
dibuktikan dengan, misalnya, hak veto yang dimiliki lima negara adikuasa (Amerika,
Prancis, Cina, Inggris dan Rusia) dalam Dewan Keamanan PBB. Dengan hak veto, salah
satu dari lima negara tersebut dapat menyetujui atau menolak keputusan yang
dikeluarkan oleh Dewan Keamanan yang memiliki otoritas perlindungan al-qawwariyah'.

Ketika seorang istri berhasil meniti karir sehingga berpenghasilan besar dan ia
sanggup menghidupi keluarganya, ia menjadi pemimpin dan memegang peran
'qaurwaniyah' dalam bidang ekonomi keluarga. Semen tara sang suami, karena

40
keunggulan fisiknya, ia masih menjadi pemimpin dalam hal-hal yang membutuhkan
kekuatan fisik.

Dalam hal ini telah jelas bahwa hubungan yang bersifat obyektif dan konkret ini
dapat terjadi dalam masyarakat dengan dua wajah yang berbeda, yaitu hubungan saling
melengkapi dan hubungan timbal balik antara pihak laki-laki dan perempuan.

Keunggulan laki-laki atas perempuan yang disertai dengan penyebutan alasan-


alasannya dan posisi bagaimana hubungan sosial normatif antara laki-laki dan perempuan
dapat dibalik posisinya. Posisi perempuan dapat lebih kuat dibanding laki-laki, mengingat
bahwa ayat dimulai dengan penjelasan mutlak, yaitu dengan menyebutkan laki-laki dan
perempuan secara umum tanpa memperhatikan status keimanannya, baik mukmin
maupun kafir. Tetapi, ketika membalik posisi, Allah hanya menyebutkan perempuan
salihah saja, tidak menyebut perempuan secara umum. Perempuan salihah yang
mengambil peran qawwamiyah memiliki sifat-sifat terpuji sebagai berikut:

1) qanitat: terma al-qunut artinya ketenangan dan konsistensi yang terus dijaga. Allah
berfirman "waqumu lillahi qanitin""Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu'." [Q.S.al-Baqarah: 238], firman Allah tentang Maryam dan adalah dia
termasuk orang-orang yang ta'at." (wakanat minal qanitin) [Q.S. al-Tahrim: 12]
2) hafizāt, yaitu menjaga hal-hal yang dirahasiakan yang disuruh Allah untuk dijaga.
Perempuan salihah hendaknya menjaga rahasia-rahasia suami dan rumah tangganya
yang diperintahkan Allah untuk dijaga. la tidak boleh menjadikan hal-hal rahasia
tersebut sebagai bahan perbincangan umum, demikian juga laki-laki mukmin tidak
diboleh kan mengumbar hal-hal rahasia yang ada pada istri dan keluarganya. Jika
hubungan harmonis ini tidak tercipta antara suami dan istri yang akan timbul adalah
sikap pembangkangan nusyuz baik dari istri mau pun suami. Terma nusyuz berasal
dari kata nasyaza yang dalam bahasa Arab berarti penampakan, kesewenangan
[isti'la), dan kesombongan dari sisi sosial, dan berarti penyimpangan atau pemisahan
(syužuz) dari sisi seksual (jinsiyyah). Ketika salah satu pasangan menunjukkan sikap
nusyuz secara sosial pada pasangannya, cara penyelesaian per tama adalah dengan
pemberian nasehat, kemudian jika belum ber hasil, ditempuh jalan kedua, yaitu pisah
ranjang. Dua cara ini dilaku kan secara tertutup atau rahasia antara suami dan istri

41
saja. Jika dua cara tersebut gagal, barulah ditempuh cara ketiga, yakni wadlribuunna.
Hendaknya kita tidak memahami secara langsung kata kerja dlaraba dengan arti
memukul secara fisik sebagaimana dalam firman Allah "Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui per hiasan yang mereka sembunyikan" (wala
yadlribna biarjulihinna) [al- Nur: 31). Kata dlaraba dalam kalimat wadlribuhunna
memiliki kon teks makna 'membuat perumpamaan' (al-dharbu wa hamala 'alayhi)
sebagaimana dalam firman Allah dan Allah telah membuat suatu perumpamaan"
(wadlaraballahu masalan) (Q.S. al-Nahl: 112; al Zumar: 29; al-Tahrim: 10-11).

Ketika kita mengatakan dlaraba kita cenderung langsung mengarti kannya dengan
pengertian memukul secara fisik. Dalam bahasa Arab terdapat banyak variasi kata dengan
pengertian memukul secara fisik ini, seperti untuk memukul wajah' digunakan kata sakka.
Allah berfirman "Kemudian isterinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk
mukanya sendiri (fasakkat wajhaha) seraya berkata: "(Aku adalah) seorang perempuan
tua yang mandul"." [Q.S. al-Zäriyat: 29]. Untuk pemukulan pada dagu, digunakanlah kata
kerja latama, untuk pemukulan pada tengkuk digunakanlah kata safa'a, untuk pemukulan
menggunakan kaki, digunakan kata rakala atau rafasa. Ketika Musa membunuh seorang
laki-laki, Allah berfirman "lalu Musa meninju nya, dan matilah musuhnya itu"
(fawakazahu musa faqadla 'alayhi) [Q.S. al-Qasas: 15]. Dalam ayat ini Allah tidak
menggunakan redaksi fadlarabahu. Ketika Allah bertanya tentang tongkat Musa, Dia
berkata "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: "Ini adalah
tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku,
dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya." (wachussyya biha'ala ganami) IQ.S.
Taha: 17-18]. Orang Arab juga menggunakan kata kerja dlaraha dalam hal perekonomian,
seperti istilah darbu al-as'ar (penetapan kurs mata uang). Dari pengertian ini muncul kata
al-mudlarabah. Kita juga menggunakan arti ini dalam kalimat dlarabat al-dawlah al-
mutala ibin bil as'ar "negara mencekal para pemain kurs mata uang (valas)", dengan
pengertian bahwa negara mengambil memperketat dan membatasi gerak-gerik para
spekulan agar tidak melakukan transaksi keuangan yang merugikan negara. Dalam
konteks pengertian inilah kita dapat memahami redaksi wadlribihurna. Ketika kedua
usaha berupa nasehat dan pisah ranjang tidak membuahkan hasil, dilakukanlah solusi
yang terang-terangan yaitu salah satu pihak mengambil jarak satu sama lain agar satu

42
sama lain tidak dapat menyakiti secara sosial, karena pembangkangan salah satu pihak
akan menyakiti perasaan pihak lain. Meski hal tersebut ditempuh, keputusan talak belum
dijatuhkan. Tetapi perlu diingat bahwa ketika salah satu pihak sudah mengambil jarak
dengan yang lain, sementara tidak terjalin komunikasi yang efektif antara kedua nya,
terkadang hal ini dapat menyebabkan pada perceraian. Untuk menjelaskan kondisi ini,
ayat setelahnya berbunyi "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud meng. adakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal." IQ.S. al-Nisa': 35]. Ayat ini secara tepat menjelaskan
bahwa nusyuz dapat ditunjukkan oleh salah satu pihak, baik suami atau istri, dalam
konteks sosial bukan perilaku seksual (jinsiy). Dengan demikian, kata al-dlarb dapat
dipahami dengan pengertian 'posisi menjaga jarak secara terang-terangan', bukan dalam
pengertian memukul dengan tangan atau tongkat sebagaimana dipahami oleh sebagian
mufasir. Posisi pengambilan jarak ini terkadang mendorong pada jatuhnya talak. Dalam
kondisi ini Allah menyuruh kita untuk melakukan musyawarah atau perdamaian sebelum
talak d jatuhkan. Musyawarah ini ditempuh melalui jalur hukum, baik dari sisi suami
maupun istri yang dalam istilah modern disebut sebagai 'lembaga penasehat perkawinan".
Penempuhan jalur hukum seperti ini semakin banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang
bertikai, baik secara individu, kelembagaan, maupun pada tingkat negara dalam bidang
ekonomi dan ragam perjanjian lainnya.

Adapun nusyuz dengan arti penolakan hubungan seksual (syužuz jinsi) telah
dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz
atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." [Q.S. al-Nisa': 128].10

Sebagian orang bertanya-tanya: "Mengapa para hali fiqih terdahulu tidak


memiliki pendapat demikian? Kami tegaskan sekali lagi bahwa fiqih yang kita pelajari

43
adalah hasil interaksi Islam pada masa tertentu bukan hakekat Islam itu sendiri. Oleh
karena itu, pendapat para ahli fiqih adalah sesuai dengan masyarakat yang hidup pada
penggal sejarah ketika mereka hidup sesuai dengan tarap perkembangan masalah-
masalah sosial, ekonomi dan politik pada masa tersebut. Para ahli fiqih telah berusaha
keras berijtihad menemukan berbagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul pada
masyarakatnya. Kita harus menghargai usaha keras mereka. Dalam pembahasan tentang
"kerancuan fiqih Islam', kami telah menyebutkan bahwa masalah utama para ahli fiqih
klasik dalam membahas tema-tema perempuan terletak pada metodologi. Pertama,
mereka melakukan analogi hal hal yang konkret di hadapan mereka dengan sesuatu yang
sudah berlalu dan tidak lagi relevan dengan zaman mereka. Kedua, mereka belum
memiliki pemahaman yang komprehensif tentang konsep hudud.

9. Hak Bekerja

Secara syariat Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja di seluruh bidang
pekerjaan. Yang membatasi ruang gerak perempuan dalam dunia kerja adalah kondisi
obyektif dalam sejarah dan inilah yang sedang dihadapi oleh masyarakat Arab Islam
dalam sejarahnya selama ini. Para perempuan Arab telah berperan sebagai petugas
kesehatan dalam peperangan, sebagian terlihat dalam proses produksi makanan, seperti
memeras susu kambing dan onta atau pembuatan lemak dan susu. Sebagian lainnya
bekerja untuk mendapatkan upah dengan menyusui anak orang lain

Dalam konteks ini hendaknya kita memahami wilayah kerja perempuan sebagai
hasil interaksi dengan proses perkembangan sejarah, bukan dengan cara melakukan
analogi hal-hal yang ada saat ini dengan yang terjadi pada masa lalu. Karena syariat
Islam tidak melarang jenis jenis pekerjaan lainnya, yang membatasi ruang gerak
perempuan adalah kondisi yang menyejarah. Hanya ada dua bidang pekerjaan yang
dilarang Allah untuk dikerjakan perempuan, yakni pelacuran dan bertelanjang Sebagian
pihak menyatakan bahwa ada dua pengahalang bagi para wanita yang bekerja. Pertama,
dunia kerja meniscayakan bercampurnya antara laki-laki dan perempuan. Saya
berpendapat bahwa Islam tidak melarang perempuan untuk berinteraksi dan bergaul
dengan laki-laki, yang diperingatkan oleh Islam adalah berkumpulnya antara laki-laki dan
perempuan tanpa ada muhrim dalam sebuah ruangan tertutup, atau yang disebut sebagai

44
khulwah. Islam juga melarang seorang perempuan bepergian dengan seorang yang bukan
muhrimnya. Meski demikian, saya berpendapat bahwa larangan tersebut diletakkan
dalam konteks antisipasi terhadap tindakan-tindakan negatif.

Dalam konteks ini caya hendak mengaitkannya dengan masalah shalat Jumat.
Dalam al-Kitab tidak ada perintah yang benar-benar jelas terkait dengan shalat dan
keharusan untuk pergi mengerjakannya kecuali dalam shalat Jumat, yaitu dalam firman-
Nya "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada
hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggal kanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu menge tahui." (al-Jum'ah: 9). Pihak
yang dituju oleh ayat ini adalah laki-laki dan perempuan secara sejajar. Perempuan
Muslimah, sebagaimana laki laki Muslim hendaknya memiliki usaha yang sama kerasnya
untuk menunaikan shalat Jum'at baik dengan mengenakan penutup kepala atau tidak
sesuai dengan adat kebiasaan tempat tinggalnya. Dan hendak nya para Muslimah tersebut
tidak lagi menganggap bahwa shalat jumat adalah kewajiban yang hanya dimonopoli oleh
laki-laki saja.

Perhatikan firman Allah wazaru al-bai'. Saya berpendapat bahwa redaksi ini
ditujukan kepada laki-laki dan perempuan secara sejajar. Hendaknya kita dapat menerima
dan menjalankan perintah ini tanpa ada beban

Penghalang kedua: terdapat sejumlah pekerjaan yang karena tingkat kesulitannya


yang tinggi menjadikan perempuan sulit melaku kannya [misalnya, pekerjaan kasar di
pengeboran minyak, penambangan baru bara dan lain sebagainya, pent.). Sebagian
pekerjaan juga tidak cocok dengan sifat feminitas perempuan. Kenyataan ini dapat
dibenar kan, hanya saja pihak perempuan, melalui perusahaan tempatnya bekerja, berhak
menentukan sendiri sebatas apa dia melakukan pekerja annya dan bidang apa saja yang
cocok dan tidak cocok untuk dirinya. Kami tidak setuju jika keputusan pembatasan
wilayah pekerjaan perem puan dan penentuan cocok tidaknya sebuah pekerjaan dengan
sifat kewanitaan perempuan diserahkan sepenuhnya kepada pihak laki-laki secara umum,
khususnya para ulama terkemuka.

10. Hak Ikut Serta dalam Aktivitas Politik dan Penetapan Undang-undang

45
Sesungguhnya hak terlibat dalam aktivitas politik adalah hak pertama yang
diberikan Islam secara langsung kepada perempuan. Dalam usahanya untuk
membebaskan perempuan dari belenggu sistem pat riarkhis, Islam mengawalinya dengan
memberikan hak-hak politik ini. Perempuan memiliki hak dan kapasitas yang seimbang
dengan laki-laki dalam berpolitik. Sebagai contoh, dalam bidang teologi/akidah kita
mengenal saudara perempuan 'Umar bin Khattab, dalam bidang per lawanan secara
frontal kepada penguasa tiran, kita mengenal Sumayyah yang juga ikut hijrah menuju
Habasyah dan Yastrib, selain juga meng ikuti baiat Aqabah pertama dan kedua. Sebagian
pihak ada yang berkata: "Praktekkan Islam (dalam dunia politik) kemudian tanyakanlah
kepada perempuan apakah mereka ingin masuk dalam parlemen?" Saya berpen dapat
bahwa pertanyaan seperti inilah yang menjadi pusat kerancuan, karena permintaan yang
didahului aksi "penerapan Islam" ditujukan kepada siapa? Apakah khusus ditujukan
kepada pihak laki-laki kemudi an kita mengajukan pertanyaan kepada perempuan apakah
mereka mau terlibat ataukah tidak? Jika ungkapan ini hanya ditujukan kepada lelaki saja,
seakan-akan Islam adalah agama milik kaum lelaki! Jika kita meng. ajukan pertanyaan
tersebut kepada laki-laki dan perempuan, muncul pertanyaan berikutnya: Islam yang
seperti apa yang kalian kehendaki untuk kami terapkan? Apakah kalian hendak
menyajikan kepada kami Islam abad dua puluh? Ataukah kalian hendak menyajikan
Islam dalam kerangka klasik yang terkotak-kotak dalam Islam Sunni, Islam Syi'i,
Mu'tazilah, Khawarij, Ibadhiyah, Zaidiyah, dan kelompok serta madzab lainnya?

Jika kita hendak menerapkan Islam dalam konsepnya yang orisinal dan selalu
relevan dengan setiap ruang dan waktu kita harus menyajikan nya sebagai Islam yang
hadir pada zaman dan ruang kehidupan kita, lalu kita menyatakan kepada laki-laki dan
perempuan: "Inilah Islam yang orisinal sebagaimana terdapat dalam Sunnah dan Kitab
dan inilah yang kami pahami dalam konteks modem pada abad duapuluh". Dalam kon
disi ini laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki medan
pertempuran politik sejak awal. Bagaimana mungkin dalam kondisi seperti ini kita
menginginkan perempuan berjuang matian matian bersama laki-laki kemudian setelah itu
berkata kepada mereka: "Wahai perempuan kembalilah ke rumah kalian".

46
Sebagian pihak menya takan bahwa memang benar sebagian perempuan terlibat
dalam medan pertempuan politik bersama Nabi Saw, tetapi mereka tidak ikut terlibat
dalam menentukan hukum. Saya berpendapat bahwa perempuan pada saat itu tidak
terlibat dalam penentuan hukum karena pengaruh konteks sejarah yang 'memaksa' dan
membatasi ruang gerak mereka, bukan karena syariat Islam menghendaki yang demikian.
Dalam hal ini kita tidak berhak membandingkan atau menganalogikan realitas yang kita
hadapi saat ini dengan realitas perempuan dalam bidang sosial dan politik pada saat Nabi
hidup karena memang zamannya berbeda. Sebagian pihak ada yang menentang
keterlibatan politik perem puan dengan mendasarkan pada hadis Nabi, jika benar, bahwa
Nabi telah bersabda "Sebuah kaum tidak akan berjaya jika mereka diperintah oleh
seorang perempuan". Seandainya hadis ini sahih, tidak pada tempatnya kita
menjadikannya dasar sebagai penolakan keterlibatan perempuan dalam politik, karena
hadis ini merupakan komentar atau tanggapan Nabi pada sebuah peristiwa tertentu, yaitu
ketika salah seorang sahabat memberikan informasi kepada Nabi perihal kematian raja
Romawi yang kemudian diganti oleh putrinya. Nabi memberikan komentar "lan yufliha
qaumun walau amarahum imra'atun". Seandainyapun sahih, hadis ini tidak dapat
dipahami sebagai bagian dari syariat atau ajaran yang berlaku ahadi. Hadis ini hanyalah
sebatas komentar atas suatu peristiwa yang bersifat kasuistik yang tidak termasuk dalam
batasan-batasan hukum, akhlak, maupun ibadah. Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat
dijadikan dasar pengambilan hukum seperti kaidah "im sahha al-hadiš fahuwa mazhabi"
(jika sebuah hadis berkualitas sahih, maka saya berpegang padanya), Yang perlu
dipertimbangkan adalah bahwa hadis ini adalah hadis yang bersifat kasuistik. Lain
daripada itu, kita menjumpai dalam al-Qur'an bahwa Allah menyebutkan kisah seorang
ratu yang adil, yaitu ratu Saba'. Ketika kita membaca kisah ratu Saba' dalam al-Qur'an
kita tidak men jumpai adanya pengingkaran atas kekuasaan dan kepemimpinannya atas
kaumnya. Yang ditentang dalam kisah tersebut adalah keimanan ratu Saba dan kaumnya
yang menyembah matahari sebagai pengganti Allah. Sulaiman menentang penyembahan
ini. Hal ini dapat kita jumpai secara jelas dalam firman-Nya "Aku mendapati dia dan
kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka
meman dang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan
(Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk," [Q.S. al-Naml: 24]. Ratu Saba'

47
memimpin secara demokratis dengan mengedepankan musyawarah dan dengar pendapat
sebagaimana dijelaskan dalam firman Nya "Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar
berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu
persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku)." [Q.S. al-Naml: 32] "Mereka
menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki
keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu, maka
pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan." [Q.S. al-Naml: 33]. "Dia berkata:
"Sesungguhnya raja raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka
membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian
pulalah yang akan mereka perbuat." IQ.S. al-Naml: 34]

Seorang peneliti perempuan Maroko telah menulis sebuah buku khusus tentang
posisi perempuan dalam politik dan leigislasi hukum Islam dengan judul "al-harim al-
Siyasi" [Perempuan Politik). Dalam buku yang ditulis dalam bahasa Prancis ini, penulis
membahas secara detil hadis di atas dan berhasil membuktikan bahwa hadis tersebut
adalah hadis kasuistik 'manfaridah, sedangkan salah satu perawinya adalah Abu Bakrah
yang ditengarai pernah melakukan persaksian palsu dalam masa 'Umar bin Khattab
tentang peristiwa zina yang dituduhkan pada al-Mugirah bin Syu'bah. Sisi periwayatan
ini menunjukkan bahwa pada dasarnya hadis ini adalah palsu. Namun saya berpendapat
seandainyapun hadis ini sahih dari Nabi Saw, hadis ini bukan sebagai penetapan hukum
yang berlaku sepanjang waktu dan di setiap tempat, karena hadis ini hanyalah komentar
pribadi Nabi. Perempuan Muslimah hendaknya menyadari bahwa mereka memiliki hak
untuk memilih dan dipilih dan bahkan berhak merebut puncak kekuasaan dalam sebuah
negara Islam. Mereka juga berhak untuk mengikuti shalat Jumat bersama Muslim laki-
laki dan terlibat dalam urusan eksekutif dan legislatif. Untuk itu mereka harus berusaha
meningkatkan keahlian dan pengetahuan mereka.

11. Ikatan Pernikahan

Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk melaku kan ikatan
pernikahan. Ikatan pernikahan dapat diajukan oleh laki-laki atau perempuan. Oleh karena
itu, ikatan perkawinan harus diungkap kan secara terang-terangan atas dasar kehormatan
('ismah). Jika ikatan pernikahan ini belum diputus resmi, pihak laki-laki dan perempuan

48
masih terikat oleh kehormatannya masing-masing. Ikatan pernikahan tidak sah sebelum
diadakan ijab dan qahul, adanya persaksian, dan mahar. Allah berfirman "Dan janganlah
kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya" [Q.S. al-
Baqarah: 235] dalam redaksi "ta'zimu uqdatun nikah" kita dapati bahwa setelah kata
'azam langsung disambung dengan terma uqdatun nikah. Pengertiannya adalah bahwa
nikah harus didahului oleh niat yang kuat 'azam], Allah berfirman "Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad (faiża 'azamta), maka bertawakkallah kepada Allah" [Q.S.
Ali 'Imran: 159]. Niat hendaknya langsung diiringi dengan perbuatan. Dalam ikatan
pernikahan perempuan berhak menyatakan apa yang diinginkannya. Ikatan nikah adalah
hukum perjanjian antara dua pihak, laki-laki dan perempuan.

Sampai di sini kita perlu memahami masalah wali nikah. Jika perempuan
Muslimah masih di bawah umur atau belum baligh menurut hukum, maka ia tidak boleh
menikah sebelum mendapatkan izin dan persetujuan dari walinya. Tetapi jika ia sudah
dewasa, dengan ukuran kedewasaan yang diserahkan pada batasan tiap-tiap daerah atau
negara, misalnya sudah berusia 21 tahun, maka ia berhak menikahkan dirinya sendiri
tanpa campur tangan dari walinya. Karena batasan yang disyarat kan al-Kitab dalam
pernikahan Islami adalah ijab, qabul, persaksian, dan mahar. Inilah syarat yang dapat
diterima oleh seluruh masyarakat di muka bumi yang diwujudkan dalam undang-undang
pernikahan yang resmi. Sebenarnya dalam Islam tidak ada pemilahan antara nikah syar'i
dan nikah resmi, keduanya hakekatnya adalah satu. Karena syarat-syarat ikatan
pernikahan dalam Islam termasuk bagian dari batas-batas hukum Allah

12. Perceraian

Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sejajar untuk meng. ajukan
perceraian. Mengingat pentingnya hal ini, perceraian yang hanya disampaikan secara
lisan dianggap tidak sah. Jika seorang suami berkata kepada istrinya "Aku menceraikan
kamu", ucapan ini tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali karena perceraian
dinyatakan sah jika hanya dilakukan di hadapan pengadilan. Jika perceraian diajukan oleh
pihak laki-laki, ada kemungkinan pihak perempuan mengajukan rujuk atau menolak
untuk kembali sama sekali. Adapun jika tuntutan cerai berasal dari pihak perempuan,
pihak laki-laki hanya dapat menolaknya jika sang perempuan dalam keadaan hamil.

49
Karena laki-laki memiliki otoritas lebih besar dalam hal kehamilan ini. Jika tuntutan cerai
berasal dari laki-laki atau perempuan, dan terbukti bahwa sang perempuan hamil, dalam
hal ini pihak laki-laki memiliki otoritas pertimbangan yang lebih diutamakan daripada
perempuan, Allah berfirman "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahim nya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
IQ.S. al-Baqarah: 228]. Jika perem puan penuntut cerai terbukti hamil dan suaminya
bermaksud membatal kan tuntutan tersebut, tanpa mempertimbangkan siapa penuntut
cerai, pihak laki-laki berhak mengambil keputusan tanpa melibatkan pendapat pihak
perempuan. Dari sisi inilah laki-laki memiliki hak pendapat lebih besar dari perempuan.
Keistemewaan ini disebabkan adanya hubungan darah yang terjalin melalui janin yang
dikandung perempuan yang dapat mengubah posisi mereka berdua (dari sekedar suami-
istri menjadi bapak ibu pada saat masa cerai.

Dalam kondisi perceraian yang sudah final dari laki-laki kepada perempuan, sang
laki-laki tidak boleh menikahi kembali mantan istrinya sebelum sang istri pernah dinikahi
oleh laki-laki lain. Sebagian ahli fiqih modern menyalahgunakan kaidah ini, mengingat
bahwa kaidah ini adalah hal yang sangat rawan dan menegaskan bahwa perceraian adalah
pilihan yang sangat berat bukan sekedar pemisahan hubungan suami istri dalam jangka
waktu tertentu.

Maksud dari iddah adalah melepaskan tanggungjawab dan kasih sayang


sebagaimana firman Allah "wa ahsu al-'iddata" [Q.S. al-Talaq: 1]. Dalam pembahasan
terdahulu saya sudah menjelaskan konsep 'iddah ini. Masa 'iddah bagi seorang janda
adalah empat bulan sepuluh hari, batasan iddahnya berupa larangan untuk menikah atau
merencanakan pernikah an. Adapun keharusan untuk selalu berdiam di rumah atau
membatasi pergaulan dengan laki-laki adalah bagian dari konstruk sosial yang berubah
dan berbeda dari waktu ke waktu. Adapun masalah ganti rugi bagi perempuan yang

50
dicerai, Allah tidak membatasi jumlah dan besar nya. Hal ini diserahkan sepenuhnya
kepada kesepakatan pihak yang bercerai. Kecuali jika penuntut cerai terbukti melakukan
tindakan asusila pihak laki-laki tidak berhak mencegah perempuan untuk menikah dan
memaksanya untuk melepaskan hak ganti rugi ur cuknya. Penentu hukum harus
mempertimbangkan secara matang tentang hal ini. Perceraian yang dilakukan secara
sepihak tanpa kehadiran salah satu pasangan dianggap tidak sah. Pengadilan tidak berhak
menolak tuntuan cerai dari perem puan kecuali jika ia hamil, sedangkan sang suami tidak
menghendaki perceraian tersebut. Selain hal tersebut, hak perempuan sama dengan laki-
laki. Berdasarkan pemahaman ini kami merekomendasikan peng kajian ulang terhadap
hal-hal berikut ini: rumah tangga yang patuh, nafkah yang sangat kecil, poligami,
perceraian sepihak (talaq ta'assuf), dan laki-laki yang mempersulit tuntutan cerai
perempuan dan memaksa nya untuk melepaskan hak-haknya. Landasan pemikiran kami
adalah firman Allah "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusah kan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak." [Q.S. al-Nisa': 19]

13. Hubungan Antara Laki-laki dan Perempuan Dalam Islam hubungan antara laki-
laki dan perempuan dapat dilihat dari dua tataran perspektif yang saling
berlawanan:

Tataran pertama: wilayah batas-batas hukum Allah 'halal-haram yang telah


ditentukan oleh Allah ta'ala, yaitu batasan zina. Zina adalah hubungan seksual secara
langsung antara lak-laki dan perempuan tanpa ada ikatan pernikahan. Dalam al-Kitab,
zina juga disebut dengan istilah fahisyah. Fokus pembahasan kita di sini adalah zina.
Allah menyejajarkan zina ini dengan tema pembunuhan [bunuh diri] dalam dua Wilayah
pertama adalah penetapan hukum (tasyri') yang terwujud dalam bentuk uqubat' atau
batas-batas sangsi hukum pada zina dan pembunuhan. Wilayah kedua adalah moral
(akhlaqi], dengan memper timbangkan bahwa tema pembunuhan dan zina ini termasuk

51
bagian dari pilar-pilar moral (wasaya). Manusia beradab memilih untuk tidak me lakukan
zina dan pembunuhan bukan hanya karena ancaman hukuman tetapi lebih karena
terdorong oleh kesadaran diri sebagai manusia yang berakhlak. Mengingat bahwa
hubungan seksual tanpa ikatan nikah zina' adalah batas maksimal hubungan antara laki-
laki dan perempuan, al-Kitab melihatnya dari dua perspektif. Pertama, hubungan seksual
antara laki-laki dan perempuan tanpa ada yang menyaksikan di tempat tertutup. Dalam
kondisi ini, masyarakat tidak berhak campur tangan menjatuhkan hukuman apapun
karena adanya faktor kesangsian dan keraguan (takham) untuk membuktikannya. Dalam
hal ini yang berperan adalah hubungan antara pelaku zina dan Tuhannya. Jika ia benar-
benar bertaubat, Allah tentu akan menerima taubat-Nya karena Allah selalu membuka
pintu taubat-Nya. Hubungan antara perilaku negatif manusia dan Tuhan berpangkal dari
maksiat dan berujung pada taubat, sementara balasan yang diberikan Allah kepada
manusia adalah kasih sayang dan ampunan. Perspektif kedua: hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan secara terang-terangan. Allah memberikan batasan sejauh mana
keterus terangan ini dilakukan, yaitu dengan adanya empat saksi yang dapat dipercaya
yang menyaksikan peristiwa tersebut dengan mata kepala mereka sendiri. Bagi yang
sudah menikah, pembuktian perselingkuhan atau pengkhianatan ikatan perkawinan
dilakukan dengan kesaksian salah satu pasangan yang memberikan empat kesaksian atau
sumpah. Dalam kondisi ini terdapat hubungan taubah dan ampunan antara hamba dan
Tuhannya dan hubungan antara pezina dan masyarakat. Untuk hukuman perbuatan ini
Allah telah menetapkan batasan berupa 100 cambukan tanpa ditambah atau dikurangi.
Dalam kondisi peng. akuan dari pelaku tanpa adanya saksi, Nabi berusaha untuk tidak
mem berlakukan hukuman tersebut mengingat adanya faktor yang meragu kan. Dalam
konteks pengkhianatan hubungan suami istri, kesaksian salah satu pasangan sudah
dianggap cukup karena sepadan dengan empat persaksian. Jika persaksian tersebut palsu,
sang pelapor telah menyadari bahwa ia akan mendapatkan siksa, yaitu hukuman dengan
persaksian kelima. Dalam hal ini yang berperan adalah hubungan antara hamba dan
Tuhannya.

Dalam hal ini kita dapat lebih memahami mengapa Islam sangat menekankan agar
perbuatan keji fahisyah' tersebut tidak diumbar dan dinyatakan secara terus-terang, pada
saat yang sama Islam juga mencegah manusia agar tidak memberikan kesaksian palsu

52
yang dapat menghancurkan kehormatan orang lain atau melayangkan tuduhan tanpa bukti
yang nyata.

Tataran kedua: hubungan yang berimbarg antara laki-laki dan perempuan tanpa
adanya hubungan seksual. Allah menyerahkan kepada manusia untuk membuat batasan
dan norma-norma interaksi model hubungan ini. Tiap negara/wilayah memiliki batasan-
batasannya sendiri yang berkembang dan berubah dari waktu ke waktu dan berbeda
antara negara yang satu dengan negara yang lain. Nabi saw menegaskan bahwa setiap
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak menjurus pada hubungan seksual
(intercourse) 'tidak termasuk zina', sedangkan setiap hubungan yang berakhir pada
hubungan seksual (tanpa ikatan nikah, pent.] maka ia adalah zina, dari awal hingga akhir
karena "ke- lamin akan membenarkan atau mendustakan perbuatan tersebut".

Sebagian pihak ada yang bertanya: Mengapa Nabi tidak pernah menyalami
perempuan, sementara pada saat yang sama beliau bersabda: "Kelamin akan
membenarkan atau mendustakan perbuatan tersebut"? Saya berpendapat bahwa Nabi
hendak menegaskan pada manusia bahwa alat kelamin akan menjadi saksi yang
membenarkan atau men dustakan perbutan zina. Pada saat yang sama, beliau bermaksud
mene tapkan batasan bagi dirinya sendiri dalam kapasitas beliau sebagai seorang Nabi,
Rasul, dan pemimpin negara. Kita ambil contoh dalam konteks seseorang yang
mengemban jabatan tertinggi dalam suatu negara. Negara negara maju, seperti Rusia,
Inggris, atau Prancis, masing-masing telah menetapkan norma hubungan antara laki-laki
dan perempuan menurut standar normatif mereka. Di antaranya, mereka masih dapat
menerima perzinahan yang dilakukan secara tertutup, tetapi tetap menolak per zinahan
yang dilakukan secara terang-terangan. Baik adat istiadat atau undang-undang tidak
mengatur atau membatasi hubungan 'gelap' ini. Tetapi ketika salah seorang warga negara
[laki-laki) yang telah beristri hendak mencalonkan diri sebagai presiden misalnya,
kemudian terbukti bahwa ia melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain, maka
hukum akan membatalkan pencalonannya karena seorang kepala negara harus terhindar
dari perbuatan tidak senonoh tersebut.

Dalam hal ini, Nabi mengedepankan kepribadiannya sebagai seorang kepala


negara yang harus menjaga kehormatan dan nama baik nya agar diikuti oleh para

53
pengikutnya, khususnya yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Orang
yang menduduki posisi penting dalam suatu negara akan menjadi sorotan banyak pihak,
segala tindak tanduknya akan dinilai dan diperbincangkan publik. Demikian juga dengan
para pendamping orang-orang penting tersebut, mereka ber kewajiban memposisikan diri
mereka sebagai perempuan terhormat yang harus menjaga sikap dan kehormatannya
bukan seperti perempuan kebanyakan. Berdasarkan pemahaman ini kita dapat lebih
menangkap pesan Allah yang menegaskan bahwa para istri Nabi adalah perempuan yang
berbeda dari perempuan kebanyakan "Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik [Q.S.al-Ahzab: 32]. Islam telah meletakkan dasar yang
sangat penting dalam bentuk modern dan dapat diberlakukan secara universal, yaitu
tekanan khusus tentang pentingnya menjaga kepribadian dan kehormatan diri, khususnya
bagi orang-orang dan pasangan mereka yang menduduki posisi penting dalam
masyarakat.

PENERAPAN KONSEP BATAS HUKUM TUHAN (HUDUD)

PADA HAK-HAK PEREMPUAN MUSLIMAH

Dalam pemikiran Islam sering dijumpai pelbagai slogan semacam "Islam cocok untuk
segala ruang dan waktu" dan "Islam adalah solusi". Pada saat yang sama, kita memiliki sejumlah
masalah kontemporer yang serius seperti HAM, demokrasi, perwakilan rakyat, dan hak
perempuan. Untuk memecahkan masalah ini, kita perlu menengok sejumlah kecenderungan yang
dihadapi dunia Arab Muslim saat ini, yaitu:

1. Salah satu pendekatan Islam didasarkan pada hukum Arab Islam yang dipandu dengan
slogan "Islam adalah solusi" dan "kemutlakan hukum Tuhan." Pendekatan ini memakai
prinsip teori hukum Islam (usul figh) klasik yang perkembangannya telah mandeg sejak
akhir abad ke 3 dan ke 4 H. Bagaimanapun juga, pendekatan ini tak bisa me mecahkan
masalah modern seperti demokrasi. Pendekatan ini meng. asumsikan bahwa perempuan

54
telah mendapatkan hak mereka semasa kehidupan Nabi Saw. Oleh karena itu, ide baru
apapun seperti hak perempuan untuk pergi sendirian, mengikuti mode berpakaian, atau hak
untuk bersuara dan dipilih dalam pemilu sama sekali tidak ter sentuh. Sayangnya, model
hukum tradisional seperti ini tidak menye diakan solusi mendasar apapun bagi masalah
modern karena ia hanya terpusat pada konteks masa lalu.
2. Pendekatan liberal berpendapat bahwa seluruh isu kebebasan dan demokrasi, hak asasi
manusia secara umum, dan hak perempuan secara khusus, telah dipecahkan oleh banyak
bangsa melalui pengalaman dan kekuatan akal manusia. Pendekatan ini memisahkan urusan
agama dari masyarakat demi menciptakan negara sekuler. Pendekatan ini meletakkan akal
dan pengalaman manusia sebagai buah ciptaan masyarakat sipil yang menjadi tempat
bersemainya hak perempuan. Pendekatan ini memiliki hubungan erat dengan Islam, karena
Islam adalah pusat kekuatan normatif bagi masyarakat Arab yang menye diakan pelbagai
standar nilai termasuk nilai-nilai politik. Namun perlu diingat bahwa bangsa yang hidup di
Timur Tengah (negara-negara Arab-Islam) selama berabad-abad-dan berlanjut hingga
sekarang telah hidup di bawah tekanan politik. Perempuan juga menjadi sasaran penindasan
politik dan sosial yang ditopang oleh pemahaman tradisional terhadap hukum Islam. Oleh
karena itu, ketetapan hukum dengan pendekatan liberal ini tidak membantu memecahkan
masa lah-masalah tersebut di atas. Jika kita ingin setia pada kredo 'Islam adalah solusi' kita
harus membentuk teori hukum dan teologi Islam baru yang memberikan ruang pada
pluralitas, hak asasi manusia, demokrasi, penentuan nasib sendiri, dan membersihkan
masyarakat dari paham fatalisme (jabbariyah).

Untuk melakukan niat ini, saya telah berusaha membuat pembaca an kontemporer
terhadap Kitab Suci. Untuk memulai pembacaan ini saya sudah memisahkan antara Islam
dan Islamisasi. Islam adalah seperti yang ada dalam Kitab Suci, yang bersifat ilahiah dan
abadi, dan kita tidak membutuhkan Islam baru. Sementara, islamisasi adalah tindakan
manusia yang mewujudkan Islam dalam realitas, sehingga Islamisasi selalu dibatasi oleh
kekuatan sejarah dan batas-batas geografi. Setelah abad pertama sejarah Islam, prinsip
Islamisasi diciptakan oleh ahli hukum Arab Islam, yaitu berupa Ushul Fiqih dan Ilmu
Kalam. Hanya saja, kita perlu me mahami bahwa kedua prinsip tersebut dibuat di bawah
tekanan kekuasaan politik. Oleh karena itu, cukup sulit dan hampir mustahil mendapatkan
dalam ushul fiqih, baik dari versi Sunni maupun Shi'ah, tempat bagi konsep seperti

55
konstitusi, hak publik, dan hak perempuan. Sekarang ini, dunia Timur Tengah sedang
menghadapi pelabagi isu baru seperti perundang-undangan, pluralisme, masyarakat sipil,
demokrasi, oposisi, hak asasi manusia, dan hak perempuan. Problemnya adalah bagaimana
konsep seperti ini dikenalkan dalam pemikiran Islam dan membuat ruang bagi konsep
kontemporer dalam Islam. Ini adalah apa yang saya sebut sebagai 'Islamisasi baru' atau apa
yang dapat saya sebut sebagai pembacaan kontemporer terhadap Kitab Suci. Untuk kerja
pembacaan kontemporer ini saya menggunakan perspektif dari teori fiqih baru yang
menyediakan ruang dialog dan ijtihad untuk menghasilkan pelbagai konsep tentang hak
perempuan, seperti dalam hal poligami, jilbab, hak untuk ikut serta dalam kegiatan ekonomi
dan sosial, pengasuhan anak, hak politik dan lain-lain.

Salah satu point krusial dalam pendekatan ini adalah perlunya pembedaan antara al-
Kitab dan al-Qur'an yang secara mendasar meng haruskan pembedaan antara kenabian
(nubuwwah) dan kerasulan (risalah) dan antara fungsi Muhammad sebagai Rasul dan sebagai
Nabi. Sebagai Nabi, Muhammad menerima informasi terkait dengan tema-tema ke nabian,
seperti penciptaan manusia dan alam. Sebagai Rasul, dia menerima sebuah kumpulan aturan
hukum. Tegasnya, fungsi Muhammad sebagai Nabi mengajarkan hal-hal yang bersifat
keagamaan, sementara fungsinya sebagai Rasul mengajarkan hal-hal yang terkait dengan
hukum. Informasi kenabian secara tekstual sangat kompleks dan mungkin ditafsirkan secara
beragam. Bagian inilah yang disebut sebagai al-Qur'an. Pada sisi lain, subyek hukum bersifat
univocal, meski demikian bagian ini menerima proses ijtihad. Bagian inilah yang disebut
sebagai al-Kitab. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara ijtihad pada ayat hukum dan
penakwilan pada ayat al-Qur'an. Ijtihad dilakukan pada isu-isu hukum seperti poligami dan
waris, sedangkan takwil diterapkan pada pelbagai isu seperti penciptaan alam dan manusia.

Untuk menegakkan ide bahwa Islam sesuai dengan seluruh ruang dan waktu dan
dapat menerima pluralisme dalam strukturnya, saya mengenalkan teori hukum baru yang
saya sebut sebagai teori batas, yaitu batas-batas hukum Tuhan (hudud). Teori ini akan
menampung campur tangan hukum buatan manusia. Teori batas dapat dijelaskan sebagai
berikut: ketetapan ilahi yang diungkapkan dalam al-Kitāb dan Sunnah berbentuk batasan
maksimal atau minimal yang mencakup seluruh tindakan manusia dan fenomena alam.
Dalam batas-batas ini, hukum yang dibuat manusia memiliki ruang pengakuan.

56
Jika kita melihat pada ayat-ayat al-Kitab kita mendapatkan enam teori batas, yaitu:

a. Batas minimal, contohnya adalah Q.S. al-Nisa': 22-23.

"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perem puan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua)al-Zikr anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika mu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri isteri anak kandungmu (menantu)al-Žikr
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."

Ayat ini menjelaskan pengharaman nikah atas perempuan yang termasuk kategori
ibu, saudara perempuan, bibi, dan lain-lain sebagai mana tersebut dalam ayat. Menikahi
perempuan di luar kategori tersebut diperbolehkan

b. Batas maksimal. Contoh batasan ini adalah Q.S. al-Ma'idah: 38. "Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." Dalam ayat ini hukuman yang diajukan mewakili batasan maksimal yang
tidak boleh dilampaui. Bagaimanapun, hukuman dapat ditentukan secara variatif sesuai
dengan kondisi obyektif yang ada. Khususnya adalah tanggungjawab bagi lembaga
semacam parlemen untuk menentukan jenis pencuri yang dapat diberi hukuman
maksimal atau yang berhak diberi hukuman lebih ringan dari pada hukuman potong
tangan. Dalam kasus lain, hukuman mati juga diperhitungkan sebagai batasan maksimal

57
yang diterima dalam Islam. Kekuasaan legislatif dapat menentukan hukum melalui
referendum, parlemen dalam batas yang ditentukan Allah.
c. Batas ketiga berupa batas maksimal dan minimal sekaligus. Contoh dari batas ini adalah
warisan sebagaimana disebut dalam Q.S.al-Nisa': 11-12.
Ayat 11 yakni Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat 12 yakni “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi

58
mudharat (kepada ahli waris). (Allah mene tapkan yang demikian itu sebagai syari'at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Pesan utama dari ayat ini adalah bahwa bagian satu laki-laki sebanding dengan
dua perempuan. Dan jika ada perempuan lebih dari dua, maka mereka berhak mendapat
2/3 bagian. Jika hanya ada satu maka mendapat setengah. Sebagian ayat 11 ini berisi
hukum umum waris, yang secara matematis menggambarkan rumus hiperbola.
Kelanjutan ayat 11 dan 12 adalah batas minimal dan maksimal bagi pewaris dari kalangan
orangtua, istri dan suami. Jika kita perhatikan, ternyata seluruh kasus yang sibut dalam
ayat ini mencakup seluruh kasus yang terjadi di dunia.

d. Batas keempat adalah ketika batas maksimal dan minimal berhimpit satu sama lain.
Dalam al-Kitab dan Sunah hanya ada satu ayat yang mewakili batas ini, yaitu Q.S. al-
Nur: 2. "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
men cegah kamu untuk menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan
hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman." Dalam ayat ini, batas maksimal dan minimal berada pada
satu titik, yaitu seratus dera. Ini adalah satu-satunya kasus dalam hukum Islam
menyediakan ruang gerak bagi kita untuk berijtihad. yang tidak
e. Tipe kelima batas hukum Tuhan adalah garis lengkung (para bola) yang bergerak di
antara batas maksimal dan minimal tanpa ada persentuhan dengan keduanya. Hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan menjelaskan tipe ini. Berawal dari satu titik di
atas garis batas minimal, di mana dua jenis kelamin tidak saling bersentuhan, garis
lengkung terus naik mengarah pada batas maksimal di mana mereka hampir melakukan
tahap perzinahan (hubungan seksual) tapi tahap ini belum sampai terjadi. Dari tipe batas
Tuhan ini kita dapat menyimpulkan bahwa dalam masyarakat yang memisahkan secara
tegas ruang antara laki-laki dan perempuan, kasus ini berada di luar batas minimal.
Dalam masyarakat di mana perzinahan sudah umum terjadi, kasus ini menyentuh batas
maksimal. Ketika laki-laki dan perempuan bekerja bersama di pabrik atau di kantor atau
belajar besama di universitas, maka hal demikian dapat diterima secara Islam. Hal itu
juga tergantung pada perkembangan sosial pada masyarakat itu sendiri dan Islam tidak

59
perlu dipertentangkan dengan hal tersebut. Diskusi ini membawa kita untuk
mendiskusikan tentang pakaian perempuan (hijab).
f. Tipe keenam batas hukum Tuhan adalah di mana legislasi bergerak antara batas maksimal
positif dan batas minimal negatif. Tran saksi keuangan menggambarkan konsistensi tipe
ini. Batas maksimal diwakili oleh pembayaran zakat. Karena batas ini mengandung dua
batas, yaitu maksimal yang berada di daerah positif dan batas minimal yang berada di
daerah negatif, maka di antara dua batas ini ada satu titik yang bernilai netral (nol).
Contoh dari posisi tengah ini adalah pinjaman tanpa bunga. Tipe ini memiliki tiga kasus:
(a) batas minimal berupa pem bayaran zakat pada orang miskin yang tidak mampu
melunasi hutang, yakni memberi uang tanpa harapan dibayar kembali; (b) posisi netral,
ketika pinjaman diberikan tanpa bunga; dan (c) posisi batas maksimal, yaitu pemberian
pinjaman dengan bunga, tetapi besaran bunga tidak boleh lebih besar dari 100% bagi
semua periode peminjaman (untuk jangka waktu tak terbatas).

Ada yang bertanya mengapa konsep tentang batas ini baru ditemukan sekarang
dan tak ada seorang ahli hukum pun yang menge nalkannya bahkan pada masa
Rasulullah. Jawabannya kita dapatkan dalam al-Qur'an itu sendiri, yaitu pada ayat yang
menjelaskan bahwa Arab Baduwi adalah sangat primitif dan tidak mampu memahami
batasan Tuhan. Q.S. al-Tawbah: 97 "Orang-orang Arab Baduwi itu, lebih sangat kekafiran
dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan
Allah kepada Rasul-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." Oleh karena
itu, kita saat ini lebih siap dalam memahami ayat-ayat al-Kitab, khususnya terkait dengan
batas hukum Tuhan.

Berdasarkan teori batas ini kita dapat mengkaji masalah poligami dan hijab.
Namun, sebelum membicarakan poligami saya perlu menye butkan hal-hal berikut ini:

Poligami dapat dilihat sebagai suatu masalah sosial yang timbul dalam rentang
perkembangan sejarah masyarakat tertentu dimana kesadaran perempuan masih lemah.
Kondisi seperti inilah yang terjadi di dunia Arab ketika Rasulullah hidup. Apa yang
dialami perempuan pada masa Rasulullah adalah sebuah awal pembebasan perempuan
dan ini sangat jelas ketika Islam datang dan mulai membebaskan para budak. Karenanya,
kebebasan perempuan dan budak harus berlanjut setelah kematian beliau Saw.

60
Pemahaman ini juga berlaku pada masalah hijab yang menjadikan pakaian
tradisional perempuan Arab pada abad ke-7 sebagai standarnya. Di sini kita melihat
bagaimana paradigma abad ketujuh membatasi dan menghalangi perkembangan visi
pemahaman masa depan. Tindakan poligami tidak lagi menjadi pilihan utama pada
masyarakat modern. Poligami sebenarnya bisa memicu kondisi yang lebih berbahaya dan
menindas bagi perempuan, karena keadilan dalam poligami sangat sulit dicapai diantara
dua istri. Argumen semacam ini juga didukung oleh tokoh pembaharu Islam seperti M.
Abduh. Poligami yang didasarkan pada teori batas dapat kita pahami dari ayat tentang
poligami dari al Kitab. Kita mulai dari Q.S. al-Nisa : 2-3.

“2. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka
bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah
dosa yang besar.”

“3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ada dua tipe batas yang tercantum dalam ayat ini, yaitu batas kuantitatif dan
kualitatif. Dari sisi jumlah, batas minimalnya adalah menikahi seorang istri, sementara
batas maksimalnya empat istri. Pe mahaman inilah yang dipegang oleh kaum Muslim
selama ini. Padahal aspek kualitatif dari ayat ini juga sangat penting untuk mewujudkan
pemahaman yang sempurna. Pertanyaannya yang tidak pernah ditanya kan perempuan
seperti apakah yang dimaksudkan oleh ayat ini? Apakah ayat ini menyebutkan terma
'perempuan' yang mencakup semua kategori perempuan tanpa pengecualian? Secara
tekstual, generalisasi pemahaman terhadap ayat ini tidak dapat dibenarkan. Petikan ayat,
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim" tidak dapat dipisahkan dari petikan ayat selanjutnya, "maka kawinilah wanita-
wanita...". Dalam konteks ini, Tuhan menyebutkan pembolehan poligami dimulai dari
istri kedua, ketiga, dan keempat dan tidak menyebut istri pertama. Sehingga, secara

61
kualitatif istri pertama tidak termasuk kategori perempuan yang dipoli gami. Fakta yang
dapat dipahami dari teks adalah bahwa perempuan yang dimaksudkan adalah perempuan
yang memiliki anak yatim' atau 'ibu janda dengan anaknya yang yatim'. Dan ini adalah
satu-satunya peng. hubung antara bagian pertama ayat dan ayat yang terkait dengan anak
yatim. Sementara, bagian kedua terkait dengan menikahi perempuan kedua, ketiga, dan
keempat. Jika tidak dipahami demikian, ayat akan kehilangan artinya karena anak yatim
dalam istilah Arab-Qur'an berarti seorang anak yang kehilangan ayahnya dan masih
berada pada usia belum baligh. Sehingga, ibunya pastilah seorang janda yang relatif
masih muda. Kami memahami bahwa pembolehan untuk menikahi perem puan kedua,
ketiga dan keempat adalah dengan syarat bahwa wanita tersebut memiliki anak-anak yang
masih kecil. Inilah pesan keseluruhan dari pembolehan ini.

Selain istri pertama, yang mungkin bukan seorang janda, dan anak anaknya, istri
lainnya beserta anak-anak mereka adalah juga menjadi tanggungjawab sang suami. Kata
Al-Kitab tentang 'berbuat adil harus dilihat sebagai perlakuan adil suami terhadap anak-
anaknya, baik dari istri pertama maupun dari istri dan anak-anaknya yang dibawa ke
dalam pernikahan. Al-Kitab menegaskan agar seorang laki-laki hanya menikahi satu
orang perempuan jika ia tidak mampu berbuat adil pada anak-anak yatim yang menjadi
anaknya dan pada ibu-ibu mereka. Kalimat terakhir pada Q.S. al-Nisa' ayat 3 menegaskan
bahwa menegakkan keadilan itu sangatlah sulit dilakukan, baik secara ekonomi maupun
yang lain, khusus nya ketika begitu banyak anak dalam sebuah rumah tangga. Karena itu
kita memahami bahwa al-Kitab mendorong laki-laki hartawan dan dermawan untuk
menikahi para janda yang memiliki anak. Karena cara ini merupakan cara efektif untuk
mengasuh dan merawat anak yatim. Kita bayangkan akan banyak janda yang hidup pasca
perang. Al-Kitab juga membebaskan laki-laki untuk membuat mahar. Selama mereka
menjadikan perawatan yang layak pada anak yatim. Perhatikan Q.S. al Nisa': 127 dan
129-130.

“127. Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-
Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan
kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka

62
dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu mengurus anak anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan,
Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.”

“129. Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“130. Jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-
masingnya dari limpahan karunia-Nya. dan adalah Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi
Maha Bijaksana.”

Tegasnya, Q.S. al-Nisa' ini tidak mendesak para suami untuk menerapkan
keadilan sempurna pada para istrinya yang janda ini. Allah menyatakan bahwa tidak
mungkin berbuat adil terhadap para istri dan oleh karena itu, tindakan adil secara
sempurna tidak dituntut karena memang tujuan menikahi janda adalah berbuat adil pada
anak yatim.

Selanjutnya kita membahas tentang hijab atau pakaian yang pantas dipakai
perempuan. Isu bagaimana perempuan berpakaian disebut dalam Q.S. 24:31 dan 33: 59.

Q.S. al-Nur: 31

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka me nahan


pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedada nya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki
laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap

63
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita dan janganlah
mereka memu kulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung.

Q.S. al-Ahzab: 59.

Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan mu dan isteri-


isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu
mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.

Q.S. al-Nur: 31 menyatakan batas minimal dari pakaian perempuan dan


Rasulullah menyatakan bahwa memperlihatkan wajah dan tangan adalah batas maksimal
berpakaian. Q.S. al-Ahzab: 59 memberikan aturan bagaimana perempuan bergerak di
antara batas-batas tersebut. Batas minimal menyatakan bahwa tubuh perempuan dapat
ditampakkan dalam dua cara: (1) bagian tubuh yang tidak tampak secara alamiah. Batas
maksimal berpakaian adalah yang hanya memperlihatkan wajah dan tangan. Untuk
pakaian yang pantas dipakai di jalan, tempat kerja, pertemuan dan sebagainya, Q.S. al-
Ahzab ayat 59 mencakup kondisi ini, di mana ayat menyatakan bahwa perempuan
hendaknya berpakaian dengan cara atau model yang diterima secara sosial tanpa
bertentangan dengan kebiasaan dan norma sosial. Pada saat yang sama, pakaian harus
berada pada batas hukum Tuhan. Batasan ini menyatakan bahwa ber telanjang merupakan
pelanggaran terhadap batas minimal hukum Tuhan dan menutup seluruh tubuh termasuk
wajah dan tangan adalah termasuk keluar dari batasan maksimal hukum rasulullah. Oleh
karena itu, mayo ritas perempuan dunia sudah berpakaian dengan cara yang berada di
dalam batas-batas tersebut. Sementara, Q.S. al-Nur: 31 menyatakan bahwa batasan
pekerjaan bagi perempuan ada dua, yaitu bahwa dua pekerjaan yang diharamkan Allah
adalah prostitusi dan pertunjukan telanjang.

Pada aspek inilah kami melihat letak kesalahan para ahli fiqih tradisional karena
mereka tidak memahami posisi penting teori batas hukum Tuhan ini (hudud). Hal ini

64
diakibatkan tingkat perkembangan Sosial dalam rentang sejarah pada masa itu dan bukan
karena kelemahan kecerdasan. Sebagai contoh, dalam pertandingan sepakbola ada dua
tim yang bermain di antara dua garis tepi, tetapi mereka tidak bermain tepat di atas garis
tersebut. Kesulitan pada ahli fiqih tradisional adalah bahwa mereka hanya
memperhatikan garis batas tersebut, tetapi mengabaikan permainan yang berkembang di
tengah lapangan. Pada saat yang sama, mereka mengklaim bahwa Islam cocok untuk
seluruh waktu dan tempat. Kita dapat dengan mudah membayangkan berapa banyak
kemungkinan yang dapat dimainkan 22 pemain di lapangan. Jawabannya adalah jutaan
kemungkinan. Demikianlah, di dalam batas-batas hukum Tuhan kita dapat menentukan
jutaan hukum dan membuat jutaan keputusan hukum dan semuanya dapat diterima oleh
Islam. Terkait dengan hal ini, legislasi dapat ditentukan oleh otoritas lembaga hukum
manusia yang dalam istilah modern disebut dengan parlemen. Oleh karena itu, dalam
negara Islam modern, seharusnya model fatwa diganti dengan referendum dan komite
fatwa (seperti majlis ulama) diganti dengan parlemen.

65

Anda mungkin juga menyukai