Anda di halaman 1dari 17

GERAKAN KERJASAMA DAN INTRUMEN INTERNASIONAL

PENCEGAHAN KORUPSI

A.  Gerakan Organisasi Internasional


1.         Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)
Setiap 5 (lima) tahun, secara regular Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations) menyelenggarakan Kongres tentang Pencegahan Kejahatan dan
Perlakuan terhadap Penjahat atau sering disebut United Nation Congress on
Prevention on Crime and Treatment of Offenders. Pada kesempatan pertama,
Kongres ini diadakan di Geneva pada tahun 1955. Sampai saat ini kongres PBB
ini telah terselenggara 12 kali. Kongres yang ke-12 diadakan di Salvador pada
bulan April 2010. Dalam Kongres PBB ke-10 yang diadakan di Vienna (Austria)
pada tahun 2000, isu mengenai Korupsi menjadi topik pembahasan yang utama.
Dalam introduksi di bawah tema International Cooperation in Combating
Transnational Crime: New Challenges in the Twenty-first Century dinyatakan
bahwa tema korupsi telah lama menjadi prioritas pembahasan. Untuk itu the
United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute (UNICRI)
telah dipercaya untuk menyelenggarakan berbagai macam workshop dalam
rangka mempersiapkan bahan-bahan dalam rangka penyelenggaraan Kongres
PBB ke-10 yang diadakan di Vienna tersebut.
Dalam resolusi 54/128 of 17 December 1999, di bawah judul “Action
against Corruption”,  Majelis Umum PBB menegaskan perlunya pengembangan
strategi global melawan korupsi dan mengundang negara-negara anggota PBB
untuk melakukan review terhadap seluruh kebijakan serta peraturan perundang-
undangan domestik masing-masing negara untuk mencegah dan melakukan
kontrol terhadap korupsi. Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan
pendekatan multi-disiplin (multi-disciplinary approach) dengan memberikan
penekanan pada aspek dan dampak buruk dari korupsi dalam berbagai level atau
tingkat. Pemberantasan juga dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan
pencegahan korupsi baik tingkat nasional maupun internasional, mengembangkan
cara atau praktek pencegahan serta memberikan contoh pencegahan korupsi yang
efektif di berbagai negara. Beragam rekomendasi baik untuk pemerintah, aparat
penegak hukum, parlemen (DPR), sektor privat dan masyarakat sipil (civil-
society) juga dikembangkan.
Pelibatan lembaga-lembaga donor yang potensial dapat membantu
pemberantasan korupsi harus pula terus ditingkatkan. Perhatian perlu diberikan
pada cara-cara yang efektif untuk meningkatkan resiko korupsi atau meningkatkan
kemudahan menangkap seseorang yang melakukan korupsi.
Semuanya harus disertai dengan perilakusebagaiberikutini :
a. Kemauan politik yang kuat dari pemerintah (strong political will).
b. Adanya keseimbangan kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan
peradilan.
c. Pemberdayaaan masyarakat sipil.
d. Adanya media yang bebas dan independen yang dapat memberikan akses
informasi pada publik.
Dalam Global Program against Corruption dijelaskan bahwa korupsi
dapat diklasifikasi dalam berbagai tingkatan. Sebagai contoh korupsi dapat
dibedakan menjadi petty corruption, survival corruption, dan grand corruption.
Dengan ungkapan lain penyebab korupsi dibedakan menjadi corruption by
need, by greed dan by chance. Korupsi dapat pula dibedakan
menjadi ‘episodic’ dan ‘systemic’ corruption. Masyarakat Eropa menggunakan
istilah ‘simple’ and ‘complex’ corruption. Menurut tingkatan atau level-nya
korupsi juga dibedakan menjadi street, business dan top political and financial
corruption. Dalam membahas isu korupsi, perhatian juga perlu ditekankan pada
proses supply dan demand, karena korupsi melibatkan setidaknya 2 (dua) pihak.
Ada pihak yang menawarkan pembayaran atau menyuap untuk misalnya
mendapatkan pelayanan yang lebih baik atau untuk mendapatkan kontrak dan
pihak yang disuap. Dinyatakan dalam Kongres PBB ke-10 bahwa perhatian perlu
ditekankan pada apa yang dinamakan Top-Level Corruption. Berikut dapat dilihat
pernyataan tersebut:
Top-level corruption is often controlled by hidden networks and represents
the sum of various levels and types of irregular behavior, including abuse of
power, conflict of interest, extortion, nepotism, tribalism, fraud and corruption. It
is the most dangerous type of corruption and the one that causes the most serious
damage to the country or countries involved. In developing countries, such
corruption may undermine economic development through a number of related
factors: the misuse or waste of international aid; unfinished development
projects; discovery and replacement of corrupt politicians, leading to political
instability; and living standards remaining below the country’s potential (Tenth
United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders, Vienna, 10-17 April 2000).
Melihat pernyataan di atas, masyarakat internasional menganggap
bahwa top-level corruption adalah jenis atau tipe korupsi yang paling berbahaya.
Kerusakan yang sangat besar dalam suatu negara dapat terjadi karena jenis
korupsi ini. Ia tersembunyi dalam suatunetwork atau jejaring yang tidak terlihat
secara kasat mata yang meliputi penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan,
pemerasan, nepotisme, tribalisme, penipuan dan korupsi.
Tipe korupsi yang demikian sangat mempengaruhi perkembangan
ekonomi suatu negara, terutama negara berkembang. Dalam realita, di beberapa
negara berkembang, bantuan-bantuan yang diperoleh dari donor internasional
berpotensi untuk dikorupsi misalnya tidak selesainya atau tidak sesuainya proyek
yang dilakukan dengan dana dari donor internasional. Akibat korupsi, standar
hidup masyarakat di negara-negara berkembang juga sangat rendah.

2.         Bank Dunia (World Bank)


Setelah tahun 1997, tingkat korupsi menjadi salah satu pertimbangan atau
prakondisi dari bank dunia (baik World Bank maupun IMF) memberikan
pinjaman untuk negara-negara berkembang. Untuk keperluan ini, World Bank
Institute mengembangkan Anti-Corruption Core Program yang bertujuan untuk
menanamkan awareness mengenai korupsi dan pelibatan masyarakat sipil untuk
pemberantasan korupsi, termasuk menyediakan sarana bagi negara-negara
berkembang untuk mengembangkan rencana aksi nasional untuk memberantas
korupsi.
Program yang dikembangkan oleh Bank Dunia didasarkan pada premis
bahwa untuk memberantas korupsi secara efektif, perlu dibangun tanggung jawab
bersama berbagai lembaga dalam masyarakat. Lembaga-lembaga yang harus
dilibatkan diantaranya pemerintah, parlemen, lembaga hukum, lembaga pelayanan
umum, watchdog institution  seperti public-auditor  dan lembaga atau komisi
pemberantasan korupsi, masyarakat sipil, media dan lembaga internasional
(Haarhuis : 2005).
Oleh Bank Dunia, pendekatan untuk melaksanakan program anti korupsi
dibedakan menjadi 2 (dua) yakni (Haarhuis : 2005), pendekatan dari
bawah (bottom-up) dan pendekatan dari atas (top-down).
Pendekatan dari bawah berangkat dari 5 (lima) asumsi yakni :
a. Semakin luas pemahaman atau pandangan mengenai permasalahan yang
ada, semakin mudah untuk meningkatkan awareness untuk memberantas
korupsi.
b. Network atau jejaring yang baik yang dibuat oleh world bank akan lebih
membantu pemerintah dan masyarakat sipil (civil society). Untuk itu perlu
dikembangkan rasa saling percaya serta memberdayakan modal
sosial (social capital) dari masyarakat.
c. Perlu penyediaan data mengenai efesiensi dan efektifitas pelayanan
pemerintah melalui corruption diagnostics. Dengan penyediaan data dan
pengetahuan yang luas mengenai problem korupsi, reformasi
administratif-politis dapat disusun secara lebih baik. Penyediaan data ini
juga dapat membantu masyarakat mengerti bahaya serta akibat buruk dari
korupsi.
d. Pelatihan-pelatihan yang diberikan, yang diambil dari toolbox  yang
disediakan oleh world bank dapat membantu mempercepat pemberantasan
korupsi. Bahan-bahan yang ada dalam toolbox harus dipilih sendiri oleh
negara di mana diadakan pelatihan, karena harus menyesuaikan dengan
kondisi masing-masing negara.
e. Rencana aksi pendahuluan yang dipilih atau dikonstruksi sendiri oleh
negara peserta, diharapkan akan memiliki trickle-down effect dalam arti
masyarakat mengetahui pentingnya pemberantasan korupsi.
Untuk pendekatan dari atas atau top-down  dilakukan dengan
melaksanakan reformasi di segala bidang baik hukum, politik, ekonomi maupun
administrasi pemeritahan. Corruption is a symptom of a weak state and weak
institution (Haarhuis : 2005), sehingga harus ditangani dengan cara melakukan
reformasi di segala bidang. Pendidikan Anti Korupsi adalah salah satu strategi
atau pendekatan bottom-up yang dikembangkan oleh World Bank untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi.

3.         OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development)


Setelah ditemuinya kegagalan dalam kesepakatan pada konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada sekitar tahun 1970-an, OECD, didukung
oleh PBB mengambil langkah baru untuk memerangi korupsi di tingkat
internasional. Sebuah badan pekerja atau working group on Bribery in
International Business Transaction didirikan pada tahun 1989.
Pada awalnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan OECD hanya melakukan
perbandingan atau me-review konsep, hukum dan aturan di berbagai negara dalam
berbagai bidang tidak hanya hukum pidana, tetapi juga masalah perdata, keuangan
dan perdagangan serta hukum administrasi. Pada tahun 1997, Convention on
Bribery of Foreign Public Official in International Business Transaction disetujui.
Tujuan dikeluarkannya instrumen ini adalah untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana suap dalam transaksi bisnis internasional. Konvensi ini
menghimbau negara-negara untuk mengembangkan aturan hukum, termasuk
hukuman (pidana) bagi para pelaku serta kerjasama internasional untuk mencegah
tindak pidana suap dalam bidang ini.
Salah satu kelemahan dari konvensi ini adalah hanya mengaturapa yang
disebut dengan ’active bribery’, ia tidak mengatur pihak yang pasif atau ’pihak
penerima’ dalam tindak pidana suap. Padahal dalam banyak kesempatan, justru
mereka inilah yang aktif berperan dan memaksa para penyuap untuk memberikan
sesuatu.
4.         Masyarakat Uni Eropa
Di negara-negara Uni Eropa, gerakan pemberantasan korupsi secara
internasional dimulai pada sekitar tahun 1996. Tahun 1997, the Council of Europe
Program against Corruption menerima kesepakatan politik untuk memberantas
korupsi dengan menjadikan isu ini sebagai agenda prioritas. Pemberantasan ini
dilakukan dengan pendekatan serta pengertian bahwa: karena korupsi mempunyai
banyak wajah dan merupakan masalah yang kompleks dan rumit, maka
pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan multi-disiplin;
monitoring yang efektif, dilakukan dengan kesungguhan dan komprehensif serta
diperlukan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum (de Vel and Csonka :
2002).
Pada tahun 1997, komisi menteri-menteri negara-negara Eropa
mengadopsi 20 Guiding Principles untuk memberantas korupsi, dengan
mengidentifikasi area-area yang rawan korupsi dan meningkatkan cara-cara
efektif dan strategi pemberantasannya. Pada tahun 1998 dibentuk GRECO
atau the Group of States against Corruption yang bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas negara anggota memberantas korupsi. Selanjutnya negara-negara Uni
Eropa mengadopsi the Criminal Law Convention on Corruption, the Civil Law
Convention on Corruption dan Model Code of Conduct for Public Officials.
B.  Gerakan Lembaga Swadaya Internasional (INTERNATIONAL NGOs)
1.         Transparency International
Transparency International (TI) adalah sebuah organisasi internasional
non-pemerintah yang memantau dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian
mengenai korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan korupsi politik di tingkat
internasional. Setiap tahunnya TI menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi serta
daftar perbandingan korupsi di negara-negara di seluruh dunia.
TI berkantor pusat di Berlin, Jerman, didirikan pada sekitar bulan Mei
1993 melalui inisiatif Peter Eigen, seorang mantan direktur regional Bank
Dunia (World Bank). Pada tahun 1995, TI mengembangkan Indeks Persepsi
Korupsi (Corruption Perception Index). CPI membuat peringkat tentang
prevalensi korupsi di berbagai negara, berdasarkan survei yang dilakukan
terhadap pelaku bisnis dan opini masyarakat yang diterbitkan setiap tahun dan
dilakukan hampir di 200 negara di dunia. CPI disusun dengan memberi nilai
atau score pada negara-negara mengenai tingkat korupsi dengan range nilai antara
1-10. Nilai 10 adalah nilai yang tertinggi dan terbaik sedangkan semakin rendah
nilainya, negara dianggap atau ditempatkan sebagai negara-negara yang tinggi
angka korupsinya.
2.         TIRI (Making Integrity Work)
TIRI (Making Integrity Work) adalah sebuah organisasi independen
internasional non-pemerintah yang memiliki head-office di London, United
Kingdom dan memiliki kantor perwakilan di beberapa negara termasuk Jakarta.
TIRI didirikan dengan keyakinan bahwa dengan integritas, kesempatan besar
untuk perbaikan dalam pembangunan berkelanjutan dan merata di seluruh dunia
akan dapat tercapai.
Misi dariTIRI adalah memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang
adil dan berkelanjutan dengan mendukung pengembangan integritas di seluruh
dunia. TIRI berperan sebagai katalis dan inkubator untuk inovasi baru dan
pengembangan jaringan. Organisasi ini bekerja dengan pemerintah, kalangan
bisnis, akademisi dan masyarakat sipil, melakukan sharing keahlian dan wawasan
untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan praktis yang diperlukan
untuk mengatasi korupsi dan mempromosikan integritas.
TIRI memfokuskan perhatiannya pada pencarian hubungan sebab akibat
antara kemiskinan dan tata pemerintahan yang buruk. Selain di Jakarta, TIRI
memiliki kantor perwakilan di Jerusalem, dan Ramallah, juga memiliki pekerja
tetap yang berkedudukan di Amman, Bishkek, Nairobi and Yerevan.
Salah satu program yang dilakukan TIRI adalah dengan membuat jejaring
denga universitas untuk mengembangkan kurikulum Pendidikan Integritas
dan/atau Pendidikan Anti Korupsi di perguruan tinggi. Jaringan ini di Indonesia
disingkat dengan nama I-IEN yang kepanjangannya adalah Indonesian-Integrity
Education Network. TIRI berkeyakinan bahwa dengan mengembangkan
kurikulum Pendidikan Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi, mahasiswa
dapat mengetahui bahaya laten korupsi bagi masa depan bangsa.

C.      Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi


1.         United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Salah satu instrumen internasional yang sangat penting dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah United Nations Convention
against Corruption yang telah ditandatangani oleh lebih dari 140 negara.
Penandatanganan pertama kali dilakukan di konvensi internasional yang
diselenggarakan di Mérida, Yucatán, Mexico, pada tanggal 31 Oktober 2003.
Beberapa hal penting yang diatur dalam konvensi adalah :
a. Masalah pencegahan
Tindak pidana korupsi dapat diberantas melalui Badan Peradilan. Salah
satu hal yang terpenting dan utama adalah masalah pencegahan korupsi. Bab yang
terpenting dalam konvensi didedikasikan untuk pencegahan korupsi dengan sektor
publik maupun sektor privat (swasta). Salah satunya dengan mengembangkan
model kebijakan preventif seperti :
 Pembentukan badan anti-korupsidanpeningkatan transparansi dalam
pembiayaan kampanye untuk pemilu dan partai politik;
 Promosi terhadap efisiensi dan transparansi pelayanan publik;
 Rekrutmen atau penerimaan pelayan publik (pegawai negeri) dilakukan
berdasarkan prestasi;
 Adanya kode etik yang ditujukan bagi pelayan publik (pegawai negeri)
dan mereka harus tunduk pada kode etik tsb.;
 Transparansi dan akuntabilitas keuangan publik;
 Penerapan tindakan indisipliner dan pidana bagi pegawai negeri yang
korupsi.
 Dibuatnya persyaratan-persyaratan khusus terutama pada sektor publik
yang sangat rawan seperti badan peradilan dan sektor pengadaan publik;
 Promosi dan pemberlakuan standar pelayanan publik;
 Untuk pencegahan korupsi yang efektif, perlu upaya dan keikutsertaan dari
seluruh komponen masyarakat;
 Seruan kepada negara-negara untuk secara aktif mempromosikan
keterlibatan organisasi non-pemerintah (lsm/ngos) yang berbasis masyarakat,
serta unsur-unsur lain dari civil society;
 Peningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness) terhadap korupsi
termasuk dampak buruk korupsi serta hal-hal yang dapat dilakukan oleh
masyarakat yang mengetahui telah terjadi tp korupsi.

b. Kriminalisasi
Hal penting lain yang diatur dalam konvensi adalah mengenai
kewajiban negara untuk mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi termasuk
mengembangkan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan
hukuman (pidana) untuk berbagai tindak pidana korupsi.
Hal ini ditujukan untuk negara-negara yang belum
mengembangkan aturan ini dalam hukum domestik di negaranya.
Perbuatan yang dikriminalisasi tidak terbatas hanya pada tindak pidana
penyuapan dan penggelapan dana publik, tetapi juga dalam bidang
perdagangan, termasuk penyembunyian dan pencucian uang (money
laundring)  hasil korupsi. Konvensi juga menitikberatkan pada
kriminalisasi korupsi yang terjadi di sektor swasta.
c. Kerjasama internasional
Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi
adalah salah satu hal yang diatur dalam konvensi. Negara-negara yang
menandatangani konvensi ini bersepakat untuk bekerja sama dengan satu
sama lain dalam setiap langkah pemberantasan korupsi, termasuk
melakukan pencegahan, investigasi dan melakukan penuntutan terhadap
pelaku korupsi.
Negara-negara yang menandatangani Konvensi juga bersepakat
untuk memberikan bantuan hukum timbal balik dalam mengumpulkan
bukti untuk digunakan di pengadilan serta untuk mengekstradisi
pelanggar. Negara-negara juga diharuskan untuk melakukan langkah-
langkah yang akan mendukung penelusuran, penyitaan dan pembekuan
hasil tindak pidana korupsi.
d. Pengembalian aset-aset hasil korupsi.
Salah satu prinsip dasar dalam konvensi adalah kerjasama dalam
pengembalian aset-aset hasil korupsi terutama yang dilarikan dan
disimpan di negara lain. Hal ini merupakan isu penting bagi negara-
negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat tinggi. Kekayaan
nasional yang telah dijarah oleh para koruptor harus dapat dikembalikan
karena untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi, terutama di
negara-negara berkembang, diperlukan sumber daya serta modal yang
sangat besar.
Modal ini dapat diperoleh dengan pengembalian kekayaan negara
yang diperoleh dari hasil korupsi. Untuk itu negara-negara yang
menandatangani konvensi harus menyediakan aturan-aturan serta
prosedur guna mengembalikan kekayaan tersebut, termasuk aturan dan
prosedur yang menyangkut hukum dan rahasia perbankan.
Berikut beberapa konferensi internasional dalam konteks
implementasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang
telah diselenggarakan dan dihadiri oleh berbagai negara di dunia :
 The Conference of the States Parties to the United Nations Convention
against Corruption (Amman, 10-14 December 2006), the first session.
 The Conference of the States Parties to the United Nations Convention
against Corruption (Nusa Dua, Indonesia, 28 January-1 February
2008), the second session.
 The Conference of the States Parties to the United Nations Convention
against Corruption (Doha, 9-13 November 2009), the third session.
 Untuk Conference of the States Parties to the United Nations
Convention against Corruption  sesi ke-empat akan diselenggarakan di
Marrakech, 24-28 October 2011.

2.         Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business


Transaction
Convention on Bribery of Foreign Public Official in International
Business Transaction adalah sebuah konvensi internasional yang dipelopori oleh
OECD. Konvensi Anti Suap ini menetapkan standar-standar hukum yang
mengikat (legally binding) negara-negara peserta untuk mengkriminalisasi pejabat
publik asing yang menerima suap (bribe) dalam transaksi bisnis internasional.
Konvensi ini juga memberikan standar-standar atau langkah-langkah yang
terkait yang harus dijalankan oleh negara perserta sehingga isi konvensi akan
dijalankan oleh negara-negara peserta secara efektif. Convention on Bribery of
Foreign Public Official in International Business Transaction  adalah konvensi
internasional pertama dan satu-satunya instrumen anti korupsi yang memfokuskan
diri pada sisi ‘supply’ dari tindak pidana suap. Ada 34 negara anggota OECD dan
empat negara non-anggota yakni Argentina, Brasil, Bulgaria dan Afrika Selatan
yang telah meratifikasi dan mengadopsi konvensi internasional ini.
D.      Pencegahan Korupsi Belajar Dari Negara Lain
India adalah salah satu negara demokratis yang dapat dianggap cukup
sukses memerangi korupsi. Meskipun korupsi masih cukup banyak ditemui, dari
daftar peringkat negara-negara yang disurvey  oleh Transparency
Internasional (TI), India menempati ranking lebih baik daripada Indonesia. Pada
tahun 2005, dari survey yang dilakukan oleh TI, 62% rakyat India percaya bahwa
korupsi benar-benar ada dan bahkan terasa dan dialami sendiri oleh masyarakat
yang di-survey. Di India, Polisi menduduki ranking pertama untuk lembaga yang
terkorup diikuti oleh Pengadilan dan Lembaga Pertanahan. Dari survey TI, pada
tahun 2007, India menempati peringkat 72 (sama kedudukannya dengan China
dan Brazil).
Pada tahun yang sama, negara tetangga India seperti Srilangka menempati
peringkat 94, Pakistan peringkat 138 dan Bangladesh peringkat 162. Pada tahun
2007 tersebut, Indonesia menempati nomor 143 bersama-sama dengan Gambia,
Rusia dan Togo dari 180 negara yang di-survey. Peringkat yang cukup buruk jika
dibandingkan dengan India yang sama-sama negara berkembang.Oleh Krishna K.
Tummala dinyatakan bahwa secara teoretis korupsi yang bersifat endemik banyak
terjadi di negara yang masih berkembang atau Less Developed Countries (LDCs)
(Tummala : 2009) yang disebabkan karena beberapa hal yakni :
It is theorized that corruption is endemic in for various reasons: unequal access
to, and disproportionate distribution of wealth among the rich and the poor;
public employment as the only, or primary, source of income; fast changing norms
and the inability to correspond personal life patterns with public obligations and
expectations; access to power points accorded by state controls on many aspects
of private lives; poor, or absent, mechanisms to enforce anti-corruption laws;
general degradation of morality, or amoral life styles; lack of community sense,
and so on.
Dengan mendasarkan pada pernyataan tersebut, Tummala dalam konteks
India, memaparkan beberapa hal yang menurutnya penting untuk dianalisis yang
menyebabkan korupsi sulit untuk diberantas (Tummala: 2009) yaitu :
Ada 2 (dua) alasan mengapa seseorang melakukan korupsi, alasan tersebut
adalah kebutuhan (need) dan keserakahan (greed). Untuk menjawab alasan
kebutuhan, maka salah satu cara adalah dengan menaikkan gaji atau pendapatan
pegawai pemerintah. Namun cara demikian juga tidak terlalu efektif, karena
menurutnya keserakahan sudah diterima sebagai bagian dari kebiasaan
masyarakat.
Menurutnya greed is a part of prevailing cultural norms, and it becomes a
habit when no stigma is attached. Mengutip dari the Santhanam Committee ia
menyatakan bahwa : in the long run, the fight against corruption will succeed
only to the extent to which a favourable social climate is created.
Dengan demikian iklim sosial untuk memberantas korupsi harus terus
dikembangkan dengan memberi stigma yang buruk pada korupsi atau perilaku
koruptif.
1. Materi hukum, peraturan perundang-undangan, regulasi atau kebijakan
negara cenderung berpotensi koruptif, sering tidak dijalankan atau
dijalankan dengan tebang pilih, dan dalam beberapa kasus hanya
digunakan untuk tujuan balas dendam. Peraturan perundang-undangan
hanya sekedar menjadi huruf mati yang tidak memiliki roh sama sekali.
2. Minimnya role-models  atau pemimpin yang dapat dijadikan panutan dan
kurangnya political will dari pemerintah untuk memerangi korupsi.
3. Kurangnya langkah-langkah konkret pemberantasan korupsi.
4. Lambatnya mekanisme investigasi dan pemeriksaan pengadilan sehingga
diperlukan lembaga netral yang independen untuk memberantas korupsi.
5. Salah satu unsur yang krusial dalam pemberantasan korupsi adalah
perilaku sosial yang toleran terhadap korupsi. Sulit memang untuk
memformulasi perilaku seperti kejujuran dalam peraturan perundang-
undangan. Kesulitan ini bertambah karena sebanyak apapun berbagai
perilaku diatur dalam undang-undang, tidak akan banyak menolong
selama masyarakat masih bersikap lunak dan toleran terhadap korupsi.
Kiranya kita dapat belajar dari pemaparan tersebut, karena kondisi
Indonesia dan India yang sama-sama negara berkembang. Sulitnya, India telah
berhasil menaikkan peringkat negaranya sampai pada posisi yang cukup baik,
sedangkan Indonesia, walaupun berangsur-angsur membaik, namun peringkatnya
masih terus berada pada urut-urutan yang terbawah.
Untuk selanjutnya Tummala menyatakan bahwa dengan melakukan
pemberdayaan segenap komponen masyarakat, India terus optimis untuk
memberantas korupsi.
In modern India, poverty, insufficiency and class conflicts are slowly giving way
to a confident, inclusive, empowered India. On the Transparency International’s
Corruption Index, India’s position has improved significantly, and hopefully will
continue to do so. The vigilance of our enlightened people will ensure this
(Tummala : 2009).
Selain India, salah satu lembaga pemberantasan korupsi yang cukup
sukses memberantas korupsi adalah Independent Commission Against
Corruption (ICAC) di Hongkong. Tony Kwok, mantan komisaris ICAC
(semacam KPK di Hongkong), menyatakan bahwa salah satu kunci sukses
pemberantasan korupsi adalah adanya lembaga antikorupsi yangberdedikasi,
independen, dan bebas dari politisasi. Sebagaimana awal kelahiran KPK, lembaga
ICAC juga mendapat kecaman luas dari masyarakat di Hong Kong.
Namun dengan dedikasi luar biasa dan dengan melakukan kemitraan
bersama masyarakat akhirnya ICAC mampu melawan kejahatan korupsi secara
signifikan. Faktor-faktor keberhasilan yang dicapai oleh ICAC dalam
melaksanakan misinya adalah sebagai lembaga yang independen dia bertanggung
jawab langsung pada kepala pemerintahan. Hal ini menyebabkan ICAC bebas dari
segala campur tangan pihak manapun pada saat melakukan penyelidikan suatu
kasus. Prinsipnya pada saat lembaga ini mencurigai adanya dugaan korupsi maka
langsung melaksanakan tugasnya tanpa ragu atau takut (Nugroho : 2011).
ICAC memiliki kewenangan investigasi luas, meliputi investigasi di sektor
pemerintahan dan swasta, memeriksa rekening bank, menyita dan menahan
properti yang diduga hasil dari korupsi, memeriksa saksi, menahan dokumen
perjalanan tersangka melakukan cegah tangkal agar tersangka tidak melarikan diri
keluar negeri. ICAC merupakan lembaga pertama di dunia yang merekam
menggunakan video terhadap investigasi semua tersangka korupsi. Strategi yang
ditempuh ICAC Hongkong dalam memberantas korupsi dijalankan melalui tiga
cabang kegiatan, yaitu penyelidikan, pencegahan, dan pendidikan. Melalui
pendidikan diharapkan masyarakat semakin paham peran mereka bahwa
keikutsertaan mereka dalam memerangi korupsi merupakan kunci utama
keberhasilan pemberantasan korupsi (Nugroho : 2011).
Sebenarnya ada banyak kesamaan antara KPK dan ICAC di Hongkong.
Perbedaannya adalah pada sistem perekrutan pimpinan dan komisionernya.
Dengan sistem perekrutan yang ada saat ini, KPK menurut Hibnu Nugroho tidak
mampu membebaskan diri dari politisasi. Dengan perbedaan yang tipis ini,
ditambah komitmen pemerintah yang tidak kompak dalam memandang
pentingnya pemberantasan korupsi, ternyata output-nya sangat jauh berbeda.
Permasalahan perekrutan komisioner KPK melalui fit and proper test di
DPR membuka kemungkinan masuknya kepentingan dan politisasi. Penjaringan
melalui uji kelayakan di DPR pada satu sisi diharapkan mampu menemukan sosok
pejabat KPK yang tidak mudah grogi berhadapan dengan anggota DPR, namun di
sisi lain munculnya lobi-lobi politik menjadi terbuka (Nugroho : 2011).
Kedua pemerintah negara ini selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun
telah dapat membuktikan pemberantasan korupsi dengan cara menghukum pelaku
korupsi dengan efektif tanpa memperhatikan status atau posisi seseorang. Di
Indonesia, dari pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) selama kurun waktu 5 tahun, KPK telah 100% berhasil menghukum atau
memberikanpidana pada pelaku tindak pidana korupsi. Bila dibandingkan dalam
kurun waktu 20 tahun, Filipina dengan lembaga Ombudsman hanya berhasil
menghukum segelintir pejabat saja (Bhattarai: 2011).

E.       Arti Penting Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi Bagi Indonesia


Bangsa Indonesia telah berupaya ikut aktif mengambil bagian dalam
masyarakat internasional untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan
menandatangani Konvensi Anti Korupsi pada tanggal 18 Desember 2003. Pada
tanggal 18 April 2006, Pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR telah
meratifikasi konvensi ini dengan mengesahkannya di dalam Undang-Undang No.
7 Tahun 2006, LN 32 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention
against Corruption (UNCAC), 2003.
Pada tanggal 21 Nopember 2007, dengan diikuti oleh 492 peserta dari 93
negara, di Bali telah diselenggarakan konferensi tahunan kedua Asosiasi
Internasional Lembaga-Lembaga Anti Korupsi (the 2nd Anual Conference and
General Meeting of the International Association of Anti-Corruption
Authorities/IAACA). Dalam konferensi internasional ini, sebagai presiden
konferensi, Jaksa Agung RI diangkat menjadi executive member dari IAACA.
Dalam konferensi ini, lobi IAACA digunakan untuk mempengaruhi
resolusi negara pihak peserta konferensi supaya memihak kepada upaya praktis
dan konkrit dalam asset recovery melalui StAR (Stolen Asset Recovery) initiative.
Pada tanggal 28 Januari–1 Februari 2008, bertempat di Nusa Dua, Bali, Indonesia
kembali menjadi tuan rumah konferensi negara-negara peserta yang terikat
UNCAC.
Dalam konferensi ini, Indonesia berupaya mendorong pelaksanaan
UNCAC terkait dengan masalah mekanisme review, asset recovery dan technical
assistance guna mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.Selaku tuan
rumah, Indonesia berupaya memberikan kontribusi secara langsung yang dapat
diarahkan untuk mendukung kepentingan Indonesia mengenai pengembalian aset,
guna meningkatkan kerjasama internasional dalam pemberantasan korupsi
termasuk mengembalikan hasil kejahatan (Supandji : 2009).
Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi merupakan petunjuk yang merupakan
komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan
politik internasional. Dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 2006 ditunjukkan arti
penting dari ratifikasi Konvensi tersebut, yaitu:
1. Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak,
membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana
korupsiyang ditempatkan di luar negeri;
2. Meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik;
3. Meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian
ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana,
pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;
4. Mendorong terjalinnya kerja sama teknis dan pertukaran informasi dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung
kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup
bilateral, regional, dan multilateral; serta
5. Perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Dengan telah diratifikasinya konvensi internasional ini, maka pemerintah
Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan isi konvensi internasional ini
dan melaporkan perkembangan pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Ada beberapa isu penting yang masih menjadi kendala dalam
pemberantasan korupsi di tingkat internasional. Isu tersebut misalnya mengenai
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, pertukaran tersangka, terdakwa
maupun narapidana tindak pidana korupsi dengan negara-negara lain, juga
kerjasama interpol untuk melacak pelaku dan mutual legal assistance di antara
negara-negara. Beberapa negara masih menjadi surga untuk menyimpan aset hasil
tindak pidana korupsi karena sulit dan kakunya pengaturan mengenai kerahasiaan
bank.

Anda mungkin juga menyukai