Anda di halaman 1dari 3

Ngaben

Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah bagi Umat


Hindu, Indonesia. Upacara adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan
untuk mengirim jenazah pada kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah
diletakkan dengan posisi seperti orang tidur.

Terdapat tiga tujuan utama dari


diadakannya Upacara Ngaben
khas Bali ini. Tujuan utamanya adalah
untuk mensucikan roh Umat Hindu
yang sudah meninggal dan
mempercepat proses kembalinya
jasad yang telah mati ke alam
asalnya. Ini diambil dari kitab suci veda
samhita, lebih tepatnya isi dari
yujurveda.

Tujuan yang kedua adalah untuk mengembalikan Panca Maha Bhuta. Panca
Maha Bhuta sendiri adalah unsur-unsur pembentuk badan kasar manusia. Hal itu
dikarenakan masyarakat Hindu Bali percaya bahwasanya badan manusia terdiri dari
badan kasar dan badan halus. 

Tujuan terakhir adalah sebagai bentuk rasa ikhlas. Ketika sebuah keluarga
ditinggalkan oleh seseorang, maka harus melakukan yang namanya prosesi upacara
Ngaben sebagai bentuk keikhlasan mereka melepas anggota keluarga yang telah
lebih dulu meninggalkan dunia.

Tata Cara Upacara Ngaben. Proses upacara Ngaben diawali dengan menentukan
hari baik oleh pendeta Umat Hindu. Jauh-jauh hari sebelum ketetapan tanggal,
keluarga dari orang yang meninggal, menyiapkan “bade dan lembu”, yang dibuat
dari kayum, bambu, kertas warna-warni sesuai dengan golongan sosial mendiang.

Tabuik
Tabuik adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam
Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai
Sumatra Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali
Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol.

Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi’ah, akan tetapi penduduk terbanyak


di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni.
Di Bengkulu dikenal pula dengan nama tabot. 

Ritual pembuatan tabuik dimulai dengan pengambilan tanah dari sungai pada tanggal 1
Muharram. Tanah tersebut diletakkan dalam periuk tanah dan dibungkus dengan kain putih,
kemudian disimpan dalam lalaga yang terdapat di halaman rumah tabuik. Lalaga adalah
tempat berukuran 3x3 meter yang dipagari dengan parupuk, sejenis bambu kecil. Tanah
yang dibungkus dengan kain putih adalah perumpamaan kuburan Husain. Tempat Ini akan
diatapi dengan kain putih berbentuk kubah. Tanah tersebut akan dibiarkan disana sampai
dimasukkan ke dalam tabuik pada tanggal Muharram.

Pada tanggal 5 Muharram dilakukan proses menebang batang pisang dengan cara sekali
tebas pada malam hari. Ini melambangkan perumpamaan keberanian salah satu putra Imam
Husain yang menuntut balas kematian bapaknya. Prosesi dilanjutkan pada tanggal 7 dan 8
muharram yang disebut Maatam dan Maarak sorban. Maatam merupakan personifikasi
membawa jari-jari Husain yang berserakan ditebas pasukan Raja Yazid. Sedangkan Maarak
Sorban melambangkan diaraknya bekas sorban untuk menyiarkan keberanian Husain
memerangi musuh.

Pada tanggal 10 Muharram pagi, diadakan prosesi Tabuik naik pangkat, yaitu
pemasangan bagian atas tabuik. Kemudian Tabuik diarak hingga akhirnya dibuang ke laut.

Pasola
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu
yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang
oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-
hola), artinya menjadi permainan. Pasola merupakan bagian dari
serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih
menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat
sumba). Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba
Barat.

Pasola diawali dengan pelaksanaan. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa
syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim
panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Setelah nyale pertama
didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya
dan diteliti bentuk serta warnanya. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-
warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang
berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.
Setelah penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat.

Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan. Pasola dilaksanakan


di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok
yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun local .

Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat secara langsung dua


kelompok ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda
secara lincah sambil melesetkan lembing ke arah lawan. Selain itu, para peserta
pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh
lawan.

Anda mungkin juga menyukai