Anda di halaman 1dari 11

Yohanes Roy Surya Sanjaya

2019.062.01.01.D4
Tingkat IV
Program Studi Hukum Keimigrasian

STRATEGI HUMAS DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI


DALAM MENGHADAPI PERKEMBANGAN REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Pendahuluan
Dalam menjalankan peran dan fungsi komunikasi yang mewakili individu atau
organisasi mengacu pada sebuah bagian yang disebut dengan hubungan masyarakat atau
kehumasan. Tidak berbeda dengan Humas Direktorat Jenderal Imigrasi yang berfungsi
menjalankan peran dan fungsi komunikasi dalam hal keimigrasian. Kehumasan dalam sebuah
organisasi memegang peran yang sangat penting karena berfungsi menjaga stabilitas organisasi
dari krisis, reputasi yang terpelihara dengan baik dan lingkungan kerja yang kondusif. Fungsi
kehumasan secara manajemen tata kelola adalah menilai sikap publik, mengidentifikasi
kebijaksanaan dan tata cara seseorang atau organisasi demi kepentingan publik, serta
merencanakan dan melakukan suatu program kegiatan untuk meraih pengertian dan dukungan
publik.1 Dengan kata lain, komunikasi yang diciptakan oleh peran serta kehumasan merupakan
ruh dari sebuah manajemen organisasi.

Revolusi Industri ke-empat atau yang lebih dikenal dengan Revolusi Industri 4.0
merupakan pintu masuknya era digitalisasi yang merujuk pada gambaran situasi perubahan
gaya hidup dan perilaku individu maupun organisasi saat ini, Kondisi ini disebabkan oleh
revolusi teknologi sehingga berimplikasi besar terhadap masyarakat.2 Revolusi Industri 4.0
dimanifestasikan ke dalam dinamika kehidupan saat ini, seperti halnya dalam perubahan cara
data-data digunakan, teknologi yang semakin terotomatisasi dan terdigitalisasi, dan berbagai
hal yang seringkali kita kenal saat ini dengan istilah “Internet of Things” (IoT).3

Revolusi Industri 4.0 secara fundamental mengubah peradaban manusia. Kemajuan


teknologi ini memungkinkan otomatisasi di hamper semua bidang yang menjadikannya jauh
lebih cepat dan efisien. Perkembangan ini setara dengan revolusi industry sebelumnya:
penemuan mesin uap, penggunaan listrik untuk produksi massal, serta kekuatan elektronik dan
teknologi informasi dalam otomatisasi proses produksi. Perkembangan ini tentu saja
memerlukan respon yang tepat dari berbagai pihak, termasuk Humas Pemerintahan.

1 Scoot M. Cutlip, H. Center Allen, and Glen M Broom, Effective Public Relations, 9th ed., Scott M. Cutlip, Ed. Jakarta,
Indonesia : Kencana, 2011
2 Rabeh Morrar, husam Arman, and Saeed Mousa, “The ourth Industrial Revolution (Industry 4.0) : A Social Innovation

Perspective,” Technology Innovation Management Review,pp. 1-10, 2017


3 Brian Householder, “A Mix of Hope and Ambiguity,” Deloitte Insights: The Fourth Industrial Revolution is Here, Are You

Ready?,pp. 2-4, January 2018

1
Beberapa arahan Presiden RI terkait Humas Pemerintahan yang harus dilakukan antara
lain, dalam kepentingan untuk masyarakat: menginformasikan apa yang akan, sedang, dan
telah dikerjakan pemerintah dan menginformasikannya secepat-cepatnya karena masyarakat
membutuhkan informasi, mengerjakan pekerjaan tidak dengan cara maupun pola
konvensional, pemerintah harus mendapatkan trust dari masyarakat. Sementara kepentingan
secara global: diperlukan nation branding agar adanya persepsi positif di seluruh dunia bahwa
negara ini dikelola dengan baik, salah satu cara nya dengan menggunakan teknologi sebaik-
baiknya.

Kemajuan teknologi informasi menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan


efektivitas kehumasan pemerintah. Karena itu pemanfaatan teknologi digital menjadi mutlak
untuk mengefektifkan penyebarluasan kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, kehumasan harus
mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dalam menyampaikan dan menyosialisasikan
program-program pemerintah. Jika tidak, humas pemerintah akan ketinggalan. Walaupun saat
ini kita sudah berada dalam era Artificial Intelligence, Big Data serta Robotorial, komunikasi
antar manusia masih dibutuhkan dalam menciptakan hubungan antar manusia yang masih
membutuhkan emosi didalamnya sehingga dapat terciptanya good image serta positive attitude
antara stakeholder dari suatu organisasi. Oleh karenanya adaptasi untuk menghadapi Revolusi
Industri 4.0 sangat diperlukan agar terciptanya agen-agen Kehumasan yang handal.

Kehumasan Pemerintah dalam hal ini Humas Direktorat Jenderal Imigrasi juga perlu
merespon dan menerapkan strategi dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Penulis ingin
mengetahui bagaimana Humas Direktorat Jenderal Imigrasi dalam merespon perkembangan
Revolusi Industri 4.0 yang juga disebabkan oleh adanya kebutuhan industri kehumasan yang
lebih efisien dan tidak lepas dari peranan teknologi yang berkontribusi besar bagi lahirnya
industri kehumasan digital. Oleh sebab itu penulis menentukan topik “Strategi Humas
Direktorat Jenderal Imigrasi dalam Menghadapi Perkembangan Revolusi Industri 4.0”
dengan tujuan agar Humas Direktorat Jenderal Imigrasi dapat beradaptasi dengan
perkembangan digital dan pelaksanaan tugas dan fungsi kehumasan pemerintah itu sendiri
tanpa menghilangkan cara-cara humas yang konvensional.

Pembahasan
Kehumasan atau segala bentuk mengenai hubungan dengan masyarakat menurut
Institute Public Relations merupakan usaha yang terencana dan berkelanjutan untuk
membentuk dan menjaga sikap baik dan pengertian antara organisasi dan publik.4 Hal
yang dilakukan oleh kehumasan tidak hanya sebagai penerimaan masyarakat terhadap
penerimaan atau popularitas, tetapi menekankan pada sikap baik dan pengertian. Oleh
sebab itu, kegiatan yang dilakukan harus terencana dan berkelanjutan dengan cara dibentuk
dan dijaga.

Mengutip penjelasan Scott M. Cutlip dan Allen H, Center, bahwa Public Relation
merupakan fungsi manajemen yang menilai sikap publik, mengidentifikasikan kebijksanaan

4 Alison Theaker, The public relation handbook, 4th ed. New York, USA: Routledge, 2012.

2
dan tata cara seseorang atau organisai demi kepentingan publik, serta merencanakan dan
melakukan suatu program untuk meraih pengertian, pemahaman, dan dukungan dari
publiknya.5 Sehingga peran Kehumasan menjadi ujung tombak suatu organisasi dalam
memelihara citra maupun merencanakan branding. Chartered Institue of Public Relations
(CIPR) menjelaskan lebih lanjut mengenai kehumasan sebagai praktik yang berfokus pada
reputasi organisasi (produk, jasa, atau individu).6 Tujuannya adalah apa yang dilakukan,
dikatakan, dan yang orang lain katakan mengenai organisasi mendapatkan pengertian dan
dukungan. Pengkategorian tersebut sesuai dengan kehumasan dalam bidang internal dan
eksternal dalam sebuah organisasi, sehingga masing-masing memiliki kebutuhan informasi
yang berbeda dan memberikan tuntutan yang berbeda terhadap organisasi.

Berikut ini adalah beberapa contoh kegiatan kehumasan yang terjadi di era Revolusi
Industri 4.0, antara lain:

1. Buzzer
Buzzer, muncul akibat adanya Buzz marketing yang merupakan sebuah alternative dari
periklanan tradisional dengan memanfaatkan influencer atau trend setter untuk menyebarkan
berita mengenai suatu produk.7 Adapun nama Buzzer sendiri merupakan istilah yang
ditujukan pada para pelaku sosial media yang melakukan kegiatan word-of-mouth. Definisi
Word-of-mouth merupakan komunikasi informal antara pihak swasta mengenai evaluasi
barang dan jasa.8 Word-of-mouth terjadi dalam situasi tertentu9 dan mungkin mengandung
elemen kognitif dan emotif.10 Aspek inilah yang menjadi penilaian oleh konsumen yang
belum pernah mengalami pembelian produk atau layanan karena terkesan kredibel
berdasarkan pernyataan yang berpengalaman.11 Itulah sebabnya informasi dari mulut-ke-
mulut menjadi sangat penting untuk promosi.

Word-of-mouth di sisi lain didefinisikan juga sebagai "keseluruhan komunikasi


informal yang ditujukan kepada pengguna lain tentang kepemilikan, penggunaan, atau
karakteristik barang dan layanan tertentu atau penjual mereka.”12 Konsumen yang memiliki
pengalaman berbelanja yang mudah diingat cenderung memberi tahu orang lain di jejaring
sosial mereka tentang pengalaman itu, Platform komunikasi untuk word-of-mouth di era
digital saat ini dapat berupa email, blog, situs review konsumen dan SNS, yang telah
menjadi media utama pertukaran berita dan pengalaman.13

5 Scoot M. Cutlip, H. Center Allen, and Glen M Broom, Effective Public Relations, 9th ed., Scott M. Cutlip, Ed. Jakarta,
Indonesia : Kencana, 2011
6 Alison Theaker, The public relation handbook, 4th ed. New York, USA: Routledge, 2012
7 Fraser P. Seitel, The Practice of Public Relation. Jakarta: Erlangga, 2014.
8 Eugene W. Anderson, Claes Fornell, and Donald R. Lehmann, "Customer Satisfaction, Market Share, and

Profitability: Findings from Sweden," Journal of Marketing, vol. 58, no. 3, pp. 53-66, July 1994.
9 D. T. Allsop, B. Bassett, and J. A. Hoskins, "Word of Mouth Research: Principles and Applications," Journal of

Advertising, vol. 47, no. 4, pp. 398-411, Apr. 2007.


10 Eugene W. Anderson, Claes Fornell, and Donald R. Lehmann, "Customer Satisfaction, Market Share, and

Profitability: Findings from Sweden," Journal of Marketing, vol. 58, no. 3, pp. 53-66, July 1994.
11 D. T. Allsop, B. Bassett, and J. A. Hoskins, "Word of Mouth Research: Principles and Applications," Journal of

Advertising, vol. 47, no. 4, pp. 398-411, Apr. 2007.


12 Robert. A. Westbrook, "Product/Consumption-based Affective Responses and Postpurchase Process," Journal of

Marketing Research, vol. 24, no. 3, pp. 258-270, August 1987.


13 Peter Buell Hirsch, "Clicks or commitment: activism in the age of social media," Journal of Business Strategy, pp.

55-58, 2018.

3
Word-of-mouth mengacu pada komunikasi yang terjadi antara komunikator dan
komunikan yang menganggap pesan sebagai informasi nonkomersial, meskipun subjeknya
adalah merek, produk, atau layanan.14 Informasi tersebut yang berasal dari sumber non
komersial dapat lebih efektif dalam menghasilkan rujukan untuk produk yang tidak begitu
diinginkan, karena mengambil peran sangat penting dalam pengambilan keputusan. Aspek
yang disentuh oleh Word-of-mouth tidak hanya mempengaruhi keputusan pembelian15,
namun juga membentuk sikap penggunaan sebelum penggunaan dan sikap terhadap nama
dan situs web.16 Dalam hal ini banyak ditemukan dalam aktivitas para youtuber yang
melakukan review terhadap suatu produk yang tidak melibatkan dirinya sebagai bagian dari
sebuah merek.

Media komunikasi untuk word-of-mouth saat ini dapat berupa email, blog, situs
review konsumen dan SNS, yang telah menjadi media utama pertukaran berita dan
pengalaman.17 Informasi yang mendapat perhatian banyak orang dianggap lebih menarik
dan penting. Bahkan algoritma mesin pencari juga berkaitan dengan seberapa banyak
orang yang menaruh perhatian pada suatu informasi di internet.18 Sehingga para praktisi
humas saat ini tidak hanya dituntut mampu menjalin hubungan baik dan bekerjasama
dengan publik tradisional, namun juga terlibat langsung dengan sekelompok influencer
baru yang tidak disengaja, dalam menjalin hubungan dengan pelanggan secara langsung
melalui jejaring sosial, wiki, komunitas mikromedia, forum online, grup dan blog.

2. Social Media Activis


Tokoh lain yang memiliki posisi tawar tinggi di dalam dunia virtual adalah
“aktivis media sosial”. Peran para aktivis ini di media sosial meliputi penyebaran pesan
kampanye yang dilakukan melalui media sosial. Aktivisme mereka didefinisikan sebagai
proses dimana sekelompok orang memberikan tekanan pada organisasi atau institusi lain
untuk mengubah kebijakan, praktik, atau kondisi yang ditemukan oleh para aktivis."19
Selain itu, dikemukakan bahwa tujuan para aktivis saat ini adalah untuk menciptakan
jaringan advokasi untuk menghasilkan dukungan terhadap berbagai isu yang saling terkait
dalam sebuah gerakan social.20 Dalam hal ini peran yang paling penting untuk dipahami
bahwa bagaimana aktivis berpartisipasi dalam dialog publik dipengaruhi oleh sumber daya
yang membentuk kapasitas komunikasi strategis organisasi.

14 Peter Buell Hirsch, "Clicks or commitment: activism in the age of social media," Journal of Business Strategy, pp.
55-58, 2018.
15 Sommerfeldt a Erich J., Kent b Michael L., and Maureen Taylor b, "Activist practitioner perspectives of website

public relations: Why aren’t activist websites fulfilling the dialogic promise?," Public Relation Review, pp. 303-312,
2012.
16 D. T. Allsop, B. Bassett, and J. A. Hoskins, "Word of Mouth Research: Principles and Applications," Journal of

Advertising, vol. 47, no. 4, pp. 398-411, Apr. 2007.


17 Peter Buell Hirsch, "Clicks or commitment: activism in the age of social media," Journal of Business Strategy, pp.

55-58, 2018.
18 Rabeh Morrar, Husam Arman, and Saeed Mousa, "The Fourth Industrial Revolution (Industry 4.0): A Social

Innovation Perspective," Technology Innovation Management Review, pp. 1-10, 2017.


19 Robert Smith, The Cure and Wishful Thinking. New York: Elseiver, 2005.
20 Evgeny Morozov, "From slacktivism to activism," Foreign Policy , pp. 40-53, 2009.

4
Keunggulan pemanfaatan aktivis sosial media salah satunya terletak pada biayanya
yang rendah karena hanya menggunakan internet dan web.21 Mekanisme kerja dari aktivisme
media sosial dapat mengoperasikan gerakan dengan tanpa meninggalkan komputer, yakni
dengan hanya berbagi informasi negatif tentang organisasi target. Target operasi dari
kinerja ini adalah dengan merusak legitimasi organisasi dan menodai reputasinya. Sementara
kemudahan retweeting atau menyukai sebuah pesan aktivis telah menyebabkan beberapa
aktivisme online,menjadi "slacktivisme"22 ketika diorganisir, bahkan "orang-orang
slacktivists" dapat menimbulkan kerusakan pada reputasi sebuah organisasi.

Dengan bangkitnya aktivisme online, organisasi mungkin melihat bahwa tidak


bijaksana untuk menanggapi setiap kritik atau ancaman aktivis. Memang, ditemukan
bahwa beberapa organisasi yang merespons ancaman online yang tidak perlu dapat
membuat situasi menjadi jauh lebih buruk. Pada organisasi yang menanggapi tuntutan
aktivis hendaknya bertindak berdasarkan apakah mereka menganggap kampanye tersebut
akan menghasilkan identitas atau ancaman ekonomi. Penting bagi organisasi agar siap
dan bersedia melibatkan publik dan aktivis dengan cara yang memenuhi tuntutan mereka
jika ada ancaman identitas atau ekonomi karena aktivis memiliki strategi berkaitan dengan
propaganda dan social media hijacking.

Saat ini peran humas di institusi-institusi pemerintahan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Humas seharusnya memiliki fungsi dan peran mempertahankan hubungan yang baik dan
bermanfaat antara organisasi dengan publik. Gordon merangkum tugas-tugas seorang humas
pemerintah sebagai berikut:23

1. memberi informasi konstituen tentang aktivitas agen pemerintah,


2. memastikan kerjasama aktif dalam program pemerintah; voting, curbside recycling,
dan juga kepatuhan kepada program aturan-kewajiban menggunakan sabuk pengaman,
aturan dilarang merokok,
3. mendorong warga mendukung kebijakan dan program yang ditetapkan; sensus,
program pengawasan keamanan lingkungan, kampanye penyadaran akan kesehatan
personal, bantuan untuk upaya pertolongan bencana,
4. melayani sebagai advokat publik untuk administrator pemerintah; menyampaikan opini
publik kepada pembuat keputusan, mengelola isu publik didalam organisasi serta
meningkatkan aksesibilitas publik ke pejabat administrasi,
5. mengelola informasi internal; menyiapkan newsletter organisasi, pengumuman
elektronik, dan isi dari dari situs internet organisasi untuk karyawan
6. memfasilitasi hubungan media-menjaga hubungan dengan pers lokal; bertugas sebagai
saluran untuk semua pertanyaan media; memberitahu pers tentang organisasi dan
praktiknya serta kebijakannya,

21 L. Heath Robert and J. Palenchar Michael, "Organizations and Public Policy Challenges," Strategic Issues
Management, pp. 400-412, 2008
22 Robert Smith, The Cure and Wishful Thinking. New York: Elseiver, 2005.
23 Scoot M. Cutlip, H. Center Allen, and Glen M Broom, Effective Public Relations, 9th ed., Scott M. Cutlip, Ed. Jakarta,

Indonesia : Kencana, 2011

5
7. membangun komunitas dan bangsa; menggunakan kampanye kesehatan publik dengan
dukungan pemerintah dan program keamanan publik lainnya serta mempromosikan
berbagai program sosial dan pembangunan.

Humas di pemerintahan dengan demikian dapat disimpulkan menjadi pemberi informan


kepada masyarakat sekaligus penghubung antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini bisa
dipahami karena pemerintah adalah agen dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat memberikan
haknya untuk diwakilkan kepada orang-orang pemerintahan agar bisa diselenggarakan dengan
sebaik-baiknya. Maka suatu kewajaran apabila pemerintah harus tetap terhubung dengan
masyarakat dan setiap aspeknya menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Humas menjadi
palang pintu bagi hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan publik atau masyarakat.
Tidak terkecuali Humas Direktorat Jenderal Imigrasi yang memiliki tugas dan fungsi dalam
bidang Keimigrasian juga melakukan tugas-tugas tersebut.

Pada awal tahun 2019, Direktorat Jenderal Imigrasi secara nyata merespon
perkembangan Revolusi Industri 4.0 dengan mengembangkan penggunaan QR Code yang
ditempel pada paspor orang asing yang memasuki wilayah Indonesia. Saat ini Direktorat
Jenderal Imigrasi melakukan desiminasi mengenai pemanfaatan QR Code untuk meningkatkan
pengawasan orang asing. Dimulai pada saat kedatangan orang asing di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi (TPI) di Bandara dan Pelabuhan Internasional. Begitu juga dengan izin tinggal setiap
orang asing akan diberikan QR Code Sticker. Selain QR Code, Direktorat Jenderal Imigrasi
juga meluncurkan Aplikasi Pendaftaran Antrean Paspor Online (APAPO) Versi 2.0. Aplikasi
ini semakin memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan keimigrasian khususnya
layanan paspor dan sudah dilengkapi dengan berbagai fitur keamanan baru yang melindungi
data pemohon paspor. QR Code dan APAPO versi 2.0 menjadi salah satu contoh Direktorat
Jenderal Imigrasi dalam merespon perkembangan digital saat ini pada Revolusi Industri 4.0,
namun dalam implementasi maupun penyampaian informasi terkait inovasi tersebut masih
banyak belum dimengerti dan diketahui oleh target penggunanya yaitu Warga Negara Asing
(WNA) dan Warga Negara Indonesia (WNI). Semua pelaku Humas Direktorat Jenderal
Imigrasi harus memiliki digital skills dalam langkah disemenasi ke masyarakat.

Digital Public Relations merupakan “konsep baru” kehumasan, seiring perkembangan


teknologi komunikasi dan informasi yang membentuk “masyarakat digital” saat ini. Dalam
adaptasinya, Humas Direktorat Jenderal Imigrasi memanfaatkan berbagai media digital dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang keimigrasian. Hanya dengan sentuhan jari, warga
dunia kini mampu mencari dan menemukan yang mereka inginkan dan butuhkan. Hanya
dengan sentuhan jari pula, seorang Humas bisa menjalankan tugasnya –membangun citra
positif lembaga dengan menjangkau seluruh dunia selama 24 jam, tak terkecuali bagi Humas
Direktorat Jenderal Imigrasi.

Praktik kehumasan digital sebagai proses komunikasi dua arah hadir dengan adanya
interaktivitas24 yang dalam hal ini meletakkan dasar perbedaan antara kedudukannya dengan
kehumasan konvensional jika dipandang dari gaya komunikasi dan arus informasi. Pada gaya

24 William H. Dutton, "Putting things to work: Social and policy challenges for the Internet of things," Info, vol. 16, no.
3, pp. 1-21, Sep. 2014.

6
komunikasi, humas konvensional memiliki kecenderungan yang terkontrol, dengan akses yang
terbatas dan bersifat statis. Adapun pada kehumasan digital, pesan yang dikeluarkan bersifat
lemah control, dengan pilihan lebih banyak akses informasi, lebih banyak level, dinamis dan
saluran yang berubah-ubah. Humas di era digital memerlukan pemahaman bagaimana
konstituen utama mengumpulkan dan berbagi informasi dan kemudian memengaruhinya pada
pokok-pokok masalah.25 Untuk melakukan hal itu dibutuhkan strategi yang merangkul era
digital. Misalnya, di dalam sebuah perusahaan dapat melakukan beberapa strategi
kehumasan digital melalui penyesuaian diri dengan tradisi online, termasuk mengantisipasi
tersebarnya hoax dan social media hijacking. Peran kehumasan disini dapat dilakukan
dengan aktivisme sosial media seperti pembentukan pasukan siber (cyber army).

Era digital saat ini menuntut seorang humas yang bukan saja memiliki wawasan dan
keterampilan dasar kehumasan, tapi juga yang bisa mengikuti ritme perkembangan teknologi
informasi, termasuk menguasai digital skills. Digitalisasi media telah mulai mengubah
bagaimana masyarakat dan pemerintah dapat terhubung dengan baik. Salah satu media
komunikasi Humas DIrektorat jenderal imigrasi dengan masyarakat adalah media sosial.
Media sosial penting bagi Direktorat Jenderal Imigrasi bagi Humas untuk membangun dan
menjaga hubungan baik dengan masyarakat, juga membangun hubungan dengan kalangan
media (media relations/press relations), termasuk menyebarkan press release (siaran pers).

Kurang menguasai strategi kehumasan dan jarang mengupdate informasi kepada


masyarakat melalui berbagai media menjadi persoalan umum kehumasan pemerintah terutama
dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Padahal, setiap lembaga pemerintah wajib
menyediakan informasi berkala dan update. Badan Publik berkewajiban menyebarluaskan
informasi publik disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam
bahasa yang mudah dipahami.26

Kehumasan pada era sekarang ini harus memiliki kompetensi dalam digital skills
termasuk Humas Direktorat Jenderal Imigrasi yang wajib meningkatkan dan memiliki
kompetensi tersebut. Di era industri 4.0, dibutuhkan pelaku humas dengan fleksibilitas dan
mobilitas yang tinggi, kemampuan digital, analitik, menulis konten, membangun jaringan,
selalu haus akan informasi terkini dan memiliki spesialisasi yang tentunya bertujuan
meningkatkan citra positif Institusi.

Respon selanjutnya adalah personalisasi konten. No 'One Size Fits All messages' untuk
konten kehumasan. Agar dapat berdampak dengan baik pada masyarakat, Humas Direktorat
Jenderal Imigrasi harus kreatif dan bisa berkomunikasi secara tepat. Dengan banyaknya
informasi di dunia saat ini, Humas Direktorat Jenderal Imigrasi pada era sekarang harus lebih
selektif melihat siapa saja target audience-nya, kanal yang digunakan, serta konten yang
relevan dengan masyarakat. Kemampuan sumber daya manusia untuk menguasai strategi
kehumasan sekaligus dalam platform digital sangat diperlukan, karena dapat membantu
kehumasan untuk dapat menjaga reputasinya dan menghindari krisis serta membangun sebuah
brand. Dengan kata lain, Humas pada era digital ini harus bisa menjadi producer dan publisher

25 Donald K. & Hinson, Michelle D. Wright,"How Blogs and Social Media are Changing Public Relations and the Way it is
Practiced," Blogs & Social Media - Public Relations Journal, vol. 2, no. 2, pp. 1-21, Spring 2008.
26 Indonesia. Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik , UU No. 14 Tahun 2008. LN 4846

7
konten. Penyampaian informasi yang kreatif dan dapat memahami perkembangan jaman juga
harus diterapkan Humas Direktorat Jenderal Imigrasi untuk melakukan tugas dan fungsinya.

Tantangan yang muncul sebagai gangguan dari praktik kehumasan digital, seperti
halnya krisis penyebaran berita hoax yang merugikan reputasi perusahaan melalui
kemudahan retweeting atau menyukai sebuah pesan aktivis telah menyebabkan beberapa
orang menganggap aktivisme online sebagai "slacktivism" ketika diorganisir, bahkan
'slacktivists' dapat menimbulkan kerusakan pada reputasi sebuah organisasi. Slacktivism
didefinisikan sebagai sebuah keinginan untuk menunjukkan suatu dukungan sosial tanpa
mengeluarkan banyak biaya ketika menanggapi suatu isu sosial yang sedang terjadi,
namun hal ini tidak diiringi dengan keinginan memberikan suatu usaha yang benar-benar
signifikan untuk membuat suatu perubahan yang berarti.27

Maka diperlukan langkah-langkah yang tepat oleh kehumasan yang dapat dijadikan
kerangka acuan untuk melahirkan solusi. Ada tiga cara utama dari segi tata kelola yang
baik untuk memanfaatkan kekuatan media sosial dengan tujuan membangun reputasi28,
yang pertama-tama memahami dinamika fungsional mereka secara khusus. Pendekatan
tersebut misalnya sebagai berikut: Menggunakan media sosial Humas Direktorat jenderal
Imigrasi yang ada dalam program humas untuk menjangkau masyarakat, seperti platform
Twitter dan Instagram, dan menginformasikan kepada mereka tentang pelayanan publik
keimigrasian, ataupun suatu inovasi; Menggunakan media sosial untuk mendengarkan suara
para pemangku kepentingan dalam diskusi yang berfokus pada topik yang relevan dengan
keimigrasian; Memulai platform interaktif langsung, seperti melalui platform e-Lapor yang
dapat memberikan masukan, saran maupun keluhan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi, dan
menggunakan bentuk komunikasi satu-ke-satu dan banyak-ke-banyak ini untuk
membangun, memelihara, dan memperkuat hubungan, citra, dan reputasi Direktorat
Jenderal Imigrasi.

Penanaman kesadaran bahwa peran kehumasan digital dalam hal ini tidak hanya
dituntut agar dapat menjalin hubungan baik dan bekerjasama dengan masyarakat, namun
juga terlibat langsung dengan sekelompok influencer baru yang tidak disengaja, dalam
menjalin hubungan dengan masyarakat secara langsung melalui platform – platform jejaring
sosial.29 Sehingga, di antara semua alat komunikasi yang tersedia bagi praktisi hubungan
masyarakat, komunikasi online dilengkapi secara unik untuk memungkinkan organisasi
dan konstituennya terlibat dalam komunikasi dua arah.30 Pentingnya fokus yang ditujukan
kepada sarana online ini mencerminkan esensi humas digital sebagai proses komunikasi
dua arah yang hadir dengan adanya interaktivitas.

27 E. Mozorov, "From slacktivism to activism," Foreign policy, pp. 43-50, 2009.


28 Donald K. & Hinson, Michelle D. Wright, "How Blogs and Social Media are Changing Public Relations and the
Way it is Practiced," Blogs & Social Media - Public Relations Journal, vol. 2, no. 2, pp. 1-21, Spring 2008.
29 Brian Solis and Deirdre Breakenridge, Putting the Public Back in Public Relations: How Social Media is

Reinventing the Aging Business of PR. UK: FT Press, 2009.


30 Peter Buell Hirsch, "Clicks or commitment: activism in the age of social media," Journal of Business Strategy, pp.

55-58, 2018.

8
Rekomendasi
Tantangan Humas Direktorat Jenderal Imigrasi di tengah era Revolusi Industri 4.0
adalah mempertahankan eksistensi Institusi Imigrasi dengan memanfaatkan alat-alat
kehumasan di dunia digital melalui berbagai platform untuk penyampaian informasi,
sosialisasi, maupun aktif dalam menjawab keluhan masyarakat terkait pelayanan publik
maupun fungsi keimigrasian lainnya.

Strategi humas digital ini digunakan dalam rangka memaksimalkan sumber daya
manusia yang ada dalam kehumasan Direktorat Jenderal Imigrasi, dengan meliputi teknik
word-of-mouth yang dilakukan oleh para buzzer, dan didukung pula oleh peran serta
aktivis media sosial melalui kampanye aktivisme di dunia virtual terkait keimigrasian.

Transformasi praktik kehumasan digital ini dari konvensional ke era digital, tidak
luput dari adanya Revolusi Industri 4.0 melalui penetrasi teknologi informasi yang begitu
deras. Dengan adanya perubahan cara dalam hal aktivitas hubungan masyarakat yang
digital, tidak serta merta menghilangkan jejak pada cara-cara humas yang bersifat
konvensional. Dengan kata lain, semuanya berfungsi untuk saling melengkapi meskipun
ada yang lebih mendominasi dan membutuhkan analisis terlebih dahulu jika ingin
menerapkan salah satu strategi dalam menjalankan tugas dan fungsi kehumasan itu sendiri.

Kehumasan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan cara digital tentunya perlu dikelola
dengan baik dan memperhatikan segi etika agar dapat diimplementasikan secara maksimal.
Salah satu tanggung jawab bagi pelaku Humas Direktorat Jenderal Imigrasi yang kiranya
dapat dilakukan ialah, melakukan penelitian yang memiliki relevansi dengan kajian revolusi
industrialisasi agar dapat menemukan celah pengetahuan dan koreksi terhadap narasi- narasi
yang dibangun oleh industri, melakukan penguatan tugas dan fungsi kehumasan imigrasi
seluruh Indonesia agar semua penyampaian informasi maupun tata kelola kehumasan menjadi
satu pintu, melakukan pelatihan kepada seluruh humas dalam jajaran Humas Direktorat
Jenderal Imigrasi baik pusat maupun daerah agar melek digital dan informasi, karena setiap
informasi yang disebarkan dari Direktorat Jenderal Imigrasi akan mewakili citra dari seluruh
jajarannya, dan hal yang cukup penting untuk menjadi agenda rutin Humas Direktorat Jenderal
Imigrasi adalah evaluasi untuk memperkuat dan meningkatkan branding serta positioning yang
kuat di benak masyarakat terkait fungsi keimigrasian antara lain pelayanan publik, pengawasan
keimigrasian, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat untuk
manfaat yang akan didapatkan kedepannya dalam persepsi yang baik bahkan excellent terkait
Lembaga Pemerintahan khususnya dalam Bidang Keimigrasian.

9
Daftar Pustaka
Buku
Alison Theaker, The public relation handbook, 4th ed. New York, USA: Routledge, 2012.

Brian Householder, “A Mix of Hope and Ambiguity,” Deloitte Insights: The Fourth Industrial
Revolution is Here, Are You Ready?,pp. 2-4, January 2018

Brian Solis and Deirdre Breakenridge, Putting the Public Back in Public Relations: How
Social Media is Reinventing the Aging Business of PR. UK: FT Press, 2009.
Fraser P. Seitel, The Practice of Public Relation. Jakarta: Erlangga, 2014.
Robert Smith, The Cure and Wishful Thinking. New York: Elseiver, 2005.

Scoot M. Cutlip, H. Center Allen, and Glen M Broom, Effective Public Relations, 9th ed., Scott
M. Cutlip, Ed. Jakarta, Indonesia : Kencana, 2011.

Jurnal Ilmiah
Donald K. & Hinson, Michelle D. Wright, "How Blogs and Social Media are Changing Public
Relations and the Way it is Practiced," Blogs & Social Media - Public Relations Journal,
vol. 2, no. 2, pp. 1-21, Spring 2008.
D. T. Allsop, B. Bassett, and J. A. Hoskins, "Word of Mouth Research: Principles and
Applications," Journal of Advertising, vol. 47, no. 4, pp. 398-411, Apr. 2007.

Eugene W. Anderson, Claes Fornell, and Donald R. Lehmann, "Customer Satisfaction,


Market Share, and Profitability: Findings from Sweden," Journal of Marketing, vol.
58, no. 3, pp. 53-66, July 1994.

Peter Buell Hirsch, "Clicks or commitment: activism in the age of social media," Journal
of Business Strategy, pp. 55-58, 2018.

Robert. A. Westbrook, "Product/Consumption-based Affective Responses and Postpurchase


Process," Journal of Marketing Research, vol. 24, no. 3, pp. 258-270, August 1987.

Prosiding Ilmiah
Evgeny Morozov, "From slacktivism to activism," Foreign Policy , pp. 40-53, 2009.

L. Heath Robert and J. Palenchar Michael, "Organizations and Public Policy Challenges,"
Strategic Issues Management, pp. 400-412, 2008

Rabeh Morrar, husam Arman, and Saeed Mousa, “The ourth Industrial Revolution (Industry
4.0) : A Social Innovation Perspective,” Technology Innovation Management
Review,pp. 1-10, 2017

10
Sommerfeldt a Erich J., Kent b Michael L., and Maureen Taylor b, "Activist practitioner
perspectives of website public relations: Why aren’t activist websites fulfilling
the dialogic promise?" Public Relation Review, pp. 303-312, 2012.

William H. Dutton, "Putting things to work: Social and policy challenges for the Internet
of things," Info, vol. 16, no. 3, pp. 1-21, Sep. 2014.

Peraturan Perundang – Undangan


Indonesia. Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik , UU No. 14 Tahun 2008,
LN Tahun 2008 Nomor 4846.
Indonesia. Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No.6 Tahun 2011, LN Tahun 2011
Nomor 52.

11

Anda mungkin juga menyukai