Anda di halaman 1dari 5

UAS MK PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Nama : Kukuh Pandu Herlambang


NPM : 2020011007

Tanya :
Bagaimana menjelaskan hubungan antara COVID-19 dan konservasi alam?

Jawab :
Secara nyata dapat kita amati bersama bahwa selama berlangsungnya COVID-19,
sejak dinyatakan sebagai pandemi global pada 13 Maret 2020[1], terjadi
penurunan pada pergerakan dan aktivitas manusia. Hal ini secara ironis dipandang
baik bagi alam[2]. Sebabnya, ketika pergerakan manusia terhenti dan aktivitasnya
dibatasi, akan menimbulkan efek berantai berupa menurunnya kebutuhan akan
sumberdaya alam (makanan, air bersih, dan bahan bakar fosil) sehingga
menurunkan kegiatan produksi pada banyak industri. Efeknya secara keseluruhan
memang tidak mudah dijabarkan, namun, sebagai contoh, emisi di China—negara
dengan periode lockdown terlama—telah turun sebesar 25%[3], penurunan CO2
sampai 200 juta ton bahkan terjadi di bulan Februari saja[4].
Di Amerika Selatan, data yang diolah Google dari pencatatan mobilitas manusia
di berbagai negara, menyajikan data mobilitas pada periode 1-17 April
menunjukkan penurunan rata-rata sebesar 47% dibandingkan periode 5 minggu
mulai dari 3 Januari–5 Februari 2020. Beralih ke sektor penerbangan sebagai
salah satu industru yang paling terpukul, yang menyumbang sekitar 1-2% emisi
gas rumah kaca global[5] dan sekitar 3–5% emisi CO 2 global[6]. Data statistik
yang diolah melalui situs www.flightradar.com antara 23 Januari 2020 dan 21
April 2020, menunjukkan lalu lintas udara menurun sekitar 63% dalam jumlah
total penerbangan dan sekitar 75% dalam jumlah penerbangan komersial.
Data-data tersebut di atas sekilas menggambarkan pandemi COVID-19 memberi
waktu pada alam untuk “beristirahat” karena industri yang menyokong kebutuhan
primer, sekunder, dan tersier manusia menurunkan laju produksinya. Gambaran
seperti ini tidak bisa disangkal sepenuhnya jika melihat kaitan yang erat antara
pandemi dan masalah ekologi. Yansen (2020) menjelaskan bahwa seiring ledakan
populasi, peluang berkembangnya penyakit menular ikut meningkat, seperti
indikasi di awal kemunculan virus korona terkait dengan lingkungan perkotaan
yang tidak sehat dan padat, serta praktik konsumsi hewan liar. Hal yang disebut
terakhir, soal konsumsi hewan liar, dibantah para peneliti dari Cina[7] yang
menerangkan SARS-CoV-2 adalah virus manusia dan tidak dapat ditularkan dari
kelelawar.

Gambar 1: Nilai rata-rata troposfer NO2 diambil oleh satelit pemantau polusi NASA Aura dan ESA
S5TROPOMI di timur laut China pada bulan Januari dan Februari 2020

Perihal kelelawar dan hewan liar lainnya yang dikait-kaitkan dengan COVID-19,
terdapat satu ilustrasi[8] yang menarik yang justru menyebutkan manusia sebagai
penyebabnya. Bayangkan suatu ekosistem di alam yang berfungsi mirip dengan
tubuh manusia: ketika dalam kondisi kuat dan sehat—yang berarti ekosistem itu
terdiri dari beragam spesies dan memiliki cukup ruang untuk populasi hewan yang
sehat—maka cenderung tidak menjadi sumber penyakit. Namun, karena
perdagangan satwa liar di dunia terus berlanjut, dan aktivitas manusia merangsek
lebih dalam ke hutan tropis, manusia meningkatkan paparan mereka terhadap
hewan liar, serta tidak menutup kemungkinan sambil membawa penyakit ke
dalam hutan. Ditambah lagi ketika penambangan dan penebangan merusak habitat
satwa liar, hewan-hewan dipaksa masuk ke area yang berbeda dan lebih kecil
yang menimbulkan stres dan penyakit. Akhirnya hewan-hewan liar yang terdesak
itu melakukan kontak dengan manusia dan hewan peliharaannya, yang mendorong
penularan penyakit dari satwa liar ke manusia.
Pada akhirnya, penjelasan tentang hubungan COVID-19 dengan konservasi alam
adalah berkenaan dengan dampak positif dan negatif. Diawali dengan anggapan
bahwa alam beristirahat dari ulah manusia selama pandemi adalah salah persepsi
karena orang-orang yang kehilangan pekerjaan di kota akibat COVID-19 memilih
kembali ke rumah pedesaan mereka, untuk selanjutnya memberi tekanan berupa
perampasan lahan, penggundulan hutan, penambangan liar dan perburuan satwa
liar. Daerah kawasan konservasi di Afrika yang warganya sebagai pengelola
secara ekonomi bergantung pada wisatawan, ketika pandemi menyebabkan
pariwisata terhenti, peningkatan konsumsi daging hewan liar kembali marak.
Belum lagi bila dihubungkan dengan lembaga-lembaga fundraising yang
bergantung pada CSR untuk mengupayakan konservasi alam, di mana aliran dana
tersendat karena perusahaan-perusahaan pendonor masih fokus terhindar dari
kebangkrutan.
Jadi, bila manusia masih mempertahankan antroposentrisme, pandemi COVID-19
akan dianggap sama saja dengan bencana alam atau non-alam lainnya, yang hanya
menjadi waktu istirahat sejenak bagi tangan-tangan dan mesin perusak alam.
Kecuali bila pemerintah berhenti membatalkan perlindungan hukum untuk
kawasan lindung karena dapat mempercepat laju perubahan iklim, menghilangkan
sumber penting mata pencaharian berkelanjutan, dan berkontribusi pada hilangnya
keanekaragaman hayati. Alih-alih mengurangi kawasan lindung, pemerintah harus
menambahnya. Diiringi perusahaan yang berkomitmen melipatgandakan investasi
dalam menjaga iklim alami, melindungi dan memulihkan ekosistem kritis, dengan
tetap membantu buruh meningkatkan kesejahteraan.
Daftar Pustaka
1. who.int. (2020, 30 Maret). WHO Director-General's opening remarks at
the media briefing on COVID-19 - 30 March 2020. Diakses pada 24
Januari 2021, dari https://www.who.int/director-
general/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-
media-briefing-on-covid-19---30-march-2020
2. Yansen. thejakartapost.com. (2020, 12 Agustus). Its time for nature.
Diakses pada 24 Januari 2021, dari
https://www.thejakartapost.com/academia/2020/08/12/its-time-for-
nature.html
3. public.wmo.int. (2020, 24 Maret). Economic slowdown as a result of
COVID is no substitute for Climate Action. Diakses pada 24 Januari 2021,
dari https://public.wmo.int/en/media/news/economic-slowdown-result-of-
covid-no-substitute-climate-action
4. carbonbrief.org. (2020, 19 Februari). Analysis: Coronavirus temporarily
reduced China’s CO2 emissions by a quarter. Diakses pada 24 Januari
2021, dari https://www.carbonbrief.org/analysis-coronavirus-has-
temporarily-reduced-chinas-co2-emissions-by-a-quarter
5. Harrison, R.M., Masiol, M., Vardoulakis, S. Civil aviation, air pollution
and human health. Environ. Res. Lett. 2015, 10, 041001
6. Robbert Kivits, Michael B. Charles, Neal Ryan, A post-carbon aviation
future: Airports and the transition to a cleaner aviation sector, Futures,
Volume 42, Issue 3, 2010, Pages 199-211, ISSN 0016-3287
7. The Lancet. (2020, 24 January). Clinical features of patients infected with
2019 novel coronavirus in Wuhan, China, Volume 395, Issue 102223, pp.
497-506. Diakses pada 24 Januari 2021, dari
https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-
6736(20)30183-5/fulltext
8. conservation.org. Impact of Corona Virus on Nature. Diakses pada 24
Januari 2021, dari https://www.conservation.org/stories/impact-of-covid-
19-on-nature

Anda mungkin juga menyukai