Anda di halaman 1dari 6

Lingkungan

Mengatasi Limbah Masker Medis di Masa Pandemi


Neng Hani Rahmawati

Coronavirus disaese 2019 atau COVID-19 merupakan penyakit yang


menyerang saluran pernapasan. Virus penyebab COVID-19 dinamakan SARS-
CoV-2, dimana hewan yang menjadi sumber penularannya. Bermula dari Kota
Wuhan, China, virus ini menyebar ke berbagai negara di dunia secara cepat dan
membuat ancaman pandemi. Pandemi COVID-!9 menyebabkan meningkatnya
permasalahan lingkungan, yang mana hal tersebut dapat menurunkan kualitas dari
lingkungan itu sendiri. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat
adanya peningkatan limbah medis sebesar 30%-50% selama pandemi COVID-19
di Indonesia. Jumlah limbah medis yang dihasilkan dari penanganan COVID-19
terus bertambah seiring dengan meningkatnya angka penyebaran virus SARS CoV-
2 tersebut., penyebab limbah medis ini tidak hanya dihasilkan dari aktivitas
fasilitas kesehatan, namun juga dari penggunaan Alat Pelindungan Diri (APD)
masyarakat sehari-hari seperti masker medis sekali pakai dan face shield (LIPI,
2021). Pada saat pandemi, semua kalangan masyarakat menggunakan masker
dalam menjalankan aktivitas di luar rumah untuk mencegah penyebaran COVID-
19, dengan demikian masker yang setiap hari digunakan masyarakat merupakan
salah satu penyebab utama meningkatnya permasalah lingkungan di masa
pandemi.
Limbah adalah bahan/barang sisa atau bekas dari suatu kegiatan atau
proses produksi yang fungsinya sudah berubah dari aslinya (Menperindag RI No.
231/MPP/Kep/7/1997 pasal 1 tentang Prosedur Impor Limbah). Limbah dapat
berupa gas, padat, dan cair. Di antara jenis limbah, ada yang disebut sebagai
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Berdasarkan BAPEDAL (1995),
limbah B3 adalah bahan sisa suatu kegiatan proses produksi yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun karena sifat, konsentrasi yang secara langsung
maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan dan
membahayakan kesehatan manusia.
Limbah masker medis di Indonesia tergolong ke dalam limbah B3.
Kementrian Kesehatan merekomendasikan masker kain sebagai senjata utama
pelindungan diri untuk masyarakat umum di masa pandemi, tetapi karena adanya
varian baru dari virus tersebut, maka masyarakat merasa lebih aman menggunakan
masker medis. Dalam riset mengenai stabilitas virus yang ada dipermukaan,
menyebutkan bahwa masa aktif virus pada masker medis bagian dalam selama 7
hari sedangkan bagian luar lebih dari 7 hari (LIPI, 2021). Berdasarkan penelitian
yang dilansir pada jurnal Fontiers of Evironmental Science and Engineering,
bahwa jika satu bulan terdapat 31 hari, maka penggunaan masker sekali pakai
sekitar 2,8 juta masker per menit. Jumlah limbah medis dari pandemi COCID-19
ini meningkat 30%, sedangkan kapasitas pengelolaan B3 medis di beberapa
daerah terutama di luar Jawa masih terbatas (Direktur Jendral Pengelolaan
Sampah, Limbah dan B3). Hal tersebut menunjukan bahwa adanya peningkatan
limbah masker medis di masa pandemi.
Masker medis sekali pakai, utamanya terbuat dari polipropilen yang
merupakan salah satu jenis plastik. Plastik membutuhkan waktu ratusan tahun
untuk dapat terurai. Plastik saat terurai akan menjadi kepingan kecil yang disebut
mikroplastik, mikroplastik mengecil lagi menjadi nanoplastik yang lebih kecil.
Partikel dan serat kecil ini merupakan polimer berumur panjang yang dapat
terakumulasi dalam rantai makanan. Satu masker saja dapat terurai menjadi jutaan
partikel yang berpotensi membawa bahan kimia dan virus/bakteri kedalam rantai
makanan. Selain itu, masker medis sangat berbahaya bagi manusia, karena virus
dapat bertahan selama tujuh hari pada masker medis, dengan begitu menunjukan
bahwa masker medis berisiko menyebabkan penyebaran COVID-19. Dalam
jangka panjang, hewan dan tumbuhan juga terpengaruh, karena limbah plastik
dapat merusak ekosistem. Beberapa hewan memakan plastik karena tidak bisa
membedakan antara limbah plastik dan makanannya, dengan begitu hewan dapat
mengalami kekurangan gizi karena plastik memenuhi perutnya tapi tidak dapat
memberikan nutrisi.
Beberapa pihak yang bertanggung jawab dalam penanganan limbah
masker medis diantaranya, pertama masyarakat dengan melakukan pemilahan
sampah dari sumber, pengolahan sampah sesuai prosedur dan penanganan. Kedua,
pemerintah dengan melakukan sosialisasi dan edukasi, berkontribusi dengan
pemerintah daerah, memberikan pendampingan dalam penanganan limbah, dan
pengangkutan limbah B3 (Ajeng Arum, Kepala Loka Penelitian Teknologi Bersih,
LIPI). Berdasarkan pasal 59 ayat (1) UU No.32 Tahun 2019 mengatakan bahwa,
setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah
B3 yang dihasilkannya.
Dampak yang muncul jika terjadi kegagalan pengolahan limbah masker
COVID-19 adalah pencemaran lingkungan, merusak ekositem, peningkatan
timbulan limbah medis terbengkalai, penyalahgunaan masker bekas dan
meningkatnya resiko penyebaran COVID-19. Tingginya timbulan limbah masker
berkaitan dengan kendala yang dihadapi dalam pengolaan limbah masker itu
sendiri, hal tersebut disebabkan karena kurangnya edukasi kepada masyarakat
mengenai cara mengatasi limbah masker medis yang terus meningkat. Pemerintah
telah mengeluarkan peraturan dan regulasi untuk menangani kondisi tersebut,
yang tercantum dalam UU No.32 Tahun 2009, disebutkan beberapa cara
mengelola limbah B3 yaitu pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pengolahan dan penimbunan.
Hal utama untuk mengurangi limbah masker adalah tidak keluar rumah
jika tidak diperlukan. Pengurangan limbah masker medis pun dapat dilakukan
dengan cara memilih bahan baku yang tidak mengandung B3, mudah terurai dan
menghindari masker sekali pakai, seperti menggunakan masker kain namun tetap
memperhatikan kesterilannya.
Menyediakan tempat penyimpanan limbah masker medis pun perlu
diperhatikan. Lokasi yang sesuai untuk penyimpanan limbah adalah lokasi bebas
banjir, tidak rawan bencana alam disertai bak penampung, serta mampu menjaga
limbah dari paparan sinar matahari dan hujan. Pembakaran limbah ditempat
penyimpanan perlu diperhatikan asap dari hasil pembakaran tersebut agar tidak
langsung ke udara yang berkenaan dengan lingkungan hidup.
Pengumpulan limbah masker medis dilakukan dengan cara pemisahan
sesuai dengan karakteristik dari limbah supaya mendapatkan penanganan yang
sesuai baik oleh fasilitas kesehatan atau oleh masyarakat itu sendiri.
Pengangkutan limbah masker medis dilaksanakan dengan memakai alat
angkut tertentu yang terlebih dahulu didisinfektan supaya meminimalisir
penularan. Alat angkut yang digunakan harus mudah dibersihkan, dikeringkan dan
menggunakan wadah tertutup yang kokoh, menurut Sitepu, yang dilansir dalam
artikel Pengaturan Pengelolaan Limbah Medis.
Pengeloaan limbah masker medis dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu, menggunakan autoclave, daur ulang dan riset daur ulang. Teknologi
sterilisasi autoclave memanfaatkan uap panas untuk mematikan patagen dalam
limbah, suhu yang efektif sekitar 120º-140º C selama 30 menit. Teknologi ini
ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi, bebas patogen dan sisa residu
yang aman. Daur ulang merupakan metode yang dianggap dapat mengatasi
peningkatan limbah masker, dengan melakukan inaktivasi virus terlebih dahulu.
Studi yang dilakukan oleh Abraham et al (2020) menyebutkan bahwa inaktivasi
COVID-19 dapat menggunakan termal temperatur rendah. Riset daur ulang yang
dilakukan Akbar Hanif, yaitu menggunakan metode ekstrusi dengan mengubah
limbah masker yang telah disterilisasi menjadi biji plastik yang dapat didaur ulang
menjadi berbagai produk, seperti pot hidroponik, trash bag dan produk lainnya
yang tidak termasuk food grade.
Penimbunan diawasi ketat oleh pihak penyediaan fasilitas kesehatan.
Penimbunan dilakukan terhadap abu hasil pembakaran insineratorr dan abu hasil
pembakarannya ditimbun ke dalam lahan khusus yang tertutup.
Penggunan masker medis memang erat kaitannya dengan pandemi
COVID-19, bahkan beberapa masyarakat yang bukan merupakan tenaga
kesehatan atau berhadapan langsung dengan COVID-19 pun turut menggunakan
masker medis dengan harapan dapat lebih terhindar dari penularan COVID-19.
Meningkatnya limbah B3 masker medis pada masa pandemi berdampak negatif
pada lingkungan, terlebih belum maksimalnya dalam mengatasi limbah masker
medis. Berdasarkan UU No.32 Tahun 2009, disebutkan beberapa cara mengelola
limbah B3 yaitu pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pengolahan dan penimbunan. Pandemi COVID-19 dapat menjadi momentum bagi
Indonesia untuk memperbaiki sistem pengelolaan limbah, terutama limbah B3
masker medis.
Daftar Pustaka
Ameridya, A dkk, 2021, Limbah Masker di Era Pandemi: Kejahatan Meningkat
atau Menurun?, Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan, vol.10
no.1.
Axmalia, A & Ariyanto R, 2021, Pengelolaan Limbah Infeksius Rumah Tangga
pada Masa Pandemi COVID-19, Jurnal Kesehatan Komunitas, vol.7 no.1.
Haryono, A, 2021, Urgensi Pengelolaan Limbah Medis di Masa Pandemi Covid-
19, LIPI, diakses pada 26 September 2021,
https://lipi.go.id/siaranpress/Urgensi-Pengelolaan-Limbah-Medis-di-Masa-
Pandemi-Covid-19/22339.
Prasetiawan T, 2020, Permasalahan Limbah Medis COVID-19, Pusat Penelitian
Badan Keahilian DPR RI, vol.12 no.9.
Purwanto, R, Amin, A & Mardiah, A, 2020, Pengaturan Pengelolaan Limbah
Medis Covid-19, Jurnal Yustika Media Hukum dan Keadilan, vol.23 no.2.
Rohman, A, 2021, Liputan Webinar Pengaruh Peningkatan Limbah Masker 1
Terhadap Lingkungan dan Penanganannya, Teknik Lingkungan
Universitas Jember, diakses pada 26 September 2021,
http://enviro.teknik.unej.ac.id/liputan-webinar-pengaruh-limbah-masker-
terhadap-lingkungan-dan-penanganannya/.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai