Sampah terus jadi masalah dan ancaman bagi bumi nusantara. Kali ini ancaman muncul akibat pandemi covid-19. Pandemi covid-19 mengharuskan masyarakat dunia, tidak terkecuali Indonesia menggunakan masker sekali pakai untuk mencegah penyebaran virus covid-19. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mengumpulkan 1,5 ton limbah masker sekali pakai. Terhitung sejak April hingga akhir Desember 2020. Banyaknya limbah masker yang dihasilkan menjadi ancaman baru bagi lingkungan di Indonesia. Menurut penelitian, penggunaan masker sekali pakai sekitar 2,8 juta masker per menit. Volume limbah yang tidak sedikit akan menjadi PR baru bagi pemerintahan Indonesia dan masyarakatnya. Tindakan pengelolaan yang tepat sangat diperlukan secepatnya. Masker sekali pakai utamanya terbuat dari polipropilen, salah satu jenis plastik berbahaya dan beracun yang butuh ratusan tahun untuk dapat terurai. Saat terurai, plastik akan menjadi mikroplastik yang dapat berdampak negatif pada tumbuhan, hewan, dan manusia. Jika tidak ada tindakan pengelolaan yang tepat dari pemerintah dan kontribusi masyarakat, bisa jadi mikroplastik, bahkan nanoplastik akan masuk ke dalam rantai makanan manusia yang mampu menimbulkan berbagai pernyakit. Pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan sampah rumah tangga dari penanganan covid-19 diatur dalam Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor SE.02/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020. Salah satu pengelolaan dijelaskan bahwa pengelolaan limbah masker dilakukan menggunakan insenerator bersuhu 800℃ . Pengelolaan tersebut memang sangat efektif untuk mengurangi limbah dalam jumlah besar, tetapi kurang efisien karena biaya alat dan biaya operasional yang mahal, serta menimbulkan polutan yang berbahaya. Pemerintah bisa mengambil saran yang diberikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). LIPI menyampaikan bahwa jenis plastik polipropilen dapat didaur ulang dengan cara diekstrusi pada suhu 170℃ sehingga menghasilkan bijih plastk yang dapat diubah menjadi bentuk apa pun yang diinginkan, seperti pot hidroponik, bak sampah, kantong sampah, dan lain-lain. Selain itu, dibangunnya tempat penyortiran khusus limbah masker diberbagai daerah akan membantu proses pengelolaan lanjutan. Kontribusi masyarakat dalam permasalahan ini juga sangat dibutuhkan. Keikutsertaan masyarakat dalam mengganti masker sekali pakai dengan masker kain bagi orang sehat akan membantu penurunan jumlah limbah masker sekali pakai yang dihasilkan. Penyortiran sampah masker secara mandiri lalu diserahkan ke tempat penyortiran khusus limbah masker juga membantu proses penyelesaian masalah ini. Siapa lagi yang bertindak jika bukan kita? Tindakan pengelolaan yang dilakukan hampir sama dengan Jepang dan Jerman. Bedanya, di Jepang dilakukan penyortiran yang rumit, tetapi dinilai sukses dalam mengurangi jumlah sampah yang dibakar. Hal ini bisa terjadi karena pengelolaan yang ketat, sedangkan pembakaran yang dilakukan di Jerman menggunakan teknologi yang memungkinkan pembakaran tidak menimbulkan efek samping bagi kesehatan. Ancaman limbah masker tidak main-main. Dampaknya akan sangat besar bagi kelangsungan hidup tumbuhan, hewan, dan manusia. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang baik pemerintah dengan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kita semua berharap agar ancaman limbah masker ini segera terselesaikan dengan cepat. Sungguh menyeramkan bila tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat.