Anda di halaman 1dari 6

WASTE TO ENERGI

SEBAGAI ALTERNATIF STRATEGI PENGELOLAHAN SAMPAH

APA ITU SAMPAH


Menurut World Health Organization (WHO) sampah adalah sesuatu yang tidak
digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan
manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Menurut UU nomor 18 tahun 2008, disebutkan
bahwa sampah adalah sisa-sisa kegiatan setiap hari dari manusia atau dari proses alam yang
terjadi. Baik sampah yang berupa zat padat maupun sampah yang berupa zat cair. Berdasarkan
pernyataan-pertanyaan tersebut, sampah dapat dikatakan sebagai benda yang tidak lagi
digunakan karena tidak memiliki nilai guna apapun. Karena tidak lagi digunakan, sampah
kemudian dibuang dan dikumpulkan di suatu tempat.

VOLUME SAMPAH
Sampah akan menjadi tumpukan yang semakin tidak terbendung akibat jumlah konsumsi
manusia semakin meningkat, Data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan total jumlah
sampah di Indonesia mencapai 187,2 juta ton/tahun (Effendi, 2017). Tempat pembuangan sampah
terpadu (TPST) akan kesulitan mengimbangi peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan.
Adapun distribusi dari sampah organic dan anorganik adalah sebagai berikut :
 Organik (sisa makanan dan tumbuhan) = 60%
 Logam, karet, kain dan kaca = 17%
 Kertas = 9%
 Plastic = 14%

EFEK NEGATIF SAMPAH


Meskipun bisa terurai, Proses pembusukan sampah organik yang dikubur dalam tanah
(landfill) dapat mencebabkan pencemaran lingkungan. Munculnya air lindi yang memiliki
konsentrasi organik sangat tinggi dapat menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air sehingga air
tersebut tidak layak dikonsumsi oleh manusia dan bahkan hewan. Namun apabila di tempat
terbuka, gas yang dihasilkan oleh pembusukan, salah satunya gas metana, adalah salah satu gas
rumah kaca yang dapat merusak lapisan ozon 21 kali lebih cepat dari CO2.
Sampah anorganik yang tidak dapat terurai dengan cepat memiliki dampak yang lebih
buruk, terutama sampah plastik. Sampah plastik membutuhkan waktu hingga lima ratus tahun
untuk terurai.

PENGELOLAHAN SAMPAH
Data dari kementrian lingkungan hidup dan pekerjaan umum tahun 2014, pengelolahan
sampah dilakukan dengan cara diangkut dan ditimbun sebesar 68%, dikubur sebesar 9%, diolah
jadi kompos dan daur ulang sebesar 6%, diibakar sebesar 5% dan tidak dikelolah sebesar 7%.
Pengelolahan sampah 3R berbasis masyarakat adalah paradigma baru dalam mengelolah
sampah. Paradigma ini ditekankan pada metode pengurangan volume sampah lebih arif dan
ramah lingkungan. Yang dimaksud dengan 3R adalah reduce, recovery dan recycle. Reduce,
adalah pengurangan jumlah sampah atau meminimalisir jumlah barang yang digunakan.
Recovery merupakan pengambilan komponen sampah yang masih bisa digunakan seperti aki
bekas yang di ambil timah hitamnya. Recycle, yaitu mengolah barang yang tidak terpakai
menjadi baru sehingga bisa digunakan kembali seperti pengomposan, pembuatan batako dan
briket.
Metode pengolahan sampah ada 2, yaitu metode yang menitikberatkan pada penggunaan
bahan dan metode yang menitikberatkan pada perolehan energi (Widyatmoko dan Moerdjoko,
2002). Metode yang menitikberatkan pada penggunaan bahan seperti pemilahan dan
pengomposan. Sedangkan metode yang menitikberatkan pada perolehan energi seperti
insenerator, pryolisis, dan sampah sebagai bahan bakar.

PENGELOLAHAN SAMPAH MENJADI ENERGI


Pengolahan sampah menjadi energi tediri atas beberapa cara seperti insinersi, pirolisis,
plasma grasifikasi, dan penguraian anaerobik penghasil biogas (paling popular).

Insinersi efektif mengurangi 85% berat sampah dan 96% volume sampah. Hasil dari insinersi
adalah panas yang memiliki potensi besar menjadi sumper pembangkit listrik tenaga sampah.
Dikutip pada laporan Greenpeace pada tahun 2011, bahwa masyarakat yang tinggal dekat
insinerator berpotensi terkena bahan kimia berbahaya melalui udara yang tercemar atau hasil
pertanian (sayuran, telur dan susu) yang terkontaminasi. Semua porses pembakaran sampah ini
menghasilkan dioxin yang berkarakteristik persisten, bioakumulatif, dan karsinogen, terutama
jika sampah yang dibakar menagndung chlorine.

Plasma grasifikasi yaitu memanaskan sampah tanpa pembakaran, tetapi berupa pemanfaatan
lecutan listrik untuk mengurai kandungan organik dan anorganik dalam sampah. Plasma
grasfikasi akan menghasilkan CO,H2, dan CO2 atau lebih populer dengan sebutan syngas
sekaligus uap yang dapat diarahkan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Grasifikasi
plasma dapat mengolah berbagai jenis limbah berbahaya termasuk limbah medis dan racun
namun, sayangnya selain syngas dan uap proses plasma granifikasi tidak menghasilkan energi
lainnya.

Biogas adalah pengolahan limbah kotoran ,yang didominasi oleh kotoran hewan, dengan
menggunakan mikroorganisme dan tempat kedap udara. Hasil dari proses penguraian anaerobik
akan menghasilkan biogas yang dapat membantu industri rumah tangga kecil.

Pirolisis adalah proses pemanasan bertahap tanpa udara yang lebih difokuskan untuk mengolah
sampah plastik dan menkonversikannya menjadi bahan bakar diesel.

MENGELOLAH SAMPAH PLASTIK


Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia yaitu sebesar
10,1 % setelah China 27,7% dan disusul oleh Filipina, Vietnam, Srilanka (Lingkungan Hidup, 2015).
Indonesia menghasilkan sekitar satu juta sampah kantong plastik setiap harinya. Pada 2018,
Badan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jakarta mengungkapkan bahwa Jakarta menghasilkan
2.000 ton sampah plastik dan 2.357.917 sedotan.
Penanganan sampah plastic dengan metode 3 R (Reuse, Reduce, Recycle) mempunyai
beberapa permasalahan. Kelemahan dari Reuse barang barang tertentu yang terbuat dari plastik,
seperti kantong plastik, kalau dipakai berkali – kali akan tidak layak. Selain itu beberapa jenis
plastik tidak baik bagi kesehatan tubuh apabila dipakai berkali – kali. Kelemahan dari Reduce
adalah harus tersedianya barang pengganti plastik yang lebih murah dan lebih praktis. Sedangkan
kelemahan dari Recycle adalah bahwa plastik yang sudah di daur ulang akan semakin menurun
kualitasnya.

MENGELOLAH SAMPAH PLASTIK MENJADI ENERGI


Alternatif lain penanganan sampah plastik yang saat ini banyak diteliti dan
dikembangkan adalah mengkonversi sampah menjadi bahan bakar minyak. Cara ini sebenarnya
termasuk dalam Recycle akan tetapi daur ulang yang dilakukan adalah tidak mengubah sampah
plastik langsung menjadi plastik lagi. Dengan cara ini dua permasalahan penting bisa diatasi,
yaitu bahaya menumpuknya sampah plastik dan diperolehnya kembali bahan bakar minyak yang
merupakan salah satu bahan baku plastik.
Teknologi untuk mengkonversi sampah plastik menjadi bahan bakar minyak yaitu dengan
metode Pirolisis/ Cracking (perekahan). Cracking adalah proses memecah rantai polimer menjadi
senyawa dengan berat molekul yang lebih rendah. Hasil dari proses cracking plastik ini dapat
digunakan sebagai bahan kimia atau bahan bakar.
Melihat jumlah sampah plastik yang dihasilkan di Indonesia, diiringi dengan
perkembangan teknologi untuk menemukan EBT sekaligus kelangkaan energi yang mulai
terjadi, bahwa pirolisis adalah alat yang sangat tepat untuk diaplikasikan di Indonesia. Bahkan,
London Plastic Energy Limited baru-baru ini telah menanamkan investasi berupa alat instalasi
mesin pirolisis senilai tiga triliun di Jawa Barat yang direncanakan akan mulai dibangun pada
tahun 2020. hasil dari pirolisis ini akan menjadi green diesel atau lebih dikenal dengan sebutan
solar yang merupakan merek dagang dari Pertamina.
Alat pirolisis ini sendiri Setiap satuan berat plastik, dapat menghasilkan 70% minyak,
16% gas, 6% carbon solid, dan 8% air. Hal ini akan sangat membantu mengurangi penggunaan
energi fosil dan dapat digunakan di mesin-mesin traktor milik petani.

PRODUK MINYAK PLASTIK HASIL PIROLISIS


Sampah plastik yang selama ini tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi atau bahkan
tidak bernilai bisa diolah dengan menggunakan Mesin Pengolah Sampah Plastik Menjadi Bahan
Bakar Minyak (BBM). Dengan mengkonversi sampah plastic menjadi bahan bakar minyak.
Pembakaran Langsung : Pabrik Tahu/ Tempe, Industri Kerupuk/ Keripik, Pembuatan Batu
Bata, Pengecoran Logam, Boiler, Industri Laundri, Rumah Tangga
Penggerak Diesel : Traktor, Nelayan (Transportasi Sungai/ Laut), Penggilingan Padi, Penggiling
Daging, Penepung, Percetakan, Pabrik Limbah Plastik, Genset dll
KESIMPULAN
1. Sampah plastic harus menjadi perhatian serius semua pihak, khususnya pemerintah
2. Regulasi yang mendorong peran serta masyarakat dalam pengelolahan sampah harus
dilakukan secara kontinu, bukan hanya sekedar proyek sesaat
3. Merubah sampah menjadi energi secara teknologi sangat mungkin dilakukan, meskipun perlu
dipilih yang mempunyai resiko paling kecil bagi masyarakat dan lingkungan
4. Teknologi pirolisis mempunyai resiko paling kecil, sehingga perlu didorong untuk diterapkan
di Indonesia
5. Perlu mendorong dan memberikan kemudahan/insentif/bimbingan dari pemerintah kepada
industry hasil putra bangsa yang mampu mengembangkan teknologi pengolahan sampah
plastic menjadi bahan bakar cair (pirolisis) karena :
 Membantu program pemerintah dalam rangka mengurangi sampah plastic
 Membantu program pemerintah dalam rangka menciptakan solusi energi terbarukan
 Menjadi alternatif sumber energi bagi pelaku usaha
 Membantu masyarakat mendapatkan sumber energi alternative
 Sumber bahan baku plastik mudah didapatkan
 Operasional usaha mudah dijalankan
 Hasil produk minyak plastik mudah dipasarkan
Effendi, A. (2017, April 1). Total Sampah di Indonesia Capai 187,2 Juta Ton/Tahun. Retrieved from
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/04/01

Lingkungan Hidup. (2015, November 24). Sumber Pencemaran Laut Di Indonesia dan Dampaknya.
Retrieved from https://lingkunganhidup.co/pencemaran-laut-di-indonesia-dan-
dampaknya

Anda mungkin juga menyukai