Anda di halaman 1dari 8

1. Apa yang akan diperkenalkan ?

Pengertian sampah menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
yaitu sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat atau semi-padat
berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap
sudah tidak berguna lagi dan dibuang ke lingkungan. Sementara menurut World Health
Organization (WHO), sampah adalah barang yang berasal dari kegiatan manusia yang tidak lagi
digunakan, baik tidak dipakai, tidak disenangi, ataupun yang dibuang.
Sampah dibagi menjadi dua berdasarkan sifatnya, yaitu sampah organik dan sampah anorganik.
Kedua sifat tersebut berkaitan dengan bahan penyusun sisa buangan dan proses dekomposisi bahan
di alam.
Pertumbuhan populasi dan urbanisasi (dengan peningkatan industri, komersial, dan kelembagaan)
berkontribusi pada peningkatan produksi limbah, seperti halnya pertumbuhan ekonomi yang cepat
dan industrialisasi di seluruh negara berkembang. Perubahan sosial dan ekonomi ini telah
menyebabkan konsumsi bahan baku, barang olahan, dan layanan yang terus berkembang.
Sementara tren ini, dalam banyak hal, meningkatkan kualitas hidup bagi ratusan juta orang, itu
tidak datang tanpa biaya yang murah bagi lingkungan. Pengelolaan yang tepat dari berbagai
limbah menjadi penting untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan serta memastikan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
2. Bagaimana Manajemen persampahan?
Pengelolaan sampah adalah proses pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, mendaur ulang dari
material sampah. Pengelolaan sampah merupakan proses yang diperlukan dengan tujuan untuk
mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis (pemanfaatan sampah) dan
mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi lingkungan hidup.
Metode pengelolaan sampah antara lain:
a. Pencegahan
Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah pencegahan zat sampah terbentuk ,
atau dikenal juga dengan “pengurangan sampah”. Metode pencegahan termasuk penggunaan
kembali barang bekas pakai , memperbaiki barang yang rusak , mendesain produk supaya bisa diisi
ulang atau bisa digunakan kembali, menghindari penggunaan barang sekali pakai, dan mendesain
produk yang menggunakan bahan yang lebih sedikit untuk fungsi yang sama .
b. Daur Ulang
Daur ulang adalah proses untuk menjadikan suatu bahan bekas menjadi bahan baru dengan tujuan
mencegah adanya sampah, yang masih dapat menjadi sesuatu yang berguna atau pengambilan
barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk digunakan kembali.
c. Penggunaan Kembali
Penggunaan kembali merupakan salah satu metode pengelolan sampah yang materialnya hanya
mengalami sedikit atau tidak ada pemrosesan sebelum digunakan kembali. Material dimaksud
seperti kertas, plastik, kaca, aluminium, baja, kayu, bahan konstruksi termasuk beton, bahan aspal,
batu, dan baja tulangan
d. Pemulihan Energi
Pemulihan energi dari limbah adalah konversi bahan limbah yang tidak dapat didaur ulang menjadi
panas, listrik, atau bahan bakar yang dapat digunakan melalui berbagai proses, termasuk
pembakaran, gasifikasi, pirolisis, pencernaan anaerob, dan pemulihan gas TPA. Proses ini sering
disebut limbah-ke-energi. Menggunakan pemulihan energi untuk mengubah bahan limbah yang
tidak dapat didaur ulang menjadi listrik dan panas menghasilkan sumber energi terbarukan dan
dapat mengurangi emisi karbon dengan mengimbangi kebutuhan energi dari sumber fosil serta
mengurangi pembangkitan metana dari tempat pembuangan sampah. Secara global, limbah-ke-
energi menyumbang 16% dari pengelolaan limbah.
Kandungan energi dari produk limbah dapat dimanfaatkan secara langsung dengan
menggunakannya sebagai bahan bakar pembakaran langsung, atau secara tidak langsung dengan
mengolahnya menjadi jenis bahan bakar lain.
e. Pembuangan (TPA dan Insinerasi)
Tempat pembuangan sampah adalah situs untuk pembuangan bahan limbah dengan penguburan.
Tempat pembuangan sampah adalah bentuk tertua dari pengolahan limbah, dengan cara sampah
hanya ditumpuk atau dibuang ke dalam lubang. TPA yang tidak terkendali dapat menghasilkan
efek samping yang tidak terkontrol, air tanah yang terkontaminasi, bau yang tidak berkurang, dan
nilai properti yang semakin menurun. Sementara Insinerasi adalah metode pembuangan dengan
melakukan pembakaran limbah organik padat sehingga dapat mengubahnya menjadi residu dan
produk gas. Metode ini berguna untuk pembuangan limbah padat kota dan residu padat dari
pengolahan air limbah. Proses ini mengurangi volume limbah padat hingga 80 hingga 95 persen.
Metode ini diakui sebagai metode praktis untuk membuang bahan limbah berbahaya tertentu
(seperti limbah medis biologis). Insinerasi adalah metode kontroversial pembuangan limbah,
karena masalah seperti emisi polutan gas.
3. Bagaimana sampah menghasilkan energy?
Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan cara
menjadikannya bahan bakar (insinerasi), atau secara tidak langsung dengan cara mengolahnya
menjadi bahan bakar tipe lain (Gas dan bricket). Metodenya bervariasi mulai dari
menggunakannya sebakai bahan bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya
untuk memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-generator. Teknologi
pengolahan sampah ini untuk menjadi energi listrik pada prinsipnya sangat sederhana sekali yaitu:
Sampah diproses (biokimia dan termokimia) sehingga menghasilkan panas (proses konversi
thermal) Panas dari hasil pembakaran dimanfaatkan untuk mengubah air menjadi uap dengan
bantuan boiler Uap bertekanan tinggi digunakan untuk memutar bilah turbin  Turbin
dihubungkan ke generator dengan bantuan poros  Generator menghasilkan listrik dan listrik
dialirkan ke rumah  rumah atau ke pabrik.
Gasifikasi, Landfill gas, pirolisis, RDF, dan insinerasi adalah bentuk teknologi pengolahan sampah
menjadi energy yang menghasilkan gas dan bricket yang dapat digunakan sebagai bahan bakar
penghasil panas.
4. Bagaimana perkembangan teknologi energy dari sampah di Indonesia?
Perkembangan teknologi pengolahan energy dari sampah di Indonesia antara lain:
a. Landfill gas collection
Rata rata komposisi sampah perkotaan Indonesia didominasi oleh sampah organik yang tinggi
(sekitar 60%) sehingga pengolahan alami secara biologis dan menghasilkan gas dalam
jumlah yang sangat besar. Landfill gas merupakan metode mengubah sampah menjadi energy
pada kondisi anaerob sehingga menghasilkan biogas, khususnya gas metana (CH4) dan CO2.
Biogas merupakan sumber energi terbarukan yang dihasilkan oleh fermentasi anaerobik dari bahan
organic, walaupun didominasi oleh gas metana dan karbon dioksida, juga terdapat gas- gas lain
dengan persentase yang lebih kecil. Gas metan dengan masa jenis rendah akan cenderung naik ke
permukaan karena lebih ringan dibanding udara, sedang gas CO2 akan cenderung berada di
bawah, dan dapat terakumulasi di tempat-tempat tertentu seperti di sumur gas sehingga untuk
memperoleh gas metan cukup dengan membuat sumur dengan sistem perpipaan pada TPA.
Emisi gas metan dari landfill adalah sumber utama rumah kaca gas yang diproduksi oleh sektor
persampahan dalam skala global. Berdasarkan data SLHI (Status Lingkungan Hidup Indonesia)
tahun 2007, diketahui bahwa pengelolaan sampah di landfill yang tidak mengelola gas dengan baik
menyumbang 3% efek pemanasan global di Indonesia. Dengan karakteristik tersebut, mengurangi
emisi metana dari TPA sampah adalah salah satu cara terbaik untuk mengurangi dampak manusia
terhadap perubahan iklim global.
Melihat potensi di mana hampir seluruh kota/kabupaten memiliki landfill dan pasti
menghasilkan metana, pengelolaan dan pemanfaatan gas metan menjadi sangat penting untuk
dilakukan. Proses pemanenan gas dari landfill terdiri dari beberapa proses yaitu pengumpulan dan
pengangkutan gas, penyaluran gas, pemurnian gas, penyimpanan gas, dan kemudian dikonversikan
untuk dimanfaatkan.
Listrik diproduksi dengan cara membakar LFG di mesin pembakaran internal, turbin gas,
atau mikro-turbin. Arus listrik yang diharapkan dari hasil Landfill Gas ini adalah arus DC
untuk mencegah shock voltage akibat minimnya kontinuitas dari produksi gas.
Implementasi landfill gas untuk listrik di Indonesia antara lain:
1. TPST Bantar Gebang kapasitas 3 Mw
2. TPA Benowo kapasitas 2 Mw
Beberapa permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh gas-gas adalah sebagai berikut:
• Gangguan terhadap tanaman di lokasi Landfill atau sekitarnya. karena mengurangi oksigen
pada zone akar, meningkatkan suhu tanah, efek toxic pada fisiologi tanaman
 Methane pada konsentrasi 5-15 % volume udara mudah terbakar/meledak juga
merupakan kotributor dalam pemannsan global.
• Walaupun methane dan karbon dioksida tidak berbau tetapi gas-gas yang lain seperti H2S,
mercaptane dan gas organik menimbulkan bau.
• Karbon dioksida dapat meningkatkan kesadahan air, Karbondioksida dapat menjadi penyebab
peningkatan mineral pada air tanah serta membentuk asam karbonik dan memperbesar beban
untuk pengolahan air lindi.
• Keselamatan dan kesehatan operator maupun pemulung

b. Gasifikasi
Pada proses gasifikasi, bahan baku (feedstock) akan dioksidasi dengan kondisi terbatas oksigen
sehingga terjadi pembakaran tidak sempurna. Hasil dari pembakaran tersebut berupa sisa padatan
(abu, slag, heavy metal, dll) dan juga flue gas yang disebut dengan synthetic gas atau syn-gas.
Syn-gas merupakan kumpulan gas hasil pembakaran yang didominasi oleh karbondioksida (CO2),
karbonmonoksida (CO), metana (CH4), dan Hidrogen (H2). Gas yang diperoleh dapat digunakan
sebagai pemanas ruang atau pembangkit listrik. Selain itu, syngas yang dihasilkan juga dapat
dipergunakan secara co-firing dengan gas alam pada pembangkit listrik turbin gas, sehingga
dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
Pada umumnya, proses gasifikasi memerlukan proses pre-treatment pada feedstock yang akan
diolah. proses pre-treatment pada feedstock gasifikasi biasanya adalah pemilahan,
pengeringan, serta pencacahan. Pada system gasifikasi entrained flow, maka pencacahan
feedstock merupakan suatu keharusan sementara pada sistem gasifikasi fluidized bed, perlakuan
pre-treatment tidak perlu dilakukan karena karakteristik heating rate yang tinggi. Plasma gasifier
juga merupakan teknologi yang menjanjikan dalam segi kualitas syngas, dan ketidak-butuhan pre-
treatment pada feedstock. Jika komposisi sampah yang terdapat pada TPA memiliki jumlah logam
atau kaca yang relatif banyak, maka teknologi plasma gasifikasi cocok digunakan karena dapat
melelehkan dan mengekstrak logam dan slag yang selanjutnya dapat digunakan untuk keperluan
lain seperti material konstruksi.
Menurut hasil survey yang dilakukan oleh World Bank pada publikasi International
Urban Development tentang komposisi MSW (sampah perkotaan), Indonesia secara rata-rata
memiliki karakter komposisi sampah perkotaan yaitu sampah organik sebanyak 62%, diikuti
oleh plastik, kaca, logam, dan kertas masing-masing sebanyak 10%, 9%, 8%, dan 6%. Sesuai
dengan negara berkembang di Asia Tenggara lainnya, Indonesia secara keseluruhan memiliki
sampah jenis organik yang dominan.
Sebaliknya, pada negara maju seperti Jepang memiliki kandungan sampah kertas yang dominan
sebanyak 46%, persentase zat organik yang relatif rendah, yaitu 26% dan plastik dengan
persentase 9%.
keterbatasan yang dialami oleh Indonesia adalah komposisi sampah kota. Karakteristik sampah
kota Indonesia secara menyeluruh tidak mirip dengan Negara-negara maju lainnya yang sudah
mengadopsi gasifikasi sampah kota.
Teknologi WtE gasifikasi saat ini masih dalam tahap pengembangan awal. Sampai saat ini, belum
diketahui jawaban pasti untuk memakai tipe sistem gasifikasi karena setiap tipe memiliki
keunggulan dan kekurangan masing-masing. Tidak semua proyek fasilitas gasifikasi beroperasi,
beberapa gagal untuk beroperasi. Sering kali hal ini dipicu karena untuk membangun fasilitas skala
besar membutuhkan biaya investasi awal yang besar.
c. RDF
Refuse Derived Fuel (RDF) merupakan bahan bakar alternatif yang berasal dari residu atau bahan
yang memiliki nilai kalor yang tinggi. Refuse Derived Fuel juga didefinisikan sebagai hasil proses
pemisahan limbah padat antara fraksi limbah mudah terbakar dan tidak mudah terbakar seperti
metal dan kaca.
Komposisi MSW (municipal solid waste) bervariasi dari berbagai tempat dan gaya hidup. sampah
yang belum diolah memiliki kadar air yang tinggi, nilai kalor yang rendah dan ukuran partikel
yang sangat heterogen. Hal tersebut menyebabkan penggunaan sampah sebagai bahan bakar
kurang menarik. Mengolah sampah menjadi RDF memberikan banyak keuntungan. Keuntungan
yang paling utama adalah tingginya nilai kalor yang cenderung bersifat konstan, bentuk fisik dan
karakteristik yang homogen, kemudahan dalam penyimpanan dan transportasi, rendahnya emisi
polutan dan reduksi dari udara berlebih saat pembakaran.
RDF dapat dibakar sebagai bahan alternatif atau pun dicampurkan dengan bahan bakar
lainnya seperti batu bara. Pembuatan RDF memanfaatkan keberadaan limbah baik domestic
maupun industri yang memiliki nilai kalor tinggi dalam jumlah dan kualitas yang sangat banyak.
Karakteristik penting untuk RDF sebagai bahan bakar diantaranya adalah nilai kalor, kadar air,
kadar abu, sulfur, dan kandungan klor. Kadar ini sangat beragam bergantung kepada sumber
limbah (seperti rumah tangga, kantor, konstruksi, dan lain-lain), bergantung pada cara
pengumpulan, dan pengolahan yang diterapkan (screening, pemilahan, grinding, pengeringan).
Ada dua macam material yang memberikan kontribusi nilai kalor RDF, yaitu kelompok yang
memiliki nilai kalor yang tinggi dan kelompok yang memiliki nilai kalor yang rendah. Kelompok
pertama yang memberikan nilai kalor tinggi termasuk di dalamnya kertas dan produk kertas serta
plastik dengan nilai kalor rata-rata 18600 J/gr. Bahan anorganik seperti kaca halus dan bahan
organik basah membentuk fraksi yang memiliki nilai kalor yang relative rendah yaitu 10.800 J/g.
Masuknya kategori kedua ke dalam bahan RDF akan menurunkan nilai kalor RDF secara
keseluruhan. Dari segi efisiensi termal, penghilangan material bahan kaca dan bahan organik basah
seperti sampah makanan akan meningkatkan nilai kalor RDF sebesar 20% dibandingkan RDF
yang masih mengandung material kaca dan bahan organik basah tersebut. RDF berkualitas baik
adalah RDF yang memiliki nilai kalor yang tinggi dan konsentrasi senyawa toxic yang rendah,
dalam hal ini logam berat dan klorin. RDF dapat dijadikan sebagai alternative pengolahan energy
dari sampah dengan memperhatikan karakteristik sampah yang memiliki kandungan kalor tinggi.
RDF dapat dikolaborasikan dengan LFG (landfill gas) dimana pengolahan sampah yang tidak
terdekomposisi menjadi gas, sisa material ini dapat dipilah menjadi bahan RDF.

d. Insinerasi
Insinerasi adalah sebuah proses pembakaran bahan-bahan organik yang terkandung di dalam
material sampah. Insinerasi dan proses-proses lain yang melibatkan temperatur tinggi termasuk ke
dalam proses Konversi WtE Termo-Kimia. Proses insinerasi sampah menghasilkan tiga produk
utama yaitu abu, gas buang, dan energi panas. Abu hasil pembakaran sampah pada insinerator (alat
insinerasi) biasanya berupa material anorganik yang sering berwujud jelaga padat atau partikel-
partikel kecil yang ikut terbawa gas buang. Partikel-partikel abu tersebut harus ditangkap oleh
sistem khusus agar tidak mencemari atmosfer. Gas buang sendiri banyak mengandung karbon
dioksida dan beberapa molekul lain yang dengan kemajuan teknologi dapat diminimalisir jumlah
pembuangannya ke atmosfer. Sedangkan energi panas hasil pembakaran insinerator dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Pada industri modern, energi panas ini langsung
dipergunakan untuk sumber panas Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Insinerator
mampu mengurangi berat sampah 80 hingga 85%, dan volume sampah 95-96%, bergantung dari
kandungan material logam di dalam sampah. Selain itu, limbah jelaga insinerator terbukti
bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan baku jalan raya pengganti aspal. Bahkan banyak pihak
mengakui kualitas aspal dari jelaga insinerator memiliki kualitas lebih baik dari aspal
konvensional. Energi panas dari sampah dapat langsung digunakan untuk menghasilkan uap air
superheat sebagai penggerak turbin uap pada pembangkit listrik.

5. Bagaimana potensi masa depan energy dari sampah di Indonesia


Potensi masa depan energy dari sampah di Indonesia antara lain:
a. Potensi masa depan energy dari sampah
Indonesia menghasilkan sampah sekitar 66 - 67 juta ton sampah pada tahun 2019 Jumlah ini lebih
tinggi dibandingkan jumlah sampah per tahunnya yang mencapai 64 juta ton. jenis sampah yang
dihasilkan didominasi oleh sampah organik yang mencapai sekitar 60 persen dan sampah plastik
yang mencapai 15 persen. Rata rata kenaikan volume sampah setiap tahunnya adalah 1 juta ton.
Masalah sampah sangat menjadi perhatian pemerintah. Jika tidak ditangani dengan baik, sampah
yang menggunung bisa menyisakan berbagai persoalan mulai dari isu lingkungan hingga sosial.
Untuk mengatasi masalah sampah, pemerintah telah mengeluarkan Perpres 35/2018 tentang
Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi
Ramah Lingkungan. Dengan melihat antusias pemerintah ini bisa menjadi dorongan bagi
pengusaha di bidang energy untuk melakukan eksplorasi energy dari sampah.
Dengan potensi sampah 65 juta ton ini apabila dikonversi menjadi daya listrik dapat menghasilkan
kira kira 6,6 Gw ( estimasi 1m3 gas 65% CH4), dengan potensi yang besar ini seharusnya
pemanfaatan teknologi energy dari sampah menjadi maksimal. Selain itu pemanfaatan teknologi
energy dari sampah juga dapat menjadi solusi dari kebutuhan energy yang semakin meningkat,
pembukaan lapangan kerja, peningkatan ekonomi lokal, sampai dengan perbaikan kualitas
lingkungan.
b. Potensi LFG sebagai teknologi WtE di Indonesia
Mengembangkan proyek-proyek energi LFG memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi antara
lain:
a. Keuntungan Lingkungan, selama masa operasionalnya, proyek energi LFG akan menangkap
perkiraan 60 hingga 90 persen dari metana yang diciptakan oleh landfill, tergantung pada desain
dan efektivitas sistem. Metana yang ditangkap dikonversi menjadi air dan karbon dioksida ketika
gas dibakar untuk menghasilkan listrik atau panas.
b. Memproduksi energi dari LFG menggantikan penggunaan sumber daya tak-terbarukan (seperti
batu bara, minyak atau gas alam) yang diperlukan untuk menghasilkan jumlah energi yang
sama. Pemindahan ini menghindari emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil oleh
fasilitas pengguna akhir atau pembangkit listrik.
c. Pengurangan Langsung dan Tidak Langsung Polutan Udara Lainnya. Pengambilan dan
penggunaan LFG di TPA meningkatkan kualitas udara lokal dalam banyak cara.
d. Gas-gas yang hadir pada konsentrasi rendah di LFG dihancurkan atau diubah selama
pembakaran, yang mengurangi kemungkinan risiko kesehatan.
• Untuk proyek listrik, penghindaran pembakaran bahan bakar fosil di pembangkit listrik tenaga
listrik berarti lebih sedikit polutan yang dilepaskan ke udara, termasuk sulfur dioksida (yang
merupakan penyumbang utama hujan asam), materi partikulat (masalah kesehatan pernapasan),
nitrogen oksida (yang dapat berkontribusi pada pembentukan ozon dan asap lokal) dan polutan
udara berbahaya.
• Penggunaan energi LFG membantu untuk menghindari penggunaan sumber daya yang
terbatas dan tidak terbarukan seperti batu bara dan minyak.
• Meskipun peralatan yang membakar LFG untuk menghasilkan listrik menghasilkan beberapa
emisi, termasuk nitrogen oksida, manfaat lingkungan secara keseluruhan yang dicapai dari
proyek-proyek energi LFG adalah signifikan karena reduksi metana langsung, pengurangan karbon
dioksida tidak langsung, dan pengurangan langsung dan tidak langsung di lain emisi polutan udara.
e. Manfaat Lingkungan Lainnya. Mengumpulkan dan membakar LFG meningkatkan kualitas udara
di lingkungan sekitar dengan mengurangi bau TPA yang biasanya disebabkan oleh sulfat
dalam gas. Mengumpulkan LFG juga meningkatkan keamanan dengan mengurangi
migrasi gas, di mana gas yang terperangkap atau terakumulasi dapat menciptakan bahaya ledakan
f. Manfaat Ekonomi
 Untuk Pemilik Landfill.
Pemilik landfill dapat menerima pendapatan dari penjualan LFG ke pengguna akhir langsung atau
pipa, atau dari penjualan listrik yang dihasilkan dari LFG ke jaringan listrik lokal. Tergantung pada
siapa yang memiliki hak atas LFG dan faktor-faktor lain, pemilik landfill juga berhak
mendapatkan pendapatan dari sertifikat energi terbarukan (REC), kredit pajak dan insentif,
obligasi energi terbarukan dan perdagangan emisi gas rumah kaca. Semua sumber pendapatan
potensial ini dapat membantu mengimbangi sistem pengumpulan gas dan biaya proyek energi
untuk pemilik TPA. Misalnya, jika pemilik TPA diperlukan untuk memasang sistem pengumpulan
dan kontrol gas, menggunakan LFG sebagai sumber energi dapat membantu membayar biaya
modal yang diperlukan untuk instalasi sistem kontrol.
 Untuk Komunitas.
Pengembangan proyek energi LFG sangat bermanfaat bagi ekonomi lokal. Pekerjaan jangka
pendek diciptakan untuk tahap konstruksi, sementara desain dan operasi sistem pengumpulan dan
pembangkitan energi menciptakan pekerjaan jangka panjang. Proyek energi LFG melibatkan
insinyur, perusahaan konstruksi, vendor peralatan, dan utilitas atau pengguna akhir dari daya yang
dihasilkan. Beberapa bahan untuk proyek secara keseluruhan dapat dibeli secara lokal, dan
seringkali perusahaan lokal digunakan untuk konstruksi, pengeboran sumur, instalasi pipa dan
layanan lainnya. Selain itu, penginapan dan makan untuk para pekerja memberikan dorongan bagi
ekonomi lokal.

6. Bagaimana tantangan energy dari sampah di Indonesia


 Hambatan terbesar dalam implementasi Limbah-ke-Energi bukan terletak pada teknologi itu
sendiri tetapi pada penerimaan warga. Warga negara yang berwawasan lingkungan tetapi kurang
kesadaran akan status waste-to-energy saat ini memunculkan keprihatinan akan keadilan
lingkungan dan mengorganisirnya. Mereka memandang WTE sebagai 'membuang' polutan pada
lapisan masyarakat yang lebih rendah dan kritik emosional mereka berakar pada harapan keadilan
lingkungan cenderung menggerakkan demokrasi. Edukasi perlu ditingkatkan kepada masyarakat
melalui media massa ataupun media cetak terkait pengolahan WTE itu sendiri.
 Penggunaan teknologi bakar kerap menjadi masalah karena mengandung permasalahan dari aspek
lingkungan dan ekonomi, serta berkaitan juga dengan kesehatan manusia. Pada dasarnya
penggunaan insinerator membuang emisi berupa dioksin atau senyawa yang berkarakteristik
persisten, bioakumulatif dan karsinogen. Selain itu, insinerator juga menghasilkan partikel halus
serta logam-logam berat, termasuk merkuri, timbal, kadmium, tembaga dan seng. Kesemuanya ini
dapat berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Berbagai penyakit yang dapat
timbul akibat terpapar sumber pencemar ini meliputi kanker, permasalahan reproduksi dan
perkembangan, kerusakan pada sistem imun, hingga penurunan fungsi paru, kanker, serangan
jantung, dan kematian dini. Perlu ada safeguard yang lebih ketat dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup untuk metode ini.
 Perlunya pemilihan alternative teknologi WTE sesuai dengan karakteristik sampah Indonesia
dimana komposisi tipikal sampah di Indonesia mempunyai kandungan organik yang tinggi
sehingga kadar air pada sampah kota juga akan tinggi. Sedangkan negara-negara maju yang sudah
memanfaatkan teknologi WtE memiliki komposisi zat organik yang relatif rendah sehingga
sampah kota yang diolah lebih mendukung untuk mendapatkan produk hasil yang lebih
berkualitas. Untuk itu perlu dilakukan riset terhadap teknologi WtE yang dapat menghasilkan
energy maksimum dan residu minimum.
 Kendala terhadap pretreatment yang belum dilakukan oleh masyarakat sehingga perlu dilakukan
edukasi untuk membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia agar memulai sejak dini
mengolah sampah (pre-treatment) termasuk pemilahan sampah organic dan non organic untuk
memudahkan proses termokimia dan biokimia sehingga dapat mempercepat pemulihan energy
ataupun menghemat biaya produksi energy.
 Untuk pemanfaatan energy yang digunakan saat ini seperti LFG perlu dikolaborasikan dengan
metode pengolahan sampah lainnya mengingat LFG tidak dapat mereduksi material sampah itu
sendiri, LFG hanya memanen gas gas yang terjebak pada proses anaerob. metode ini tidak
menghilangkan wujud sampah itu sendiri, maka timbunan sampah yang ada masih akan ada
ditempatnya jika tidak diolah lebih lanjut seperti pada proses WtE lainnya.
 Perlunya menjaga keseimbangan sampah yang tepat tercapai sehingga permintaan untuk bahan
baku WtE tidak mendorong penciptaan lebih banyak sampah. Sebagai contoh, sebuah bisnis dapat
mengurangi pengurangan sampah atau upaya daur ulang jika limbahnya digunakan sebagai bahan
baku WtE untuk menghasilkan energi dengan biaya lebih rendah.
 Biaya investasi dan maintenance yang tinggi sehingga perlu untuk mempertimbangkan aspek
financial yang sehat dan terarah.
Kesimpulan
Indonesia saat ini menghadapi permasalahan sampah yang volumenya tiap tahun meningkat, namun
dibalik permasalahan ini terdapat keuntungan yang dapat diperoleh dengan pemanfaatan energy dari
sampah yang sesuai dengan karakteristik sampah Indonesia, setiap tahunnya Indonesia dapat
menghasilkan energy sebesar 6,6 GW dengan merujuk pada 1 ton sampah mengandung 60% sampah
organic yang akan menghasilkan gas CH4 (metana) dengan kandungan metana 65% dapat
menghasilkan 6,093 Kwh. Selain itu keuntungan yang diperoleh adalah perbaikan ekonomi local,
penciptaan lapangan kerja jangka pendek dan jangka panjang, serta perbaikan kualitas lingkungan.
Namun dibalik itu kita masih memiliki beberapa tantangan yang perlu di atasi seperti penerimaan
masyarakat terkait WtE, peningkatan kesadaran masyarakat untuk memilah sampah, teknologi yang
tepat guna, penerapan standard dan regulasi sesuai dengan standard internasional, dan biaya investasi
dan maintenance yang tinggi.
Biogas 1 m3 setara dengan 0.65 m3 gas CH4 yang mengandung energi sebesar 6.5 kWh.
Jika diasumsikan [*]
1. Gas methane yang dihasilkan mencapai 65%
2. Nilai kalor rendah (LHV) CH4 = 50,1 MJ/kg.
3. Densitas CH4 = 0,717 kg/m³.
Atau dalam 1 m³ gas CH4 mengandung energi sebesar = 50,1 x 0,717 = 35,9 MJ = 0,00997 MWh.
(atau sekitar 10 kWh). Jumlah panas yang dihasilkan 1 m3 biogas adalah = 65% 10 kWh = 6,5 kWh.
Perlu diketahui bahwa:
1. Efisiensi untuk menghasilkan panas saja ~ 90%.
2. Efisiensi untuk menghasilkan panas dan listrik 85% (35% untuk listrik + 50% untuk panas).
3. Efisiensi untuk menghasilkan listrik saja ~ 35%.
4. 1m3 CH4 dihasilkan dari 0.0064ton sampah organic (penelitian) atau dalam 1 ton sampah terdapat
kandungan 50kg CH4.

Anda mungkin juga menyukai