Anda di halaman 1dari 45

BAB 8

PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B-3)

Sumber Limbah Padat Limbah padatan atau lumpur industri umumnya berasal dari proses produksi seperti packages, fibre, atau dry sludge, unit pengolahan limbah seperti cake atau lumpur padat dll. Limbah padatan atau lumpur dari unit pengolahan limbah adalah limbah proses pengolahan awal (Primary sedimentation), limbah pengolahan secara kimia (koagulasi, flokulasi, dan netralisasi), serta limbah pengolahan secara biologi (activated sludge, digested sludge, aerasi, CPI, dan lain-lain). Jika limbah padatan B-3 ini tidak ditangani secara benar, maka komponen-komponen yang terdapat pada limbah tersebut dan yang berpotensi mencemari lingkunaan akan terlepas ke badan air atau lahan sehingga mencemari lingkungan.

Klasifikasi dan Karakterisasi Limbah Padat B-3


Klasifikasi Limbah Klasifikasi limbah padatan atau lumpur B-3 umumnya berdasarkan (i) sumber atau asal limbah dan (ii) jenis atau tipe kandungan senyawasenyawa di dalam limbah tersebut (limbah B-3 atau bukan). Berdasarkan sumbernya, limbah diklasifikasikan: primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tanki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah mengendap, chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi/flokulasi, excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengan lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur hasil proses tersebut, digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik yang berupa lumpur hasil proses tersebut.

Karakterisasi Limbah Karakterisasi Limbah B3 dibedakan berdasarkan kandungan total solids residue (TSR). kandungan Fixed Residue (FR), kandungan volatile solids, kadar air (sludge moisture content), volume padatan, serta karakter atau sifat B-3 (toksisitas, sifat korosif, reaktifitas, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun atau sifat penyebab infeksi, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).

Karakter atau sifat B-3


Identifikasi limbah B-3 menggunakan PP-19/1994, sbb: mencocokkan limbah dengan daftar pada Tabel 1, 2 atau 3 PP-19/1994). bila limbah tidak cocok dengan daftar limbah B3, maka perlu diperiksa karakteristik: mudah meledak, mudah terbakar, beracun, bersifat reaktif; menyebabkan infeksi atau bersifat korosif dan juga melakukan pengujian toksikologi, dan apabila limbah memiliki karakteristik sebagaimana tersebut di atas, maka limbah dikategorikan sebagai B-3.

Gambar 8.1 Skema cara penentuan limbah B-3

Penanganan dan Pengolahan Limbah Lumpur dan Padat B-3


Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B-3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment), maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Telknologi pengolahan setempat (on-site) dapat dilaksanakan dengan menggunakan satu atau beberapa teknologi berikut: (i) perlakuan lumpur dan chemical conditioning, (ii) incineration, (iii) solidification (stabilisasi), (iv) penanganan limbah padat atau lumpur B-3. dan (v) disposal (landfilll dan injection vvell). Teknologi Pengolahan limbah padat B-3 oleh pihalk ketiga dijalanakan dengan menggunakan sekaligus beberapa teknologi-teiknologi tersebut.

Perlakuan lumpur dan chemical conditioning


Tahapan proses pengolahan atau perlakuan lumpur: thickening concentralion (pemekatan) untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan pemadatan atau meningkatkan kandungan padatan treatment untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan pathogen de-watering dan drying untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus berguna untuk mengurangi volume lumpur disposal (pembuangan akhir) yang mempertimbangkan masalah lingkungan, aesthetic dan ekologi.

Pada proses pengolahan lumpur ini, pengurangan kadar air dilakukan secara bertahap, yaitu mengurangi kadar air lumpur: (i) dari 99% menjadi 97% pada tahap A dan (ii) 97% menjadi 85% pada tahap C. Pengadukan pada tahap B berfungsi memudahkan proses pengurangan kadar air pada tahap C. Proses pengeringan lumpur selanjutnya adalah dilakukan dengan cara filtrasi (sand filter, vacuum filtralion, pressure filtration), penguapan dengan bantuan sinar matahari (drying beds), dan mobile dewatering unit.

Thickening
(1) Gravitv Thickening Proses ini umumnya digunakan sebagai pretreatment sebelum lumpur diolah lebih lanjut ke proses de-watering lainnya. Prinsip dasar proses ini adalah pengendapan secara gravitasi. Pada proses ini, lumpur dibiarkan mengendap pada bidang yang memiliki surface loading sekitar 300 sampai dengan 500 m3/m2.d. Dengan proses ini primary sludge dapat dipekatkan pada 150 kg/m2.d dengan kandungan padatan sekitar 10%. Untuk meningkatkan efisiensi proses biasanya ditambahkan chemical conditioners. Hal penting adalah timbulnya bau akibat proses an-aerobik. Skema peralatan proses gravity thickening dapat dilihat pada gambar 8.3.

(2) Centrifugation Dengan metoda ini, lumpur dipekatkan sampai kandungan padatan lumpur mencapai 20% (umumnya sampai 10%). Proses pemisahan padatan terjadi saat lumpur dimasukkan ke dalam mangkuk yang berputar dengan kecepatan > 30 rev/detik. Lumpur dipisahkan ke bagian luar mangkuk dan dikeluarkan dari mangkuk dengan menggunakan screw convenor atau scroll (lihat gambar 8.4). (3) Flotation Proses flotation yang digunakan untuk mengolah limbah yang berupa lumpur memiliki prinsip seperti proses flotation untulk penyisihan minvak.

Stabilization/Conditioning
Bertujuan untuk meningkatkan karakteristik dan kualitas proses dewatering limbah lumpur. Proses stabilisasi atau pengkondisian dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisik dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan antara bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Jenis-jenis pengkondisian secara biologi adalah: lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, chemical conditioning dan elutriation.

(1) Lagoonning Proses ini meliputi cold digestion, air drying, dan gravity thickening. Sludge lagoon umumnya memiliki kedalaman 3 - 5 m. Untuk pengolahan limbah domestik, volume laggoon yang dibutuhkan dapat diperkirakan dari standar volume limbah yang dihasilkan per kapita, yaitu sekitar 0,2 - 0,5 m3/orang untuk jangka waktu 7 - 15 tahun. Lagoon umumnya dilengkapi saluran pengumpanan yang mendistribusikan limbah lumpur secara merata ke seluruh bagian lagoon dan outlet weir yang mengalirkan air yang dapat dipisahkan. Industri yang menggunakan teknologi lagoon sebaiknya memiliki dua buah lagoon untuk memudahkan proses pengangkatan lumpur padatan yang telah terpisahkan.
(2) An - aerobic Digestion Proses ini tidak hanya dapat digunakan untuk pengolahan lumpur organik, tetapi juga untuk beberapa jenis konsentrat limbah organik. Berdasarkan mikroorganisme yang terlibat, proses ini dibedakan menjadi liquefaction process dan gasification process. Mikroorganisme yang terlibat pada proses pertama (liquefaction process) melakukan hidrolisis dan fermentasi senyawa-senyawa organik yang kompleks menjadi produk sederhana, seperti premarily volatile organic acids dan alkohol. Mikroorganisme kelompok ini dikenal sebagai acid fermenters. Mikroorganisme yang terlibat pada proses kedua (gasification process) mengkonversi senyawa-senyawa asam organik dan alkohol yang dihasilkan oleh kelompok organisme acid fermenters menjadi gas karbon dioksida dan metana. Mikroorganisme ini hanya tahan pada kondisi an-aerobik dan umumnya disebut sebagai methane formers. Skema anaerobic digester pada gambar 8.5.

(3) Aerobic Digestion Lumpur distabilkan oleh proses aerobik dengan external aeration sehingga senyawa organik dapat teroksidasi. Supernatan yang dihasilkan dapat teroksidasi dengan baik, sehingga setiap aliran balik yang terjadi tidak akan mengakibatkan peningkatan beban. Proses dapat berlangsung secara: (i) batch, (ii) semi continuous, atau (iii) continuous. Pada sistem batch, pengolahan lumpur dilakukan dalam sebuah tangki (batch reactor) yang dilengkapi diffuser udara (diffused-air) atau mechanical aerators sehingga terjadi penguraian padatan, kemudian padatan dibiarkan mengendap, kemudian dikeluarkan. Pada sistem semi continuous proses aerasi berlangsung pada selang tertentu untuk memberikan kesempatan pengendapan (settling), dekantasi cairan supernatan dan pengambilan padatan yang mengendap. Pada sistem continuous, proses aerasi, dekantasi, dan pengembalian lumpur berlangsung secara sinambung. Proses continuous dapat dilakukan secara single-stage atau multi-stage configuration.

(4) Chemical Conditioning Penambahan bahan kimia digunakan untuk meningkatkan laju pengurangan air pada limbah lumpur. Proses ini biasanya digunakan bersamaan dengan proses drying beds dan gravity thickening, atau untuk persiapan proses selanjutnya seperti: filter press, vacuum filters, dan centrifuges. Bahan kimia yang umumnya digunakan adalah: FeCI3, FeSO4CI, Fe2(SO4)3, alum (AI2(SO4)3.18H20), polyelectrolites, dan lime (Ca0), Ca(OH)2. (5) Elutriation Pada proses ini, lumpur dicuci dengan efluen atau air untuk menghilangkan kandungan amonia yang bercampur dengan koagulan maupun padatan tersuspensi sehingga sulit untuk dilakukan de-watering. Proses ini umumnya digunakan sebelum chemical conditioning maupun proses filtrasi.

Pengurangan Kadar Air (De-Watering)


Karakteristik kinerja proses pengurangan kadar air dengan cara filtrasi dinyatakan sebagai: 1. specific reslance untuk proses filtrasi ( r ) dan 2. capillarv suclion time (cst). Specific resistance adalah parameter yang digunakan untuk menentukan karakrteristik proses de-watering (filtrasi) limbah lumpur. Parameter ini dapat dicari dengan menggunakan persamaan matematika hubungan antara t,w terhadap v:

Besaran r, resistansi spesifik dapat digunakan untuk menghitung A (luas permukaan atau bidang proses filtrasi). Beberapa nilai spesifik resistansi untuk masing-masing jenis limbah lumpur disampaikan pada tabel 8.3. Capillary suction time, cst, adalah ukuran kemampuan lumpur di filtrasi untuk memisahkan air dari dalam lumpur. Besaran ini bergantung pada banyaknva air yang dapat melalui pori-pori filter. Beberapa nilai `cst' masing-masing jenis limbah lumpur, disampaikan pada table 8.4.

(1) Filtration Proses filtrasi sangat umum digunakan untuk mengurangi kandunvan air pada limbah lumpur sebelum ditangani pada sistem pembuangan akhir, dibakar, disimpan pada lahan urug atau diinjeksikan pada sumur pembuangaan limbah. Proses filtrasi umumnva terdiri dari peralatan yang berfungsi untuk memisahkan padatan den-an cara mengalirkan air (draining) melalui unggun pasir (sand bed) atau cara mekanik pada kondisi vacuum atau tekanan tertentu yang membutuhkan peralatan yang relatif lebih rumit dibandingkan dengan peralatan unggun pasir. (2) Drying Bed Filtration Peralatan ini terdiri dari lapisan filter setinggi 10 cm (4in), dimana 0,5 mm (1/32 in) sampai dengan 1,5 mm (1/16 in) adalah lapisan pasir dan di bawahnya 15 mm (5/8 in) sampai dengan 25 mm (1 in) adalah batu kerikil (gravel). Diagram peralatan ini dapat dilihat pada gambar 8.6. (3) Pressure Belt Filtration Proses filtrasi dengan peralatan ini umumnya dilakukan secara kontinu yang dilengkapi dengan proses conditioning secara kimia, gravity drainage, dan penekanan mekanik untuk mengurangi kandungan air di dalam lumpur. (4) Pressure Filtration Peralatan pressure filtration sangat umum digunakan untuk pengurangan kadar air di dalam lumpur. Tipe yang sering digunakan adalah tipe plate filtration, karena kemudahanya untuk memisahkan lumpur padat hasil filtrasi. Peralatan terdiri atas pelat-pelat vertikal vane di antaranya diletakkan kain filter (filter fabrics), kemudian ditekan pada kedua ujungnya (diagram pada gambar 8.8).

Insinerasi
Pengolahan iimbah B3 dengan insinerasi (thermal treatment) diatur dalam Kep03/Bapedal/09/1995, yang mencakup cara pembangunan insinerator sejak pengajuan ijin; pemasangan, uji coba: hingga pemantauan dan pelaporan. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3, yaitu: (a) Rotary Kiln, (b) Multiple Hearth, (c) Fluidized Bed, (d) open pit, (e) Single Chamber, (f)Multiple Chamber, (g) Aqueous Waste Injection, (h)Starved Air Unit

(a) Rotary Kiln Perangkat insinerator jenis rotary kiln biasanya terdiri dari sistem pengumpan injeksi udara, kiln atau silinder horisontal yang dapat berputar pada sumbunya, afterburner, sistem pengumpul dan pengambilan abu, dan sistem pengendali pencemarari udara (lihat gambar 8.9). Jenis aliran di dalam rotary kiln ada dua macam yaitu counter current dan co-current. Jika gas dan bahan yang diinsenerasi mengalir pada arah yang sama kiln tersebut dinamakan paralel sedangkan jika arah aliran gas dan bahan berlawanan kiln dinamakan countercurrent.

(b) Multiple Hearth Multiple-hearth furnace terdiri dari sebuah rak baja, tungku berbentuk lingkaran yang disusun seri, satu di atas yang lainnya dan biasanya berjumlah 5-8 buah shaft rabble arms beserta rubble teeth-nya dengan kecepatan berputar 3/4-2 rpm. Temperatur pembakaran 1400-1800F (760-980 C). Umpan dimasukkan dari atas tungku secara terus menerus dan abu dari proses dikeluarkan melalui silo. Limbah yang dapat diproses dalam multiple-hearth furnace memiliki kandungan padatan minimum antara 15-50 %-berat. Multiple-heart furnace terdiri dari tiga zona, yaitu: (1) Zona pengeringan; (2) zona pembakaran; (3) zona pendinginan.

( c ) Fluidized Bed Incinerator (Insinerator Unggun Pancar) Limbah yang dapat diolah Fluidized Bed Incnerator adalah cairan organic, gas dan butiran atau padatan dari proses sumur minyak. Dalam tungku unggun ini penghancuran limbah terjadi di mana bahan dalam keadaan terfluidakan dan proses pembakaran terjadi pada temperatur sekitar 1400-2000 oF (760-1100oC). Dalam tungku terdapat suatu media padat granular yang berfungsi sebagai penyimpan panas, biasanva berupa pasir. Diagram proses peralatan ini disampaikan pada gambar 8.11. (d) Open Pit Irrsinerator Insinerator jenis ini dikembangkan untuk mengendalikan insinerasi bahan-bahan eksplosif, yaitu yang menimbulkan bahava ledakan atau pelepasan panas yang tinggi pada insinerator tertutup biasa. Udara pembakar disemprotkan ke dalam ruang bakar dari atas insinerator dengan kecepatan tinggi sehingga menciptakan turbulensi. Temperatur pembakaran mencapai 2000oF dan menghasilkan gas dengan emisi partikulat vang rendah.

(e) Single Chamber Incinerators Limbah padat pada sistem ini diletakkan di atas grid kemudian dibakar. Sistem ini dapat dilengkapi peralatan penyalaan atau tidak. Pada sistem ini upaya mengendalikan emisi dilakukan dengan menambahkan afierburner dan dumper, keduanya dimaksudkan untuk mengendalikan proses pembakaran. Sebagian besar emisi disebabkan oleh proses pembakaran vang tidak sempurna. (f) Multiple Chamber Incinerators Dalam upaya mencapai pembakaran secara sempurna dan rnengurangi partikulat yang terbawa gas buang; dikembangkan insinerator dengan banyak ruang bakar. Ruang bakar utama digunakan untuk membakar padatan. Ruang bakar kedua memperpanjang waktu tinggal produk gas yang tidak terbakar dan tempat masuk bahan bakar tambahan. Pada jenis ini, buffle-bufle didisain untuk mengarahkan aliran gas hingga membuat belokan 90o arah horisontal maupun vertikal sehingga memungkinkan pengendapan padatan yang terbawa aliran gas. Pada jenis in-line arah belokan gas hanya vertikal. Jenis ini biasanya dilengkapi dengan sistem pengeluaran abu otomatis atau konveyor pembuang debu secara kontinu.

(g) Aqueous Waste Injection Aqueous Waste injection terdiri dari sebuah nozel untuk mengatomisasi limbah yang akan dibakar dan lat penunjang lainnya. Jenis-jenis nozel: mechanical atomizing nozzles, rotary cap burners, external low-pressure air atomizing burner, external high-pressure two-flow burner, internal mix nozzles, dan sonic nozIes. Limbah yang dapat diolah dengan sistem ini adalah limbah cair dan lumpur yang dapat dipompa. Temperatur pembakaran antara 1300-3000 F (700-1650 C). Limbah yang akan dibakar diatomisasi dengan ukuran partikel antara 40-100 um dan disemburkan ke dalam ruang bakar. (h) StarvedAir Unit Dalam upaya mengurangi emisi partikulat, laju udara pembakar yang masuk melalui grid dapat dikurangi. Akibatnya pembakaran sempurna gasgas hasil proses pirolisa dan gasifikasi padatan tidak terjadi di atas unggun. Gas-gas tersebut dibakar di ruang yang terpisah yaitu di ruang bakar kedua (secondary). Limbah padat ditempatkan dalam ruang bakar di primary dan dibakar dengan udara yang jumlahnya kurang dari volume stoikiometrinya; biasanva sekitar 70-80% dari volume stoikiometri. Gas hasil pembakaran berupa gas-gas bakar yang selanjutnya dialirkan ke ruang bakar kedua dengan aliran udara dimasukkan secara terkendali. Ruang bakar kedua didisain sedemikian rupa sehingga gas mempunyai waktu tinggal yang cukup untuk terjadinya pembakaran total zat-zat organik. Untuk mencapai pembakaran sempurna, jumlah udara yang dimasukkan cukup berlebih yaitu sekitar 140-200% dari stoikiometri.

Disposal
Sebagian dari limbah bahan kimia (B3), yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia, harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 adalah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan/injeksi).

Land Fill (Lahan Urug)


Tata cara dan persvaratan mengenai lahan urug secara rinci telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan melalui Kep04/Bapedal/09/1995. (1) Perlakuan Limbah Sebelum Ditimbun Salah satu perlakuan adalah stabilisasi/ solidifikasi yang bertujuan mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 dengan membatasi daya larut; pergerakan dan dava racunnya. (2) Penimbunan Limbah B-3 Ada tiga kategori lahan urug yaitu Kategori I (secured landfill double liner), Kategori II (secured landfill single liner) dan Kategori III (landfill cluy liraer). Masing-masing kategori mempunyai ketentuan khusus sesuai denuari limbah B3 yang ditimbun. Rancang bangun lahan urug terdiri atas tiga bagian yaitu bagian dasar, limbah B3, dan bagian penutup (lihat gambar 8.12).

Dimulai dari bawah, bagian dasar terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi, dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu di atas dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi dilapisi geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup perantara, tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Bagian dasar lahan urug harus mampu menahan resapan air dari luar serta menahan ekspansi limbah B3 ke lingkungan sekitar dan mengakomodasi lindi yang timbul. Lindi kemudian dikumpulkan untuk diolah lebih lanjut di lokasi pengolahan limbah cair. Bagian penutup berfungsi meminimumkan infiltrasi air permukaan, mencegah kontaminasi aliran air dan terutama untuk menjamin keamanan lingkungan akibat limbah B3 selama periode sesudah ditutup. .

(3) Pemantauan selama Operasi dan sesudah Penutupan Selama operasi dan pasca-operasi, lahan urug harus dilengkapi dengan sistem pemantauan kualitas air tanah dan air permukaan di sekitar lokasi. Sistem pemantauan tersehut berupa sumur pantau pada upstream dan downstream lokasi lahan urug, serta pemantauan air permukaan disekitar lokasi. Sampel air kemudian dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan baku mutu yang telah ditentukan. Jika kualitas sampel air tidak memenuhi baku mutu, maka harus dilakukan evaluasi serta perbaikan lahan urug. Beberapa parameter vang harus diukur terhadap sampel air adalah : pH, TOC (disaring), konduktivitas, mangan, besi, amonium (sbg N), klorida dan natrium. Setelah lahan urug ditutup harus selalu dilakukan pengumpulan lindi yang timbul, dan lokasi tersebut jangan dimanfaatkan sehingga membahayakan bagi manusia, flora, fauna dan lingkungan sekitar, serta secara periodik harus selalu dipantau.

Sumur Injeksi
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuanaan limbah B3 cair (liquid hazardous waste). Data tahun 1984 menunjukkan bahwa sekitar 195 sumur digunakan secara aktif sebagai sumur injeksi limbah B3. Pembuangan ke sumur injelsi dilakukan dengan memompakan limbah cair ke dalam sumur. Pembuangan ke sumur.dalam dapat dibagi menjadi 5 kelas sumur, yaitu: (1) Kelas I, untuk membuang limbah B3, non B3, juga limbah rumah tangga (municipul waste) ke lapisan yang berada di bawah lapisan sumber air yang paling, bawah (underground source drinking water). (2) Kelas II, untuk membuang air yang dikeluarkan dari dalam bumi pada proses produksi minyak dan gas bumi (produced water). (3) Kelas III, untuk menginjeksikan fluida untuk ekstraksi mineral. (4) Kelas IV, digunakan untuk pembuangan limbah yang mengandung radioaktif, (sumur jenis ini tidak lagi digunakan). (S) Kelas V, sumur yang tidak termasuk kelas-kelas di atas, biasanya untuk pembuangan limbah bukan B3 ke sumur (bagian atas lapisan sumber air).

Pemilihan Jenis Limbah untuk Pembuangan ke Sumur Dalam


Beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah berupa penyumbatan sumur, kerusakan pada casing sumur dan/atau pada formasi lapisan penahan, serta ledakan sumur. Gamngguan tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang memiliki karakteristik sebagai berikut : Dapat mengalami presipitasi/represipitasi. Memiliki partikel padatan atau koloid. Dapat membentuk emulsi. Bersifat asam kuat atau basa kuat. Bersifat aktif secara kimia. Densitas dan viskositasnva lebih rendah dari cairan alarni. Kadar HC1 > 6 % dan bersuhu lebih tinggi dari 83F.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai