Anda di halaman 1dari 15

PENGELOLAAN

LUMPUR IPA
oleh :

Ir. Ida Dhaliawati, Dipl. SE

2008
0

PENGELOLAAN LUMPUR
INSTALASI PENGOLAHAN AIR ( IPA )

PENDAHULUAN

1.1.

Ruang Lingkup

Peraturan teknis ini memuat ketentuan tentang prinsip, operasi dan pemeliharaan
unit pengolahan lumpur dari instalasi pengolahan air ( IPA ).

1.2.

Tujuan / Manfaat, Sasaran

Tujuan pengolahan lumpur dari instalasi pengolahan air adalah agar lumpur yang
dibuang tidak mengganggu lingkungan sekitar dan memenuhi peraturan yang ada.
1.3.

Prinsip

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah peraturan-peraturan yang terkait dengan


limbah ini, estimasi tingkat produk lumpur, karakteristik lumpur, metode untuk
mengurangi jumlah produk lumpur, metode pengenceran, dan cara pembuangan
lumpur.
Jika sisa buangan dapat dibuang dengan mencampurnya bersama tanah, sisa
buangan itu tidak berengaruh pada lingkungan, karena buangan dari instalasi
pengolahan air ini biasanya tidak mengandung zat berbahaya.
Agar pembuangan ini lebih mudah, buangan padat harus diolah sedemikian rupa
agar memiliki kesamaan sifat dengan tanah pada umumnya. Proses untuk
menyamakannya disebut Pengolahan Lumpur . Sistem pengolahan lumpur
biasanya terdiri dari 3 proses:
Pemekatan ( Thickening )
Penghilangan air ( Dewatering )
Pembuangannya.
Parameter-parameter seperti pH, BOD, kekeruhan, suhu, aliran buangan dan total
konsentrasi dari : zat padat terlarut (TDS), endapan, besi, mangan, alumunium,
khloride, sulfat, zat padat terapung (TSS) dan busa adalah parameter yang harus
dikontrol sebelum lumpur dibuang.

II.

ESTIMASI TINGKAT PRODUKSI LUMPUR

Untuk mengukur atau memprediksi tingkat produk lumpur, dianjurkan untuk memilih
parameter-paramter yang sejenis dengan kondisi operasional dan menggunakan
rumus-rumur dasar dasar.
II.1. Tingkat produksi Lumpur Alum kering (pons per juta galon produksi air):
[ Dosis Alum (mg/l) x 2.2 ]+ [ Kekeruhan Air Baku (NTU) x 1.3* x 8.34 ]
atau :
Produksi lumpur kering (mg/l air yang diproduksi) =
*
[ Dosis Alum (mg/l) x 0.26 ] + [ Kekeruhan Air Baku (NTU) x 1.3 ]
Catatan :
* 1.3 adalah rasio antara zat padat terlarut (mg/l) dan kekeruhan (NTU). Jangkauan
rasio ini adalah 1.0 2.0
Contoh:
Suatu IPA dengan kekeruhan air baku 150 NTU, dosis tawas 60 mg/l. Berapa lumpur
yang dihasilkan tiap liter air yang diproduksi
Jawab:
Kekeruhan air baku
Dosis Alum Sulfat

:
:

150
60

NTU
mg/l

Endapan Aluminium hidroksida = 60 x 0,26 = 15,6 mg/l


Zat padat Air baku
= 150 x 1,3
= 225 mg/l
-------------------------------------------------------------------------------------------- +
Total Lumpur yang dihasilkan
= 240,6 mg/l
II.2. Tingkat produksi lumpur ferric hydroxide kering (pons per juta galon
produksi air):
[Dosis garam Ferri (mg/l) x 3.2] + [Kekeruhan Air Baku (NTU) x 1.3 * x 8.34]
atau
Produksi lumpur kering (mg/l air yang diproduksi) =
[ Dosis garam Ferri (mg/l) x 0.38 ] + [ Kekeruhan Air Baku (NTU) x 1.3* ]
Jika lumpur yang diproduksi berasal dari kapur (pelunak), produksi lumpur biasanya
adalah fungsi dari kesadahan air baku dan tingkat kesadahan air yang dilunakkan.
Secara umum, 2 3 mg/l zat padat akan diproduksi untuk setiap mg/l kesadahan
yang dihilangkan.
2.3. Tingkat produksi rata-rata lumpur kapur dapat diestimasi sbb:
2.5 x 8.34 x Kesadahan Total yang dihilangkan (mg/l CaCO 3)

III.

KARAKTERISTIK DARI LUMPUR

Karakteristik lumpur dari pengolahan air berbeda dari satu tempat ke tempat lain
karena sangat tergantung pada karakteristik air baku, tipe dan jumlah koagulan, dan
tipe bahan koagulan pembantu lainnya yang digunakan untuk mengolah air baku.
Secara umum, lumpur alum kering terdiri dari 30% dan 50 % padatan inert, seperti
silika dan kalsium.
Karakteristik dari lumpur kapur bervariasi sebagai fungsi komposisi magnesium
hidroksida. Konsentrasi magnesium hidroksida bervariasi dari tidak tentu sampai
dengan 30 % beratnya. Lumpur kapur terdiri dari sedikit magnesium hidroksida yang
dapat diencerkan menjadi 50-60 % zat padat melalui penggunaan lapisan kering.
Akan tetapi, angka-angka ini akan berkurang menjadi 20 dan 25 % zat padat jika
lumpur mengandung konsentrasi magnesium hidroksida lebih tinggi.
Karakterisitik lumpur sangat perlu diketahui karena akan berpengaruh terhadap
metode penanganan dan pembuangannya. Contohnya lumpur alum yang setengah
kering dan lumpur feris adalah thixotopic; perubahan fasa lumpurnya sangat
tergantung atas tekanan secara fisik. Karakteristik seperti ini membuat lumpur alum
dan besi sangat susah ditangani.
Komposisi lumpur secara umum ditunjukkan pada tabel berikut
Tabel 1 Komposisi lumpur
Komposisi Padatan
(% zat padat)

Konsistensi Lumpur
Lumpur Alum

Lumpur Kapur

0 10

Cair

Cair

10 15

Agak kental

Agak kental

15 20

Seperti pasta

Seperti pasta

20 25

Semi-padat

IV. METODE MENGURANGI TINGKAT PRODUKSI DAN VOLUME LUMPUR


Untuk mengurangi biaya yang ditimbulkan dalam mengolah lumpur dalam jumlah
yang banyak, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan:

Mengurangi tingkat produksi lumpur

Mengurangi volume dari Lumpur.


4.1. Pengurangan tingkat produksi lumpur
Tingkat produksi Lumpur dapat dikurangi (30 80 %) dengan menggunakan dua
metode sebagai berikut:
(1) Menggunakan kombinasi antara alum dan polimer sebagai koagulan serta
dengan menerapkan proses filtrasi secara langsung. Kedua metode ini harus
secara hati-hati diselidiki sebelum mendesain IPA.
Kombinasi penggunakan antara alum dan polimer(anion maupun kation) dapat
mengurangi dosis alum 15 30 %. Pada kasus pelunakan dengan kapur,
penggunaan soda kaustik dapat mengurangi lumpur kalsium karbonat 35 5 %.
(2)

Produksi lumpur dapat dikurangi secara drastis dengan menerapkan proses


filtrasi secara langsung. Proses ini hanya dapat diterapkan pada IPA dengan air
baku dari danau atau resevoir air baku yang hanya memerlukan 4 6 mg/l
alum atau kombinasi 2 4 mg/l alum dengan 0.5 1 mg/l. Jika IPA didesain
untuk mengolah air baku dari air danau yang kadang-kadang mengalami
masalah kekeruhan atau algae bloom, desain IPA harus memiliki saluran
bypass yang memungkinkan mengolah air dengan filtrasi langsung.

4.2. Mengurangi volume dari lumpur


Langkah kedua dalam mengurangi biaya pengolahan dan pembuangan lumpur
adalah dengan mengurangi volume dari lumpur. Volume lumpur dapat dikurangi
dengan menerapkan teknik pengeringan lumpur yang efektif.
(1)

(2)

(3)

Komposisi dari lumpur alum dalam bak sedimentasi persegi umumnya terdiri
dari 0.3 1.5 % padatan. Sedangkan komposisi padatan dari tangki
sedimentasi clarifier hanya 0.2 0.5 %. Bak sedimentasi tanpa alat penyapu
lumpur mekanik biasanya dapat memiliki lumpur sampai dengan ketinggian 3
3,5 m sebelum bak dibersihkan. Komposisi padatan dari bak sedimentasi
dengan penyapu lumpur mekanik berkisar 0.5 1.5 %.
Pada keadaan normal, sekitar 0.1 0.5 % dari air yang diolah akan dibuang
melalui operasi pembuangan lumpur (kecuali didaur ulang). Hubungan antara
kandungan padatan tersuspensi (SS = mg/l) dengan kekeruhan (NTU) adalah
fungsi dari jenis, ukuran, bentuk dan warna dari padatan tersuspensi.
Perbandingan antara padatan tersuspensi total dengan kekeruhan berkisar
antara 1 2 dengan 1,3 sebagai rata-rata perbandingan.
Kandungan padatan dari lumpur dari proses pelunakan dengan kapur lebih
besar dibandingkan dengan lumpur alum; berkisar antara 1 10 % tergantung
pada tipe clarifier yang digunakan. Lumpur yang dihasilkan dari clarifier
mengandung 3 4 % padatan dan 0.3 1.5 % dari air proses pelunakan
dengan kapur dibuang sebagai lumpur.

4.3. Metode Pemekatan ( Thickening ) / Pengeringan lumpur ( Dewatering )


Beberapa metode perlu dilakukan sebelum pembuangan akhir dari lumpur. Tingkat
dari pengolahan ini tergantung pada persyaratan dari pembuangan akhir lumpur ini.
Langkah pertama dalam menambah kepadatan Lumpur adalah memekatkannya
dengan pengendapan. Penyimpanan sisa-sisa Lumpur dalam sehari-hari akan
menambah kepadatannya dari 1 sampai beberapa % supernatant (air bagian atas
media filter) dibaung atau didaur ulang untuk kemudian memprosesnya dengan air
keruh/kotor, dan Lumpur yang dipadatkan pada dasar, selanjutnya dikirim untuk
proses dewatering.
Proses dewatering dapat mempercepat kepadatan dari beberap % sampai lebih dari
20%. Lumpur hasil dewatering dapat dibuang sebagai jenis/yang sama seperti tanah
untuk pengurukan tanah (land fill).
(1)

Sludge lagoon drying beds dan sludge drying bed dangkal.


Metode yang paling sederhana dan murah adalah dengan menggunakan
sludge lagoon drying beds dan sludge drying bed dangkal. Jika didesain dan
dioperasikan secara baik, metode ini dapat menghasilkan lumpur kapur atau
lumpur alum sampai dengan 45 50 % padatan.
Waktu pengeringan akan secara drastis berkurang jika pada bak diberi proses
2
2
aerasi terus menerus pada tingkat 1 2 cfm/ ft ( 510 l/dt/m ) pada tiga
minggu pertama, sampai timbul retakan diatas permukaan lumpur.
Metode pengeringan secara mekanis harus dilakukan jika drying bed tidak
dapat dibangun oleh karena keterbatasan lahan atau disyaratkan kandungan
padatan yang tinggi. Metode ini termasuk: pengentalan secara gravitasi,
vacuum filter, filter press, dan metode centrifuges.

(2)

Pemekatan/Pengentalan secara Gravitasi


Pengentalan secara gravitasi dapat dilakukan dengan menggunakan kolam
atau tangki pengentalan mekanis, yang dilengkapi dengan pembubuhan
polimer pada cairan lumpur. Lumpur alum yang diolah dengan menambahkan
2 3 mg/l polimer kation dapat menghasilkan 3 5 % kandungan padatan.
Penambahan kapur pada lumpur alum dapat menghasilkan komposisi padatan
6 9 % jika diolah dengan tangki pengentalan pada tingkat operasi 0.07 0.14
2
2
gpm/ft (0.047- 0.095 l/dt / m ) dengan beban pengolahan sebesar 5-10 pon
2

padatan per feet persegi perhari (24.4 48.8 kg/m /hari).


Tingkat pengentalan pada lumpur kapur dapat lebih tinggi daripada pada
lumpur alum. Unit Thickener dengan beban 30 60 pon padatan per feet
2
persegi unit thckener per hari (146,48 292,96 kg/m /hari) dapat menghasilkan
15 35 % padatan. Dalam kasus lumpur alum atau ferric hydroxide, beban
pengolahan untuk thickener adalah 10 pon per feet persegi per hari (48.8
2
2
kg/m /hari) atau beban hidrolis sebeesar 0,12 0,15 gpm/ ft (0,08 0,1
2

l/dt/m ).
5

Dalam pengerjaan yang spesifik, kapasitas alat pemekatan (thickener)


umumnya mempunyai volume yang sama, dengan lumpur yang dapat diolah
dalam 1 atau 2 hari, tercukup untuk disimpan.
2
Sesuai dengan beban zat padat, biasanya diatur pada 10 20 kg/m unit luas
pemukaan tangki per hari. Kedalam efektif tangki antara 3,5 4 meter.
Pemekatan secara terpisah dapat digunakan sebagai langkah awal dalam
memproses Lumpur untuk mengurangi volumenya.
Tangki Thickener mempunyai mekanisme menggaruk. Tiang pancang dipasang
pada tangan-tangan penampung berputar melalui tempat penyediaan Lumpur
untuk membebaskan air yang terjebak. Aliran masuk melalui belakang lubang
pemasukan (inlet) di tengah tangki dan menuju ke bawah. Sumur inlet
(Pemasukan) supermator ke sekeliling kawat, sementara aliran diabwah yaitu
lumpur yang telah dipekatkan ditarik dari bagian dasar tangki dalam tangki.
(3)

Sentrifugasi
Diantara beberapa tipe unit yang dijual, unit yang paling aplikatif adalah unit
scroll discharge, solid bowl (mangkuk putar) dan basket bowl. Unit ini terdiri dari
mangkuk putaran dalam bentuk tabung/silinder dengan bagian kerucut pada
ujungnya, dan baling-baling yang berputar didalamnya. Lumpur diisikan melalui
tengah/pusat, tertahan pada dinding mangkuk karena gaya sentrifugal. Zat
padat yang mengendap dipindahkan oleh alat pembawa dari ujung mangkuk
semetnara bagian yang jernih (effluent) dilalukan pada ujung lainnya.
Basket centrifuges menghasilkan lumpur alum yang mengandung 10 11%
tanpa penggunaan polimer. Komposisi Lumpur (mengandung 1/4 Al 2(OH)3
dapat diperbaiki sampai dengan 15 % padatan jika lumpur diprakondisikan
terlebih dahulu dengan polimer. Prakondisi yang optimum dengan
membubuhkan 1 2 pon per ton padatan (0.5 1 kg/ ton) akan menghasilkan
25 30 % padatan.

(4)

Bowl centrifugation
Bowl centrifugation memungkinkan lumpur kapur pelunakan lebih mudah
dikentalkan dari Lumpur alum. Teknik ini dapat menghasilkan 30 70 %
padatan dengan atau tanpa di prakondisikan dengan polimer. Kelemahan
metode ini adalah membutuhkan pemeliharaan tingkat tinggi dan biaya
pemeliharaan yang tinggi.

(5)

Filter Press
Filter press dapat digunakan untuk proses penghilangan air baik pada lumpier
alum maupun Lumpur kapur. Namun lebih banyak digunakan terutama dalam
proses penghilangan air Lumpur alum yang diprakondisikan dengan polimer,
kapur atau precoated dengan diaomacius earth. Umur dari filter cloth
normalnya adalah 1.5 tahun. Filter press adalah proses batch yang
memerlukan biaya investasi dan pemeliharaan yang tinggi. Sampai saat ini, jika
padatan yang dipersyaratkan diatas 40% padatan alum kering, proses ini
adalah metode yang paling bisa diandalkan.
6

(6)

Belt Press
Unit Belt press relatif kecil dan hanya membutuhkan relatif sedikit perhatian dan
pemeliharaan saat unit dioptimalkan. Unit ini sering digunakan untuk mengolah
Lumpur koagulan dan dapat menghasilkan padatan alum dengan 20 25 %
padatan jika polimer ditambahkan.

(7)

Vacuum Filter
Vacuum Filter digunakan terutama untuk mengolah lumpur kapur. Unit ini
umumnya menghasilkan 40 50% padatan. Untuk kandungan lumpur kapur
2

magnesium yang rendah, tingkat bebannya 40 90 lb/ft per jam (195 440
2

kg/m /jam), namun jika kandungan Lumpur kapur magnesium tinggi beban
2

pengolehan yang digunakan hanya sebesar 10 20 lb/ft per jam (48.8 97.65
2

kg/m /jam). Vacuum filter tidak efktif jika digunakan untuk mengolah lumpur
alum.
Tabel berikut menyimpulkan kinerja tipikal dari beberapa unit proses
penghilangan air.
Tabel 2. Kinerja Tipikal Proses Dewatering
Thickening
secara
gravitasi

Dryin
g
beds

Centrifugation

Filter
Press

Belt
Press

Lumpur alum

25

3050

10 25

25l50

2530

Lumpur kapur

8 12

4060

30 70

4050

Jenis
Lumpur

4.4. Pembuangan Air dari Proses Dewatering ( Filtrat )


Air buangan dari proses penghilangan air secara mekanis memiliki karakteristik:
mengandung polimer asam, alumunium, senyawa organiik dan kemungkinan juga
logam berat dalam konsentrasi yang tinggi. Mengembalikan air buangan ini ke awal
dari proses pengolahan air, baik sendiri maupun dikombinasikan dengan air bekas
pencucian filter sangat tidak direkomendasikan. Hal ini akan mempengaruhi proses
flokulasi dan secara drastis akan meningkatkan senyawa yang tidak diinginkan
dalam air. Dilihat dari aspek kesehatan, hal ini tidak dianjurkan mengingat efek dari
logam berat atau senyawa yang tidak diinginkan lainnya terhadap kesehatan.
Metode yang dimungkinkan adalah dengan membuang air buangan ini kedalam
sistem pembuangan sewerage , pengolahan air buangan maupun membuang ke
drying beds jika telah ada.

V.

PEMBUANGAN AKHIR LUMPUR

Pilihan praktis yang tersedia untuk pembuangan akhir Lumpur adalah:


Membuang langsung ke sistem pengolahan air buangan terpusat (sewerage),
Landfill, dan
Pembuangan setempat (on-site disposal).
V.1. Pembuangan Langsung ke Sistem Sewerage
Metode yang paling mudah adalah dengan membuangnya langsung ke sistem
sewerage (jika ada). Satu hal yang harus diperhatikan adalah aliran lumpur harus
dirata-ratakan terlebih dahulu karena sistem sewerage tidak dapat menangani
jumlah yang sekaligus besar serta kandungan lumpur yang sangat pekat. Bak/
tangki aliran rata-rata ini akan mengalirkan lumpur pada aliran yang konstan
sehingga sistem sewerage tidak meluap.
Pengaruh dari pembuangan ini terhadap pengolahan air buangan sewerage hampir
tidak ada kecuali lumpur dari instalasi pengolahan air ini mempunyai kualitas yang
lebih buruk dari air buangan sewerage.
Lumpur alum justru akan menguntungkan bagi pengolahan air buangan sewerage
karena dapat meningkatkan proses penghilangan phospat. Lumpur alum juga dapat
meningkatkan proses penghilangan padatan tersuspensi karena pengaruh
alumunium hidroksida. IPA yang banyak menggunakan polimer organik sebagai
koagulan menghasilkan lumpur yang cenderung lebih mudah diuraikan
(biodegradable). Efek negatif dari lumpur ini pada instalasi pengolahan air buangan
adalah berkurangnya gas methane yang dihasilkan karena adanya bahan inert
seperti alumunium hidroksida dan material liat yang terbawa ke unit digester.
Jika instalasi air minum dan instalasi air buangan tidak berada dalam satu
manajemen, pembuangan lumpur ini tentunya akan dikenakan biaya.
V.2. Sistem Landfill
Pemilihan lahan landfill saat ini merupakan hal yang sangat sulit. Oleh karena
karakteristik lumpur yang hanya terdiri dari < 20 % padatan menyulitkan metode
pengolahannya. lumpur ini juga sangat cepat menimbulkan bau sehingga dapat
mengganggu pemukiman sekitar.
Instalasi pengolahan lumpur yang dilengkapi dengan proses dewatering, dapat
membuang lumpur padat sebagai pengisi parit atau area. Alternatif lain dengan
mencampurnya dengan sampah, sampah kering dicampur lumpur untuk mencapai
kepadatan yang efektif.

V.3. Pembuangan Setempat (On site Disposal )


On site disposal dapat dipertimbangkan sebagai metode alternatif pembuangan
lumpur jika instalasi pengolahan air memiliki lahan yang cukup, memproduksi lumpur
dalam jumlah relatif sedikit. Jika sebagian lahan juga instalasi direncanakan untuk
digunakan sebagai lahan pembuangan lumpur, beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan adalah: potensi pencemaran terhadap air yang diproduksi atau air
tanah, aspek estetik dan keamanan dari instalasi.Salah satu kerugian dari metode
pembuangan setempat ini adalah: pembuangan lumpur alum ke tanah dan
cenderung menyumbat tanah yang akan menghalangi masuknya udara ke tanah
yang diperlukan oleh tanaman. Namun pembuangan lumpur alum ke tanah terbukti
memperbaiki kondisi tanah yang banyak mengandung tanah liat dan dapat
menetralisir tanah yang bersifat basa.

VI. KRITERIA RANCANGAN


VI.1. Lagoon Sludge Drying Beds
Tabel 3 . Kriteria Rancangan Lagoon Sludge Drying Bed
Luas area

Jumlah minimum
Ukuran dari tiap kolam
Kedalaman cairan lumpur
Kemiringan dasar kolam
Bentuk kolam
Sistem drainase dasar
Lining

Jarak antara inlet dan outlet


Pipa inlet
Outlet
Akses kendaraan
Akses jalan
Kecepatan aliran di pipa

40 kg/ m untuk daerah basah dan 80 kg/m daerah


kering, kedua angka ini berdasar atas berat lumpur
kering
Tiga lebih baik 4
Tiap kolam harus sanggup menanggung produksi
rata-rata lumpur dalam 3 4 bulan
Kedalaman maksimum saat pengisian 1,8 m, saat
normal 1,2 m
0.5 1 % kearah outlet
Persegi dengan rasio panjang : lebar = 4 : 1
Terdiri dari pipa lateral berlubang dengan dasar batu
kerikil dan pasir
Seluruh permukaan, termasuk dasar kolam. Dilapisi
dengan Gunite, aspal atau atau semen untuk
memudahkan pembuangan lumpur (dengan alat
mekanis), melindungi air tanah dari pencemaran,
melindungi dari erosi dan mencegah pertumbuhan
tanaman.
Minimum 30 m, untuk melindungi aliran singkat
Isolation valve dengan penghilangan energi
sederhana
Bertingkat ( 9 12 tingkat ) , dengan fasiltas
overflow
Tiap kolam harus dilengkapi akses kendaraan
(landaian) untuk mengangkut lumpur kering
Sekeliling kolam harus dilengkapi jalan akses
Harus lebih tinggi dari 0.75 m/dt

VI.2. Sand Bed Drying Bed


Tabel 4. Kriteria Rancangan Sand Bed Drying Bed
Kedalaman cairan lumpur Maksimum 0,45 m, normal 0,3 m
Drainase dasar
Pipa perforasi diameter 6 in
Lapisan kerikil
Tiga lapis dengan kedalaman total 14 in: 3 in kerikil
diameter 1/8 3/8 in ; 3 in kerikil diameter 3/8 1/2 ;
8 in kerikil diameter 1/4 1,5 in
Lapisan pasir
Diameter pasir dari 10 30 mm dengan ketebalan
0,3 m
Catatan :
Lumpur kapur lebih mudah dikeringkan dengan sand drying bed daripada lumpur
alum, metode ini dapat menghasilkan lumpur yang mengandung 25 % padatan.

10

VII. OPERASI DAN PEMELIHARAAN


Operator instalasi harus memperhatikan tiga hal utama yaitu:

Mengurangi tingkat produksi lumpur,

Pembuangan lumpur dengan konsentrasi tinggi dan

Optimalisasi operasi pengeringan lumpur


VII.1. Mengurangi Tingkat Produksi Lumpur
Untuk mengurangi tingkat produksi lumpur operator harus memilih :
1.
Koagulan yang sesuai
2.
Mengoptimalkan dosis bahan kimia
3.
Mengoptmalkan pengentalan lumpur Dan Pembuangan lumpur
Oleh karena 26 % alum yang ditambahkan menghasilkan alumunium hidroksida
(yang artinya menjadi bagian dari lumpur), tujuan utama dari operator haruslah
mengurangi dosis koagulan tanpa mengurangi kualitas air hasil produksi. Operator
terlebih dahulu harus memeriksa apakah polimer yang diberikan telah efektif.
Penggunaan polimer anion dan kation sebagai koagulan pembantu akan
mengurangi dosis alum yang dibutuhkan.
Pada kasus penyaringan langsung (direct filtration) penggunaan polimer kation akan
menggantikan fungsi alum sebagai kaogulan.
Penerapan filtrasi langsung selama air kualitas air baku bagus adalah metode
alternatif yang akan mengurangi secara drastis produksi lumpur. Instalasi
pengolahan air yang air bakunya berasal dari reservoir air baku yang besar atau
danau seharusnya menerapkan metode ini.
Daripada membubuhkan 15 mg/l alum ke dalam air baku yang memiliki kekeruhan 3
NTU untuk membentuk flok, filtrasi langsung hanya membutuhkan dosis hanya 6
mg/l atau kombinasi dari 3mg/l alum dengan 0,5 mg/l kation polimer. Proses flokulasi
dan filtrasi akan berturut-turut terjadi dalam filter.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh operator adalah aplikasi kapur dengan alum
pada awal proses pengolahan air. Kecuali alkalinitas air baku dibawah 15 mg/l dan
membutuhkan dosis alum diatas 15 mg/l, tidak diperlukan penambahan alkalinitas
air.
Proses flokulasi ideal terjadi pada range pH 5 7, untuk mencegah air menjadi
korosif pH dapat disesuaikan pada tahap berikutnya. Jika kapur tidak ditambahkan
dengan alum pada awal pengolahan air, sisa alum pada air yang sudah diolah dan
produksi lumpur akan jauh berkurang.
Semua kasus yang diterangkan diatas, harus terlebih dahulu diteliti melalui bench
test untuk mendapatkan dosis bahan kimia yang optimal.

11

VII.2. Pembuangan Lumpur dengan konsentrasi tinggi


Jika lumpur yang diolah pada sistem penghilangan air berkonsentrasi tinggi,
prosesnya akan lebih hemat dan efektif dalam mengkonsentrasikan padatan,
dengan demikian pembuangan lumpur akan lebih mudah dan efektif. Operator harus
menyesuaikan siklus pembuangan lumpur dengan selalu memperhatikan konsistensi
dari cairan lumpur dengan sarana yang memungkinkan dia melakukan hal tersebut.
Pembuangan lumpur yang sangat sering akan menghasilkan konsentrasi padatan
yang sangat rendah.
Operator harus menyesuaikan operasi instalasi sehingga lumpur mengandung
konsentrasi padatan paling tidak 0,5 %; Lumpur alum yang dihasilkan dari unit
clarifier umumnya hanya mengandung 0,1 % padatan.
Satu hal yang harus diperhatikan: jangan membiarkan lumpur terlalu lama di clarifier
untuk mendapatkan konsentrasi lumpur yang tinggi sebab lumpur tersebut menjadi
septik dan akan mempengaruhi rasa dan bau dari air yang diolah.
VII.3. Optimalisasi Pengentalan Lumpur dan Pembuangan Lumpur.
Ada beberapa metode yang dapat dilakukan, tergantung dari tipe sistem
pengentalan lumpur.
Operator dapat mengoptimalkan beban lumpur yang masuk ke unit thickening,
seperti :

Kecepatan belt

Tekanan filter press.


Efisiensi dari proses pengentalan secara drastis dapat diperbaiki dengan :

Penambahan tipe dan dosis polimer yang tepat,


Tergantung dari tipe lumpur yang sedang diproses.
Jika kapur banyak tersedia dengan harga yang relatif murah, dan biaya
personel memungkinkan, penambahan 15 % kapur pada lumpur alum akan
meningkatkan pH lumpur sampai pH 12. Pengalaman menunjukkan aplikasi ini
akan secara drastis memperbaiki karakteristik dari lumpur sehingga lebih
mudah dihilangkan airnya.

12

VIII. SUMBER-SUMBER SAMPAH/LIMBAH DALAM PENGOLAHAN AIR


VIII.1. Sampah/Limbah Proses Koagulasi
Endapan tawas adalah bentuk yang paling banyak dari sampah/limbah proses
koagulasi yang berasal dari pengendapan, karena tawaslah yang paling sering
digunakan untuk menghilangkan kekeruhan air. Benda-benda kecil yang terdapat
didalam endapan alum sulfat kebanyakan adalah Lumpur zat anorganik dan tanah
liat.
Endapan alum sulfat, berbentuk seperti agar-agar biasanya mengandung hanya 0,1
2,0 % berat zat padat. Tapi sangatlah sulit untuk mengatasi dan menghilangkan
airnya (dewatering/pengeringan), karena kebanyakan air secara kimia terikat pada
flok senyawa Al2(OH)3 (aluminium hidroksida).
Menurut data eksperimen, rasio total zat padat tersuspensi dan unit kekeruhan
(NTU) biasanya antara 1,0 sampai 2,0. Untuk memperkirakan lumpur padat dari
koagulasi tawas, contoh pada bagian sebelumnya dapat memberikan gambaran.
Pada umumnya lumpur yang dihasilkan dari pengolahan air dengan kekeruhan tinggi
akan lebih tebal dan lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan dengan lumpur dari
pengolahan air dengan kekeruhan rendah.
VIII.2. Air Pencuci Saringan ( Filter )
Pencucian balik dari saringan akan menghasilkan air buangan dalam jumlah relatif
besar dalam konsentrasi zat padat yang rendah, antara 0,01 sampai 0.1 % (100
1000 mg/l), karena 2 3 % dari air yang diproses dipergunakan untuk pencucian
saringan.
Walaupun air cucian biasanya dibuang ke badan air tanpa diolah lebih dulu, namun
dapat juga dikembalikan/daur ulang untuk diproses dengan air baku dnegna
konsentrasi zat padat yang rendah.
VIII.3. Buangan lainnya
Pengolahan air yang hanya memisahkan zat besi (Fe) dan mangan (Mn) dari air
tanah, 50 90 % dari hidrat besi [Fe(OH) 3] dan oksidan mangan (MnO 2) tertahan
didalam saringan dan mungkin muncul kembali pada instalasi pengolahan bersama
air pencucian. Karena konsentrasi dari zat-zat ini umumnya rendah, maka jumlah zat
padat yang dihasilkan dan jumlah buangan yang diakibatkan juga kecil. Buangan
lain dibuang ke saluran air tanpa pengolahan lebih dulu.
VIII.4. Pengentalan Lumpur
Target utama zat-zat padat dalam pengolahan Lumpur ini adalah endapan tawas
dari bak pengendapan, seperti yang telah disebut terdahulu. Pemekatan atau
pengentalan lumpur dari bak sedimentasi biasanya dapat ditambah dengan
mengendapkannya kembali.
Sedikit pengurangan dari kadar air, sebagai contoh dari 99 ke 98 %, mengakibatkan
berkurangnya volume dalam jumlah yang besar, yaitu dari 100 sampai 50 %.

13

IX.

Literatur

Kawamura, Susumu,Integrated Design of Water Treatment Facilities, John


Wiley & Son, Inc,; 1991

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Bali Pelatihan Air Bersih dan PLP2,
Departemen Pekerjaan Umum, Pelatihan Lanjutan Fasilitas Penjernihan Air,
1997

14

Anda mungkin juga menyukai