Anda di halaman 1dari 31

Mata Kuliah Menajemen Keselamatan Industri

Studi Kasus Proses Pengolahan Limbah Industri

Oleh :
Kelompok 1
Ghaly Ukta Pradana 1415041019
Pavita Salsabila 1415041046
Ridwan Santoso 1415041053

Teknik Kimia Fakultas Teknik


Universitas Lampung
Tahun Ajaran 2019
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, semakin bertambahnya kebutuhan manusia banyak juga diciptakan pemuas atau pemenuhan kebutuhan
manusia. Untuk itu munculah pabrik-pabrik industry sebagai pengolah bahan mentah untuk kemudian diolah dengan
sedemikian rupa menjadi barang setengah jadi maupun barang siap pakai, untuk selanjutnya akan dikonsumsi
masyarakat. Dalam jumlah produksi yang sagat besar tiap harinya akan menghasilkan sisa-sisa hasil dari proses
pengolahan yang tidak terpakai.

Kemudian, masyarakat yang sebagai pelaku konsumsi pun akan “mengeluarkan” limbah-limbah sebagai hasil
penggunaan hasil barang produksi tersebut. Limbah ini dinamakan limbah rumah tangga. Meskipun sedikit lebih
“aman”, bukan berarti dapat seenaknya saja membiarkan limbah ini dibuang begitu saja. Karena limbah sekecil
apapun bila dalam jumlah yang besar dapat memberikan konstribusi besar dalam hal pengrusakan terhadap
lingkungan. Untuk itulah diperlukan penanganan yang tepat dalam pengolahan limbah-limbah industry maupun
limbah rumah tangga.

Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari proses kegiatan manusia (Ign Suharto, 2011
:226). Limbah dapat berupa tumpukan barang bekas, sisa kotoran hewan, tanaman, atau sayuran. Keseimbangan
lingkungan menjadi terganggu jika jumlah hasil buangan tersebut melebihi ambang batas toleransi lingkungan.
Apabila konsentrasi dan kuantitas melibihi ambang batas, keberadaan limbah dapat berdampak negatif terhadap
lingkungan terutama bagi kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya
keracunan yang ditimbulkan oleh limbah bergantung pada jenis dan karakteristik limbah.

Berdasarkan Wujudnya menurut Ign Suharto, 2011, limbah dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. Limbah padat, limbah padat adalah limbah yang berwujud padat. Limbah padat bersifat kering, tidak dapat
berpindah kecuali ada yang memindahkannya. Limbah padat ini misalnya, sisa makanan, sayuran, potongan
kayu, sobekan kertas, sampah, plastik, dan logam
2. Limbah cair, limbah cair adalah limbah yang berwujud cair. Limbah cair terlarut dalam air, selalu berpindah,
dan tidak pernah diam. Contoh limbah cair adalah air bekas mencuci pakaian, air bekas pencelupan warna
pakaian, dan sebagainya.
3. Limbah gas, limbah gas adalah limbah zat (zat buangan) yang berwujud gas. Limbah gas dapat dilihat dalam
bentuk asap. Limbah gas selalu bergerak sehingga penyebarannya sangat luas. Contoh limbah gas adalah gas
pembuangan kendaraan bermotor. Pembuatan bahan bakar minyakjuga menghasilkan gas buangan yang
berbahaya bagi lingkungan.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :

1. Menjelaskan apa itu limbah cair


2. Bagaimana proses pengolahan limbah cair di industri
3. Menjelaskan indikasi air tercemar
4. Menjelaskan dampak limbah cair industri bagi lingkungan
5. Menjelaskan proses pengolahan limbah cair di industri berdasarkan studi kasus.
BAB II
Isi

2.1. Pengertian Limbah


Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah
tangga) yang kehadirannya pada saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki karena tidak memiliki nilai ekonomis.
Kehadiran limbah dapat berdampak negatif bagi lingkungan terutama kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan
penanganan limbah. Saat ini, tren pengelolaan limbah di industri adalah menjalankan secara terintergrasi kegiatan
pengurangan, segregasi dan handling llimbah sehingga menekan biaya dan menghasilkan output limbah yang lebih
sedikit serta minim tingkat pencemarnya. Integrasi dalam pengelolaan limbah tersebut kemudian dibuat menjadi
berbagai konsep. Pengolahan limbah dimaksudkan untuk menurunkan tingkat cemaran yang terdapat dalam
limbah sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan. Limbah yang dikeluarkan dari setiap kegiatan akan memiliki
karakteristik yang berlainan.

2.2. Karakteristik Fisik Limbah

Karakteristik fisik dari limbah terbagi dalam beberapa macam atau jenis, diantaranya sebagai berikut :

1. Zat padat

Karakteristik dari limbah yang paling mudah untuk dideteksi adalah zat padat, total dari zat padat biasa disebut zat
solid, yang artinya seluruh zat padat yang tetap ada sebagai suatu residu. Setelah proses pemanasan mencapai suhu
103-105 derajat celcius di dalam sebuah laboratorium. Sehingga zat tersebut tidak akan hancur walaupun dengan
suhu panas rendah.

2. Bau

Hal yang paling khas dari limbah atau sampah adalah bau, bau adalah efek yang ditimbulkan dari limbah. Karena
merupakan sisa-sisa maka sampah atau limbah akan menimbulkan bau tak sedap. Bau itu dihasilkan oleh gas hasil
dari dekomposisi atau penguraian dari zat organik, yang terdapat di dalam air limbah.

Jenis gas yang dapat menimbulkan bau di dalam air limbah yaitu antara lain amonia dan senyawa organik sulfida.
Sulfida ini biasanya ditemukan di perairan yang kotor sebagai dekomposisi, senyawa organik dan juga sampah
industri. Sehingga biasanya anda akan mencium bau tak sedap, jika melewati sungai yang penuh dengan limbah.

3. Suhu

Suhu pada air limbah biasanya akan lebih tinggi dibandingkan suhu yang ada di sekitarnya. Suhu yang tinggi
tersebut akan menurunkan kadar DO dan dapat dideteksi dengan mudah dengan menggunakan termometer biasa.

4. Warna

Warna juga merupakan karakteristik dari limbah yang paling mudah dikenali. Karena air limbah biasanya
memiliki warna tertentu tetapi tergantung pada kandungan air di limbah tersebut. biasanya warna dari limbah yang
baru dibuang adalah abu-abu atau bisa berubah menjadi kehitaman.

Warna yang ditimbulkan itu berasal dari adanya proses dekomposisi dari bahan organik, serta menurunnya jumlah
oksigen menjadi nol sehingga akan memudarkan warnanya. Tetapi air limbah yang tidak menimbulkan warna
tertentu bukan berarti tidak berbahaya.

5. Kekeruhan

Air limbah akan terlihat keruh jika disebabkan oleh zat organik, lumpur, tanah liat, dan organisme lainnya yang
mengapung di atasnya. Sehingga akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengendap. Semakin keruh
air di suatu limbah maka akan semakin besar juga kandungan limbah, walaupun diidentifikasi dengan sekilas saja.

2.3. Karakteristik Kimia Limbah

Karakteristik kimia limbah yang terdapat pada kimia limbah diantaranya yaitu :

1. Bahan organik

Karakteristik limbah yang satu ini dapat dilihat dari bahan kimia yang berupa bahan organik. Air limbah tersebut
mengandung bahan organik berupa protein sebesar 65%, karbohidrat sebesar 70%, dan lemak atau minyak sebesar
10%. Lemak di dalam limbah domestik tersebut biasanya berasal dari sisa-sisa makanan.
2. BOD atau Biologycal Oxygen Demand

BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikro organisme di dalam lingkungan air, untuk mengubah
bahan organik yang terdapat di dalam lingkungan air yang terkait. Air buangan yang terdapat pada BOD akan
berbahaya jika dibuang secara langsung.

3. DO atau Dissolved Oxygen

DO atau oksigen yang terlarut merupakan suatu kebutuhan dasar yang akan menyokong kehidupan tanaman dan
juga hewan di dalam air. Air memiliki kemampuan untuk menyediakan oksigen untuk kelangsungan hidup, setiap
makhluk hidup yang ada di dalamnya seperti halnya di dalam laut.

4. COD atau Chemical Oxygen Demand

COD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik yang dapat dilihat secara
kimiawi. Yang di dalamnya terdapat air yang sempurna, agar bahan tersebut dapat berubah menjadi bentuk lainnya
secara alami.

5. pH

Derajat keasaman adalah ukuran yang menunjukan kadar asam dan basa di dalam suatu larutan. Pada saat air
limbah Demiliki pH yang tidak netral maka hal itu akan menimbulkan limbah yang berbahaya. Apabila ada
perubahan keasaman yang terjadi pada air limbah, maka pH akan naik dan dapat mengganggu ekosistem air.

2.4. Limbah Industri dan Contohnya

Limbah industri merupakan jenis limbah yang tak asing lagi bagi kita, selain limbah yang dihasilkan dari kegiatan
rumah tangga. Limbah industri ini merupakan jenis limbah yang dihasilkan dari segala jenis kegiatan industri.
Berikut ini beberapa contoh dari limbah industri yang perlu anda ketahui, yaitu :

1. Limbah industri cair

Limbah industri yang satu ini merupakan jenis limbah atau pencemaran yang biasanya dikeluarkan oleh pabrik,
yang bentuknya cair dan biasanya akan dibuang langsung ke saluran perairan, kali atau pun selokan. Contohnya
seperti sisa pewarna pakaian yang bentuknya cair, pengawet cair, kandungan besi pada air, kebocoran minyak di
laut, dan lain sebagainya.

2. Limbah industri padat

Limbah industri padat adalah hasil buangan dari kegiatan industri yang berupa padatan, lumpur, atau bubur yang
berasal dari suatu proses pengolahan, atau sampah yang telah dihasilkan dari kegiatan industri dan dari tempat
umum lainnya. Contohnya adalah plastik, kantong, sisa pakaian atau kain, sisa sampah elektronik, kertas, kabel,
besi dan lain-lain.

3. Limbah industri gas

Definisi dari limbah industri gas ini adalah limbah yang disebabkan oleh sumber alami maupun hasil dari aktivitas
manusia. Yang bentuknya molekul gas dan pada umumnya memberi dampak yang buruk terhadap kehidupan
makhluk hidup dan juga lingkungan. Contohnya pembakaran pada pabrik, kebocoran gas, asap, dan masih banyak
lagi.

2.5. Kasus Pengolahan Limbah Industri

2.5.1. PENGOLAHAN LIMBAH TEKSTIL DAN BATIK DI INDONESIA

1. Pendahuluan

Batik merupakan warisan kebudayaan Majapahit dan meluas ini menjadi milik rakyat Indonesia mulai akhir abad
ke-18 atau awal abad ke-19. Batik dideklarasikan 2 Oktober 2009 sebagai salah satu dari warisan budaya dunia.
Oleh karena itulah, usaha batik menjadi semakin populer dikalangan masyarakat dalam negeri maupun luar negeri.
Hal Indonesia dalam bentuk kerajinan tekstil. Batik diakui Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan
Kebudayaan (UNESCO) sebagai warisan budaya yang berasal dari Indonesia. Pada awalnya, pengembangan batik
banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada

masa kerjaan Solo dan Yogyakarta. Kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan ini dapat
dibuktikan dari pendapatan yang diperoleh hasil ekspor batik tahun 2013 ke 5 negara tujuan utama.
Sayangnya, industri yang menguntungkan ini akan merugikan dari sisi lingkungan apabila pengolahan limbahnya
tidak dilakukan dengan baik. Zat pewarna tekstil umumnya terbuat dari zat organik non-biodegradable, yang
sebenarnya dapat terurai oleh sinar UV, namun lambat sehingga lebih mudah terakumulasi pada tanah dan
perairan. Zat pewarna tekstil dan batik digolongkan menjadi zat warna nitroso, nitro, azo, stilben, difenil metana,
trifenil metana, akridin, kinolin, indigoida, aminokinon, anin dan indofenol. Akan tetapi secara umum, zat pewarna
batik digolongkan menjadi zat pewarna alami dan zat pewarna sintetik. Zat pewarna alami dapat berupa klorofil,
karotenoid, flovonoid dan kuinon.

Zat warna buatan atau sintesis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan dasar tar, arang, batu bara atau minyak
bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena dan antrasena. Zat
pewarna alami dapat diekstrak dari daun pohon nila (indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn),
kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), teh (The), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga
jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun jambu biji (Psidium guajava) akan tetapi, zat
pewarna alam dianggap kurang praktis dan ketersediaan serta warnanya terbatas. Menurut R.H.MJ. Lemmens dan
N WulijarniSoetjipto, sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan, pada jaringan tumbuhan
terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda tergantung menurut struktur kimianya. Golongan
pigmen tumbuhan dapat berbentuk klorofil, karotenoid, flovonoid dan kuinon.

Untuk itu pigmen – pigmen alam tersebut perlu dieksplorasi dari jaringan atau organ tumbuhan dan dijadikan
larutan zat warna alam untuk pencelupan bahan tekstil. Proses eksplorasi dilakukan dengan teknik ekstraksi
dengan pelarut air. Proses pembuatannya adalah bagian yang akan diekstrak dicacah, direbus dan disaring.
Penggunaan pigmen sintetis akan lebih mudah dalam skala besar, sehingga zat pewarna sintesis lebih banyak
digunakan dalam industri. Salah satu contoh pewarna tekstil yang sering digunakan didalam industri adalah zat
warna napthol atau blue-black, remazol black, red dan golden yellow. Zat warna ini stabil secara kimia. Pada
penggunaannya, zat pewarna ini hanya dipakai sedikit dan sisanya akan dibuang sebagai limbah. Apabila limbah
terbuang ke sungai, limbah ini akan menaikkan chemical oxygen demand, biological oxygen demand,
menimbulkan padatan tersuspensi, menurunkan kualitas air dan akan menimbulkan masalah kesehatan jika air
tersebut digunakan oleh masyarakat.

2. Proses Pembuatan Tekstil dan Batik Tekstil dan batik dapat dibuat dengan berbagai cara. Batik dapat dibuat
dengan tulis, celup, maupun cap. Secara umum, proses pembuatan batik terdiri dari langkah persiapan, pencetakan
batik dan fiksasi. Pertama-tama dilakukan mordanting dengan diangkat dan dibilas. Kain dikeringkan dan
disetrika. Kain sutera yang telah dimordanting tersebut siap dilukis dengan pola batik. Untuk mengawetkan hasil
akhir, dilakukan fiksasi. Fiksasi dilakukan dengan cara mencelupkan kain kedalam larutan tanjung, tawas, atau
kapur tohor. Secara skematik ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1 Fiksasi Kain Batik (Susanto, 1973)

Lain halnya dengan pemrosesan modern, pembuatan tekstil dilakukan dengan dua cara yaitu wet processing dan
dry processing. Wet process menghasilkan limbah efluen yang besar dalam bentuk cair dan mempunyai derajat
toksisitas yang bervariasi, sedangkan dry process akan menghasilkan limbah padat yang banyak. Industri tekstil
dikenal sebagai proses yang boros akan air, sehingga reklamasi dan pengolahan limbah sangat dibutuhkan agar
meningkatkan daya terjadi tarik warna untuk menghasilkan warna dan ketajaman yang baik. Menurut Sewan
Susanto. Proses mordanting terdiri dari langkah sebagai berikut:

a. Tekstil sebagai sample dipotong dengan ukuran 10 X 10 cm untuk diwarnai atau sesuai keinginan sebanyak tiga
lembar.

b. Bahan tekstil yang akan diwarnai direndam dalam larutan 2 gram/liter sabun atau turkey red oil. Perendaman
dilakukan selama 2 jamatau dapat juga dilakkan semalaman. Setelah itu bahan dicuci dan dianginkan.
c. Jika bahan batik terbuat dari kapas, dibuat larutan yang mengandung 8 gram tawas dan 2 gram soda abu
(Na2CO3) dalam setiap 1 liter air yang digunakan. Larutan diaduk hingga larut. Larutan direbus sehingga
mendidih dan dimasukkan bahan kapas, kemudian direbus selama 1 jam. Setelah itu api dimatikan dan kain kapas
dibiarkan terendam dalam larutan selama semalam. Setelah direndam sustainabilitas lingkungan. Air digunakan
terbesar terutama dalam proses pembilasan, mengecilan ukuran, penggosokan, pemutihan, penguatan, pewarnaan,
netralisasi dan perendaman dengan garam. Banyaknya air sangat bergantung dari material kain dan langkah-
langkah produksi. Secara garis besar, limbah industri tekstil dapat dibagi menjadi air proses, air pembersih, air
pendingin dan storm water. Untuk mengatasi limbah dari proses membatik dan tekstil, dapat digunakan beberapa
cara, antara lain dengan Anaerobic Baffle Reactor, sistem lumpur aktif dan bioremediasi, dan ozonasi. Namun
penggunaan mikroba dalam remediasi air masih dianggap tidak praktis.

Hal ini disebabkan karena kandungan biologis yang terdapat dalam air limbah yang membuatnya untuk terus
beregenerasi dalam limbah sehingga terjadi variasi pH air limbah, suhu, konsentrasi di air limbah tekstil yang terus
berubah-ubah. Selain itu, metode pengobatan biologis ini tidak membawa lengkap kontaminan pada zat pewarna.
Karena hal ini limbah yang dibuang masih sering terganggu oleh kemampuan dari kontaminan biologis untuk
melakukan regenerasi konstituen organik pada pewarna tekstil. Penggunaan anaerobic baffle reactormembutuhkan
pengolahan awal berupa absorbsi. Proses absorbsi dapat menggunakan absorben buatan maupun alami seperti
batok kelapa, namun proses absorbsi harus dibuat dapat dipakai berulang agar ekonomis dan berlanjut. Lain
semalaman, kain harus diangkat dan dibilas. Kain tersebut dikeringkan dan disetrika. Kain kapas tersebut siap
dicelup. Untuk bahan sutera, dibuat larutan yang mengandung 8 gram tawas dalam setiap 1liter air yang
digunakan, kemudian diaduk hingga larut. Larutan dipanaskan hingga 60 ºC kemudian masukkan bahan sutera
atau dan proses dilakukan selama 1 jam dengan suhu larutan dijaga konstan (40 – 60ºC). Setelah itu pemanasan
dihentikan dan kain dibiarkan terendam dalam larutan selama semalaman. Setelah itu, kain halnya dengan ozonasi,
yang waktu paruhnya singkat dan tidak murah sehingga kurang ekonomis.

3. Langkah Pengolahan Limbah Tekstil Konvensional

3.1 Anaerobik Baffle Reaktor

Reaktor ini melibatkan mikroorganisme yang tahan pada kondisi anaerob dan toleran terhadap konsentrasi bahan
organik tinggi dan kondisi lingungan yang sulit. Kelebihan dari reactor ini adalah rancangannya sederhana,
kestabilan tinggi dan efisiensi tinggi. Akan tetapi, anaerobic baffle reactor sederhana akan memerlukan reactor
dangkal untuk mempertahankan laju gas dan cair, sehingga dapat bakteri mudah sekali terbuang dan menyebabkan
penundaan pada start-up. Akibat sifatnya yang seperti aliran sumbat, terjadi akumulasi asam lemak volatile dan pH
rendah, dan juga eksposisi bakteri sensitive pada bagian menjadi senyawa tingkat anorganik dan organik pada
kekuatan umpan limbah besar. Hal ini dapat diatasi dengan pengenceran umpan, pengumpanan secara periodik,
pengumpanan dengan laju rendah dan daur ulang efluen.

3.2 Sistem Lumpur Aktif (Nigtyas, 2015)


Sistem ini merupakan sistem pengolahan limbah menggunaan mikroorganisme dengan proses aerobic, dimana
zat organik dikonversi menjadi CO2, H2O, NH4 dan biomassa baru. Terdapat 4 bagian proses pada sistem ini,
yaitu: aerasi, pegendapan, resirkulasi lumpur, serta penghilangan lumpur sisa. Aerasi ditujukan sebagai sumber
oksigen. Pada tahap ini pulalah, terjadi reaksi konversi zat organik. Kemudian, biomassa diendapkan pada tangka
pengendapan sekunder. Bagian padat kemudian disirkulasi pada tangka aerasi untuk mempertahankan konsentrasi
biomassa, sehingga efisiensi tinggi.
Sehingga proses ini disimpulkan menjadi diagram alir berikut yang ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2. Alur Sistem Lumpur Aktif (Sholichin 2012)

Pertama-tama, dilakukan pengendapan awal untuk mengurangi padatan tersuspensi sebesar 30-40% serta
BOD sebesar 25%. Kemudian, air tersebut dialirkan ke bak aerasi dengan gaya gravitasi. Pada tahap ini, air
limbah dipaparkan ke udara sehingga bakteri aerob dapat menguraikan limbah organik.
Kemudian, air sudah diuraikan tersebut dialirkan ke tangki pengendapan sekunder. Didalam tangki tersebut
lumpur diendapkan dan di pompa ke bak aerasi dan airnya akan disterilisasi dengan klorinasi. Proses ini penting
untuk mematikan mikroorganisme patogen. Pada proses ini juga BOD turun menjadi 20-30 mg/L.
Surplus lumpur dari keseluruhan proses ditampung dalam bak pengering lumpur sedangkan air resapannya
ditampung kembali dibak penampung air limbah. Mikroorganisme yang ditemukan pada bak aerasi diantaranya
adalah bakteri, protozoa, metazoa, bakteri berfilamen, dan fungi. Sedangkan mikroorganisme yang paling
berperan pada proses lumpur aktif adalah bakteri aerob.
Pada prinsipnya, mikroorganisme memanfaatkan senyawa organik yaitu polutan sebagai makanan dengan
proses adsorpsi kedalam selnya. Untuk mencerna partikel polutan, sel mikroorganisme membentuk enzim-enzim
tertentu sehingga polutan baik teradsorpsi maupun didalam cairan limbah dapat dihilangkan. Mikroorganisme ini
harus dipertahankan aktif dengan kondisi lingkungan tertentu, salah satunya kadar pH dalam cairan dan kadar
nitrogen dan fosfat. Kadar pH dapat dipertahankan dengan menambah asam atau basa pada khamar, sedangkan
penambahan urea dilakukan untuk meningkatkan sumber nitrogen dan penambahan asam fosfat untuk sumber
fosfat.

3.3 Bioremediasi
Bioremediasi merupakan pengolahan limbah
dengan mikroorganisme sehingga diperoleh enzim yang mengubah struktur kimia polutan sehingga limbah
menjadi relatif tidak berbahaya bagi lingkungan. Pengolahan limbah dengan bioremediasi sudah lama diterapkan
secara terpusat yaitu pada tahun 1900-an [24]. Pada teknologi pengolahan limbah air, bioremediasi telah
mencapai pada pengolahan air limbah yang mengandung senyawa-senyawa kimia industri yang sulit
untuk didegradasi, seperti logam- logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik
terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida. Prinsip mikroorganisme pada penguraian polutan ada 2 yaitu
pertumbuhan mikroorganisme menempel dan tersuspensi.
Pertumbuhan mikrooganisme menempel merupakan jenis mikroorganisme yang dibiakkan pada batuan atau
tanaman air, kemudian di aplikasikan pada unit pengolah air dengan sistem trickling filter. Pengolahan dilakukan
secara aerobik. Jenis bakteri yang digunakan biasanya bakteri gram negatif dengan bentuk batang heterotrofik
seperti Zooglea, Pseudomonas, Chromobacter, Achromobacter, Alcaligenes dan Flavobacterium, atau bakteri
filamentous seperti Beggiatoa, Thiotrix dan Sphaerotilus.
Mikroorganisme dalam bentuk suspense berarti mikroorganisme ini dibiakkan dalam bentuk lumpur aktif
pada air tercemar. Pada dasarnya, sistem ini dapat digabung menjadi reactor hybrid. Akan tetapi, pada dasarnya
tahapan dasar terdiri dari isolasi bakteri, pengujian kemampuan bakteri dalam mendegradasi, identifikasi dan
multiplikasi bakteri. Penggunaan bakteri indigenous harus memperhatikan persyaratan Kep Men LH No.128
(2003).
3.4 Ozonasi
Ozonasi ditujukan untuk memenuhi persyaratan BOD dan COD dari limbah buangan. Analisis Biological
Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati
secara global proses-proses mikrobiologis yang terjadi didalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri untuk mendegradasi hampir semua zat organik yang terlarut termasuk zat organik yang
tersuspensi didalam air, sedangkan Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah
oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidizing agent).
Langkah-langkah dari pengolahan limbah secara ozonisasi adalah pengolahan awal yang berupa aerasi dan
penambahan absorben (dapat berupa zeolit atau koagulan seperti tawas). Tujuan dari pengolahan awal ini
adalah untuk mengoptimalkan kerja ozon sehingga efektif, dengan menyingkirkan zat pewarna dan butiran-
butiran padat sehingga menjadi jernih. Ozon bekerja lebih efektif pada pH basa, sehingga sering ditambahkan air
kapur.
Reaksi yang terjadi pada ozonisasi adalah(Usada dkk 2010):
𝑟𝑎𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖 𝑈𝑉
𝑂2 → 𝑂∗ … … … 3.4.1
𝑂∗ + 𝑂2 → 𝑂3 … … … . 3.4.2

Radikal bebas O* dan OH* akan memutus ikatan senyawa organic sehingga polutan akan
terdegradasi.

4. Langkah Pengolahan Limbah dengan Membran


Kekurangan dari proses pengolahan non- membran dapat diatasi dengan penggunaan membran dalam proses.
Sistem pengolahan menggunakan membran mencakup tahap pretreatment, unit daur ulang, unit reverse osmosis
dan unit nanofiltrasi dan sistem rejeksi mengikuti unit daur ulang.
Teknologi membran pada dasarnya ramah lingkungan, akan tetapi permasalahan utama dari penggunaan
membran adalah fouling. Pemilihan teknologi yang baik bergantung dari bahan membran yang digunakan dan
diatur oleh sifat membran seperti sifat kimia, fisika, resistensi kimia, mekanik, termal dan kemungkinan membran
untuk fouling.
Fouling memiliki faktor selain ukuran fouling, yaitu kecenderungan untuk fouling dan bentuk membran.
Pemilihan jenis membran yang perlu diperhatikan lagi adalah jenis bahan kimia dan efluen yang akan kontak
dengan membran.
Selain jenis, pengolahan limbah memerlukan perhitungan atas energi, biaya dan efisiensi. Oleh karena alasan
inilah membran harus benar-benar dipilih yang tepat. Ada beberapa membran yang umum digunakan dalam
remediasi limbah tekstil, antara lain mikrofiltrasi, ultrafitrasi, nanofiltrasi, reverse osmosis, elektrodialisis,
dan membran terintegrasi.
4.1 Mikrofiltrasi
Filtrasi jenis ini merupakan filtrasi paling sederhana dan mengaplikasiannya sedikit. Pori yang terdapat pada
membran jenis ini adalah 0,1-10 µm. Membran mikrofiltrasi biasanya beroperasi pada beda tekan rendah yaitu
sekitar 2 bar. Tujuan utama dari mikrofiltrasi adalah pemisahan padatan tersuspensi dan zat perwarna dalam
limbah.
Akan tetapi, pemisahan ini belum cukup karena polutan organik dan terlarut masih lolos dari tahap ini. Oleh
karena itu mikrofiltrasi digunakan sebagai langkah pretreatment untuk tahap selanjutnya. Mikrofiltrasi dianggap
unggul dalam penggunaannya sebagai pretreatment karena menghasilkan permeat akhir yang lebih besar
dibandingkan pretreatment secara koagulasi maupun flogulasi. Keunggulan lainnya adalah suspensi penyebab
fouling dengan mikrofiltrasi lebih kecil sehingga menghindari fouling pada penyaringan membrane nanofiltrasi.
Untuk menghindari fouling dan kerja membrane yang terlalu berat, biasanya sebelum mikrofiltrasi akan
dilakukan sedimentasi dan koagulasi terlebih dahulu.

Gambar 3. Mikrofiltrasi (Abdel-Shafy dkk, 2016)

Mikrofiltrasi terkadang digunakan sebagai post treatment, misalnya pada penelitian. Penelitian ini
merancang sebuah reactor yang menggabungkan elektrooksidasi dengan anoda BDD/Ti dan membrane
mikrofiltrasi keramik untuk mengambil senyawa organic dan partikel tersuspensi dari air limbah tekstil. Meskipun
mikrofiltasi hanya dianggap cocok sebagai pretreatment, penelitian [32] mencoba membuat membran mikrofiltrasi
yang dapat menyaring limbah tekstil secara tunggal. Membran ini berjenis membran karbon berbentuk asimetrik
tubular. Membran ini terbuat dari bubuk batu bara dan resin plastik berjenis thermoset. Penelitian ini berhasil
diaplikasikan ke industri tekstil dengan removal sebesar 50%.
4.2 Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi dilakukan untuk memisahkanmakromolekul dan koloid dari larutannya. Ultrafiltrasi sangat
unggul dalam menyaring air limbah pada industri makanan dan obat-obatan akan tetapi tidak pada limbah tekstil
dikarenakan berat molekular pewarna lebih rendah dibandingkan massa molekular yang lolos oleh ultrafiltrasi.
Oleh sebab itu, proses ini juga dimanfaatkan sebagai tahap pretreatment jika diinginkan hasil akhir filtrasi dengan
kualitas tinggi. Pada ultrafiltasi masih terdapat minimal 10% zat pewarna dari tahap awal, sehingga air ini masih
berkualitas rendah, hanya untuk proses samping tetapi tidak dapat digunakan pada proses utama.
Membran yang terbuat dari polimer sangat rentan terhadap fouling karena resistensi kimianya terhadap
senyawa organik rendah. Hal ini mengakibatkan penurunan pada permeabilitas dan perfoma membran. Untuk
itulah, diperlukan membrane hybrid dimana ultrafiltrasi di awali dengan flokulasi.
Penggunaan UF sebagai pengganti teknologi konvensional sangatlah unggul, akan tetapi permasalahan fouling
akan meningkatkan biaya operasi dan perawatan. Tantangan dalam pembuatan membran UF ini adalah bagaimana
mengidentifikasi interaksi antara foulant dan membran. Foulant biasanya spesifik namun terdiri dari beberapa
senyawa. Oleh karena itu, karakteristik umpan, kondisi operasi ,dan material membrane sangat menentukan
keberhasilan proses.
Selain polimer, membran keramik merupakan alternatif bahan yang baik untuk ultrafiltrasi, karena kestabilan
kimia, suhu, mekanik yang baik dan permeabilitasnya pun tinggi. Paper pada referensi membahas tentang
membrane keramik ultrafiltrasi turbular dan penggunaannya pada penyaringan limbah tekstil organik berjenis
azodye. Penelitian ini menunjukkan rejeksi terhadap senyawa organik dan pewarnanya sangat tinggi yaitu 98,5%
dan 93%. Membran ultrafiltrasi dari bahan keramik ini dinilai lebih resisten dari membran polimer karena memiliki
interaksi lemah terhadap foulant. Percobaan ini dilakukan dari hasil tes penyaringan membran keramik dan
membran polimer terhadap air permukaan dan zat pewarna murni. Penyaringan dengan membran keramik akan
menghasilkan permeat lebih murni dan laju alir yang konstan. Membran keramik juga mempunyai stabilitas kimia
dan fisika tinggi, serta waktu pemakaian yang lebih panjang. Meskipun membran polimer mampu menyaring
polutan berupa asam, basa, dan pelarut, membran keramik memiliki ketahanan dan waktu pemakaian yang lebih
besar sehingga dapat dipertimbangkan sebagai pengganti membran polimer di industri.
4.3 Nanofiltrasi
Nanofiltrasi merupakan membran dengan
saringan lebih kecil dibandingkan ultrafiltrasi, namun lebih besar dibanding tahap reverse osmosis. Pada tahap ini
sudah diperoleh hasil keluaran yang baik, sehingga dapat digunakan pada proses utama produksi dan finishing.
Keunggulan dari nanofiltrasi adalah tekanan yang relatif rendah, yaitu 500-1000 kPa, retensi ion monovalent yang
rendah dan penolakan ion monovalen 100%, permeabilitas pelarut yang tinggi, mudah dibersihkan dan mampu
menahan suhu tinggi, sehingga menghemat energi yang diperlukan untuk memanaskan air segar.
Ada beberapa penelitian yang menujukan peningkatan atau nilai tambah pada membran nanofiltrasi.
Contohnya adalah penelitian mengenai penyaringan limbah pewarna anionik dengan sebuah film natrium
kaboksimetil selulosa- polipropilen. Membran ini akan berbentuk serat berongga untuk menaikkan efisiensi
energi karena perbandingan luas terhadap volumenya besar. Teknologi membran ini memberikan nilai tambah pada
konsumsi energi rendah dan pembersihannya mudah dibandingkan filteasi tangensial. Membran ini juga efektif
untuk menyaring pewarna anionik dari larutan dengan pH rendah. Prinsip kerja dari membrane ini adalah adanya
gaya tolak elektrostatik dari permukaan membran.
Penelitian lain adalah evaluasi dari beberapa membrane NF berbentuk spiral wound. Membran ini dicobakan
untuk menyaring efluen tekstil sekunder dengan konsentrasi berbeda-beda untuk mengetahui volume
concentration factor dan fouling. Hasilnya, ada hubungan antara pengurangan fluks dengan kenaikan VCF.
Nanofiltrasi mempunyai pengaruh besar terhadap rejeksi dan penggunaan ulang limbah tekstil. Akan tetapi,
membran yang dijual secara komersial memiliki muatan negative pada permukaannya pada kondisi operasi normal
dengan titil isoelektrik yang rendah, padahal nantofiltrasi dengan muatan positif memiliki potensi yang sangat
besar pada penyaringan pewarna dari limbah, dengan sifat hidrofilik yang tinggi dan retensi kation yang sangat
besar, sehingga dapat dikembangkan recovery dari makromolekul kationik pakai ulang dan rejeksi dari pewarna.
NF membrane dengan muatan positif sudah dikembangkat oleh Cheng untuk meretensi metilen biru dan
recovery dari limbah pewarna rumahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NF bermuatan positif lebih unggul
dibanding membran komersial.
4.4 Reverse Osmosis
Reverse osmosis dilakukan untuk menghasilkan air dengan kandungan makromolekul, ion dan salinitas
yang rendah. Pada tahap ini air sudah tidak berwarna lagi. Kekurangan dari proses ini adalah terbatasnya umpan
apabila salinitas tinggi untuk menghindari fouling. Ada beberapa perbedaan kinerja dari reverse osmosis dan
nanofiltrasi meskipun sama- sama menghasilkan kualitas permeat yang tinggi yang memadai untuk digunakan
ulang pada proses utama.
Pada percobaan yang dilakukan oleh Liu, dilakukan perbandingan evaluasi kualitas permeat dari kedua
jenis membran setiap proses. Hasil yang didapat adalah kedua permeat dari membran-membran tersebut sama-
sama berkualitas baik dan menghemat energi karena proses daur ulang tersebut.
Pada percobaan kedua dimana dipantau penolakan nanofiltrasi dan reverse osmosis, terlihat bahwa pada
pengolahan limbah pewarna mengandung garam NaSO4 dengan indikator metil oranye terlihat bahwa penolakan
pada reverse osmosis (99,99%) lebih tinggi dibanding nanofiltrasi (99%) akan tetapi retensi natrium, penghilangan
TDS dan konduktivitasnya relatif sama satu dengan lainnya.
4.5 Elektrodialisis
Elektrodialisis juga cukup populer dalam
pengolahan limbah tekstil. Proses ini biasanya digunakan dalam pengurangan klorida. Proses dalam membrane
elektrodialisis bipolar juga sangat populer dikarenakan efisiensinya melebihi membran reverse osmosis serta biaya
yang lebih murah. Elektrodialisis ini dapat diaplikasikan kedalam proses terintegrasi untuk mengurangi beban
evaporator yang dipasang setelah reverse osmosis. Beberapa penelitian yang mengaitkan elektrodialisis dengan
penyaringan umpan berupa NaCl menunjukkan bahwa elektrodialisis unggul dalam penyaringannya dengan
permeat murni serta biaya yang lebih murah dibanding evaporasi. CEDI (Continous Electrodeionisation)
bertujuan untuk meminimalisasi polarisasi konsentrasi pada sistem elektrodialisis. CEDI dipasang bertujuan
sebagai material konduktor penukar ion.
4.6 Proses Terintegrasi
Pada limbah yang sangat kompleks, sistem terintegrasi akan mampu mereklamasi hingga permeat
menjadi berkualitas tinggi kembali. Ada beberapa rancangan membran hybrid untuk mengatasi
permasalahan ini, salah satunya adalah dengan menggabungkan beberapa jenis membran. Salah satu
contohnya adalah studi yang membandingkan membran nanofiltrasi dan membran campuran ultra dan
nanofiltrasi. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa retensi zat pewarna akan mencapai 95% retensi zat
pewarna dan 80% retensi garam terlarut.
Penggunaan membrane hybrid akan menjamin permeat yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan
energi. Selektivitas dan efektivitas juga dapat ditingkatkan dengan menggunakan kombinasi yang baik.
2.5.2. ANALISIS TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PADA INDUSTRI TEKSTIL (STUDI
KASUS PT. ISKANDAR INDAH PRINTING TEXTILE SURAKARTA)

1. Pendahuluan
Dewasa ini tantangan dalam dunia industri maupun perdagangan sedemikian pesat, hal ini menuntut adanya
strategi efektif dalam mengembangkan industri, sehingga dapat bersaing dengan negara-negara lain yang
telah maju, terutama dalam hal industri tekstilnya.. Seiring dengan itu, suatu konsep pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development) mutlak dilakukan. Sustainable Development merupakan strategi
pembangunan terfokus pada pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengesampingkan kebutuhan mendatang
yang mana hal ini dikaitkan dengan kelestarian dan kesehatan lingkungan alam.

Permasalahan lingkungan saat ini yang dominan salah satunya adalah limbah cair berasal dari industri.
Limbah cair yang tidak dikelola akan menimbulkan dampak yang luar biasa pada perairan, khususnya
sumber daya air. Kelangkaan sumber daya air di masa mendatang dan bencana alam semisal erosi, banjir,
dan kepunahan ekosistem perairan tidak pelak lagi dapat terjadi apabila kita kaum akademisi tidak peduli
terhadap permasalahan tersebut.

Alam memiliki kemampuan dalam menetralisir pencemaran yang terjadi apabila jumlahnya kecil, akan tetapi
apabila dalam jumlah yang cukup besar akan menimbulkan dampak negatif terhadap alam karena dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan sehingga limbah tersebut dikatakan telah
mencemari lingkungan. Hal ini dapat dicegah dengan mengolah limbah yang dihasilkan industri sebelum
dibuang ke badan air. Limbah yang dibuang ke sungai harus memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan,
karena sungai merupakan salah satu sumber air bersih bagi masyarakat, sehingga diharapkan tidak tercemar
dan bisa digunakan untuk keperluan lainnya.

PT. Iskandar Indah Printing Textille. sebagai salah satu pabrik tekstil yang terdapat di Solo berupaya
untuk mengelola limbah yang dihasilkannya dengan melakukan pengolahan terhadap limbah cair yang
dikeluarkan ke dalam suatu instalasi pengolah limbah yaitu Effluent Treatment Plant (ETP). Dari upaya
tersebut diharapkan dapat mengurangi beban pencemaran terhadap lingkungan sehingga memenuhi
baku mutu Peraturan Daerah propinsi Jawa Tengah Nomor 10 tahun 2004 tentang baku mutu air limbah
cair untuk industri tekstil.

Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 10 tahun 2004 tentang baku mutu air limbah,
yang dimaksud dengan limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang
berwujud cair yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Sedangkan
menurut Sugiharto (1987) air limbah (waste water) adalah kotoran dari masyarakat, rumah tangga dan
juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan, serta buangan lainnya. Begitupun dengan
Metcalf & Eddy (2003) mendefinisikan limbah berdasarkan titik sumbernya sebagai kombinasi cairan
hasil buangan rumah tangga (permukiman), instansi perusahaaan, pertokoan, dan industri dengan
air tanah, air permukaan, dan air hujan.

Pengelolaan limbah cair dalam proses produksi dimaksudkan untuk meminimalkan limbah yang terjadi,
volume limbah minimal dengan konsentrasi dan toksisitas yang juga minimal. Sedangkan pengelolaan limbah
cair setelah proses produksi dimaksudkan untuk menghilangkan atau menurunkan kadar bahan pencemar
yang terkandung didalamnya sehingga limbah cair tersebut memenuhi syarat untuk dapat dibuang.
Dengan demikian dalam pengolahan limbah cair untuk mendapatkan hasil yang efektif dan efisien perlu
dilakukan langkah-langkah pengelolaan yang dilaksanakan secara terpadu dengan dimulai dengan
upaya minimisasi limbah (waste minimization), pengolahan limbah (waste treatment), hingga pembuangan limbah
produksi (disposal)

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Air Limbah


Karakteristik air limbah dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Karakteristik Fisika
Karakteristik fisika ini terdiri dari beberapa parameter, diantaranya :
a. Total Solid (TS)
Merupakan padatan didalam air yang terdiri dari bahan organik maupun anorganik yang larut,
mengendap, atau tersuspensi dalam air.
b. Total Suspended Solid (TSS)
Merupakan jumlah berat dalam mg/l kering lumpur yang ada didalam air limbah setelah mengalami
penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron (Sugiharto,1987).
c. Warna
Pada dasarnya air bersih tidak berwarna, tetapi seiring dengan waktu dan menigkatnya
kondisi anaerob, warna limbah berubah dari yang abu– abu menjadi kehitaman.
d. Kekeruhan
Kekeuhan disebabkan oleh zat padat tersuspensi, baik yang bersifat organik maupun
anorganik.
e. Temperatur
Merupakan parameter yang sangat penting dikarenakan efeknya terhadap reaksi kimia, laju
reaksi, kehidupan organisme air dan penggunaan air untuk berbagai aktivitas sehari – hari.
f. Bau
Disebabkan oleh udara yang dihasilkan pada proses dekomposisi materi atau penambahan substansi
pada limbah. Pengendalian bau sangat penting karena terkait dengan masalah estetika.

2. Karateristik Kimia
a. Biological Oxygen Demand (BOD) Menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan
oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan–bahan buangan di
dalam air
b. Chemical Oxygen Demand (COD)
Merupakan jumlah kebutuhan oksigen dalam air untuk proses reaksi secara kimia guna
menguraikan unsur pencemar yang ada. COD dinyatakan dalam ppm (part per milion) atau ml
O2/ liter.(Alaerts dan Santika, 1984).

c. Dissolved Oxygen (DO)


adalah kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk respirasi aerob mikroorganisme. DO
di dalam air sangat tergantung pada temperatur dan salinitas
d. Ammonia (NH3)
Ammonia adalah penyebab iritasi dan korosi, meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan
mengganggu proses desinfeksi dengan chlor (Soemirat, 1994). Ammonia terdapat dalam larutan
dan dapat berupa senyawa ion ammonium atau ammonia. tergantung pada pH larutan
e. Sulfida
Sulfat direduksi menjadi sulfida dalam sludge digester dan dapat mengganggu proses
pengolahanlimbah secara biologi jika konsentrasinya melebihi 200 mg/L. Gas H2S
bersifat korosif terhadap pipa dan dapat merusak mesin (Sugiharto,1987).
f. Fenol
Fenol mudah masuk lewat kulit. Keracunan kronis menimbulkan gejala gastero intestinal, sulit
menelan, dan hipersalivasi, kerusakan ginjal dan hati, serta dapat menimbulkan kematian
(Soemirat, 1994).
g. Derajat keasaman (pH)
pH dapat mempengaruhi kehidupan biologi dalam air. Bila terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat
mematikan kehidupan mikroorganisme. Ph normal untuk kehidupan air adalah 6–8.
h. Logam Berat
Logam berat bila konsentrasinya berlebih dapat bersifat toksik sehingga diperlukan
pengukuran dan pengolahan limbah yang mengandung logam berat.

3. Karakteristik Biologi
Karakteristik biologi digunakan untuk mengukur kualitas air terutama air yang dikonsumsi sebagai
air minum dan air bersih. Parameter yang biasa digunakan adalah banyaknya mikroorganisme yang
terkandung dalam air limbah.

 Unit Pengolahan Limbah


Pada dasarnya unit pengolahan limbah terdiri dari unit operasi dan unit proses. Unit
operasi terdiri dari ekualisasi, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan aerasi.
Sedangkan untuk unit proses meliputi pengolahan biologi dan pengolahan kimia.
Contoh dari unit proses adalah activated sludge, atau lumpur aktif.
Limbah cair PT. Iskandar Indah Printing Teztile ini berasal dari bahan-bahan yang digunakan pada
proses produksi, terutama pada proses pengkanjian, pewarnaan, dan printing atau pemberian motif.
Tabel.1 Sumber Air Limbah

Parameter yang biasanya diuji adalah pH, TSS, BOD, dan COD, sedangkan untuk parameter seperti
fenol, krom, minyak dan lemak, NH3, dan sulfida tidak rutin diuji. Adapun hasil pengujian karakteristik
air limbah dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel. 2 pH Efluen IPAL

Ket: * Perda Propinsi Jawa Tengah No 10 tahun 2004


Sumber: Data Sekunder PT Iskandartex,2004
pH menjadi faktor penentu dalam proses biologis, karena pH mempengaruhi kinerja mikroba yang
berperan dalam degradasi materi organik dalam proses lumpur aktif, oleh karena itu pH air limbah
haru netral sebelum masuk ke bak aerasi yang berupa lumpur aktif.
Tabel. 3 BOD Efluen IPAL

Ket: * Perda Propinsi Jawa Tengah No 10 tahun 2004


Sumber: Data Sekunder PT Iskandartex,2004
Dari tabel 3 dapat dilihat nilai BOD5 pada bulan Mei, Juni, Juli, dan Agustus 2004 masih melebihi
dari standar baku mutu 6 mg/L.

Ket: * Perda Propinsi Jawa Tengah No 10tahun 2004


Sumber: Data Sekunder PT Iskandartex, 2004
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa kualitas COD efluen dari unit pengolahan limbah PT. Iskandar Indah Printing
Textille bulan Juni adalah 55,98 mg/L, sehingga kualitas efluen yang dihasilkan IPAL PT. Iskandar Indah Printing
Textile belum memenuhi baku mutu yang berlaku.
Jika dilihat dari keempat karakteristik diatas, hanya pH efluen yang memenuhi standar baku mutu, ini
menunjukkan bahwa pengolahan limbah pada PT. Iskandar Indah Printing Textille masih perlu ditingkatkan
efisiensinya, sehingga kualitas efluennya dapat memenuhi standar baku mutu yang berlaku.
Instalasi pengolah air limbah pada PT.Iskandar Indah Printing Textille Surakarta terdiri dari unit ekualisasi,
koagulasi, flokulasi, sedimentasi I, netralisasi, bak biologi, sedimentasi II, rapid sand filter, dan sludge drying bed.
Kualitas efluen dari unit pengolah limbah, diukur melalui efluen dari sand filter, karena unit tersebut merupakan
unit pengolah limbah yang terakhir. Pada tabel 6 dapat dilihat perbandingan kualitas efluen pada bulan Juni 2004
dengan baku mutu.
Dari tabel 6 dapat dilihat ada beberapa parameter yang belum memenuhi standar baku mutu yang berlaku, yaitu
BOD5, COD, NH3, dan TSS. Warna merupakan salah satu parameter fisik air limbah yang bisa diamati secara
langsung.
Limbah PT. Iskandar Indah Printing Textille yang telah diolah dibuang ke sungai terdekat, yaitu Kali Pepe yang
bermuara ke sungai Bengawan Solo. Berdasarkan PP No.82/2001 maka Kali Pepe termasuk golongan IV dalam
peruntukkannya yaitu untuk mengairi tanaman. Badan air ini tidak dianjurkan sebagai air baku untuk air minum,
pariwisata, perikanan maupun peternakan.
Dari standar baku mutu tersebut, maka parameter yang tidak memenuhi adalah BOD yaitu sebesar 29,57 mg/l,
dimana baku mutu sebesar 12 mg/l. Ini menunjukkanbahwa tingginya kandungan zat organis dalam badan air. Jika
suatu badan air dicemari oleh zat organis, bakteri dapat menghabiskan oksigen yang terlarut dalam air selama
proses oksidasi tersebut sehingga dapat menyebabkan kematian ikan-ikan. Pada akhirnya jumlah oksigen akan
habis, keadaan menjadi anaerobik dan dapat menimbulkan bau busuk.

 Analisa Biaya Pengolahan


Biaya pengolahan IPAL dalam 1 bulan adalah ± Rp. 2.500.000 termasuk biaya untuk bahan kimia, operator, listrik,
sehingga dapat ditentukan biaya pengolahan dalam 1 hari, yaitu:
Biaya pengolahan tiap hari

Biaya pengolahan dalam satu hari adalah Rp. 83.333,00. Sedangkan debit limbah cair yang masuk IPAL adalah
299,96 m3/hr. Sehingga dapat dihitung biaya pengolahan setiap m3 air limbah dalam 1 hari :

Jadi, biaya pengolahan untuk tiap m3 air limbah yang dihasilkan PT. Iskandar Indah Printing Textille adalah Rp.
277,80 setiap harinya.

2.5.3 Studi Kasus dan Analisis Limbah Cair Industri (PT. UNITEX)

Indonesia dalam satu dasa warsa ini dikenal sebagai penghasil tekstil yang besar disamping India dan
Pakistan. Dalam proses produksi industri tekstil banyak menggunakan bahan kimia dan air. Bahan kimia
yang digunakan antara lain untuk proses pencucian, pemutihan, dan pewarnaan. Akibat dari itu
pencemaran lingkungan menjadi masalah bagi masyarakat yang tinggal disekitar industri tekstil.
Mengingat pentingnya industri tekstil sebagai penghasil devisa negara dan perlunya perlindungan
lingkungan, maka diperlukan adanya teknologi pengolah limbah tekstil yang handal. Salah satu contoh
pengolahan limbah tekstil yang hingga saat ini beroperasi adalah pengolahan limbah tekstil milik P.T.
Unitex di Bogor.
Gagasan unit pengolah limbah tekstil di PT. Unitek lahir dari Presiden Direktur Mr. S. Okabe karena pada
tahun tersebut belum ada perusahaan yang dapat dijadikan contoh dalam pengolahan air limbah. Kemudian
rancang bangunnya dilaksanakan oleh perusahaan induknya di Jepang, yaitu Unitika Ltd. Dalam
perkembangan selanjutnya terus mengalami perbaikan dan penambahan sejalan dengan peningkatan
produksi. PT. Unitek merupakan pabrik tekstil terpadu. Proses produksinya meliputi pemintalan
(spinning), pertenunan (weaving), pencelupan (dyeing) dan penyelesaian akhir (finishing). Sumber utama
air limbah PT. Unitex berasal dari proses pewarnaan, yaitu pada kegiatan pemberian warna dan pencucian
kain. Sumber air limbah kedua dihasilkan oleh kantin, yaitu dari kegiatan pencucian bahan makanan dan
perlengkapan memasak. Selain itu, air limbah juga dihasilkan dari proses penenunan, yaitu pada kegiatan
pemberian kanji pada benang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel .
Sumber air limbah yang masuk ke IPAL
Banyaknya air yang masuk ke IPAL
Jenis Kegiatan
(m3/bulan)
Pewarnaan/pencelupan 46635
Kantin 2546
Penenunan 10824
Sumber: Neraca Penggunaan Air PT. Unitex tahun 2010

Karakteristik air limbah tekstil PT. Unitex warnanya sangat pekat cenderung tidak berbau. Air limbahnya
memiliki suhu 40-450C. Kandungan padatan tersuspensi (TSS) sebesar 80-180 mg/L. Debit air limbah
maksimum yang dikeluarkan adalah ±5000 m3/hari dan debit air limbah yang biasa dikeluarkan adalah
2000 m3/hari.

Pada umumnya polutan yang terkandung dalam limbah industri tekstil dapat berupa padatan tersuspensi,
padatan terlarut serta gas terlarut. Karakteristik limbah pada umumnya bersifat alkalis (pH = 7), suhunya
tinggi serta berwarna pekat. Untuk menghilangkan polutan tersebut, diperlukan pengolahan yang dapat
memisahkan dan menghancurkan polutan yang terkandung didalamnya.

a. Tahapan

Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) PT. Unitex dibangun pada tahun 1988 di atas tanah seluas 4000
m2 dan mampu mengolah limbah tekstil lebih dari 2000 m3/hari. Proses pengolahan air limbah PT. Unitex
terbagi atas tiga tahap pemprosesan, yaitu:
1. Proses primer, dimana proses ini merupakan perlakuan pendahuluan yang meliputi:
a). penyaringan kasar,
b). penghilangan warna,
c). ekualisasi,
d). penyaringan halus, dan
e). pendinginan.
2. Proses sekunder, dimana proses ini terdiri dari proses biologi dan sedimentasi.
3. Proses tersier, proses ini merupakan tahap lanjutan setelah proses biologi dan sedimentasi.

Melalui upaya pengelolaan yang telah dilakukan, maka air limbah yang dibuang tidak akan mencemari
lingkungan. Biaya investasi pembangunan instalasi ini hanya sekitar 2% dari total investasi atau sekitar
2,5 milyar rupiah. Sistem pengolah limbah yang digunakan merupakan perpaduan antara proses fisika,
kimia, dan biologi. Proses yang berperan dalam pengurangan bahan pencemar adalah proses biologi yang
menggunakan sistem lumpur aktif dengan aerasi lanjutan (extended aeration).

Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi. Proses ini pada dasarnya
merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4, dan sel
biomassa baru. Proses ini menggunakan udara yang disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau
melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan.
Kemampuan bakteri dalam membentuk flok menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara biologi
karena akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah.

Unit pengolahan limbah tekstil kapasitas 200 m3/hari

b. Proses Primer

b.1. Penyaringan Kasar


Air limbah dari proses pencelupan dan pembilasan dibuang melalui saluran pembuangan terbuka
menuju pengolahan air limbah. Saluran tersebut terbagi menjadi dua bagian, yakni saluran air berwarna
dan saluran air tidak berwarna. Untuk mencegah agar sisa-sisa benang atau kain dalam air limbah terbawa
pada saat proses, maka air limbah disaring dengan menggunakan saringan kasar berdiameter 50 mm dan
20 mm.

Penyaringan Kasar

b.2. Penghilangan Warna

Limbah cair berwarna yang berasal dari proses pencelupan setelah melewati tahap penyaringan
ditampung dalam dua bak penampungan, masing-masing berkapasitas 64 m3 dan 48 m3, air tersebut
kemudian dipompakan ke dalam tangki koagulasi pertama (volume 3,1 m3) yang terdiri atas tiga buah
tangki, yaitu: pada tangki pertama ditambahkan koagulasi FeSO4 (Fero Sulfat) konsentrasinya 600-700
ppm untuk pengikatan warna.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki kedua dengan ditambahkan kapur (lime) konsentrasinya
150-300 ppm, gunanya untuk menaikkan pH yang turun setelah penambahan FeSO4. Dari tangki kedua
limbah dimasukkan ke dalam tangki ketiga pada kedua tangki tersebut ditambahkan polimer berkonsentrasi
0,5-0,2 ppm, sehingga akan terbentuk gumpalan-gumpalan besar (flok) dan mempercepat proses
pengendapan.
Setelah gumpalan-gumpalan terbentuk, akan terjadi pemisahan antara padatan hasil pengikatan
warna dengan cairan secara gravitasi dalam tangki sedimentasi. Meskipun air hasil proses penghilangan
warna ini sudah jernih, tetapi pH-nya masih tinggi yaitu 10, sehingga tidak bisa langsung dibuang ke
perairan. Untuk menghilangkan unsur-unsur yang masih terkandung didalamnya, air yang berasal dri
koagulasi I diproses dengan sistem lumpur aktif. Cara tersebut merupakan perkembangan baru yang dinilai
lebih efektif dibandingkan cara lama yaitu air yang berasal dari koagulasi I digabung dalam bak ekualisasi.

Pemberian koagulan (ferro sulfat) untuk menghilangkan warna

Bak pengendapan (clarifier) setelah diberi koagulan ferro sulfat

b.3. Ekualisasi
Menurut Siregar (2005), kolam ekualisasi berfungsi untuk menyetarakan laju alir, karakteristik air
limbah, mengurangi biaya proses selanjutnya, dan memperbaiki performance proses selanjutnya. Kolam
ekualisasi PT. Unitex dibuat dengan kapasitas sekitar 2000 m3 dengan kedalaman 4 m agar daya tampung
terhadap air limbah tersebut mencukupi.
Kolam Ekualisasi

b.4. Penyaringan Halus


Air hasil ekualisasi dipompakan menuju saringan halus (screening) untuk menyaring semua
padatan kecil berupa serat-serat kapas dan sisa-sisa dari proses pengkanjian, yang dapat mengganggu
dalam proses biologi. PT. Unitex memiliki dua buah screen dan keduanya berfungsi dengan baik. Screen
ini berbentuk persegi panjang berukuran 1x2 m yang diposisikan miring dengan derajat kemiringan 45o
dan jarak antar lubang sebesar 1 mm.
Pengecekan dan pembersihan pada saringan ini dilakukan secara teratur setiap hari. Hal ini harus
dilakukan karena kotoran pasti akan menumpuk setiap terjadi proses screening terhadap air limbah.
Pembersihan dilakukan dengan cara menyemprotkan air pada bidang miring, kemudian mengambil
kotoran berupa padatan kecil hasil saringan. Setelah melalui proses screening, air limbah dialirkan ke
menara pendinginan (cooling tower).

Penyaringan Halus (Screening)

Lubang Saringan Halus

b.5. Pendinginan (Cooling Tower)

Menara pendingin (cooling tower) yaitu suatu bagian IPAL yang digunakan untuk menurunkan
suhu air limbah awal menjadi suhu air limbah yang optimal, yakni antara 29-30oC. Hal ini dilakukan karena
suhu dari air limbah PT. Unitex adalah sekitar 40-45oC. Suhu yang terlalu tinggi ini akan mempengaruhi
bahkan menghambat pada proses selanjutnya, yaitu proses biologi. Hal ini karena mikroorganisme aerobik
yang terdapat pada proses biologi tersebut tidak mampu hidup pada suhu yang tinggi.
Menara pendingin (colling tower) sebelum air masuk ke dalam bak aerasi

c. Proses Sekunder

c.1. Proses Biologi


Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. Unitek memiliki tiga bak aerasi dengan sistem lumpur
aktif, yang pertama berbentuk oval mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan bentuk persegi
panjang. Hal ini karena pada bak oval, tidak memerlukan blower sehingga dapat menghemat biaya listrik.
Selain itu, perputaran air lebih sempurna dan waktu kontak bakteri dengan limbah lebih merata serta tidak
terjadi pengendapan lumpur seperti layaknya terjadi pada bak persegi panjang. Kapasitas dari ketiga bak
aerasi adalah 2175 m3.
Pada masing-masing bak aerasi ini terdapat separator yang mutlak diperlukan untuk memasok
oksigen ke dalam air bagi kehidupan bakteri. Parameter yang diukur dalam bak aerasi dengan sistem
lumpur aktif adalah DO, MLSS, dan suhu. Dari pengalaman yang telah dijalani, parameter-parameter
tersebut dijaga sehingga penguraian polutan yang terdapat dalam limbah dapat diuraikan semaksimal
mungkin oleh bakteri. Oksigen terlarut yang diperlukan berkisar 0,5–2,5 ppm, MLSS berkisar 4000–6000
mg/l, dan suhu berkisar 29–30oC.

Bak aerasi beserta separator

c.2. Proses Sedimentasi


Bak sedimentasi II (volume 407 m3) mempunyai bentuk bundar pada bagian atasnya dan bagian
bawahnya berbentuk kronis yang dilengkapi dengan pengaduk (agitator) dengan putaran 2 rph. Desain ini
dimaksudkan untuk mempermudah pengeluaran endapan dari dasar bak. Pada bak sedimentasi ini akan
terjadi settling lumpur yang berasal dari bak aerasi dan endapan lumpur ini harus segera dikembalikan lagi
ke bak aerasi (return sludge=RS), karena kondisi pada bak sedimentasi hampir mendekati anaerob.
Besarnya RS ditentukan berdasarkan perbandingan nilai MLSS dan debit RS itu sendiri. Pada bak
sedimentasi ini juga dilakukan pemantauan kaiment (ketinggian lumpur dari permukaan air) dan MLSS
dengan menggunakan alat MLSS meter.

Bak sedimentasi setelah dari bak aerasi

d. Proses Tersier

Pada proses pengolahan ini ditambah bahan kimia, yaitu Alumunium Sulfat (Al2(SO4)3), Polimer
dan Antifoam (Silicon Base); untuk mengurangi padatan tersuspensi yang masih terdapat dalam air. Tahap
lanjutan ini diperlukan untuk memperoleh kualitas air yang lebih baik sebelum air tersebut dibuang ke
perairan.
Air hasil proses biologi dan sedimentasi selanjutnya ditampung dalam bak interdiet (Volume 2 m3)
yang dilengkapi dengan alat yang disebut inverter untuk mengukur level air, kemudian dipompakan ke
dalam tangki koagulasi (volume 3,6 m3) dengan menggunakan pompa sentrifugal. Pada tangki koagulasi
ditambahkan alumunium sulfat (konsentrasi antara 150–300 ppm) dan polimer (konsentrasi antara 0,5–2
ppm), sehingga terbentuk flok yang mudah mengendap. Selain kedua bahan koagulan tersebut juga
ditambahkan tanah yang berasal pengolahan air baku (water teratment) yang bertujuan menambah partikel
padatan tersuspensi untuk memudahkan terbentuknya flok.
Pada tangki koagulasi ini terdapat mixer (pengaduk) untuk mempercepat proses persenyawaan
kimia antara air dan bahan koagulan, juga terdapat pH kontrol yang berfungsi untuk memantau pH effluent
sebelum dikeluarkan ke perairan. Setelah penambahan koagulan dan proses flokulasi berjalan dengan
sempurna, maka gumpalan-gumpalan yang berupa lumpur akan diendapkan pada tangki sedimentasi III
(volume = 178 m3). Hasil endapan kemudian dipompakan ke tangki penampungan lumpur yang
selanjutnya akan diolah dengan belt press filter machine.

Bak pengendapan akhir


Contoh air di bak pengendapan akhir

Contoh air baku sampai dengan air hasil olahan

e. Proses Pemanfaatan Lumpur Padat

e.1. Mesin Pemeras Lumpur (Belt Filter Press)


Lumpur yang berasal dari proses sedimentasi dipompa menuju bak penampungan lumpur,
kemudian dialirkan dengan gaya gravitasi menuju mesin Belt filter press untuk dikeluarkan kandungan
airnya. Tujuan proses pengeluaran air lumpur adalah untuk menghilangkan sebanyak mungkin air yang
terkandung dalam lumpur tersebut. Mesin Belt filter press merupakan alat yang digunakan oleh PT. Unitex
untuk memeras lumpur.

Mesin Belt Filter Press


Pengeluaran air dari lumpur yang dapat dilakukan dengan alat Belt filter press melalui dua tahap,
yaitu:
1. Daerah pengeluaran air (Draining Zone)
Pada daerah ini lumpur mengalir dan tersebar secara merata di atas lembaran wire. Pengeluaran air
dilakukan tanpa tekanan, hanya mengandalkan gaya gravitasi sampai mencapai kadar padatan
tertentu. Selanjutnya lumpur memasuki daerah pengeringan bertekanan.
2. Daerah pengeringan bertekanan (Pressing Zone)
Air keluar dari lumpur dengan cara dijepit di antara dua belt atau wire sambil ditekan oleh rol secara
bertahap di daerah pressing zone, dengan tekanan meningkat sejalan dengan mengecilnya rol. Pada
saat dijepit, air diperas ke luar sampai akhir daerah bertekanan yang selanjutnya memasuki daerah
pengelupasan lumpur dari belt atau wire.

Umumnya kadar padatan kering yang bisa dicapai antara 30-40% (kandungan air 60-70%) untuk
lumpur kimia. Sedangkan 22-30% (kandungan air 70-78%) untuk lumpur biologi. Pengkondisian lumpur
dengan menambahkan polimer perlu dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah proses pemerasan
atau pengeluaran air dari lumpur. Lumpur yang dihasilkan mesin ini disebut dengan sludge cake yang
nantinya akan dikirim kepada pihak ketiga.
Urutan proses pengolahan limbah di PT. Unitek secara garis besar dibagi dalam 5 unit proses yang
meliputi proses primer, sekunder, dan tersier, yaitu :
 Unit 1 adalah proses penghilangan warna dengan sistem koagulasi dan sedimentasi.
 Unit 2 adalah proses penguraian bahan organik yang terkandung di dalam air limbah dengan sistem
lumpur aktif.
 Unit 3 adalah proses pemisahan air yang telah bersih dengan lumpur aktif dari kolam aerasi.
 Unit 4 adalah proses penghilangan padatan tersuspensi setelah pengendapan.
 Unit 5 adalah proses pemanfaatan lumpur padat setelah pengepresan di belt press.

f. Parameter Pantau
A. Kimia

1. COD (Chemical Oxygen Demand) : Jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi K2Cr2O7 yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent).
2. BOD (Biochemical Oxygen Demand) : Suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara
global proses-proses mikrobiologi yang benar-benar terjadi didalam air. Angka BOD adalah
jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mengoksidasi hampir semua zat
organis yang terlarut dan sebagian zat organis yang tersuspensi dalam limbah cair.
3. DO (Dissolved Oksigen) : Jumlah oksigen (ppm O2) yang terlarut dalam air dan merupakan
kebutuhan mutlak bagi mikroorganisma (khususnya bakteri) dalam menguraikan zat organik.
4. pH (Derajat Keasaman) : Didefinisikan sebagai pH = - log (H+) yang menunjukkan tingkat
keasaman atau kebasaan

B. Fisika

1. MLSS (Mixed Liqour Suspended Solid) : Jumlah seluruh padatan tersuspensi dalam suatu cairan
(ppm) yang menggambarkan kepekatan lumpur pada kolam aerasi khususnya.
2. SV30 (Sludge Volume = 30) : Lumpur yang mengendap secara gravitasi selama 30 menit (%)
yang menunjukkan tingkat kelarutan oksigen dalam lumpur aktif.

C. Biologi

Parameter biologi yang diamati berupa mikroorganisme predator bakteri, diantaranya prozoa dan
avertebrata lainnya.

2.6. Pembahasan
Berdasarkan pemaparan dari beberapa jurnal diatas dapat diketahui bahwa limbah industri tekstil di Indonesia
menghasilkan limbah cair yang berbahaya bagi lingkungan karena mengandung zat kimia yang dapat berdampak
buruk bagi lingkungan.
2.6.1 Indikasi Pencemaran Air

Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian.

1. Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen)


Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan memiliki pH netral dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5.
Air limbah industri yang belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan mengubah pH air sungai
dan dapat mengganggukehidupan organisme didalamnya. Hal ini akan semakin parahjika daya dukung
lingkungan rendah serta debit air sungai rendah. Limbah dengan pH asam / rendah bersifat korosif terhadap
logam.

2. Perubahan warna, bau dan rasa


Air normak dan air bersih tidak akan berwarna, sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air warnanya
berubah maka hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa air telah tercemar. Timbulnya bau pada air
lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal darilimba industri
atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam air akan mengubah organik menjadi bahan
yang mudah menguap dan berbau sehingga mengubah rasa.

3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut


Endapan, koloid dan bahan terlarut berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat. Limbah
industri yang berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan mengendapdidsar sungai, dan yang larut
sebagian akan menjadi koloid dan akan menghalangibahan-bahan organik yang sulit diukur melalui uji BOD
karena sulit didegradasi melalui reaksi biokimia, namun dapat diukur menjadi uji COD. Adapun komponen
pencemaran air pada umumnya terdiri dari :
1. Bahan buangan padat
2. Bahan buangan organik
3. Bahan buangan anorganik

2.6.2. Dampak Limbah Cair Industri bagi Lingkungan


Limbah industri yang toksik akan memperburuk kondisi lingkungan dan akan meningkatkan penyakit pada manusia
dan kerusakan pada komponen lingkungan lainnya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa limbah industri dapat menghasilkan bahan toksik terhadap lingkungannya
yang berdampak negatif terhadap manusia dan komponen lingkungan lainnya. Limbah cair industri paling sering
menimbulkan masalah lingkungan seperti kematian ikan, keracunan pada manusia dan ternak, kematian plankton,
akumulasi dalam daging ikan dan moluska, terutama bila limbah cair tersebut mengandung racun seperti: As, CN,
Cr, Cd, Cu, F, Hg, Pb, atau Zn.
Limbah cair industri pelapisan bermacam-macam, bersifat asam atau basa yang mengandung sianida beracun dan
logam. Sumber limbah berupa larutan di dalam bejana itu sendiri atau air bilasan. Sumber utama air limbah adalah
larutan pembilas yang agak encer, dan sering mengandung 5 mg/l - 50 mg/l ion logam beracun. Larutan dalam bejana
yang berkonsentrasi tinggi jarang dibuang, akan tetapi jika dibuang, dampak racunnya terhadap air penampung
limbah mungkin besar. Pembuangan lemak dengan pelarut membuat pelarut itu sendiri menjadi limbah dan limbah
di air bilasan. Kebanyakan pelarut itu berbahaya terhadap lingkungan karena mengandung: silene, tetrakloro-etilena,
metilen klorida, aseton, keton, dan lain-lain. Larutan alkali pembersih mengandung padatan tersuspensi, lemak,
sabun, dan tingkat pH-nya tinggi. Pengasaman menghasilkan pembuangan larutan asam secara berkala, dan air
bilasan dengan pH rendah. Pelapisan, perendaman, dan pencelupan dalam sianida menghasilkan larutan yang
mengandung sianida dan logam yang dilapisi. Air cucian lantai sering tercemar oleh percikan, tetesan dan tumpahan
larutan pembersih, larutan pengupas, dan larutan pelapis.

A. Karakteristik Limbah Cair

Karakteristik limbah cair bisa dilihat dari sifat racunnya atau sifat-sifat yang dimiliki seperti sifat fisika,
kimia dan biologis dengan melihat parameter yang diukur.
a. Berdasar sifat racunnya (sangat beracun, moderat, kurang beracun dan tdk beracun)
b. Berdasar sifat yang dimiliki dengan melihat parameter yang diukur
1. Fisika (padatan total, kekeruhan, daya hantar listrik(DHL), bau, suhu, warna
2. Kimia (organik, anorganik dan gas)
3. Biologis dengan melihat golongan mikroorganisme yang terdapat dalam limbah cair tersebut
maupun organisme pathogen yang ada

Untuk suatu jenis air buangan tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara sendiri-
sendiri atau secara kombinasi.

A.1. Pengolahan secara Fisika

Pada umumnya, sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, diinginkan agar bahan-bahan
tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung disisihkan terlebih
dahulu. Penyaringan (screening) merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi
yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses
pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan mengendap
partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap.

Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak
agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan
bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan
memberikan aliran udara ke atas (air flotation).

Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsorbsi atau
proses reverse osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari
dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses
osmosa.

Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa aromatik (misalnya:
fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk menggunakan kembali air buangan
tersebut.Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan kecil,
terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah. Biaya instalasi dan operasinya
sangat mahal.

A.2. Pengolahan Secara Kimia

Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak
mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan
membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan tersebut pada prinsipnya
berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah
diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung sebagai
hasil reaksi oksidasi.

Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan elektrolit yang
mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut,
sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan
membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya) sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut
atau endapan hidroksiapatit. Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk
hidroksiapatit pada pH > 9,5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida
[Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2,
atau Na2S2O5).

Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi rendah dapat dilakukan
dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2), kalsium permanganat, aerasi, ozon hidrogen peroksida.Pada
dasarnya kita dapat memperoleh efisiensi tinggi dengan pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan
menjadi mahal karena memerlukan bahan kimia.

A.3. Pengolahan secara Biologi

Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Sebagai pengolahan sekunder, pengolahan
secara biologi dipandang sebagai pengolahan yang paling murah dan efisien. Dalam beberapa dasawarsa telah
berkembang berbagai metode pengolahan biologi dengan segala modifikasinya.Pada dasarnya, reaktor
pengolahan secara biologi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu:

1. Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth reaktor);

2. Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reaktor).

Di dalam reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme tumbuh dan berkembang dalam keadaan
tersuspensi. Proses lumpur aktif yang banyak dikenal berlangsung dalam reaktor jenis ini. Proses lumpur aktif
terus berkembang dengan berbagai modifikasinya, antara lain: oxidation ditch dan kontak-stabilisasi.
Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa kelebihan, yaitu
efisiensi penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang dihasilkan
lebih sedikit. Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan yang lain,
yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam). Proses kontak-stabilisasi dapat pula menyisihkan BOD
tersuspensi melalui proses absorbsi di dalam tangki kontak sehingga tidak diperlukan penyisihan BOD
tersuspensi dengan pengolahan pendahuluan.

Kolam oksidasi dan lagoon, baik yang diaerasi maupun yang tidak, juga termasuk dalam jenis reaktor
pertumbuhan tersuspensi. Untuk iklim tropis seperti Indonesia, waktu detensi hidrolis selama 12-18 hari di
dalam kolam oksidasi maupun dalam lagoon yang tidak diaerasi, cukup untuk mencapai kualitas efluen yang
dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Di dalam lagoon yang diaerasi cukup dengan waktu detensi 3-5 hari
saja.Di dalam reaktor pertumbuhan lekat, mikroorganisme tumbuh di atas media pendukung dengan
membentuk lapisan film untuk melekatkan dirinya. Berbagai modifikasi telah banyak dikembangkan selama
ini, antara lain:
1. Trickling filter

2. Cakram biologi

3. Filter terendam

4. Reaktor fludisasi

Seluruh modifikasi ini dapat menghasilkan efisiensi penurunan BOD sekitar 80%-90%.

Ditinjau dari segi lingkungan dimana berlangsung proses penguraian secara biologi, proses ini dapat dibedakan
menjadi dua jenis:

1. Proses aerob, yang berlangsung dengan hadirnya oksigen;

2. Proses anaerob, yang berlangsung tanpa adanya oksigen.

Apabila BOD air buangan tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob masih dapat dianggap lebih ekonomis dari
anaerob. Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l, proses anaerob menjadi lebih ekonomis.

B. Teknologi Pengolahan Limbah Cair


Proses pengolahan limbah cair adalah suatu perlakuan tertentu yang harus diberikan pada limbah cair
sebelum limbah tersebut dibuang ke lingkungan, sehingga limbah tersebut tidak mengganggu lingkungan
penerima limbah. Pengolahan limbah cair dapat dibagi dalam 4 golongan, yaitu :
a. Pengolahan fisika
b. Pengolahan kimia
c. Pengolahan biologis
d. Kombinasi

Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada umumnya terdiri atas kombinasi dua atau tiga cara pengolahan tersebut
di atas. Seluruh proses pengolahan tersebut bertujuan untuk menghilangkan kandungan padatan tersuspensi, koloid,
dan bahan-bahan organiki maupun anorganik yang terlarut.

a) Pengolahan limbah cair secara fisika :


Pengolahan ini dilakukan pada limbah cair dengan kandungan bahan limbah yang dapat dipisahkan secara
mekanis langsung tanpa penambahan bahan kimia atau melalui penghancuran secara biologis. Pengolahan limbah
cair secara fisika yang umum dilakukan meliputi :
1) Screening (penyaringan)
2) Grit Chamber
3) Sieves
4) Equalisasi
5) Sedimentasi
6) Flotasi
Atau dengan cara sebagai berikut
1) Screening
2) Comminution
3) Flow equalization
4) Mixing
5) Pengendapan
6) Pengapungan
7) Filtrasi
b) Pengolahan limbah cair secara kimia
Pengolahan ini merupakan proses pengolahan limbah dimana penguraian atau pemisahan bahan yang tidak
diinginkan berlangsung dengan adanya mekanisme reaksi kimia (penambahan bahan kimia ke dalam proses).
Pengolahan limbah cair secara kimia meliputi :
1) Pengendapan secara kimia
2) Perpindahan gas
3) Adsorbsi
4) Desinfeksi
5) Dechlorinasi

c) Pengolahan limbah cair secara biologis


Pengolahan ini merupakan sistem pengolahan yang didasarkan pada aktivitas mikroorganisme dalam kondisi
aerobik atau anaerobik ataupun penggunaan organisme air untuk mengabsorbsi senyawa kimia dalam limbah cair.
Pengolahan limbah cair secara biologis pada prinsipnya dibedakan menjadi:
1) pengolahan secara aerob
2) pengolahan secara anaerob
3) pengolahan secara fakultatif

Prinsip pengolahan limbah cair


a. Pengolahan Limbah Primer
Tujuannya adalah untuk menghilangkan buangan yang tidak larut, terdapat 4 tahap dalam Pengolahan
Limbah Primer, yaitu :
 Screening : merupakan usaha untuk mengurangi atau menghilangkan bahan buangan yang besar
seperti sampah, plastik, botol bekas, kayu dan barang lain yang berukuran besar
 Canal Longitudinal : Pengunaan semacam kanal yang di bagian bawahnya dibuat agak melebar .
benda yang mengendap di bagian bawah kanal selanjutnya di ambil pada waktu tertentu.
 Penghilangan lemak, minyak dan sejenisnya : Prinsipnya adalah lemak, minyak an sejenisnya
memiliki BJ yang lebih kecil dari air sehingga akan mengapung di bagian atas air
 Menghilangkan zat padat tersuspensi : Dilakukan dengan cara mengalirkan limbah cair kedalam
suatu saluran yang dilengkapi dengan penyaring- penyaring dari kasa.

b. Pengolahan Limbah Sekunder

Prinsip Pengolahan Limbah Sekunder adalah menghilangkan kontaminan yang tidak terproses pada
pengolahan primer. Beberapa cara yang dapat digunakan adalah dengan filtrasi sederhana,
penambahan suatu koagulator (terutama untuk menghilangkan kadar fenol), serta penambahan bahan-
bahan kimia dengan bahan-bahan flocolant(misalnya Al2O3, Ca(OH)2, kaporit). Kontaminan yang
dapat dihilangkan adalah berupa padatan tersuspensi (solid suspended), senyawa organik dan
anorganik yang terlarut.

(Centrifuge pemisah sludge) (Poly Aluminium Chloride)

c. Pengolahan limbah tersier


Prinsip Pengolahan limbah tersier adalah untuk menurunkan COD dan BOD serta menambah
oksigen terlarut (dissolved oxygen). Penambahan oksigen terlarut secara fisik dilakukan dengan
menyemburkan udara bebas dalam air pada bak/ kolam aerasi secara kontinyu. Secara biologis
dilakukan dengan menggunakan activated sludge, dimana limbah di alirkan kedalam bak/
kolam penampungan yang berisi mikroorganisme yang akan merubah zat organic menjadi
biomassa (energy) dan gas CO2. Secara mekanis- biologi di lakukan dengan menyemprotkan air
limbah ke permukaan benda padat (Lantai beton) yang di beri mikroorganisme.

(Proses Aerasi dengan Aerator)

Selanjutnya, untuk logam berat di hilangkan dengan penambahan Ca(OH)2 (lebih di kenal
dengan lime treatment).Dengan cara ini logam berat akan mengendap sebagai garam atau hidroksida
tau sebagai co-presipitant . Air limbah yang telah sampai pada tahap ini kemudian di alirkan ke
kolam penampung yang berisi ikan mas sebagi indikator biologis.
Bak Penampung Akhir sebelum Kolam Ikan

Sebagai monitor terhadap kualitas limbah cair tersebut apakah telah layak dan di perbolehkan untuk
dibuang pada selokan limbah masyarakat, maka hendaklah sesuai dengan Baku Mutu Limbah Cair
dari Mentri Negara Lingkungan Hidup dan kebijakan daerah setempat dimana industri tersebut berada.
BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan

1. Limbah cair merupakan sisa buangan hasil suatu proses yang sudah tidak dipergunakan lagi, baik
berupa sisa industri, rumah tangga, peternakan, pertanian, dan sebagainya.Komponen utama
limbah cair adalah air (99%) sedangakan komponen lainnya bahan padat yang bergantung asal
buangan tersebut.
2. Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian yaitu berupa,
perubahan pH , perubahan warna, bau dan rasa, timbulnya endapan koloid dan bahan terlarut
Endapan.
3. Teknik Pengelolaan Limbah Cair Industri yaitu pengelolaan secara fisika, pengelolaan secara
kimia, pengelolaan secara kimia.
4. Berdasarkan hasil pengamatan mengenai pengolahan air limbah secara fisika di PT. Unitex dapat
disimpulkan bahwa proses fisika dan dalam pengolahan air limbah industri terdiri dari screening
(misalnya alat bar screen), grit chamber (misalnya alat grit removal), sieves (misalnya alat spiral
sieves), equalisasi (alatnya bak equalisasi), sedimentasi (alatnya bak sedimentasi), dan flotasi.
Proses pengolahan air limbah PT. Unitex terbagi atas tiga tahap pemprosesan, yaitu proses primer
(penyaringan kasar, penghilangan warna, ekualisasi, penyaringan halus, dan pendinginan),
sekunder (proses biologi dan sedimentasi), dan tersier (proses lanjutan setelah proses biologi dan
sedimentasi). Pengolahan air limbah secara fisika di PT. Unitex secara keseluruhan terdiri dari
penyaringan kasar, ekualisasi, penyaringan halus (screening), pendinginan (cooling tower), proses
sedimentasi, dan belt filter press.
DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Kdasi, A., Idris, A., Saed, K., & Guan, C. T. (2004). Treatment of textile wastewater by advanced oxidation
processes—areview. Global nest: the Int. J, 6(3), 222-230.
2. Barber, W. P., & Stuckey, D. C. (1999). The use of the anaerobic baffled reactor (ABR) for wastewater treatment: a
review. Water Research, 33(7), 1559-1578.
3. Lotito, A. M., Fratino, U., Mancini, A., Bergna, G., & Di Iaconi, C. (2012). Effective aerobic granular sludge
treatment of a real dyeing textile wastewater. International biodeterioration & biodegradation, 69, 62-68.
Behaviour. Journal of Engineering and Technological Sciences, 48(2), 135-149.
4. Türgay, O., Ersoz, G., Atalay, S., Forss, J., Welander, U., 2011. The treatment of azo dyes found in textile industry
wastewater by anaerobic biological method and chemical oxidation. Sep. Purif. Technol. 79, 26-33.
5. Dasgupta, J., Sikder, J., Chakraborty, S., Curcio, S., & Drioli, E. (2015). Remediation of textile effluents by
membrane based treatment techniques: a state of the art review. Journal of environmental management, 147, 55-72.
6. Liu, M., Lü, Z., Chen, Z., Yu, S., & Gao, C. (2011). Comparison of reverse osmosis and nanofiltration membranes
in the treatment of biologically treated textile effluent for water reuse. Desalination, 281,372-378.
7. Abdel-Shafy, H. I., El-Khateeb, M. A., & Mansour, M. S. (2016). Treatment of leather industrial wastewater via
combined advanced oxidation and membrane Isminingsih.1978. Pengantar Kimia Zat Warna. STTT Bandung
filtration. Water Science and Technology, 74(3), 586-594.
8. Juang, Y., Nurhayati, E., Huang, C., Pan, J.R., Huang, S., 2013. A hybrid electrochemical advanced
oxidation/microfiltration system using BDD/Ti anode for acid yellow 36 dye wastewater treatment. Sep. Purif.
Technol. 120, 289-295.
9. Tahri, N., Jedidi, I., Cerneaux, S., Cretin, M., Ben Amar, R., 2013. Development of an asymmetric carbon
microfiltration membrane: application to the treatment of industrial textile wastewater. Sep. Purif. Technol. 118,
179e187.
10. Zuriaga-Agustí, E., Alventosa-deLara, E., Barredo-Damas, S., Alcaina-Miranda, M.I. Iborra-Clar, M.I., Mendoza-
Roca, J.A., 2014. Performance of ceramic ultrafiltration membranes and fouling behavior of a dye-polysaccharide
binary system. Water Res. 54, 199210.
11.Lee, B.-B., Choo, K.-H., Chang, D., Choi, S.-J., 2009. Optimizing the coagulant dose to control membrane fouling
in combined coagulation/ultrafiltration systems for textile wastewater reclamation. Chem. Eng. J. 155, 101-107.
12. Feng, F., Xu, Z., Li, X., You, W., Zhen, Y., 2010. Advanced treatment of dyeing wastewater towards reuse by the
combined Fenton oxidation and membrane bioreactor process. J. Environ. Sci. 22,1657-1665.
13. Wenten, I. G., Khoiruddin, K., Hakim, A. N., & Himma, N. F. (2017). The Bubble Gas Transport Method.
Membrane Characterization, 199, Elsevier.
14. Sianipar, M., Kim, S. H., Iskandar, F., & Wenten, I. G. (2017). Functionalized carbon nanotube (CNT) membrane:
progress and challenges. RSC Advances, 7(81), 51175-51198.
15. Aryanti, P. T. P., Yustiana, R., Purnama, R. E. D., & Wenten, I. G. (2015). Performance and characterization of
PEG400 modified PVC ultrafiltration membrane. Membrane Water Treatment, 6(5) 379-392.
16. Zuriaga-Agustí, E., Iborra-Clar, M.I., Mendoza-Roca, J.A., Tancredi, M., Alcaina- Miranda, M.I., Iborra-Clar, A.,
2010. Sequencing batch reactor technology coupled with nanofiltration for textile wastewater reclamation. Chem.
Eng. J.161, 122-128.
17. Zyłła, R., Sojka-Ledakowicz, J., Stelmach, E., Ledakowicz, S., 2006. Coupling ofmembrane filtration with
biological methods for textile wastewater treatment. Desalination 198, 316-325.
18. Wardani, A. K., Hakim, A. N., Khoiruddin & Wenten, I. G. (2017).Combined ultrafiltration-electrodeionization
technique for production of high purity water. Water Science and Technology, 75(12): 28912899.
19. Aryanti, P. T. P., Joscarita, S. R., Wardani, A. K., Subagjo, S., Ariono, D., & Wenten, I. G. (2016). The Influence
of PEG400 and Acetone on Polysulfone Membrane Morphology and Fouling
20. Mara, D., & Horan, N. J. (Eds.). (2003). Handbook of water and wastewater microbiology. Academic press.
21. Usada, W., Suryadi, S., & Purwadi, A. (2010). Proses Ozonisasi pada Limbah Cair Industri Gula. Jurnal Kimia
Indonesia, 2(1).
22. Suprihatin, Hasti. 2014. Kandungan Organik Limbah Cair Batik Jetis Sidoarjo dan Alternatif Pengolahannya.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau, Riau.
23. Ulum, Ihyaul. 2016. Batik dan Kontribusinya Terhadap Perekonomian Nasional. Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang.
24. Ningsih, D.N. 2015. Dampak Ekonomi Ekspor Perdagangan Batik Indonesia ke Amerika Serikat. Universitas
Riau, Riau.
25. H.MJ. Lemmens dan N Wulijarni-Soetjipto (1999), Sumber Daya Nabati Asia Tenggara, No 3 “Tumbuhan
Penghasil Pewarna dan Tanin”, Balai Pustaka, Jakarta

26. https://thegorbalsla.com/limbah/

27. Sewan Susanto (1973), Seni Kerajinan Batik Indonesia, BPKB,Yogyakarta


28. MerckMillipore. Material Safety Data Sheet (Naftol)
29. Material Safety Data Sheet (Rhemazol Black)
30. Material Safety Data Sheet (Rhemazol Red)
31. Material Safety Data Sheet (Rhemazol Golden Yellow)
32. Susanto, S. (1973), Seni Kerajinan Batik Indonesia, BPKB, Yogayakarta
33. Suprihatin, Hasti. 2014. Kandungan Organik Limbah Cair Industri Batik Jetis Sidoarjo dan Alternatif
Pengolahannya. Institut Teknologi Pembangunan Surabaya. Surabaya
34. Hasan, Kevino. 2016. Pengolahan Limbah Tekstil dengan Teknologi Membran. Institut Teknologi Bandung.
Bandung
35. Ningtyas, R. 2015. Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif. Bandung. Institut Teknologi Bandung
36. Sholichin, M., Pengelolaan air limbah: Proses pengolahan air limbah tersuspensi, Jurusan Teknik Pengairan,
Universitas Brawijaya, 2012.
37. Anderson, P., “Activated sludge design, startup, operation, monitoring, and troubleshooting”, Ohio Water
Environment Association, 2010.
38. Snyder, R.; Wyant, D., “Activated sludge process control”, State of Michigan Department of Environmental
Quality
39. Sustarsic, M., “Wastewater treatment: Understanding the Activated Sludge Process”, Tetra Tech NUS, 2009.
40. Gerard J. Tortora, Berdell R. Funke, Christine L. Case. - 10th ed, 2010, Microbiology: an introduction
41. Dutta, B.K., 2007. Principles of Mass Transfer and Separation Processes. PHI Learning Pvt. Ltd., New Delhi
42. Ariono, D., Purwasasmita, M., & Wenten, I. G. (2016). Brine Effluents: Characteristics, Environmental Impacts,
and Their Handling. Journal of Engineering and Technological Sciences, 48(4), 367-387.

Anda mungkin juga menyukai