net/publication/343627961
CITATIONS READS
0 28
5 authors, including:
Takahiro Watari
Nagaoka University of Technology
29 PUBLICATIONS 71 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Tjandra Setiadi on 13 August 2020.
Ministry of the Environment Jepang dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
telah memulai bekerja sama sejak tahun 2008, berdasarkan "Pernyataan Bersama tentang Kerja Sama
Konservasi Lingkungan melalui Pendekatan Co-benefit (Desember 2007)" yang telah dijalin oleh
menteri bidang lingkungan kedua negara tersebut. Pada September 2011 dan Juli 2015, juga
ditandatangani MoU untuk fase ke-2 dan fase ke-3 terkait kerja sama co-benefit Jepang Indonesia
antara direktur penanggung jawab.
Dalam rangka kerja sama ini, bidang industri pertanian dan perikanan ditentukan sebagai sasaran,
kami membangun dan memperkuat kemampuan pengelolaan lingkungan terkait langkah-langkah
pencemaran lingkungan, dengan mempertimbangkan perubahan iklim. Kami memiliki tujuan untuk
menyosialisasikan tidak hanya kepatuhan standar air limbah, tetapi juga metode pengelolaan mutu
air tipe co-benefit (manfaat bersama) yang memungkinkan pengumpulan energi dari proses
pengolahan air limbah.
"Garis Panduan Pengolahan Air Limbah Tipe Co-Benefit di Industri Pengolahan Ikan di Republik
Indonesia" ini telah disusun berdasarkan hasil penelitian bersama yang dilakukan di antara Ministry of
the Environment Jepang dengan Nihon Suido Consultants Co., Ltd. (pengusaha yang dipercayakan
menangani proyek kerja sama lingkungan co-benefit) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI dengan Institut Teknologi Bandung, dalam rangka untuk mendorong pengelolaan air
limbah termasuk pengolahan air limbah tipe co-benefit yang tepat di industri pengolahan ikan di RI.
Garis panduan ini akhirnya diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Dalam
garis panduan ini, dinyatakan standar air limbah di pabrik pengolahan ikan, proses pengolahan bahan
baku dan sifat mutu air limbah darinya, pemilihan teknologi pengolahan air limbah dan fasilitas
pengolahan, sistem pemantauan dan pelaporan mutu air limbah dll., sehingga garis panduan ini
tersusun agar dapat dijadikan referensi saat melakukan pengelolaan air limbah secara menyeluruh di
masing-masing tempat usaha.
Pengelolaan air limbah yang dimuat dalam garis panduan ini, dapat dijadikan referensi tidak hanya
bagi industri pengolahan ikan, tetapi juga bagi berbagai pengusaha yang menghasilkan air limbah.
Kami senang jika kami bisa berkontribusi pada pendorongan pengelolaan air limbah yang tepat.
Maret 2019
Tim Penyusun
Gambar 1.1. Jumlah usaha pengolahan ikan di berbagai daerah di Indonesia (tahun 2014)
(Sumber: Laporan Usaha Subkontrak Survei Penanggulangan Air Limbah tipe co-benefit dalam industri perikanan
Indonesia tahun fiskal 2015, 2016)
Salah satu industri pengolahan ikan yang cukup besar di Indonesia adalah industri pengolahan ikan di
Muncar, Jawa Timur. Muncar adalah nama sebuah daerah di Banyuwangi yang sudah sejak lama
memiliki industri pengolahan ikan. Industri ini telah berkembang sejak pra-kemerdekaan, berawal dari
industri kecil yang kini telah berkembang menjadi industri besar dengan orientasi ekspor. Sayangnya
perkembangan industri tersebut tidak diiringi dengan pemahaman mengenai konsep lingkungan
sehingga limbah kini menjadi masalah yang cukup besar di daerah tersebut
Secara umum, industri perikanan di Muncar terbagi atas dua jenis, industri skala besar, menengah dan
rumah tangga. Berdasarkan data dari Laporan Pengelolaan Lingkungan Industri Pengolahan Ikan di
Muncar oleh Kedeputian Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan tahun 2007, terdapat 52
industri besar dan 39 industri rumah tangga yang beroperasi dengan jenis industri serta kapasitas
sesuai dengan Tabel 1.1.
Dari segi pengolahan air limbah, di kawasan Muncar tidak tersedia sarana pengelola air limbah
bersama, sehingga sebagian air limbah dibuang melalui sarana saluran air hujan (drainase) yang
mengalir langsung ke sungai atau laut. Beberapa industri sempat mencoba untuk membuat sarana
pengolahan air limbah namun pada akhirnya tidak dimanfaatkan karena memang kurang memadai
untuk mengelolah air limbah yang dihasilkan. Permasalahan lain yang dihadapi adalah mengingat
lahan di Muncar yang semakin terbatas, sehingga tidak cukup tempat untuk pembuatan IPAL (Instalasi
Pengolahan Air Limbah) yang memadai. Kondisi seperti ini juga terjadi pada banyak kawasan industri
pengolahan ikan di tempat lain di Indonesia. Hal tersebut dapat berdampak buruk pada kondisi
lingkungan masyarakat sekitar, terutama terhadap kualitas air permukaan. Pada beberapa daerah, air
limbah yang dihasilkan industri sudah jauh melebihi daya tampung lingkungan penerima, sehingga
menyebabkan menurunnya kualitas air yang ada.
Tabel 1.1. Kapasitas produksi pengolahan ikan di Muncar
(sumber : Setiyono dan Satmoko Yudo, 2008)
No. Industri Skala Besar Ton/hari
1. Pengalengan ikan 145
2. Tepung ikan 505
3. Cold storage ikan 210
4. Minyak ikan 29
5. Pengolahan ikan lainnya 320
pH 6–9
Tabel 1.3. Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan yang melakukan kegiatan
pengolahan gabungan
Parameter Satuan Kadar
pH - 6–9
TSS mg/L 100
Sulfida mg/L 1
Amonia mg/L 5
Klor bebas mg/L 1
BOD mg/L 100
COD mg/L 200
Minyak-lemak mg/L 15
Tabel 1.4. Baku mutu air limbah bagi kawasan industri perikanan yang melakukan pengolahan air limbah secara
terpusat
Parameter Satuan Kadar
pH - 6–9
TSS mg/L 100
Sulfida mg/L 1
Amonia mg/L 5
Klor bebas mg/L 1
BOD mg/L 100
COD mg/L 200
Minyak-lemak mg/L 15
(1) Melakukan pemantauan kualitas air limbah paling sedikit 1 kali setiap bulan, sesuai dengan
parameter yang telah ditetapkan dalam izin pembuangan limbah
(2) Melaporkan hasil pemantauan tersebut sekurang – kurangnya 3 bulan sekali yang dilaporkan
pada instansi penerbit izin pembuangan air limbah. Laporan tersebut paling sedikit memuat
catatan debit air limbah harian, bahan baku dan produksi harian, kadar parameter baku mutu
air limbah dan penghitungan beban limbah
1.2.3. Sistem penilaian terkait pengelolaan lingkungan
Usaha pemerintah untuk mendorong perusahaan untuk ikut berpartisipasi dalam penjagaan dan
pengelolaan lingkungan hidup diimplementasikan dalam sebuah program yang dikenal dengan
Program Penilaian Peringkat Kerja Perusahaan (PROPER). Program ini bersifat tidak wajib untuk diikuti,
namun sangat dianjurkan karena setidaknya menjadi bahan evaluasi bagi perusahaan untuk menilai
apakah kegiatan yang dilakukan sudah baik dan efisien atau belum. PROPER dilaksanakan melalui
pembinaan dan pengawasan lingkungan hidup yang di dalamnya berisi kegiatan yang diarahkan untuk
mendorong perusahaan untuk menaati peraturan perundang-undangan melalui insentif dan
disinsentif, dan mendorong perusahaan yang sudah baik kinerja lingkungannya untuk menerapkan
produksi bersih (cleaner production). Ketaatan perusahaan terhadap lingkungan hidup dinilai dari 5
aspek berikut:
• Pemenuhan ketentuan dalam izin lingkungan
• Pengendalian pencemaran air
• Pengendalian pencemaran udara
• Pengelolaan limbah B3, dan
• Pengendalian kerusakan lingkungan hidup (khusus untuk kegiatan pertambangan)
Bila suatu perusahaan sudah memenuhi ketentuan tersebut, maka akan dievaluasi kinerja melebihi
ketaatan, di mana evaluasi ini menunjukkan tingkat komitmen perusahaan tersebut untuk mencapai
keunggulan lingkungan (environmental excellence). Diagram sederhana sistem evaluasi PROPER
ditunjukkan pada Gambar 1.2.
Penjelasan mengenai PROPER secara lengkap terdapat di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
no 3 tahun 2014. Pelaksanaan PROPER ditargetkan untuk usaha wajib AMDAL atau UKL-UPL yang hasil
produknya untuk tujuan ekspor, sahamnya dijual di pasar bursa, dan yang kegiatannya menimbulkan
dampak yang signifikan terhadap lingkungan hidup.
Secara umum terdapat 5 tingkatan evaluasi PROPER, yakni EMAS, HIJAU, BIRU, MERAH dan HITAM.
Kelima tingkatan ini dibagi ke dalam 2 kelompok, yakni (1) peringkat berdasarkan syarat ketaatan,
terdiri atas warna biru, merah dan hitam, dan (2) peringkat berdasarkan evaluasi kinerja melebihi
ketaatan yang terdiri atas warna hijau dan emas.
Semakin meningkatnya perhatian pelaku usaha terhadap lingkungan tampak dengan semakin
meningkatnya perusahaan yang ikut serta dalam PROPER. Seperti tampak pada Tabel 1.5, setiap tahun
jumlah perusahaan peserta PROPER cenderung bertambah, dan semakin banyak perusahaan yang
masuk dalam kategori HIJAU dan EMAS.
Namun, untuk industri pengolahan ikan, masih cukup banyak yang memiliki penilaian yang rendah, di
mana pada tahun 2016 terdapat 1 perusahaan mendapat nilai hitam dan 22 perusahaan mendapat
nilai merah. Hal ini perlu mendapa perhatian mengingat industri perikanan merupakan industri yang
sangat strategis untuk Indonesia.
Tabel 1.5. Hasil Evaluasi PROPER Tahun 2002 – 2016
TAHUN HITAM MERAH BIRU HIJAU EMAS TOTAL
2002 – 2003 2 20 52 8 0 80
2003 – 2004 22 64 99 9 0 194
2004 – 2005 41 116 182 21 0 360
2006 – 2007 9 74 305 45 0 433
2008 – 2009 32 118 385 40 1 576
2009 – 2010 47 154 433 54 2 690
2010 – 2011 48 233 603 106 5 995
2011 – 2012 79 295 805 119 12 1.310
2012 – 2013 17 551 1.099 113 12 1.792
2013 – 2014 21 516 1.224 121 9 1.891
2014 – 2015 21 529 1.406 108 12 2.076
2015 – 2016 5 284 1.422 172 12 1.895
1.3. Pola Pikir Mendasar Pengelolaan Air Limbah
Pengelolaan air limbah adalah serangkaian usaha yang harus dilakukan secara kontinu dan sinergis.
Dalam pelaksanaannya, seluruh komponen dalam perusahaan pasti akan terlibat. Adanya usaha dan
komitmen dari perusahaan, optimasi dalam proses produksi dan dalam sistem pengolahan air limbah,
serta sistem organisasi yang jelas menjadi komponen yang dapat menunjang usaha pengelolaan air
limbah industri.
1.3.1. Upaya pokok secara menyeluruh di perusahaan
Emisi dan limbah dari pabrik akibat kegiatan industri dapat memberi dampak ke kesehatan masyarakat
sekitar ataupun lingkungan hidup. Pihak yang paling memahami penyebab dan penanganan emisi dan
limbah terhadap beban lingkungan hidup seperti ini adalah perusahaan yang menghasilkan emisi dan
limbah itu sendiri, dan yang dapat menurunkan beban pencemaran lingkungan hidup tersebut secara
efisien juga hanya perusahaan itu sendiri.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh suatu perusahaan dalam strategi pengelolaan
lingkungan hidup yang baik dan efektif.
a. Memperjelas kebijakan
Kebijakan yang jelas dari suatu perusahaan akan menjadi dasar yang kuat ke arah mana
langkah pengelolaan lingkungan tersebut akan berjalan. Diperlukan pemahaman mengenai
aturan yang berlaku di daerah tempat perusahaan tersebut berada serta bagaimana norma-
norma yang berlaku di masyarakat sekitar.
b. Membangun struktur organisasi dan penataan fasilitas
Kebijakan yang baik perlu ditunjang dengan struktur organisasi yang baik dan fasilitas yang
memadai. Perlu ditentukan apa saja yang menjadi titik perhatian, untuk kemudian ditentukan
siapa yang memiliki kompetensi untuk mengawasi titik tersebut. Fasilitas yang baik akan
mempermudah sang penanggungjawab dalam mengawasi titik perhatian tersebut.
c. Upaya preventif
Selain membuat kebijakan yang menjadi landasan kerja dari perusahaan terkait dengan
lingkungan, sangat penting pula menyusun upaya-upaya untuk mencegah kegagalan yang
mungkin terjadi dari kebijakan yang telah dibuat. Upaya ini juga bermanfaat untuk
menumbuhkan kesadaran dari seluruh anggota perusahaan tersebut akan pentingnya
lingkungan.
d. Upaya mitigasi
Dalam kebijakan yang dibuat, perlu juga disusun rencana-rencana mitigasi, yakni upaya
penanggulangan apabila kebijakan yang dibuat ternyata mengalami kegagalan, atau hasilnya
tidak sesuai dengan yang direncanakan.
e. Koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait
Komponen yang kecil, seringkali terlewat namun dapat berdampak cukup fatal dalam kegiatan
pengelolaan lingkungan. Kegiatan berupa berbagi informasi (sharing) serta ide bersama
dengan pemangku kepentingan terkait lingkungan hidup, serta membangun komunikasi yang
baik menjadi hal yang penting, agar kebijakan yang diambil sejalan dengan pandangan dan
rencana pemangku kepentingan ke depannya.
1.3.2. Upaya dalam proses produksi
Proses produksi menjadi kontributor terbesar dalam kegiatan industri, di mana sebagian besar limbah
berasal dari proses produksi. Pembenahan dalam proses produksi pasti akan memberikan dampak
yang positif untuk industri, baik dari sisi efisiensi proses, penyerapan bahan baku maupun penurunan
volume limbah yang dihasilkan. Salah satu program yang diterapkan oleh banyak negara terkait
dengan perbaikan sistem produksi adalah program Resource Efficiency and Cleaner Production (RECP).
Program RECP berusaha memberikan solusi terkait dengan semakin berkurangnya sumber daya yang
tersedia dan masalah limbah yang dihasilkan. RECP memberikan solusi berdasarkan kemungkinan dari
8 aspek berikut, yakni substitusi bahan, tata kelola area kerja, modifikasi produk, pemanfaatan produk
samping, on-site reuse atau recycle, penggantian teknologi, modifikasi peralatan dan peningkatan
pengendalian proses. Tujuan dari RECP adalah meningkatkan produktivitas produksi, efisiensi energi,
efisiensi air dan penurunan intensitas limbah (cair, padat maupun udara).
RECP sendiri merupakan program yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis industri dan aktivitas.
Salah satu contoh kasus sukses pengaplikasian RECP yakni Hotel Heritance Kandalama di Sri Lanka.
Hotel tersebut dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air dan listrik serta mengurangi jumlah
limbah yang dihasilkan dengan menerapkan prinsip RECP. Prinsip yang diterapkan bisa bersifat teknis
(pemisahan aliran limbah, operasional perlistrikan) hingga bersifat manajerial (kebijakan penyalaan
lampu, penggantian handuk).
Untuk industri pengolahan ikan, contoh prinsip RECP yang dapat dilakukan adalah modifikasi sistem
pencucian ikan menjadi counter-current untuk menghemat penggunaan air. Pada prinsip pencucian
secara counter-current ini, air yang bersih akan bertemu dengan ikan yang relatif lebih bersih, dan ikan
yang masih “kotor” akan berkontak dengan air sisa pencucian sebelumnya.
Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dari sisi konservasi atau penyimpanan. Salah satu teknik
penyimpanan yang sedang berkembang adalah modified atmosphhere packaging (MAP). Proses
penyimpanan ini melibatkan campuran gas-gas sehingga secara keseluruhan konsentrasi oksigen
berkurang dan konsentrasi gas-gas lain (nitrogen, CO2) bertambah. Karbon dioksida akan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Nitrogen sendiri merupakan gas inert yang perannya lebih untuk
mengurangi konsentrasi gas-gas lain. Hal yang perlu ditekankan, proses MAP tidak dapat
menggantikan refrigerasi sehingga pelaku industri perikanan (baik dari sisi produsen, distributor dan
penjual) tetap harus menjaga kondisi dingin selama proses. Kondisi dingin selama proses dan distribusi
ini dikenal dengan istilah cold chain. Penerapan MAP dan penjagaan kondisi dingin selama proses
dapat menjaga umur simpan ikan hingga 2-3 kali lipat lebih lama.
Intinya, ada banyak sekali potensi RECP yang mungkin dapat diterapkan pada industri termasuk
industri pengolahan ikan yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air dan energi
serta mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan.
1.3.3. Upaya dalam proses pengolahan air limbah
Setinggi apapun efektivitas proses produksi, sebaik apapun teknologi yang digunakan dalam produksi,
limbah tetap menjadi suatu hal yang hampir pasti terbentuk. Bila perbaikan proses produksi dilakukan
untuk meminimasi jumlah limbah yang akan terbentuk, perbaikan proses pengolahan limbah
diperlukan agar limbah yang terbentuk tersebut dapat diolah sebagaimana mestinya hingga
memenuhi persyaratan sebelum dibuang ke badan air. Dengan demikian sangat diperlukan
pemahaman mengenai jumlah limbah, baku mutu, standar debit yang dialirkan di badan air tempat
limbah terolah akan dibuang, serta kondisi tanah tempat dibangun fasilitas pengolahan air limbah.
Selanjutnya diperlukan rencana penataan fasilitas pengolahan air limbah yang memiliki kapasitas yang
sesuai dengan baku mutu pembuangan air berdasarkan informasi-informasi tersebut.
Hal yang penting dalam perencanaan proses pengolahan air limbah adalah memilih metode
pengolahan yang total biayanya paling rendah, tidak hanya biaya untuk fasilitas yang dibangun, tetapi
juga perlu mengetahui biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan fasilitas. Sangat penting untuk
membangun unit pengolahan air limbah yang murah, mudah dioperasikan dan dirawat dan tetap
mampu memenuhi peraturan yang berlaku.
BAB II PROSES PENGOLAHAN IKAN & POTENSI LIMBAHNYA
Pada bagian ini akan dibahas mengenai macam-macam jenis industri pengolahan ikan, serta
karakteristik limbah yang dihasilkan oleh tiap jenis industri.
2.1. Proses Produksi Industri Perikanan
Pemrosesan ikan pada dasarnya beragam menurut bahan baku, sumber utilitas air, dan unit proses
yang tersedia. Karakteristik air limbah yang dihasilkan pun berbeda-beda bergantung pada proses
yang digunakan. Derajat kontaminasi air limbah bisa rendah (misalnya pada pencucian ikan),
menengah (misalnya pada filleting), atau tinggi (misalnya air darah ikan dari tangki penyimpanan ikan)
(Chowdhury, dkk., 2009). Secara umum, proses industri perikanan dapat dibagi menjadi proses
industri pengalengan, pembekuan, pengasapan, penepungan dan pembuatan minyak ikan.
2.1.1. Industri pengalengan ikan
Pengalengan ikan merupakan proses pengawetan ikan dengan cara memasukkan ikan dalam kaleng
dan dipanaskan sebelum kaleng ditutup untuk membunuh bakteri yang menyebabkan proses
pembusukkan terjadi. Teknik pengalengan ikan ditemukan pertama kali oleh Nicolas Appert dari
Perancis dan telah berkembang menjadi salah satu industri pengolahan ikan yang paling penting di
dunia. Bahan baku ikan yang digunakan dalam industri pengalengan terdiri dari berbagai jenis ikan.
Pada dasarnya, proses produksi pengalengan ikan sama dengan teknik dasar yang telah ditemukan
oleh Appert, namun dengan teknologi yang lebih baik. Proses produksi ini harus dilakukan dengan
hati-hati untuk mencegah bakteri C. botulinum berkembang biak, karena dapat menyebabkan
terjadinya keracunan pada manusia. Sementara itu, wadah untuk produk pengalengan ikan dapat
terbuat dari logam, plastik, atau kaca, tetapi bahan yang paling banyak digunakan adalah wadah dari
logam, terutama timah dan alumunium. Penggunaan wadah berfungsi untuk:
• melindungi produk secara kedap udara,
• mencegah kontaminasi oleh bakteri yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia,
• menjaga nutrisi yang terdapat dalam produk, dan
• mencegah bakteri berkembang biak kembali yang menyebabkan pembusukan.
Menurut Warne (1988), proses produksi pengalengan ikan dapat dipisahkan menjadi beberapa
kategori sesuai bahan baku yang digunakan yang akan dijelaskan pada bagian berikut.
2.1.1.1 Ikan sarden dan sejenis
Pengalengan ikan sarden dan sejenisnya (ikan makarel, lamuru, dll.) dapat dilakukan dengan dua
metoda berbeda yaitu metoda Mediterrania dan metoda Norwegia. Perbedaan kedua metode
tersebut adalah pada proses prapemasakan dan pembersihan organ tubuh ikan, pada metoda
Mediterrania proses prapemasakan menggunakan kukus dan isi perut ikan dikeluarkan seluruhnya,
sementara pada metoda Norwegia proses prapemasakan menggunakan asap panas dan isi perut ikan
tidak dikeluarkan. Metoda Norwegia banyak dilakukan di wilayah Eropa Timur, oleh karena itu, pada
bagian ini, proses produksi yang dibahas adalah proses produksi dengan metoda Mediterrania.
Deskripsi proses tersebut dapat dilhat pada Gambar 2.1.
Pengalengan ikan dimulai dengan penyiapan bahan baku. Pada tahap ini, bila bahan baku yang
digunakan adalah ikan segar, maka setelah ikan diterima, dapat melalui tahap selanjutnya. Sementara
bila ikan beku yang digunakan, perlu dilakukan proses thawing, yaitu proses pelunakan ikan beku
menggunakan air pada suhu ruang. Setelah penyiapan ikan, dilakukan penimbangan ikan agar sesuai
dengan standar yang diberlakukan oleh perusahaan, sebelum dilakukan pemotongan kepala, ekor,
sirip, dan pengeluaran isi perut. Pengeluaran isi perut dilakukan untuk menghindari aktivitas enzim
dalam perut ikan yang dapat mempercepat pembusukan daging ikan. Sementara itu, pemisahan sisik
dapat dilakukan dengan menggunakan drum berputar (rotary drum). Pada tahap ini (pemotongan
kepala, ekor, sirip, dan pengeluaran isi perut), biasanya dilakukan bersamaan dengan pencucian ikan
menggunakan air yang mengalir. Ikan yang sudah bersih, dimasukkan ke dalam kaleng. Pemasakan
awal dilakukan dengan melewatkan ikan dalam kaleng melalui konveyor. Pemasakan awal terdiri dari
dua tahap yaitu pemasakan awal pada suhu 95oC untuk mengeluarkan minyak ikan yang terdapat
dalam ikan dan pemasakan awal pada suhu 130oC untuk mengeringkan dan mengeluarkan minyak
ikan dari dalam kaleng. Setelah itu, kaleng melewati tahap pengisian cairan atau bumbu yang dapat
berupa minyak, air, larutan garam, atau saus.
Ikan Ikan
Segar Beku Pemasakan Awal
Sterilisasi
Air Limbah Pencucian
Pendinginan, Pengeringan,
dan Pengepakan
Pengisian Ikan ke
dalam Kaleng
Ikan Kaleng
Gambar 2.1. Diagram alur proses pengalengan ikan sarden dan sejenisnya
Di Indonesia, sarden kaleng umumnya diisi dengan saus. Pada tahap pengisian bumbu, biasanya
terdapat tumpahan cairan yang dapat ditampung dan digunakan kembali. Tahap selanjutnya,
dilakukan penyegelan kaleng yang umumnya menggunakan teknik double seam untuk menjaga
keamanan penutup kaleng dari kebocoran. Setelah penyegelan kaleng, dilakukan pencucian kaleng
dari bumbu yang menempel di luar kaleng untuk menghindari kontaminasi bakteri. Pencucian
dilakukan menggunakan air dan deterjen. Pencucian umumnya dilakukan sebelum sterilisasi untuk
meminimalisasi kemungkinan kontaminasi setelah proses selesai. Tahap sterilisasi umumnya
dilakukan secara partaian (batch), pada suhu antara 112 – 115oC. Setelah sterilisasi, dilakukan
pendinginan dan pengeringan kaleng, sebelum kaleng dimasukkan ke dalam kardus.
2.1.1.2 Ikan tuna dan sejenis
Perbedaan alur proses produksi antara bahan baku ikan sarden dengan ikan tuna disebabkan oleh
jenis dan ukuran ikan tuna dibandingkan ikan sarden. Alur proses produksi pengalengan ikan tuna dan
sejenis dapat dilihat pada Gambar 2.2. Bahan baku ikan tuna umumnya merupakan ikan beku,
sehingga diperlukan proses pelunakan ikan (thawing). Setelah itu, dilakukan pembersihan isi perut,
pemotongan kepala, ekor, dan sirip, sekaligus pencucian, tetapi tidak dilakukan pemisahan sisik,
karena ikan tuna merupakan ikan yang tidak bersisik.
Kemudian dilakukan pemasakan awal, pada tahap ini, penggunaan ikan tuna berbeda dengan ikan
sarden karena ikan tuna dimasak awal terlebih dahulu, sementara pemasakan awal ikan sarden
dilakukan setelah ikan dimasukkan dalam kaleng. Pemasakan awal ikan tuna dilakukan pada suhu 102
– 104oC. Tahap ini berguna untuk memisahkan daging yang sudah rusak dan mengeluarkan minyak
dari ikan. Tahap selanjutnya adalah pendinginan ikan tuna menggunakan air yang dipercikkan (sprayed
water).
Ikan
Beku
Pemasukan Ikan ke
dalam Kaleng
Thawing
Pengisian Cairan/
Bumbu
Pengeluaran Isi Perut,
Pemotongan Kepala, Ekor,
dan Sirip
Penyegelan Kaleng
Pemasakan Awal
Sterilisasi
Pendinginan
Pendinginan, Pengeringan,
dan Pengepakan
Gambar 2.2. Diagram alur proses pengalengan ikan tuna dan sejenisnya
Pendinginan berfungsi untuk memantapkan daging ikan tuna dan memisahkan minyak yang tersisa
dari daging ikan. Setelah pendinginan, dilakukan pembersihan daging bagian pinggang (loin). Pada
tahap ini, dilakukan pemisahan kepala jika belum dibersihkan, kemudian dilakukan penghilangan kulit
dan memisahkan daging ikan putih dari darah, tulang, daging gelap, dan daging merah. Daging putih
dan serpihan daging putih kemudian dimasukkan ke dalam kaleng terpisah. Daging putih utuh
digunakan untuk pengalengan tipe bongkahan (chunk), sementara serpihan daging putih digunakan
untuk tipe serpihan (flakes). Sementara daging merah digunakan untuk makanan hewan peliharaan.
Ikan dalam kaleng akan melewati tahap pengisian bumbu. Bumbu dalam hal ini adalah garam, sayuran,
dan minyak atau air. Setelah pengisian, dilakukan penyegelan kaleng dengan double seam. Kemudian
kaleng dicuci dengan air dan deterjen sebelum masuk ke tahap sterilisasi pada suhu 100oC. Kaleng
selanjutnya didinginkan dan dikeringkan sebelum dimasukkan dalam kardus.
2.1.2. Industri pembekuan ikan
Industri pembekuan ikan dan produk laut lainnya merupakan industri yang mengolah ikan dan produk
laut lainnya menjadi produk beku. Tujuan utama pembekuan adalah untuk mempertahankan
kesegaran produk terhadap perkembangbiakan mikroorganisme. Dengan penyimpanan ikan secara
beku, dapat mempertahankan kesegaran ikan sampai satu tahun. Proses pembekuan ikan dan produk
laut lainnya, tergolong sederhana. Setelah bahan baku diterima, dilakukan pencucian dan
pembersihan organ dalam ikan dan produk laut lainnya. Untuk produk-produk tertentu, juga dilakukan
pembersihan kulit. Kemudian, bahan baku yang sudah dibersihkan akan disortir berdasarkan kualitas,
ukuran, dsb. Jika produk yang dihasilkan adalah produk beku yang sudah matang, maka bahan baku
akan dimasak menggunakan kukus. Bahan baku kemudian dimasukkan ke dalam alat pembeku
(freezer). Terdapat empat jenis alat pembeku yang biasa digunakan dalam industri makanan, yaitu
sistem kontak pelat (bahan baku dibekukan dengan cara kontak dengan permukaan pelat dingin),
sistem kontak gas (bahan baku dibekukan dengan cara meniupkan udara atau gas dingin ke dalam
ruang berisi bahan baku), sistem kontak perendaman dalam cairan (bahan baku dibekukan dengan
cara direndam dalam atau dipercikkan dengan cairan beku), dan sistem pembekuan kriogenik yaitu
pembekuan menggunakan kontak dengan cairan kriogenik (cairan dengan suhu sangat dingin) dalam
ruang pembeku (Brennan, 2006). Setelah produk dibekukan, dilakukan pengemasan produk dan
produk disimpan dalam ruangan dingin sebelum didistribusikan. Khusus untuk pembekuan ikan,
biasanya dilakukan pembekuan ikan setelah ikan dipotong menjadi ikan bebas tulang (filet ikan). Alur
proses pembuatan filet ikan sebelum dilakukan pembekuan ditunjukkan pada Gambar 2.3
Ikan Ikan
Segar Beku
Thawing
Pemisahan Es,
Pencucian, dan
Penyortiran
Pemotongan Kepala
Pemotongan Daging
Ikan
Pemisahan Kulit
Pemeriksaan dan
Pemotongan
Pengemasan dan
Penyimpanan
Filet Ikan
Gambar 2.3. Diagram alur proses pembuatan filet ikan untuk pembekuan
Ikan Mentah
Pengeringan
Pengeluaran Isi Perut,
Pemotongan Kepala, Ekor,
dan Sirip
Pengasapan
Penghilangan Sisik
Pendinginan
Pemberian Garam
Pengemasan
Pemasakan
Sari Ikan
(Fish Juice)
Penirisian Decanter
Penguapan
Pendingin
Minyak Ikan
Pemisahan
Bahan
Pencacah Terlarut
(Grinder)
Padatan
Tepung Ikan
Gambar 2.5. Diagram alur proses penepungan dan pembuatan minyak ikan
Pembersihan Ikan
Pemberian Garam
Pengeringan
Ikan Asin
Metode ketiga adalah kench salting. Sederhananya, metode ini adalah metode penggaraman kering
tanpa wadah, dan biasa dilakukan oleh nelayan sebagai upaya untuk mengawetkan ikan agar tidak
busuk begitu sampai ke pelabuhan. Pada kench salting, ikan dibiarkan di atas lantai atau geladak kapal
dan kemudian ditaburi garam. Air yang terbentuk dari proses penggaraman dibiarkan mengalir tanpa
diwadahi. Proses ini memerlukan garam dalam jumlah yang sangat banyak untuk mengimbangi
larutan garam yang mengalir terbuang, dan, untuk negara tropis seperti Indonesia yang memiliki curah
matahari yang tinggi, proses ini tidak cocok karena dapat menyebabkan pembusukan ikan saat proses
berlangsung.
2.2. Karakteristik Air Limbah Industri Pengolahan Ikan
Karakteristik air limbah dari indutri pengolahan ikan berbeda-beda tergantung pada proses yang
dilakukan serta jenis ikan yang diolah. Air limbah terutama berasal dari pencucian ikan dan peralatan.
Pada umumnya, air limbah industri pengolahan ikan memiliki nilai konsentrasi BOD, minyak, lemak
serta nitrogen yang tinggi. Karakteristik air limbah untuk industri pengolahan ikan secara umum dapat
dilihat pada Tabel 2.1. Pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.7 juga ditunjukkan contoh karakteristik air limbah
yang diambil dari pengolahan ikan di Jembrana, serta bagaimana fluktuasi debit air limbah selama
beberapa hari.
Melihat karakteristik air limbah industri, untuk mencapai baku mutu yang ditentukan diperlukan
instalasi pengolahan air limbah. Meski begitu, ternyata belum semua industri pengolahan ikan di
Indonesia memiliki IPAL untuk mengolah limbah yang mereka hasilkan. Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan oleh Nihon Suido terhadap sejumlah indutri pengolahan ikan di Indonesia pada tahun 2014,
ternyata hanya sekitar 58,2 % industri pengolahan ikan yang sudah memiliki IPAL (Tabel 2.3).
Tabel 2.3. Presentase kepemilikan IPAL industri pengolahan ikan di Indonesia berdasarkan survei ke sejumlah
indusri tahun 2014
Sumber: Nihon Suido, 2016
Kondisi Kepemilikan IPAL
Jenis Industri
Memiliki IPAL Belum memiliki IPAL Total industri yang ditinjau Presentase (%)
Pembekuan 15 13 28 53.6
Pengasinan 1 0 1 100
Pengasapan 0 1 1 0
Pengalengan 7 4 11 63,6
Tepung ikan 6 1 7 85,7
Lain-lain 10 9 19 52,6
Total 39 28 67 58,2
BAB III TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN
IKAN
Pada bagian ini akan dibahas mengenai metodologi pengolahan air limbah secara umum, serta
teknologi – teknologi yang ada dan sudah umum digunakan di dalam tahapan pengolahan air limbah.
3.1. Teknologi Pengolahan Air Limbah
Berdasarkan hasil tinjauan berbagai pustaka, air limbah yang dihasilkan oleh industri perikanan
memiliki kandungan organik yang tinggi. Kandungan organik yang tinggi disebabkan oleh darah, sari
ikan (fish juice), dan organ tubuh ikan, seperti isi perut, sirip, ekor, dan daging busuk yang terbawa ke
dalam air limbah. Organ tubuh ikan dapat terbawa ke dalam air limbah karena dalam industri
perikanan, air juga digunakan untuk membersihkan peralatan dan lantai yang merupakan tempat
menempelnya darah, tumpahan sari ikan, dan organ tubuh ikan. Selain itu, limbah cair industri
perikanan juga mengandung beban nitrogen yang cukup tinggi. Limbah cair beberapa industri
perikanan juga dapat mengandung minyak dan lemak dalam jumlah tinggi, terutama industri dengan
bahan baku berupa ikan yang berlemak. Oleh karena itu, diperlukan instalasi pengolahan air limbah
(IPAL) untuk limbah cair industri perikanan sebelum air limbah dibuang ke lingkungan.
3.1.1. Metodologi Pengolahan Air Limbah Secara Umum
Pada umumnya, proses pengolahan air limbah terdiri atas pra-pengolahan (pre-treatment),
pengolahan primer dan pengolahan sekunder, seperti pada Gambar 3.1.
•Proses
•Screening
Pre- Pengolahan Pengolahan Pengolahan aerobik
treatment •Pemisahan primer padatan sekunder •Proses
minyak-air
anaerobik
Selain menggunakan tangki miring, pemisahan minyak juga dapat dilakukan dengan flotasi, dengan
dissolved air flotation (DAF) merupakan alat yang paling umum dipakai. Pada intinya, DAF adalah
proses yang memanfaatkan gelembung udara untuk memisahkan padatan atau minyak dari air limbah.
Gelembung tersebut menempel pada partikel, sehingga mengurangi densitas partikel lalu mengangkat
partikel tersebut naik ke permukaan air. Partikel yang terbawa ke permukaan kemudian disapu (skim)
dari permukaan air dengan menggunakan alat yang diberi nama skimmer.
Pada proses DAF ini, umpan air limbah dikontakkan dengan efluen yang di-recycle. Aliran recycle ini
memiliki tekanan lebih tinggi dari air umpan setelah melewati pompa. Aliran campuran ini masuk ke
dalam tangki klarifikasi dan tekanan yang dilepaskan oleh air menimbulkan gelembung udara yang
akan mengikat partikel dalam air limbah (skema pada Gambar 3.4). Kunci utama operasional DAF
adalah penjagaan pH (biasanya 4,5 – 6), laju alir umpan dan operator yang berpengalaman. Proses
DAF ini dapat menghilangkan minyak hingga 80 % dan padatan tersuspensi hingga 75 %. Meski terlihat
efektif, proses DAF tidak cocok untuk industri skala kecil karena ongkos operasi yang cukup besar.
Proses rotating Bakteri aerobik tumbuh pada disk/piringan yang sekitar 40% bagiannya
biological contactor terendam dalam air limbah. Piringan tersebut berputar agar mikroba
(RBC) memperoleh oksigen dari udara untuk mengurai senyawa organik
Proses aerasi Penguraian senyawa organik dalam air limbah dengan cara melekatkan
kontak mikroorganisme pada media filter terendam
Dikenal juga dengan sistem kolam dalam (deep pond), di mana kondisi
Anaerobic lagoon lagun bebas dari oksigen; dilakukan pada kolam yang dalam
Proses
Anaerobik
Performa dari proses sekunder (biologis) ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah
keberadaan inhibitor dalam limbah. Komponen yang menjadi inhibitor dalam proses biologis
contohnya adalah logam-logam berat, sehingga normalnya proses sekunder dilakukan setelah proses
fisika dan kimia yang dapat menyisihkan kandungan logam-logam berat tersebut. Selain logam berat,
komponen aromatik juga dapat menghambat kinerja sistem pengolahan biologis. Pada Tabel 3.3
ditunjukkan beberapa komponen yang menjadi inhibitor proses biologis serta nilai ambangnya.
Tabel 3.3. Ambang batas inhibisi proses biologis
(Water Environment Federation, 1994)
Berbeda dengan proses konvensional, umpan air limbah dapat dimasukkan dari berbagai sisi untuk
memastikan homogenitas dalam tangki (skema pada Gambar 3.9). Konfigurasi ini dinilai lebih stabil
dibandingkan proses konvensional, terutama dari segi fluktuasi organic load.
Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam operasional lumpur aktif. Aspek pertama
adalah waktu retensi hidraulik (hydraulic residence time/HRT, θH) yang merupakan rasio antara
volume reaktor (VR) dengan debit limbah (QR)
𝑉𝑅
𝜃𝐻 =
𝑄𝑅
Selain waktu retensi hidraulik, terdapat pula waktu tinggal sel (mean cell residence time, MCRT, θC)
yang merupakan rasio antara sel yang terdapat dalam reaktor terhadap jumlah sel yang dikeluarkan
dari tangki aerasi per hari. Nilai tipikal θH adalah sekitar 3 – 6 jam, sedangkan θC bervariasi antara 3 –
15 hari.
SVI adalah salah satu parameter dalam operasional lumpur aktif. Nilai SVI menyatakan kecenderungan
padatan dalam lumpur aktif untuk membentuk endapan. SVI dihitung dengan cara menentukan
konsentrasi endapan dalam sampel air limbah teraerasi setelah didiamkan selama 30 menit.
Konsentrasi tersebut kemudian dibagi dengan nilai MLSS. Parameter ini menjadi penting sebagai basis
pemisahan antara air dengan lumpur aktif pada kolam pengendap.
𝑚𝐿
𝑚𝐿 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑙𝑢𝑚𝑝𝑢𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 30 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 ( 𝐿 )
𝑆𝑉𝐼 ( )= 𝑚𝑔
𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑀𝐿𝑆𝑆 ( 𝐿 )
Nilai SVI yang baik berkisar antara 50 – 150 mL/g.
MCRT, atau solid retention time (SRT) menyatakan rata-rata lama mikroorganisme berkontak dengan
substrat. Secara sederhana, nilai MCRT/SRT menyatakan berapa lama mikroorganisme dapat berada
di dalam lumpur aktif sebelum dibuang. Proses lumpur aktif sendiri secara terus-menerus akan
menghasilkan padatan. Secara umum, penghilangan 1 kg BOD akan menghasilkan 0,5 kg padatan. Bila
kadar padatan dalam proses lumpur aktif terlalu tinggi, maka efisiensi pengolahan akan berkurang
secara signifikan. Perhitungan SRT mengikuti persamaan berikut:
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑖𝑠𝑡𝑒𝑚 (𝑚𝑔)
𝑆𝑅𝑇 (ℎ𝑎𝑟𝑖) = 𝑚𝑔
𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑖𝑠𝑡𝑒𝑚 ( )
ℎ𝑎𝑟𝑖
Umur lumpur yang lebih tua akan menghasilkan sludge yang lebih sedikit dibandingkan lumpur yang
lebih muda, karena BOD (substrat) digunakan terutama untuk bertahan hidup (cell maintenance), baru
setelah itu digunakan untuk tumbuh. Padatan dalam sistem dapat dihitung dengan mengalikan nilai
MLSS dengan volume kolam aerasi. Padatan yang dikeluarkan dari sistem terdiri atas dua komponen,
yakni padatan yang dibuang/didaur ulang sebagai waste activated sludge (WAS) dan padatan yang
terbawa oleh aliran efluen sebagai effluent suspended solids (ESS). Nilai MCRT ini berkisar antara 3 –
15 hari untuk tipikal lumpur aktif konvensional. Nilai MCRT yang kurang dari 3 hari akan menghasilkan
lumpur yang sulit mengendap sehingga menghasilkan aliran keluaran yang keruh.
F/M ratio (food-to-microorganism ratio) adalah perbandingan antara makanan (BOD) masuk ke dalam
sistem terhadap mikroorganisme dalam sistem. Nilai rasio F/M harus dikontrol secara reguler. Bila
nilai rasio F/M terlalu tinggi, mikroorganisme tidak dapat membentuk flok dengan baik. Nilai rasio F/M
yang rendah menyatakan jumlah mikroorganisme yang tinggi namun jumlah makanan dalam sistem
terbatas. Jumlah makanan yang terbatas membuat mikroorganisme cenderung saling mendekat satu
sama lain untuk membentuk flok. Namun, harus diperhatikan bahwa nilai rasio F/M yang terlalu
rendah membuat bakteri membentuk filamen sehingga dapat mengurangi performa sistem. Rasio F/M
biasanya dikontrol dengan mengatur sludge wasting rate.
Perhitungan nilai F memperhitungkan laju alir limbah yang masuk dan konsentrasi BOD umpan
𝐹 = 𝑙𝑎𝑗𝑢 𝑎𝑙𝑖𝑟 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑥 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑂𝐷
Penentuan volume mikroorganisme (M) memperhitungkan volume sistem dan MLVSS.
𝑀 = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑜𝑙𝑎𝑚 𝑎𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑥 𝑀𝐿𝑉𝑆𝑆
Parameter-parameter di atas akan memiliki nilai yang berbeda tergantung jenis prosesnya. Pada Tabel
3.4. ditunjukkan tipikal nilai dari tiap parameter proses di atas tergantung operasional lumpur aktifnya.
Tabel 3.4. Parameter dan nilainya untuk tiap jenis proses lumpur aktif
Produksi
BOD Hydraulic Efisiensi
F/M Sludge lumpur
Loading retention MLSS penghilangan
Proses 𝒌𝒈 𝑩𝑶𝑫/𝒅𝒂𝒚 age (kg DS/kg
( ) 𝒌𝒈 𝑩𝑶𝑫 time (mg/L) BOD
𝒌𝒈 𝑴𝑳𝑺𝑺 ( ) (hari) BOD
𝒎𝟑 . 𝒅 (jam) (%)
removed)
2.000
Aerasi
0,2 – 0,5 0,5 – 1,5 5 – 14 3 – 30 – 90 – 95 0,5 – 1
konvensional
3.000
2.000
Extended 20 –
0,05 – 0,15 0,25 – 0,3 20 – 30 – 90 – 95 0,5 – 0,6
aeration 30
6.000
High rate 5.000
0,5 –
activated 1 – 2,5 1,6 – 16 2,5 – 3,5 – 60 – 70 0,8 – 1,2
10
sludge 8.000
3.000
Pure O2 0,25 – 1 1,6 – 4 1 – 10 3 – 10 – 90 – 95
8.000
2.000
Deep shaft 0,5 – 5 3,7 – 6,6 0,5 – 5 4–5 – 0,5 – 0,85
6.000
Secara umum, proses aerasi konvensional adalah proses lumpur aktif yang dioperasikan pada loading
rate lebih besar dari 0,2 kg BOD/kg MLSS per hari. Pada proses ini, nitrifikasi dapat terjadi dan akan
semakin intens terjadi pada loading rate yang lebih rendah dan umur lumpur yang lebih tua.
Proses extended aeration adalah proses lumpur aktif yang dijalankan pada rasio F/M dan loading rate
yang rendah dengan waktu retensi hidraulik dan umur lumpur yang lebih panjang. Dampaknya, jumlah
makanan yang tersedia bagi mikroorganisme akan lebih sedikit dan mikroorganisme akan
berkompetisi memperoleh makanan, menghasilkan aliran keluaran yang sangat rendah kadar
organiknya. Proses minim makanan ini menyebabkan kandungan lumpur yang relatif rendah dan
relatif stabil. Untuk industri pengolahan ikan, konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling cocok
diterapkan.
High rate activated sludge biasanya digunakan untuk limbah yang relatif berat yang perlu diturunkan
terlebih dahulu kadar organiknya sebelum dapat diproses lebih lanjut. Proses ini dijalankan pada
loading rate yang tinggi dan waktu retensi yang singkat untuk menghilangkan komponen organik yang
mudah terurai, yang biasanya sekitar 60-70% dari total BOD. Proses ini biasanya diikuti dengan proses
biologis tambahan yang dijalankan pada loading rate yang lebih rendah.
Selain proses di atas, proses lumpur aktif dapat pula dimodifikasi menjadi sistem teraduk sempurna,
sistem reaktor aliran sumbat, hingga meningkatkan kadar oksigen terlarut seperti mengumpankan
oksigen murni ke dalam sistem (pure oxygen) atau mengkonfigurasi sistem menjadi deep shaft. Namun,
kedua konfigurasi tersebut tidak lazim di Indonesia. Setiap konfigurasi memiliki fungsinya masing-
masing. Pada Tabel 3.5., ditunjukkan konfigurasi sistem lumpur aktif yang dapat dilakukan serta
kegunaannya.
Tabel 3.5. Pemanfaatan variasi proses lumpur aktif
Reaktor kontak biologis putar, atau rotating biological contactor (RBC) merupakan adaptasi dari
proses pengolahan air limbah dengan biofilm. Media tempat mikroorganisme menempel berupa
piringan tipis yang dipasang berjajar – jajar dalam sebuah poros dari baja yang diputar dalam reaktor
khusus yang di dalamnya mengalir air limbah secara kontinu. Piringan biasanya terbuat dari plastik
dengan diameter 2 – 4 meter dengan ketebalan 0,8 milimeter, dan jarak antar piringan sekitar 30 – 40
milimeter. Set piringan tersebut diputar dalam keadaan 40 % diameter piringan tercelup dalam air
limbah dengan kecepatan putaran sekitar 1 – 2 rpm. Tebal biofilm yang terbentuk dapat mencapai 2
– 4 mm, tergantung beban limbah serta kecepatan putaran piringan. Satu modul alat dengan diameter
3,6 meter dan panjang poros 7,6 meter mempunyai luas permukaan mencapai 10.000 m2.
Pada proses RBC, pasir dalam air limbah dipisahkan pada bak pengendap pasir. Air limbah kemudian
masuk ke bak pengendap awal untuk mengurangi padatan tersuspensi dengan waktu tinggal 2 – 4 jam.
Selanjutnya, air limbah dari bak pengendap awal dialirkan ke reaktor di mana terjadi penguraian
senyawa organik oleh mikroorganisme yang menempel pada piringan. Waktu tinggal pada reaktor ini
sekitar 2,5 jam. Air limbah hasil olahan dari reaktor kemudian dialirkan ke bak pengendap akhir
dengan waktu pengendapan 1,5 – 3 jam. Lumpur dari bak pengendap akhir serta bak pengendap awal
ini dipompakan ke bak pemekat lumpur dan didiamkan selama sekitar 25 jam. Supernatan yang
terbentuk dari pemekat lumpur dialirkan ke bak pengendap awal untuk disirkulasi (skema pada
Gambar 3.10.).
Proses RBC didesain untuk mengurangi kadar BOD hingga mencapai 15 – 30 mg/L, TSS hingga
mencapai 20 – 40 mg/L, dan dapat mengurangi kadar ammonia hingga lebih dari 2 mg/L. Umpan air
limbah yang masuk tipikal yakni memiliki hydraulic loading rate 1,5 – 6 gallon per hari per ft2 media (
62 – 245 liter per hari per m2 media) dan organic loading sebesar 2 – 3,5 lbs BOD per hari per 1000
ft2. Proses RBC sendiri memiliki efisiensi penghilangan BOD sekitar 71% dan TSS sekitar 56%.
Penghilangan nitrogen juga dapat tercapai melalui penambahan aerasi dengan efisiensi dapat
mencapai 83% ammonia removal. Tipikal desain RBC untuk mengolah air limbah domestik dapat
dilihat pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7. Tipikal desain RBC
(Sumber: Pennsylvania Department of Environemntal Protection, Wastewater Treatment Plant Certification Training)
Pengolahan
Parameter Khusus penghilangan BOD Penghilangan BOD dan NH3-N
Beban hidraulik, gal/ft2/day 2,0 – 4,0 0,75 – 2,0
Organic loading, lb BOD/1000 ft2/day 2,0 – 3,5 1,5 – 3,0
NH3-N loading, lb/1000 ft2/day --- 0,15 – 3,0
Waktu retensi hidraulik, jam 0,7 – 1,5 1,5 – 4,0
BOD keluaran, mg/L 15 – 30 7 – 15
NH3-N keluaran, mg/L --- <2
Trickling filter
Pengolahan limbah dengan trickling filter adalah pengolahan dengan cara menyebarkan air limbah ke
dalam suatu unggun media yang biasanya terdiri dari kerikil, bahan keramik, plastik atau lainnya. Pada
permukaan medium akan tumbuh lapisan biofilm yang akan berkontak dengan air limbah dan
menguraikan senyawa organik pada air limbah tersebut. Pada prosesnya, air limbah pertama dialirkan
ke dalam bak pengendapan awal untuk mengendapkan padatan tersuspensi. Air limbah kemudian
dialirkan ke bak trickling filter melalui pipa berlubang. Saat terjadi kontak dengan media filter, air
limbah akan berkontak dengan mikroorganisme yang akan menguraikan senyawa organik pada
limbah. Air limbah dari bak filter selanjutnya akan keluar melalui pipa under-drain yang ada di dasar
bak dan dialirkan menuju bak pengendapan akhir. Lumpur pada bak pengendapan akhir ini akan
disirkulasikan ke bak pengendap awal (skema pada Gambar 3.11).
Masalah yang sering muncul dalam trickling filter adalah terjadinya pengelupasan lapisan biofilm.
Pengelupasan ini terjadi karena perubahan beban organik yang mendadak sehingga lapisan biofilm
bagian dalam kekurangan oksigen. Akibatnya, suasana biofilm menjadi asam sehingga daya adhesif
berkurang dan terjadilah pengelupasan. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menurunkan debit air
limbah atau dengan melakukan aerasi dalam bak ekualisasi untuk menaikkan kadar oksigen terlarut.
Proses trickling filter sendiri dapat menghilangkan sekitar 75-90% BOD dalam air limbah. Proses
nitrifikasi juga dapat terjadi dalam trickling filter, terutama yang beroperasi pada laju alir rendah dan
air limbah yang relatif tidak berat. Untuk air limbah yang cukup berat, proses trickling filter biasa
dijalankan pada laju alir lebih tinggi untuk mencapai pengurangan BOD sebesar 75-90%, namun proses
nitrifikasi hanya berlangsung parsial. Secara umum, trickling filter didesain untuk menangani limbah
dengan parameter seperti ditunjukkan pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8. Parameter desain trickling filter
(Sumber: Japan Sewage Work Association, 1984)
Parameter Desain
Beban hidraulik (m3/(m2.hari)) 0,5 – 4
Beban BOD (kg/(m3.hari)) 0,08 – 0,4
Jumlah mikroorganisme (kg/m3 media) 4,75 – 7,1
BOD ≤ 20
Nitrat dalam air Tinggi
Efisiensi 90 – 95 %
Reaktor Downflow Hanging Sponge
Contoh lainnya adalah pengolahan limbah dengan sistem downflow hanging sponge (DHS). Sistem
DHS ini menerapkan sistem biofilm di mana mikroorganisme akan menempel dalam suatu media yang
nantinya akan dialiri air limbah dan akan mengolah air limbah tersebut. Skema DHS dapat dilihat pada
Gambar 3.12.
Bahan pengisi
Bahan pengisi
Gambar 3.13. Skema proses aerasi kontak dan bahan pengisi filter yang dapat “bergetar”
Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan lagun aerasi adalah potensi bau yang disebabkan oleh
dekomposisi lumpur. Selain itu, algae bisa saja tumbuh di bagian atas lagun, berakibat meningkatnya
kandungan padatan tersuspensi. Potensi bau bisa diminimasi dengan menggunakan lagun
berkedalaman maksimal 2 meter, sedangkan pertumbuhan algae dapat dicegah dengan mengatur
waktu retensi hidraulik kurang dari 2 hari. Selain itu, perlu dilakukan pembersihan berkala untuk
menghilangkan padatan yang mengendap di dasar kolam, baik untuk lagun aerobik maupun lagun
fakultatif. Desain tipikal lagun pengolahan limbah ditunjukkan pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10. Desain tipikal lagun
Parameter Nilai
pH 6,6 – 7,6
Operasional dari digester anaerobik secara umum sangat mudah. Limbah yang akan diolah dialirkan
ke dalam digester. Di dalam digester kemudian terjadi penguraian komponen organik oleh mikroba
secara anaerobik. Selama proses penguraian tersebut, akan terbentuk gas metana yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Digester anaerobik dapat dibangun dan dioperasikan tanpa membutuhkan biaya yang besar. Selain
itu, operasional dari digester juga cenderung mudah untuk dilakukan dan memiliki tingkat penurunan
kadar organik yang besar. Biogas yang dihasilkan juga dapat digunakan sebagai sumber energi, dan
lumpur yang mengendap dalam digester memiliki potensi dimanfaatkan sebagai pupuk. Secara umum,
digester anaerobik memiliki parameter desain seperti ditunjukkan pada Tabel 3.11.
Tabel 3.11. Kriteria umum desain digester anaerobik
Parameter Desain
Temperatur operasi (oC) 25 – 35
Solid retention time, SRT (hari) 30 – 60
Volatile solid loading (kg VS/m3-hari) 0,5 – 1,6
Biogas dihasilkan (m3/m3 volume digester per hari) 0,3 – 0,5
Anaerobic Baffled Reactor (ABR)
Pada pengolahan menggunakan reaktor anaerobik bersekat (anaerobic baffled reactor, ABR), air
limbah diolah dengan cara dilewatkan ke dalam tangki yang memiliki banyak sekat (baffle), seperti
terlihat pada Gambar 3.17. Akibat keberadaan sekat tersebut, air limbah harus mengalir naik-turun di
dalam tangki. Akibatnya, waktu kontak antara air limbah dengan lumpur aktif meningkat sehingga
dekomposisi komponen organik dalam limbah berlangsung lebih intens.
Pengolahan dengan ABR mempunyai beberapa kelebihan sebagai berikut:
- Tahan terhadap fluktuasi kadar organik dan laju alir masuk
- Tidak membutuhkan listrik dalam operasionalnya
- Biaya konstruksi dan operasional cukup murah
- Umur alat panjang
Meski begitu, ABR juga memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
- Harus terus-menerus dimasukkan air
- Waktu start-up lama
- Desain cukup rumit dan membutuhkan orang yang ahli dalam pengerjaannya
Prinsip kerja dari ABR adalah mengalirkan air hingga melewati serangkaian baffle agar terjadi kontak
yang lebih sering antara air limbah dengan lumpur aktif sehingga proses pengolahan anaerobik
berlangsung lebih optimal. Dalam ABR dibutuhkan setidaknya 1 chamber untuk sedimentasi dan 2-5
chamber untuk aliran naik-turun air limbah. Secara umum, ABR memiliki parameter desain seperti
ditunjukkan pada Tabel 3.12.
Secara umum, reaktor UASB dapat dioperasikan dengan kecepatan upflow rata-rata sekitar 0,5 – 0,7
m/jam, dengan maximum flow <0,9 – 1,1 m/jam, dan temporary peak flow (laju alir maksimum paling
lama hanya 2 – 4 jam) sebesar <1,5 m/jam. Secara umum, reaktor UASB memiliki kriteria desain seperti
pada Tabel 3.13.
Tabel 3.13. Kriteria desain reaktor UASB
(Sumber: Chernicharo, 2007)
Parameter Nilai
Waktu retensi hidraulik (jam) 8 – 10
Organic loading rate (kgCOD/(m3.hari) 2,5 – 3,5
Sludge loading rate (kgCOD/(kgVS.hari))
- Saat start-up 0,05 – 0,15
- Maksimal 0,3 – 0,4
Upflow velocity (m/jam)
- Rata-rata 0,5 – 0,7
- Maksimal < 0,9 – 1,1
- Temporary peak flow (paling lama 2 – < 1,5
4 jam, saat beban puncak)
Produksi lumpur (kgTSS/kgCOD) 0,1 – 0,2
Dari beberapa contoh pengolahan tersebut, pada Tabel 3.14 ditunjukkan mengenai perbandingan
beberapa teknologi anaerobik yang mungkin digunakan dalam pengolahan limbah.
Skema
alat Granula
lumpur
Peralatan ・Tangki tunggal yang besar ・ Beberapa tangki ukuran ・Tangki tunggal yang tinggi
・Dapat menggunakan kecil ・ Perlu perlakuan awal
pengaduk maupun tidak ・ Perlu perlakuan awal pemisahan minyak dan
・Biaya murah untuk memisahkan padatan, lemak
minyak dan lemak ・Terdapat unggun di dalam
・Tidak perlu pengaduk tangki
・Biaya sedang ・Biaya tinggi
Laju ・Laju reaksi lambat ・Laju reaksi sedang ・Laju reaksi cepat
reaksi, ・Mampu mengatasi fluktuasi ・ Mampu mengatasi ・Rentan terhadap fluktuasi
dll. konsentrasi fluktuasi konsentrasi konsentrasi
(1) (2)
Gambar 3.19. Moda operasi MBR side stream (1) dan submerged (2)
Prinsip kerja dari MBR adalah biodegradasi komponen limbah diiringi dengan pemisahan antara air
terolah dengan mixed liquor. Pada moda side stream, mixed liquor yang terbentuk diresirkulasi ke
dalam bioreaktor. Keunggulan MBR adalah tidak diperlukannya proses sedimentasi sehingga proses
dapat dilakukan pada konsentrasi mixed liquor yang lebih tinggi karena tidak diperlukan pengurasan
lumpur reaktor. Meski begitu, MBR membutuhkan biaya yang lebih besar, baik untuk capital cost
maupun ongkos operasionalnya.
3.1.6. Produk samping pengolahan limbah
Proses pengolahan limbah adalah serangkaian reaksi kimia (dan biologis). Layaknya sebuah reaksi,
interaksi antar reaktan mau tidak mau akan menghasilkan produk, begitu pula pada proses
pengolahan limbah. Produk samping pengolahan limbah yang paling umum adalah lumpur. Lumpur
bisa terbentuk akibat hasil sedimentasi, lumpur aktif sisa proses biologis, produk hasil presipitasi
maupun filtrat dari proses penyaringan. Produk samping ini biasanya tidak dapat langsung dibuang ke
lingkungan. Di dalam hukum Indonesia, lumpur sisa pengolahan limbah dapat masuk ke dalam limbah
B3, sehingga perlu dicermati secara seksama. Disamping itu, terdapat peraturan yang mengatur
tentang baku mutu metana untuk udara ambien. Walaupun demikian, produk samping proses
pengolahan limbah lumpur tersebut memiliki potensi untuk diproses lebih lanjut menjadi produk yang
bernilai jual/guna.
Masalah utama dari lumpur sebagai limbah adalah pengelompokkannya yang dapat termasuk ke
dalam limbah B3 sehingga hanya dapat diproses oleh badan yang memiliki izin khusus untuk mengolah
limbah B3. Selain itu, lumpur memiliki kadar air yang cukup tinggi sehingga biaya pengangkutan
menjadi sangat besar. Karena itu, tahapan pertama dalam pengolahan lumpur adalah dehidrasi air.
Pada Gambar 3.20 ditunjukkan proses dasar dari pengolahan lumpur.
Proses dehidrasi lumpur membuka banyak kemungkinan pemanfaatan. Salah satu potensi yang paling
mudah dan besar adalah dijadikan kompos. Proses dekomposisi lumpur secara sederhana adalah
penguraian secara biologis komponen – komponen dalam lumpur menjadi unsur – unsur
sederhananya, seperti N, P dan K, yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Dalam reaksi dekomposisi,
karbohidrat dalam lumpur dioksidasi sehingga membentuk CO2 dan H2O. Selanjutnya, lemak dan
protein diuraikan menjadi ammonia, untuk kemudian dikonversi menjadi ammonium dan dinitrifikasi
menjadi nitrat. Selain proses oksidasi yang membutuhkan oksigen (aerob), dapat pula dilakukan
proses secara anaerob sehingga terbentuk gas metana. Untuk proses ini, tidak dapat dihasilkan
kompos melainkan gas metana yang dapat berguna sebagai sumber energi.
Selain lumpur, produk samping pengolahan limbah yang sering terabaikan namun berdampak cukup
besar adalah gas metana yang terutama dihasilkan oleh proses anaerobik. Gas metana ini sebenarnya
memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi sehingga dapat tercipta sistem mandiri
energi pada proses pengolahan limbah. Untuk memanfaatkan biogas yang dihasilkan, maka diperlukan
sedikitnya 3 peralatan tambahan, yakni tangki penampung biogas (biogas holder), alat untuk
mengolah biogas sehingga dapat digunakan sebagai pembangkit listrik (biogas treatment) dan
generator biogas sebagai pembangkit listrik tenaga biogas. Salah satu contoh fasilitas pengolahan
limbah co-benefit yang memanfaatkan biogas yang dihasilkan sebagai sumber energi terletak di
Jembrana, Bali (foto peralatan pemanfaatan biogas ditunjukkan pada Gambar 3.21). Fasilitas
pemanfaatan biogas ini membuka peluang efisiensi energi dan penurunan emisi GRK, yang mana
kedua aspek tersebut merupakan aspek yang menjadi perhatian dunia saat ini.
(a) Alat biogas treatment
2. Analisis kondisi
① Identifikasi sumber limbah yang menjadi masalah
② Analisis air limbah yang memerlukan pengolahan, dan air limbah yang dapat langsung
dibuang ke badan air
③ Analisis pengolahan yang dibutuhkan guna memenuhi baku mutu air limbah
6. Penetapan akhir
① Membuat diagram alur rinci (Process Flow Diagram, P&ID) yang menjadi dasar desain IPAL
② Konfirmasi kepada vendor terkait desain IPAL keseluruhan
③ Mengajukan perizinan kepada instansi/badan pemerintah terkait
Perencanaan tersebut dapat digunakan untuk perusahaan yang belum beroperasi dan sedang dalam
masa perencanaan pembangunan. Masalah yang ada di Indonesia saat ini adalah cukup banyak
industri, baik skala kecil maupun menengah-besar yang sudah beroperasi namun belum memiliki IPAL,
atau walaupun sudah ada, namun belum dapat memenuhi baku mutu yang ditentukan. Dalam
keadaan seperti ini, pemerintah akan tetap mewajibkan industri tersebut untuk mengelola air limbah
mereka semaksimal yang mungkin dilakukan sembari industri tersebut melakukan pembangunan
IPAL. Selain itu, industri tersebut juga akan dikenai kewajiban membayar dalam jumlah tertentu
kepada negara sebagai bentuk kompensasi atas kegagalan mereka dalam upaya menjaga lingkungan.
Hal tersebut diatur secara detail pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 tahun 2014.
Dalam kondisi tersebut, tahapan perencanaan yang disebutkan sebelumnya tersebut masih dapat
digunakan, namun diperlukan pula sebuah strategi manajemen limbah sementara hingga IPAL selesai
dibangun. Beberapa pendekatan yang biasa dilakukan adalah pengurangan volume produksi diikuti
dengan melakukan pengolahan limbah secara sederhana seperti penambahan koagulan ataupun
proses aerasi. Kondisi ini juga dapat dimanfaatkan untuk menguji teknologi yang akan digunakan pada
skala kecil dan pilot untuk memastikan kembali karakteristik air limbah proses serta memastikan IPAL
yang akan dibangun dapat berjalan sesuai desain dan dapat memenuhi baku mutu yang ditentukan.
3.2.2. Pertimbangan pemilihan proses pengolahan air limbah
Proses pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan memilih opsi teknologi yang tersedia. Pemilihan
opsi tersebut bergantung pada banyak aspek, seperti kondisi air limbah yang akan diolah, kehandalan
teknologi dan faktor biaya.
3.2.2.1. Faktor kondisi limbah
Jenis dan parameter limbah yang diolah akan sangat mempengaruhi proses apa yang perlu dilakukan.
Pada bagian sebelumnya, telah dijabarkan mengenai contoh-contoh proses yang dapat digunakan
dalam pengolahan limbah, beserta parameter – parameter operasi serta aspek – aspek yang perlu
diperhatikan. Gambar 3.23 berikut merupakan ringkasan pemilihan proses pengolahan air limbah.
Gambar 3.23. Contoh skema pemilihan teknologi pengolahan limbah
Selain itu, pemilihan teknologi juga dapat dilakukan dengan melihat performa dari tiap teknologi yang
mungkin dipilih, serta kemudahan operasionalnya. Pada Tabel 3.16 berikut, ditunjukkan performa dari
beberapa teknologi serta kebutuhan biaya dan kesulitan operasionalnya.
Tabel 3.16. Perbandingan beberapa teknologi pengolahan limbah
Catatan: C menyatakan biaya dalam USD dan Q menyatakan debit air limbah yang diolah dalam juta
galon per hari. Perlu diperhatikan bahwa data ini disusun pada tahun 1978 sehingga nominal tersebut
tidak bisa menjadi acuan untuk perhitungan saat ini.
Tabel 3.18. Perhitungan operasional pengolahan limbah
(Sumber: Gillot dkk., 1999)
Aspek operasional Rumus Simbol Satuan
Daya pompa P = Qwh/µ Q = debit m3/s
P = daya kW
w = berat spesifik N/m3
h = dynamic head m3/s
µ = efisiensi pompa -
Daya untuk aerasi Qudara=f(KLaf) Qudara = laju udara Nm3/jam
P = f(Qudara) P = daya kW
KLaf = koefisien transfer oksigen pada kondisi 1/jam
operasi
Proses pengolahan lumpur C = UC.TSS C = biaya Rupiah/tahun
Uc = unit cost Rupiah/ton TSS
TSS = sludge yang akan diolah Ton
Penggunaan bahan kimia C = UCCn C = biaya Rupiah/tahun
Uc = unit cost Rupiah/kg
Cn = konsumsi bahan kimia kg
Tabel 3.19. Kebutuhan energi beberapa unit proses pengolahan limbah
(Sumber: Cristovao dkk., 2015)
Unit proses Kebutuhan daya Waktu operasional Konsumsi energi
(kW) (jam) (kWh/hari)
Flotasi 2,7 2,0 5,4
Koagulasi/flokulasi (menggunakan FeCl3,
dosis 400 mg/L)
Rapid mixing 0,55 4,2 2,31
Slow mixing 0,37 5,0 1,85
Lumpur aktif
Mixture + aeration 0,55 10 5,5
Recirculation pump 1,4 2,0 2,8
Filtrasi 0,75 0,5 0,23
Reverse osmosis 2,2 15 33
Disinfeksi dengan UV 0,023 24 0,55
Contoh pendekatan harga lainnya dapat dilihat pada Gambar 3.24. Grafik tersebut menunjukkan
pendekatan harga konstruksi proses lumpur aktif dengan pendekatan limbah rumah tangga.
8000
Investment Cost (in thousand USD)
7000 y = 54,947x0,9173
R² = 0,8539
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
0 50 100 150 200
Flow (L/s)
3.2.3. Penurunan GRK berdasarkan konsumsi energi pada fasilitas pengolahan limbah
Telah disebutkan sebelumnya bahwa kontribusi industri terhadap penurunan kualitas lingkungan
salah satunya melalui GRK. GRK tidak hanya dihasilkan pada saat proses produksi, namun juga pada
saat proses pengolahan limbah. GRK yang dihasilkan bisa dalam bentuk karbon dioksida yang
merupakan gas hasil pembakaran (exhaust gas) dari pembangkit energi untuk mengoperasikan
fasilitas mengolah limbah maupun berupa gas metana yang terbentuk pada proses anaerobik, bila
ada. Produksi GRK ini menjadi salah satu pertimbangan dalam merencanakan fasilitas pengolahan
limbah.
Terdapat beberapa rumus yang dapat digunakan untuk menghitung perkiraan produksi GRK. Namun,
untuk mempermudah perhitungan, GRK yang dihasilkan oleh lumpur hasil pengolahan tidak masuk ke
dalam perhitungan.
Secara umum, beban emisi GRK dari fasilitas pengolahan limbah dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yakni yang berasal dari produksi energi untuk mengoperasikan fasilitas pengolahan limbah serta dari
gas metana yang dihasilkan dalam proses pengolahan limbah, seperti tertulis sebagai berikut:
BECO2 = BECO2, power+BECO2, WW
Keterangan :
BECO2 Jumlah emisi GRK dari fasilitas pengolahan limbah (ton CO2 ekivalen/tCO2e)
BECO2, power Jumlah emisi GRK dari energi yang digunakan dalam sistem pengolahan air limbah
yang telah ada (tCO2e)
BECO2, WW Jumlah emisi GRK (gas metan) yang dihasilkan oleh proses pengolahan limbah
(tCO2e)
Emisi GRK yang bersumber dari produksi energi untuk menjalankan fasilitas pengolahan limbah sendiri
dapat dihitung dengan rumus berikut:
BECO2, power = EG ∗OR ∗ EF
Keterangan :
EG Jumlah pemakaian energi dalam setahun (MWh/tahun)
OR Rasio energi yang digunakan untuk menjalankan fasilitas pengolahan limbah terhadap
pemakaian energi total
EF Grid emission factor, emisi CO2 per satuan listrik yang dihasilkan dalam sistem pembangkit
energi (tCO2/MWh)
Secara sederhana, emisi GRK dari energi sangat bergantung pada seberapa besar listrik yang
dibutuhkan untuk menjalankan fasilitas pengolahan limbah tersebut. Semakin besar energi yang
dibutuhkan, maka semakin besar pula produksi GRK.
Untuk menghitung emisi GRK yang dihasilkan selama proses pengolahan limbah, dapat digunakan
rumus berikut:
Menggunakan rumus tersebut, maka dapat dihitung perkiraan produksi GRK pada sistem pengolahan
limbah yang ada. Perhitungan pengurangan emisi GRK juga dapat dilakukan dengan membandingkan
antara hasil perhitungan menggunakan fasilitasi pengolahan limbah yang tersedia saat ini dengan
rencana fasilitas pengolahan limbah yang baru. Bila pada proses pengolahan anaerobik, metana yang
dihasilkan digunakan untuk membangkitkan listrik, maka perhitungan dilakukan dengan
mempertimbangkan efisiensi listrik tersebut. Bila metana digunakan untuk membangkitkan listrik,
maka akan terlihat penurunan emisi GRK yang semakin besar.
3.2.4. Pembiayaan untuk pengolahan limbah
Dalam kegiatan pengelolaan limbah, seringkali biaya menjadi halangan terbesar. Sudut pandang
tersebut dapat dimengerti mengingat pengelolaan limbah tampak seperti tindakan sukarela yang
tidak memberikan dampak ekonomi kepada perusahaan (secara langsung). Meski dapat dimengerti,
namun bukan berarti boleh tidak dilakukan. Karena itu, diperlukan peran dari berbagai pihak untuk
mendukung kegiatan pengelolaan lingkungan. Selain peran dari perusahaan untuk ikut meningkatkan
kesadaran akan lingkungan, pemerintah juga berperan untuk mempermudah keinginan perusahaan
untuk mengolah limbah miliknya, terutama dari segi biaya. Kontribusi pemerintah terkait pendanaan
bisa dalam bentuk peraturan-peraturan maupun kerjasama dengan negara maju untuk menunjang
pengelolaan lingkungan.
3.2.4.1. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH)
Pada bulan November tahun 2017, Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan baru dengan
tujuan untuk mendorong seluruh instrumen masyarakat ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup
dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen
Ekonomi Lingkungan Hidup. Peraturan ini merupakan turunan dari UU nomor 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Secara sederhana, peraturan ini memberikan
seperangkat kebijakan ekonomi sebagai insentif bagi pihak yang melakukan upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup sendiri mencakup 3 aspek,
yakni:
- Perencanaan pembangungan dan kegiatan ekonomi
- Pendanaan Lingkungan Hidup
- Insentif dan/atau disinsentif
Perencanaan pembangungan dan kegiatan ekonomi
Poin ini dikhususkan untuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memasukkan aspek
lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangungan serta kegiatan
ekonominya. Bidang yang dimaksud dalam pembangungan dan kegiatan ekonomi adalah mengenai
pengelolaan sumber daya alam, penataan ruang dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Contoh-
contoh kegiatan yang masuk ke dalam lingkup IELH untuk perencanaan pembangungan dan kegiatan
ekonomi adalah sebagai berikut:
- Perlindungan tata air - Pemulihan lingkungan hidup
- Perlindungan keanekaragaman hayati - Konservasi
- Penyerapan dan penyimpanan karbon - Pengayaan keanekaragaman hayati
- Pelestarian keindahan alam - Peningkatan kapasitas masyarakat dalam
- Pengembangan perekonomian berbasis pelestarian fungsi lingkungan hidup
keberlanjutan - Pengembangan energi terbarukan
- Pencegahan pencemaran atau kerusakan - Pemantauan terhadap pencemaran atau
lingkungan hidup kerusakan lingkungan hidup
- Pengelolaan limbah dan emisi - Pemeliharaan lingkungan hidup
- Pemulihan lingkungan hidup pasca-operasi - Perkiraan penanganan resiko lingkungan
hidup
Kompensasi untuk kegiatan-kegiatan tersebut dapat diberikan dalam bentuk uang ataupun barang
lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Nilai kompensasi yang diberikan bervariasi, bergantung pada
biaya upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup, biaya pemberdayaan masyarakat dan biaya
pelaksanaan kerjasama.
Pendanaan lingkungan hidup
Dana jaminan pendanaan lingkungan hidup dimaksudkan untuk penanggulangan keadaan darurat
lingkungan hidup ataupun pemulihan lingkungan hidup pasca-operasi yang disebabkan oleh suatu
usaha/kegiatan. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam pendanaan lingkungan hidup adalah sebagai
berikut:
- Pembersihan unsur pencemar/perusak lingkungan hidup
- Remediasi
- Rehabilitasi
- Restorasi
Besarnya dana yang diberikan untuk kegiatan tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan yang
berbeda, namun ada kemungkinan jumlah yang diberikan lebih sedikit dari yang dibutuhkan. Bila
terjadi hal tersebut, maka kekurangan dana akan menjadi tanggung jawab dari usaha/kegiatan
tersebut. Hal lain yang perlu diingat adalah, keberadaan pendanaan lingkungan hidup ini tidak serta-
merta menghilangkan kewajiban usaha/kegiatan tersebut untuk tetap melakukan pencegahan
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelalaian dalam memenuhi kewajiban tersebut akan
berakibat denda ataupun hukuman lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Insentif dan disinsentif
Insentif dan disinsentif ini maksudnya adalah pemberian keringangan-keringanan untuk kegiatan yang
berdampak positif pada sumber daya alam dan lingkungan hidup dan pemberatan-pemberatan untuk
kegiatan yang berdampak negatif. Keringanan dan pemberatan ini tidak hanya diberikan dalam bentuk
dana, namun bisa juga dalam bentuk penambahan/pengurangan kewajiban ataupun administratif.
Pada akhirnya, IELH ini merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap lingkungan hidup dan
sumber daya alam dan dapat menjadi pemicu masyarakat untuk memiliki kesadaran lebih terhadap
lingkungan.
3.2.4.2. Kerja sama pemerintah Indonesia dengan negara lain
Selain kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sendiri, pendanaan untuk
penjagaan lingkungan hidup juga dapat diperoleh dalam bentuk hibah atau bantuan dari pihak lain,
contohnya dari negara-negara maju di dunia. Negara-negara maju memiliki kesepakatan tidak tertulis
untuk turut serta menunjang pembangungan di negara-negara miskin dan berkembang, termasuk juga
dalam aspek pengelolaan lingkungan. Pemerintah dari negara-negara maju banyak yang memiliki
program untuk mendorong sektor-sektor swasta di negaranya untuk berpartisipasi dalam penjagaan
lingkungan di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, pemerintah Jepang memiliki beberapa
program terkait hal tersebut, contohnya adalah JCM dan JICA.
Joint Credit Mechanism (JCM)
JCM adalah program dari pemerintah Jepang untuk mendorong perusahaan-perusahaan swasta di
negaranya untuk menjalankan program Low Carbon Development di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, dengan skema kegiatan dapat dilihat pada Gambar 3.25. Di Indonesia sendiri,
program JCM sudah berjalan sejak 2013.
Sumber: jcm.ekon.go.id
Untuk mengajukan permohonan bantuan kepada JCM, pihak di Indonesia yang hendak melakukan
kegiatan perlu membentuk joint committee dengan perusahaan yang ada di Jepang. Joint committee
ini nantinya yang akan menjalankan kegiatan di negara target. Skema hubungan antara Jepang, negara
target dan joint committee secara ringkas ditunjukkan pada Gambar 3.26.
Parameter Muatan
Penjelasan ringkas alat Penjelasan singkat proses pengolahan, prinsip proses, penjelasan istilah-
atau proses istilah
Kumpulan flowsheet Layout penempatan alat-alat, flowsheet detail setiap alat
Standar pengoperasian • Cara operasional kegiatan rutin (start-up, operasi normal, stop)
• Penanganan saat terjadi kegagalan operasional (penyebab
kegagalan, cara menanggulangi)
• Operasional dalam keadaan abnormal (kondisi abnormal yang
terjadi, operasional yang dilakukan)
• Perawatan (waktu inspeksi, komponen yang diinspeksi, cara
menginspeksi, tata cara memulai dan menghentikan operasi untuk
perawatan)
Standar monitoring dan Komponen yang dimonitor dan diukur, metode pengukuran dan analisis
pengukuran
Standar keselamatan • Penempatan alat pelindung diri dan cara pakai
kerja • Penempatan APAR dan cara pakai
Tabel 4.2. Contoh parameter yang diukur dan dikendalikan pada unit pengolahan limbah
Pengolahan biologi aerob Kualitas air (pH, SS, BOD, kadar minyak, suhu air dll), debit air,
DO, jumlah lumpur
Sedimentasi dan pengaturan Volume air, kadar padatan tersuspensi dan terlarut
Outlet Debit air limbah, parameter standar air limbah sesuai baku mutu
Aspek lainnya yang perlu diatur dalam SOP adalah bagaimana menanggulangi masalah pengolahan air
limbah saat terjadi keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud adalah suatu kondisi dimana
terjadi kecelakaan kerja ataupun kegagalan operasional alat, baik akibat kesalahan manusia maupun
bencana alam yang menyebabkan unit pengolahan limbah tidak dapat beroperasi sebagaimana
mestinya. Pada Tabel 4.3 ditunjukkan beberapa contoh parameter yang perlu diatur dalam
menanggulangi dan mencegah terjadinya kegagalan tersebut.
Tugas kerja & standar Standar tindakan secara kongkrit dituliskan di panduan prosedur,
tindakan instruksi dari pemimpin didahulukan dari panduan prosedur,
khususnya tindakan tepat sesuai kondisi saat darurat
Pencegahan pencemaran Pekerjaan kongkrit terkait pencegahan pencemaran seiring kecelakaan
oleh bencana alam, pencegahan meluasnya pencemaran dituliskan di
Panduan prosedur dan SOP
Pencegahan kecelakaan Pekerjaan secara kongkrit terkait pencegahan kecelakaan sekunder
sekunder oleh bencana alam oleh bencana alam di masing-masing departemen dituliskan di
panduan prosedur
Evakuasi Tindakan dan langkah – langkah evakuasi yang perlu dilakukan, serta
pihak – pihak yang bertanggung jawab untuk tindakan evakuasi
a b c
Selain alat ukur parameter standard tersebut, terdapat pula beberapa test kit untuk mengukur
parameter lain yang lebih spesifik. Salah satu contohnya adalah COD pack test dari Kyoritsu Lab di
Jepang (Gambar 5.2). Namun, test kit ini kurang cocok untuk Indonesia karena test kit ini berbasis
mangan, sedangkan parameter COD yang digunakan di Indonesia berbasis krom. Selain COD pack test,
Kyoritsu juga memiliki test kit untuk parameter-parameter lain seperti fosfat, ammonia, hingga kadar
logam-logam spesifik.
Contoh lainnya adalah water test kit dari HACH (Gambar 5.3), perusahaan asal Amerika Serikat yang
memproduksi berbagai jenis instrumen analisis untuk air. Kit tersebut dapat digunakan untuk
mengukur kadar ammonia, klorin, pH, nitrat, DO, fosfor dan temperatur. Dalam kit tersebut terdapat
berbagai reagen yang masing-masing digunakan untuk mengukur parameter tertentu. Namun, harga
kit tersebut cukup mahal dan operator perlu memiliki keahlian dalam analisis untuk dapat membaca
hasil analisis dengan baik.
Dari beberapa contoh di atas, walaupun ada yang masih belum bisa digunakan secara umum, namun
setidaknya ada opsi untuk melakukan analisis tanpa harus membawa sampel ke laboratorium.
Keberadaan alat tersebut berguna bagi industri yang membutuhkan data dalam waktu singkat
terutama untuk pengambilan keputusan dalam proses pengolahan limbah.
• Penyajian hasil pemantauan
Hasil analisis laboratorium dari sampel air limbah perlu ditampilkan dalam sebuah laporan. Selain
dituliskan dalam laporan, hasil analisa dari laboratorium juga biasanya ditambahkan sebagai lampiran.
Selain hasil analisis laboratorium, data catatan di lapangan perlu juga untuk disampaikan dalam
laporan. Selain itu, perlu diperhatikan kembali cara perhitungan dan satuan yang digunakan. Lebih
lengkap tentang laporan pemantauan akan dibahas dalam bagian 5.2.
5.2. Pelaporan Hasil Pemantauan
Sebelum dapat beroperasi, setiap perusahaan wajib memenuhi syarat lingkungan yang ditetapkan
oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam bentuk terbitnya Izin Lingkungan. Izin
Lingkungan adalah izin yang wajib dimiliki oleh setiap orang yang memiliki usaha dan/atau kegiatan
yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan
diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 8 tahun 2013. Izin Lingkungan ini harus ada
sebelum diterbitkannya izin usaha, dan memiliki masa berlaku seperti izin usaha. Pemilik izin
lingkungan memiliki kewajiban untuk memenuhi persyaratan, standar dan baku mutu lingkungan
sesuai dengan undang-undang yang berlaku serta menyampaikan laporan pelaksanaan persyaratan
dan kewajiban yang dimuat dalam izin lingkungan selama enam (6) bulan sekali.
Salah satu aspek dalam laporan pelaksanaan persyaratan dan kewajiban dalam izin lingkungan adalah
hasil pemantauan karakteristik limbah. Pada dasarnya, pelaporan ini merupakan wujud tanggung
jawab pemilik usaha untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup, serta memenuhi hak setiap orang untuk mendapatkan informasi
lingkungan hidup. Dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 45 tahun 2005 disebutkan
bahwa laporan tersebut harus dituliskan sesuai dengan sistematika yang ada, yakni dimulai dengan
identitas perusahaan, lokasi usaha/kegiatan, deskripsi kegiatan, dan terakhir perkembangan
lingkungan sekitar. Dalam bagian perkembangan lingkungan sekitar, perlu dimuat catatan debit air
limbah harian, bahan baku dan produksi harian, kadar parameter baku mutu air limbah, dan
penghitungan beban air limbah dengan format pada Lampiran XLVIII PerMen LH no 5 tahun 2014
seperti pada Tabel 5.3.
Tabel 5.2. Metode analisis dan acuan dalam penentuan karakteristik air limbah
Parameter Satuan Prinsip Acuan Parameter Satuan Prinsip analisa Acuan
analisa
Temperatur oC Pemuaian SNI 06- Tembaga Mg/L Spektrofotomet SNI
6989.23- (Cu) er 6989.6:200
2005 9
Turbiditas NTU Nephelomet SNI 06- Besi (Fe) Mg/L Spektrofotomet SNI 06-
(nephelomet ri 6989.23- er 6989.4-
ric turbidity 2005 2004
unit)
TDS Mg/L Gravimetri SNI 06- Timbal (Pb) Mg/L Spektrofotomet SNI 06-
6989.27- er 6989.8-
2005 2004
TSS Mg/L Filtrasi dan SNI 06- Mangan Mg/L Spektrofotomet SNI 06-
gravimetri 6989.3:2004 (Mn) er 6989.5-
2004
Warna Unit Pt/Co Analisa SNI 06- Raksa (Hg) Mg/L Spektrofotomet SNI
visual visual 6989.24- er 6989.78:20
2005 11
BOD5 Mg/L Kebutuhan SNI Nikel (Ni) Mg/L Spektrofotomet SNI
oksigen 6989.72:200 er 6989.18:20
9 09
COD Mg/L Titrimetri SNI Seng (Zn) Mg/L Spektrofotomet SNI 06-
6989.73:200 er 6989.7-
9 2004
DO Mg/L Titrimetri SNI 06-6989 Klorida (Cl-) Mg/L Argentometri SNI 06-
14-2004 6989.19-
2004
pH Potensiome SNI 06- Fluorida (F-) Mg/L Spektrofotomet SNI 06-
tri 6989.11- er 6989.29-
2004 2005
Konduktivit μmhos/cm Daya hantar SNI 06- Nitrat (NO3- Mg/L Spektrofotomet SNI
as (μS/cm) listrik 6989.1- N) er dengan 6989.79:20
2004 reduksi 11
cadmium
NH3-N Mg/L Spektrofoto SNI 06- Nitrit (NO2- Mg/L Spektrofotomet SNI 06-
meter 6989.30- N) ri dengan 6989.9-
2005 reduksi 2004
cadmium
Arsen (As) Mg/L Spektrofoto SNI 13- Sulfat (SO42- Mg/L Turbidimetri SNI 06-
meter 6590-2001 ) 6989.20-
2004
Selenium Mg/L Spektrofoto SNI 06- Pospat Mg/L Spektrofotomet SNI 06-
(Se) meter 2475-1991 (PO42-) ri 6989.31-
2005
Kobalt (Co) Mg/L Spektrofoto SNI Coliform Mg/L Produksi gas SNI 01-
meter 6989.68:200 dan E. Coli oleh mikroba 2332.1-
9 2006
Barium (Ba) Mg/L Spektrofoto SNI 06- Minyak dan Mg/L Gravimetri SNI
meter 6989.39- lemak (Oil 6989.10:20
2005 and grease) 11
Cadmium Mg/L Spektrofoto SNI 06- Crom Mg/L Spektrofotomet SNI
(Cd) meter 6989.37- heksavalen er 6989.71:20
2005 (Cr IV) 09
Laporan tersebut dilakukan minimal 6 bulan sekali dan disampaikan dalam bentuk laporan (hardcopy)
disertai dengan softcopy dari laporan tersebut dalam CD dan dikirimkan bersamaan dengan laporan.
Laporan ini wajib disampaikan kepada penerbit Izin Lingkungan dengan tembusan kepada Menteri
dan Gubernur. Selain disampaikan kepada pemerintah, laporan ini juga sangat dianjurkan untuk
disampaikan kepada publik, baik dalam bentuk buku laporan ataupun softcopy yang dapat diunduh
dari situs perusahaan. Hal ini dianjurkan agar masyarakat juga dapat menjadi agen pemantau
perkembangan lingkungan, mengingat lingkungan adalah milik bersama dan menjadi kewajiban
bersama pula untuk menjaganya.
Tabel 5.3. Contoh format laporan hasil pemantauan karakteristik air limbah
FORMAT
HASIL PEMANTAUAN AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN
...........................................
Nama industri :
Kode sampel :
Lokasi pengambilan : Titik koordinat pengambilan contoh uji
contoh uji
Jam, tanggal, tahun :
pengambilan contoh uji
Petugas pengambilan :
contoh uji
Debit air limbah saat : ................ m3/detik
pengambilan contoh uji
Tanggal, tahun :
penerimaan contoh uji
Tanggal, tahun analisa :
contoh uji
Lama waktu produksi : ................. jam/hari
Jumlah bahan baku saat : ................. ton/hari (satuan disesuaikan atau dikonversi)
pengambilan contoh uji
(satuan bahan baku/hari)
Jumlah produksi saat : ................. ton/hari (satuan disesuaikan atau dikonversi)
pengambilan contoh uji
(satuan produksi/hari)