PENDAHULUAN
1
Meningkatnya jumlah fasilitas pelayanan kesehatan mengakibatkan
potensi pencemaran lingkungan semakin tinggi, karena kegiatan
pembuangan limbah khususnya air limbah akan memberikan konstribusi
terhadap penurunan tingkat kesehatan manusia.
Untuk menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman dan
berkelanjutan maka harus dilaksanakan upaya-upaya pengendalian
pencemaran lingkungan pada fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan dasar
tersebut, maka fasilitas pelayanan kesehatan diwajibkan menyediakan
instalasi pengolahan air limbah atau limbah cair (IPAL).
Air limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan yang lain merupakan salah satu sumber pencemaran
air yang sangat potensial karena mengandung senyawa organik yang
cukup tinggi, senyawa kimia lain yang berbahaya serta mikroorganisme
patogen yang berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu air limbah
tersebut harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan masalah bagi
lingkungan maupun kesehatan masyarakat.
Potensi dampak negatif air limbah rumah sakit terhadap lingkungan
maupun kesehatan masyarakat sangat besar, sehingga di dalam
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1204/Menkes/SK/X2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, diatur bahwa setiap
fasilitas pelayanan kesehatan diwajibkan memiliki Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL). Sedangkan baku mutu air limbah mengacu pada Keputusan
Menteri Negara Hidup No.58 Tahun1995 tanggal 21 Desember 1995
tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit.
2
Rumah sakit adalah merupakan fasilitas publik yang tidak mungkin
dapat dipisahkan dengan masyarakat, dan keberadaannya sangat
diharapkan oleh masyarakat, karena sebagai manusia atau masyarakat
tentu menginginkan agar keseahatan tetap terjaga. Oleh karena itu rumah
sakit mempunyai kaitan yang erat dengan keberadaan kumpulan manusia
atau masyarakat tersebut. Di masa lalu, suatu rumah sakit dibangun di
suatu wilayah yang jaraknya cukup jauh dari dareah pemukiman, dan
biasanya dekat dengan sungai dengan pertimbangan agar pengelolaan
limbah baik padat maupun cair tidak berdampak negatip terhadap
penduduk, atau bila ada dampak negatip maka dampak tersebut dapat
diperkecil.
Sejalan dengan perkembangan penduduk yang sangat pesat, lokasi
rumah sakit yang semula jauh dari daerah pemukiman penduduk tersebut
sekarang umumnya telah berubah dan berada di tengah pemukiman
penduduk yang cukup padat, sehingga masalah pencemaran akibat limbah
rumah sakit baik limbah padat atau limbah cair sering menjadi pencetus
konflik antara pihak rumah sakit dengan masyarakat yang ada di
sekitarnya.
Semakin mahalnya harga lahan, serta besarnya tuntutan
masyarakat akan kebutuhan peningkatan sarana penunjang pelayanan
kesehatan yang baik, dan di lain pihak peraturan pemerintah tentang
pelestarian lingkungan juga semakin ketat, maka pihak rumah sakit
umumnya menempatkan sarana pengolah limbah pada skala prioritas yang
rendah. Akibatnya, sering terjadi benturan perbedaan kepentingan antar
pihak rumah sakit dengan masyarakat dan pemerintah. Dengan adanya
kebijakan legal yang mengharuskan pihak rumah sakit menyediakan
3
fasilitas pengolahan limbah yang dihasilkan, mengakibatkan biaya investasi
maupun biaya operasional menjadi lebih besar.
Dengan pertimbangan alasan tersebut, maka berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor
KEP-58/MENLH/12/1995, tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan
rumah sakit maka setiap rumah sakit diwajibkan menyediakan sarana
pengelolaan limbah cair maupun limbah padat agar seluruh limbah yang
akan dibuang ke saluran umum harus memenuhi baku mutu limbah yang
telah ditetapkan.
Air limbah yang berasal dari limbah rumah sakit merupakan salah
satu sumber pencemaran air yang sangat potensial. Hal ini disebabkan
karena air limbah rumah sakit mengandung senyawa organik yang cukup
tinggi juga kemungkinan mengandung senyawa-senyawa kimia lain serta
mikro-organisme patogen yang dapat menyebabkan penyakit terhadap
masyarakat di sekitarnya. Oleh karena potensi dampak air limbah rumah
sakit terhadap kesehatan masyarakat sangat besar, maka setiap rumah
sakit diharuskan mengolah air limbahnya sampai memenuhi persyaratan
standar yang berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut maka diperlukan
teknologi yang tepat untuk mengolah air limbah tersebut. Salah satu
teknologi pengolahan air limbah yang telah digunakan adalah IPAL dengan
sistem anaerob aerob biofilter.
Air limbah rumah sakit adalah seluruh buangan cair yang berasal
dari seluruh hasil proses kegiatan rumah sakit yang meliputi: limbah
domestik cair yakni buangan kamar mandi, dapur, air bekas pencucian
4
pakaian; limbah cair klinis yakni air limbah yang berasal dari kegiatan klinis
rumah sakit misalnya air bekas cucian luka, cucian darah dan lainnya; air
limbah laboratorium; dan lainya. Air limbah rumah sakit yang berasal dari
buangan domestik maupun buangan limbah cair klinis umumnya
mengadung senyawa pulutan organik yang cukup tinggi, dan dapat diolah
dengan proses pengolahan secara biologis, sedangkan untuk air limbah
rumah sakit yang berasal dari laboratorium biasanya banyak mengandung
logam berat yang mana bila air limbah tersebut dialirkan ke dalam proses
pengolahan secara biologis dapat menggagu proses pengolahan, oleh
karena itu air limbah yang berasal dari laboratorium dipisahkan dan
ditampung, kemudian diolah secara kimia-fisika, Selanjutnya air olahannya
dialirkan bersama-sama dengan air limbah yang lain, dan diolah dengan
proses pengolahan secara biologis.
Hasil analisa kimia terhadap berberapa contoh air limbah rumah
sakit yang ada di DKI Jakarta menunjukkan bahwa konsentrasi senywa
pencemar sangat bervariasi misalnya, BOD 31,52 - 675,33 mg/l, ammoniak
10,79 - 158,73 mg/l, deterjen (MBAS) 1,66 - 9,79 mg/l. Hal ini mungkin
disebabkan karena sumber air limbah juga bervarisi sehingga faktor waktu
dan metoda pengambilan contoh sangat mempengaruhi besarnya
konsentarsi.
Secara lengkap karakteristik air limbah rumah sakit dapat dilihat
pada Tabel 1.1. Dari tabel tesebut terlihat bahwa air limbah rumah sakit
jika tidak diolah sangat berpotensi untuk mencemari lingkungan. Selain
pencemaran secara kimiawi, air limbah rumah sakit juga berpotensi
memcemari lingkungan secara bakteriologis.
5
Tabel 1.1 : Karakteristik Air Limbah Rumah Rumah Sakit di Daerah Jakarta.
6
1.2 dan wajib memenuhi baku mutu limbah cair sebagaimana
tersebut dalam Tabel 3 selambat-lambatnya 1 januari 2000.
BOD5 75
COD 100
TSS 100
pH 6-9
7
Tabel 1.3 : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP – 58/MENLH/12/1995
Tentang Baku Mutu Limbah Cair Kegiatan Rumah Sakit
Tanggal 12 Desenber 1995.
8
1.3 Pengelolaan Air Limbah Rumah Sakit
Limbah cair yang dikeluarkan oleh rumah sakit bersumber dari hasil
berbagai macam kegiatan antara lain kegiatan dapur, laundry, rawat inap,
ruang operasi, kantor, laboratorium, air limpasan tangki septik, air hujan
dan lainnya. Pada dasarnya pengelolaan limbah cair rumah sakit
disesuaikan dengan sumber serta karakteristik limbahnya.
Limbah cair yang berasal dari dapur, laundry, kantor, ruang rawat
inap, ruang operasi, air limpasan tangki septik umumnya mengandung
polutan senyawa organik yang cukup tinggi sehingga proses pengolahnnya
dapat dilakukan dengan proses biologis. Limbah cair rumah sakit yang
berasal dari laboratorium biasanya banyak mengandung logam berat,
sehingga apabila air limbah tersebut dialirkan ke dalam proses pengolahan
secara biologis dapat menggagu proses pengolahannya. Oleh karena itu
untuk pengelolaan limbah cair rumah sakit yang berasal dari laboratorium
dilakukan dengan cara dipisahkan dan ditampung, kemudian diolah secara
kimia-fisika, selanjutnya air olahannya dialirkan bersama-sama dengan air
limbah yang lain, dan selanjutnya diolah dengan proses pengolahan secara
biologis. Pengelolaan limbah cair yang berasal dari kegiatan laboratorium
dapat juga dilakukan dengan cara ditampung di dalam tangki
penampungan dan selanjutnya dikirim ke tempat pengolahan limbah B3
yang ada.
Limbah cair rumah sakit yang berupa pelarut jika dibuang bersama-
sama dengan limbah cair dapat menggangu proses biologis di dalam
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), oleh karena itu pengelaolaannya
dapat dilakukan dengan cara pembakaran pada suhu tinggi menggunakan
9
incinerator atau dapat dilakukan dengan cara dikirim ke tempat
pengolahan limbah B3.
Limbah cair rumah sakit dapat juga berasal dari air hujan, dan
umumnya dapat dibuang langsung ke saluran umum atau dapat diresapkan
melalui sumur resapan sedangkan air limpasannya dibuang kesaluran
umum. Di dalam pengelolaan limbah cair rumah sakit , sebaiknya saluran
air hujan dan saluran limbah dipisahkan agar proses pengolahan air limbah
dapat berjalan secara efektif. Diagram proses pengelolaan limbah cair
rumah sakit secara umum dapat dilihat seperti pada Gambar 1.1.
10
Gambar 1.1 : Diagram Proses Pengelolaan Air Limbah Rumah Sakit.
11
BAB 2
TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH
RUMAH SAKIT
12
lumpur aktif standar/konvesional (standard activated sludge), step
aeration, contact stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam
oksidasi sistem parit) dan lainya.
Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan
limbah dimana mikro-organisme yang digunakan dibiakkan pada suatu
media sehingga mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media.
Beberapa contoh teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara
lain : trickling filter atau biofilter, rotating biological contactor (RBC),
contact aeration/oxidation (aerasi kontak) dan lainnnya.
Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau
kolam adalah dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas
dengan waktu tinggal yang cukup lama sehingga dengan aktifitas mikro-
organisme yang tumbuh secara alami, senyawa polutan yang ada dalam air
akan terurai. Untuk mempercepat proses penguraian senyawa polutan
atau memperpendek waktu tinggal dapat juga dilakukam proses aerasi.
Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan cara ini adalah
kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization pond). Proses dengan
sistem lagoon tersebut kadang-kadang dikategorikan sebagai proses
biologis dengan biakan tersuspensi.
Secara garis besar klasifikasi proses pengolahan air limbah secara
aerobik dapat dilihat seperti pada Gambar 2.1, sedangkan karakteristik
pengolahan, parameter perencanaan serta efisiensi pengolahan untuk tiap
tiap jenis proses dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2.
13
Gambar 2.1 : Klasifikasi Proses Pengolahan Air Limbah
Secara Biologis Aerobik.
14
Berapa teknologi proses pengolahan air limbah rumah sakit yang
sering digunakan yakni antara lain: proses lumpur aktif (activated sludge
process), reaktor putar biologis (rotating biological contactor, RBC), proses
aerasi kontak (contact aeration process), dan proses dengan biofilter “Up
Flow”, biofilter anaerob-aerob dan lainnya.
2.2 Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Dengan Proses Lumpur Aktif
15
Tabel 2.1 : Karakteristik Operasional Proses Pengolahan Air Limbah dengan Proses Biologis.
EFISIENSI
JENIS PROSES PENGHILANGAN KETERANGAN
BOD (%)
Lumpur Aktif Standar 85 - 95 -
Step Aeration 85 - 95 Digunakan untuk beban pengolahan yang besar.
Modified Aeration 60 - 75 Untuk pengolahan dengan kualitas air olahan
sedang.
PPROSES Contact Stabilization 80 - 90 Digunakan untuk pengolahan paket. Untuk
BIOMASA mereduksi ekses lumpur.
TERSUSPENSI
High Rate Aeration 75 - 90 Untuk pengolahan paket, bak aerasi dan bak
pengendap akhir merupakan satu paket.
Memerlukan area kecil.
Pure Oxygen Process 85 - 95 Untuk pengolahan air limbah yang sulit diuraikan
secara bilogis. Luas area yang dibutuhkan kecil.
Oxidation Ditch 75 - 95 Konstruksinya mudah, tetapi memerlukan area
yang luas.
16
Lanjutan :
17
Tabel 2.2 : Parameter Perencanaan Proses Pengolahan Air Limbah dengan Proses Biologis Aerobik.
Step Aeration 0,2 - 0,4 0,4 - 1,4 1000 - 1500 3-7 4-6 85 - 95
Pproses Modified 1,5 - 3,0 0,6 - 2,4 400 - 800 2 - 2,5 1,5 - 30 60 - 75
Aeration
Biomasa Contact 0,2 0,8 - 1,4 2000 - 8000 > 12 >5 80 - 90
Stabilization
Tersuspensi High Rate 0,2 - 0,4 0,6 - 2,4 3000 - 6000 5-8 2-3 75 - 90
Aeration
Pure Oxygen 0,3 - 0,4 1,0 - 2,0 3000 - 4000 - 1-3 85 - 95
Process
Oxidation 0,03 - 0,04 0,1 - 0,2 3000 - 4000 - 24 -48 75 - 95
Ditch
Extended 0,03 - 0,05 0,15 - 0,25 3000 - 6000 > 15 16 - 24 75 - 95
Aeration
18
Proses Trickling Filter - 0,08 - 0,4 - - - 80 - 95
3 3 3
Catatan : Q : Debit Air Limbah (M /day) Qr : Return Sludge (M /day) QA : Laju Alir Suplai Udara (M /day)
Sumber: Gesuidou Shissetsu Sekkei Shisin to Kaisetsu “, Nihon Gesuidou Kyoukai, 1984.
19
Bak ekualisasi atau bak penampung air limbah berfungsi sebagai
bak pengatur debit air limbah serta dilengkapi dengan saringan kasar untuk
memisahkan kotoran yang besar. Kemudian, air limbah di dalam bak
penampung di pompa ke bak pengendap awal.
Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan
tersuspensi (Suspended Solids) sekitar 30 - 40 %, serta BOD sekitar 25 % .
Air limpasan dari bak pengendap awal dialirkan ke bak aerasi secara
gravitasi. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembus dengan udara
sehingga mikro organisme yang ada dapat menguraikan zat organik yang
ada dalam air limbah. Energi yang didapatkan dari hasil penguraian zat
rganik tersebut digunakan oleh mikrorganisme untuk proses
pertumbuhannya. Dengan demikian didalam bak aerasi tersebut akan
tumbuh dan berkembang biomasa dalam jumlah yang besar. Biomasa atau
mikroorganisme inilah yang akan menguaraikan senyawa polutan yang ada
di dalam air limbah.
Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak
ini lumpur aktif yang mengandung massa mikro-organisme diendapkan dan
dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi
lumpur. Air limpasan (over flow) dari bak pengendap akhir dialirkan ke bak
khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan
senyawa khlor untuk membunuh micro-organisme patogen. Air olahan,
yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke
sungai atau saluran umum.
Melalui proses ini air limbah rumah sakit dengan konsentrasi BOD
250 -300 mg/lt dapat di turunkan kadar BOD nya menjadi 20 -30 mg/lt.
20
Skema proses pengolahan air limbah rumah sakit dengan sistem lumpur
aktif dapat dilihat pada Gambar 2.2. Surplus lumpur dari bak pengendap
awal maupun akhir ditampung ke dalam bak pengering lumpur, sedangkan
air resapannya ditampung kembali di bak penampung air limbah.
Keunggulan proses lumpur aktif ini adalah dapat mengolah air
limbah dengan beban BOD yang besar, sehingga tidak memerlukan tempat
yang besar. Proses ini cocok digunakan untuk mengolah air limbah dalam
jumlah yang besar. Sedangkan beberapa kelemahannya antara lain yakni
beaya operasionalnya besar serta kemungkinan dapat terjadi bulking pada
lumpur aktifnya, terjadi buih, serta jumlah lumpur yang dihasilkan cukup
besar.
21
2.2.1 Variabel Operasional di Dalam Proses Lumpur Aktif
Di dalam perancangan serta pengoperasian instalasi pengolahan air
limbah dengan proses lumpur aktif, beberapa variabel perencanan (design
variable) yang umum digunakan adalah sebagai berikut : (Davis dan
Cornwell, 1985)
22
dalamnya adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara
menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter
0
dikeringkan pada temperatur 105 C, dan berat padatan dalam contoh
ditimbang. Untuk proses lumpur aktif stadar konsentrasi MLSS adalah 1500
– 2000 mg/l.
23
3
MLSS = Mixed liquor suspended solids (kg/m )
3
V = Volume reaktor atau bak aerasi (m )
24
Ratio Sirkulasi Lumpur (Hidraulic Recycle Ratio, HRT).
25
yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah beban organik atau
beban BOD, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi bak
pengendapan akhir. Bak pengendapan akhir ini mempunyai dua fungsi
yakni untuk penjernihan (clarification) dan pemekatan lumpur (thickening).
Campuran air limbah dan lumpur (mixed liqour) dipindahkan dari
tangki aerasi ke bak pengendapan akhir. Di dalam bak pengendapan akhir
ini, lumpur yang mengandung mikroorganisme yang masih aktif dipisahkan
dari air limbah yang telah diolah. Sebagian dari lumpur yang masih aktif ini
aktif dikembalikan ke bak aerasi dan sebagian lagi dibuang dan
dipindahkan ke pengolahan lumpur. Sel-sel mikroba terjadi dalam bentuk
agregat atau flok, densitasnya cukup untuk mengendap dalam tangki
penjernih. Pengendapan lumpur tergantung ratio F/M dan umur lumpur.
Pengendapan yang baik dapat terjadi jika lumpur mikroorganisme berada
dalam fase endogeneous, yang terjadi jika karbon dan sumber energi
terbatas dan jika pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan lumpur yang
baik dapat terjadi pada rasio F/M yang rendah (contoh : tingginya
konsentrasi MLSS). Sebaliknya, Rasio F/M yang tinggi mengakibatkan
pengendapan lumpur yang buruk.
Dalam air limbah domestik, rasio F/M yang optimum antara 0,2 - 0,5
(Gaudy dan Gaudy, 1988; Hammer, 1986). Rata-rata waktu tinggal sel yang
diperlukan untuk pengendapan yang efektif adalah 3 - 4 hari (Metcalf dan
Eddy, 1991). Pengendapan yang tidak baik dapat terjadi akibat gangguan
yang tiba-tiba pada parameter fisik (suhu dan pH), kekurangan makanan
(contoh N, suhu, mikro-nutrien), dan kehadiran zat racun (seperti logam
berat) yang dapat menyebabkan hancurnya sebagian flok yang sudah
terbentuk (Chudoba, 1989). Untuk operasi rutin, operator harus mengukur
26
laju pengendapan lumpur dengan menentukan indeks volume lumpur
(sludge volume index, SVI).
Cara konvensional untuk mengamati kemampuan pengendapan
lumpur adalah dengan menentukan Indeks Volume Sludge (Sludge Volume
Index = SVI). Caranya adalah sebagai berikut : campuran lumpur dan air
limbah (mixed liquor) dari bak aerasi dimasukkan dalam silinder kerucut
volume 1 liter dan dibiarkan selama 30 menit. Volume sludge dicatat. SVI
adalah menujukkan besarnya volume yang ditempati 1 gram lumpur
(sludge). SVI dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
SV x 1 000
SVI (ml/g) = mililiter per gram
MLSS
dimana :
SV = Volume endapan lumpur di dalam silinder kerucut setelah 30
menit pengendapan (ml).
MLSS = adalah mixed liqour suspended solid (mg/l).
27
KRITERIA PERENCANAAN
Beban BOD :
BOD – MLSS Loading = 0,2 – 0,4[kg/kg.hari]
3
BOD – Volume Loading = 0,3 – 0,8 [kg/m .hari]
MLSS = 1500 – 2000 mg/l
Sludge Age = hari
Kebutuhan Udara(QUdara/QAir) = 3-7
Waktu Aerasi (T) = 6 - 8 jam
Ratio Sirkulasi Lumpur = 20 - 40 %
(QLumpur/QAir Limbah)
Efisiensi Pengolahan = 85 - 95 %
Keterangan :
28
Selain sistem lumpur aktif standar atau konvesional, ada beberapa
modifikasi dari proses lumpur aktif yang banyak digunakan di lapangan
yakni antara lain sistem aerasi berlanjut (extended aeration system), Sitem
aerasi bertahap (step aeration), Sistem aerasi berjenjang (tappered
aeration), sistem stabilisai kontak (contact stabilization system), Sistem
oksidasi parit (oxydation ditch), Sistem lumpur aktif kecepatan tinggi (high
rate activated sludge), dan sistem lumpur aktif dengan oksigen murni
(pure-oxygen activated sludge). Beberapa pertimbangan untuk pemilihan
proses tersebut antara lain : jumlah air limbah yang akan diolah, beban
organik, kualitas air olahan yang diharapkan, lahan yang diperlukan serta
kemudahan operasi dan lainnya.
29
adalah fenomena di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem
lumpur aktif di mana lumpur aktif (sludge) berubah menjadi keputih-
putihan dan sulit mengendap, sehingga sulit mengendap. Hal ini
mengakibatkan cairan supernatan yang dihasilkan masih memiliki
kekeruhan yang cukup tinggi. Beberapa tipe bulking yang sering terjadi di
dalam proses lumpur aktif antara lain yakni pertumbuhan terdispersi,
pertumbuhan slime (jelly), pinpoint flock, filamentous bulking, lumpur
mengambang serta pembentukan buih. Beberapa masalah, penyebab serta
pengaruhnya terhadap sistem lumpur aktif dapat dilihat pada Tebel 2.3.
30
Tabel 2.3 : Masalah Yang Sering Terjadi Pada Proses Lumpur Aktif.
31
4 Filamentous Bulking Terjadi ekses pertumbuhan mikro- Mengurangi efektifitas kompaksi
organisme filamentous dalam lumpur.
jumlah yang besar.
5 Rising Sludge (blanket Merupakam ekses proses Efluen yang keruh dan menurunkan
rising) denitrifikasi sehingga partikel efisiensi penghilangan BOD.
lumpur menempel pada gelembung
gas nitrogen yang terbentuk dan
naik kepermukaan.
6 Foaming atau Adanya senyawa surfactant yand Terjadi buih pada permukaan bak aerasi
pembentukan buih (scum) tidak dapat terurai dan akibat dalam jumlah yang besar yang dapat
berkembang-biaknya Nocardia dan melampui ruang bebas dan melimpah ke
Microthrix parvicella bak pengendapan akhir.
32
Gambar 2.4 : Pertumbuhan Terdispersi.
B. Nonfilamentous Bulking
33
C. Pinpoint Floc
Gejala pinpoint floc adalah gejala dimana flok lumpur aktif pecah
menjadi flok-flok yang halus dan ikut keluar di dalam efluen sehingga air
olahan menjadi keruh. Menurut beberapa peneliti mengatakan bahwa
bakteria filamentous merupakan mikro-organisme utama yang menyusun
flok di dalam sistem lumpur aktif sehingga keberadaanya dalam jumlah
yang sedikit dapat mengakibatkan flok yang terbentuk kurang baik yang
berakibat efisiensi pengendapan flok lumpur berkurang dan efluen menjadi
keruh.
34
mengakibatkan suasan anoxic di dalam bak pengendapan akhir. Selain itu
gas nitrogen yang terjadi akibat proses denitrifikasi akan keluar ke atas dan
akan mengikat flok lumpur aktif dan lumpur akan mengambang di
permukaan sehingga efluen menjadi keruh. Salah satu cara untuk
mengatasi hal tersebut yakni mengurangi waktu tinggal sludge dengan cara
meningkatkan laju sirkulasi lumpur di dalam bak pengendap.
35
Gambar 2.8 : Pembentukan Buih atau Busa (Foaming or scum Formation).
36
Gambar 2.9 : Mekanisme Proses Metabolisme di Dalam Sistem Biofilm.
Disesuaikan dari Viessman and Hamer, (1985) , Hikami, (1992)
Gambar tersebut menunjukkan suatu sistem biofilm yang yang terdiri dari
medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada medium, lapisan
alir limbah dan lapisan udara yang terletak diluar. Senyawa polutan yang
ada di dalam air limbah, misalnya senyawa organik (BOD, COD), amonia,
fosfor dan lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang
melekat pada permukaan medium. Pada saat yang bersamaan dengan
menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air limbah, senyawa polutan
tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan
37
biofilm dan energi yang dihasilkan akan diubah menjadi biomasa. Sulpai
oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara
misalnya pada sistem RBC, yakni dengan cara kontak dengan udara luar
pada sistem “Trickling Filter” dengan aliran balik udara. Sedangkan pada
sistem biofilter tercelup, dengan menggunakan blower udara atau pompa
sirkulasi.
Jika lapiasan mikrobiologis cukup tebal, maka pada bagian luar
lapisan mikrobiologis akan berada dalam kondisi aerobik sedangkan pada
bagian dalam biofilm yang melekat pada medium akan berada dalam
kondisi anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan terbentuk gas H 2S, dan jika
konsentrasi oksigen terlarut cukup besar, maka gas H2S yang terbentuk
tersebut akan diubah menjadi sulfat (SO4) oleh bakteri sulfat yang ada di
dalam biofilm.
Selain itu, pada zona aerobik amonium akan diubah menjadi nitrit
dan nitrat dan selanjutnya pada zona anaerobik nitrat yang terbentuk
mengalami proses denitrifikasi menjadi gas nitrogen. Karena di dalam
sistem bioflim terjadi kondisi anaerobik dan aerobik pada saat yang
bersamaan, maka proses penghilangan senyawa nitrogen menjadi lebih
mudah.
Posisi media biofilter tercelup di bawah permukaan air. Media
biofilter yang digunakan secara umum dapat berupa bahan material
organik atau bahan material anorganik. Untuk media biofilter dari bahan
organik misalnya dalam bentuk tali, bentuk jaring, bentuk butiran tak
teratur (random packing), bentuk papan (plate), bentuk sarang tawon dan
lain-lain. Sedangkan untuk media dari bahan anorganik misalnya batu
38
pecah (split), kerikil, batu marmer, batu tembikar, batu bara (kokas) dan
lainnya.
Di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilter
tercelup aerobik, sistem suplai udara dapat dilakukan dengan berbagai
cara, tetapi yang sering digunakan adalah seperti yang tertera pada
Gambar 2.10.
Beberapa cara yang sering digunakan antara lain aerasi samping,
aerasi tengah (pusat), aerasi merata seluruh permukaan, aerasi eksternal,
aerasi dengan “air lift pump”, dan aersai dengan sistem mekanik. Masing-
masing cara mempunyai keuntungan dan kekurangan. Sistem aerasi juga
tergantung dari jenis media maupun efisiensi yang diharapkan. Penyerapan
oksigen dapat terjadi disebabkan terutama karena aliran sirkulasi atau
aliran putar kecuali pada sistem aerasi merata seluruh permukaan media.
39
Di dalam proses biofilter dengan sistem aerasi merata, lapisan
mikroorganisme yang melekat pada permukaan media mudah terlepas,
sehingga seringkali proses menjadi tidak stabil. Tetapi di dalam sistem
aerasi melalui aliran putar, kemampuan penyerapan oksigen hampir sama
dengan sistem aerasi dengan menggunakan difuser, oleh karena itu untuk
penambahan jumlah beban yang besar sulit dilakukan. Berdasarkan hal
tersebut diatas belakangan ini penggunaan sistem aerasi merata banyak
dilakukan karena mempunyai kemampuan penyerapan oksigen yang besar.
Jika kemampuan penyerapan oksigen besar maka dapat digunakan
untuk mengolah air limbah dengan beban organik (organic loading) yang
besar pula. Oleh karena itu diperlukan juga media biofilter yang dapat
melekatkan mikroorganisme dalam jumlah yang besar. Biasanya untuk
media biofilter dari bahan anaorganik, semakin kecil diameternya luas
permukaannya semakin besar, sehinggan jumlah mikroorganisme yang
dapat dibiakkan juga menjadi besar pula. Jika sistem aliran dilakukan dari
atas ke bawah (down flow) maka sedikit banyak terjadi efek filtrasi
sehingga terjadi proses peumpukan lumpur organik pada bagian atas
media yang dapat mengakibatkan penyumbatan. Oleh karena itu perlu
proses pencucian secukupnya. Jika terjadi penyumbatan maka dapat
terjadi aliran singkat (short pass) dan juga terjadi penurunan jumlah aliran
sehingga kapasitas pengolahan dapat menurun secara drastis.
40
2.3.2.1 Penguraian Satu Tahap
41
penyimpanan sebelum dibuang ke pembuangan. Proses ini dapat
menguraikan senyawa organik dalam jumlah yang lebih besar dan lebih
cepat. Secara sederhana proses penguraian anaerob dua tahap dapat
ditunjukkan seperti pada Gambar 2.12.
42
Meskipun beberapa jamur (fungi) dan protozoa dapat ditemukan
dalam penguraian anaerobik, bakteri bakteri tetap merupakan
mikroorganisme yang paling dominan bekerja didalam proses penguraian
anaerobik. Sejumlah besar bakteri anaerobik dan fakultatif (seperti :
Bacteroides, Bifidobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus)
terlibat dalam proses hidrolisis dan fermentasi senyawa organik. Proses
penguraian senyawa organik secara anaerobik secara garis besar
ditunjukkan seperti pada Gambar 2.13.
Ada empat grup bakteri yang terlibat dalam transformasi material
komplek menjadi molekul yang sederhana seperti metan dan karbon
dioksida. Kelompok bakteri ini bekerja secara sinergis (Archer dan Kirsop,
1991; Barnes dan Fitzgerald, 1987; Sahm, 1984; Sterritt dan Lester, 1988;
Zeikus, 1980).
43
a. Kelompok 1: Bakteri Hidrolitik
44
alkohol menjadi asetat, hidrogen, dan karbon dioksida, yang digunakan
oleh bakteri pembentuk metan (metanogen). Kelompok ini membutuhkan
ikatan hidrogen rendah untuk merubah asam lemak; dan oleh karenanya
diperlukan monitoring hidrogen yang ketat.
Dibawah kondisi tekanan H2 parsial yang relatif tinggi, pembentukan
asetat berkurang dan subtrat dirubah menjadi asam propionat, asam
butirat, dan etanol dari pada metan. Ada hubungan simbiotik antara
bakteri asetonik dan metanogen. Metanogen membantu menghasilkan
ikatan hidrogen rendah yang dibutuhkan oleh bakteri asetogenik.
Etanol, asam propionat, dan asam butirat dirubah menjadi asam
asetat oleh bakteri asetogenik dengan reaksi seperti berikut :
45
d. Kelompok 4 : Bakteri Metanogen
46
b. Bakteri metanogen Asetotropik, atau biasa disebut sebagai bakteri
asetoklastik atau bakteri penghilang asetat, merubah asam asetat
menjadi metan dan CO2.
47
Paling sedikit ada 49 spesies metanogen yang telah didiskripsi (Vogels
et al., 1988). Koster (1988) telah mengkompilasi beberapa bakteri
metanogen yang telah diisolasi dan masing-masing substratnya,
ditunjukkan sperti pada Tabel 2.5.
48
Tabel 2.4 : Klasifikasi Metanogen
Methanomicrobium M. mobile
methanomicrobiales Methanomicrobiaceae Methanogenium M. cariaci
M. marisnigri
M. hungatei
Methanospillum M. barkeri
Methanosarcinaceae Methanosarcina M. mazei
Dari : Balch et al., 1979.
49
Gambar 2.15 : Proses Penguraian Senyawa Hidrokarbon Secara Anaerobik
Menjadi Methan.
50
Gambar 2.16 : Proses Penguraian Senyawa Lemak Secara Anaerobik
Menjadi Methan.
51
Gambar 2.17 : Proses Penguraian Senyawa Protein Secara Anaerobik.
52
Tabel 2.5 : Metanogen Terisolasi Dan Subtratnya.
Bakteri Subtrat
Methanobacterium bryantii H2
M. formicicum H2 dan HCOOH
M. thermoautotrophicum H2
M. alcaliphilum H2
Methanobrevibacter H2
arboriphilus
M. ruminantium H2 dan HCOOH
M. smithii H2 dan HCOOH
Methanococcus vannielii H2 dan HCOOH
M. voltae H2 dan HCOOH
M. deltae H2 dan HCOOH
M. maripaludis H2 dan HCOOH
M. jannaschii H2
M. thermolithoautotrophicus H2 dan HCOOH
M. frisius
Methanomicrobium mobile H2 dan HCOOH
M. paynteri H2
Methanospirillum hungatei H2 dan HCOOH
Methanoplanus limicola H2 dan HCOOH
M. endosymbiosus H2
Methanogenium cariaci H2 dan HCOOH
M. marisnigri H2 dan HCOOH
53
M. tatii H2 dan HCOOH
M. olentangyi H2
M. thermophilicum H2 dan HCOOH
M. bourgense H2 dan HCOOH
M. aggregans H2 dan HCOOH
Methanoccoides methylutens CH3NH2 dan CH3OH
Methanotrix soehngenii CH3COOH
M. conilii CH3COOH
Methanothermus fervidus H2
Methanolobus tindarius CH3OH, CH3NH2, (CH3)2NH, dan
(CH3)3N
Methanosarcina barkeri CH3OH, CH3COOH, H2, CH3NH2,
(CH3)2NH, dan (CH3)3N
Methanosarcina themophila CH3OH, CH3COOH, H2, CH3NH2,
(CH3)2NH, dan (CH3)3N
Sumber : Koster (1988).
54
2.3.3.1 Penghilangan Zat Organik
Mikroba
Senyawa OrganiK + O2 CO2 + H2O + Sel–sel baru + Energi
Oksidasi
COHNS (materi organik)+ O2 + bakteri CO2 + NH3 +
produk akhir + energi
55
Sintesa
COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2
(Materi Organik) (Sel Bakteri Baru)
Respirasi
C5H7NO2 + 5 O2 5 CO2 + NH3 + 2H2O + energi
Beban hidrolis dinyatakan sebagai volume air buangan yang dapat diolah
per-satuan waktu per-satuan luas permukaan media. Beban hidrolis yang
tinggi dapat menyebabkan pengelupasan lapisan biofilm yang menempel
pada media, sehingga efisiensi pengolahan menjadi turun.
c) Temperatur
56
buangan secara aerob bukan merupakan faktor yang dikondisikan karena
temperatur sangat dipengaruhi oleh iklim yang ada.
f) Logam berat
Logam-logam berat seperti Hg, Ag, Cu, Au, Zn, Li dan Pb walaupun dalam
konsetrasi yang rendah akan bersifat racun terhadap mikroorganisme.
Daya bunuh logam berat pada kadar rendah ini disebut daya oligodinamik.
57
proses penguraian senyawa amoniak yang terjadi pada lapisan biofilm
secara sederhana dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2.18.
58
Proses nitrifikasi menurut Grady & Lim (1980) didefinisikan sebagai
konversi nitrogen ammonium (NH4-N) menjadi nitrit (NO2-N) yang
kemudian menjadi nitrat (NO3-N) yang dilakukan oleh bakteri autotropik
dan heterotropik. Proses nitrifikasi ini dapat dilihat dalam dua tahap yaitu :
+
Tahap nitritasi, merupakan tahap oksidasi ion ammonium (NH 4 ) menjadi
-
ion nitrit (NO2 ) yang dilaksanakan oleh bakteri nitrosomonas menurut
reaksi berikut :
NH4 + ½O2 + OH NO2 + H + 2H2O + 59,4 Kcal
+ - - +
Nitrosomonas
Reaksi ini memerlukan 3,43 gr O2 untuk mengoksidasi 1 gr nitrogen
menjadi nitrit.
-
Tahap nitrasi, merupakan tahap oksidasi ion nitrit menjadi ion nitrat (NO 3 )
yang dilaksanakan oleh bakteri nitrobacter menurut reaksi berikut :
Nitrobacter
Reaksi ini memerlukan 1,14 gr O2 untuk mengoksidasi 1 gr nitrogen
menjadi nitrat. Secara keseluruhan proses nitrifikasi dapat dilihat dari
persamaan berikut :
59
Kedua bakteri ini dikenal sebagai bakteri autotropik yaitu bakteri
yang dapat mensuplai karbon dan nitrogen dari bahan-bahan anorganik
dengan sendirinya. Bakteri ini menggunakan energi dari proses nitrifikasi
untuk membentuk sel sintesa yang baru. Sedangkan bakteri heterotropik
merupakan bakteri yang membutuhkan bahan-bahan organik untuk
membangun protoplasma. Walaupun bakteri nitrifikasi autotropik
keberadaannya di alam lebih banyak, proses nitrifikasi dapat juga dilakukan
oleh bakteri jenis heterotropik (Arthobacter) dan jamur (Aspergillus)
(Verstraete and Alexander, 1972).
Disamping itu dengan oksigen yang ada, maka senyawa N-NH4 yang
ada diperairan akan dioksidasi menjadi nitrat. Tetapi mengingat kebutuhan
O2 yang cukup besar, maka akan terjadi penurunan oksigen di dalam
perairan tersebut sehingga akan terjadi kondisi septik.
Pada proses pengolahan senyawa NH4-N secara biologis kebutuhan
O2 cukup besar, sehingga kebutuhan O2 yang tinggi dapat dipenuhi dengan
cara memperbesar transfer O2 ke dalam instalasi pengolahan. Pada reaktor
lekat ini, transfer O2 yang besar dapat diperoleh dengan cara
menginjeksikan udara ke dalam reaktor. Dengan adanya injeksi udara
diharapkan kontak antara gelembung udara dan air yang akan diolah dapat
terjadi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses nitrifikasi dalam
pengolahan air adalah :
60
mg/l. Bitton (1994) mengatakan agar proses nitrifikasi dapat berjalan
dengan baik maka konsentrasi oksigen terlarut di dalam air tidak boleh
kurang dari 2 mg/l.
b) Temperatur
c) Keasaman (pH)
Pada proses biologi, nitrifikasi dipengaruhi oleh pH. pH optimum untuk
bakteri nitrosomonas dan nitrobacter antara 7,5 – 8,5 (U.S. EPA, 1975).
Proses ini akan terhenti pada pH dibawah 6,0 (Painter, 1970; Painter and
Loveless, 1983). Alkalinitas air akan berkurang sebagai akibat oksidasi
amoniak oleh bakteri nitrifikasi. Secara teori alkalinitas akan berkurang
+
7,14 mg/l sebagai CaCO3 setiap 1 mg/l NH4 (amoniak) yang diokasidasi
(U.S. EPA, 1975). Oleh karena itu untuk proses nitrifikasi alkalinitas air
harus cukup untuk menyeimbangkan keasaman yang dihasilkan oleh
proses nitrifikasi.
61
proses nitrifikasi akan berjalan dengan baik dengan rasio BOD/T-N lebih
besar (Metcalf and Eddy, 1991).
62
pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran
organik tersuspensi. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungsi
sebagai bak pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang
berbentuk padatan, pengurai lumpur (sludge digestion) dan penampung
lumpur. Sekema proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilter
anaerob-aerob dapat dilihat pada Gambar 2.19.
Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke
reaktor biofilter anaerob. Di dalam reaktor biofilter anaerob tersebut diisi
dengan media dari bahan plastik tipe sarang tawon. Reaktor biofilter
anaerob terdiri dari dua buah ruangan. Penguraian zat-zat organik yang
ada dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau fakultatif
aerobik. Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan
tumbuh lapisan film mikro-organisme. Mikro-organisme inilah yang akan
menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap.
63
Air limpasan dari reaktor biofilter anaerob dialirkan ke reaktor
biofilter aerob. Di dalam reaktor biofilter aerob ini diisi dengan media dari
bahan plastik tipe sarang tawon, sambil diberikan aerasi atau dihembus
dengan udara sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat
organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada
permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikro-
orgainisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada
permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi
penguraian zat organik, deterjen serta mempercepat proses nitrifikasi,
sehingga efisiensi penghilangan amonia menjadi lebih besar. Proses ini
sering di namakan Aerasi Kontak (Contact Aeration).
Air limpasan dari bak aeras dialirkan ke bak pengendap akhir dan
sebagian air limbah dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan
pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow) dialirkan ke
bak biokontrol dan selanjutnya dialirkan ke bak kontaktor khlor untuk
proses disinfeksi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan
dengan senyawa khlor untuk membunuh mikro-organisme patogen. Air
olahan (efluent), yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat
langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan kombinasi proses
anaerob dan aerob tersebut selain dapat menurunkan zat organik (BOD,
COD), juga dapat mereduksi amonia, deterjen, padatan tersuspensi (SS),
phospat dan lainnya.
64
Adanya air buangan yang mengalir melalui media yang terdapat
pada biofilter mengakibatkan timbulnya lapisan lendir yang
menyelimuti media atau yang disebut juga biological film. Air limbah
yang masih mengandung zat organik yang belum teruraikan pada
bak pengendap bila melalui lapisan lendir ini akan mengalami proses
penguraian secara biologis. Efisiensi biofilter tergantung dari luas
kontak antara air limbah dengan mikro-organisme yang menempel
pada permukaan media filter tersebut. Makin luas bidang kontaknya
maka efisiensi penurunan konsentrasi zat organik (BOD) makin
besar. Selain menghilangkan atau mengurangi konsentrasi BOD dan
COD, cara ini juga dapat mengurangi konsentrasi padatan
tersuspensi atau suspended solids (SS) , deterjen (MBAS), amonium
dan posphor.
Biofilter juga berfungsi sebagai media penyaring air limbah sebagai
akibatnya, air limbah yang mengandung suspended solids dan
bakteri E.coli setelah melalui filter ini akan berkurang
konsentrasinya. Efisiensi penyaringan akan sangat besar karena
dengan adanya biofilter up flow yakni penyaringan dengan sistem
aliran dari bawah ke atas akan mengurangi kecepatan partikel yang
terdapat pada air buangan dan partikel yang tidak terbawa aliran ke
atas dan akan mengendap di dasar bak filter. Sistem biofilter
anaerob-aerb ini sangat sederhana, operasinya mudah dan tanpa
memakai bahan kimia serta membutuhkan sedikit energi. Proses ini
cocok digunakan untuk mengolah air limbah dengan kapasitas yang
tidak terlalu besar
65
Dengan kombinasi proses “Anaerob-Aerob”, efisiensi penghilangan
senyawa phospor menjadi lebih besar apabila dibandingankan
dengan proses anaerob atau proses aerob saja. Selama berada pada
kondisi anaerob, senyawa phospor anorganik yang ada dalam sel-sel
mikrooragnisme akan keluar sebagai akibat hidrolisa senyawa
phospor. Sedangkan energi yang dihasilkan digunakan untuk
menyerap BOD (senyawa organik) di dalam air limbah.. Selama
berada pada kondisi aerob, senyawa phospor terlarut akan diserap
oleh bakteria/mikroorganisme dan akan sintesa menjadi
polyphospat dengan menggunakan energi yang dihasilkan oleh
proses oksidasi senyawa organik (BOD). Dengan demikian kombinasi
proses anaerob-aerob dapat menghilangkan BOD maupun phospor
dengan baik. Proses ini dapat digunakan untuk pengolahan air
limbah dengan beban organik yang cukup besar.
66
Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup
besar.
Dapat menghilangan padatan tersuspensi (SS) dengan baik.
67
mempunyai nilai antara 30 sampai dengan 250 sq.ft/cu,ft atau 100 hingga
2 3
820 m /m .
Satu hal yang penting adalah membedakan antara total luas
permukaan teoritis dengan luas permukaan yang tersedia sebagai
substrate untuk pertumbuhan mikroorganisme. Luas permukaan yang
terdapat pada pori-pori yang halus tidak selalu dapat membuat
mikroorganisme hidup. Pada saat biofilter sudah stabil/matang, biomasa
bakteri akan bertambah secara stabil dan lapisan bakteri yang menutupi
permukaan media menjadi tebal. Selama organisme yang berada pada
bagian dalam lapisan hanya mendapat makanan dan oksigen secara difusi,
maka bakteri ini memperoleh makanan dan oksigen semakin lama semakin
sedikit sejalan dengan bertambah tebalnya lapisan. Secara umum hanya
bakteri yang berada dilapisan paling luar yang bekerja secara maksimal.
Apabila lapisan bakteria sudah cukup tebal, maka bagian dalam
lapisan menjadi anaerobik. Jika hal ini terjadi, lapisan akan kehilangan gaya
adhesi terhadap substrat dan kemudian lepas. Apabila bakteri yang mati
terdapat dalam celah kecil, maka tidak dapat lepas dan tetap berada dalam
biofilter. Hal ini akan menambah beban organik (BOD) dan amoniak dalam
biofilter.
Luas permukaan total yang tersedia untuk pertumbuhan bakteri
merupakan indikator dari kapasitas biofilter untuk menghilangkan polutan.
Luas permukaan spesifik merupakan variabel penting yang mempengaruhi
biaya reaktor biofilter dan mekanisme penunjangnya. Apabila media
tertentu A mempunyai luas permukaan per unit volume dua kali lipat dari
media B, maka media B memerlukan volume reaktor dua kali lebih besar
untuk dapat melakukan tugas yang sama yang dilakukan media A. Ditinjau
68
dari sudut ekonomi maka lebih baik menggunakan reaktor yang lebih kecil.
Jadi secara umum makin besar luas permukaan per satuan volume media
maka jumlah mikroorganisme yang tumbuh dan menempel pada
permukaan media makin banyak sehingga efisiensi pengolahan menjadi
lebih besar, selain itu volume reaktor yang diperlukan menjadi lebih kecil
sehingga biaya reaktor juga lebih kecil.
69
dari partikel dengan cara sama dengan filter atau saringan padatan lainnya
bekerja. Penyumbatan dapat juga disebabkan oleh pertumbuhan biomasa
dan menjembatani ruangan dalam media. Kecenderungan penyumbatan
untuk berbagai macam media dapat diperkirakan atau dibandingkan
dengan melihat fraksi rongga dan diameter celah bebas. Diameter celah
bebas merupakan variabel yang lebih penting.
Penyumbatan merupakan masalah yang serius pada sistem biofilter.
Masalah yang paling ringan adalah masalah pemeliharaan yang terus
menerus, dan yang paling buruk adalah hancurnya kemampuan filter untuk
bekerja sesuai dengan disain. Penyebab lain penyumbatan adalah ketidak-
seragaman volume rongga dari media. Apabila sebagian dari unggun
media mempunyai volume rongga yang lebih kecil dari yang lainnya maka
dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan sebagian di dalam unggun
media. Unggun media yang lebih padat dapat terjadi penyumbatan dan
sebagian unggun media yang lainnya terdapat celah yang dapat
mengalirkan aliran air limbah. Hal ini dapat menurunkan kinerja biofilter.
Oleh karena itu di dalam pemilihan jenis media biasanya dipilh
media yang mempunyai luas permukaan spesifik yang besar serta
mempunyai fraksi volume rongga yang besar. Dengan demikian jumlah
mikroba yang dapat tumbuh menempel pada permukaan media cukup
besar sehingga efisiensi biofilter juga menjadi lebih besar. Selain itu,
karena fraksi volume rongga media besar maka sistem biofilter menjadi
tahan terhadap penyumbatan. Media yang digunakan untuk biofilter juga
harus mudah diangkat, dibersihkan dan dapat diganti dengan usaha dan
tenaga kerja yang minimal.
70
Pilihan lain adalah media yang dapat diangkat sebagian. Sebagian
kecil media dapat diangkat dan diganti dengan media yang baru,
sementara itu bagian yang tersumbat dibersihkan. Apabila hanya sebagian
kecil dari seluruh sistem yang diangkat, pengaruhnya terhadap sistem
biofilter akan sangat kecil.
Kayu, kertas atau bahan lain yang dapat terurai secara biologis tidak
cocok digunakan untuk bahan media biofilter. Demikian juga bahan logam
seperti besi, alumunium atau tembaga tidak sesuai karena berkarat
sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikro-organisme. Media
biofilter yang dijual secara komersial umumnya terbuat dari bahan yang
tidak korosif, tahan terhadap pembusukan dan perusakan secara kimia.
Namun demikian beberapa media dari plastik dapat dipengharuhi oleh
radiasi ultraviolet. Plastik yang tidak terlindung sehingga terpapar oleh
matahari akan segera rapuh. Masalah ini dapat diatasi dengan
menggunakan penghalang UV yang dapat disatukan dengan plastik
pelindung UV.
71
7) Mempunyai kekuatan mekaniknya yang baik
8) Ringan
9) Fleksibilitas
72
sehubungan dengan penyumbatan maka media harus mudah dipindahkan
dengan kebutuhan tenga yang sedikit. Selain itu media juga harus dengan
cepat dapat dipindahkan dan dibersihkan.
73
Media biofilter yang ideal adalah media yang harganya murah
namun memberikan solusi bagi pemenuhan kebutuhan proses biofilter. Hal
ini karena :
Diperoleh luas permukaan yang besar dengan harga yang murah.
Diperoleh biaya konstruksi reaktor yang lebih rendah karena luas
permukaan spesifik tinggi, ringan, kekuatan mekanikal baik dan
kemampuan menyesuaikan dengan bentuk reaktor baik.
Biaya pemeliharaan rendah karena tidak ada penyumbatan.
Biaya pompa dan energi lain rendah karena disainnya fleksibel.
74
singkat (short pass) dan juga terjadi penurunan jumlah aliran sehingga
kapasitas pengolahan dapat menurun secara drastis.
Untuk media biofilter dari bahan organik banyak yang dibuat
dengan cara dicetak dari bahan tahan karat dan ringan misalnya PVC dan
lainnya, dengan luas permukaan spesifik yang besar dan volume rongga
(porositas) yang besar, sehingga dapat melekatkan mikroorganisme dalam
jumlah yang besar dengan resiko kebuntuan yang sangat kecil. Dengan
demikian memungkinkan untuk pengolahan air limbah dengan beban
konsentrasi yang tinggi serta efisiensi pengolahan yang cukup besar. Salah
Satu contoh media biofilter yang banyak digunakan yakni media dalam
bentuk sarang tawon (honeycomb tube) dari bahan PVC. Beberapa contoh
perbandingan luas permukaan spesifik dari berbagai media biofilter dapat
dilihat pada Tabel 2.5.
75
1) Batuan dan Kerikil
76
umumnya pertumbuhan bakteri terjadi pada bagian luar permukaan media
kerikil. Hal ini akan dapat menahan nutrient dan menghambat difusi
oksigen kedalam bagian dalam pori media. Walaupun media kerikil ini
mempunyai luas permukaan yang besar, namun hanya sebagian kecil fraksi
dari permukaan area yang dapat digunakan untuk tempat tumbuhnya
bakteri aerobik.
Kelemahan lain dari media kerikil adalah masalah berat. Batu kerikil
mempunyai berat jenis yang cukup besar, sehingga jika digunakan sebagai
media biofilter akan memerlukan konstruksi reaktor, penyangga dan
sistem pengeluaran di bagian bawah yang kuat untuk menyangga beban
media. Selain itu media kerikil relatif merupakan media biofilter permanen,
dan sulit untuk dipindahkan. Akibatnya biaya pemeliharaan menjadi besar
dan biaya konstruksi menjadi lebih mahal. Oleh karena itu media kerilil
kurang cocok untuk dipakai untuk media biofilter skala komersial. Salah
satu contoh media kerikil atau batu pecah untuk media biofilter dapat
dilihat pada Gambar 2.12.
77
Gambar 2.12 : Media Kerikil atau Batu Pecah.
78
3) Brillo Pads
Jenis media atau packing yang sama dengan mesh pad adalah
“ribbon bundle” atau packing jenis “brillo pad”. Packing ini ringan dan
relatif mempunyai luas permukaan besar dengan harga yang murah.
Walaupun Ribbon tidak serapat seperti fiber mesh pad, namun mempunyai
beberapa kekurangan sama seperti pada mesh pads. Salah satu
kekurangan brillo pads adalah kekuatan mekanikalnya kecil. Tidak mungkin
untuk menumpuk packing ini tanpa menekan lapisan bawah. Pada saat
lapisan bawah tertekan, maka akan menahan laju alir menjadi mudah
tersumbat. Birllo pad dan mesh pads kedua-duanya berhasil dalam
penerapan untuk akuarium kecil, namun untuk kapasitas yang besar untuk
produksi akuakultur sulit dan tidak ekonomis.
Media jenis ini ditiru dari packing yang digunakan pada industri
kimia. Terdapat bermacam jenis yang berbeda dari cetakan plastik yang
tersedia dalam berbagai luas permukaan spesifik. Media jenis ini
dimasukkan secara acak ke dalam reaktor sehingga dinamakan random
packing. Umumnya media ini mempunyai fraksi rongga yang baik dan
relatif tahan terhadap penyumbatan dibandingkan mesh pads atau
unggun kerikil. Karena setiap bagian packing atau media dapat disesuaikan
pada setiap bentuk tanki atau vessel. Beberapa contoh jenis media ini
dapat dilihat pada Gambar 2.13.
79
Media tipe random packing harus dipasang di atas penyangga jenis
grid atau screen. Packing ini harus memakai wadah karena tidak
mempunyai kekuatan struktur dasar. Secara umum packing random
kekuatan mekanikanya relatif kecil. Seseorang tidak dapat berjalan di atas
packing random tanpa menumpuk atau merapatkan unggun filter.
Walaupun packing random relatif ringan namun sulit untuk
dipindahkan dari vessel besar apabila sudah terpasang. Hal ini karena
untuk mengeluarkan packing harus dikeruk, pembersihan harus dilakukan
ditempat. Kekurangan lain packing random, adalah pemasangannya sulit.
Apabila pemasangan unggun kurang hati-hati, terjadi beberapa hal yang
tidak sesuai pada kerapatan packing di seluruh unggun. Unggun packing
random akan cenderung turun dan merapat.
80
Kekurangan lain dari media kerikil dan packing random yaitu
operator tidak dapat melihat apa yang terjadi dalam unggun biofilter.
Sangat sulit untuk menggeser material untuk mengetahui apa yang terjadi
dalam unggun. Bagian atas unggun yang terlihat beroperasi normal,
sementara bagian bawah unggun tersumbat dan tidak beroperasi dengan
benar.
Packing random tersedia dari bahan stainless steel, keramik,
porselein dan berbagai bahan termoplastik. Pada umumnya packing untuk
akuakultur merupakan cetakan injeksi dari PP (polypropylene) atau HDPE
(high density polyethylene). PP dan HDPE merupakan polimer yang cukup
bagus dengan ketahanan panasnya tinggi dan tahan terhadap bahan kimia.
Sayangnya banyak senyawa PP dan HDPE yang digunakan untuk packing
tidak cukup bercampur dengan penahan ultraviolet untuk menjaga
packing dari paparan sinar matahari. Masalah lain bahan polimer PP dan
HDPE ini sangat hidrophobik (tidak suka air). Sifat dapat basah (wetability)
rendah, sehingga memerlukan waktu berbulan-bulan untuk dapat basah
total.
Packing random merupakan media biofilter modern, salah satu
kekurangannya adalah harganya relatif mahal. Karena biaya produksi
relatif tinggi. Media tipe random tersebut sangat baik digunakan untuk
instalasi kecil karena pada sistem kecil biaya yang tinggi tidak menjadi
masalah. Packing ini mudah di pasang dalam reaktor yang berbentuk
silinder, dalam hal ini pemasangan tidak perlu dilakukan pemotongan atau
adanya bahan yang terbuang.
81
5) Media Terstruktur (Structured Packings)
Material : PVC
cm cm cm
Ukuran Modul : 30 x 25 x 30
Ukuran Lubang : 3 cm x 3 cm
Ketebalan : 0,5 mm
2 3
Luas Spesifik : 150 -220 m /m
3
Berat : 30-35 kg/m
Porositas Ronga : 0,98
Warna : bening transparan atau Hitam
82
Gambar 2.14 : Bentuk Media Terstruktur Tipe Sarang Tawon (Cross Flow)
Yang Banyak Digunakan Untuk Biofilter.
83
2 3 3
mempunyai luas spesifik 150 – 220 m /m , berat 30 – 35 kg/m , dan
porositas rongga 98 %. Selain itu mempunyai kekuatan mekanik
(mechanical strength) yang cukup besar mencapai lebih dari 2000 lbs. per
sq.ft.
Untuk memilih jenis atau tipe media biofilter yang akan digunakan
harus dikaji secara menyeluruh beberapa aspek yang berpengaruh di dalan
proses biofilter baik secara teknis maupun ekonomis. Beberapa aspek
penting yang perlu diperhatikan antara lain luas permukaan spesifik, fraksi
volume rongga, diameter celah bebas, ketahanan terhadap kebuntuan,
jenis material, harga per satuan luas permukaan, kekuatan mekanik, berat
media, fleksibilitas, perawatan, konsumsi energi, serta sifat dapat basah
atau wetability.
Untuk mengkaji secara keseluruhan dapat dilakukan dengan cara
pembobotan (scoring). Skoring dilakukan dengan skala 1(satu) untuk yang
terburuk sampai dengan 5 (lima) untuk yang terbaik. Hasil pembobotan
untuk beberapa jenis tipe media ditunjukkan pada Tabel 2.7. Dari hasil
pembobotan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan tipe
media biofilter terstruktur misalnya tipe sarang tawon (cross flow) secara
teknis paling baik untuk digunakan sebagai media biofilter untuk
pengolahan air limbah.
Walaupun secara pembobotan tipe media terstruktur mempunyai
bobot paling tinggi dibandingkan dengan tipe media yang lain artinya
secara teknis mempunyai keunggulan yang paling baik, tetapi di dalam
84
aplikasinya di lapangan perlu juga dipertimbangkan aspek ketersediaan
bahan di lokasi serta kapasitas biofilter.
Tipe Media A B C D E F G
Luas Pemukaan Spesifik 5 1 5 5 5 5 5
Volume Rongga 1 1 1 1 4 5 5
Diameter celah bebas 1 3 1 1 2 2 5
Ketahanan terhadap 1 3 1 1 3 3 5
penyumbatan
Material 5 5 5 5 5 5 5
Harga per satuan luas 5 3 3 5 4 1 4
Kekuatan mekanik 5 5 1 1 2 2 5
Berat media 1 1 5 5 4 5 5
Fleksibilitas 2 2 1 3 3 4 4
Perawatan 1 1 1 1 3 3 5
Konsumsi Energi 2 2 1 5 4 5 5
Sifat dapat basah 5 5 3 3 3 1 3
Total Bobot 34 32 28 36 42 41 56
Keterangan :
Bobot : 1 = Terburuk 5 = Terbaik
A : Gravel atau kerikil kecil
B : Garavel atau kerikil besar
C : Mash Pad
85
D : Brillo Pad
E : Bio Ball
F : Random Dumped
G : Media Terstruktur (sarang tawon)
Jika lokasinya jauh dari produsen media dan kapasitas biofilter kecil
maka harga media serta biaya transportasinya akan menjadi mahal sekali
sehingga menjadi tidak ekonomis. Oleh karena itu walaupun sarang tawon
secara teknis mempunyai persyaratan yang paling baik, perlu
dipertimbangkan pemilihan media tipe lain yang lebih sesuai dengan
kondisi di lapangan.
86
diolah. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan
oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik Setelah beberapa hari
operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-
organisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang
belum sempat terurai pada bak pengendap.
Air limpasan dari reaktor anaerob dialirkan ke reaktor aerob. Di
dalam reaktor aerob ini diisi dengan media dari bahan plastik tie sarang
tawon (honeycomb tube), sambil diaerasi atau dihembus dengan udara
sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang
ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan
media.
87
organik, deterjen serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi
penghilangan amoniak menjadi lebih besar.
Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak
ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan
dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi
lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow) dialirkan ke bak khlorinasi. Di
dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa
khlor untuk membunuh mikroorganisme patogen.
Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat
langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan kombinasi proses
anaerob dan aerob tersebut selain dapat menurunkan zat organik (BOD,
COD), amonia, deterjen, padatan tersuspensi (SS), phospat dan lainnya.
88
Tabel 2.8 : Kriteria Perencanan Biofilter Anaerob-Aerob.
BIOFILTER ANAEROB-AEROB
Parameter Perencanaan :
Bak Pengendapan Awal Waktu Tinggal (Retention Time) rata-rata = 3-5 Jam
Beban permukaan = 20 – 50 m3/m2.hari. (JWWA)
89
Lanjutan Tabel 2.8 : Kriteria Perencanaan Biofilter Anaerob-Aerob.
2
Biofilter Anaerob : Beban BOD per satuan permukaan media (LA) = 5 – 30 g BOD /m . Hari.
( EBIE Kunio., “ Eisei Kougaku Enshu “, Morikita shuppan kabushiki
Kaisha, 1992.
3
Beban BOD 0,5 - 4 kg BOD per m media.(menurut Nusa Idaman Said,
BPPT, 2002)
Waktu tinggal total rata-rata = 6-8 jam
Tinggi ruang lumpur = 0,5 m
Tinggi Bed media pembiakan mikroba = 0,9 -1,5 m
Tinggi air di atas bed media = 20 cm
2
Biofilter Aerob : Beban BOD per satuan permukaan media (LA) = 5 – 30 g BOD /m . Hari.
3
Beban BOD 0,5 - 4 kg BOD per m media.(menurut Nusa Idaman Said,
BPPT, 2002)
Waktu tinggal total rata-rata = 6 - 8 jam
Tinggi ruang lumpur = 0,5 m
Tinggi Bed media pembiakan mikroba = 1,2 m
Tinggi air di atas bed media = 20 cm
90
Lanjutan Tabel 2.8 : Kriteria Perencanaan Biofilter Anaerob-Aerob.
91
100
90
85
80
70
0 1 2 3 4 5
LOADING [kg-BOD/m3.hari]
Gambar 2.15 : Grafik Hubungan Antara Beban BOD (BOD Loading) dengan Efisiensi Penghilangan di Dalam Reaktor
Biofilter Anaerob-Aerob.
Sumber : Nusa Idaman Said, BPPT, 2002.
92
BAB 3
PERENCANAAN TEKNIS INSTALASI
PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH SAKIT
PROSES BIOFILTER ANAEROB-AEROB
KAPASITAS 200 M3 PER HARI
93
Gambar 3.1 : Diagram Proses Pengolahan Air Limbah Fasilitas Kesehatan (Rumah Sakit) dengan Proses Biofilter
Anaerob-Aerob.
94
Tabel 3.1 : Standar Pemakaian Air Bersih Rata-Rata Per Orang Per Hari.
96
Lanjutan Tabel 3.1.
97
Lanjutan Tabel 3.1.
99
Gambar 3.2 : Disain Bak Penumpul.
100
Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak
anaerob (biofilter Anaerob). Di dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi
dengan media khusus dari bahan plastik tipe sarang tawon. Di dalam
reaktor Biofilter Anaerob, penguraian zat-zat organik yang ada dalam air
limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik. Disini zat
organik akan terurai menjadi gas metan dan karbon dioksida tanpa
pemberian udara. Air limpasan dari reaktor biofilter anerob dialirkan ke
reaktor biofilter aerob. Didalam reaktor biofilter aerob diisi dengan media
sambil dihembus dengan udara. Setelah beberapa hari operasi, pada
permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-organisme. Mikro-
organisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat
terurai pada bak pengendap awal.
Dari reaktor biofilter aerob air limbah dialirkan ke bak pengendapan
akhir, sedangkan air limpasan (over flow) dialirkan ke flow meter dan
selajutnya dialirkan ke khlorinator untuk membunuh mikro-organisme
patogen dan setelah melalui khlorinator air dibuang ke saluran umum.
Sebagian air olahan dari bak pengendap akhir dialirkan ke bak bioindikator
yang diisi ikan, selanjutnya air limpasan dialirkan ke khlorinator. Di dalam
bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor
selanjutnya dibuang ke sungai atau saluran umum. Kombinasi proses
anaerob aerob tersebut selain dapat menurunkan zat organik (BOD, COD),
serta mereduksi amonia, padatan tersuspensi (SS), phospat dan lainnya.
3
Kapasitas IPAL : 200 m per Hari
104
COD Air Limbah Maksimum : 500 mg/l
BOD Air Limbah Maksimum : 300 mg/l
Konsentrasi SS : 300 mg/l
Total Efisiensi Pengolahan : 90 %
BOD Air Olahan : 30 mg/l
SS Air Olahan : 30 mg/l
Bak pemisah lemak atau grease removal yang direncanakan adalah tipe
gravitasi sederhana. Bak terdiri dari beberapa ruangan.
3
Kapasitas IPAL : 200 m per Hari
Kriteria perencanaan + 60 - 120 menit.
KriteriaPerencanaan :
Waktu Tinggal di dalam Bak (HRT) = 8 -12 Jam
Ditetapkan : Waktu tinggal = 12 jam
12
3 3
Volume bak Yang diperlukan = hari X 300 m /hari = 100 m
24
106
Ditetapkan Dimensi Bak :
Kedalaman bak = 2,0 m
Lebar bak = 6,0 m
Panjang bak = 8,0 m
Tinggi Ruang Bebas = 0,5 m
Chek Waktu Tinggal :
3
Volume Efektif Aktual = 6 m x 8 m x 2 m = 96 m
3
96 m
Waktu Tinggal = x 24 jam/hari = 11,52 jam
3
200 m /hari
107
Gambar sket bak pemisah lemak dan bak ekualiasi dapat dilihat pada
Gambar 3.5 sampai dengan Gambar 3.15 .
Gambar 3.5 : Bak Pemisah lemak dan bak Ekualisasi (Tampak Atas).
108
Gambar 3.6 : Bak Pemisah lemak dan bak Ekualisasi Dilengkapi dengan
Teras (Tampak Atas)
Gambar 3.7 : Bak Pemisah lemak dan bak Ekualisasi Dilengkapi dengan
Teras (Tampak Depan dan tampak Samping).
109
Gambar 3.8 : Bak Pemisah lemak dan bak Ekualisasi dilengkapi dengan
Teras (Potongan A-A)
Gambar 3.9: Bak Pemisah lemak dan bak Ekualisasi dilengkapi dengan
Teras (Potongan B-B)
110
Gambar 3.10 : Bak Pemisah lemak dan Ekualisasi dilengkapi dengan Teras
(Potongan C-C)
Gambar 3.11 : Bak Pemisah lemak dan Ekualisasi dilengkapi dengan Teras
(Potongan D-D)
111
Gambar 3.12 : Bak Pemisah lemak dan bak Ekualisasi dilengkapi dengan
Teras (Potongan E-E)
Gambar 3.13 : Bak Pemisah lemak dan bak Ekualisasi dilengkapi dengan
Teras (Potongan F-F)
112
Gambar 3.14 : Bak Pemisah lemak dan bak Ekualisasi dilengkapi dengan
Teras (Potongan G-G)
Gambar 3.15 : Bak Pemisah lemak dan bak Ekualisasi dilengkapi dengan
Teras (Potongan H-H)
113
3.3.3 Pompa Air Limbah
3 3
Debit air limbah = 200 m /hari = 8,33 m / jam = 138,8 liter per menit.
Tipe pompa yang digunakan = Pompa celup
Spesifikasi Pompa :
Kapasitas = 220 – 250 liter per menit
Total Head = 8,5 m
Output listrik = 750 watt, 220 volt
Bahan = Stainless Steel
3 3
Debit Limbah = 200 m /hari = 8,33 m / jam = 138,8 liter per menit.
BOD Masuk = 300 mg/l
Skenario Efisiensi = 25 %
BOD Keluar = 225 mg/l
114
Kriteria Perencanaan :
Waktu Tinggal Di dalam Bak = 4 jam
4
3
Volume bak yang diperlukan = x 200 = 33,33 m
24
Ditetapkan :
Dimensi Bak Pengendapam Awal :
Lebar = 6,0 m
Kedalaman air efektif = 2,0 m
Panjang = 3,0 m
Tinggi ruang bebas = 0,5 m (disesuaikan dengan kondisi
lapangan).
3
Volume Aktual = 6 m x 2 m x 3 m = 36 m .
Standar JWWA :
Beban permukaan = 20 – 50 m3/m2.hari. (JWWA)
115
3.5.3.5 Biofilter Anaerob
3 3
Debit Limbah = 200 m /hari = 8,33 m / jam = 138,8 liter per menit.
BOD Masuk = 225 mg/l
BOD Keluar = 75 mg/l
(225 mg/l – 75 mg/l)
Skenario Efisiensi Pengolahan = x 100 % = 66,7 %
225 mg/l
Kriteria perencanaan :
Untuk pengolahan air limbah dengan proses biofilter standar Beban BOD
3
per volume media adalah 0,4 – 4,7 kg BOD /m .hari.
Untuk Air Limbah Rumah Sakit ditetapkan beban BOD yang digunakan :
3
= 0,75 kg BOD /m media .hari.
3 3
Beban BOD di dalam air limbah = 200 m /hari X 225 g/m = 45.000 g/hari
= 45 kg/hari
45 kg/hari
3
Volume media yang diperlukan = = 60 m .
3
0,75 kg/m .hari
3
120 m
Waktu Tinggal Di dalam Reaktor Anaerob = x 24 jam/hari =
3
200 m /hari
= 14,4 jam
116
HRT di dalam reaktor ditetapkan = 14,4 jam.
Dimensi :
Lebar = 6.0 m
Kedalaman air efektif = 2,0 m
Panjang = 10,0 m
Tinggi ruang bebas = 0,5 m
Jumlah ruang biofilter anaerob di bagi menjadi dua zona, tiap zona terdiri
dari ruang biofilter dengan ukuran 6 m x 4 m x 2 m dan ruang penenang
dengan ukuran 6 m x 1 m x 2 m.
Tinggi ruang lumpur = 0,5 m
Tinggi Bed media pembiakan mikroba = 1,2 m
Tinggi air di atas bed media = 30 cm
3
Volume total media biofilter anaerob = 6 m x 8 m x 1,2 m = 57,6 m .
2 3
Jika media yang dipakai mempunyai luas spesifik + 200 m /m , maka
3
BOD Loading per luas permukaan media = 0,78 kg BOD/m media per hari
3 3
Beban BOD di dalam air limbah = 200 m /hari X 75 g/m = 15.000 g/hari
= 15 kg/hari.
117
Jumlah BOD yang dihilangkan = 0,6 x 15 kg/hari = 9 kg/hari.
3
Beban BOD per volume media yang digunakan = 0,5 kg/m .hari.
(berdasarkan hasil percobaan BPPT)
15 kg/hari
3
Volume media yang diperlukan = = 30 m .
3
0,5 kg/m .hari
= 9 jam.
Reaktor dibagi menjadi dua ruangan : ruangan aerasi dan ruangan
biofilter.
Dimensi Ruang Aerasi Reaktor Biofilter Areob :
Lebar = 6,0 m
Kedalan air efektif = 2,0 m
Panjang = 2,25 m
Tinggi ruang bebas = 0,5 m
= 9 jam.
15 kg/hari
Chek : BOD Loading per volume media = =
3
28,8 m
3
= 0,52 Kg BOD/m .hari.
Kebutuhan Oksigen :
3
= 49,37 m /hari.
Efisiensi Difuser = 2,5 % (gelembung kasar)
3
49,37 m /hari
3
Kebutuhan Udara Aktual = = 1.974,8 m /hari
0,025
3 3
= 82,28 m /jam = 1,37 m /menit.
120
Difuser udara menggunakan difuser tipe “ Fine Bubble Diffuser “ dengan
spesifikasi sebagai berikut :
Spesifikasi Diffuser :
Size : 250 mm
Connection Diameter : 3/4 -1 “
Flow rate : 60 - 80 liter per menit
(tipikal = 70 liter per menit)
Material : Plastik single membrane
2.000 liter/menit
Jumlah Diffuse yang diperlukan = = 28,6 buah
70 liter/menit per buah
121
Gambar 3.16 : Sistem Pemasangan Blower dan Difuser Udara.
122
3.5.3.7 Bak Pengendap Akhir
3 3
Debit Limbah = 200 m /hari = 8,33 m / jam = 138,8 liter per menit.
Waktu Tinggal Di dalam Bak = 4 jam
4 jam
3 3
Volume Bak Yang Diperlukan = x 200 m /hari = 33,33 m
24 jam/hari
Ditetapkan :
Dimensi Bak :
Lebar = 6,0 m
Kedalaman air efektif = 2,0 m
Panjang = 3,0 m
Tinggi ruang bebas = 0,5 m (disesuaikan dengan kondisi
lapangan).
3
Volume Aktual = 6 m x 2 m x 3 m = 36 m .
Standar JWWA :
2
Beban permukaan = 20 – 50 m3/m .hari. (JWWA)
123
3.5.3.8 Media Pembiakan Mikroba
124
Spesifikasi Pompa :
Tipe : Pompa Celup
Kapsitas : 120 liter per menit
Total Head : 9 meter
Jumlah : 2 buah (satu untuk cadangan)
Listrik : 375 watt, 220-240 volt
125
Gambar 3.18 : Gambar Disain IPAL Biofilter Anaerob-Aerob. (Tampak Atas)
126
Gambar 3.20 : Gambar Disain IPAL Biofilter Anaerob-Aerob Dengan Teras.
(Tampak Atas)
127
Gambar 3.23 : Gambar Disain IPAL Biofilter Anaerob-Aerob.
(Potongan C – C)
128
Gambar 3.25: Gambar Disain IPAL Biofilter Anaerob-Aerob.
(Potongan E – E)
129
Gambar 3.27 : Gambar Disain IPAL Biofilter Anaerob-Aerob.
(Potongan G – G)
130
Gambar 3.30: Gambar Disain IPAL Biofilter Anaerob-Aerob dan Kolam
Bio-indikator.
(Tampak Atas, Tampak Depan dan Tampak Samping)
131
Gambar 3.31 : Gambar Disain Bak pemisah lemak, bak Ekualisasi, IPAL
Biofilter Anaerob-Aerob dan Kolam Bio-indikator.
(Tampak Atas, Tampak Depan dan Tampak Samping)
132
Gambar 32 : Bak Pemisah Lemak dan IPAL Biofilter Anaerob-Aerob
133
Gambar 35 : Pemasangan Difuser Udara.
134
Gambar 37 : IPAL Rumah Sakit Dengan Proses Biofilter Anaerob-Aerob
3
Kapasitas 200 m per hari Yang Telah Terpasang.
135
Gambar 38 : Air Limbah Sebelum dan Sesudah Pengolahan.
136
BAB 4
PAKET INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH
RUMAH SAKIT KAPASITAS 30 M3 PER HARI
Untuk IPAL rumah sakit dengan kapasitas kecil dapat dibuat dalam
bentuk paket IPAL rumah sakit yang kompak sehingga pengerjaannya lebih
cepat dan praktis serta tidak memerlukan area yang luas. Untuk rumah
sakit yang sudah beroperasi, jika harus membuat IPAL maka sedapat
mungkin tidak mengganggu aktifitas rumah sakit. Reaktor paket IPAL
Rumah sakit dapat dibuat dari bahan baja yang dilapis dengan cat anti
karat atau dari bahan fiberglass. Untuk pemasangannya dapat dipendan di
dalam tanah, diletakkan di atas tanah maupun di tanam sebagian. Salah
satu contoh paket IPAL rumah sakit dari bahan baja adalah paket IPAL
Rumah Sakit St. YUSUF yang berada di Jl. Ganggeng Raya No. 9 Tanjung
Priok - Jakarta Utara. Kapasitas instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
3
direncanakan sebesar 30 m per hari dengan menggunakan proses biofilter
anaerob-aerob.
137
Pengelolaannya harus mudah.
Lahan yang diperlukan tidak terlalu besar.
Konsumsi energi sedapat mungkin rendah.
Biaya operasinya rendah.
Lumpur yang dihasilkan sedapat mungkin kecil.
Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang
cukup besar.
Dapat menghilangkan padatan tersuspensi (SS) dengan baik.
Perawatannya mudah dan sederhana.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas untuk pengolahan air limbah rumah
sakit teknologi yang banyak digunakan saat ini adalah kombinasi proses
biofilter anaerob- aerob.
138
dialirkan ke bak ekualisasi secara gravitasi. Selanjutnya air limbah di dalam
bak ekualisasi dipompa ke unit instalsi pengolahan air limbah ( IPAL)
Biofilter Anaerob-Aerob dengan menggunakan pompa celup secara
otomatis.
Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan proses biofilter
anaerob-aerob terdiri dari beberapa bagian yakni bak pengendap awal,
biofilter anaerob (anoxic), biofilter aerob, bak pengendap akhir, dan jika
perlu dilengkapi dengan bak kontaktor khlor. Air limbah yang berasal dari
proses penguraian anaerob (pengolahan tahap perama) dialirkan ke bak
pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran
lainnya. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungasi sebagai bak
pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang berbentuk
padatan, sludge digestion (pengurai lumpur) dan penampung lumpur.
Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak
kontaktor anaerob dengan arah aliran dari atas ke dan bawah ke atas. Di
dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan
plastik berbentuk sarang tawon. Jumlah bak kontaktor anaerob ini bisa
dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan
diolah. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan
oleh bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik Setelah beberapa hari
operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-
organisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang
belum sempat terurai pada bak pengendap.
Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak kontaktor
aerob. Di dalam bak kontaktor aerob ini diisi dengan media dari bahan
PVC tipe sarang tawon (honeycomb tube) sambil diaerasi atau dihembus
139
dengan udara sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat
organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada
permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikro-
orgainisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada
permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi
penguraian zat organik, deterjen serta mempercepat proses nitrifikasi,
sehingga efisiensi penghilangan ammonia menjadi lebih besar. Proses ini
sering di namakan Aerasi Kontak (Contact Aeration). Dari bak aerasi, air
dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang
mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke
bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air
limpasan (over flow) dialirkan ke bak penampung air olahan. Dari bak
penampung air olahan selajutnya dipompa ke Khlorinator. Di dalam
khlorinator ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor dalam bentuk
tablet untuk membunuh mikroorganisme patogen. Dari unit khlorinator air
olahan selanjutnya dialirkan ke alat pengukur aliran (flow meter). Air yang
keluran dari flowmeter merupakan air olahan dan dapat dibuang ke
saluran umum.
Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain dapat
menurunkan zat organik (BOD, COD), juga dapat menurunkan amoniak,
deterjen, padatan tersuspensi (SS), phospat dan lainnya. Dengan adanya
proses pengolahan lanjut tersebut konsentrasi BOD dalam air olahan yang
dihasilkan relatif rendah yakni sekitar 20-30 ppm. Diagram proses
pengolahan air limbah rumah sakit dengan proses biofilter anaerob-aerob
dapat dilihat pada Gambar 4.1.
140
Gambar 4.1 : Diagram Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Bersalin St. Yosep dengan
3
Proses Biofilter Anaerob-Aerob Kapasitas 30 m per hari .
141
4.4 Spesifikasi Teknis Instalasi Pengolahan Air Limbah
3
Rumah Sakit Kapasitas 30 m per hari
3
Kapasitas = 30 m /hari
Influent BOD = 300 ppm
Influent SS = 200 ppm
Effluent BOD = 30 ppm
Effluent SS = 30 ppm
Efisiensi Pengolahan = 90 %
Pemisah Lemak
Dimensi :
Panjang : 100cm
Lebar : 100 cm
Tinggi : 120 cm
Bahan : Mild Steel dilapis dengan anti karat.
Tebal : 4 mm
142
Gambar 4.2 : Potongan Melintang dan Tampak Atas Bak Ekulaisasi &
Pemisah Lemak
143
Bak Ekualisasi
Dimensi :
Panjang : 200cm
Lebar : 200 cm
Tinggi : 230 cm
Bahan : Mild Steel dilapis dengan anti karat.
Tebal : 4 mm
Konstruksi bak pemisah lemak dan bak ekualisasi dapat dilihat
seperti pada Gambar 4.3.
144
4.4.3 Pompa Air Limbah
Tipe : Pompa Celup / submersible pump
Kapasitas : 50 – 100 liter per menit
Total Head :5-8 m
Output listrik : 350-500 watt
Material : Stainless Steel
Jumlah : 2 (dua) buah (1 cadangan).
145
Reaktor I :
Dimensi :
Panjang : 400 cm
Lebar : 200 cm
Tinggi : 230 cm
Bahan : Mild Steel dilapis dengan anti karat.
Tebal : 4 mm
Media Penyangga : Media Sarang Tawon
Perlengkapan : Tangga untuk inspeksi.
146
Reaktor II :
Dimensi :
Panjang : 370 cm
Lebar : 200 cm
Tinggi : 230 cm
Bahan : Mild Steel dilapis dengan anti karat.
Tebal : 4 mm
Media Penyangga : Media Sarang Tawon
147
Gambar 4.7 : Blower Udara Tipe HIBLOW 200.
4.4.6 Pompa Sirkulasi
148
4.4.7 Media Biofilter
Material : PVC sheet
Ketebalan : 0,15 – 0,23 mm
Luas Kontak Spsesifik : 200 – 226 m2/m3
Diameter lubang : 3 cm x 3 cm
Warna : bening transparan.
Berat Spesifik : 30 -35 kg/m3
Porositas Rongga : 0,98
4.4.8 Flowmeter
Merk :-
Diameter Inlet/Outlet :2“
Material : Carbon Steel
149
Gambar 4.10 : Flowmeter.
4.4.9 Khlorinator
Material : PVC
Diameter : 4" cup 10 “
Tinggi : 30/L60 cm
150
4.4.10 Elekrikal dan Panel Kontrol
Box panel
Material : Stell Coated powder
Ukuran : 50 x 60 cm
Kelengkapan
MCB 1 phase 4,6 ,10 Amp - 220
Volt
Earth Copper Rod Tape 1"
T Doz, Ruber Tape 3 - M
Contactor D - 10,8 Amp-220 Vac
Selector Switch Amp - 220 Volt
Pilot Lamp 2 Amp - 220 Volt
Cu Bus Bar, Earth Bus Bar
Cable Duct 25 x 25 mm
Terminal Blok 12 Pole
Volt Meter 1 Phase - 500 Volt
Kabel
Ukuran : 3 x 2,5 500 Volt
Tipe : NYY
151
4.4.11 Foto Pembangunan IPAL Biofilter Anaerob-Aerob
3
Kapasitas 30 m per hari.
152
Gambar 4.15 : Pondasi Keliling.
153
Gambar 4.17 : Pembesian Lantai.
154
Gambar 4.19 : Pengadukan Batu Split, Pasir, Semen.
155
Gambar 4.21 : Perapihan Bantalan Reaktor (IPAL)
156
Gambar 4.23 : Pembuatan kolam Biokontrol.
157
Gambar 4.25 : Pengecatan dan finishing Reaktor Biofilter.
158
Gambar 4.27 : Pemasangan Reaktor IPAL Biofilter.
159
Gambar 4.29: Pemasangan Bak Equalisasi.
160
Gambar 4.31: Flowmeter.
161
Gambar 4.33 : Panel Kontrol.
162
3
Gambar 4.35 : IPAL Biofilter Anaerob-Aerob kapasitas 30 m per
163
Gambar 4.36 : Kolam Biokontrol.
164
minimum maka maka pompa air limbah akan berjalan dan air
limbah akan dipompa ke reaktor biofilter pada sistem IPAL. Jika
permukaan air limbah di dalam bak ekualisasi mencapai level
minimum pompa air limbah secara otomatis akan berhenti (mati).
6. Setelah itu dilakukan proses aerasi dan proses sirkulasi air dari bak
pengendapan akhir ke bak pengendapan awal di dalam reaktor
aerob.
165
7. Proses pembiakan mikroba dapat dilakukan secara alami atau
natural karena di dalam air limbah domestik sudah mengandung
mikroba atau mikroorganisme yang dapat menguraikan polutan
yang ada di dalam air limbah atau dapat pula dilakukan seeding
dengan memberikan benih mikroba yang sudah dibiakkan.
8. Jika pengoperasian IPAL dilakukan dengan pembiakan mikroba
secara alami, proses operasional yang stabil memerlukan waktu
pembiakaan (seeding) sekitar 1-2 minggu. Waktu adaptasi
tersebut dimaksudkan untuk membiakkan mikroba agar tumbuh
dan menempel pada permukaan media biofilter. Jika proses
pembiakan mikroba (seeding) dilakukan dengan memberikan
benih mikroba yang sudah jadi , proses dapat stabil dalam waktu 1
minggu.
9. Pertumbuhan mikroba secara fisik dapat dilihat dari adanya
lapisan lendir atau biofilm yang menempel pada permukaan
media.
10. Proses disinfeksi atau pembunuhan kuman yang mungkin masih
ada didalam air olahan IPAL dilakukan dengan memberikan khlor
tablet kedalam Khlorinator. Jika khlor tablet di dalam hklotinator
sudah habis harus diisi kembali.
Catatan :
166
limbah sampai penuh dan keluar ke bak kontrol outlet. Selanjutnya debit
pompa air limbah yang masuk ke dalam reaktor dan pompa sirkulasi diatur
sesuai dengan kapasitas perencanaan.
Unit IPAL ini dilengkapi dengan dua buah blower yang dioperasikan
secara terus menerus (kontinyu). Blower udara dijalankan secara bersama-
sama.
Pengoperasian Pompa Air Limbah Dan Pompa Sirkulasi
Unit IPAL dilengkapi dengan satu buah pompa air limbah dan dua
buah pompa sirkulasi (pompa celup) yang dioperasikan secara terus
menerus (kontinyu). Pompa air limbah secara otomatis akan berjalan jika
permukaan air limbah di dalam bak ekualisasi cukup tinggi dan akan
berhenti secara sendirinya jika permukaan air di dalam bak ekualisasi turun
sampai level minimum, sedangkan pompa sirkulasi dijalankan secara
kontinyu.
Unit IPAL ini tidak memerlukan perawatan yang khusus, tetapi ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
167
Bak kontrol harus dibersihkan secara rutin minimal satu minggu
sekali atau segera jika terjadi penyumbatan oleh sampah padat.
Perawatan rutin pompa dan blower udara dapat dilihat pada buku
operasional dan perawatan dari pabriknya.
168
2) Selanjutnya air limbah di dalam Reaktor Biofilter Anaerob
dipompa dan dimasukkan ke Reaktor Aerob (pengolahan Lanjut)
sampai habis.
3) Air limbah di dalam Reaktor IPAL aerob terus di aerasi dan pompa
sirkulasi tetap jalankan minimal selama 6 jam.
4) Setelah itu air di dalam rekator biofilter boleh dibuang melalui
lubang pengeluaran.
169
Jenis Permasalahan Penyebab Cara mengatasi
Blower udara di bak Pipa saluran udara Lepas pipa, dan
aerobik bekerja bocor kemudian sambung
namun tidak lagi dengan lem
mengeluarkan pralon.
hembusan udara.
Blower udara di bak Listrik tidak Cek instalasi
aerobik tidak bekerja. mengalir. kelistrikan ke blower.
170
Jenis Permasalahan Penyebab Cara mengatasi
Konsentrasi Amoniak Udara Kurang di Cek blower dan
Masih tinggi dalam reaktor difuser udara masih
biofilter Aerobik bekerja dengan baik
kurang. atau tidak.
Waktu tinggal di Jika masih kurang
dalam reaktor kapasitas blower
biofilter aerobik perlu ditambah. Jika
kurang. difuser rusak perlu
diganti.
171
BAB 5
TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH
FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL
Air limbah yang berasal dari unit layanan kesehatan misalnya air
limbah rumah sakit, Puskesmas, Laboratorium Medis, Rumah Bersalin,
Klinik Kesehatan dan lainnya merupakan salah satu sumber pencemaran
air yang sangat potensial. Hal ini disebabkan karena air limbah rumah sakit
mengandung senyawa organik yang cukup tinggi juga kemungkinan
mengandung senyawa-senyawa kimia lain serta mikro-organisme patogen
yang dapat menyebabkan penyakit terhadap masyarakat di sekitarnya.
Selain itu air limbah yang dihasilkan dari kegiatan laboratorium media
kemungkinan mengandung senyawa organik (lemak, karbohidrat dan
protein), senyawa amoniak, padatan tersuspensi, logam berat serta
mikroorganisme patogen.
Jumlah rumah sakit di Indonesia lebih dari 1500 terdiri dari rumah
sakit pemerintah maupun swasta dengan berbagai kelas. Dari jumlah
tersebut masih banyak mengelola air limbahnya dengan baik. Fasilitas
layanan kesehatan yang lain yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia
adalah puskesmas. Berdasarkan data Depkes RI jumlah puskesmas di
Indonesia tahun 2010 sebesar 8652 unit dan sebagian besar masih belum
dilengkapi dengan unit pengolahan air limbah. Oleh karena potensi
dampak air limbah yang berasal fasilitas layanan kesehatan terhadap
172
kesehatan masyarakat sangat besar, maka seluruh unit fasilitas layanan
kesehatan diharuskan mengolah air limbahnya sampai memenuhi
persyaratan standar yang berlaku.
Berdasarkan keputusan Mentreri Negara Lingkungan Hidup Republik
Indonesia Nomor : Kep-58/MENLH/12/1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair bagi kegiatan Rumah Sakit, maka setiap rumah sakit atau fasilitas
layanan kesehatan harus mengolah air limbah sampai standar baku mutu
yang diijinkan. Dengan demilian maka kebutuhan akan teknologi
pengolahan air limbah rumah sakit khususnya yang murah dan hasilnya
baik perlu dikembangkan. Hal ini mengingat bahwa kendala yang paling
banyak dijumpai yakni teknologi yang ada saat ini masih cukup mahal,
sedangkan di lain pihak dana yang tersedia untuk membangun unit alat
pengolah air limbah tersebut sangat terbatas sekali.
Rumah sakit atau layanan kesehatan dengan kapasitas yang besar
umumnya mampu membangun unit alat pengolah air limbahnya sendiri
karena mereka mempunyai dana yang cukup. Tetapi untuk rumah sakit
tipe kecil sampai dengan tipe sedang misalnya puskesmas, rumah bersalin,
klinik umum serta laboratorium kesehatan dan lainnya, umumnya sampai
saat ini masih membuang air limbahnya ke saluran umum tanpa
pengolahan sama sekali.
Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dikembangkan teknologi
pengolahan air limbah rumah sakit atau layanan kesehatan yang murah,
mudah dan rendah biaya operasinya, khususnya untuk rumah sakit dengan
kapasitas kecil sampai sedang.
Pengolahan air limbah rumah sakit dengan kapasitas yang besar,
umumnya menggunakan teknlogi pengolahan air limbah “Lumpur Aktif”
173
atau Activated Sludge Process, tetapi untuk kapasitas kecil cara tersebut
kurang ekonmis karena biaya operasinya cukup besar. Untuk mengatasi hal
tersebut, perlu dikembangkan teknologi teknologi pengolahan air limbah
rumah sakit atau layanan kesehatan skala kecil yang murah, sederhana
serta perawatannya mudah. Salah satu alternatif teknologi adalah
pengolahan air limbah rumah sakit atau layanan kesehatan dengan proses
biofilter anaerob-aerob.
3
5.2.1 Pengolahan Air Limbah Kapasitas 2,5 m per hari (Menggunakan
Satu Unit Reaktor Biofilter)
174
selanjutnya air limpasan dari zona anaerob mengalir ke zona aerob melalui
lubang (weir). Di dalam zona aerob tersebut air limbah dialirkan ke unggun
media plastik sarang tawon sambil dihembus dengan udara. Air limbah dari
zona aerob masuk ke bak pengendapan akhir melalui saluran yang ada di
bagian bawah.
Air limbah yang ada di dalam bak pengendapan akhir sebagian
disirkulasikan ke zona anaerob, sedangkan air limpasan dari bak
pengendapan akhir tersebut merupakan air hasil olahan dan keluar melalui
lubang pengeluaran. Setelah proses berjalan selama dua sampai empat
minggu pada permukaan media sarang tawon akan tumbuh lapisan mikro-
organisme, yang akan menguraikan senyawa polutan yang ada dalam air
limbah. Diagram proses sistem biofilter anaerob-aerob dapat dilihat
seperti pada Gambar 5.1, sedangkan contoh unit IPAL biofilter anerob-
3
aerob kapasitas 2,5 m per hari yang telah terpasang dapat dilihat seperti
pada Gambar 5.2.
3
5.2.2 Pengolahan Air Limbah Kapasitas 5 m per hari
(Menggunakan Dua Unit Reaktor Biofilter)
175
Gambar 5.1 : Diagram Proses Pengolahan Air Limbah Layanan Kesehatan
Skala Kecil Menggunakan satu unit Reaktor Biofilter
3
Kapasitas 2,5 m per Hari.
176
3
Gambar 5.2 : IPAL Fasilitas Layanan kesehatan Kapasitas 2,5 m Per Hari.
(Menggunakan Satu Unit Reaktor)
177
umum. Diagram proses IPAL dengan sistem biofilter anaerob-aerob dengan
menggunakan dua unit reaktor dapat dilihat seperti pada Gambar 5.3,
3
sedangkan beberapa unit IPAL Biofilter anaerob-Aerob kapasitas 5 m per
hari yang telah terpasang dapat dilihat seperti pada Gambar 5.4 dan
Gambar 5.5.
178
3
Gambar 5.4 : IPAL Puskesmas Kapasitas 5 m Per Hari.
179
3
Gambar 5.5 : IPAL Fasilitas Layanan Kesehatan Kapasitas 5 m Per Hari.
3
(Menggunakan Dua Unit Reaktor Masing–masing 2,5 m )
180
Salah satu alternatif proses pengolahan air limbah yang berasal
fasilitas layanan kesehatan skala kecil yang mengandung logam berat
adalah pengolahan air limbah dengan proses biofilter, filter multi media
dan filter penukar ion. Pengolahan air limbah dilakukan dengan
menggunakan proses biofilter anaerob-aerob, dilajutkan dengan proses
filtrasi menggunakan media pasir silika, mangan zeolit dan karbon aktif
(filter multi media), selanjutnya diproses dengan filter penukar ion
(Gambar 5.6).
181
limbah. Air olahan dari filter penukar ion dialirkan ke unit khlorinasi untuk
membunuh mikro organisme patogen yang ada di dalam air, dan air olahan
dibuang ke saluran umum. Gambar peralatan Filter Multi Media dan Filter
Penukar Ion dapat dilihat Gambar 5.7. Contoh Instalasi Pengolahan Air
Limbah Layanan Kesehatan menggunakan Proses Biofilter Anaerob-Aerob,
Penyaringan dengan Filter Multi Media dan Penyaringan Dengan Filter
3
Penukar Ion. Kapasitas 5 m per hari dapat dilihat pada Gambar 5.8.
Gambar 5.7 : Filter Multi Media, Tangki Larutan Garam dan Filter Penukar
Ion yang Telah Terpasang.
182
Gambar 5.8 : Instalasi Pengolahan Air Limbah Klinik menggunakan Proses
Biofilter Anaerob-Aerob, Penyaringan dengan Filter Multi Media dan
3
Penyaringan dengan Filter Penukar Ion. Kapasitas 5 m per hari.
3
5.3 Spesifikasi Teknis Unit Ipal Biofilter Kapasitas 2,5 m Per Hari
Reaktor Biofilter
Dimensi :
Panjang Efektif : 180 cm
Lebar Efektif : 100 cm
Kedalaman efektif : 140 cm
Tinggi Ruang Bebas : 20 cm
3
Volume Efektif : 2,5 m
Diameter Inlet / Outlet :4“
3
Volume Media Biofilter : 0,81 m
Tipe media : Media plastik sarang tawon.
Keterangan : (Gambar 5.8 dan Gambar 5.9).
183
Gambar 5.8 : Reaktor Biofilter.
184
Blower :
Kapasitas : 40 lt/menit
Tipe : HI BLOW 40
Daya Listrik : 40 watt. 220 volt
Jumlah : 1 (dua) unit
Pompa Sirkulasi
Media Biofilter :
185
Gambar 5.10 : Media Biofilter Tipe sarang Tawon.
Klhorinator
Tinggi : 60 cm
Diamter :8”
Diameter Inlet/Outlet : 4”
Disinfektant : Khlor Tablet.
186
5.4. Keunggulan :
Beberapa keunggulan proses pengolahan air limbah dengan Proses
Biofilter, Filter Multi Media Dan Filter Penukar Ion anatara lain adalah :
187
BAB 6
DISINFEKSI
6.1 Pendahuluan
Disinfeksi adalah memusnahkan mikro-organisme yang dapat
menimbulkan penyakit. Disinfeksi merupakan benteng manusia terhadap
paparan mikro-organisme patogen penyebab penyakit, termasuk di
dalamnya virus, bakteri dan protozoa parasit (Biton, 1994).
Khlorinasi adalah proses yang paling awal pada abad ini untuk
pengaman terhadap mikro-organisme patogen. Pemusnahan patogen dan
parasit dengan cara disinfeksi sangat membantu dalam penurunan wabah
penyakit akibat konsumsi air dan makanan. Namun demikian pada tahun-
tahun belakangan ini ditemukan bahwa di dalam proses khlorinasi terjadi
hasil samping berupa senyawa halogen organik yang dapat meracuni
manusia maupun binatang, sehingga mendorong untuk menemukan
disinfektan yang lebih aman. Ditemukan pula bahwa beberapa patogen
atau parasit telah resistan terhadap disinfektan.
Sebagai fungsi tambahan selain kegunaannya untuk memusnahkan
patogen, beberapa disinfektan seperti khlorine dioxide, berfungsi juga
untuk oksidasi zat organik, besi dan mangan serta untuk mengontrol
masalah rasa, warna dan pertumbuhan alge.
188
yang tercemar atau air dengan kualitas yang buruk, baik secara langsung
melalui minuman atau makanan, dan akibat penggunaan air yang
tercemar untuk berbagai kegiatan sehari-hari untuk misalnya mencuci
peralatan makan dan lainnya. Bahaya terhadap kesehatan masyarakat
dapat juga diakibatkan oleh berbagai dampak kegiatan domestik, rumah
sakit, industri dan pertanian. Sedangkan bahaya tak langsung dapat terjadi
misalnya akibat mengkonsumsi hasil perikanan dimana produk-produk
tersebut dapat mengakumulasi zat-zat pulutan berbahaya.
Pencemaran air oleh virus, bakteri patogen, dan parasit lainnya,
atau oleh zat kimia, dapat terjadi akibat pencemaran oleh air limbah. Air
limbah rumah sakit merupakan salah satu sumber pencemaran virus,
bakteri patogen atau parasit. Oleh karena itu sangat perlu dilakukan proses
disinfeksi atau pembunuhan kuman di dalam air limbahnya. Di beberapa
negara yang sedang membangun (termasuk Indonesia), sungai, danau,
kolam (situ) dan kanal sering digunakan untuk berbagai kegunaan,
misalnya untuk mandi, mencuci pakaian, sarana rekreasi, tempat
pembuangan air limbah serta kotoran manusia (tinja), sehingga badan air
menjadi tercemar berat oleh virus, bakteri patogen serta parasit lainnya.
189
6.2.2 Jenis Mikroorganisme
190
Bagian ujung kurva merupakan akibat adanya subpopulasi dari populasi
heterogen mikro-organisme yang resistan terhadap disinfektan. Kurva A
menunjukkan populasi mikroorganisme homogen yang sensitif terhadap
disinfektan, Sedangkan kurva B menujukkan populasi mikroorganisme
homogen yang agak resistan terhadap disinfektan.
191
C = Konsentrasi disinfektan (mg/l).
t = Waktu yang diperlukan untuk memusnahkanpersentasi
tertentu dari populasi (menit)
n = Konstanta yang disebut koefisien pelarutan.
192
Nilai Ct untuk mikro-organisme patogen dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tingkat ketahanan terhadap khlorin sebagai berikut kista protozoa > virus >
bakteri vegetatif.
193
Nilai untuk menghancurkan 99 % mikro-organisme dengan ozon dalam
o
waktu 10 menit pada temperatur 10 – 15 C bervariasi dari 5 untuk
Entamoeba histolytica hingga 500 untuk E. Coli (Chang, 1982).
6.2.4 Pengaruh pH
194
6.2.7. Kekeruhan
Kekeruhan dalam air disebabkan adanya senyawa anorganik (misal
lumpur, tanah liat, oksida besi) dan zat organik serta sel-sel mikroba.
Kekeruhan diukur dengan adanya pantulan cahaya (light scattering) oleh
partikel dalam air. Hal ini dapat menggangu pengamatan coliform dalam
air, disamping itu kekeruhan dapat menurunkan efisiensi khlor maupun
senyawa disinfektan yang lain.
Kekeruhan (turbidity) harus dihilangkan karena mikroorganisme
yang bergabung partikel yang ada di dalam air akan lebih resistan terhadap
disinfektan dibandingkan dengan mikroorganisme yang bebas. Gabungan
Total Organic Carbon (TOC) dengan kekeruhan akan menaikkan kebutuhan
khlor. Mikroorganisme jika bergabung dengan zat kotoran manusia,
sampah dan padatan air buangan akan tahan terhadap disinfektan.
Penemuan ini penting untuk masyarakat yang mengolah air hanya dengan
khlorinasi.
Efek proteksi dari partikel di dalam air terhadap ketahanan
mikroorganisme di dalam proses disinfeksi tergantung pada ukuran dan
sifat alami dari partikel tersebut. Sel yang bergabung dengan poliovirus
lebih tahan terhadap inaktivasi khlor, sedangkan bentonite dan aluminium
phosphat bila bergabung dengan virus tidak memberikan efek proteksi
seperti tersebut di atas. Virus dan bakteri yang bergabung dengan
bentonite tidak tahan terhadap inaktivasi ozon. Studi di lapangan
menunjukkan virus yang bergabung dengan padatan lebih tahan terhadap
khlor dari pada keadaan bebas. Menurunkan kekeruhan ke tingkat lebih
kecil dari 0,1 NTU dapat menjadi ukuran untuk menghindari efek proteksi
dari partikel pada saat proses disinfeksi.
195
6.2.8 Pengaruh Faktor Lain
196
Cl2 + H2O HOCl + H
+ -
+ Cl
Gas asam
Khlor hipokhlorit
+ -
HOCl H + OCl
Asam ion
hipokhlorit hypokhlorit
-
Perbandingan HOCl dan OCl tergantung pada pH air. Khlor sebagai HOCl
-
atau OCl disebut sebagai khlorin bebas yang tersedia (free available
chlorine). Dissosiasi asam hipokhlorit (HOCl) akan berkurang pada pH
rendah (suasana asam). Pada pH 5 atau lebih kecil sisa khlor akan berupa
HOCl, pada pH 7,5 sekitar 50 % sisa khlor berupa HOCl dan pada pH 9
-
sebagian besar sisa khlor berupa OCl .
HOCl bergabung dengan amonia dan senyawa organik nitrogen
membentuk khloramin, yang dapat bergabung dengan khlorin yang
tersedia.
-
Dari ketiga senyawa khlor (HOCl, OCl dan NH2Cl), asam hipokhlorit
merupakan senyawa yang paling efektif untuk menginaktivasi
mikroorganisme dalam air. Keberadaan zat yang mengganggu akan
mengurangi efektifitas khlor, sehingga diperlukan konsentrasi khlor yang
tinggi (20–40 ppm) untuk mengurangi virus.
Khlor terutama HOCl, umumnya sangat efektif untuk inaktivasi
patogen dan bakteri indikator. Pengolahan air dengan pembubuhan khlor
1mg/l dengan waktu kontak kurang dengan waktu 30 menit umumnya
197
efektif untuk mengurangi bakteri dalam jumlah yang cukup besar.
Campylobacter jejuni menunjukkan lebih dari 99% dapat diaktivasi dengan
dosis 0,1 mg/l khlorin bebas (waktu kontak 5 menit). Virus enteric
walaupun sangat bervariasi dalam hal ketahanan terhadap khlor, namun
umumnya patogen ini lebih tahan dari pada bakteri vegetatif. Hal ini
menjelaskan mengapa virus sering terdeteksi pada efluen pengolahan
kedua (secondary treatment). Khloramin lebih tidak efisien dibandingkan
sisa khlor bebas pada proses inaktivasi virus. Kista protozoa (misal Giardia
Lamblia, Entamoeba histolytica, Naegleria gruberi) lebih tahan terhadap
khlor dari pada bakteria dan virus. Dengan adanya HOCl pada pH = 6, Ct
untuk E.Coli adalah 0,04 dibandingkan Ct 1,05 untuk poliovirus tipe I dan Ct
80 untuk G.lamblia.
Cryptosporidium sangat tahan terhadap disinfektan. Khlor atau
monokhloramin diperlukan konsentrasi 80 mg/l untuk meng-inaktivasi 90
% dengan waktu kontak 90 menit. Parasit ini tidak inaktivasi secara
sempurna dengan larutan 3 % sodium hypokhlorit dan oocysts dapat
bertahan hingga 3 sampai 4 bulan dalam larutan 2,5 % potasium
dichromat. Parasit ini sangat tahan terhadap disinfektan pada pengolahan
air minum, maupun air limbah. Di dalam proses pengolahan air minum
sisa khlor di dalam air olahan yang sampai ke konsumen dipertahankan
minimal 0,1 mg/l (JWWA,1978). Beberapa contoh unit kontaktor senyawa
khlor di dalam pengolahan air limbah rumah sakit dapat dilihat seperti
pada Gambar 6. 2 dan Gambar 6.3. Senyawa khlor yang diijeksikan ke
dalam air limbah dapat berupa larutan (cairan) atau dalam bentuk tablet.
Untuk IPAL rumah sakit kapasitas kecil umumnya proses disinfeksi
dilakukan dengan menggunakan khlor tablet (Gambar 6.3).
198
Gambar 6.2 : Bak Kontaktor Khlorine untuk Proses Disinfeksi
Air Olahan IPAL.
199
Gambar 6.3 : Contoh Kontaktor Khlorinator Menggunakan Khlor Tablet.
200
Khlor dan tembaga menyebabkan kerusakan besar pada bakteri
coliform dalam air minum. Bakteri yang rusak tidak dapat berkembang
apabila terdapat zat-zat tertentu (misal sodium lauryl sulfate, sodium
deoxycholate). Namun demikian patogen yang rusak akibat khlor dan
tembaga (misal enterotoxigenic E.coli) tetap menghasilkan enterotoxin dan
mampu baik kembali dalam perut halus binatang dan tetap bersifat
patogen. Hal ini menunjukkan kerusakan sel akibat pengolahan dengan
khlor tetap dapat membahayakan kesehatan. Kerusakan akibat khlor dapat
terjadi pada beberapa jenis patogen termasuk enterotoxicgenic E.coli,
salmonella typhimurium, Yersinia enterocolitica dan Shigella spp. Luasnya
kerusakan akibat khlor tergantung pada jenis mikroorganismenya.
201
1) Perusakan Kemampuan Permeabilitassel (Disruption Of Cell
Permeability).
Khlor bebas merusak membran sel bakteri, hal ini menyebabkan sel
kehilangan permeabilitasnya (kemampuan menembus) dan merusak fungsi
sel lainnya. Pemaparan pada khlor menyebabkan kebocoran protein, RNA
dan DNA. Sel mati merupakan hasil pelepasan TOC dan material yang
menyerap sinar UV, pengurangan pengambilan (uptake) potasium dan
pengurangan sintesis protein dan DNA. Perusakan kemampuan
permeabilitas merupakan juga penyebab perusakan spora bakteri oleh
khlor (Bitton,1994).
Secara umum resiko adanya bahan kimia dalam air tidak sejelas
adanya mikroorganime patogen, hal ini disebabkan kurangnya data hasil
202
samping proses disinfeksi. Sifat racun senyawa khlor dan hasil sampingnya
(by products) merupakan hal yang penting untuk diketahui. Sekitar 79 %
dari populasi di USA terpapar oleh khlor yang berasal dari air minum (US
EPA 1989). Ada keterkaitan antara khlorinasi air minum dengan dengan
meningkatnya risiko kanker usus. Keterkaitan ini sangat kuat untuk
konsumen yang terpapar air yang dikhlorinasi selama lebih dari 15 tahun
(Craun, 1988).
Trihalomethan (THM) seperti khloroform, dikhlorometan,
bromodikhlorometan, dibromo-khlorometan, bromoform, 1,2
dikhloroetan, dan karbon tetrakhlorida merupakan senyawa khlor yang
dihasilkan akibat proses khlorinasi air. Senyawa senyawa tersebut bersifat
karsinogen. Kemungkinan pula ada hubungan antara khlorinasi air dengan
meningkatnya risiko cardiovascular namun masih perlu diteliti lagi (Craun,
1988). Pengetahuan ini mendorong U.S EPA untuk menentukan batas
kandungan maximum (MCL) THM sebesar 100 g/l.
Pengolahan air dengan khloramin tidak menghasilkan trihalometan,
oleh sebab itu konsumen yang meminum air yang diolah dengan khloramin
menunujukkan penurunan penyakit kanker dibandingkan mengkonsumsi
air yang diolah dengan proses khlorinasi (Zierler, 1987).
Ada beberapa pendekatan untuk mengontrol dan mengurangi
trihalometan (THM) dalam air minum yaitu (Wolfe, 1984) :
203
Menghilangakan senyawa THM yang telah terjadi dengann cara
adsorbsi menggunakan filter karbon aktif.
Menggunakan alternatif disinfektan lain untuk proses disinfeksi yang
tidak menimbulkan THM (misal khloramin, ozon atau ultra violet).
6.3.6 Khloraminasi
204
NHCl2 + HOCl NCl3 + H2O
Trikhloramin
205
Gambar 6.4 : Kurva Kebutuhan Dosis untuk Reaksi Khlorin dengan Amonia.
206
air minum jangan didisinfektan hanya dengan khloramin, kecuali jika
kualitas sumber airnya baik. Inaktivasi patogen dan parasit dengan
khloramin disimpulkan pada Tabel 6.2.
207
khlorin dioksida harus diproduksi di tempat. Khlor dioksida (ClO2)
dihasilkan dari reaksi gas khlor dengan sodium khlorit sesuai dengan
persamaan reaksi sebagai berikut :
atau dapat juga dihasilkan dari reaksi antaraasam khlorida (HCl) dengan
sodium atau natrium khlorit dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
4 HCl + 5 NaClO2 5 ClO2 + 5 NaClO2 + 2 H2O
ClO2 tidak terhidrolisa dalam air namun berada sebagai gas terlarut. Dalam
larutan alkali, zat ini membentuk khlorit dan khlorat
ClO2 + ClO3 + H2O
- - -
2 ClO2 + OH
Pada pengolahan air, khlorit paling banyak terbentuk. Untuk
mengurangi pembentukan THM, ClO2 digunakan sebagai preoksidan dan
disinfektan utama kemudian diikuti dengan penambahan khlor untuk
menjaga residual khlor.
208
Tabel 6.2 : Inaktivasi mikroorganisme di dalam air dengan khloramin.
o
Jenis Mikroba Air Suhu ( C) pH Perkiraan Harga Ct
Bakteia :
E. coli BDF 5 9,0 113
Coliforms, tap water + 1 % air limbah 20 6,0 8,5
Salmonella.typhimurium, domestik
Salmonella. sonnei
M. fortuitum BDF 20 7,0 2.667
M. avium BDF 17 7,0 -
M. Intracellulare BDF 17 7,0 -
Virus :
Polio I BDF 5 9,0 1.420
Polio I Efluen primair 25 7,5 345
Hepatitis A BDF 5 8,0 592
Coliphage MS2 BDF 5 8,0 2.100
Rotavirus SA11 :
Dispersed BDF 5 8,0 4.034
Cell -associated BDF 5 8,0 6.124
Protozoan –cysts :
G. muris BDF 3 6,5 – 7,5 430 - 580
G. muris BDF 5 7,0 1.400
209
6.4.3 Cara Kerja Khlor Dioksida
210
BAB 7
MONITORING DAN EVALUASI
7.1 Monitoring
211
Pengambilan sampel harus sesuai dengan Standar yang berlaku
atau SOP pengambilan sampel limbah cair (untuk memudahkan
komparasi dan perhitungan efesiensi).
• Gunakan parameter standar limbah RS secara nasional atau yang
berlaku di daerah setempat.
• Frekuensi sampling dan analisis minimal 1 kali/bulan
• Baku mutu air limbah mengacu pada baku mutu nasional sesuai
dengan Keputusan MenLH No. 58 Tahun 1995 (Lampiran B) atau
baku mutu wilayah yang ditetapkan pemerintah Daerah setempat.
Monitoring kualitas air limbah ada dua jenis yaitu monitoring
berkala dan rutin.
212
memonitoring kinerja sistem IPAL guna memudahkan melakukan tindakan
dini (early warning) dalam perbaikan sistem tersebut. Parameter yang
dipantau biasanya pH, suhu, Amonia, Dissolved Oxygen (DO), KMnO4, TSS,
dan debit air limbah dengan frekuensi harian. Lokasi monitoring pada
outlet, inlet dan pada tangki aerasi. Secara umum monitoring rutin ini
dapat menjaga agar sistem tetap berjalan secara optimal. Lembar
swapantau IPAL rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 7.1.
KOMPONEN
PARAMETER Tgl Tgl Tgl Tgl
SISTEM IPAL
LAUNDRY Suhu
Aliran
pH
TSS
GREASE TRAP Suhu
Aliran
pH
TSS
SEPTIK TANK Suhu
Aliran
pH
TSS
BAK PENGENDAP
Suhu
AWAL
Aliran
pH
TSS
BIOFILTER ANAEROB Suhu
213
Aliran
pH
TSS
BIOFILTER AEROB Suhu
Aliran
pH
DO
Amonia
KmnO4
BAK PENGENDAP
Suhu
AKHIR AKHIR
Aliran
pH
TSS
Amonia
KMNO4
BAK
KADAR CHLOR
KHLOR/DESINFEKSI
3
DEBIT M /Hari
INDIKATOR IKAN HIDUP
214
12. Pencatatan pada flow meter (pencatatan perbedaan kenaikan
angka pada flow meter per hari/minggu/bulan) – membutuhkan
kedisiplinan tenaga.
13. Hasil perhitungan debit dan fluktuasinya disajikan dalam laporan
bulanan.
Data yang dibutuhkan hasil analisis lab air limbah influen dan
efluen.
Perhitungan efisiensi menggunakan satuan % dan diterapkan
untuk parameter BOD.
Rumus/formulasi :
215
loading desain IPAL). BOD loading hasil perhitungan harus di
bawah BOD loading desain, bila nilainya melebihi maka kinerja
IPAL over loading (pengaruh ke kualitas air limbah efluen).
Rumus/formulasi :
3
BOD loading (Kg BOD/hari) = Debit (m /hari) x konsentrasi BOD
influen (mg/l)
Data yang dibutuhkan : debit air limbah, jumlah tempat tidur (TT)
dan data BOR rata-rata bulanan.
Perhitungan produksi air limbah menggunakan Liter/TT/hari
Rumus/formulasi :
3
Volume air limbah (M /bln)
Sat Prod. AL = -------------------------------------- : 30 hari
(Jml TT x % BOR)
216
7.2 Evaluasi
217
DAFTAR PUSTAKA
218
• Chudoba, J, Grau. P and Ottova, V (1973) Control of activated sludge
filamentous bulking II: Selection of micro-organisms by means of a
selector. Water Res. 7 1389 pp.
• Chudoba, J. 1989. Activated Sludge –Bulking Control, pp. 171-202, In :
Encyclopedia Of Environmental Control Technology, P.N.
Cheremisinoff, Ed. Gulf Publishing Co., Houston, TX.
• Clark,R.M., E.J. Read, and J.C. Hoff. 1989. Analysis of inactivation of
giardia lamblia by chlorine. Journal Environ. Eng. Div. Am.
Soc.Civ.Eng.115:80-90.
• Craun,G.F. 1988. Surface water supplies and health. Journal American
Water Works Association. 80:40-52.
• Curd, C.R., and H.A. Wakes, Eds. !983.Ecological Aspects Of Used-
Water Treatment, Vol.1, Academic, London.
• Davis, M.L., and Cornwell.1985. Introduction to Environmental
Engineering.PWS Engineering, Boston.
• Flathman, P.E., ”Bioremediator: Field Experience”, CRC Press. Inc,
USA, 1994.
• Gaudy, A.F., and E.T. Gaudy. 1988. Elements of Bioenvironmental
Engineering. Engineering Press. San Jose, CA.
• Grady, C.P.L and Lim, H.C.(1980). “Biological Wastewater Treatment”,
Marcel Dekker Inc. New York.
• Hamer, M. J., " Water And Waste water Technology ", Second Edition,
John Wiley And Sons, New York, 1986.
• Hibler, C.P., C.M. Hancock. 1987. Waterborne giardiasis, In : Drinking
Water Microbiology, G.A. McFeters, Ed. Springer-verlag. New York.
219
• Hikami, Sumiko., “Shinseki rosohou ni yoru mizu shouri gijutsu (Water
Treatment with Submerged Filter)”, Kougyou Yousui No.411, 12,1992.
• Hitdlebaugh, J.A., and R.D. Miller, “Operational Problems With
Rotating Biological Contactor”, Journal Water Pollution Control Fed.
53:1283-1293. 1981.
• Hoff, J.C., E.W. Akin. 1986. Microbial resistance to disinfectant :
Mechanisms and significance. Environ.Health Perspect.
• Keputusan Menteri Kesehatan No. 1204/Menkes/SK/X2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
• Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia,
Nomor : KEP-58/MENLH/12/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair
Bagi Kegiatan Rumah Sakit.
• Kirsop, B.H. 1984. Methanogenesis. Crit. Rev. Biotechnology. 1 : 109-
159.
• Koster,I.W. 1988. Microbial, chemical and technological aspects of the
anaerobic degradation of organic pollutants, pp.285-316, in :
Botreatments Systems, Vol. I, D/L. Wise, Ed. CRC Press, Boca Raton,
FL.
• McInernay, M.J., M.P. Bryant, R.B. Hespel, and J.W. Costerton. 1981.
Syntrophomonas wolfey, gen. nov. sp. Nov., An anerobicsyntrophic,
fatty acid-oxidizing bacterium. Applied Environmental Microbiology.
50 : 1395-1403.
• Metclaf And Eddy , " Waste Water Engineering”, Mc Graw Hill 1991.
• Moris, J.C. 1975. Aspect of the quantitative assessment of germicidal
efficiency. In : Disinfection of water and Wastewater, J.D. Johnson,
Ed. Ann Arbor Science, Ann Arbor, MI.
220
• Nelson, P.O., and A.W. Lawrence. 1980. Microbial Viability
Measurements and Activated Sludge Kinetics. Water Researh 14:217-
225.
• Noss, C.I., and V.P. Olivieri, 1985. Disinfecting capabilities of
oxychlorine compounds. Appl. Environ. Microbiology.50:1162-1164.
• Painter, H.A. 1970. A Review of Literature On Inorganic Nitrogen
Metabolism In Micoorganism. Water Research. 4: 393-450.
• Painter, H.A., and J.E. Loveless. 1983. Effect of Temoperature and pH
Value 0n The Growth Rate Contants Of Nitrifying Bacteria in the
Activated Sludge Process. Water Research. 17: 237-248. 1983.
• Polprasert, .1989. Organic Wastes Recycling. Wiley, Chichester, U.K.
• Reynolds, T.D., ”Unit Operations And Processes In Environmental
Engineering”, B/C Engineering Division, Boston, 1985.
• Sahm, H. 1984. Anaerobic wastewater treatment. Adv. Biochem. Eng.
Biotechnol. 29: 84-115.
• Said, Nusa Idaman, Arie Herlambang, Wahyu Widayat, “Pengolahan
Air Limbah Industri Kecil Tekstil dengan Proses Biofilter Anaero-Aerob
Tercelup Menggunakan Media Plastik Sarang Tawon”, Teknologi
Untuk Negeri (TUN), BPPT. 2002.
• Said, Nusa Idaman, Teknologi Pengolahan Air Limbah Dengan Proses
Biofilm Tercelup, JTL, DTL, BPPT, 2000.
• Said, Nusa Idaman, Wahyu Widayat, Arie Herlambang, Machdar, E.C.,
“ Aplikasi Teknologi Biofilter Untuk Pengolahan Air Limbah Industri
kecil Tekstil”, Pusat Pengkajian Dan Penerapan teknologi Lingkungan,
BPPT, 2002.
221
• Speece, R.E. 1983. Anaerobic biotechnology for industrial wastewater
treatment. Environmental Science Technology. 17 : 677-683.
• Sterritt, R.M., and J.N. Lester. 1988. Microbiology for Environmental
and Public Health Engineers. E.&F.N. Spon, London.
• Sykes, J.C., 1989. The Use Of Biological Selector Technology to
Minimize Sludge Bulking. In : Bio logical Nitrogen and Phosphorus
Removal : The Florida Experience. TREEO Center, University Of
Florida, Gainesville, Florida.
• U.S. EPA .1989. Drinking Water Health Effects Task Fosce. Health
Effects Of Water Treatment Technologies. Lewis Pubs. Chelsea, MI.
• U.S. EPA, 1975. Process Design Manual for Nitrogen Control. Office of
Technology Transfer, Washington , D.C.
• U.S. EPA.1987. The Causes and Control of Acativated Sludge Bulking
anf Foaming. EPA-625/8-87/012, Cincinnati, Ohio.
• Verstraete, W., and E. Van Vaerenbergh, ” Heterotrophic Nitrification
By Arthrobacter Sp”, Journal Bacteriology. 110:955-961. 1972.
• Viessman W, Jr., Hamer M.J., “ Water Supply And Polution Control “,
Harper & Row, New
• Vogels, G.D., J.T. Keltjensand, and C. Van der Drift. 1988. Biochemistry
of methan production , pp.707-770, in : Biology of Anaerobic
Microorganisms, A.J.B. Zehnder, Ed. Wiley, New York.
• Wolfe, R.L., N.R. Ward, and B.H. Olson.1984. Inorganic chloramines as
drinking water disinfectants.
• Zeikus, J.G. 1980. Chemical and fuel production by anaerobic bacteria.
Annual Rev. Microbiology. 34 : 423-464.
222
• Zierler,S., R.A. Danley, and L. Feingold. 1987. Type of disinfectant in
drinking water patterns of mortality in Massachussetts.
Environmental Health Perspect. 68: 275-287.
223
LAMPIRAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP-58/MENLH/12/1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
224
NOMOR : KEP-58/MENLH/12/1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT
Menimbang :
Mengingat :
1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl.
Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl.
1940 Nomor 14 dan Nomor 450;
225
2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Tenaga Atom (lembaran Negara Tahun 1964
Nomor 124, tambahan Lembaran negara Nomor 2722;
3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah (lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
38, tambahan lembaran Negara Nomor 56);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
(Lembaran negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
(Lembaran Negara tahun 1992 Nomor 100, tambahan Lembaran
negara Nomor 3495);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1987 tentang Penyerahan
Sebagian Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kesehatan Kepala
daerah (Lembaran Negara Tahun 1987 Nomor 9 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3347);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal di daerah (Lembaran negara Tahun 1988
Nomor 10, Tambahan Nomor 3373);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara tahun 1990
Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
226
10. Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai
(Lembaran negara Tahun 1991 Nomor 24, tambahan lembaran
negara Nomor 3409);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993
tentang Pembentukan kabinet pembangunan VI;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993
tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994
tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat
227
berfungsi sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian;
2. Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair
yang kemungkinan mengandung mikroorganisme pathogen,
bahan kimia beracun, dan radioaktivitas;
3. Baku Mutu Limbah cair Rumah Sakit adalah batas maksimal
limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari suatu
kegiatan rumah sakit;
4. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan
hidup;
5. Bapedal adalah badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur
Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah
Istimewa;
Pasal 2
1. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan rumah sakit adalah
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini.
2. Baku Mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditinjau secara berkala sekurang-kurangya sekali dalam 5
(lima) tahun.
Pasal 3
Bagi setiap rumah sakit yang :
a. Telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku
baku Mutu Limbah cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran A
228
dan wajib memenuhi Baku mutu limbah cair sebagaimana
tersebut dalam lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari
2000;
b. Tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya
keputusan ini, dan beroperaasi setelah dikeluarkannya keputusan
ini, berlaku baku Mutu Limbah Cair lampiran A dan wajib
memenuhi Baku Mutu Limbah cair lampiran B selambat-
lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
c. Tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah
dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam lampiarn B.
Pasal 4
1. Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar
parameter Baku mutu Limbah cair sebagaimana tersebut dalam
lampiran keputusan ini setelah mendapat persetujuan :
a. Menteri dan menteri yang membidangi rumah sakit
untuk parameter nonradioaktivitas
b. Menteri dan Direktur Jenderal Bidang Atom nasional
untuk parameter radioaktivitas.
2. Tanggapan dan/atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini diberikan selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
3. Apabila dalam jangka waktu senagaimana tersebut dalam ayat (2)
pasal ini tidak diberikan tanggapan dan/atau persetujuan, maka
permohonan dianggap telah disetujui.
229
Pasal 5
1. Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah cair lebih ketat
dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan
ini.
2. Apabila Gubernur tidak menetapkan baku Mutu limbah cair lebih
ketat atau sama dengan baku Mutu limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu
Limbah Cair dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 6
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan rumah sakit
mensyaratkan baku Mutu limbah cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 5 ayat
(1), maka bagi kegiatan rumah sakit tersebut berlaku Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak
lingkungan.
Pasal 7
Setiap penanggung jawab kegiatan atau pengelola rumah sakit wajib :
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sebelum dibuang ke
lingkungan sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan
tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;
b. Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air
sehingga tidak terjadi perembesan ke tanah serta terpisah dengan
saluran limpahan air hujan;
230
c. Memasang alat ukur debit laju alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini kepada
laboratorium yang berwenang sekurang-kurangnya satu kali
dalam sebulan;
e. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar
parameter baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud huruf c
dan d sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Gubernur
dengan tembusan Menteri, Kepala Bapedal, Direktur Jenderal
Badan Tenaga Atom Nasional, instansi teknis yang membidangi
rumah sakit serta instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Pasal 8
Bagi kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang
mengandung atau terkena zat radioaktif pengelolanya dilakukan sesuai
dengan ketentuan Badan Tenaga Atom Nasional.
Komponen parameter radioaktivitas yang diberlakukan bagi rumah
sakit sesuai dengan bahan radioaktif yang dipergunakan oleh rumah
sakit yang bersangkutan.
Bagi rumah sakit yang tidak menggunakan bahan radiokatif dalam
kegiatannya, tidak diberlakukan kelompok parameter radioaktivitas
dalam pemeriksaan limbah cair rumah sakit yang bersangkutan
231
Pasal 9
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau pasal 6 Keputusan
ini, dan persyaratan dalam pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun
1990 tentang Pengendalian pencemaran Air Wajib dicantumkan dalam izin
Undang-undang gangguan (Hinder Ordinnantie).
Pasal 10
Apabila baku Mutu limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat 91) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran
keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu
Limbah cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini
wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair dalam
Keputusan ini selambat-lambatnya satu tahun setelah
ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 11
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Desember 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Sarwono Kusumaatmadja
232
o LAMPIRAN A
o LAMPIRAN B
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-58/MENLH/12/1995
233
LAMPIRAN B
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-58/MENLH/12/1995
234