Anda di halaman 1dari 9

180

BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT JAWA

Arya Ronald
Jl. Dr. Soetomo 74, Yogyakarta
Email : arya211143@yahoo.co.id

ABSTRAK

Atas ridhlo Allah SWT, dengan segala kerendahan hati kami ingin menghadirkan
sebuah karya tulis, yang barangkali dapat menggugah kesadaran para pembaca
terhormat, bahwa kita mempunyai peninggalan budaya nenek moyang yang tidak
ternilai tingginya di sekitar kehidupan kita. Penulisan sebelum ini telah banyak
mengungkap berbagai nilai, yang melekat pada karya budaya mereka, yang di
dalamnya tersirat idealisme dan perilaku mereka pada waktu itu. Setelah itu, timbul
keinginan untuk melakukan penelitian tentang perkembangan rumah masyarakat Jawa
yang tinggal di kota pada periode akhir abad ke 20 ini, sebab sepintas lalu terlihat gejala
bahwa masyarakat Jawa telah banyak meninggalkan berbagai kaidah yang
berhubungan dengan pembangunan rumahnya. Jadi tulisan ini bertujuan menjelaskan
bahwa sebuah karya arsitektur pada dasarnya adalah sebuah bahasa, yang
mengungkapkan pesan budaya kepada umum.

Kata Kunci: budaya, bahasa, arsitektur

PENDAHULUAN dapat diperiksa dari bukti-bukti yang telah


Bangsa Indonesia termasuk dalam ditemukan. Bukti-bukti itu antara lain dari
rumpun bangsa yang tinggal di kawasan Asia kemapanan berbahasa, pengetahuan yang
Tenggara, banyak dipengaruhi oleh suku ditandai oleh ungkapan bernilai filsafat, aneka
bangsa Cina, India dan kepulauan Pasifik usaha untuk dijadikan mata-pencahariannya -
Selatan. Mereka membawa pola kehidupan selain bercocok-tanam juga berdagang dan
budaya masing-masing, sambil melakukan berolah jasa, teknologi dalam mewujudkan
penyebaran ke berbagai pulau dan kepulauan rumah sebagai tempat tinggalnya dan aneka
di Indonesia, seperti dari daratan Asia kesenian – mulai dari seni sastra, musik,
Tenggara yang membawa muatan budaya pentas, aneka rupa dan seni bangunan
Cina dan India. Menjalar masuk melalui (Wessing.R.,1978). Dari berbagai ungkapan
jazirah Melayu, kemudian meneruskan karya budaya mereka yang dapat dibaca dari
sebarannya ke beberapa pulau seperti karya sastranya, tampak sekali bahwa mereka
Sumatera dan Kalimantan, berlanjut ke telah hidup dan berkembang cukup pesat
Sulawesi dan Jawa. Sebaran rumpun bangsa tidak hanya dalam karyanya saja, tetapi juga
ini berlanjut ke arah kepulauan Nusa dalam berperi-laku dan bahkan juga dalam
Tenggara bagian Barat. Sebaran ini mengembangkan aneka gagasan. (Hardjo-
membawa serta kehidupan budayanya wirogo, 1984)
sendiri. Ketika sebaran itu telah bercampur,
maka mulailah berkembang menjadi suku PEMBAHASAN
bangsa baru, yang tinggal di wilayah yang Kebudayaan Jawa sebagai sebuah
berbeda-beda kemudian membentuk warna wawasan menunjukkan bahwa masyarakat
budaya baru pula. Jawa memiliki satu bentuk pandangan hidup
Suku Jawa dalam hal kehidupan yang cukup matang, hal itu ditandai dengan
budayanya – menurut penuturan berbagai aneka kepercayaan yang mereka anut, aneka
acuan (Geertz,C.,1960) menunjukkan bahwa pengetahuan atau keilmuan yang diserap,
pada jaman yang hampir bersamaan dengan kehidupan penuh dengan etika dan nilai
suku bangsa lain di Indonesia, termasuk suku estetika yang berpola sangat mendasar.
bangsa yang telah mapan. Kemapanan ini Salah satu bentuk pandangan hidup yang
dapat ditemukan dari beberapa realita, yang dapat diterangkan secara panjang lebar

Arya Ronald, Budaya Bermukim Masyarakat Jawa


181

adalah faham kejawen, yang hidup di antara Hadiningrat, sehingga terbentuklah keseim-
kepercayaan dan agama yang berkembang bangan yang bernilai universal (Mulder,J.A.N.,
saat itu. Sebagai sebuah faham, maka faham 1975). Ungkapan semacam itu pada awalnya
inipun mempunyai bentuk ajaran yang cukup merupakan suatu ajaran atau nasehat
mantap, antara lain dalam filsafat kosmologi (pitutur), namun ternyata dapat diterjemahkan/
Jawa, yang mampu mengawali perkem- ditransformasikan ke dalam aneka bentukan
bangan teologi di kemudian hari (Hadiwijono, baik yang tampak (tengible) maupun yang
H., 1967). Pada masa-masa kejayaannya, tidak tampak (intengible). Salah satu wajah/
faham ini berkembang dan telah begitu bentuk yang tampak adalah perwujudan
mengakar dalam sebagian besar hidup arsitektur rumah Jawa, terdiri dari beberapa
berbudaya mereka, sehingga sampai saat bangunan di dalamnya yaitu Topengan,
inipun faham itu masih banyak dijumpai tetap Pendhapa, Pringgitan, Dalem Ageng, Andong
berada dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sekar, juga Gedhong Abang, Gedhong
Kalau faham-faham ini cenderung muncul Kanthil, Pawetan, Patehan, Paseban,
dalam ungkapan yang dipergunakan dalam Gedhong Gangsa dan Regol. Kalau ungkapan
rangka berkomunikasi dengan pihak lain atau itu sebuah ajaran, maka demikian pula halnya
berbahasa, salah satu bentuk bahasa lain dengan arsitektur rumah Jawa – dengan
yaitu bahasa non-verbal, terungkap dalam penamaan dan pembedaan fungsi tiap
karya mereka yaitu rumah tinggal – sebagai bangunan, dapat kiranya merefleksikan
karya arsitektur mereka (Herusatoto, B., keberadaannya menjadi suatu bentuk ajaran
1983). pula. Ajaran itu khususnya ditujukan kepada
penghuninya dan secara umum kepada pihak
ARSITEKTUR JAWA lain yang berhubungan sosial dan budaya
Arsitektur sebagai satu bentuk hasil dengan penghuni rumah.
budaya masyarakat Jawa, mengandung Arsitektur sebagai sebuah karya budaya
beberapa prinsip yaitu meliputi ungkapan dapat menempatkan diri menjadi salah satu
fungsional, estetika dan susunan detil bagian dari unsur kebudayaan Jawa
konstruksi. Dalam kenyataan yang dapat (Koentjaraningrat, 1984) – terdiri dari unsur
diketemukan dalam artefak yang mereka bahasa, sistem kepercayaan, sistem sosial,
tinggalkan dari sejak jaman lalu, terlihat sistem ekonomi, sistem pengetahuan,
bahwa baik ungkapan fungsional, estetika teknologi dan kesenian.
maupun konstruksi erat hubungannya dengan
pola pikir dan perilaku mereka, banyak
mengacu kepada faham kejawen sebagai
landasan filsafat kosmologinya. Seperti dapat
dilihat pada bangunan rumah tinggal jabatan
Bupati Juru Kunci Puralaya di Imogiri, yang
dalam gaya, sifat maupun kegunaan
bangunannya memperlihatkan peran, status
dan kedudukannya sebagai pelayan/petugas
(abdi dalem) keraton, mempunyai kewajiban
menerima Sultan bersama keluarganya,
sebelum berjalan terus melanjutkan
perjalanan berziarah ke makam raja-raja di Gambar 1. Dalem Bupati Juru Kunci
bukit Imogiri dan selain itu juga mengayomi Puralaya,Imogiri
masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Sumber: Dokumen Penulis
Semisal dalam sebuah ungkapan Jawa
‘manunggaling kawula lan gusti’, memberikan Bilamana diarahkan pada kedudukan
indikasi cukup kuat bahwa eksistensi rumah Jawa dalam kajian kebendaan, maka
seseorang itu (dalam gambar 1 ditunjukkan objek itu dekat dengan unsur-unsur teknologi
contoh rumah jabatan Juru Kunci makam raja- dan kesenian (seni bangunan), namun seperti
raja di Imogiri, Bantul, DIY) berada menyatu telah disinggung sebelumnya bahwa ternyata
dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih unsur-unsur kebudayaan Jawa yang lain juga
besar yaitu Kasultanan Ngayogyakarta

Sinektika Vol.14 No.1, 2014


182

melekat pada rumah itu, seperti halnya faham jangka waktu yang cukup panjang, mulai dari
kosmologi yang kadang-kala meningkat perencanaan sampai dengan mewujudkan
menjadi sebuah kepercayaan, bahasa bangunan itu; sedangkan saat ini
arsitektur, status sosial penghuni, derajat pembangunan dapat dianggap suatu kegiatan
ekonomi penghuni rumah dan kapasitas yang tidak perlu dilakukan sendiri oleh calon
seseorang dalam pengembangan ilmu dan penghuninya. Dengan demikian, masalah
teknologi di lingkungan sekitarnya ( Minai, berkaitan dengan pembangunan rumah telah
A.T.,1984). Dalam hal demikian ini bergeser dari tanggung-jawab keluarga
keberadaan arsitektur rumah Jawa dapat menjadi tanggungjawab umum atau bahkan
dijadikan acuan cukup berbobot untuk pihak pemerintah.
mengenal manusia dan masyarakat Jawa Bagi manusia Jawa rumah adalah
seutuhnya – baik dalam hubungannya dengan bagian dari kehidupan budaya, yang pada
peran, kekuasaan maupun kekuatannya, yang masa lalu merupakan bayangan cermin dari
terjadi dalam lingkup kehidupan budaya Jawa. kepribadian manusianya, sebagian dilihat dari
Pembangunan rumah tinggal di mana penampakan luarnya - namun dengan
dan kapanpun merupakan masalah hidup mempelajari bagian-bagian dari rumah
utama, sebab rumah merupakan salah satu dapatlah segera diketahui nilai kepribadian
dari sekian tuntutan kebutuhan utama manusia yang melatar-belakangi kehadiran
manusia. Masalah kebutuhan utama hidup rumah dalam lingkungan permukiman itu. Dari
manusia yang difahami oleh masyarakat kedua sisi itu yaitu kebudayaan dan
Indonesia pada umumnya dan Jawa kepribadian, kemudian dijabarkan ke dalam
khususnya adalah pangan, sandang dan unsur-unsurnya, artinya bilamana dicari
papan; yang terakhir yaitu papan diterima rumusan berkaitan dengan kebutuhan
secara sempit sebagai tempat tinggal atau manusia akan rumah tinggal yang timbul dari
rumah, meskipun secara lebih luas lagi dapat persilangan itu, dapatlah segera difahami
berarti bahwa semua tempat yang akan bahwa ternyata keberadaan rumah bagi tiap
dipergunakan untuk tinggal manusia - baik individu yang bergabung dalam sebuah rumah
dalam waktu singkat maupun lama – adalah tangga mengandung banyak sekali
papan yang dipungut dari istilah Jawa papan pertimbangan (Mulder, N., 1973). Unsur-unsur
dan mapan (mantab atau stabil). Dengan kebudayaan itu adalah: bahasa, organisasi
pemahaman ini dapat ditafsirkan sementara sosial, sistem pengetahuan, peralatan hidup
bahwa mereka selalu berusaha untuk hidup dan teknologi, mata-pencaharian hidup, atau
dan menetap lebih mantab dalam kurun waktu kehidupan beragama, religi atau ber-
lama, sehingga diungkapkan dengan istilah kepercayaan dan kesenian (Koentjaraningrat,
kerasan atau dapat bertahan cukup lama. 1980). Unsur kepribadian itu adalah:
Agar supaya kehidupan menjadi stabil, maka pengalaman melakukan hubungan antar
hubungan satu dengan lain anggota manusia, sistem nilai, pola pikir, sikap hidup,
masyarakat harus sampai kepada tingkatan perilaku hidup dan kaidah hidup. (Soekanto,
akrab, saling memperhatikan, bahkan juga S. dan Soleman, B.T., 1983) Bilamana kedua
saling tolong-menolong atau gotong-royong – unsur itu dipersilangkan, seharusnya muncul
seperti terlihat pada upaya mereka sebuah karya dari hasil berbudi daya,
membangun rumah, yang pada dasarnya sekaligus karya itu memancarkan sinar
mendapat bantuan dari tenaga para tetangga kepribadian pemilik atau penghuninya.
di sekitarnya.
Lagi, ternyata bahwa pembangunan PERUBAHAN BUDAYA BERMUKIM
rumah tinggal itu sendiri saat ini tidak lagi Beberapa segi yang mempengaruhi
sama dengan pada masa yang lalu, bahwa proses pembangunan rumah tinggal - baik
rumah itu dikerjakan oleh para tetangga di pada masa yang lalu, maupun sekarang -
sekitarnya – kalau di pedesaan, sedang kalau perlu difahami perubahan pengaruhnya,
di perkotaan kebanyakan sudah diserahkan mengingat bahwa dengan aspek yang sama
begitu saja kepada pemborong bangunan ternyata menghasilkan eksistensi rumah
secara profesional. Bagi generasi lampau tinggal yang berbeda. Dengan memahami
pembangunan dipandang sebagai proses proses pem-bangunan rumah tinggal dan
mendirikan rumah yang berlangsung dalam kaitannya dengan kehidupan budaya dan

Arya Ronald, Budaya Bermukim Masyarakat Jawa


183

perkem-bangan bentuk kepribadiannya dapat untuk semua bangsa di dunia ini. Dengan nilai
di-bayangkan bahwa pembangunan rumah rata-rata yang sama ini, maka semua tuntutan
seharusnya dari waktu ke waktu akan selalu kebutuhan dan tantangan hidup manusia akan
mengalami perubahan, baik itu dipengaruhi berada pada garis rata-rata. Kalau tuntutan
oleh tuntutan dari dalam maupun tantangan dan tantangan itu telah sama, berarti
dari luar. Kalau yang mempengaruhi proses pelayanan untuk memenuhi tuntutan dan
itu masih dalam lingkup kebudayaan dan persiapan untuk dapat menghadapi tantangan
kepribadian saja, maka tuntutan dari luar dan dapat disediakan dengan format yang sama
dari dalam telah cukup untuk melakukan pula. Timbul pertanyaan, apakah dengan pola
perubahan dalam proses pembangunan pikir tentang standard ini nantinya akan
rumah. (Mulder,N.,1973). Yang perlu dikhawa- memberikan kemudahan atau justru akan
tirkan adalah bilamana pembangunan itu tidak membuat kehidupan manusia makin
lagi memiliki landasan kebudayaan, apalagi terbelenggu?
kalau dilakukan dengan mengabaikan Pola berpikir desentralisasi, timbul
kepribadian yang seharusnya melekat pada anggapan bahwa hidup manusia tumbuh dan
diri orang yang berkepentingan membuat berkembang bersama-sama dengan
rumahnya sendiri. perkembangan bentuk kegiatan sehari-hari,
Dengan demikian telah menjadi satu bersama-sama dengan orang lain dalam
kenyataan, bahwa terdapat pergeseran pola suatu kelompok tertentu. Kegiatan itu sendiri
mulai dari tanggung-jawab keluarga menjadi akan terbentuk dengan ciri-ciri khasnya
tanggung-jawab umum. Salah satu aspek dari sendiri, sehingga kelompok satu dengan
masing-masing sisi yang dapat dipastikan lainnya mempunyai potensi dan kondisi
mempengaruhi proses ini adalah sistem tertentu yang dapat menghasilkan perbuatan
pengetahuan dari sisi kebudayaan dan pola dan karya budaya (artefak) yang khas pula.
pikir dari sisi kepribadian, telah cukup untuk Mengingat bahwa nilai rata-rata hidup semua
merubah proses itu. Secara umum, keduanya orang tetap sama, namun derajat
telah bertolak dari alam kehidupan tradisional profesionalitas kelompok satu dengan lainnya
yang statik menurut pendapat orang yang anti dapat berbeda, maka produk yang dihasilkan
tradisi menuju kenyataan global yang dinamik. oleh kelompok tertentu akan lebih baik dari
Tulisan ini akan berusaha membuat kelompok yang lain - sekalipun hasil itu semua
sistematika perubahan yang terjadi pada tiap dapat dimanfaatkan oleh semua orang. Dari
aspek bilamana mungkin, sekaligus juga pola pikir demikian, telah menunjukkan bahwa
membuat sistematika tentang hal-hal yang kelompok masyarakat atau bangsa tertentu
akan berpengaruh pada pembangunan rumah dapat menjadi sumber inspirasi, inisiatif dan
sejak masa lalu dan sekarang. Sistem kreasi bagi pihak lain dan pihak lain tentu
pengetahuan yang dipergunakan seharusnya akan memanfaatkannya semaksimal mungkin.
mengacu pada sistem pohon ilmu Timbul pertanyaan, dapatkah kererataan
pengetahuan, sedang pola pikir hendaknya seperti itu memunculkan sistem desentralisasi
mengacu pada pola pendekatan kefilsafatan. yang berkembang sehat, seimbang dan
Globalisasi sebagai kebudayaan serasi?
mengandung beberapa ujud budaya antara  Pola pikir yang berkaitan dengan interaksi,
lain adalah pola-pikir global yang di dalamnya menganggap bahwa manusia akan dapat
terdapat unsur karakteristik yang relevan hidup dengan baik manakala tidak
dengan pertimbangan berlingkup inter- membatasi dirinya dalam lingkungan hidup
nasional, yang juga berkaitan dengan penger- yang sempit dengan radius yang sangat
tian standardisasi, desentralisasi dan interaksi terbatas. Dengan perkataan lain, mau
(Afiff,F.,1994). Pola pikir berarah pada produk membuka dirinya dengan melakukan
standard telah beranggapan bahwa kehidup- interaksi secara meluas ke segala penjuru
an budaya manusia mempunyai nilai rata-rata, dengan kelompok masyarakat atau bangsa
sekalipun nilai rata-rata ini untuk budaya lain. Interaksi ini membuka wawasan
bangsa satu dengan lainnya tidak sama. Pada seseorang agar mengenal dengan baik
masa perkembangan budaya akhir-akhir ini nilai rata-rata yang sama untuk semua
telah diupayakan untuk disamaratakan artinya orang, juga memahami potensi dan kondisi
bahwa nilai rata-rata itu hendaknya sama pihak lain untuk dapat mengukur peran,

Sinektika Vol.14 No.1, 2014


184

status dan kedudukan dalam kehidupan lain dengan lingkungan masyarakat di


manusia di dunia ini. Interaksi ini nantinya sekitarnya; kecenderungan ini diciptakan
akan menumbuh-kembangkan kesadaran jelas untuk memperoleh perlindungan
dirinya untuk menerima standardisasi dan (proteksi) dengan menampilkan identitas
desentralisasi yang baru, yang sebelumnya yang melekat dengan dirinya dan
tidak pernah dikenalnya sama sekali, yang lingkungan atau kerabat terdekatnya;
akhirnya akan diterima sebagai suatu pemikiran global itu pada dasarnya
kenyataan hidup. Dari jabaran tentang mempunyai kecenderungan besar tumbuh
ketiga bentuk pola pikir global, kemudian berarah sebaliknya, yaitu mengurangi
timbullah pertanyaan: apakah pola pikir sebanyak mungkin ciri-ciri eksklusif,
semacam ini merupakan barang baru bagi bergeser menuju ke arah kepentingan rata-
masyarakat Indonesia pada umumnya dan rata, sehingga secara sosio-psikologis
masyarakat di daerah khususnya atau timbul kelonggaran atau toleransi perasaan
telah ada sejak beberapa waktu yang lalu? yang cukup besar
Pertanyaan ini perlu memperoleh jawaban  sikap global yang beralih dari tradisional
mengingat permasalahan global telah statik (vernakular) menuju ke dinamik-
dekat sekali di depan telinga semua orang produktif yang akan membuka diri untuk
di negara ini terutama mereka yang telah bermitra kerja dengan pihak di luar
akrab dengan kehidupan perkotaan. lingkungan kehidupan tradisional; sikap
 Bertitik-tolak kepada pemahaman tentang vernakular timbul karena segala bentuk
global secara terbatas, sementara istilah kinerja yang dirasakan telah mencapai titik
Jawa sudah mendunia, diketahui oleh mapan; membuat orang terlena untuk tidak
masyarakat dunia, telah dipakai oleh mengembangkan lagi padahal keadaan di
masyarakat dunia, maka timbul pertanyaan sekitarnya akan tumbuh dan juga
bukankah pengertian Jawa dan budayanya berkembang terus; kehidupan budaya itu
merupakan budaya yang global pula. Hal pada dasarnya sepanjang masa akan
ini dapat dikemukakan di sini mengingat selalu mengalami pengembangan, akibat
bahwa keberadaan manusia Jawa boleh dari besarnya pengaruh luar yang dapat
dikatakan mendunia, dengan pengertian masuk dan merasuki pola pikir masyarakat,
bahwa tiap orang Jawa di manapun dapat yang berarti pengaruh ini harus ditanggapi
melakukan kontak dan hubungan sosial, dengan sikap dinamik yang produktif untuk
budaya dan ekonomi dengan siapapun di menjaga diri agar tidak tertinggal oleh arus
dunia, sehingga dia dapat mempengaruhi kemajuan yang terjadi di lingkungan
dan dapat pula menerima pengaruh dari sekitarnya
siapapun. Kalaulah kerataan dalam  perilaku global yang melakukan interaksi
globalisasi ditandai dengan standardisasi, kerja dengan cara alih orientasi dari soal
desentralisasi dan interaksi, maka tiap memenuhi kebutuhan dan kepentingan
orang Jawa itu bertolak dari kepentingan lingkungan yang terbatas dan terlalu
dan kebutuhannya sendiri pasti akan berpihak pada alur historik yang pernah
membentuk format kehidupan berdasarkan ada, menuju kepada perluasan batas yang
modal budaya yang dibawanya. Dengan berpihak pada kepentingan dunia luas atau
begitu, tanpa kampanye besar-besaran dunia internasional; dalam lingkup perilaku
tentang globalisasi, keberadaan budaya ini di dalamnya terdapat unsur tutur-kata
Jawa itu sendiri telah membentuk atmosfer (bahasa, sistem, metoda komunikasi),
kehidupan global. tingkah laku (sepak-terjang yang efisien/
Globalisasi sebagai satu pengaruh, pada berdaya-guna dan efektif / berhasil guna),
umumnya menyentuh kehidupan pada tindak-tanduk (etika profesional yang
beberapa segi, sebagai berikut: universal), sopan santun (etiket yang
 pemikiran global yang melepaskan diri dari menjunjung tinggi keberadaan hak azasi
ikatan spesifikasi lokal maupun nasional manusia secara universal dan bukan etiket
dan juga mengarah ke multi-nasional dan dengan pengertian sempit/ lokal) dan
untuk selanjutnya ke internasional; tenggang-rasa (toleransi fisik dan rasa
spesifikasi yang juga berkembang pada yang sudah melebur dalam tatanan sosio-
saat ini terdorong oleh kehendak eksklusif psikologi dalam ukuran universal); perilaku

Arya Ronald, Budaya Bermukim Masyarakat Jawa


185

erat hubungannya dengan wilayah teritorial  mistis yang merasakan dirinya berada
kehidupan seseorang atau masyarakat dalam kekuatan gaib; sebuah kekuatan
tertentu, dalam kaitannya dengan yang lebih besar yang berpengaruh pada
kehidupan global akan memperluas batas satu bagian atau keseluruhan kehidupan
teritorial dari skala lokal menuju ke skala budaya seseorang
internasional, berarti ada pemekaran batas  ontologis yang ingin selalu mengetahui dan
teritorial meneliti hal ikhwal berhubungan dengan
 pengaturan global pada dasarnya terlalu kehidupannya baik langsung maupun
mengikatkan diri pada kebutuhan insti- secara tidak langsung; sebuah keinginan
tusional yang sempit menuju pada yang muncul dari benak orang karena
perluasan kebutuhan institusional yang dalam takdir yang diterimanya, telah
akan dapat menampung kepentingan diterimakan kemampuan untuk berfikir dan
masyarakat lingkungan internasional; berkreasi
kalaulah pengaturan ini berpijak pada hal-  fungsional yang berusaha mengadakan
hal yang berhubungan dengan pengaruh, relasi-relasi baru suatu kaitan yang baru
sikap dan perilaku seperti diuraikan terhadap segala sesuatu dalam ling-
sebelum ini, maka besaran institusi tidak kungannya; sebuah kemampuan yang
perlu dipersoalkan lagi dan bahkan sifat dimiliki orang sebagai makhluk yang hidup
kelembagaan yang terbatas pada dirinya berkoloni baik itu dilakukan secara naluriah
sendiri telah ditinggalkan, beralih pada maupun atas dasar kemampuan menalar-
kepentingan semua pihak (internasional), nya, yang kesemuanya itu ada dalam
seperti yang banyak dilakukan oleh lingkup kebudayaan saling berhubungan
masyarakat berbudaya Jawa. satu dengan lainnya dan budaya yang
Globalisasi sebagai satu kenyataan emperik, terbentuk oleh tanggapan yang dipelajari
yang pada umumnya menyentuh beberapa atas situasi tertentu, yang berlangsung
kebutuhan konsumtif-ekonomis (using up of berulang-ulang secara konsekuen dan
commodities or services, as opposed to their konsisten.
production) manusia meliputi pangan, Kepribadian sebagai satu pengaruh
sandang dan papan. Kehidupan nyata yang pada umumnya menyangkut pemikiran
sebenarnya tidak berdiri atas ukuran pribadi berkepribadian yang selalu berusaha
tiap orang, melainkan satu orang dengan mengembangkan kehidupan diri mengikuti
lainnya saling mempengaruhi, sehingga perkembangan jaman, sekalipun tidak mele-
secara kuantitatif maupun kualitatif dan paskan dari hakekat inti kehidupannya (Jawa:
mengalami perubahan terus menerus, ber- sejatining urip, sejatining laku). Kemudian,
kembang seiring dengan perkembangan menyangkut perihal sikap berkepribadian
jaman dan perjalanan waktu. Kedekatan yang membuka diri untuk bertoleransi besar
terhadap sumber pengaruh berakibat besar terhadap pengaruh luar yang datang
dalam upaya melakukan perubahan kenya- kemudian, mungkin sekali merubah berbagai
taan hidup, sehingga baik tuntutan kebutuhan tatanan yang ada sebelumnya. Lebih lanjut,
maupun tantangan berasal dari lingkungan menyangkut perilaku berkepribadian dalam
sekitarnya tetap dapat berkembang saling bentuk gerak laku yang memberikan
mempengaruhi untuk sampai pada kedudukan dukungan sepenuhnya pada sikap, dalam
‘keseimbangan’ yang relatif diharapkan oleh banyak hal akan membentuk tatanan hidup
pihak yang bersangkutan. sejahtera baik lahir maupun batin sesuai
Kepribadian sebagai bagian dari dengan ketentuan sikapnya. Selebihnya,
kebudayaan mengandung pola pikir adalah menyangkut pengaturan berkepri-
berkepribadian, yang beranggapan bahwa badian yang pada dasarnya merupakan
budaya bukan merupakan bawaan sejak lahir bentuk upaya nyata yang berkaitan erat
namun suatu hal yang dapat dipelajari dengan tatanan perilakunya, ini merupakan
(Ronald,A., 1992), sehingga kehidupan bentuk ungkapan nyata dari perilaku untuk
budaya bukanlah suatu perujudan hidup yang dapat dimengerti oleh masyarakat luas yang
statis dan mati. Selain itu, juga mengandung berada di sekitarnya.
perbuatan yang berkepribadian, yang di
dalamnya terdapat berbagai dimensi yaitu:

Sinektika Vol.14 No.1, 2014


186

Kehidupan budaya Jawa setelah kepribadian semacam itu telah menjadi


melampaui masa kejayaan pada jaman kabur, sehingga rumah dengan ciri-ciri
kesultanan atau kasunanan Jawa pada masa khas berkepribadian Jawa tampak sulit
yang lalu, tampak telah mengalami banyak ditemukan di lapangan sekalipun tidak
perubahan terutama bagi mereka yang tetap berpakaian Jawa bukankah dalam tataran
tinggal di wilayah pulau Jawa khususnya di berbahasa berlangsung terus baik secara
Jawa Tengah (Surakarta) dan Daerah verbal maupun non-verbal?
Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta). Wilayah
ini pada masa yang lalu telah banyak dikenal ARSITEKTUR DALAM FORMAT BAHASA
sebagai sumber awal perkembangan kebu- Arsitektur sebagai sebuah bentuk yang
dayaan Jawa, dengan sebutan Negari Gung di dalamnya mengandung berita, sedangkan
(negari adalah negara atau kawasan dan berita yang dimaksudkan di sini – seperti telah
gung berasal dari kata agung yang berarti djelaskan sebelum ini adalah suatu bentuk
besar atau dapat pula ditafsirkan seperti ajaran moral, yang diharapkan dapat
pusat). Untuk memahami berbagai perubahan mendewasakan orang yaitu paling sedikit
itu, perlu berpijak pada sudut pandang adalah penghuni rumah itu. Ajaran moral
tertentu, yang dari waktu ke waktu dapat dalam hal ini ditujukan khususnya kepada
bertindak sebagai faktor yang menentukan keluarga yang tinggal di dalamnya atau lebih
berbagai bentuk perubahan kehidupan tepatnya dalam berarsitektur rumah Jawa,
budaya bersangkutan; faktor itu antara lain adalah keluarga yang tinggal di dalam rumah.
adalah geografi, kemasyarakatan (faham) dan Ajaran Jawa membedakan orang ke dalam
kepribadian. Bertitik-tolak dari gambaran ini empat status keluarga, yaitu keluarga inti,
dapatlah dirumuskan beberapa masalah majemuk atau keluarga dekat, kerabat dekat
berikut ini, yaitu: dan kerabat jauh atau orang lain sama sekali.
a) masyarakat Jawa semula tinggal di Di samping status keluarga, ajaran ini juga
kawasan subur, di dataran rendah dan membedakan sasarannya yaitu orang dewasa
hidup sebagai masyarakat agraris, saat ini dan anak-anak, sehingga sebegitu jauh bagi
sebagian besar jumlah penduduk berada orang dewasa merupakan kewajiban, sedang
di perkotaan dengan potensi dan kondisi bagi anak-anak masih harus belajar lebih
geografis yang sangat berbeda, sehingga dahulu dengan arahan dari panutannya yaitu
rumah Jawa dengan ciri-ciri khasnya orang - orang yang lebih tua atau yang
sudah sulit ditemukan lagi; bukankah seharusnya telah memiliki pengetahuan
kehidupan budaya tidak hanya tentang hidup berbudaya sebagaimana
bergantung pada ujud artefaktual semata? diwariskan oleh generasi pendahulunya.
b) sebagian terbesar masyarakat Jawa Selain itu, ajaran moral ini membedakan
semula hidup berbudaya menganut faham kemasan dalam perujudan yang berskala
“kejawen”, pada saat ini bahkan keaslian sakral dan profan, yang memperlihatkan nilai-
suku Jawa telah tidak murni lagi nilai spiritual dari sebuah berita, merupakan
mengingat keberadaan suku ini telah bagian utama yang selalu mewarnai setiap
banyak bercampur kehidupan budaya dari bentuk pemberitaan dalam kehidupan sehari-
suku bangsa pendatang yang lain dan hari.
sudah cukup lama tidak lagi menganut Dalam ajaran yang bertolak pada status
faham itu sekalipun pada umumnya keluarga, terdapat jarak perbedaan mencolok
mereka mengaku hidup berbudaya Jawa, antara keluarga inti dan kerabat jauh atau
sehingga rumah dengan kemurnian orang lain sama sekali, yaitu bahwa keluarga
budaya Jawa sulit ditemukan lagi dalam inti lebih menekankan pada kebenaran,
arti kenyataan visualistik namun dalam sedang kerabat jauh atau orang lain
percaturan internasional bukankah istilah menekankan pada kebaikan; artinya di dalam
Jawa (Java) telah berakar cukup kuat dan pengertian kebenaran terdapat pula makna
mendalam di berbagai percaturan? jujur atau tidak perlu menutupi kenyataan
masyarakat Jawa semula menyatakan yang terjadi tidak perlu ada kerahasiaan;
hidup di bawah naungan ketentuan adat, sementara di dalam kebaikan lebih
yang berarti pula menganut pola mengutamakan upaya menyenangkan pihak
kepribadian Jawa, pada saat ini ciri-ciri lain, agar hubungan kemanusiaan itu dapat

Arya Ronald, Budaya Bermukim Masyarakat Jawa


187

lebih dekat lagi atau bilamana mungkin berkuasa dan dapat berusaha mengen-
berubah status menjadi kerabat dekat. dalikannya. Dunia nyata ini kemudian terujud
Berkaitan dengan konsep itu, bilamana sebagai tempat dengan suasana ramai,
ditransformasikan ke dalam ungkapan bersifat kebendaan dan berencana.
arsitektur maka kebenaran atau kejujuran itu Suasana hening mengajarkan untuk
dapat ditafsirkan menjadi steril, sedang berkontemplasi, juga berevaluasi terhadap
kebaikan dapat ditafsirkan menjadi bervariasi kejadian yang lampau dan memandang
atau bermodifikasi; keduanya mempunyai kehidupan ini berada dalam genggaman
kualitas magnit atau daya tarik yang tangan Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan
membedakan sikap penyambutan, antara suasana demikian, setidaknya berada pada
yang pasif dan pro-aktif. suatu tempat yang dianggap paling suci bila
Dalam hal ajaran yang ditujukan pada dibandingkan dengan tempat-tempat yang
orang dewasa, bahwa orang dewasa itu harus lain; tempat ini secara faktual berbatas
bersikap lebih tenang daripada anak-anak, dengan luasan yang kecil, tetapi pada
dengan pengertian bahwa kedewasaan ini dasarnya dalam anggapan orang tempat ini
ibaratnya bulir padi yang telah masak, akan seakan-akan tidak punya batas dan luas tiada
menunjukkan sifat kinerja menunduk, tenang terhingga. Suasana ramai mengajarkan orang
dan teduh, sedang anak muda lebih untuk bersedia berinteraksi dengan ling-
memperlihatkan sifat kinerja riang gembira, kungan sekitarnya, yang dalam hal ini
bergejolak dan berganti-ganti. Perbedaan menyangkut dimensi sosial, alam dan
sifat, itu akan memperlihatkan suasana batin keruangan; tempat ini secara faktual berbatas
pihak bersangkutan, sehingga ketenangan dengan luasan yang besar, tetapi pada
lebih tepat berada di bagian tengah dan dasarnya dalam anggapan orang tempat ini
kegembiraan berada di bagian tepi atau dekat tidak pernah mencukupi – mengingat bahwa
dengan luar. Suasana batin ini dapat orang mempunyai sifat tidak pernah puas
ditafsirkan dalam ungkapan arsitektur dengan dengan hasil yang diperolehnya secara
istilah atmosfir, berarti ketenangan menjadi duniawi.
statik (stabil) dan kegembiraan menjadi
dinamik (labil). Suasana statik mengajarkan PENUTUP
orang agar tidak berbuat salah dalam Arsitektur sebagai alat komunikasi
kehidupan duniawi ini setidaknya ketika sebagaimana telah diungkapkan di bagian
berada di bagian tengah dari tempat tinggal depan, bahwa karya manusia tidak dapat
ini. Suasana dinamik mengajarkan orang melepaskan diri dari kebutuhan dan
untuk berani mencoba berkreasi – sekalipun kepentingan orang yang sedang berkarya
tidak terlalu benar, namun orang yang berada atau setidak-tidaknya aspirasinya telah
di dalamnya memiliki kebebasan lebih besar sampai; aspirasi dari yang membutuhkan dan
atau tidak terlalu terikat oleh adat-kebiasaan berkepentingan dalam hal ini sempat
yang berlaku pada saat itu. dicurahkan kepada pihak lain – dengan
Dalam hal ajaran yang berskala sakral metoda komunikasi, sehingga hasil karya itu
dan profan, terdapat perbedaan di antara sendiri akhirnya menjadi bagian yang tidak
keduanya dalam hal kebutuhan manusia pada terpisahkan dari sistem komunikasi yang
kehidupan akhirat di satu sisi dan duniawi di sedang berlangsung. Telah pula diungkapkan
sisi yang lain. Ketika dia sedang bahwa dalam kehidupan masyarakat Jawa
membutuhkan suasana spiritual, maka dia dikenal pitutur (nasehat filsafati), sementara
sedang menempatkan dirinya dalam dunia arsitektur sebagai bagian dari karya budaya di
beserta dengan semesta alamnya, yang dalam sistem tampilannya juga mengandung
berkekuatan jauh melebihi kekuatan dirinya pesan hidup berbudaya, menunjukkan bahwa
sendiri dan sekitarnya, kemudian tergam- arsitektur adalah sebuah alat komunikasi yang
barkan sebagai tempat dengan suasana berlangsung secara tidak langsung; untuk
hening, mencekam dan misterius. Ketika dia dapat lebih mengenal isi pesan itu mem-
sedang membutuhkan realita, maka dia butuhkan pengetahuan untuk dapat mem-
sedang menempatkan diri dalam dunia nyata bedahnya, sehingga keseluruhan isi dari
yang serba terukur, terlihat dan teraba, yang pesan itu terjabarkan dengan jelas dan runtut.
mengandung kekuatan merasa lebih besar,

Sinektika Vol.14 No.1, 2014


188

Arsitektur sebagai sebuah bahasa sebagai- sebab arsitektur pun mampu menyampaikan
mana pengertian bahasa umumnya, bahwa di pesan budaya. Kalau arsitektur itu me-
dalamnya terdapat satu tatanan tertentu nyangkut bentukan Jawa, padahal dalam
disebut dengan tata-bahasa dan juga seni bahasa Jawa dikenal memiliki tingkatan
berbahasa atau kesusasteraan; demikian berbahasa Jawa tinggi (krama inggil),
halnya dengan karya khususnya arsitektur menengah (krama madya) dan rendah atau
Jawa, telah dijelaskan bahwa dia kasar (ngoko), tentunya seiring dengan
mengandung berita di dalamnya, kemudian kenyataan itu berarti dalam arsitektur Jawa,
dia adalah alat untuk komunikasi, dengan seharusnya juga terdapat pembedaan
demikian semua itu dapat ditafsirkan pula tingkatan itu, dengan tujuan untuk
sebagai sebuah bentuk bahasa yaitu bahasa menunjukkan bahwa budaya Jawa sangat
non-verbal. Dengan bertitik-tolak pada menghormati pihak-pihak lain yang berada di
pengertian ini, maka arsitektur pada dasarnya sekitarnya, bukankah kehidupan semacam ini
adalah sarana yang tepat untuk berbahasa jauh lebih baik?
terutama dalam lingkup kehidupan berbudaya,

DAFTAR PUSTAKA

Afiff, F., 1994, Menuju Pemasaran Global, -

Geertz, C., 1960, The Religion of Java, The University of Chicago Press, London

Hadiwijono, H., 1967, Man in the Present Javanese Mysticism, Bosch & Keuning NV, Baarn

Hardjowirogo, 1984, Adat Istiadat Jawa, Patma, Bandung

Herusatoto, B., 1983, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, PT Hanindita, Yogyakarta

Koentjaraningrat, 1980, Javanese Terms for God and Supernatural Being and the Idea of Power;
in: Man, Meaning and History, Martinus Nijhof, The Hague

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, PN Balai Pustaka, Jakarta.

Minai, A.T., 1984, Architecture as Environmental Communication, Mouton Pub. Berlin

Mulder, N., 1973, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gadjah Mada Univ. Press,
Yogyakarta

Mulder, J.A.N., 1975, Mysticism and Daily Life in Contemporary Java, --, Amsterdam

Ronald, A., 1992, Aspecten van de Bouwcultuur van de Traditionele Javaanse Woning en zijn
Architectonische Expressie – doktoral disertatie, T U Delft, Delft

Soekanto, S. dan Soleman, B.T., 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta

Wessing, R., 1978, Cosmology and Social Behavior in West Javanese Settlement, Ohio University
Centre for International Studies, Ohio

Arya Ronald, Budaya Bermukim Masyarakat Jawa

Anda mungkin juga menyukai