net/publication/323613222
CITATION READS
1 1,146
6 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Agus Sugiyono on 07 March 2018.
1
Agus Sugiyono*), 1Laode M.A. Wahid, 1Prima Trie Wijaya, 1Nini Gustriani,
1
Irawan Rahardjo, dan 1Erwin Siregar
1
Pusat Teknologi Sumberdaya Energi dan Industri Kimia (PTSEIK), BPPT
Klaster Energi, Gedung 625, Puspiptek, Tangerang Selatan
*)
Email : agus.sugiyono@bppt.go.id
Abstrak
Saat ini listrik sudah menjadi kebutuhan vital masyarakat sebagai tolok ukur tingkat
kesejahteraan. Oleh karena itu pemerintah terus meningkatkan pemenuhan kebutuhan listrik
dengan membangun pembangkit listrik baru. Pemenuhan kebutuhan listrik secara spasial di
Provinsi Banten masih ada kesenjangan terutama untuk wilayah bagian utara (yang sudah
tercukupi) dibandingkan wilayah bagian selatan (yang masih belum tercukupi). Sejalan dengan
Peraturan Menteri ESDM No. 24/2015, Pemerintah Provinsi perlu membuat perencanaan
pengembangan ketengalistrikan daerah. Salah satu aspek dalam perencanaan tersebut adalah
membuat perencanaan kebutuhan listrik per kabupaten/kota atau kecamatan.
Makalah ini akan membahas aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk analisis spasial
kebutuhan listrik di Provinsi Banten. Sektor pengguna listrik dibagi berdasarkan
pengelompokan pelanggan menjadi 6 sektor, yaitu: rumah tangga, industri, komersial, sosial,
pemerintah, dan penerangan jalan umum (PJU). Sedangkan untuk keakuratan data, analisis
spasial kebutuhan listrik berdasarkan data kecamatan. Hasil analisis dengan GIS dapat lebih
interaktif memperlihatkan kesenjangan spasial per kecamatan untuk kebutuhan listrik. Dengan
memanfaatkan aplikasi GIS akan lebih mudah bagi para pengambil kebijakan untuk membuat
perencanaan pengembangan kelistrikan dengan lebih baik.
1. PENDAHULUAN
Perkembangan pembangunan yang pesat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat menuntut
terpenuhinya ketersediaan energi terutama listrik. Listrik sudah menjadi kebutuhan vital masyarakat sebagai
tolok ukur tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu pemerintah terus meningkatkan pemenuhan kebutuhan
listrik dengan membangun pembangkit listrik baru. Ketersediaan listrik menjadi prioritas dalam
pengembangan perekonomian, tidak saja dari sisi kecukupan listrik yang harus tersedia (quantity), tetapi
menyangkut juga keandalan (reliability) dan kualitas penyediaan (quality of supply). Ketiga faktor
ketersediaan tersebut menjadi tolok ukur dari mutu pelayanan (customer satisfaction) dan menjadi
pertimbangan utama dalam perencanaan pengembangan ketenagalistrikan untuk jangka panjang. Perencanaan
komprehensif yang memadukan antara perencanaan tingkat nasional dan tingkat daerah sangat diperlukan.
Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah maka Pemerintah Provinsi dituntut untuk bisa lebih aktif dalam
perencanaan dan pemanfaatan potensi daerah, termasuk didalamnya perencanaan sektor ketenagalistrikan.
Dalam hal kebijakan, sektor ketenagalistrikan selalu terkait dengan sektor energi. Pemerintah dalam
Undang Undang No 30 Tahun 2007 tentang energi, pasal 3 mengamanatkan terjaminnya ketersediaan energi
(termasuk listrik) di dalam negeri. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban untuk
meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan dalam lingkup tanggung jawabnya.
Dalam UU energi ini secara eksplisit disebutkan kewajiban pemerintah pusat untuk menyusun Rencana
Umum Energi Nasional (RUEN) dan kewajiban pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Umum Energi
Daerah (RUED) (Bappenas, 2012). Sedangkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 24 Tahun 2015 tertuang
Pedoman Penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan, untuk lingkup nasional disebut Rencana Umum
Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan untuk lingkup provinsi dinamakan Rencana Umum Kelistrikan
Daerah (RUKD). RUKD merupakan kebijakan umum di bidang ketenagalistrikan yang terpadu, mencakup
antara lain: perkiraan kebutuhan dan penyediaan tenaga listrik, kebijakan investasi dan pendanaan, serta
kebijakan pemanfaatan sumber energi primer untuk pembangkitan listrik. RUKD diharapkan dapat sebagai
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017
pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk jangka panjang sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan listrik
yang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam makalah ini akan dibahas salah satu aspek dalam perencanaan ketenegalistrikan yaitu
perencanaan kebutuhan listrik. Beberapa model energi seperti MAED (Model Analysis of Energy Demand)
dan LEAP (Long–Range Energy Alternatives Planning System) sudah dikembangkan yang didalam modul
perhitungannya sudah termasuk sektor ketenagalistrikan. Sedangkan PT PLN (Persero) dalam perhitungan
kebutuhan energi untuk penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) menggunakan
aplikasi yang disebut “Simple-E”. Aplikasi ini merupakan model regresi yang menggunakan data historis dari
penjualan energi listrik, daya tersambung, jumlah pelanggan, pertumbuhan ekonomi, dan populasi. Penerapan
model tersebut untuk analisis wilayah provinsi sering menghadapi kendala keterbatasan data. Dengan
penambahan asumsi, berbagai model tersebut diadopsi metodologinya untuk menghitung kebutuhan listrik
jangka panjang di Provinsi Banten dan menggabungkannya ke dalam aplikasi Sistem Informasi Geografis
(SIG). Tampilan peta dalan format SIG dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang data spasial
dan antar waktu, baik dari sisi lokasi maupun dari keterkaitan dengan data lainnya. Perangkat lunak yang
digunakan untuk analisis spasial dalam makalah ini adalah Quantus GIS atau sering disebut QGIS. QGIS
memiliki keunggulan karena merupakan perangkat lunak open source dan sudah banyak dipakai serta
mempunyai komunitas pengguna maupun pengembang perangkat lunak ini (Budiyanto, 2016).
Level perekonomian untuk wilayah provinsi terganbar dari besarnya nilai Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). PDRB Provinsi Banten pada tahun 2015 sebesar 370.708 miliar Rupiah (harga konstan 2010)
dengan pertumbuhan sebesar 5,64% per tahun. Kota Tangerang penyumbang terbesar PDRB untuk Provinsi
Banten yakni sebesar 24,7%. Dari sisi pertumbuhan PDRB, Kota Tangerang Selatan dan Kota Serang (yang
merupakan wilayah pemekaran sekitar 10 tahun yang lalu) tumbuh paling besar yakni lebih dari 6,5% per
tahun. Berdasarkan lapangan usaha, PDRB di Banten saat ini sudah bertumpu pada sektor industri, yang
menyumbang sekitar 37% dari total PDRB. Sektor industri terkonsentrasi di wilayah Kota Tangerang,
Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Setelah sektor industri, pangsa terbesar
kedua dalam menyumbang nilai PDRB adalah sektor pengangkutan (14%) diikuti oleh sektor perdagangan
(13%). Sektor pertambangan sangat kecil sumbangsihnya terhadap pembentukan PDRB karena tidak ada
sumber tambang mineral dan energi yang besar di wilayah ini. Dalam 5 tahun terakhir, sektor banguan dan
sektor pengangkutan tumbuh sangat pesat diatas 8% per tahun. Hal ini didorong oleh pembangunan kawasan
industri dan perumahan baru yang cukup banyak di wilayah perkotaan.
Pertambangan
1% Industri
37%
Pertanian
6% Listrik, Gas &
2015: Air
Jasa-jasa 370,7 1%
7% Bangunan
Triliun Rp.
9%
Keuangan
12%
Perdagangan
Pengangkutan 13%
14%
elektrifikasi di Banten sudah mencapai 95,64% yang lebih tinggi dari pada rata-rata nasional yakni sebesar
88,30%. Secara umum, peningkatan rasio elektrifikasi tidak signifikan pengaruhnya dalam peningkatan
kebutuhan listrik di Provinsi Banten.
3.1 Data
Dalam pembuatan model, perlu mengidentifikasi kelompok data yang dibutuhkan. Data untuk level
nasional. provinsi, kabupaten/kota sudah cukup lengkap untuk aspek sosial ekonomi dan energi, namun data
untuk level kecamatan hanya tersedia data sosial ekonomi sedangkan data energi tidak tersedia. Berbagai
asumsi harus dibuat untuk melengkapi kebutuhan data dalam pembuatan model kebutuhan listrik level
kecamatan. Secara lengkap peta untuk keselurahan wilayah yang dianalisis ditunjukkan pada Gambar 2.
100
75
Triliun Rp.
50
25
2012
2013 0
2014
2015
3.2 Metodologi
Prakiraan kebutuhan listrik dihitung berdasarkan aktivitas pemakaian listrik dan intensitasnya. Aktivitas
pemakaian listrik dikelompokkan menjadi 6 sektor pengguna, yaitu: rumah tangga, industri, komersial,
sosial, pemerintah, dan penerangan jalan umum (PJU). Pertumbuhan aktivitas pemakaian energi sangat
berkaitan dengan tingkat perekonomian dan jumlah penduduk. Intensitas pemakaian listrik dikalibrasi
berdasarkan tahun dasar 2015 sesuai dengan kelengkapan data yang ada. Berdasarkan konsumsi listrik pada
tahun dasar dan dengan mempertimbangkan pertumbuhan aktivitas maka dibuat proyeksi kebutuhan listrik
dari 2016 sapmai tahun 2025.
Dalam Tyralisa dkk (2016, 2017) kebutuhan listrik terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang
dinyatakan produk domestik bruto (PDB) dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan ekonomi ditandai
dengan peningkatan pendapatan masyarakat yang dapat mendorong peningkatan permintaan barang seperti
peralatan listrik. Penggunaan peralatan tersebut akan menyebabkan kebutuhan listrik meningkat. Namun
dalam model kebutuhan listrik untuk Provinsi Banten, PDRB tidak bisa dijadikan acuan karena data hanya
tersedia untuk level provinsi dan level kabupaten/kota. Sedangkan untuk level kecamatan hanya penduduk
yang bisa menjadi indikator kebutuhan listriknya. PDRB level kabupaten/kota perlu didisagregasi ke level
kecamatan dengan asumsi pangsa jumlah penduduk level kecamatan.
Variabel PDRB dan penduduk diproyeksikan meningkat sesuai dengan pertumbuhan historis dengan
menambah faktor koreksi. Faktor koreksi untuk penduduk adalah bahwa pertumbuhan akan menurun sebesar
0,1% per tahun (karena keberhasilan program keluarga berencana) sedangkan untuk PDRB, pertumbuhan
akan meningkat sebesar 0,42% per tahun (karena keberhasilan inovasi di berbagai sektor). Misalkan
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017
pertumbuhan PDRB pada waktu t adalah RPDRB dan pertumbuhan penduduk adalah RPOP maka rumus untuk
kebutuhan energi (KERT: rumah tangga, KEIND: industri, KKOM: komersial, KSOS: sosial, KEPEM: pemerintah,
KEPJU: PJU) pada waktu t adalah:
KERT(t) = KERT(0) x {1 + (RPOP x EPOP)}t (1)
KEIND(t) = KEIND(0) x {1 + (RPDRB x EPDRB)}t (2)
t
KEKOM(t) = KEKOM(0) x {1 + (RPDRB x EPDRB)} (3)
t
KESOS(t) = KESOS(0) x {1 + (RPOP x EPOP)} (4)
KEPEM(t) = KEPEM(0) x {1 + (RPDRB x EPDRB)}t (5)
t
KEPJU(t) = KEPJU(0) x {1 + (RPDRB x EPDRB)} (6)
Dengan:
t = 0 menunjuk tahun 2015, t = 1 menunjuk tahun 2016, dan seterusnya.
EPOP : Elastisitas kebutuhan listrik terhadap penduduk
EPDRB : Elastisitas kebutuhan listrik terhadap PDRB
3.3 Hasil
Berdasarkan perhitungan dari model diperolah bahwa penduduk Provinsi Banten akan meningkat dari
11.868 ribu jiwa pada tahun 2015 menjadi 14.609 ribu jiwa pada tahun 2025, atau meningkat rata-rata
sebesar 2,1% per tahun. Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang yang paling tinggi pertumbuhan
penduduknya yakni masing-masing sebesar 3,26% dan 3,14% per tahun. PDRB Provinsi Banten akan
meningkat dari 370,7 triliun Rupiah (harga konstan tahun 2010) pada tahun 2015 menjadi 669,5 triliun
Rupiah (2025) atau meningkat rata-rata sebesar 6,09% per tahun. Bila nilai PDRB dibagi dengan jumlah
penduduk maka diperoleh PDRB per kapita yang merupakan indikator tingkat produktivitas penduduk suatu
wilayah. PDRB per kapita meningkat dari 31,2 juta Rupiah per kapita pada tahun 2015 menjadi 45,8 juta
Rupiah per kapita pada tahun 2025. PDRB per kapita yang tertinggi tercatat di Kota Cilegon yang mencapai
208,5 juta Rupiah per kapita. Kota Cilegon menjadi wilayah yang mempunyai produktivitas paling tinggi
karena industrialisasi di wilayah ini sangat berhasil.
Berdasarkan hasil perhitungan pertumbuhan penduduk dan PDRB maka dapat ditentukan kebutuhan
listrik dalam kurun waktu yang sama. Proyeksi kebutuhan listrik untuk agregat kabupaten/kota ditunjukkan
pada Tabel 5. Kebutuhan listrik akan meningkat dari 7.699 GWh pada tahun 2015 menjadi 20.049 GWh pada
tahun 2034 atau tumbuh rata-rata sebesar 10,09% per tahun. Indikator penting untuk kebutuhan listrik adalah
kebutuhan listrik per kapita. Secara agregat kebutuhan listrik per kapita meningkat dari 649 kWh per kapita
pada tahun 2015 menjadi 1.372 kWh per kapita (2025). Bila dibandingkan dengan dengan negara maju dan
negara tetangga, kebutuhan listrik per kapita di Provinsi Banten tahun 2025 masih sangat kecil bahkan masih
lebih kecil dari rata-rata dunia yakni sebesar 3.026 kWh per kapita pada tahun 2013. Kebutuhan listrik per
kapita di Jerman pada tahun 2013 sudah mencapai 7.022 kWh per kapita dan untuk Malaysia sebesar 4.474
kWh per kapita (IEA, 2015).
Tabel 4. Proyeksi Kebutuhan Listrik untuk Wilayah Kabupaten/Kota (GWh)
2015 2025
as usual maka dalam kurun waktu 10 tahun wilayah bagian selatan masih belum dapat mengejar ketinggalan.
Pemerintah perlu membuat program percepatan pengembangan infrastruktur dan industrialisasi di wilayah
bagian selatan.
Dari sisi pengembangan model, keterbatasan data dan pengambilan asumsi dapat mengurangi keakuratan
hasii proyeksi untuk jangka panjang. Indikator hasil model perlu dibandingkan dengan referensi lain maupun
benchmarking sehingga dapat dilakukan validasi dengan lebih baik.
6. DAFTAR PUSTAKA
Bappenas, Policy Paper: Keselarasan KEN dengan RUEN dan RUED, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2012, Jakarta.
BPS Kab. Lebak, Kabupaten Lebak Dalam Angka 2016, BPS Kabupaten Lebak, 2016.
BPS Kab. Pandeglang, Kabupaten Pandeglang Dalam Angka 2016, BPS Kabupaten Pandeglang, 2016.
BPS Kab. Serang, Kabupaten Serang Dalam Angka 2016, BPS Kabupaten Serang, 2016.
BPS Kab. Tangerang, Kabupaten Tangerang Dalam Angka 2016, BPS Kabupaten Tangerang, 2016.
BPS Kota Cilegon, Kota Cilegon Dalam Angka 2016, BPS Kota Cilegon, 2016.
BPS Kota Serang, Kota Serang Dalam Angka 2016, BPS Kota Serang, 2016.
BPS Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang Selatan Dalam Angka 2016, BPS Kota Tangerang Selatan,
2016.
BPS Kota Tangerang, Kota Tangerang Dalam Angka 2016, BPS Kota Tangerang, 2016.
BPS Prov. Banten, Provinsi Banten Dalam Angka 2016, BPS Provinsi Banten, 2016, Serang.
Budiyanto, E., Sistem Informasi Geografis dengan Quantum GIS, Penerbit Andi, 2016, Yogyakarta.
CDIEMR (2016) Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2016, Center for Data and
Information on Energy and Mineral Resources, Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta.
DJK (2016) Statistik Ketenagalistrikan 2015, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Jakarta.
IAEA, Model for Analysis of Energy Demand (MAED-2): User’s Manual, International Atomic Energy
Agency, 2006, Vienna.
IEA, Key World Energy Statistics, International Energy Agency, 2015, Paris.
PLN, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2017-2026, PT PLN (Persero), 2017,
Jakarta.
PLN, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2015-2024, PT PLN (Persero), 2015,
Jakarta.
SEI, LEAP: User Guide for LEAP Version 2015, Stockholm Environment Institute, 2015.
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017
Tyralisa, H.; Mamassisa, N.; Photisb, Y.N., Spatial analysis of electrical energy demand patterns in Greece:
Application of a GIS-based methodological framework, Energy Procedia, 2016, 97, 262-269.
Tyralisa, H.; Mamassisa, N.; Photisb, Y.N., Spatial analysis of the electrical energy demand in Greece,
Energy Policy, 2017, 102, 340–352.