Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323613222

Analisis Spasial dari Pola Kebutuhan Listrik di Provinsi Banten: Aplikasi


Metodologi Berbasis Sistem Informasi Geografis

Conference Paper · October 2017

CITATION READS

1 1,146

6 authors, including:

Agus Sugiyono La Ode Muhammad Abdul Wahid


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
115 PUBLICATIONS   280 CITATIONS    9 PUBLICATIONS   23 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Prima Trie Wijaya Irawan Rahardjo


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
6 PUBLICATIONS   3 CITATIONS    7 PUBLICATIONS   8 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Perencanaan energi nasional dan daerah View project

All content following this page was uploaded by Agus Sugiyono on 07 March 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017

Analisis Spasial dari Pola Kebutuhan Listrik di Provinsi Banten:


Aplikasi Metodologi Berbasis Sistem Informasi Geografis

1
Agus Sugiyono*), 1Laode M.A. Wahid, 1Prima Trie Wijaya, 1Nini Gustriani,
1
Irawan Rahardjo, dan 1Erwin Siregar
1
Pusat Teknologi Sumberdaya Energi dan Industri Kimia (PTSEIK), BPPT
Klaster Energi, Gedung 625, Puspiptek, Tangerang Selatan
*)
Email : agus.sugiyono@bppt.go.id

Abstrak
Saat ini listrik sudah menjadi kebutuhan vital masyarakat sebagai tolok ukur tingkat
kesejahteraan. Oleh karena itu pemerintah terus meningkatkan pemenuhan kebutuhan listrik
dengan membangun pembangkit listrik baru. Pemenuhan kebutuhan listrik secara spasial di
Provinsi Banten masih ada kesenjangan terutama untuk wilayah bagian utara (yang sudah
tercukupi) dibandingkan wilayah bagian selatan (yang masih belum tercukupi). Sejalan dengan
Peraturan Menteri ESDM No. 24/2015, Pemerintah Provinsi perlu membuat perencanaan
pengembangan ketengalistrikan daerah. Salah satu aspek dalam perencanaan tersebut adalah
membuat perencanaan kebutuhan listrik per kabupaten/kota atau kecamatan.
Makalah ini akan membahas aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk analisis spasial
kebutuhan listrik di Provinsi Banten. Sektor pengguna listrik dibagi berdasarkan
pengelompokan pelanggan menjadi 6 sektor, yaitu: rumah tangga, industri, komersial, sosial,
pemerintah, dan penerangan jalan umum (PJU). Sedangkan untuk keakuratan data, analisis
spasial kebutuhan listrik berdasarkan data kecamatan. Hasil analisis dengan GIS dapat lebih
interaktif memperlihatkan kesenjangan spasial per kecamatan untuk kebutuhan listrik. Dengan
memanfaatkan aplikasi GIS akan lebih mudah bagi para pengambil kebijakan untuk membuat
perencanaan pengembangan kelistrikan dengan lebih baik.

Kata kunci : perencanaan kelistrikan daerah, sistem informasi geografis

1. PENDAHULUAN
Perkembangan pembangunan yang pesat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat menuntut
terpenuhinya ketersediaan energi terutama listrik. Listrik sudah menjadi kebutuhan vital masyarakat sebagai
tolok ukur tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu pemerintah terus meningkatkan pemenuhan kebutuhan
listrik dengan membangun pembangkit listrik baru. Ketersediaan listrik menjadi prioritas dalam
pengembangan perekonomian, tidak saja dari sisi kecukupan listrik yang harus tersedia (quantity), tetapi
menyangkut juga keandalan (reliability) dan kualitas penyediaan (quality of supply). Ketiga faktor
ketersediaan tersebut menjadi tolok ukur dari mutu pelayanan (customer satisfaction) dan menjadi
pertimbangan utama dalam perencanaan pengembangan ketenagalistrikan untuk jangka panjang. Perencanaan
komprehensif yang memadukan antara perencanaan tingkat nasional dan tingkat daerah sangat diperlukan.
Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah maka Pemerintah Provinsi dituntut untuk bisa lebih aktif dalam
perencanaan dan pemanfaatan potensi daerah, termasuk didalamnya perencanaan sektor ketenagalistrikan.
Dalam hal kebijakan, sektor ketenagalistrikan selalu terkait dengan sektor energi. Pemerintah dalam
Undang Undang No 30 Tahun 2007 tentang energi, pasal 3 mengamanatkan terjaminnya ketersediaan energi
(termasuk listrik) di dalam negeri. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban untuk
meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan dalam lingkup tanggung jawabnya.
Dalam UU energi ini secara eksplisit disebutkan kewajiban pemerintah pusat untuk menyusun Rencana
Umum Energi Nasional (RUEN) dan kewajiban pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Umum Energi
Daerah (RUED) (Bappenas, 2012). Sedangkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 24 Tahun 2015 tertuang
Pedoman Penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan, untuk lingkup nasional disebut Rencana Umum
Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan untuk lingkup provinsi dinamakan Rencana Umum Kelistrikan
Daerah (RUKD). RUKD merupakan kebijakan umum di bidang ketenagalistrikan yang terpadu, mencakup
antara lain: perkiraan kebutuhan dan penyediaan tenaga listrik, kebijakan investasi dan pendanaan, serta
kebijakan pemanfaatan sumber energi primer untuk pembangkitan listrik. RUKD diharapkan dapat sebagai
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017

pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk jangka panjang sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan listrik
yang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam makalah ini akan dibahas salah satu aspek dalam perencanaan ketenegalistrikan yaitu
perencanaan kebutuhan listrik. Beberapa model energi seperti MAED (Model Analysis of Energy Demand)
dan LEAP (Long–Range Energy Alternatives Planning System) sudah dikembangkan yang didalam modul
perhitungannya sudah termasuk sektor ketenagalistrikan. Sedangkan PT PLN (Persero) dalam perhitungan
kebutuhan energi untuk penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) menggunakan
aplikasi yang disebut “Simple-E”. Aplikasi ini merupakan model regresi yang menggunakan data historis dari
penjualan energi listrik, daya tersambung, jumlah pelanggan, pertumbuhan ekonomi, dan populasi. Penerapan
model tersebut untuk analisis wilayah provinsi sering menghadapi kendala keterbatasan data. Dengan
penambahan asumsi, berbagai model tersebut diadopsi metodologinya untuk menghitung kebutuhan listrik
jangka panjang di Provinsi Banten dan menggabungkannya ke dalam aplikasi Sistem Informasi Geografis
(SIG). Tampilan peta dalan format SIG dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang data spasial
dan antar waktu, baik dari sisi lokasi maupun dari keterkaitan dengan data lainnya. Perangkat lunak yang
digunakan untuk analisis spasial dalam makalah ini adalah Quantus GIS atau sering disebut QGIS. QGIS
memiliki keunggulan karena merupakan perangkat lunak open source dan sudah banyak dipakai serta
mempunyai komunitas pengguna maupun pengembang perangkat lunak ini (Budiyanto, 2016).

2. KONDISI KETENAGALISTRIKAN PROVINSI BANTEN


Sistem ketenagalistrikan di Provinsi Banten merupakan bagian dari sistem interkoneksi Jawa-Madura-
Bali yang meliputi tujuh provinsi di Jawa dan Bali. Sistem ini merupakan sistem interkoneksi dengan
jaringan tegangan ekstra tinggi 500 kV dan jaringan tegangan tinggi 150 kV, yang membentang dari ujung
barat Pulau Jawa hingga ke Pulau Madura dan Pulau Bali. Sistem interkoneksi listrik Jawa-Madura-Bali
merupakan sistem ketenagalistrikan yang terbesar di Indonesia. Sistem ini mengkonsumsi sekitar 74,4% dari
tenaga listrik yang diproduksi (PLN, 2016). Beban puncak sistem ketengalistrikan di Provinsi Banten sekitar
3.747 MW yang dipasok dari pembangkit yang berada di jaringan 150 kV sebesar 2.285 MW dan yang
berada di jaringan 500 kV sebesar 4.025 MW. Pasokan listrik yang berada di jaringan 500 kV dan 150 kV di
wilayah ini berasal dari 4 lokasi yaitu PLTU Suralaya, PLTGU Cilegon, PLTU Labuan dan PLTU Lontar
dengan total daya terpasang sebesar 6.310 MW. Pasokan listrik dari jaringan 500 kV dilakukan melalui 3
gardu induk tegangan ekstra tinggi, yaitu Suralaya, Cilegon dan Balaraja dengan kapasitas sebesar 3.000
MVA (PLN, 2015).
2.1 Kondisi Sosial Ekonomi
Provinsi Banten terletak cukup strategis dalam perekonomian karena dekat dengan Ibu Kota Negara.
Provinsi Banten yang mempunyai luas 8.966 km2 terdiri atas 4 Kabupaten dan 4 Kota seperti ditunjukkan
pada Tabel 1. Wilayah yang terluas berada di Kabupaten Lebak, sedangkan yang tersempit adalah Kota
Tangerang Selatan. Penduduk Provinsi Banten berdasarkan hasil Sensus Penduduk masih berkecenderungan
terus meningkat. Pada tahun 2015 tercatat sebanyak 11.868 ribu jiwa yang meningkat sebesar 2,14% dari
tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah penduduk, disamping karena pertambahan secara alamiah juga
disebabkan migran karena daya tarik karena banyaknya wilayah perindustrian di Banten. Ketersediaan
lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang semakin kondusif dapat menjadi daya tarik bagi pendatang
dari luar Banten.
Tabel 1. Kondisi Sosial Ekonomii Wilayah Provinsi Banten (2015)
PDRB Penduduk Luas Jumlah
Wilayah
Miliar Rupiah Ribu Jiwa km2 Kecamatan
Kabupaten Pandeglang 16.010 1.195 2.747 35
Kabupaten Lebak 16.722 1.270 3.045 28
Kabupaten Tangerang 78.094 3.371 960 29
Kabupaten Serang 44.729 1.474 1.467 29
Kota Tangerang 91.426 2.020 159 13
Kota Cilegon 60.193 411 176 8
Kota Serang 17.858 643 267 6
Kota Tangerang Selatan 45.676 1.484 147 7
Provinsi Banten 370.708 11.868 8.966 155
Catatan: PDRB dalam harga konstan 2010
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2016; BPS Kabupaten Pandeglang, 2016; BPS Kabupaten Lebak, 2016;
BPS Kabupaten Tangerang, 2016, BPS Kabupaten Serang, 2016; BPS Kota Tangerang, 2016;
BPS Kota Cilegon, 2016; BPS Kota Serang, 2016; BPS Kota Tangerang Selatan, 2016
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017

Level perekonomian untuk wilayah provinsi terganbar dari besarnya nilai Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). PDRB Provinsi Banten pada tahun 2015 sebesar 370.708 miliar Rupiah (harga konstan 2010)
dengan pertumbuhan sebesar 5,64% per tahun. Kota Tangerang penyumbang terbesar PDRB untuk Provinsi
Banten yakni sebesar 24,7%. Dari sisi pertumbuhan PDRB, Kota Tangerang Selatan dan Kota Serang (yang
merupakan wilayah pemekaran sekitar 10 tahun yang lalu) tumbuh paling besar yakni lebih dari 6,5% per
tahun. Berdasarkan lapangan usaha, PDRB di Banten saat ini sudah bertumpu pada sektor industri, yang
menyumbang sekitar 37% dari total PDRB. Sektor industri terkonsentrasi di wilayah Kota Tangerang,
Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Setelah sektor industri, pangsa terbesar
kedua dalam menyumbang nilai PDRB adalah sektor pengangkutan (14%) diikuti oleh sektor perdagangan
(13%). Sektor pertambangan sangat kecil sumbangsihnya terhadap pembentukan PDRB karena tidak ada
sumber tambang mineral dan energi yang besar di wilayah ini. Dalam 5 tahun terakhir, sektor banguan dan
sektor pengangkutan tumbuh sangat pesat diatas 8% per tahun. Hal ini didorong oleh pembangunan kawasan
industri dan perumahan baru yang cukup banyak di wilayah perkotaan.

Pertambangan
1% Industri
37%
Pertanian
6% Listrik, Gas &
2015: Air
Jasa-jasa 370,7 1%
7% Bangunan
Triliun Rp.
9%
Keuangan
12%
Perdagangan
Pengangkutan 13%
14%

Gambar 1. Pangsa PDRB Provinsi Banten


2.2 Kebutuhan Listrik
Pemakaian listrik di Provinsi Banten pada tahun 2015 sebesar 7.699 GWh seperti disampaikan pada
Tabel 2. Sektor industri merupakan pemakai listrik yang terbesar dengan pangsa mencapai 72%, diikuti oleh
setor rumah tangga dengan pangsa 21%, sektor komersial 5%, sedangkan sektor sosial, pemerintah dan
penerangan jalan umum (PJU) pangsanya masing-masing dibawah 1%. Ini berarti sektor ketenagalistrikan
cukup berperan untuk menggerakkan perindustrian di Provinsi Banten. Sedangkan sektor rumah tangga
meskipun jumlah pelanggan besar namun karena daya tersambung per sektor pelanggan kecil sehingga
konsumsinya tidak begitu besar.
Tabel 2. Jumlah Pelanggan dan Konsumsi Listrik Provinsi Banten (2015)

Sektor Jumlah Daya Tersambung Konsumsi Listrik


Pelanggan (MVA) (GWh)
Rumah Tangga 1.155.872 767,8 1.630,7
Industri 767 2.276,4 5.571,7
Komersial 30.095 224,4 356,1
Sosial 30.765 44,1 68,7
Pemerintah 1.823 23,6 41,5
PJU 2.095 12,0 30,4
Total 1.221.417 3.348,1 7.699,0
Sumber: PLN (2016), DJK (2016)

3. PROYEKSI KEBUTUHAN LISTRIK


Dalam membuat proyeksi kebutuhan listrik, disamping model kebutuhan listrik diperlukan juga data
dan asumsi. Parameter penting yang biasanya dipertimbangkan antara lain perkembangan perekonomian,
penduduk, kondisi ketenagalistrikan saat ini dan rasio elektrifikasi. Perkembangan perkonomian yang
dinyatakan dalam PDRB, pendduk dan kondisi ketenagalistrikan saat ini sudah dibahas sebelumnya. Rasio
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017

elektrifikasi di Banten sudah mencapai 95,64% yang lebih tinggi dari pada rata-rata nasional yakni sebesar
88,30%. Secara umum, peningkatan rasio elektrifikasi tidak signifikan pengaruhnya dalam peningkatan
kebutuhan listrik di Provinsi Banten.
3.1 Data
Dalam pembuatan model, perlu mengidentifikasi kelompok data yang dibutuhkan. Data untuk level
nasional. provinsi, kabupaten/kota sudah cukup lengkap untuk aspek sosial ekonomi dan energi, namun data
untuk level kecamatan hanya tersedia data sosial ekonomi sedangkan data energi tidak tersedia. Berbagai
asumsi harus dibuat untuk melengkapi kebutuhan data dalam pembuatan model kebutuhan listrik level
kecamatan. Secara lengkap peta untuk keselurahan wilayah yang dianalisis ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Wilayah Kecamatan di Provinsi Banten


Variabel penting yang digunakan untuk membuat model kebutuhan listrik ditunjukkan pada Tabel 3.
Semua variabel, kecuali luas wilayah dapat diperoleh dari data historis untuk kurun waktu tertentu (time
series). Variabel luas wilayah dianggap tetap selama kurun waktu proyeksi kebutuhan listrik dilakukan.
Untuk level nasional dan provinsi data yang digunakan untuk mengisi variabel sudah lengkap, tersedia di
buku statistik, baik yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), PT PLN (Persero) maupun dari
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Untuk level
kabupaten/kota data PDRB, luas wilayah dan penduduk tersedia di statistik yang diterbitkan BPS, sedangkan
data kebutuhan listrik banyak yang tidak lengkap. Untuk level kecamatan, hanya data luas wilayah dan
penduduk yang tersedia dalam buku statistik BPS, sedangkan data PDRB dan kebutuhan listrik tidak ada
dalam penerbitan instansi resmi.
Tabel 3. Variabel untuk Model Kebutuhan Listrik
Variabel Satuan Kasus Ketersediaan Data untuk Level
Nasional Provinsi Kab./Kota Kecamatan
Kebutuhan Listrik (RT, industri, kWh 6 L L TL TA
komersial, sosial, pemerintah,
PJU)
PDB atau PDRB Juta 1 L L L TA
Rp.
Luas Wilayah km2 - L L L L
Penduduk Jiwa 1 L L L L
Keterangan: L: Lengkap; TL: Tidak Lengkap; TA: Tidak Ada
PJU: Penerangan Jalan Umum
Diadaptasi dari Tyralisa dkk. (2017)
Data PDRB untuk wilayah Provinsi Banten yang dibagi menjadi 8 kabupaten/kota tersedia dalam buku
statistik BPS kabupaten/kota. Data PDRB untuk kurun waktu 2012-2015 ditampilkan pada Gambar 3 dan
nilai PDRB dinyatakan dalam harga konstan tahun 2010 supaya pertumbuhan PDRB yang akan digunakan
untuk parameter perhitungan kebutuhan listrik dapat ditentukan.
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017

100

75

Triliun Rp.
50
25
2012
2013 0
2014
2015

Gambar 3. Data Historis PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten


Elastisitas merupakan perbandingan nilai pertumbuhan dua variabel, dalam hal ini kebutuhan listrik
dengan penduduk ataupun PDB. Berdasarkan data CDIEMR (2016) elastisitas kebutuhan listrik terhadap
penduduk berkisar antara 3,23-6,43. Nilai elastisitas sebesar 3,23 berarti setiap pertumbuhan penduduk
sebesar 1% akan meningkatkan kebutuhan listrik sebesar 3,23%. Elastisitas kebutuhan listrik terhadap PDB
berkisar antara 1,15-2,29. Nilai kedua elastisitas ini akan digunakan untuk merumuskan pertumbuhan
kebutuhan listrik di masing-masing sektor. Berdasarkan analisis untuk setiap sektor, maka dapat dirumuskan
bahwa untuk sektor rumah tangga dan sosial lebih terkait dengan elastisitas penduduk, sedangkan untuk
sektor industri, komersial, pemerintah dan PJU lebih terkait dengan elastisitas PDB.
Tabel 4. Elastisitas Kebutuhan Listrik (2000-2015)

Sektor Pengguna Listrik


RT Industri Komersial Sosial Pemerintah PJU Total
Penduduk 5,42 3,23 6,43 6.58 5,40 6,16 4,77
PDB 1,93 1,15 2,29 2.34 1,92 2,19 1,70
Keterangan: RT: Rumah Tangga, PJU: Penerangan Jalan Umum
Diolah dari CDIEMR (2016)

3.2 Metodologi
Prakiraan kebutuhan listrik dihitung berdasarkan aktivitas pemakaian listrik dan intensitasnya. Aktivitas
pemakaian listrik dikelompokkan menjadi 6 sektor pengguna, yaitu: rumah tangga, industri, komersial,
sosial, pemerintah, dan penerangan jalan umum (PJU). Pertumbuhan aktivitas pemakaian energi sangat
berkaitan dengan tingkat perekonomian dan jumlah penduduk. Intensitas pemakaian listrik dikalibrasi
berdasarkan tahun dasar 2015 sesuai dengan kelengkapan data yang ada. Berdasarkan konsumsi listrik pada
tahun dasar dan dengan mempertimbangkan pertumbuhan aktivitas maka dibuat proyeksi kebutuhan listrik
dari 2016 sapmai tahun 2025.
Dalam Tyralisa dkk (2016, 2017) kebutuhan listrik terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang
dinyatakan produk domestik bruto (PDB) dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan ekonomi ditandai
dengan peningkatan pendapatan masyarakat yang dapat mendorong peningkatan permintaan barang seperti
peralatan listrik. Penggunaan peralatan tersebut akan menyebabkan kebutuhan listrik meningkat. Namun
dalam model kebutuhan listrik untuk Provinsi Banten, PDRB tidak bisa dijadikan acuan karena data hanya
tersedia untuk level provinsi dan level kabupaten/kota. Sedangkan untuk level kecamatan hanya penduduk
yang bisa menjadi indikator kebutuhan listriknya. PDRB level kabupaten/kota perlu didisagregasi ke level
kecamatan dengan asumsi pangsa jumlah penduduk level kecamatan.
Variabel PDRB dan penduduk diproyeksikan meningkat sesuai dengan pertumbuhan historis dengan
menambah faktor koreksi. Faktor koreksi untuk penduduk adalah bahwa pertumbuhan akan menurun sebesar
0,1% per tahun (karena keberhasilan program keluarga berencana) sedangkan untuk PDRB, pertumbuhan
akan meningkat sebesar 0,42% per tahun (karena keberhasilan inovasi di berbagai sektor). Misalkan
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017

pertumbuhan PDRB pada waktu t adalah RPDRB dan pertumbuhan penduduk adalah RPOP maka rumus untuk
kebutuhan energi (KERT: rumah tangga, KEIND: industri, KKOM: komersial, KSOS: sosial, KEPEM: pemerintah,
KEPJU: PJU) pada waktu t adalah:
KERT(t) = KERT(0) x {1 + (RPOP x EPOP)}t (1)
KEIND(t) = KEIND(0) x {1 + (RPDRB x EPDRB)}t (2)
t
KEKOM(t) = KEKOM(0) x {1 + (RPDRB x EPDRB)} (3)
t
KESOS(t) = KESOS(0) x {1 + (RPOP x EPOP)} (4)
KEPEM(t) = KEPEM(0) x {1 + (RPDRB x EPDRB)}t (5)
t
KEPJU(t) = KEPJU(0) x {1 + (RPDRB x EPDRB)} (6)
Dengan:
t = 0 menunjuk tahun 2015, t = 1 menunjuk tahun 2016, dan seterusnya.
EPOP : Elastisitas kebutuhan listrik terhadap penduduk
EPDRB : Elastisitas kebutuhan listrik terhadap PDRB

3.3 Hasil
Berdasarkan perhitungan dari model diperolah bahwa penduduk Provinsi Banten akan meningkat dari
11.868 ribu jiwa pada tahun 2015 menjadi 14.609 ribu jiwa pada tahun 2025, atau meningkat rata-rata
sebesar 2,1% per tahun. Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang yang paling tinggi pertumbuhan
penduduknya yakni masing-masing sebesar 3,26% dan 3,14% per tahun. PDRB Provinsi Banten akan
meningkat dari 370,7 triliun Rupiah (harga konstan tahun 2010) pada tahun 2015 menjadi 669,5 triliun
Rupiah (2025) atau meningkat rata-rata sebesar 6,09% per tahun. Bila nilai PDRB dibagi dengan jumlah
penduduk maka diperoleh PDRB per kapita yang merupakan indikator tingkat produktivitas penduduk suatu
wilayah. PDRB per kapita meningkat dari 31,2 juta Rupiah per kapita pada tahun 2015 menjadi 45,8 juta
Rupiah per kapita pada tahun 2025. PDRB per kapita yang tertinggi tercatat di Kota Cilegon yang mencapai
208,5 juta Rupiah per kapita. Kota Cilegon menjadi wilayah yang mempunyai produktivitas paling tinggi
karena industrialisasi di wilayah ini sangat berhasil.
Berdasarkan hasil perhitungan pertumbuhan penduduk dan PDRB maka dapat ditentukan kebutuhan
listrik dalam kurun waktu yang sama. Proyeksi kebutuhan listrik untuk agregat kabupaten/kota ditunjukkan
pada Tabel 5. Kebutuhan listrik akan meningkat dari 7.699 GWh pada tahun 2015 menjadi 20.049 GWh pada
tahun 2034 atau tumbuh rata-rata sebesar 10,09% per tahun. Indikator penting untuk kebutuhan listrik adalah
kebutuhan listrik per kapita. Secara agregat kebutuhan listrik per kapita meningkat dari 649 kWh per kapita
pada tahun 2015 menjadi 1.372 kWh per kapita (2025). Bila dibandingkan dengan dengan negara maju dan
negara tetangga, kebutuhan listrik per kapita di Provinsi Banten tahun 2025 masih sangat kecil bahkan masih
lebih kecil dari rata-rata dunia yakni sebesar 3.026 kWh per kapita pada tahun 2013. Kebutuhan listrik per
kapita di Jerman pada tahun 2013 sudah mencapai 7.022 kWh per kapita dan untuk Malaysia sebesar 4.474
kWh per kapita (IEA, 2015).
Tabel 4. Proyeksi Kebutuhan Listrik untuk Wilayah Kabupaten/Kota (GWh)

2015 2020 2025


Kabupaten Pandeglang 430 584 840
Kabupaten Lebak 452 630 922
Kabupaten Tangerang 1.747 2.980 5.596
Kabupaten Serang 935 1.276 1.809
Kota Tengerang 1.769 2.692 4.336
Kota Cilegon 1.033 1.428 2.045
Kota Serang 381 599 1.002
Kota Tangerang Selatan 952 1.722 3.499
Provinsi Banten 7.699 11.911 20.049
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017

2015 2025

Gambar 4. Peta SIG untuk Kebutuhan Listrikdi Provinsi Banten


Disamping hasil agregat, dalam model juga dihitung secara rinci per kecamatan dan per sektor. Hasil
penting adalah peta kebutuhan listrik menggunakan SIG untuk tahun 2015 dan 2025 seperti ditunjukkan pada
Gambar 4. Disparitas kebutuhan listrik per kecamatan sangat menonjol untuk wilayah Banten sebelah utara
dibandingkan dengan wilayah sebelah selatan. Disparitas tersebut diprakirakan akan terus ada dalam kurun
waktu 10 tahun ke depan. Wilayah utara yang didominasi oleh wilayah perkotaan mempunyai pertumbuhan
yang sangat tinggi serta konsumsi listrik per kapita yang juga tinggi. Wilayah selatan yang masih merupakan
wilayah pedesaan tidak dapat mengejar ketinggalan dari wilayah utara dengan hanya mengandalkan kondisi
yang ada saat ini. Perlu ada campur tangan dari pemerintah untuk membuat kebijakan industrialisasi di
wilayah Banten bagian selatan.

4. SIMPULAN DAN SARAN


4.1 Simpulan
Berdasarkan data, pembuatan model dan pembahasan dalam bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai
berikut:
• Model kebutuhan listrik untuk level kecamatan dengan 6 sektor pengguna, yaitu: rumah tangga, industri,
komersial, sosial, pemerintah, dan PJU sudah dibuat dan digunakan untuk menganalisis kebutuhan listrik
dalam kurun waktu 2015-2025 di Provinsi Banten. Dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis
maka berbagai indikator yang terkait dengan pengembangan listrik dapat ditampilkan secara spasial.
• Penduduk di Provinsi Banten diprakirakan akan tumbuh rata-rata sebesar 2,1% per tahun. Jumlah
penduduk meningkat dari 11.868 ribu jiwa pada tahun 2015 menjadi 14.609 ribu jiwa pada tahun 2025.
Pertumbuhan penduduk terbesar berada di Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang.
• Pertumbuhan PDRB diprakirakan sebesar 6,09% per tahun atau meningkat dari 370,7 triliun rupiah (harga
konstan tahun 2010) pada tahun 2015 menjadi 669,5 triliun rupiah pada tahun 2025. Pada tahun 2015
PDRB terbesar disumbang dari industri dengan pangsa sebesar 37%. PDRB per kapita meningkat dari
31,2 juta Rupiah per kapita pada tahun 2015 menjadi 45,8 juta Rupiah per kapita pada tahun 2025. PDRB
per kapita yang tertinggi tercatat di Kota Cilegon yang mencapai 208,5 juta Rupiah per kapita.
• Kebutuhan listrik akan meningkat dari 7.699 GWh pada tahun 2015 menjadi 20.049 GWh pada tahun
2034 atau tumbuh rata-rata sebesar 10,09% per tahun. Secara agregat kebutuhan listrik per kapita
meningkat dari 649 kWh per kapita pada tahun 2015 menjadi 1.372 kWh per kapita (2025). Bila
dibandingkan dengan dengan negara maju dan negara tetangga, kebutuhan listrik per kapita di Provinsi
Banten tahun 2025 masih sangat kecil bahkan masih lebih kecil dari rata-rata dunia.
4.2 Saran
Dari sisi hasil pemodelan, Provinsi Banten mempunyai disparitas perekonomian yang cukup besar antara
wilayah bagian utara dibandingkan dengan wilayah bagian selatan, baik dalam pertumbuhan ekonomi
maupun pemenuhan kebutuhan listrik. Wilayah bagian utara mempunyai infrastruktur yang mencukupi
sehingga memungkinkan perekonomian tumbuh cukup tinggi, sedangkan wilayah selatan sebaliknya masih
sangat kurang infrastrukturnya. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius dalam pengembangan
perekonomian ke depan, khususnya pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan. Dengan kondisi business
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017

as usual maka dalam kurun waktu 10 tahun wilayah bagian selatan masih belum dapat mengejar ketinggalan.
Pemerintah perlu membuat program percepatan pengembangan infrastruktur dan industrialisasi di wilayah
bagian selatan.
Dari sisi pengembangan model, keterbatasan data dan pengambilan asumsi dapat mengurangi keakuratan
hasii proyeksi untuk jangka panjang. Indikator hasil model perlu dibandingkan dengan referensi lain maupun
benchmarking sehingga dapat dilakukan validasi dengan lebih baik.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih atas dukungan dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk pendanaan
penelitian ini melalui Insentif Riset Pratama Individu.

6. DAFTAR PUSTAKA
Bappenas, Policy Paper: Keselarasan KEN dengan RUEN dan RUED, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2012, Jakarta.

BPS Kab. Lebak, Kabupaten Lebak Dalam Angka 2016, BPS Kabupaten Lebak, 2016.

BPS Kab. Pandeglang, Kabupaten Pandeglang Dalam Angka 2016, BPS Kabupaten Pandeglang, 2016.

BPS Kab. Serang, Kabupaten Serang Dalam Angka 2016, BPS Kabupaten Serang, 2016.

BPS Kab. Tangerang, Kabupaten Tangerang Dalam Angka 2016, BPS Kabupaten Tangerang, 2016.

BPS Kota Cilegon, Kota Cilegon Dalam Angka 2016, BPS Kota Cilegon, 2016.

BPS Kota Serang, Kota Serang Dalam Angka 2016, BPS Kota Serang, 2016.

BPS Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang Selatan Dalam Angka 2016, BPS Kota Tangerang Selatan,
2016.

BPS Kota Tangerang, Kota Tangerang Dalam Angka 2016, BPS Kota Tangerang, 2016.

BPS Prov. Banten, Provinsi Banten Dalam Angka 2016, BPS Provinsi Banten, 2016, Serang.

Budiyanto, E., Sistem Informasi Geografis dengan Quantum GIS, Penerbit Andi, 2016, Yogyakarta.

CDIEMR (2016) Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2016, Center for Data and
Information on Energy and Mineral Resources, Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta.

DJK (2016) Statistik Ketenagalistrikan 2015, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Jakarta.

IAEA, Model for Analysis of Energy Demand (MAED-2): User’s Manual, International Atomic Energy
Agency, 2006, Vienna.

IEA, Key World Energy Statistics, International Energy Agency, 2015, Paris.

PLN, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2017-2026, PT PLN (Persero), 2017,
Jakarta.

PLN, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2015-2024, PT PLN (Persero), 2015,
Jakarta.

PLN, Statistik PLN 2015, PT PLN (Persero), 2015, Jakarta.

SEI, LEAP: User Guide for LEAP Version 2015, Stockholm Environment Institute, 2015.
Seminar Nasional Integrasi Proses 2017
3 Oktober 2017

Tyralisa, H.; Mamassisa, N.; Photisb, Y.N., Spatial analysis of electrical energy demand patterns in Greece:
Application of a GIS-based methodological framework, Energy Procedia, 2016, 97, 262-269.

Tyralisa, H.; Mamassisa, N.; Photisb, Y.N., Spatial analysis of the electrical energy demand in Greece,
Energy Policy, 2017, 102, 340–352.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai