Anda di halaman 1dari 8

Stephen Covey merasa bahwa sifat manusia yang efektif hasil pemikirannya terdahulu (7

Habits) masih kekurangan akan sesuatu. Covey mengatakan bahwa menjadi manusia yang
efektif ? baik secara individu maupun organisasi bukan lagi merupakan pilihan masa kini.
Sebaliknya, itu telah menjadi harga yang harus dibayar untuk memasuki permainan kehidupan.

Bertahan hidup, berinovasi, mengungguli dan memimpin pada saat ini menuntut kita untuk
membangun dan meraih lebih dari dari sekedar efektif. Tuntutan dari kebutuhan masa kini
adalah kebesaran (greatness).

Dalam pengantarnya, Covey juga menyebutkan bahwa sifat ke-8 bukan merupakan
penambahan terhadap 7 sifat sebelumnya. Sifat ke-8 ini adalah mengenai melihat dan menuai
kekuatan dimensi ketiga dari 7 sifat sebelumnya untuk memenuhi tantangan inti masa
sekarang.

Kebiasaan ke-8 yaitu :

“Temukan suaramu dan inspirasikan yang lain untuk menemukan (find your voice and inspire to
find theirs)”.

Suara itu sendiri didefinisikan sebagai kepentingan pribadi yang unik (unique personal
significance). Suara itu merupakan talenta (bakat alamiah dan kekuatan), kecintaan (sesuatu
yang memberikan tenaga, menghibur, memberikan motivasi dan menginspirasi kita secara
alami), serta kebutuhan dan kesadaran (suara kecil dalam diri yang memastikan apa yang benar
dan mempercepat kita untuk melakukannya).

Kita sebagai manusia mampunyai kebebasan memilih. Sejarah manusia (yang bebas) bukanlah
ditulis dengan kebetulan, tetapi dengan pilihan. Di sisi lain kita kita memiliki 4 jenis jenis
intelegensi/kemampuan secara alami : mental/pikiran (IQ), tubuh (PQ), emosi (EQ), dan
spitirual (SQ).

Pada semua manusia yang hebat, kita dapat menemukan manifestasi tertinggi dari ke-4 jenis
intelegensi tersebut, yakni : visi (kemampuan mental), disiplin (kemampuan emosional),
kecintaan (kemampuan spiritual), kesadaran (kemampuan spitirual).
Visi adalah melihat dengan mata hati apa yang mungkin terhadap orang, proyeksi, penyebab,
ataupun permasalahan yang dihadapi perusahaan. Disiplin adalah membayar harga untuk
membawa visi menjadi penyataan. Kecintaan adalah api dan kekuatan yang mempengaruhi,
serta tenaga yang mempertahankan disiplin untuk meraih visi.

Kesadaran adalah perasaan mental dalam diri terhadap apa yang benar dan salah, serta tenaga
terhadap arti dan kontribusi.

Bila kita menghargai, mengembangkan, mengintegrasikan dan menyeimbangkan kemampuan


ini dan meraih manifestasi tertingginya, sinergi diantaranya akan menyalakan api dalam diri kita
sehingga kita menemukan suara hati kita.

Dalam organisasi yang sudah akut ke-4 kompetensi tersebut telah lumpuh. Dalam hal mental
tidak ada visi/nilai bersama. Dalam hal tubuh, terdapat ketidaksesuaian (misalnya persaingan
antar

departemen ataupun kemunafikan). Dalam hal emosi terdapat ketidakberdayaan (apatisme,


bosan, ataupun kemarahan). Dalam hal spiritual, kepercayaan yang ada sudah memudar.

Tugas kepemimpinan adalah mengatasi ke-4 sindroma akut tersebut.Dalam hal mental, harus
dilakukan pencarian jalan (pathfinding). Dalam hal tubuh, harus dilakukan penyesuaian
(alignment). Dalam hal hati harus dilakukan pemberdayaan (empowering). Dalam hal spiritual,
harus dilakukan pemodelan (modelling). Proses inilah yang dimaksud dengan “menginspirasi”
yang lain untuk menemukan suaranya”. Kata kunci untuk

meraih kesemua ini adalah fokus dan eksekusi.

Terdapat sejumlah prinsip dalam hal pemodelan dan pencarian jejak : suara pengaruh, suara
kelayakpercayaan, suara dan kecepatan kepercayaan, serta satu suara. Di sisi lain, dalam hal
penyesuaian dan pemberdayaan dibutuhkan suara eksekusi dan suara pemberdayaan.

Kebiasaan ke-8 merupakan titik potong tengah antara tiga hal : kebesaran pribadi (visi, disiplin,
kecintaan dan kesadaran); kebesaran organisasi (visi, misi dan nilai); kebesaran kepemimpinan
(pemodelan, pencarian jejak, penyesuaian, dan pemberdayaan).
Sementara itu kehidupan mempunyai makna yang dapat dirangkum sebagai 4L, yaitu : live
(bertahan hidup), love (mencintai), learn (belajar), dan leave a legacy (meninggalkan warisan).

Berbeda dari buku 7 Habits sebelumnya yang rekan-rekan semua pernah membacanya yang
sangat berorientasi pada kepraktisan, keseluruhan dari The 8th Habit ini lebih berorientasi pada
teori. Bahkan di bagian

appendiks buku ini juga ditemukan hasil penelitian Stephen Covey terhadap Execution Question
(xQ) yang dilakukannya, serta sejumlah pembahasan literatur dan teori tentang kepemimpinan.

Resensi Buku 8th Habits


Kita semua tahu betapa, The 7th Habit, buku yang ditulis oleh Stephen Covey, demikian
mempengaruhi dunia. Buku yang mengajarkan seseorang bagaimana menjadi pribadi yang
efektif. Beberapa tahun kemudian, munculah The 8th Habit, Covey memasukkan kebiasaan yang
kedelapan. Kali ini Covey melakukan suatu pergeseran yang cukupsignifikan. Dari efektif
menuju kepada keagungan. Didalamnya, Covey memasukkan sebuah kata yang sarat makna:
VOICE (panggilan). Temukan panggilan unik Anda, dan bantu orang lain untuk menemukannya,
demikian kalimat pamungkas buku itu.

Saya pribadi bertanya-tanya dalam hati mengapa "panggilan" ini seolah baru disadari oleh Covey
di kemudian hari? Jelaslah bahwa ternyata menjadi efektif saja tidak cukup. Siapapun boleh saja
sukses sampai ke ujung langit, namun jika ia tidak memenuhi panggilannya, he or she is
nothing. A big nothing.

Sedikit berbeda dengan Covey, Peter F Drucker, Sang "Penemu" Manajemen dalam salah satu
bukunya The Classic Drucker, merekomendasikan pengenalan terhadap talenta seseorang,
sebagai faktor krusial, utama dan yang pertama harus digali oleh siapapun. Tidak perduli ia
adalah eksekutif, bisnisman, karyawan..singkat kata, siapapun. Pekerjaan dan bidang yang tidak
sesuai dengan passion atau talenta seseorang, hanya akan membuat kerugian, tidak saja bagi
organisasi namun juga untuk pribadi itu sendiri.

Sekarang kita coba "nyeleneh" ke tokoh yang sama sekali tidak akan masuk hitungan kaum
bisnis dan profesional. Khalil Gibran!

Luangkan waktu sedikit untuk meresapi puisi karya Kahlil Gibran berikut..

"Among the hills, when you sit in the cool shade of the white poplars, sharing the peace and
serenity of distant fields and meadows -- then let your heart say in silence, "God rests in reason."

And when the storm comes, and the mighty wind shakes the forest, and thunder and lightning
proclaim the majesty of the sky -- then let your heart say in awe, "God moves in passion."
And since you are a breath in God's sphere, and a leaf in God's forest, you too should rest in
reason and move in passion."

Tokoh-toko itu rupanya sepakat, bahwa setiap orang memiliki sebuah keunikan tak terduplikasi
yang ujungnya mengacu pada sebuah misi spesifik. Sebuah passion yang mengarahkan seseorang
kepada GREATNESS.

Dari uraian-uraian diatas, dapat disimpulkan God-Spot (passion, bakat, talenta), memiliki dua
dimensi, yaitu spiritual dan duniawi. Sehingga adalah keliru jika kita berpikir bahwa God-Spot
hanyalah masalah senjata yang membuat Anda sukses, namun mengabaikan SIAPA yang
memberikan talenta, passion dan bakat itu kepada Anda.

Demikian juga, adalah tidak benar jika Anda berpikir bahwa konsep yang saya namakan God-
Spot ini, hanyalah tentang spiritualitas belaka, kemudian tidak berani bermimpi jadi kaya,
makmur dan bebas finansial.

God-Spot tidak hanya memuat issue tentang kedalaman hubungan manusia dengan Penciptanya,
namun juga tentang tetek-bengek alias printilan keseluruhan kehidupan. Termasuk uang, perut,
cita-cita dan lain sebagainya.

Renungkan hidup ini. Bisa jadi kita pernah membuat sebuah atau beberapa keputusan yang salah.
Namun demikian, jalinan peristiwa besar-kecil, suka-duka, penting-tidak penting, sederhana-
kompleks. .semuanya "diijinkan" terjadi dengan sebuah maksud. Hanya saja, ada maksud-
maksud itu yang belum terungkap dari pandangan mata kita. Dengan kata lain, tidak ada kata
"kebetulan" untuk TUHAN.

Nah, God-Spot adalah clue yang akan mengarahkan siapapun kepada "misi spesifik" masing-
masing manusia di muka bumi. Ia akan menjawab sebuah pertanyaan hakiki setiap insan
mengenai : UNTUK APAKAH AKU LAHIR DI MUKA BUMI INI?

Karena tidak ada seorangpun, lahir kebetulan di dunia ini.

Jika Anda tertarik akan angka-angka, itu bukan kebetulan.

Jika Anda sangat suka mendesain sesuatu, itu bukan kebetulan.

Jika fotografi membuat Anda terhanyut, itu bukan kebetulan.

Jika menulis, membuat Anda seperti berada di kebun bunga nan indah, itu bukan kebetulan.

Jika manusia dan hubungannya mengasyikkan bagi Anda, itu bukan kebetulan.

Jika proses jual-beli, membuat Anda luar biasa senang itu bukan kebetulan.

Jika dunia obat-obatan membuat Anda sungguh terpukau, itu bukan kebetulan.
Jika seseorang meremehkan passion, talenta, bakat miliknya, maka dunia akan meremehkan
orang itu. Karena yang ia remehkan bukan hanya dirinya, namun Sang Pencipta yang
mengaruniakan semua itu kepada manusia

Stephen R. Covey, seorang ahli kepemimpinan, menulis buku lanjutan dari The 7 Habits of
Highly Effective People. Bukunya berjudul The 8th Habit (Kebiasaan yang Kedelapan) dan
diterjemahkan oleh Gramedia (2005) dengan tambahan sub judul “melampaui efektivitas,
menggapai keagungan.”Apa yang ditulis Covey dalam buku ini rasanya penting untuk
dipraktekkan oleh siapa saja—termasuk para pemimpin di semua level.

Apa isi buku tersebut? Setidaknya, poin inti yang dapat kita ambil dari “kebiasaan ke-8” ini
berbunyi, “menemukan suara panggilan jiwa anda dan mengilhami orang lain untuk
menemukan suara kemerdekaan jiwa mereka.” Tugas pemimpin—dalam konteks ini—adalah
bagaimana menemukan potensi/bakat atau panggilan jiwanya, dan ia mengilhami warga
masyarakatnya (termasuk bawahannya dalam birokrasi) untuk menemukan potensi
mereka/titik kompetensi terbaiknya untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang lebih
baik.

Dari 7 Hingga ke-8

Pada 1989, Covey menulis buku The 7 Habits. Ada 7 kebiasaan efektif manusia untuk
menciptakan pribadi-pribadi yang unggul. Ketujuh kebiasaan itu adalah: 1). Jadilah proaktif, 2).
Mulai dengan tujuan akhir, 3). Dahulukan yang utama, 4). Berpikir menang-menang, 5).
Berusaha memahami dahulu, kemudian berusaha dipahami, 6). Wujudkan sinergi, dan 7).
Mengasah gergaji. Kebiasan-kebiasaan efektif ini banyak dipraktekkan dimana-mana—tak
terkecuali di Indonesia. Banyak pelatihan menggunakan referensi ini, baik yang digunakan oleh
kalangan pemerintahan atau swasta. Ketujuh kebiasaan ini menjadi salah satu strategi untuk
menciptakan kinerja yang baik di tingkat individual maupun organisasi/birokrasi.

Pertama, “Jadilah proaktif” bermakna bahwa untuk sukses, kebiasaan proaktif ini haruslah ada.
Seorang pemimpin yang menunggu saja tidak akan mendapatkan inspirasi bagi
kepemimpinannya. Ia haruslah memiliki inisiatif untuk itu. Begitu juga para manajer, atau staf.
Mereka perlu proaktif memberikan masukan dan ide-ide kreatif untuk kemajuan diri dan
lembaga mereka.
Yang kedua, “Memulai dengan tujuan akhir” memberi landasan visi yang jauh. Mudahnya
dipahami sebagai pembentukan visi jangka panjang. Misalnya, seorang yang ingin mencapai
posisi tertinggi di lembaganya, maka ia harus menargetkan visi itu, kemudian berusaha untuk
mencapai apa yang sudah ia targetkan. Visi pemerintah pusat hingga daerah juga dibuat dan
sesuai dengan kaidah kedua ini. Dalam konteks agama, mereka yang ingin bahagia dunia-
akhirat (akhir nanti), maka ia juga perlu meniti kehidupan yang baik yang mengantarnya
menuju ke sana.

Yang ketiga “dahulukan yang utama” juga kebiasaan yang baik. Dalam hidup, kita
diperhadapkan pada banyak pilihan. Dari berbagai pilihan itu, kita perlu memilih mana yang
paling penting, kurang penting, atau tidak penting. Berbagai masalah itu perlu dipetakan dan
bertindak cepat untuk diselesaikan Dalam konteks kepemimpinan, dari berbagai program kerja
pemerintahan/organisasi, maka ia perlu menentukan mana prioritas yang harus dijalankan,
urgen sifatnya, dan tepat pada sasaran.

Kaidah keempat berbunyi “berpikir menang-menang.” Ini sikap luar biasa yang baik sekali.
Dalam sejarah Mesir misalnya, Nabi Yusuf yang pernah disakiti (dimasukkan ke dalam jubb—
sumur dalam yang penuh kalajengking dan binatang berbisa lainnya) oleh saudara-saudaranya.
Ketika Yusuf as. dipercaya menjadi pembesar di negeri itu, ia tidak menampakkan sikap balas
dendam. Ia malah memaafkan sikap saudara-saudaranya itu karena ia berpikir agar dirinya
menang, dan orang lain juga menang. Sikap ini baik sekali dipraktekkan oleh para kepala
daerah/ketua-ketua organisasi yang pernah bersaing mendapatkan jabatan. Dalam al-Qur’an
surat Yusuf ayat 92, karakter “menang-menang” ini dapat dilihat dari ucapan beliau, “pada hari
ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah
Maha Penyayang di antara yang penyayang.”

Kaidah kelima “berusaha memahami dahulu, kemudian berusaha dipahami.” Dalam penelitian
Antropologi yang cenderung kualitatif dan memakan waktu lama, diajarkan bagaimana seorang
peneliti belajar memahami budaya setempat. Pemahaman akan budaya itu (termasuk 7 unsur
kebudayaan), kelak akan memudahkan pemerintah dalam menjalankan program-program
pembangunan untuk komunitas tertentu. Kenapa kerap terjadi resistensi terhadap kebijakan
pemerintah? Bisa jadi, itu karena sikap pemerintah yang tidak mau “berusaha memahami
dahulu.” Akhirnya, karena komunitas tersebut merasa tidak dipahami, maka timbullah
penentangan demi penentangan. Yang terbaik adalah, memahami apa world of view
(pandangan dunia/paradigma/mindset/cara berpikir) orang lain, kemudian menjalankan
program kerja.
Kaidah keenam, “wujudkan sinergi.” Beberapa waktu lalu, seorang wakil kepala daerah
mengungkapkan di media massa bahwa dalam berbagai keputusan penting, ia kerap tidak
dilibatkan oleh sang pemimpin nomor satu di daerah tersebut. Karena posisinya juga sebagai
“wakil”, jadinya mewakili apa saja kebijakan dari yang lebih di atas. Dalam konteks kepala
daerah—bahkan termasuk di tingkat kepala negara—pasangan nomor satu dan dua perlu
mewujudkan sikap yang sinergis (bekerjasama yang baik). Artinya, 01 dan 02 adalah figur bagi
rakyatnya. Ketika mereka tidak bersinergis, maka yang akan menanggung bebannya adalah
rakyat juga. Kerap kita lihat pemimpin yang saling berseteru antara satu dan lainnya. Sikap
sinergis ini bukan hanya untuk pasangan kepala daerah, tapi untuk sinergitas dengan para wakil
rakyat, dan stakeholder yang ada.

Dan kaidah yang ketujuh adalah “mengasah gergaji.” Dalam buku Covey, diterangkan tentang
seorang yang menggergaji. Kalau ia menggergaji pohon terus-menerus, maka pasti ia akan
didera rasa lelah. Dan, jika lelah itu melanda, kemudian ia tetap menggergaji, maka tentu
kekuatan dan hasilnya tidaklah maksimal. Olehnya itu, maka gergaji perlu diasah agar efektif
dan optimal hasilnya. Dalam kepemimpinan juga seperti itu. Seorang pemimpin perlu mengasah
kemampuannya dengan baik. Pengiriman beberapa pejabat daerah ke Universitas Harvard
untuk belajar selama beberapa minggu adalah ide yang baik. Tentunya, ketika mereka sudah
kembali ke daerah, perlu sekali untuk membagi apa yang telah dipelajarinya (termasuk ke
kampus) dan berupaya mempraktekkan ilmu itu untuk kesejahteraan di daerah.

Pemimpin “The 8th Habit”

Kaidah yang kedelapan ini berbunyi, “menemukan suara panggilan jiwa anda dan mengilhami
orang lain untuk menemukan suara kemerdekaan jiwa mereka.” Ada dua poin yang penting di
sini. Yang pertama untuk personal pemimpin itu, dan kedua untuk masyarakat atau
bawahannya. Pada bagian “menemukan suara panggilan jiwa anda”, seorang pemimpin perlu
tahu potensinya dimana. Ia haruslah tahu dimana kekuatan serta kelemahannya (bisa dengan
analisis SWOT), dan sadar akan program yang harus ia tuntaskan dalam rentang
kepemimpinannya.

Pemimpin yang sadar diri seperti ini tidak akan sombong dengan jabatannya. Ia tidak akan
semena-mena, tidak akan asal mencopot jabatan orang lain karena faktor emosional—seperti
yang dipraktekkan oleh walikota Manado yang mencopot sekretaris kota (sekkot) dan ketika
digugat, sang walikota pun kalah. Suara hati seorang pemimpin berada dalam kedalamannya
sendiri. Orang yang seperti ini memiliki keagungan dalam dirinya, dan orang lain pasti akan
merasakan keagungan tersebut. Artinya, jika hingga beberapa bulan atau tahun berjalan, kita
tidak merasakan keagungan atau kepedulian dari seorang pemimpin, maka sangat bisa jadi
pemimpin tersebut belum berhasil menemukan panggilan jiwanya untuk memimpin dengan
amanah.

Setelah seorang pemimpin menemukan hati nuraninya itu, maka perlu menjadi inspirator.
Untuk apa? Dalam konteks ini, sang pemimpin diperlukan untuk menjadi inspirator yang
mengilhami orang lain untuk sukses juga. Misalnya, masalah pengangguran. Seorang pemimpin
perlu menjadi inspirator bagi penganggur-penganggur itu agar bekerja secara kreatif. Ini berarti,
dana untuk pembibitan wirausaha mandiri (terutama anak muda) perlu ada dan tepat pada
sasarannya.

Kata “mengilhami” dalam Bahasa Inggris dikenal dengan “inspire” yang ternyata berasal dari
Bahasa Latin “inspirare” yang berarti “menghembuskan kehidupan pada sesuatu atau
seseorang.” Inspirasi yang dapat diberikan oleh seorang pemimpin kepada masyarakatnya,
dapat berupa inspirasi secara fisik (artinya ia seorang yang bersih, dan wilayahnya juga bersih).
Bisa juga berupa inspirasi emosional (ia empatik dengan penderitaan kaum papa, jika ada
musibah ia segera datang dan bertindak cepat), atau ia juga memberikan inspirasi secara
spiritual dengan tingkat kesalehan yang setidaknya di atas rata-rata. Orang yang saleh akan
takut jika ia tidak adil dalam memimpin. Dan, ini pastinya terkait pada sejauhmana hubungan
baiknya secara spiritual dengan Tuhan.

Saat ini, ada baiknya kita bertanya: adakah pemimpin kita yang punya karakter 7 habits (7
kebiasaan) tadi, ditambah dengan kebiasaan yang ke-8 yaitu menemukan suara hatinya sendiri
dan mengilhami orang lain? Mungkin saja ada, namun tingkat “ada”-nya itu rasa-rasanya belum
banyak terlihat di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai