Anda di halaman 1dari 11

Pertemuan Ke-1

Akustik dan Organologi II


Raden Andika Kusumawardana

‘Organologi adalah ilmu tentang alat musik’

I. PENDEKATAN DALAM MEMPELAJARI ORGANOLOGI

1. Studi Tekstual
Pendekatan yang memperlakukan studi atau alat musik itu sendiri sebagai bahan kajian, bahkan
mencakup pula alat musik pendahulu, sejenis, dan prediksi di masa depan. Studi tekstual juga
berkaitan dengan akustik, yatu perihal sumber bunyi (idiofon, chordofon, aerofon, membranofon,
dan elektrofon), antara lain: 1. Bahan sumber bunyi; 2. Cara menggetarkan sumber bunyi; 3. Bunyi
yang diproduksi tanpa resonator; 4. Bunyi yang diproduksi dengan resonator; 5. Jenis-jenis
resonator; 6. Jembatan sumber bunyi dengan resonator. Selain itu, berkaitan dengan bagian-
bagian (bentuk dan penampilan) alat musik tertentu: 1. Bagian pokok yang berkaitan dengan
akustik; 2. Bentuk, bahan dan bagian pendukung (missal: warna, pegangan agar mudah dibawa,
dll).
2. Studi Kontekstual
Pendekatan studi organologi yang menghubungan alat musik yang menjadi objek studi dengan
berbagai hal yang berkaitan dengan aspek lingkungan musikal (ansambel, genre, musik dan
musikal), serta aspek sosiokultural (sejarah, budaya, masyarakat, dll), antara lain:
• Studi tentang fungsi alat musik di dalam ansambel (orkestra).
• Studi tentang seberapa jauh peranan dan fungsi alat musik dalam genre lain, terutama
dalam modifikasi fungsi.
• Studi tentang makna dari kehadiran alat musik sebagai simbol di tengah masyarakat
tertentu.
• Studi tentang sebaran alat musik di wilayah tertentu
• Perubahan fungsi alat musik tersebut

II. AKUSTIK
1. a mengenai atau berhubungan dengan organ pendengar, suara, atau ilmu bunyi: saraf --
2. n Kom rancangan dan sifat khusus ruang rekaman, pentas, auditorium, dan sebagainya.
3. n tempat rekaman atau reproduksi suara dilaksanakan
4. n keadaan ruang yang dapat memengaruhi mutu bunyi
‘Dapat menjadi sebuah konsep di dalam Ilmu Akustik; Alat musik tertentu; Keadaan ruang tertentu’

‘Ilmu yang mempelajari tentang gelombang mekanikal pada zat gas, cair, dan padat’

Spektrum bunyi merujuk pada gelombang yang bergetar secara periodik1 pada frekuensi2 tertentu.
Jangkauan frekuensi yang umumnya dapat didengar oleh manusia lebih kurang 20 Hz 3 sampai 20.000 Hz
atau disebut juga sonik (sonic). Frekuensi di atas 20.000 Hz sampai 20 MHz disebut gelombang ultrasonik,
dan frekuensi di bawah 20 Hz disebut gelombang infrasonik (Paul A., 1998: tidak ada halaman).

Gambar 1: Spektrum bunyi (ibid).

II.1 Bunyi Bersifat Spasial


Ranah bunyi (soundscape) adalah kata yang relatif baru. Diciptakan oleh Michael Southworth
(Southworth, 1969: 49) dan dipopulerkan oleh komponis R. Murray Schafer (Schafer, 1977: 36). Ranah
bunyi mengandung satu inti pembahasan, yaitu bunyi. Berikut pandangan Pasnau mengenai apa itu bunyi
(1999: 316).

“I think that we should conceive of sound as like colour, rather than as like light… We should
continue to treat sound as the object of hearing, and we should think of sounds as existing within
the object that ‘makes’ them.”
[“Saya pikir bunyi lebih tepat bila diasosiasikan dengan warna, daripada cahaya … Bunyi juga dapat
dianggap sebagai suatu objek, namun objek tersebut baru benar-benar dapat dilihat apabila
terdapat ‘objek’ lain, yaitu penyematan makna.”]

Pasnau menolak pandangan umum yang menyatakan bahwa bunyi hanya sekedar gelombang yang
merambat pada suatu medium dan dapat didengar oleh makhluk hidup. Bunyi tidak seperti cahaya yang
bisa dihitung secara kasatmata dengan mencari sumber cahanya. 4 Bunyi adalah kesatuan integral dari
benda yang bergetar, antara lain mecakup persepsi bahwa bunyi selalu berasal dari titik lokasi tertentu,
berkorespondensi dengan ‘objek’ yang membuat bunyi terdengar ‘seperti ini’ atau ‘seperti itu’ (ibid, 309).
Gelombang pada bunyi adalah akibat dari perubahan tekanan udara yang disebabkan objek yang bergetar

1 Getaran yang terjadi dalam selang waktu yang tetap.


2 Frekuensi merupakan jumlah atau banyaknya getaran (osilasi)yang terjadi dalam 1 detik.
3 Hertz (disingkat Hz) adalah satuan yang menyatakan banyaknya gelombang dalam waktu satu detik. 1 Hertz sama dengan 1

gelombang per detik.


4 Contoh: Di dalam ruangan yang sangat gelap terdapat tiga senter yang nyala secara bersamaan. Berarti hanya terdapat tiga

cahaya di dalam ruangan tersebut.


akan mengisi ruang. Akan tetapi menurut peneliti, sebuah objek yang berbunyi dan diperhatikan sungguh-
sungguh atau dilihat secara langsung, belum tentu memberikan keyakinan penuh kalau memiliki bunyi
‘seperti itu’.5 Hal ini disebabkan oleh sifat integral dari bunyi dalam pembentukan warna bunyi tertentu.
Di dalam ranah bunyi sumber bunyi juga berasal dari objek yang bergerak, bahkan lebih dari itu,
manusia mempersepsikan suatu objek bergerak atau diam salah satunya dengan mendengar bunyi objek
tersebut. Pergerakan objek akan menyebabkan kontak fisik antara objek dengan zat 6 yang membentuk jalur
perpindahan, walaupun pada akhirnya merambat melalui udara dan menstimulasi indra pendengaran
manusia. Manusia dapat melihat pergerakan objek selama masih berada dalam jarak pandang mata, tetapi
manusia tidak dapat melihat pergerakan gelombang bunyi secara kasatmata. Dengan demikian, peneliti
mengasosiasikan bunyi seperti organisme yang bergerak aktif dan ‘dapat dilihat menggunakan telinga’ di
dalam ruang hidup manusia.
Perambatan objek yang bergetar dapat digolongkan dalam lima bidang bunyi, (Hansen, 1996: 38):
1. Bidang Bunyi Bebas
Ruang yang memungkinkan bunyi merambat tanpa ada gangguan sama sekali dari segala
bentuk halangan. Bidang bebas terbentuk atas medium (padat, cair, gas) yang homogen, dan
bukan merupakan permukaan padat yang bersifat reflektif.
2. Bidang Bunyi Terdekat
Ruang yang memungkinkan gelombang melakukan perambatan 1 gelombang penuh.
3. Bidang Bunyi Terjauh
Ruang yang dimana bunyi merambat setelah melewati bidang bunyi terdekat.
4. Bidang Bunyi Langsung
Gelombang bunyi yang merambat dianggap tidak mengalami perubahan (pemantulan) atau
gangguan dari permukaan objek tertentu.
5. Bidang Bunyi Bergema
Ruang yang hanya berisi gema dari pantulan bunyi dari objek yang bergetar, disebabkan oleh
permukaan objek lain.

II.2 Bunyi Bersifat Temporal


Pasnau menyatakan bahwa bunyi adalah manifestasi objek yang hadir di dalam ruang, namun
bersifat temporer (ibid, 322). Bel yang berdering, alas sepatu yang melintas, kereta yang berhenti di stasiun,

5 Contoh: “Apakah bunyi “kring…” dihasilkan oleh telepon atau bel sepeda?”
6 Zat padat misalnya meja, zat cair misalnya air di danau, dan zat gas sama dengan udara.
dering telepon yang hilang sesaat diangkat, peristiwa-peristiwa tersebut hanya berlangsung sebentar,
walaupun kadang stabil, akan tetapi tidak abadi atau bersifat temporal.

“Just as we are inclined to say that objects have their colours in the dark, so should we say that
objects make a sound in a vacuum (ibid, 322).”
[“Seperti halnya objek tetap memiliki warna walaupun kita tidap melihatnya dalam kondisi gelap
gulita, bunyi juga berbunyi walaupun dalam kondisi hampa udara.”]
Peneliti melihat bahwa bunyi memiliki ‘watak stabil’. Objek sebagai sumber bunyi harus begetar
relatif stabil agar dapat didengar. Misal, individu A hendak memanggil B dengan cara mengetok tiga kali
secara lembut meja individu B agar tidak mengganggu karyawan lain. Individu B tidak segera menyadari
panggilan tersebut, sehingga individu A harus mengetok berulang-ulang kali. Objek yang terus-menerus
bergetar dengan durasi tertentu akan membuat individu mengidentifikasi kehadiran bunyi tersebut.

II.3 Perlakuan pada Sumber Bunyi


Objek yang dapat berbunyi atau mampu menghasilkan bunyi adalah objek yang dipersepsikan
manusia memiliki karakteristik mudah bergetar. Rasa keingintahuan manusia sering kali berlanjut pada
pemberian perlakuan tertentu kepada objek yang baru dilihatnya, antara lain menyentuh, mengetok,
bahkan memukul agar objek tersebut berbunyi (Kulvicki, 2008: 6). Perilaku tersebut dapat dilihat sebagai
bentuk keinginan manusia untuk mencari bunyi baru yang belum pernah ia dengar sama sekali, dari objek
yang juga (mungkin) baru pertama kali ia lihat. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi semua orang,
walaupun terdapat pemandangan yang tidak asing pada saat peneliti melakukan observasi di kantor, antara
lain: seseorang yang sedang mengetok-ngetok meja, menghentak lantai, memukul kubikel, dan lain
sebagainya. Peneliti menduga bahwa hanya orang-orang yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi
terhadap bunyi dari objek atau benda tertentu, yang selalu mencoba menyentuh, mengetok, hingga
memukul benda tersebut agar berbunyi.
Namun, dugaan peneliti juga dapat keliru, karena pada dasarnya semua objek di dalam ruang
kantor sudah pernah berbunyi, dengan kata lain, objek yang serupa juga dapat ditemukan di dalam ruang
hidup lainnya (contoh: rumah, restoran, mal). Tanpa manipulasi bunyi di dalam ruang, seperti
menggunakan pengeras suara yang memperdengarkan rekaman bunyi yang dikompilasikan, semua bunyi-
bunyian yang didengar individu bersifat alami. Artinya, bunyi –bunyi alam, benda, suara manusia dengan
topik obrolan khusus– yang didengar individu berkaitan dengan keterlibatan secara fisik sejumah populasi
manusia di dalam ruang dan pada waktu tertentu atas suatu peristiwa atau bentuk aktivitas yang berulang
setiap harinya.
II.4 Bunyi yang Tidak Membunyikan Sumber Bunyi (Pengeras Suara)
Individu tertentu dapat membuat suatu objek berbunyi membunyikan ‘bunyi yang lain’ dengan
pengeras suara (speaker). Jika mengacu pada bunyi objek yang dipicu oleh sentuhan, ketokan, hingga
pukulan, maka sebuah pengeras suara akan berbunyi ‘tuk’, ‘tak’, ‘deg’, ‘debak’”. Akan tetapi, saat pengeras
suara disambungkan dengan gawai yang sedang menjalankan aplikasi pemutar musik, seketika itu juga
pengeras suara mampu mengimitasi gelombang bunyi yang dihasilkan oleh gitar elektrik, drum, piano, bas
elektrik, dan lain-lain. Pengeras suara mengubah tekanan udara di sekitarnya dengan intensitas yang
berbeda, tidak sesuai dengan karakteristik dasar objek (speaker), sehingga mampu memberikan impresi
kehadiran objek yang sebenarnya tidak hadir secara fisik di dalam ruang individu penerima rangsangan
bunyi (ibid).

II.5 Informasi Akustik dalam Bunyi


Bunyi tidak hanya bersifat fisikal. Setiap bunyi-bunyian di dalam ruang didengar oleh makhluk hidup
sebagai suatu informasi, yaitu informasi akustik. Informasi akustik adalah bunyi yang dapat memicu sebuah
peristiwa, maupun mengakhirinya. Misal, suara keras dari seorang bos yang memanggil salah satu
karyawan, dilanjutkan dengan bunyi pintu yang dibanting. Salah satu Informasi akustik yang diterima
pendengar adalah seorang karyawan yang sedang dimarahi habis-habisan oleh atasannya. Informasi akustik
yang ditransmisikan kepada pendengar adalah hasil interaksi antara bunyi pintu (artefak) dan suara
manusia di dalam ‘ruang hidup’7 ruang kantor tersebut (Gaver, 1993: 6). Oleh sebab itu, melihat pentingnya
bunyi dalam mengidentifikasi suatu peristiwa, maka aktivitas mendengar sama dengan mencari informasi
sebanyak-banyaknya, sehingga sang pendengar mampu menentukan sikap untuk terlibat atau tidak terlibat
dalam suatu peristiwa.
Psikoakustik adalah Ilmu yang mempelajari tentang informasi akustik yang disalurkan oleh bunyi.
Psikoakustik mempelajari bagaimana telinga manusia dapat merespons bunyi dengan memperhitungkan
frekuensi dan intensitas tekanan (kekerasan) dari bunyi yang dihasilkan objek tertentu. Misal, pada
frekuensi 20 Hz sampai 20.000 Hz, manusia umumnya dapat mendengar dengan baik (tidak menimbulkan
gangguan) apabila intensitas bunyi di bawah 90 dB8. Bunyi pada frekuensi 1 Hz sampai 20 Hz, bunyi dengan
intensitas lebih dari 120 dB dikategorikan sebagai bunyi yang mengganggu dan bunyi pada frekuensi di atas
20.000 Hz dengan intensitas 105 dB tidak dianggap mengganggu (Hansen, 1996: 40-41). Manusia dapat
merespons bunyi sebagai suatu informasi (akustik) karena bunyi memiliki empat atribut (Lamancusa, 2000:
2-12).

7 Akustik juga berkaitan dengan keadaan ruang yang dapat mempengaruhi mutu bunyi (KBBI).
8 Desibel (disingkat dB) adalah satuan untuk mengukut intensitas bunyi. Satu decibel ekuvalen dengan sepersepuluh Bel.
1. Kekerasan Bunyi (loudness)
Keras atau lembutnya bunyi yang didengar individu bersifat subjektif sebagai respons dari
kenyaringan bunyi (amplitudo). Respons yang dimaksud berbentuk pernyataan kualitatif
antara lain “Bunyi itu agak terdengar”, “Setidaknya terdengar sedikit”, “Cukup keras”, “Keras
sekali”.
2. Keramaian Bunyi (noisiness) atau Kebisingan yang Mengganggu (annoyance)
Rasa terganggu sulit dikuantifikasikan karena berhubungan dengan efek emosional.
3. Tinggi Rendahnya Nada (pitch):
Berhubungan dengan sinyal murni yang didefinisikan dengan simbol musikal C, D, E, F, G, A, B
atau sDo, Re, Mi, Fa, Sol, La, Si, Do. Bila bunyi tersebut tidak dapat diwakili dalam simbol, maka
kecenderungannya adalah pembentukan kategorisasi antara lain tinggi, rendah, di tengah-
tengan (middle).
4. Bunyi yang Saling menutupi (masking):
Masking terjadi saat bunyi saling tumpang-tindih satu sama lain, khususnya perihal persepsi
yang kontras antar bunyi tesebut.

Keempat atribut bunyi di atas dapat dientifikasi secara sempurna oleh manusia karena manusia
memiliki kemampuan mendengar secara binaural atau memperkirakan titik lokasi objek yang berbunyi
dalam bentang 360 derajat.

II.6 Konsep Derau dan Bising Di Dalam Ranah Bunyi

Translasi dari noise cukup ambigu dalam bahasa Indonesia. Menurut penulis terdapat dikotomi,
pertama noise ditranslasikan sebagai ‘bising’. Bising memiliki arti yang cenderung negatif, antara lain bunyi
ramai yang dapat menyebabkan telinga menjadi pekak karena mendengar bunyi yang tidak keruan. Kedua,
noise ditranslasikan sebagai derau. Derau yang dimaksud bukan dalam konteks gangguan yang terjadi
dalam sistem transmisi telekomunikasi (KBBI), melainkain bunyi-bunyian yang tidak benar-benar diabaikan,
didengar sepintas, diperlakukan seperti ‘angin lalu’, dan dianggap tidak memberikan informasi akustik
(subbab II.1.6) yang berarti bagi individu tertentu. Derau dapat bersumber dari alam, manusia, dan artefak
buatan manusia. Derau cenderung lebih tepat jika ditranslasikan sebagai background noise. Bunyi-bunyian
yang didengar namun tidak ‘diperhatikan’, seakan menjadi latar belakang dari bunyi yang sesungguhnya,
yaitu bunyi yang diperhitungkan di dalam ranah bunyi karena menyampaikan informasi (akustik) tertentu.
Sejumlah peneliti termasuk Dr. Wolfgang Babisch 9 mendefinisikan bising sebagai bunyi yang tidak
diinginkan untuk didengar. Babisch menyatakan bahwa bising tidak hanya mengganggu pendengaran,
tetapi juga menjadi beban untuk hati dan pikiran individu yang mendengarnya. Beban tersebut dapat
membawa gangguan hingga penyakit, antara lain hipertensi, gangguan tidur, penyakit kardiovaskular,
gangguan kognisi, misalnya rasa kesal yang berkepanjangan. Gangguan dan penyakit tersebut disebabkan
oleh bising yang berlebih (Babisch dalam ©Steelcase Inc., 2019: 1).
Senada dengan Babisch, Stallen dalam penelitiannya mengenai dampak kebisingan bandar udara,
menyimpulan bahwa derau tidak sama dengan bunyi. Derau bukan juga bunyi yang sangat nyaring dan lebih
menonjol dari bunyi yang lain, sehingga mengganggu aktivitas tertentu yang membutuhkan konsentrasi
lebih dari biasanya. Menurut Stallen, bunyi identik dengan ‘sesuatu yang indah’, menarik, dapat dinikmati,
diharapkan kehadirannya, dan mengandung informasi (akustik). Sebaliknya, derau –atau bising, dianggap
sama oleh Stallen– bersifat mengganggu, tidak menyenangkan, buruk bagi kesehatan, dan tidak ingin
didengar sama sekali oleh individu tertentu.
Bunyi tidak selamanya dianggap bunyi. Dengan kata lain, bunyi dapat berubah menjadi derau,
apabila bunyi tersebut tidak lagi ingin didengar oleh individu tertentu. Sehingga, baik bunyi, derau, maupun
bising ketiganya bersifat subjektif, tergantung dengan pemaknaan terhadap bunyi yang didengar masing-
masing individu (Stallen, 1999: tidak ada halaman).

II.6.1 Kriteria Kebisingan


Secara umum, bunyi menjadi bising bila memenuhi lima kriteria berikut: 1. Mengganggu
komunikasi atau menyarukan suara lawan bicara; 2. Menghambat proses berpikir; 3. Mengganggu
pemusatan konsentrasi (berhubungan dengan poin ke-3); 4. Menghambat aktivitas yang tengah
berlangsung; 5. Bunyi terlampau nyaring pada frekuensi tertentu (penelitian tata kelola bunyi (noise) di City
of Cape Town, IsiXeko saseKapa (IXSK), 2013: 1). Tingkat kenyaringan yang dianggap menggangu adalah 76
dB10, dengan kondisi bunyi berada pada frekuensi rendah antara 20 – 500 Hz11, dan frekuensi tinggi di atas
18.000 Hz (Alves-Pereira & Castelo Branco, 2012: tidak ada halaman).
Menarik melihat suatu fenomena yang berkaitan dengan kebisingan. Individu yang mampu
menentukan untuk mendengar ‘bunyi’ atau mengabaikan ‘bising’ seakan dianggap memiliki kemampuan
dengar –fisikal maupun intelektual– yang lebih baik dari individu yang spontan berceletuk, (misal) “Gak, gak
suka aja sama bunyinya, sebel aja dengernya” (©Steelcase Inc., 2019: 2). Namun justru sebaliknya, di dalam

9 Peneliti utama dalam bidang keilmuan environmental noise serta peneliti senior di German Federal Environmental Agency
(GFEA).
10 Desibel atau disingkat dB adalah satuan untuk menyatakan intensitas bunyi (KBBI).
11 Hertz atau disingkat Hz adalah satuan gelombang atau pulsa tiap detik (KBBI).
kehidupan sehari-hari individu tidak dapat dengan mudah memilih lalu memilah bunyi-bunyian yang ada.
Oleh sebab itu, jika individu lebih memilih derau sebagai bagian dari pengalaman dengar baru, maka tidak
berarti ia memiliki kemampuan dengar yang rendah.

II.6.2 Klasifikasi Derau (Bising)


Klasifikasi derau (bising) dilandaskan pada variasi temporal di dalam intensitas atau tingkat
kekerasan derau tersebut (Hansen, 1996: 45-48).

Tipe Derau
Bentuk Gelombang dan Periode Karakteristik Contoh Objek
(Bising)

Konstan dengan perubahan Pompa air,


Fluktuasi Kecil
frekuensi yang sangat kecil konveyor

Konstan dengan perubahan


Fluktuasi Besar Mesin perakit
frekuensi yang cukup besar

Berlangsung
Konstan namun Mesin
secara
intensitasnya tidak stabil industri, AC
Berselang

Hantaman
Impuls yang berlangsung
Impulsif Tunggal palu,
sesekali
tembakan
Impulsif Impuls yang berlangsung
Printer
Berulang berkali-kali

Hanya satu frekuensi yang


Derau (bising)
dapat didefinisikan sebagai Alarm
Bertonal
nada oleh manusia

Tabel 1: Klasifikasi derau atau bising (ibid).

II.6.3 Pembiasaan terhadap Kebisingan


The Art of Noise adalah manifesto yang ditulis oleh seorang pelukis, komponis, pencipta alat musik
eksperimental Luigi Carlo Filippo Russolo. Russolo mencoba memprediksi bunyi-bunyian masa depan, yaitu
bunyi-bising atau noise-sound (1913: 5). Konteks dari manifesto Russolo sesungguhnya adalah mengenai
penciptaan ‘musik baru’12 yang mengambil inspirasi dari bunyi-bising tersebut. Peneliti tertarik pada topik
pembahasan mengenai pembiasaan manusia modern kelak terhadap bunyi-bising yang ada dipaparkan
Russolo dalam manifestonya.
Russolo mendasari manifestonya dari situsi penerimaan karya musik milik Arnold Schoenberg yang
tidak mengutamakan melodi maupun akor yang terdengar indah, penuh disonansi 13, dan ritem yang acak.
Hal tersebut menjadi tolakan Russolo untuk menyatakan bahwa terjadi evolusi dalam hal penerimaan bunyi
yang disebabkan oleh pembiasaan terhadap derau yang dihasilkan artefak buatan manusia, mesin (ibid).
Perkotaan maupun pedesaan yang tadinya cenderung sunyi –hanya ada bunyi alami dan suara manusia–
seketika semarak dengan hadirnya berbagai variasi bunyi mesin. Bunyi yang didefinisikan sebagai sesuatu
yang baru, orisinal, murni, terdengar sama, monoton, namun tidak mengandung emosi.

III. ORGANOLOGI YANG BARU

Dasarnya adalah alat musik berhubungan dengan ilmu pengetahuan pasti (science), walaupun
lucunya ilmu alat musik (organologi) seakan terpisah dari ‘ilmu tentang musik yang dimainkan dengan alat
musik’ atau musikologi. Keduanya dapat disatukan apabila kita melihat penggunaan variabel dan

12 Musik baru atau musik kontemporer, avant-garde, eksperimental.


13 Kombinasi bunyi yang dianggap kurang enak didengar (KBBI).
aplikasinya yang serupa dari kedua bidang ilmu tersebut. Salah satu contoh konkret dari ketidak-terpisahan
adalah penggunaan komputer sebagai alat musik dan sumber imajinasi.

Further, the computer merges two aspects of technical instrumentation that are often seen as
diametrically opposed. On one hand the computer appears as an autonomous, purely rational
calculating machine, processing bits of abstracted information with inhuman rigor, speed, and
accuracy. On the other, as digital media insert themselves into more and more aspects of our work,
leisure, and social lives, computers seem to unite themselves fluidly and corporeally with human
users, becoming emphatically “extensions of ourselves,” as Marshall McLuhan characterized all
media. Even at the level of hardware design, the “form factor” of digital technology makes these
devices appear as supple, sticky interfaces, forming an ergonomic skin connecting us to the world.

Dengan kata lain, pertumbuhan alat-alat teknologi digital yang masif dan saling terkait satu sama
lain, membentuk cara memproduksi musik (Pro Tools, Logic, Cubase, Nuendo, dll) dan mendengar musik
(tablet, smartphone, Spotify, YouTube, dll). Sehingga, merubah cara pandang kita bahwa segala sesuatu
dapat digantikan oleh teknologi digital dari alat musik yang tadinya merupakan objek fisik.

IV. ALAT MUSIK YANG PERTAMA


Sebelum abad ke-19, manusia menggunakan mitos untuk menceritakan proses pembuatan atau
asal muasal alat musik. Apa itu mitos? Kata mitos berasal daripada bahasa Yunani, mythos bermaksud tale,
speech. Kata mythos diperjelas artinya oleh Gove sebagai:

"... A story that is unusual of unknown origin and at least partially traditional that ostensibly relates
historical events usual of such character as to serve 'to explain some practice, belief, institution, or
natural phenomenon', and that is especially associated with religious rites and belief."14

Kamus Dewan (kamus arti bahasa Melayu yang diproduksi pemerintah Malaysia) mendefinisikan
mitos sebagai cerita zaman dahulu yang dianggap benar atau dipercaya, misalnya cerita asal usul, cerita
kewujudan suatu bangsa, kejadian alam atau cerita dongeng mengenai kehebatan tokoh tertentu. 15
Penciptaan alat musik yang pertama dikatakan dalam Alkitab: Kejadian 4:21, yaitu Yabal keturunan
Kain. Lalu tokoh fiksi Peter Pan sebagai pencipta Pan-pipes, dan dewa Romawi yang bernama Mercury
diceritakan menemukan kura-kura yang sudah mati lalu merancang lyre dari tempurungnya.
Mitos lalu digantikan oleh sejarah, dan penciptaan alat musik tidak lagi berkaitan dengan dewa-
dewi dan pahlawan termasyhur di masa lampau. Akan tetapi, satu pertanyaan terus diulang-ulang:
“Sebenarnya alat musik yang pertama kali ada itu apa?” Bagi para “penggosip”, jawaban yang sering
dinyatakan antara lain drum (perkusi), flute (berbahan dasar tulang), atau senar yang dipetik (seperti

14 Samid, Sanusi, Sastera Sejarah: Interpretasi dan Penilaian, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986), 1497.
15 Karim, Safiah, Dewan Bahasa, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), 894.
busur). Namun, para ilmuwan mempunyai jawaban lain: “Alat musik mula-mula tidak ada yang diciptakan”.
Jawaban ini merujuk pada konsep penciptaan artefak sebagai sesuatu yang berangkat dari ‘ide-
direnungkan-eksperimen-ciptaan baru’. Anggapan menciptakan alat musik dengan urutan proses tersebut
tidak dapat diterapkan untuk manusia di masa lampau, karena dirumuskan oleh manusia modern. Yang
sesungguhnya terjadi adalah mereka tidak sadar atas apa yang mereka lakukan, baik itu saat
menghentakkan kaki ke tanah, memukul bagian tubuh tertentu. Mereka tidak sadar bahwa apa yang
dilakukan adalah benih dari alat musik mula-mula.
Pertanyaan berikutnya, “Apa dorongan utama manusia di masa lampau mengembangkan alat
musik?” Makhluk hidup yang memiliki intelegensi cukup tinggi mampu mengekspresikan emosi yang sedang
dirasakan dalam wujud gerakan tertentu. Terlebih manusia, mereka dapat mengkoordinasikan segala
gerakan yang berkaitan dengan kondisi emosi secara mendetail, sehingga memiliki gerakan berturut-turut
(ritem/irama) secara teratur yang dilakukan dengan sadar. Saat manusia (primitif) mencapai kesadaran
untuk melakukan gerakan tertentu karena stimulus yang khas serta memberikan ‘kenyamanan’, maka
manusia tidak akan menahan diri untuk tidak bergerak. Hanya suku Veda di Sri Lanka dan sebagian dari suku
Patagonia di Argentina yang tidak melakukan apa-apa. Satu hal yang pasti, setiap pergerakan tersebut
menghasilkan bunyi dan tentunya bersifat audible dalam musik pra-instrumental.

Gambar 2: Rattle atau ‘sesuatu yang yang ber-gemercik’

Anda mungkin juga menyukai