1. Studi Tekstual
Pendekatan yang memperlakukan studi atau alat musik itu sendiri sebagai bahan kajian, bahkan
mencakup pula alat musik pendahulu, sejenis, dan prediksi di masa depan. Studi tekstual juga
berkaitan dengan akustik, yatu perihal sumber bunyi (idiofon, chordofon, aerofon, membranofon,
dan elektrofon), antara lain: 1. Bahan sumber bunyi; 2. Cara menggetarkan sumber bunyi; 3. Bunyi
yang diproduksi tanpa resonator; 4. Bunyi yang diproduksi dengan resonator; 5. Jenis-jenis
resonator; 6. Jembatan sumber bunyi dengan resonator. Selain itu, berkaitan dengan bagian-
bagian (bentuk dan penampilan) alat musik tertentu: 1. Bagian pokok yang berkaitan dengan
akustik; 2. Bentuk, bahan dan bagian pendukung (missal: warna, pegangan agar mudah dibawa,
dll).
2. Studi Kontekstual
Pendekatan studi organologi yang menghubungan alat musik yang menjadi objek studi dengan
berbagai hal yang berkaitan dengan aspek lingkungan musikal (ansambel, genre, musik dan
musikal), serta aspek sosiokultural (sejarah, budaya, masyarakat, dll), antara lain:
• Studi tentang fungsi alat musik di dalam ansambel (orkestra).
• Studi tentang seberapa jauh peranan dan fungsi alat musik dalam genre lain, terutama
dalam modifikasi fungsi.
• Studi tentang makna dari kehadiran alat musik sebagai simbol di tengah masyarakat
tertentu.
• Studi tentang sebaran alat musik di wilayah tertentu
• Perubahan fungsi alat musik tersebut
II. AKUSTIK
1. a mengenai atau berhubungan dengan organ pendengar, suara, atau ilmu bunyi: saraf --
2. n Kom rancangan dan sifat khusus ruang rekaman, pentas, auditorium, dan sebagainya.
3. n tempat rekaman atau reproduksi suara dilaksanakan
4. n keadaan ruang yang dapat memengaruhi mutu bunyi
‘Dapat menjadi sebuah konsep di dalam Ilmu Akustik; Alat musik tertentu; Keadaan ruang tertentu’
‘Ilmu yang mempelajari tentang gelombang mekanikal pada zat gas, cair, dan padat’
Spektrum bunyi merujuk pada gelombang yang bergetar secara periodik1 pada frekuensi2 tertentu.
Jangkauan frekuensi yang umumnya dapat didengar oleh manusia lebih kurang 20 Hz 3 sampai 20.000 Hz
atau disebut juga sonik (sonic). Frekuensi di atas 20.000 Hz sampai 20 MHz disebut gelombang ultrasonik,
dan frekuensi di bawah 20 Hz disebut gelombang infrasonik (Paul A., 1998: tidak ada halaman).
“I think that we should conceive of sound as like colour, rather than as like light… We should
continue to treat sound as the object of hearing, and we should think of sounds as existing within
the object that ‘makes’ them.”
[“Saya pikir bunyi lebih tepat bila diasosiasikan dengan warna, daripada cahaya … Bunyi juga dapat
dianggap sebagai suatu objek, namun objek tersebut baru benar-benar dapat dilihat apabila
terdapat ‘objek’ lain, yaitu penyematan makna.”]
Pasnau menolak pandangan umum yang menyatakan bahwa bunyi hanya sekedar gelombang yang
merambat pada suatu medium dan dapat didengar oleh makhluk hidup. Bunyi tidak seperti cahaya yang
bisa dihitung secara kasatmata dengan mencari sumber cahanya. 4 Bunyi adalah kesatuan integral dari
benda yang bergetar, antara lain mecakup persepsi bahwa bunyi selalu berasal dari titik lokasi tertentu,
berkorespondensi dengan ‘objek’ yang membuat bunyi terdengar ‘seperti ini’ atau ‘seperti itu’ (ibid, 309).
Gelombang pada bunyi adalah akibat dari perubahan tekanan udara yang disebabkan objek yang bergetar
5 Contoh: “Apakah bunyi “kring…” dihasilkan oleh telepon atau bel sepeda?”
6 Zat padat misalnya meja, zat cair misalnya air di danau, dan zat gas sama dengan udara.
dering telepon yang hilang sesaat diangkat, peristiwa-peristiwa tersebut hanya berlangsung sebentar,
walaupun kadang stabil, akan tetapi tidak abadi atau bersifat temporal.
“Just as we are inclined to say that objects have their colours in the dark, so should we say that
objects make a sound in a vacuum (ibid, 322).”
[“Seperti halnya objek tetap memiliki warna walaupun kita tidap melihatnya dalam kondisi gelap
gulita, bunyi juga berbunyi walaupun dalam kondisi hampa udara.”]
Peneliti melihat bahwa bunyi memiliki ‘watak stabil’. Objek sebagai sumber bunyi harus begetar
relatif stabil agar dapat didengar. Misal, individu A hendak memanggil B dengan cara mengetok tiga kali
secara lembut meja individu B agar tidak mengganggu karyawan lain. Individu B tidak segera menyadari
panggilan tersebut, sehingga individu A harus mengetok berulang-ulang kali. Objek yang terus-menerus
bergetar dengan durasi tertentu akan membuat individu mengidentifikasi kehadiran bunyi tersebut.
7 Akustik juga berkaitan dengan keadaan ruang yang dapat mempengaruhi mutu bunyi (KBBI).
8 Desibel (disingkat dB) adalah satuan untuk mengukut intensitas bunyi. Satu decibel ekuvalen dengan sepersepuluh Bel.
1. Kekerasan Bunyi (loudness)
Keras atau lembutnya bunyi yang didengar individu bersifat subjektif sebagai respons dari
kenyaringan bunyi (amplitudo). Respons yang dimaksud berbentuk pernyataan kualitatif
antara lain “Bunyi itu agak terdengar”, “Setidaknya terdengar sedikit”, “Cukup keras”, “Keras
sekali”.
2. Keramaian Bunyi (noisiness) atau Kebisingan yang Mengganggu (annoyance)
Rasa terganggu sulit dikuantifikasikan karena berhubungan dengan efek emosional.
3. Tinggi Rendahnya Nada (pitch):
Berhubungan dengan sinyal murni yang didefinisikan dengan simbol musikal C, D, E, F, G, A, B
atau sDo, Re, Mi, Fa, Sol, La, Si, Do. Bila bunyi tersebut tidak dapat diwakili dalam simbol, maka
kecenderungannya adalah pembentukan kategorisasi antara lain tinggi, rendah, di tengah-
tengan (middle).
4. Bunyi yang Saling menutupi (masking):
Masking terjadi saat bunyi saling tumpang-tindih satu sama lain, khususnya perihal persepsi
yang kontras antar bunyi tesebut.
Keempat atribut bunyi di atas dapat dientifikasi secara sempurna oleh manusia karena manusia
memiliki kemampuan mendengar secara binaural atau memperkirakan titik lokasi objek yang berbunyi
dalam bentang 360 derajat.
Translasi dari noise cukup ambigu dalam bahasa Indonesia. Menurut penulis terdapat dikotomi,
pertama noise ditranslasikan sebagai ‘bising’. Bising memiliki arti yang cenderung negatif, antara lain bunyi
ramai yang dapat menyebabkan telinga menjadi pekak karena mendengar bunyi yang tidak keruan. Kedua,
noise ditranslasikan sebagai derau. Derau yang dimaksud bukan dalam konteks gangguan yang terjadi
dalam sistem transmisi telekomunikasi (KBBI), melainkain bunyi-bunyian yang tidak benar-benar diabaikan,
didengar sepintas, diperlakukan seperti ‘angin lalu’, dan dianggap tidak memberikan informasi akustik
(subbab II.1.6) yang berarti bagi individu tertentu. Derau dapat bersumber dari alam, manusia, dan artefak
buatan manusia. Derau cenderung lebih tepat jika ditranslasikan sebagai background noise. Bunyi-bunyian
yang didengar namun tidak ‘diperhatikan’, seakan menjadi latar belakang dari bunyi yang sesungguhnya,
yaitu bunyi yang diperhitungkan di dalam ranah bunyi karena menyampaikan informasi (akustik) tertentu.
Sejumlah peneliti termasuk Dr. Wolfgang Babisch 9 mendefinisikan bising sebagai bunyi yang tidak
diinginkan untuk didengar. Babisch menyatakan bahwa bising tidak hanya mengganggu pendengaran,
tetapi juga menjadi beban untuk hati dan pikiran individu yang mendengarnya. Beban tersebut dapat
membawa gangguan hingga penyakit, antara lain hipertensi, gangguan tidur, penyakit kardiovaskular,
gangguan kognisi, misalnya rasa kesal yang berkepanjangan. Gangguan dan penyakit tersebut disebabkan
oleh bising yang berlebih (Babisch dalam ©Steelcase Inc., 2019: 1).
Senada dengan Babisch, Stallen dalam penelitiannya mengenai dampak kebisingan bandar udara,
menyimpulan bahwa derau tidak sama dengan bunyi. Derau bukan juga bunyi yang sangat nyaring dan lebih
menonjol dari bunyi yang lain, sehingga mengganggu aktivitas tertentu yang membutuhkan konsentrasi
lebih dari biasanya. Menurut Stallen, bunyi identik dengan ‘sesuatu yang indah’, menarik, dapat dinikmati,
diharapkan kehadirannya, dan mengandung informasi (akustik). Sebaliknya, derau –atau bising, dianggap
sama oleh Stallen– bersifat mengganggu, tidak menyenangkan, buruk bagi kesehatan, dan tidak ingin
didengar sama sekali oleh individu tertentu.
Bunyi tidak selamanya dianggap bunyi. Dengan kata lain, bunyi dapat berubah menjadi derau,
apabila bunyi tersebut tidak lagi ingin didengar oleh individu tertentu. Sehingga, baik bunyi, derau, maupun
bising ketiganya bersifat subjektif, tergantung dengan pemaknaan terhadap bunyi yang didengar masing-
masing individu (Stallen, 1999: tidak ada halaman).
9 Peneliti utama dalam bidang keilmuan environmental noise serta peneliti senior di German Federal Environmental Agency
(GFEA).
10 Desibel atau disingkat dB adalah satuan untuk menyatakan intensitas bunyi (KBBI).
11 Hertz atau disingkat Hz adalah satuan gelombang atau pulsa tiap detik (KBBI).
kehidupan sehari-hari individu tidak dapat dengan mudah memilih lalu memilah bunyi-bunyian yang ada.
Oleh sebab itu, jika individu lebih memilih derau sebagai bagian dari pengalaman dengar baru, maka tidak
berarti ia memiliki kemampuan dengar yang rendah.
Tipe Derau
Bentuk Gelombang dan Periode Karakteristik Contoh Objek
(Bising)
Berlangsung
Konstan namun Mesin
secara
intensitasnya tidak stabil industri, AC
Berselang
Hantaman
Impuls yang berlangsung
Impulsif Tunggal palu,
sesekali
tembakan
Impulsif Impuls yang berlangsung
Printer
Berulang berkali-kali
Dasarnya adalah alat musik berhubungan dengan ilmu pengetahuan pasti (science), walaupun
lucunya ilmu alat musik (organologi) seakan terpisah dari ‘ilmu tentang musik yang dimainkan dengan alat
musik’ atau musikologi. Keduanya dapat disatukan apabila kita melihat penggunaan variabel dan
Further, the computer merges two aspects of technical instrumentation that are often seen as
diametrically opposed. On one hand the computer appears as an autonomous, purely rational
calculating machine, processing bits of abstracted information with inhuman rigor, speed, and
accuracy. On the other, as digital media insert themselves into more and more aspects of our work,
leisure, and social lives, computers seem to unite themselves fluidly and corporeally with human
users, becoming emphatically “extensions of ourselves,” as Marshall McLuhan characterized all
media. Even at the level of hardware design, the “form factor” of digital technology makes these
devices appear as supple, sticky interfaces, forming an ergonomic skin connecting us to the world.
Dengan kata lain, pertumbuhan alat-alat teknologi digital yang masif dan saling terkait satu sama
lain, membentuk cara memproduksi musik (Pro Tools, Logic, Cubase, Nuendo, dll) dan mendengar musik
(tablet, smartphone, Spotify, YouTube, dll). Sehingga, merubah cara pandang kita bahwa segala sesuatu
dapat digantikan oleh teknologi digital dari alat musik yang tadinya merupakan objek fisik.
"... A story that is unusual of unknown origin and at least partially traditional that ostensibly relates
historical events usual of such character as to serve 'to explain some practice, belief, institution, or
natural phenomenon', and that is especially associated with religious rites and belief."14
Kamus Dewan (kamus arti bahasa Melayu yang diproduksi pemerintah Malaysia) mendefinisikan
mitos sebagai cerita zaman dahulu yang dianggap benar atau dipercaya, misalnya cerita asal usul, cerita
kewujudan suatu bangsa, kejadian alam atau cerita dongeng mengenai kehebatan tokoh tertentu. 15
Penciptaan alat musik yang pertama dikatakan dalam Alkitab: Kejadian 4:21, yaitu Yabal keturunan
Kain. Lalu tokoh fiksi Peter Pan sebagai pencipta Pan-pipes, dan dewa Romawi yang bernama Mercury
diceritakan menemukan kura-kura yang sudah mati lalu merancang lyre dari tempurungnya.
Mitos lalu digantikan oleh sejarah, dan penciptaan alat musik tidak lagi berkaitan dengan dewa-
dewi dan pahlawan termasyhur di masa lampau. Akan tetapi, satu pertanyaan terus diulang-ulang:
“Sebenarnya alat musik yang pertama kali ada itu apa?” Bagi para “penggosip”, jawaban yang sering
dinyatakan antara lain drum (perkusi), flute (berbahan dasar tulang), atau senar yang dipetik (seperti
14 Samid, Sanusi, Sastera Sejarah: Interpretasi dan Penilaian, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986), 1497.
15 Karim, Safiah, Dewan Bahasa, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), 894.
busur). Namun, para ilmuwan mempunyai jawaban lain: “Alat musik mula-mula tidak ada yang diciptakan”.
Jawaban ini merujuk pada konsep penciptaan artefak sebagai sesuatu yang berangkat dari ‘ide-
direnungkan-eksperimen-ciptaan baru’. Anggapan menciptakan alat musik dengan urutan proses tersebut
tidak dapat diterapkan untuk manusia di masa lampau, karena dirumuskan oleh manusia modern. Yang
sesungguhnya terjadi adalah mereka tidak sadar atas apa yang mereka lakukan, baik itu saat
menghentakkan kaki ke tanah, memukul bagian tubuh tertentu. Mereka tidak sadar bahwa apa yang
dilakukan adalah benih dari alat musik mula-mula.
Pertanyaan berikutnya, “Apa dorongan utama manusia di masa lampau mengembangkan alat
musik?” Makhluk hidup yang memiliki intelegensi cukup tinggi mampu mengekspresikan emosi yang sedang
dirasakan dalam wujud gerakan tertentu. Terlebih manusia, mereka dapat mengkoordinasikan segala
gerakan yang berkaitan dengan kondisi emosi secara mendetail, sehingga memiliki gerakan berturut-turut
(ritem/irama) secara teratur yang dilakukan dengan sadar. Saat manusia (primitif) mencapai kesadaran
untuk melakukan gerakan tertentu karena stimulus yang khas serta memberikan ‘kenyamanan’, maka
manusia tidak akan menahan diri untuk tidak bergerak. Hanya suku Veda di Sri Lanka dan sebagian dari suku
Patagonia di Argentina yang tidak melakukan apa-apa. Satu hal yang pasti, setiap pergerakan tersebut
menghasilkan bunyi dan tentunya bersifat audible dalam musik pra-instrumental.