Anda di halaman 1dari 673

i

DAFTAR ISI

Pengantar GM ............................................. 1
Ditya Nguntal Arto Negoro ........................... 12
Rapor Beni Prakoso ..................................... 24
Si Gendut Sakit Gondongan .......................... 35
Mbandung, Mercedez dan Nasionalis Kiri ........ 44
Mas Prasodjo Legowo .................................. 55
Sang Pemimpin .......................................... 67
Ngarsadalem Sudah Seda, Hidup Ngarsadalem!
................................................................ 77
Koran Itu Dulu Seperti Air Bengawan Solo ...... 87
Mr. Rigen Menjangkau Langit ........................ 97
Halo-Halo & Prof. Surapon.......................... 106
Pasca Lebaran .......................................... 118
Di Republik Yang Egaliter Ini....................... 127
Senyum, Kekasihku Senyum ....................... 135
Mikul Dhuwur, Mendhem Jero ..................... 142
Tentang Gaya Hidup Jakarta, nJukja dan Ngawi
.............................................................. 152
Subur Kang Sarwo Tinandur ....................... 161
Air Dan Hidup Ngrekasa ............................. 170
Sukses Nggendhong Lali ............................ 176
Service .................................................... 184
Rapat Meja Bundar Menjelang Lebaran ........ 189
ii
Mr. Rigen Can Do No Wrong ....................... 197
Kami Bangsa Tempe .................................. 204
Senam Pagi Mrs. Nansiyem ........................ 211
Eman-Eman Wanita................................... 221
Pariwisata Dimana-Mana ............................ 231
Madam .................................................... 241
Tentang Main Sabun.................................. 251
Pada Suatu Senin Pagi Sesudah Lebaran ...... 258
Kami Bangsa Tempe .................................. 267
Jebule … ................................................. 274
Saudara Flu ............................................. 287
Haagen Dasz vs Es Tung-Tung .................... 298
Roti Dan Permainan .................................. 308
Nostalgia ................................................. 316
Gudeg, Kultur dan Kita .............................. 325
Menjelang Tahun Baru ............................... 338
Pariwisata Dimana-Mana ............................ 349
Mas Joyoboyo Dikejar Target ...................... 359
Kencana Wingka ....................................... 367
Never On Sunday...................................... 373
Melik Nggendhong Lali............................... 380
Sekaten Telah Lampau............................... 390
Musim Bal – Balan .................................... 399
Sore-Sore Tentang Gusti Allah..................... 408
Mudik Lebaran dan Rigenomics ................... 415
Sawang Sinawang Waktu Lebaran ............... 423
Sawang Sinawang Waktu Lebaran ............... 431
Air Dan Hidup Ngrekasa ............................. 439

iii
Raden Soemantio ..................................... 445
Pasca Lebaran .......................................... 455
Beni Prakosa Masuk Sekolah....................... 463
Semeleh .................................................. 473
Pak Ngalmus Alias Mister Almost ................. 479
Uber Alles ................................................ 489
Wahyu Cakraningrat .................................. 499
Taksi AC Jakarta ....................................... 508
Ketoprak dan Desa .................................... 514
Melaksanakan Nglobi Untuk Pak Ngalmus ..... 522
Mr. Rigen Menjangkau Langit ...................... 534
Mister Blue Moon ...................................... 543
Di Radio, Aku Dengar …............................. 551
Merdeka, Mr. Rigen ................................... 563
Membina Budaya Wong Cilik ....................... 574
Hidup Bagaikan ….. ................................... 583
Malam Suro Mr. Rigen................................ 591
Ngalap Berkah Di Malam Suro..................... 601
Pedagogisch Kontekstual ............................ 611
Suro Sakmadyaning Wono.......................... 622
Martabak, Bukan Martabat ......................... 635
Badai Pun Sudah Berlalu ............................ 645
Status ..................................................... 654
Dollar Rush .............................................. 663

iv
Pengantar GM

Sebuah tulisan pendek, ditulis tiap


minggu untuk sebuah koran lokal, dengan
gaya yang akrab kepada pembaca dan
dengan cara seperti seenaknya, untuk
menyatakan soal-soal sehari-hari yang
tampaknya remeh-temeh – apa yang
sebenarnya hendak dikatakan oleh Umar
Kayam, sastrawan terkemuka, guru besar
yang biasa menganalisis perbagai soal,
dalam kolom-kolomnya yang sangat
digemari di harian Kedaulatan Rakyat
Yogyakarta ini?

Satu hal jelas : Umar Kayam tidak


berpura-pura “populer”. Ia tidak
mengambil pose seorang pintar yang
merendah-rendahkan secara palsu seperti
juru penerang yang punya siasat agar
bisa dijabgkau orang banyak. Setiap
tulisan dalam Mangan Ora Mangan
1
Kumpul ini adalah cerminan suatu
pendekatan ramah yang otentik, tanpa
siasat ini dan itu. Umar Kayam tidak
mengambil jarak (lebih tinggi atau lebih
rendah) dari pembacanya. Ia
menganggap mereka suatu bagian yang
intim, “orang dalam” dalam lingkungan
dialognya. Ia, sebab itu, tak pernah
menjelas-jelaskan. Ia tak pernah
mengasumsikan bahwa Anda akan
mengerti apa yang dikatakannya.
Baginya, begitu Anda ambil selembar
Kedaulatan Rakyat dan Anda baca
kolomnya, otomatis Anda sudah satu
“gelombang radio” yang sama dengan
dia.

Maka tulisannya mencerminkan suatu


keleluasaan, suatu kebebasan gaya yang
jarang ditemukan di antara para penulis
kolom di koran-koran harian. Sang penulis
bahkan terasa menikmati proses
penulisannya. Guraunya, loncatan-

2
loncatan pikirannya, kombinasi kocak
metaphor dan pilihan katanya, juga nada
komentarnya yang seperti bergumam,
semua begitu meluncur seenaknya.
Semuanya menunjukkan bagaimana
eratnya hubungan yang diciptakannya
antara dia dan pembaca yang
dibayangkannya akan mengikuti
tulisannya.

Dengan cara lain bisa dikatakan : bila


setiap pengarang kolom sedikit banyak
membayangkan pembacanya sendiri
waktu menulis, maka tampaknya Umar
Kayam membayangkan para pembacanya
di Kedaulatan Rakyat sebagai karibnya
yang sering bertandang. Dalam hal ini,
Mangan Ora Mangan Kumpul adalah
contoh terbaik dari, untuk meminjam
peristilahan yang hampir menjadi klise
kini, penulisan “konstekstual”.

Siapa yang berada di luar konteks ini


memang agak sukar masuk ke dalam
3
dunia Pak Ageng, Mister Rigen, Nansiyem
dan Beni, para tokoh utama sketsa-sketsa
ini. Tapi siapa yang berada dalam konteks
itu – seperti banyak pembaca Kedaulatan
Rakyat yang dengan setia mengikuti
kisah-kisah anekdotis Umar kayam ini –
akan menemukan banyak hal. Humor,
komentar sosial yang cocok atau, dalam
omongan orang Yogya, mathuk.
Kemahiran yang spontan untuk
menempatkan satu kata atau kalimat
dengan asosiasi kata atau kalimat yang
mendadak lain (plesedan). Juga :
pernyataan-pernyataan yang arif tentang
suatu situasi.

Tapi apa konteks tulisan Umar Kayam


ini sebenarnya? Yang mengagumkan saya
ialah bahwa tidak ada sedikit pun tedensi
untuk berlagak dalam sikapnya menulis,
sementara yang tersirat dari dalamnya
adalah sesuatu yang sangat penting :
seraya mengambil resiko untuk

4
“mengkhianati” sifat tanpa pretensi
tulisan-tulisan ini, saya ingin mengatakan,
bahwa Mangan Ora Mangan Kumpul
akhirnya adalah rekaman, juga komentar,
tentang masyarakat Jawa yang sedang
dalam peralihan.

Melihat “metode” Umar Kayam, saya


terkadang teringat Obrolan Pak Besut di
RRI Yogyakarta dulu, yang sewaktu saya
kecil saya lihat diikuti oleh banyak orang
kampung dari radio tetangga yang
dipancarkan keras-keras : pada Pak Besut
ada beberapa tokoh (man Jamino,
mBakyu Santinet) yang bertukar pikiran
untuk mengomentari suatu persoalan
sosial atau politik. Pada tulisan Umar
Kayam ini kita juga bersua dengan
sejumlah tokoh tetap.

Tapi yang membedakan Umar Kayam


dengan Pak Besut ialah wawasannya,
ketajaman persepsinya, kekayaan
referensinya, yang memang hanya
5
mungkin terdapat pada diri seorang yang
punya latar belakang hidup seperti Umar
Kayam : sastrawan, kritikus seni,
pembahas masalah budaya, yang tak
asing dengan banyak unsur kehidupan
kini, dari soal makanan sampai dengan
soal sosiologi, dari Waljinah sampai
dengan Woody Allen. Ia bisa dengan enak
menyebut bullion di antara soal gudeg
dan prosesnya, ia bisa meloncat dari kata
yen (mata uang Jepang) ke dalam suatu
lagu sentimental Jawa yang enak itu,
yang nadanya melamun sedih tentang
impian yang tak sampai, bukan tentang
uang tapi tentang kekasih : yen ing
tawang ana lintang ….

Tapi persepsi yang tajam dan kaya


Umar Kayam tampak benar dalam potret
alter ego-nya, tokoh Ageng, priyayi yang
terpelajar dan “modern” (lihat
pergaulannya dengan anak-anaknya), tapi
kikuk menghadapi sekitarnya yang sibuk

6
dalam proses “the making of economic
society”. Inilah zaman ketika uang kian
menjadi penting, juga bagi dirinya sendiri
yang masih suka menikmati gaya hidup
yang santai dan “hedonistis” kecil-kecilan,
sementara memegang uang –
sebagaimana layaknya priyayi – bukanlah
kemahirannya. Anda akan melihat
bagaimana ia memecahkan, sering secara
ad hoc, dilema antara hidup pas-pasan
dan hidup dengan nyaman. Anda akan
melihat, sementara itu , khasanah
informasinya, pergaulannya dan
renungan-renungannya.

Bila sketsa-sketsa ini akan dilihat


sebagai suatu komentar sosial, Anda akan
bisa juga melihatnya pada hubungan
“dialektik” antara Pak Ageng dan Mister
Rigen. Posisi Mister Rigen adalah orang
nomor satu dalam kitchen cabinet Pak
Ageng, yang ikut menyumbangkan pikiran
untuk keputusan-keputusan penting, tapi

7
tentu saja tak selamanya dipakai – yang
menyebabkan kata kitchen cabinet ini
sekaligus sebuah parodi dan juga
plesedan, karena Mister Rigen pada
dasarnya adalah apa yang kini disebut
sebagai “pembantu”, dan dulu disebut
orang Jawa sebagai “batur” yang tentu
saja tinggal dan bekerja dekat dapur.

Bahwa Mister Rigen terkadang


menasihati, memprotes, menegur Pak
Ageng – sementara ia masih sekali dua
kali menyebut boss-nya itu “ndara” –
menunjukkan bagaimana sedang “kacau”-
nya hubungan antara sang priyayi dan
baturnya ini, tetapi juga “kekacauan”
yang cukup wajar, karena kita juga
menyaksikannya dalam hubungan antara
Arjuna dan para punakawannya (atau,
kalau mau lebih jauh lagi : antara Lear
dan tokoh the Fool dalam lakon
Shakespeare itu).

Saya tak tahu mengapa Umar Kayam


8
memilih nama “Mister Rigen” untuk tokoh
ini (dan istrinya, “Nansiyem”), tapi
mungkin ini bagian dari main-mainnya
untuk mengjungkir balikkan dunia kita
yang mengenal Reagan sebagai presiden
Amerika dan Nancy, the first lady”.
Mungkin juga main-mainnya untuk
menimbulkan asosiasi antara hubungan
kekuasaan di rumah tangga Pak Ageng
dan hubungan kekuasaan dalam dunia
politik – yang biasanya juga punya
kitchen cabinet, dan biasanya juga
berpusat pada seorang pemimpin yang
sesungguhnya hanya manusia biasa, yang
kikuk, sering bingung, sering bossy, dan
akhirnya memang tak terlampau hebat.

Tapi bagi saya, lebih penting dari


sifatnya sebagai komentar sosial (ini
sebenarnya cuma salah satu dari segi
Mangan Ora Mangan Kumpul), tulisan-
tulisan Kayam enak dinikmati karena ia,
secara spontan dan konsisten,

9
memberikan kearifan memandang hidup.

Mungkin ada yang akan mengatakan


bahwa kearifan ini adalah kearifan khas
Jawa, karena tulisan-tulisan ini penuh
dengan “warna daerah”, tapi saya kira
tidak seluruhnya harus demikian. S.
Takdir Alisjahbana pernah mengatakan
bahwa satu kata kunci untuk memahami
kebudayaan Jawa adalah kata alus.
Seorang teman saya yang sudah
meninggal, Sudjoko Prasodjo, pernah
mengatakan bahwa Takdir salah :
kuncinya terletak dalam kalimat “ngono
yo ngono, nanging aja ngono” – yang bila
diterjemahkan bebas kira-kira berarti,
“bersikap begitu boleh-boleh saja, tetapi
jangan begitu, dong” – suatu himbauan
agar kita jangan berlebihan, tapi
bagaimana batas “berlebihan” itu
dibiarkan kabur. Saya kira baik Takdir
maupun Sudjoko Prasodjo benar, dan
tulisan Umar Kayam ini pada dasarnya

10
mencerminkan kedua-duanya. Namun
intinya tak spesial Jawa, bahkan universal
: intinya adalah moderation – suatu hal
yang bisa kita dapatkan pada hadist Rasul
ataupun filsuf Yunani, pada pemikiran
Camus ataupun pada nasihat
Wedhatama, agar kita tidak terlampau
jauh melangkah, agar kita tidak kadohan
panjangkah.

Sebab hidup, seperti yang tersirat


dalan tulisan-tulisan Umar Kayam ini,
tidak bisa dilihat secara ekstrem : banyak
problem, tapi kita masih bisa selalu betah
karena hidup tak pernah jadi proses yang
soliter. Banyak kesulitan, tetapi tak
pernah terasa nada getir dan pahit dari
mulut Pak Ageng karena masih banyak
orang yang menyenangkan di sekitar kita.
Mangan Ora Mangan Kumpul adalah judul
yang sangat bagus untuk kumpulan ini.
Goenawan Muhammad

11
Ditya Nguntal Arto Negoro

SELAIN dari ujian berbahasa Indonesia


yang baik dan benar, saya harus
menjalani ujian atau lebih tepatnya
interogasi lain dari Mr. Rigen and family.
Waktu saya merebahkan badan di tikar
untuk, sebagaimana biasa, di-behandel
oleh tangan ajaib direktur kitchen
cabinet, begitu saja dan dia mulai
bertanya,

“Kémpol-kémpol Bapak ini kok


kerasnya bukan main. Berapa lama
malam itu menari?”

“Sebenarnya tidak berapa lama. Paling


cuma sepuluh menit, Gen.”

“Bapak didhapuk jadi apa?”

“Jadi salah satu dari raksêså sèwu


nêgoro. Memangnya kenapa?”
12
“Ha, inggih niku, Pak. Coba namanya
itu siapa?”

“Ditya Nguntal Arto Nêgoro.


Memangnya kenapa?”

“Ha, inggih niku, Pak.”

Kalimat itu tidak diteruskan, tetapi


terasa sentuhan tangannya yang nyêt-
nyêt itu makin diperkeras. Juga kemudian
saya tahu si bêdhès cilik, Beni Prakosa,
ikut-ikutan memukul-mukul pantat saya.

“Atho … atho …! Kenapa sih, kalian?


Sakit lho!”

“Ha, inggih niku, Pak. Ha wong … “

“Ha inggih niku, ha inggih niku! Kamu


itu ngomong apa?”

“Ha, inggih niku, Pak. Wong milih rol


kok dadi buto. Terus namanya kok ya
Ditya Nguntal Arto Nêgoro. Pantês aja,
13
Pak.”

“Pantês bagaimana?”

“Buto itu kan èlèk to, Pak? Sudah èlèk


tukang nguntali arto nêgoro.”

“Lantas?”

“Lha, karuan saja Bapak jadi kêsiku


danyang buto. Mereka marah Bapak
sembarangan main rol itu.”

“Lho, sembarangan bagaimana to,


Gen. Sebelum gladi resik kami semua
slamêtan itu, Gen. Makan nasi tumpeng,
gudangan dan ingkung pitik, lho!”

“Ha, inggih. Tapi Bapak kan tidak


khusus minta ijin kepada danyangé buto.
Dan nama itu juga nama berat, Nguntal
Arto Nêgoro. Belum pernah ada dalam
dunia pewayangan ada nama begitu,
Pak.”

14
“Wah, lha bagaimana saya tahu ada
danyang buto segala. Tahu saya main
wayang ya main begitu saja, Gen. Terus
bagaimana?”

“Lha, ya ini kémpol-kémpol Bapak jadi


keras semua!”

“Ooo … dhapurmu, Geenn, Gen.


Danyang buto mana ada urusannya sama
kémpol-kémpol?!”

“Elhoo, Bapak ini bagaimana?!


Danyang buto itu jelas marah terus
ngirim tenaga dalamnya ke kémpol-
kémpol Bapak. Ayo, Lé, bantu Bapak.
Kamu pukul bokong Pak Ageng keras-
keras. Bapak biar terus pegang kémpol-
kémpol ini.”

Dan penyiksaan itu dimulai lagi. Ciloko!


Punya punakawan kelewat kreatif
beginilah resikonya, kadang-kadang harus
menderita secara fisik.
15
Waktu akhirnya mereka melepaskan
cengkeraman dan membiarkan saya
duduk kembali, badan ini terasa serba
berbunyi rêngkiyêt-rêngkiyêt, bagai mesin
yang sudah lama tidak kena oli. Mr. Rigen
datang membawa kopi jahe panas.

“Naah … sekarang sudah enteng to,


Pak? Tenaga dalam danyangé sudah saya
usir.”

Beni Prakosa pringas-pringis mendekati


tempat saya duduk.

“Pak Ageng, persennya mana, Pak


Ageng?”

“Persen gundhulmu, Lé. Wong kamu


ikut menyiksa kok masih berani minta
persen. Persen thothok gundhulmu sini.”

“Ampuunn, Pak Ageng. Sakit!”

Dan ia pun lari ke belakang mencari


ibunya.
16
Sambil mênyêruput kopi jahe panas,
saya ingat pentas wayang malam itu.
Pengalaman yang indah dan dahsyat.
Bersama penari-penari jago kapuk yang
rata-rata pernah menari empat puluh
hingga lima puluh tahun yang lalu. Kami
dibaurkan dengan para penari wayang
wong Bharata yang profesional dan
sangat berbakat.

Dengan semangat dan dedikasi yang


mengharukan mereka menari
menjabarkan peranan yang dibebankan
kepada mereka. Ada yang tamatan SMA,
tetapi kebanyakan adalah drop-out
berbagai tingkat sekolah. Dengan sabar
dan penuh toleransi mereka mengikuti
gerakan tari kami, jago kapuk yang hanya
karena tidak pernah diberi kesempatan
oleh sang waktu untuk mencapai taraf
Rusman dari Sriwedari itu, yang pada
malam itu pating gêdhobrak bergerak-
gerak bagaikan satu peleton panser.

17
Kies Slamet, salah seorang penari
gagahan profesional terbaik sekarang ini,
dengan serius berhadapan dengan kami
gerombolan buto, raksasa, yang hanya
mau lebih serius untuk bidang-bidang
yang lain (yang lebih menguntungkan).
Sebagai Rama Bargawa yang mengerikan
itu, Kies Slamet membabat kami dengan
seriusnya. Dengan tidak kalah seriusnya
(setidaknya begitulah itikadnya)
gerombolan itu mênggêlundung satu
demi satu.

Pada zaman voor de oorlog, zaman


sebelum Perang Dunia II, honor untuk
buto-buto yang sekali tampil langsung
mati dibabat begitu adalah sêbénggol
atau dua setengah sen. Jumlah yang bisa
untuk beli dua mangkuk soto daging
thethelan dan segelas teh panas. Pada
malam itu “buto-buto sêbénggolan” itu
tidak terima apa-apa. Buto-buto itu sudah
cukup bangga bukan main karena sudah

18
diperbolehkan ikut main dan masih
ditambah masuk liputan media massa.

Tetapi, bagi mereka, penari profesional


dari wayang orang Bharata itu, dengan
atau tanpa bantuan dari penari tiban
seperti kami ini, the show must go on.
Meskipun honor mereka sudah berlipat
entah berapa ribu kali sejak zaman
sebenggolan dulu, nasib mereka mungkin
masih saja tetap “sêbénggolan”. Honor
yang mereka terima masih sejauh
rentangan makan untuk hari ini. Belum
bisa direntang lebih jauh lagi. Apalagi
untuk disisihkan sebagai tabungan. Tentu
ini tidak berlaku bagi para super star
seperti Rusman, Darsi, Surono dari
Sriwedari atau Kies Slamet dan Aries
Mukadi dari Bharata. Mereka adalah
maha bintang yang sudah terlanjur mukti.

Toh, wayang orang Bharata boleh


dibilang untung juga (kapan sih orang
Jawa pernah tidak untung?). Pemerintah
19
DKI Jaya terus memberi subsidi yang
boleh dibilang cukup dan memodali
yayasan mereka untuk kesejahteraan
mereka. Sekarang wayang orang Bharata
boleh dibilang wayang orang paling
profesional di negeri ini. Gedungnya di
bilangan Senen itu selalu mendapat
kunjungan yang lumayan. Mutu
koreografinya bagus dan rapi. Begitu pula
dengan kostumnya. Semua menunjukkan
hadirnya tangan-tangan pembina yang
memang mau melihat wayang orang
maju. Tentu itu semua karean dulu ada
seorang Djajakusuma, yang sayang sekali
telah meninggal setahun yang lalu. Dan
untuk memperingati tokoh pembina
itulah, pada malam itu para jago kapuk
itu rela jadi penari tiban dengan harapan
siapa tahu Pak Djaja di atas sana
berkenan untuk tertawa cêkikikan.

Tetapi, sampai kapan wayang orang


dapat bertahan? Berapa banyak wayang

20
orang yang masih tinggal? Mungkin tidak
lebih dari empat atau lima kelompok
wayang orang profesional yang masih
berdiri. Untuk memakai istilah Mr. Rigen
mungkin danyang-danyang wayang orang
itu sudah banyak yang pindah men-
danyangi pertunjukan lain yang lebih
punya gebyar dan, tentu saja, lebih
menguntungkan. Kalau betul kepercayaan
Mr. Rigen itu, maka danyang-danyang
buto yang mengirim tenaga dalam masuk
ke dalam kémpol-kémpol saya itu adalah
danyang yang satu ketika mesti dihadiahi
satya lencana kebudayaan.

Tiba-tiba Beni Prakosa masuk sirik-


sirik, lari-lari kecil, sambil mulutnya
mengucap „ning-nung, ning-nung”.
Kepalanya memakai mahkota dari daun-
daun nangka, mulutnya ditambah dengan
siung, di perutnya melilit selendang
ibunya. Dia menggerak-gerakkan kakinya
kemudian berhenti di depan saya.

21
“He, hee, heee … Pak Ageng buto!
Beni minta arto! Saiki, yooo. Kalau tidak
awas Pak Ageeeng …!”

Ning-nung, ning-nung … buto


pengemis itu keliling kemudian jatuh
bersimpuh di depan saya. Tangannya
menengadah, ngatong,

“Oalahh, buto kéré. Jangan mau


didhapuk jadi raksasa yang nggak punya
duit. Kalo sudah didhapuk jadi buto ya
harus berani kaya. Nguntal arto nêgoro.
Hua, hua, ha,ha, haa … begitu. Ayo
diulang sana!”

Ning-nung, ning-nung, ning-nung. Beni


Prakosa keliling lagi. Waktu berhenti, dia
berdiri di depan saya.

“He, hee, heee … Pak Ageng buto.


Mana duitnya. Saya mau beli es tung-
tung, Pak Ageng. Ya, Pak Ageng, yaa … “

22
Saya tersenyum memberi uang seratus
perak kepada wayang cilik itu. Saya
ngunandikå,

„Memang ada buto yang berbakat


nguntal arto nêgoro tapi ada juga buto
yang berbakat kecil-kecilan alias drêmis,
cukup mengemis uang kecil buat beli es
tung-tung. Wong namanya juga wayang,
kok … „

Yogyakarta, 16 Nopember 1988

23
Rapor Beni Prakoso

Beni Prakosa datang pada satu siang


memamerkan buku rapornya. Agak
terkejut juga saya melihat rapor itu. Lha,
wong rata-rata cuma „cukup”, bahkan
untuk olahraga dan jasmani dia mendapat
„kurang”. Saya ngunandikå, apakah
tuntutan sekolah TK Indonesia Hebat itu
begitu dahsyatnya, sehingga Beni Prakosa
yang saya kira jenius itu cuma „cukup”
saja mutunya? Wah, mungkin juga.
Bukankah taman kanak-kanak yang hebat
itu menurut pencetus idenya dulu akan
mencetak calon-calon jenius Indonesia
yang nantinya akan membereskan segala
persoalan negeri kita forever and ever
and ever and ever, ever, ewer, ewer and
ewer …?

“Coba, Lé, sini. Bapak ibumu juga


suruh ke sini!”
24
“Bapaak, ibuuuk, adiik, dipanggil Pak
Ageng semua!” teriak bêdhès cilik itu.

Mr. Rigen, mak grobyak, meninggalkan


pekerjaan di dapur, buru-buru menyeret
istrinya yang kelihatannya sedang di
tengah proses neteki anaknya. Mereka
semua langsung duduk menghadap saya
yang seperti biasa ngêdhékrang di
singgasana goyang. Jejeran itu mungkin
hanya dapat disamakan dengan jejeran
pertapaan kecil-kecilan di wayang orang
komersial.

“Coba, Ben. Menurut kamu rapormu ini


bagus atau tidak?”

“Bagus!Gud, gud, Pak Ageng.”Tangan


bêdhès cilik itu mengacungkan
jempolnya.

“Bagus.Lha, kalo menurut kamu, Gen,


Yem?”

Kedua orang itu saling berpandangan


25
sementara anak bayi mereka kroncalan,
agaknya minta agar jatah teteknya
jangan dihentikan dulu.

“Gud, Pak.”

“G-g-gud, Pak.”

“Woo … bapak sama ibu kok pada jadi


beo anaknya. Gud, gud, gud. Tênan, på?”

Sekali lagi mereka saling


berpandangan. Kali ini mereka tersenyum
malu-malu.

“Lha, maunya Bapak bagaimana? Kami


ini kan hanya sakdrêmi ikut panjênêngan
saja to, Pak.”

“Lho, kok menurut saya. Saya itu


kepingin tahu pendapat kalian tentang
rapor anakmu itu. Apik opo ora? Kok
menurut maunya Bapak bagaimana. Itu
feodal namanya. Camkan itu, Mister, fe-o-
dal!”
26
Tiba-tiba Mr. Rigen ketawa nyêkikik.

“Hi … hi … hiikk. Peo-dal. Saya kok


terus ingat zaman kecil saya dulu lho,
Pak.”

“Ada apa dengan zaman kecilmu,


Mister?”

“Dulu waktu masih sekolah SD ada kue


merah jambon, namanya péa-péo.Péa-
péo, péa-péo. Begitu mereka dulu
menjajakan kue itu.”

“Ooo, rupamu! Yang diingat makanan


saja. Feodal itu kalau semua bawahan
tahunya cuma manut miturut kepada
atasanya.”

“Lha, ya baik to, Pak. Bawahan ya


harus tunduk dan nurut sama atasan to,
Pak. Lha, kalau tidak rak ya kacau, Pak!”

“Manut miturut kalau atasan benar.


Sering kali atasannya nggak benar itu!”
27
“Lha, mbok mbotên bênêr, wong
namanya atasan itu terus jadi bênêr, Pak.
Ya harus dituruti.Kalau tidak kan dapat
dipecat bawahan itu, Pak.”

“Wah, saya keberatan kalau kamu


mbéo saya, Mister. Kalau saya salah, saya
mau kamu ingatkan. Jangan dibiarkan
dan kamu terus manut saja.Itu men-
jlomprong-kan, namanya. Sudah,
sekarang saya mau tahu pendapatmu.
Menurut kamu rapor anakmu itu bagus
atau tidak?”

“Bagus, Pak.”

“Lha, kalau menurut kamu, Yem?”

“Nggih bagus, Pak.”

Sekarang saya yang bengong. Bagus?


Rapor seperti itu bagus?

“Coba terangkan, Gen. Bagusnya itu


bagaimana?”
28
“Lho, cukup itu rak tidak jelek to, Pak.
Kalau dijadikan angka, rapor tholé itu
rata-rata enam to, Pak. Lha, enam itu
kalau miturut guru saya di Pracimantoro
dulu sudah bagus, Pak. Tidak ditulis
dengan tinta merah.”

“Lha, kalau menurut kamu, Yem?”

“Ha, inggih bagus, Pak. Wong ing


atasé tholé itu anaknya wong cilik.
Sekolah di kota. Sekolahnya orang-orang
gedongan. Kata „cukup” itu rak nggih
bagus to, Pak.”

Waduh! Ciloko tênan! Kok begitu, lho,


cara mereka berpikir. Padahal taman
kanak-kanak itu bukan sembarang taman
kanak-kanak. Namanya saja sudah TK
Indonesia Hebat. Itu akan menyiapkan
anak-anak yang hebat dalam hidup yang
penuh dengan persaingan. Hidup dalam
dunia modern yang hebat.

29
Di SD, SMP, SMA dan Universtas,
mereka akan terus disaring, disaring dan
disaring. Hingga akhirnya tinggal yang
paling hebat dan cemerlang yang bakal
mengatur negara. Di situlah, kata para
pemikir sistem pendidikan saringan itu,
republik ini akan tangguh dan hebat
dalam semua hal forever and ever, and
ever, and ewer, ewer, ewer.

Lha, sekarang jagoan kecil saya yang


„jenius” itu masuk di taman kanak-kanak
yang dahsyat itu cuma „cukup” saja
nilainya? Dan orang tuanya itu lho
bolehnya nrimo? „Cukup” itu sudah bagus,
kata mereka. Oh … inlander-inlander
sejati. Oh … orang tua kualitas tempe.
Wong mono cukup sakmadyå. Orang
cukup sedang-sedang saja prestasinya.
Itu kata para leluhur. Ojo ngåyå mundhak
gêlis tuå. Jangan memaksakan diri nanti
lekas tua. Itu wasiat nenek moyang.
Waduh … apakah kita ini keturunannya

30
orang-orang krépo?

“Oh … jadi begitu ya, menurut


pendapat kalian. Rapor Beni yang „cukup”
itu sudah bagus.”

“Ha, inggih, Pak.”

“Wéé … lha, kalau nanti anakmu itu


harus pontang-panting harus mengejar
kawan-kawannya bagaimana, Mister?”

“Ah, ya biar saja pontang-panting, Pak.


Biar dia rasakan. Wong hidup bapak
ibunya juga selalu pontang-panting
mengejar macam-macam.”

Saya membayangkan anak yang padat


gendut itu lari pontang-panting mengejar
kawan-kawannya yang lebih ramping dan
beringas. Sebentar-sebentar saya lihat
anak itu terjatuh pringisan. Kemudian
bangun lagi, lari lagi, mengejar kawan-
kawannya yang semangkin jauh jaraknya.

31
“Mosok dia harus pontang-panting
terus, Gen. Kalau dia nanti tercecer
bagaimana lho, Gen?”

“Wah, ya diusahakan jangan sampai


tercecer to, Pak. Pontang-panting boleh
tapi jangan sampai tercecer.”

“Caranya?”

“Ya, nênuwun, memohon terus kepada


Yang Membikin Hidup agar dijauhkan
terus dari rintangan dan halangan.
Manungsåkan hanya menjalani saja to,
Pak Ageng. Kalau garisnya tholé itu cuma
akan „cukuupp” saja terus ya kami terima
to, Pak Ageng. Mosok mau ngèyèl protes
sama yang Kuasa?”

“Oalahh, Geenn … Gen. mBok


semangatmu itu jangan cukuuupp saja
gitu to, Gen. Yang punya grêgêt gitu, lho.
Disiplin anakmu itu diperkeras.Belajar
yang lebih ajêg dan tekun. Dunia ini
32
harus bisa dia rêgêm, dia pegang
kêncêng-kêncêng di tangannya.”

“Yak, Bapak kii. nDonyå, dunia harus


dirêgêm? Lha, bisa kualat kita nanti.
Sudahlah, Pak. Kulå sakmadyå mawon.
Lagi pula kalau semua orang mau hebat
dan cemerlang itu apa ya bisa to, Pak.
Wong nyatanya bagian terbesar manusia
rak inggih yang sedang-sedang saja to,
Pak Ageng. Mereka itu kan juga banyak
gunanya to, Pak?”

Saya jadi termangu-mangu. Di


hadapan saya duduk seseorang yang
kukuh ora mingkuh mempertahankan
filsafat „sedang-sedang” saja. Padahal
dunia kita sudah dilecut untuk saling
mengejar kehebatan, excellence. Apakah
dia tidak tahu itu? Apakah saya gagal
menanamkan pengertian itu?

Mereka kembali ke belakang


meneruskan pekerjaan mereka dengan
33
penuh dedikasi dan etos profesi. Sebentar
kemudian mereka dengan sebat
mengatur meja untuk makan siang. Sayur
bobor bayam dan pepaya muda, sambel
tempe bakar dengan sedikit jêlantah,
empal daging dan tempe bacêm. Dengan
keramahan dan gaya yang elegan, suami-
istri itu menyilakan saya makan siang. Di
halaman, anak mereka, si bêdhès cilik
Beni Prakosa lari-lari sambil berteriak,

“Pé-a … pé-o … pé-a …p-éo … pé-a


…!”

“Huss, huss, Lè. Ojo bêngak-bêngok.


Pak Ageng lagi dhahar …!”

Yogyakarta, 23 Nopember 1988

34
Si Gendut Sakit Gondongan

upacara untuk tumbuh menjadi besar


ternyata tidak harus lewat berbagai
macam slamêtan dengan nasi tumpeng
dan ingkung iwak pitik. Itu upacara untuk
para danyang dan lelembut yang
momong kita. Dengan slametan teratur
begitu, danyang “yang momong” kita
akan selalu bersedia waspada menjaga
keselamatan kita. Tetapi, ya itu! Asal kita
selalu waspada juga ingat hari-hari dan
menu slamêtan itu. Kalau tidak, wé …
lha, ojo takon doså! Kita bisa ditinggalkan
mereka. Nah, itu upacara di bidang
spiritual.

Ternyata tubuh kita juga punya


skenario upacara untuk mengantar
kedewasaan bagian-bagian dalam tubuh
kita. Kita semua, tanpa kecuali, harus
melewati dan mengalami periode-periode
35
sakit tertentu. Harus pernah mengalami
cacar air, tampèk, batuk kuing-kuing,
kêringêt buntêt, gatêl anjing merah dan
gondongan. Tubuh kita ternyata lebih
luwes dalam menuntut upacara tersebut
dibandingkan dengan para lelembut yang
menjaga kita. Ia menganjurkan agar
sebaiknya kita mengalami itu ketika kita
masih kecil, ketika kelenjar-kelenjar
dalam tubuh kita belum tumbuh. Dengan
begitu upacara itu tidak akan terasa
terlalu sakit. Tetapi kalau tunggu sampai
besar, waduhh … sakit banget.

Saya bisa berkata begitu karena dulu


waktu masih mahasiswa (jadi sudah
dewasa plus kelenjar-kelenjar), saya kena
penyakit gondong. Wah, sakitnya minta
ampun! Panas, pusing, sênut-sênut di
sekujur badan dan bengkak. Nah, soal
bengkak ini buat kaum lelaki agak
memalukan dan merepotkan. Tempatnya
itu lho, kok ya di bagian tubuh yang di

36
bawah. Kalau bengkaknya besar jadi
seperti nggémbol teko teh. Waktu saya
kena musibah itu, ya seperti nggémbol
teko teh itu. Dan kalau terpaksa harus
turun dari tempat tidur, wah jalan saya
benar-benar repot dan memalukan.

Kalau sudah begitu, saya ingat waktu


zaman saya masih duduk di SMA, pada
saat ada pertandingan olah raga.
Cheerleader alias kepala tukang sorak
kelas saya menciptakan sorak
kekompakan yang berbunyi, “thil konthal
kanthil gandhul, thil konthal kanthil
gandhul, thil konthal kanthil gandhul.”
Untuk menghibur sakit dan repotnya jalan
dari kamar tidur ke wc, saya pun
menggumamkan, thil konthal kanthil
gandhul, thil konthal kanthil gandhul …

Nah, waktu saya pulang ke Cipinang


Indah, saya temui si Gendut, anak saya
yang wuragil, sedang terkapar di tempat
tidur kamarnya dengan gondong.
37
Badannya yang subur kelihatannya agak
susut kecuali di bagian leher dan rahang.
Kepalanya jadi seperti ditiup mirip jambu
bangkok raksasa. Dokter yang
memeriksanya sama komentarnya dengan
dokter yang dulu,

“Tidurlah dan menderitalah, nanti kan


sembuh sendiri.”

Barangkali untuk menghadapi virus


yang memang belum ada obatnya, ada
semacam persengkongkolan kata-kata
hiburan antar para dokter.

Si Gendut tahun ini sudah (atau baru)


dua puluh tahun. Tampangnya kelihatan
menderita betul. Habis, upacara gondong
baru terlaksana sesudah berumur dua
puluh tahun. Saya, meskipun iba melihat
anak bungsu itu menderita begitu, tidak
bisa apa-apa selain membeo dokter,
tidurlah dan menderitalah nanti kan
sembuh sendiri.
38
“Pak, saya kok sial betul, sih. Dapat
gondong kok baru sekarang.”

“Ya, jangan dianggap sial. Anggap saja


paringan Gusti Allah.”

“Kok dianggap? Memang paringan


Gusti Allah, kan?”

“Naa, sudah tahu begitu kok masih


mengeluh. Sudah terima saja, terima
saja.”

Dengan senyum kesakitan karena


susah menggerakkan mulut, si Gendut
memukul saya.

“Terima saja, terima saja. Enaknya ya,


orang sehat itu kalau ngécé orang sakit.”

Untuk menghiburnya, saya ceritakan


pengalaman saya sakit gondong dulu
lengkap dengan jalan yang thil konthal
kanthil gandhul itu. Dia tertawa
kesakitan.
39
“Be, kenapa Gusti Allah
memerintahkan tubuh kita punya upacara
begini?”

“Mungkin supaya tubuh kita tidak


kaget tumbuhnya. Mungkin juga supaya
kita kadang-kadang merasakan sakit yang
agak lain.”

“Biar apa?”

“Ya, nggak tahu. Biar begitu saja


barangkali. Mungkin juga supaya kita
lebih menghargai rasanya sehat.”

“Gusti Allah itu kok ada-ada saja


caranya mencoba orang. Kreatif bener
Dia.”

Saya tersenyum. Si Gendut anak saya


yang paling religius di rumah. Pada waktu
harus menderita di luar rencana, toh
masih berani ngêlèdèk Gusti Allah juga.
Tapi, untunglah Gusti Allah Maha
Mengerti. Jangankan humor kecut dari
40
Gendut, humor yang ora lucu dari para
pejabat saja Gusti Allah juga mengerti,
kok.

“Be, kita ini harus mengalami sakit


anak-anak cuma sekali saja, ya?”

“Ha, iya. Sesudah mengalami semua


itu, tubuh kita jadi perkasa selamanya.”

“Itu kalau tubuh, Be. Kalau negeri kita


ini dari dulu sakit anak-anak melulu.
Nggak sembuh-sembuh, nggak pinter-
pinter, nggak perkasa-perkasa.”

“Ah, kamu. Mulai sok pinter, nih.”

“Ha, lihat saja, Be. Kereta dari dulu


meleset dari rel. Bis terguling. Pilot jet
masih nabrak jendela, di Bangkok lagi.
Pramugrari-pramugrari Garuda masih saja
belum bisa bahasa Inggris. Kadang
bahasa Indonesia juga masih blepotan.
Tivi juga ikut-ikutan. Nulis perfect
strangers saja nggak becus, jadi perfect
41
stranggers. Lha, itu semua kan masuk
rumah sakit anak-anak to, Be? Sudah
lebih empat puluh tahun merdeka itu!”

“Eh, tubuh negeri seperti tubuh orang


juga, nDut. Ada yang cepat sembuh, ada
yang pelan sembuh.”

“Dan ada yang pelan sekali. Bahkan


ada yang tidak sembuh sama sekali!”

“Ah, ya tidak to. Namanya penyakit


anak-anak. Pasti suatu saat sembuh.”

“Dan itu sakit korupsi. Itu sakit anak-


anak yang kayaknya paling disenangi.
Dari dulu pejabat itu korupsi melulu dan
…..”

“Huss … huss … huss … kok terus


sewot kowé! Sabar …”

“Tidak sipil, tidak ABRI, tidak …”

“Huss … huss … huss … nDut,


42
tidurlah dan menderitalah, nanti kan
sembuh sendiri!”

Dan ajaib, Gendut mendengar „nanti


kan sembuh sendiri” kok jadi tertidur
sendiri. Pelan-pelan saya selimuti dia.
Saya terus menggumam, tidurlah dan
menderitalah, tidurlah dan menderitalah,
thil konthal kanthil gandhul, thil konthal
kanthil gandhul, thil …

Yogyakarta, 1 Nopember 1988

43
Mbandung, Mercedez dan
Nasionalis Kiri

PULANG dari Bandung untuk tugas


rutin, yaitu “jual kecap” alias “jual abab”,
saya disambut dengan hangat oleh
seluruh staf kitchen cabinet saya. Saat-
saat seperti itu selalu mengharukan hati
saya. Mereka adalah orang-orang gajian
yang selalu saya gaji dengan murah
sekali. Begitu murahnya sehingga
seharusnya mereka sudah dari dulu
meledakkan satu revolusi di rumah saya.

Satu revolusi yang digerakkan oleh


kelas buruh yang mampu memaksa kami
kaum elite birokrasi yang disebut priyayi
untuk menyetujui tuntutan upah
minimum mereka. Toh, revolusi itu tidak
pernah pecah. Padahal mereka anggota
satu bahkan dua gerakan kaum buruh,
yaitu Persatuan Djongos-Djongos (PDD)
44
dan Persatuan Babu-Babu (PBB), yang
konon sudah didirikan sejak sebelum
Gunung Merapi meletus (tentu tidak
pernah jelas letusan Merapi yang kapan).

Dua gerakan buruh itu sesungguhnya


juga sudah beberapa kali mengadakan
rapat untuk menuntut kenaikan gaji
mereka. Maksudnya kenaikan yang benar-
benar terasa memuaskan. Dan bukan
kenaikan yang cuma beberapa rupiah
dalam setiap empat bulan Suro itu. Yang
mereka tuntut adalah baju baru
sekeluarga empat sampai lima kali
setahun, ganti sepatu baru dua atau tiga
kali setahun serta gelang, kalung, giwang
emas yang gandhul-gandhul di tubuh
para madam itu. Toh, revolusi mereka
tidak pernah sempat pecah. Jangankan
revolusi, untuk berpawai dan
membacakan resolusi pun tidak pernah
sampai terjadi.

Yang saya dengar kemudian dari Mr.


45
Rigen, ada seorang oknum yang dibawa
oleh salah seorang anggota gerakan itu
yang menyakinkan mereka semua untuk
tidak usah melancarkan demonstrasi
kenaikan upah. Apalagi revolusi, jangan!
Kata oknum itu,

“Ini bukan jamannya tuntut-tuntutan.


Semua bisa dirembuk baik-baik sesuai
dengan kepribadian dan budaya kita.
Apalagi kata „revolusi” dan „demonstrasi”
itu sesungguhnya ciptaan kaum kiri.
Salah-salah organisasi ini bisa dituduh
organisasi komunis.

“Apalagi pasti ada saja sanak saudara


yang terlibat dalam gestok, eh, gestapu
to? Hayoo, yang jujur saja. Ada to? Naa
…!!” Begitu kata oknum itu selanjutnya.

“Daripada dituduh PKI, tidak bersih


lingkungan, luwih bêcik ora usah åpå-
åpå. Ini zaman susah cari kerja, susah
cari makan. mBok yang nrimo, nggih
46
sêdulur-sêdulur. Majikan-majikan
sampéyan semua itu bukan sembarang
majikan. Mereka bukan kapitalis, tapi
KORPRI. Ingat Kor – pri! Pasti mereka
sudah penuh peri kemanusiaan semua.
Lha wong mereka itu ditatar P4 terus,
lho! Sudahlah … serahkan semuanya
kepada majikan kalian. Serahkan pada
roso kemanusiaan mereka …”

Demikian kisah Mr. Rigen tentang


seorang „oknum” dalam organisasi
mereka.

“Lha, saya yo manggut-manggut


setuju saja to, Pak. Wong yang diucapkan
itu betul semua, kok.”

“Betul apanya, Gen?”

“Lho, lha inggih. Panjênêngan itu apa


pernah to sio-sio, menyia-nyiakan saya?”

“Ya êmbuh!”

47
“Nggak pernah. Kenaikan gaji sênajan
sithik-sithik setiap inplasi, ya Bapak
berikan. Baju lorodan-lorodan, ya terus
mengalir. Senajan kaos yang diberikan itu
bolong-bolong di sana-sini.”

“Huss …! Kamu nyentil, ya! Ngritik,


ya!”

“mBotên. Cuma matur seadanya saja


kok, Pak. Tapi betul kok, Pak. Saya
sekeluarga itu merasa cukup kok di sini.”

“Lha, rak begitu, Mister!”

“Tapi, kiri itu artinya apa to, Pak?”

“Kiri? Kiri itu …..”

Dan saya, karena saking inginnya


direktur kitchen cabinet saya itu
memahami makna “kiri”, saya jelaskan
panjang lebar. Saya mulai dari revolusi
Perancis pada waktu kaum Jacobin
menduduki kursi-kursi di deretan sebelah
48
kiri. Sampai kemudian jadi salah kaprah
diartikan sebagai politik yang selalu
membela rakyat kecil identik dengan
“kiri”.

“Lha, kalau begitu Pak Ageng itu kiri,


begitu Pak? Wong Pak Ageng suka mbéla
wong cilik seperti saya itu!”

“Huss …! Ojo bantêr-bantêr, jangan


keras-keras. Zaman sekarang dicap kiri itu
bisa sangsoro lho, Gen.”

“Sangsoro bagaimana? Wong dicap


membela wong cilik kok panjênêngan
takut to, Pak?!”

“Ya, tidak takut begitu, Gen. Ning ya


cuma sedikit takut.”

Mr. Rigen ngglêgês. Mungkin sekarang


dia tahu kalau nyali bosnya cuma sebesar
têngu. Tapi, kemudian saya ingat dengan
bekas bos saya di Deppen dulu, yang
sekarang kembali jadi wiraswasta dan bos
49
surat kabar. Beliau yang sekarang punya
hotel indah bin mewah, ke mana-mana
naik Mercedes, dengan tegas tanpa ragu-
ragu, tanpa wigah-wigih, menamakan
dirinya sebagai nasionalis kiri! Lho, opo
ora hebat?! Beliau bilang, Mercedes itu
cuma alat transportasi yang sangat
penting untuk melancarkan tugas-tugas.
Tentu yang beliau maksud dengan „untuk
melancarkan tugas-tugas”, adalah
mengurusi dan membela wong cilik. Wah,
saya jadi ikut bangga kalau ingat kembali
bekas bos saya itu. Tetapi, waktu saya
ingat jip rongsokan di garasi yang bos
saya di universitas tidak mau ngganti-
ngganti, wah, kalau mau ikut-ikutan jadi
nasionalis kiri bagaimana itu? Bagaimana
saya bisa lebih baik mengurus nasib wong
cilik?

Waktu saya duduk minum teh panas


yang secara kilat disuguhkan Mr. Rigen,
Beni Prakosa nyeletuk,

50
“Eh, Pak Ageng, Pak Ageng …
mBandung itu di mana to, Pak Ageng?”

“Oh, di sana, Lé. Jauuuhhh sekali.”

“Sama jalan Solo, jauh mana?”

“Masih lebih jauuhh lagi, Lé.”

“Kalau sama Gembira Loka?”

“Masih lebih jauuuhhh lagi, Lé.”

“Wah, di pinggir langit ya, Pak Ageng?”

“Ya, hampir nyrèmpèt langit. Apa


bapak dan ibumu tahu di mana
mBandung itu?”

Mrs. Nansiyem senyum-senyum saja,


menandakan tidak tahu persis di mana
Bandung itu. Mr. Rigen kelihatan beringas
mau tegas menjawab,

“Saya tahu. Saya tahu, Pak. mBandung


itu di nêgoro Sundho nggih, Pak?”
51
“Nêgoro Sundho gundhulmu amoh!
Propinsi Jawa Barat, Mister!”

“Ha, inggih. Rumahnya tiang-tiang


Sundho to, Pak?”

“Lha, ya betul. Itu daerah Pasundan,


mBandung itu ibukotanya. Itu kota yang
sangat penting dalam sejarah kita lho,
Gen.”

“Penting pripun?”

“Elho, … kamu itu bagaimana? Sudah


tahu cerita kota Paris, revolusi Perancis,
kaum Jacobin, kok nggak tahu
Bandung?!”

“Ha, inggih. Sing niki belum tahu.


Bagaimana ceritanya, Pak?”

Saya lantas ingat tempat saya jual


kecap di Bandung. Tempat itu adalah
gedung di mana dulunya Konferensi Asia
Afrika diadakan. Saya lantas ingat waktu
52
konferensi dulu masih mahasiswa ingusan
tetapi sudah sok tahu politik tinggi.
Memang peristiwa yang menggetarkan!
Pemimpin-pemimpin dunia ketiga
berkumpul untuk menyatakan diri mereka
sebagai kekuatan yang harus
diperhitungkan. Nadanya memang
nasionalis kiri, tetapi tanpa Mercedes.

Waktu kemarin saya ngomong di situ,


yang saya hadapi adalah ratusan
mahasiswa dan dosen muda. Mereka juga
ingin menyatakan diri mereka sebagai
kekuatan baru. Itu juga menggetarkan!
Menggetarkan karena saya cemas ke
mana mereka harus cari kerja sehabis
tamat kuliah. Kesempatan apa yang saya
dan angkatan saya bisa berikan kepada
mereka?

“Geen, tolong siapkan jip. Saya harus


segera ke kantor, kerja.”

Jip tua kantorku saya starter. Ègrèk,


53
ègrèk, ègrèk, ègrèk … Wèr, èwèr, wèr,
èwèr, wèr …..

Yogyakarta, 25 Oktober 1988

54
Mas Prasodjo Legowo

Mungkin karena anyêl kepada saya


yang tidak kunjung dapat memenuhi
undangan makan di rumahnya, Mas
Prasodjo Legowo bersama mbakyu begitu
saja datang ke rumah saya. Waktu itu
Minggu siang, hari yang panas yang
betul-betul cocok untuk bermalas-
malasan. Saya klêkaran, tidur di atas
tikar, di depan teve hanya dengan celana
pendek dan kaos oblong. Kalau klêkaran
mingguan begitu, kondisi saya hanya
serba setengah. Setengah tidur, setengah
mêlèk. Kemudian yang setengah melek
itu, yang seperempat untuk membaca
mejalah-majalah, lha yang seperempat
lainnya untuk teriak-teriak membentak
Beni Prakosa yang suka glibat-glibêt
mengganggu ketenangan saya dan
memanggil Mr. Rigen untuk suplay
nyamikan.
55
Pada hari Minggu itu, di tengah-
tengahnya klêkaran mingguan, saya
dengar suara Honda bebek masuk
halaman rumah. Waktu saya intip dari
balik gordijn, saya terkejut melihat yang
datang adalah suami-istri Prasodjo
Legowo. Saya jadi blingsatan bercampur
byayakan bercampur malu. Habis
bagaimana, Mas Prasodjo itu adalah salah
satu doktor matematika terbaik yang
dimiliki negeri ini. Beliau adalah orang
yang saya tuakan, yang selalu saya
anggap sebagai kakak saya sendiri.

Dulu waktu masih sama-sama belajar


di luar negeri, dialah yang selalu dengan
sabar mengajari saya ilmu statistik,
sebuah ilmu yang sampai sekarang saya
tidak kunjung mudhêng itu. Karena
bimbingannya itulah saya bisa selamat
lulus ujian. Meskipun sepanjang
bimbingannya itu, tidak henti-hentinya dia
berdecak kagum akan kebodohan saya

56
dalam memahami ilmu yang untuk
banyak orang dianggap menentukan
hidup matinya peradaban dunia modern.
Mungkin di dalam hati Mas Prasodjo
heran juga kok akhirnya saya bisa lulus
juga dan akhirnya bisa jadi pengajar di
universitas terhormat yang selalu bangga
memiliki mahasiswa terbanyak di Asia
Tenggara.

Dia tidak tahu saja kalau saya bisa


lulus itu karena komite pembimbing saya
sudah capek membimbing saya dan ingin
cepat-cepat melihat saya pulang ke tanah
air. Dan dia tidak tahu juga, saya kira,
saya bisa diterima jadi guru itu ya hanya
di fakultas sastra saja, satu fakultas yang
bagi kebanyakan orang tidak ada
sumbangsihnya bagi pembangunan
peradaban modern. Ah … tentulah ini
ngunandikå-nya seorang yang penuh
dengan kompleks jiwa yang mindêr.
Kolega dan bahkan mahasiswa saya yang

57
cemerlang di fakultas tidak meyakinkan
saya bahwa kalau tidak ada fakultas
sastra, apa jadinya isi peradaban modern
itu. Hampa, kosong, nir budaya, nir
refleksi dan nir-nir lainnya lagi. Kalau
sudah begitu hati saya jadi mongkok lagi.
Dan Mas Prasodjo justru yang ikut
menambah ke-mongkok-an itu.

Dari sekian puluh ahli matematika


yang terkenal, dialah salah satu
pengecualian yang mengagumkan. Dia
membaca Cervantes, Stendhal,
Shakespeare. Dan dulu waktu di luar
negeri melihat pementasannya meski di
kelas kambing, Tolstoy, Dostoyewski, dll.
Hampir semua sastrawan modern
Amerika dan sudah tentu Indonesia dari
Pramoedya sampai Suwarno Pragolapati.
Dan puisi? Oh … ho, dia hafal sajak-sajak
Chairil Anwar, Goenawan Mohammad dan
Soetardji Calzoum Bachri. Kalau
„Pengakuan Pariyem” tidak begitu

58
panjang dan anu, pastilah prosa lirik
Linus Ag. Suryadi itu akan diganyangnya
habis. Dan kalau saja sajak Darmanto Jt.
Tidak bercerita tentang suami yang
mencangkul dan membajak istrinya,
pastilah Mas Prasodjo akan juga dengan
mulus bisa menghafal semua sajak
Darmanto yang ajaib itu. Kata Mas
Prasodjo,

“Lha, priyé … meski itu metafora, saya


kok terus terbayang suami yang macul
gundhul istrinya. Hii ..”

Dengan rendah hati dia berkata


kepada saya bahwa kesusastraan justru
telah membuat matematika jadi lebih
berarti dan menyenangkan. Lha, apa saya
tidak makin besar hati?

Dengan grawalan saya sambut mereka


masuk rumah saya. Saya lihat mbakyu
membawa tas yang penuh bungkusan
dan satu renteng krupuk ndéså.
59
“Wah … wah … wah … Mas dan
mBakyu, ini tadi dari mana? Pantas
gagaknya kaok-kaok terus.”

“Gagakmu itu. Ya, dari rumah to, Dik.


Kalau gunung nggak mau turun ke
Muhammad, ya Muhammad yang menaiki
gunung itu, ya to?”

“Wah touche, kena aku! Yo wis,


ngapurané saja yang gêdhé, ya Mas,
mBakyu. Saya ini memang adik yang
nggak tahu diri. Diundang Kangmas dan
mBakyu nggak pernah bisa datang,
sekarang malah kalian yang datang. Dari
blånjå di pasar to, mBakyu?”

“Ya, nggak. Kita datang memang


sengaja mau ngluruk makan. Nggak ada
persediaan to, kamu? Wis ora usah repot.
Ini kita sudah bawa lauk-pauk. Tapi kalau
nasi putih punya, to?”

Saya jadi pringisan sendiri melihat


60
serangan yang begitu terencana.

“Wah, tambah terharu saya. Kalau ini


tadi saya pas di mBêtawi, lauk-pauk ini
bisa jadi mubadzir, dong!”

Mbakyu Prasodjo mengeluarkan


bungkusan itu satu per satu dan
memindahkannya ke piring yang
disediakan Mr. Rigen di meja. Tempe
bacêm, gudangan bayêm, kecambah,
irisan lobak rebus, gorengan balur roti,
sambal terasi yang baunya mengilik
lobang hidung, serenteng krupuk ndeså
dan dari rantang di-suntak-kan sayur
asem daging thèthèlan, kacang panjang
dan terong. Itulah menunya. Waktu saya
ke belakang sebentar, Mr. Rigen dan istri
sempat mengkritik,

“Wong niat rawuh mau oleh-oleh


dhahar kok begitu saja, lho.”

“Huss, diam kowé!”

61
Saya pun lantas duduk makan siang
bersama mereka. Nikmatnya bukan main.
Semua yang mereka bawa licin tandas tak
tersisa. Saya bersyukur panggang ayam
Pak Joyoboyo yang saya beli tadi pagi
tidak saya perintahkan keluar dari lemari
makan. Khawatir akan me-rikuh-kan Mas
dan mBakyu Prasodjo. Takut kalau ayam
panggang itu keluar akan merusak selera
menu mereka.

Belum pernah saya makan begitu


nikmat dengan menu seperti itu. Tentu
Mr. Rigen sering juga masak seperti itu.
Tetapi, rasanya kok tidak senikmat yang
mereka bawa. Dan melihat suami-istri itu
makan dengan rileks, nikmat, muluk
tanpa sendok garpu, saya juga jadi ikut
terangsang melicin tandaskan makanan
itu.

Di depan saya duduk Dr. Prasodjo


Legowo, doktor matematika yang terkenal
tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di
62
luar negeri. Makalah-makalah yang
dibacakan di simposium-simposium
internasional serta jurnal-jurnal luar
negeri banyak mengagetkan para ahli
karena orisinilitasnya. Beberapa kali pula
memenangkan award untuk tulisan dan
pikirannya yang cemerlang. Toh, dia
belum juga diusulkan jadi guru besar.
Aneh, katanya kum-nya belum cukup,
belum memenuhi syarat. Dan dia diam
saja, tidak protes, tidak apa-apa, kecuali
mengajar dan mengotak-atik rumus-
rumus matematika. Hidupnya sederhana
karena pendapatannya juga cuma dari
gaji dan sedikit honorarium dari sana-sini.

“Kok masih terus Honda bebek to,


Mas. mBok nyicil Volvo. Hakmu kan?”

“Êmoh. Nanti mBakyumu bisa mêcicil!”

Dan dengan enaknya dia korèt-korèt


sambêl yang masih nyerempet di pinggir
piringnya. Dan ini adalah tokoh
63
internasional yang mestinya kalau sedang
di luar negeri ganyangannya T-bone steak
dengan baked Idaho potato serta buncis
dan wortel yang di-ongklok dengan pas
sekali sambil sekali-sekali nyewel rell dan
diserempetkan mertega yang betul
mertega itu.

“Kalau di kandang bule, Dik, ya makan


steak dan uba rampé-nya itu. Enak juga.
Tapi, kalau di kandang mBakyumu, ya,
kayak gini ini. Ngorèti sambêl terasi,
thithil-thithil ikan asin. Maknyuss … enak
tênan! Nggak usah aksi-aksian makan di
hotel berbintang. Sudah muahal, nggak
enak.”

“Lha, kalau sedang kangen?” saya


tanya setengah membela diri karena
kadang suka makan dengan keluarga di
hotel berbintang.

“Enggak pernah kangen, tuh! Mereka


yang bilang kangen steak itu, kan cuma
64
mau aksi-aksian, to!”

Touche lagi! Saya membayangkan si


mBak dan si Gendut, anak-anak saya itu,
kalau mereka mendengar pernyataan Mas
Prasodjo itu pasti cêngar-cêngir.

Sesudah jam setengah tiga siang,


mereka pamit pulang. Saya mengantar
mereka sampai jalan.

“Wis, lho yo! Sekarang ganti kamu,


syukur sama istri dan anak-anakmu,
datang ke rumah kami di ndéså. Kami itu
kesepian, lho. Anak dua, satu di Bandung,
sekolah tapi nggak pernah kirim surat.
Yang satu mentang-mentang ikut suami
bule di New York juga jarang kirim surat.
Tênan, yo, datang!”

Honda bebek itu di-starter. Jêglek,


jêglèk, jêglèk, jêglèk, jêglèk, jêglèk,
jêglèk. Tujuh kali di-starter baru mesin itu
hidup. Mereka meringis. Jempol mBakyu

65
diacungkan. Saya balas mengacungkan
jempol saya. Honda bebek itu berjalan,
jlèk-jlèk, jlèk-jlèk, pelan-pelan sêmangkin
menjauh ke pinggiran daerah Bangun
Tapan, ke rumah mereka yang sederhana
yang mereka bangun nyaris bata demi
bata. Begitu selesai rumah itu, mereka
tinggalkan rumah dinas mereka di Sekip.
Biar dosen lain bisa ganti menempati
rumah dinas itu, kata mereka.

Itulah Mas Prasodjo Legowo. Selalu


tetap prasojo dan berjiwa besar. Mr. Rigen
sesudah saya ceritakan riwayat mereka
bertanya,

“Gèk apa ya banyak dosen atau priyayi


seperti itu?”

“Huss … diam kowé!”

Yogyakarta, 18 Oktober 1988

66
Sang Pemimpin

Sore-sore pulang dari cari angin, saya


dapati rumah saya sepi mamring.
Biasanya pada waktu begitu Mr. Rigen
anak-beranak suka reiungan nglésot di
depan teve, menikmati acara baik yang
karuan maupun yang tidak karuan
mutunya. Bagi mereka, sering kali bagi
saya juga ding, teve adalah kotak ajaib
yang mampu mengeluarkan macam-
macam tontonan yang warna-warni, yang
memang harus ditatap terus-menerus.
Tidak terlalu penting apakah tontonan itu
bagus atau tidak.

Bagi mereka yang punya selera pilih-


pilih, yang discriminating, seperti seorang
intelektual dahsyat macam Prof. Dr.
Lemahamba, teve itu tentu saja hanya
beliau tatap kala ada acara yang menarik
beliau. Dunia Dalam Berita, wawancara
67
dengan pakar-pakar, dialog dengan
menteri, Aneka Ria Safari, Berpacu Dalam
Melodi dan film seri Dynasty, adalah
acara-acara pilihan beliau yang sangat
discriminating itu. Selebihnya teve itu
tidak beliau tatap, tetapi ya dibiarkan
terus menyala sampai acara usai. Teve
memang harus hadir “di situ”, ditatap
atau tidak.

Keluarga Rigen ternyata sedang


berkumpul di kamar mereka, di belakang.
Saya pergoki Mr. Rigen duduk jigang
sembari makan kolak pisang. Mrs.
Nansiyem memangku anak oroknya,
sedang Beni Prakosa duduk di lantai di
bawah singgasana Mr. Rigen. Tampaknya
mereka menunggu Mr. Rigen
menyelesaikan makan kolak pisangnya.
Waktu mereka sadar bahwa diam-diam
saya mengamati mereka dari jendela, Mr.
Rigen gêlagêpan turun dari
singgasananya.

68
“Weh … sang prabu, apa sudah selesai
menyantap kolak pisangnya?”

“Yakk … Bapak kii. Orang cuma


nglaras sama anak istri kok disindir jadi
ratu, lho!”

“Lha, saya amati kok bolehnya mulyo


kamu duduk jigang di hadapan anak
istrimu.”

Mr. Rigen tertawa ngglêgês. Tertawa


yang tidak bersuara.

“Ning jadi raja itu kelihatannya kok ya


mulyo betul nggih, Pak?”

“Ha êmbuh. Wong saya belum pernah


jadi raja.”

“Lha, Ngarsådalêm yang baru sedå itu


buktinya, Pak. Begitu dilmuliakan, begitu
dihormati, begitu dicintai rakyat.”

“Dimuliakan, Gen! Jadi, bukan beliau


69
mau mulyo, dalam arti mau enak-enakan
sendiri. Beliau mulyo karena rakyat
dengan iklhas memberi kemuliaan itu
kepadanya.”

“Wah, tapi kelihatannya yang mesti


dapat kemuliaan dari rakyat itu raja ya,
Pak?”

“Lha, ya belum tentu, Gen. Meskipun


raja kalau tidak punya wibawa, tidak kerja
buat kawulo, tidak trêsnå sama kawulo-
nya, mana bisa dimuliakan, Gen!?”

“Lha, kalau pemimpin rakyat itu, Pak?


Itu kan ya raja kecil-kecilan to, Pak. Bisa
dapat kêmulyan juga dari rakyat nggih,
Pak?”

Saya tertawa ngglêgês mendengar


persepsinya tentang pemimpin rakyat
sebagai raja kecil-kecilan.

“Kamu itu! Pemimpin rakyat, ya


pemimpin rakyat. Tidak usah dibayangkan
70
sebagai raja baik yang besar atau yang
kecil, Gen. Pemimpin yang punya wibawa,
yang cinta sama rakyat, yang mau kerja
buat rakyat, yang tidak nyolong duit dan
tanah rakyat, ya pasti dimuliakan rakyat
juga to, Gen. Pemimpin yang begitu itu
yang mulyo tênan, Gen.”

“Wah … apa ya banyak pemimpin


seperti itu, Pak?”

“Lha, ya kamu étung sendiri, Gen.


Kira-kira banyak apa tidak?”

Mr. Rigen tertawa nyêkikik, klêjingan.

“Sajaké, kayaknya, kok sedikit sekali


nggih, Pak.”

Sekarang ganti saya yang tertawa


mendengar kesimpulan dia.

“Kok tahu, Gen. Apa kamu sudah bikin


cacah jiwa?”

71
“Yakk, Bapak kii. Wong cêthå wålå-
wålå, jelas sekali kelihatan di sekitar kita
pemimpin sing apik tênan itu semangkin
langka, lho. Jadi, Ngarsådalêm itu benar-
benar istimewa nggih, Pak.”

“Ya, jelas to, Gen. Mana ada raja dan


pemimpin yang ikhlas memberikan
banyak dari miliknya kepada republik?
Memberi lho, Gen! Dan itu semua
diberikan dengan ikhlas. Dan amat sedikit
pemimpin yang berani dan ikhlas pula
tampil pada waktu keadaan amat, amat
gawat. Ngarsådalêm berani dan ikhlas.”

“Tapi, itu juga karena Ngarsådalêm


kagungan Kiai Plèrèd nggih, Pak?”

“Ya, bukan itu saja, Mister. Yang


penting itu keberanian dan kebersihan.
Wong punya kiai rudal, kiai pistol, kiai
granat, kalau nyalinya sak têngu bayi,
hatinya kotor dan jorok kayak comberan
ya tidak berani dan tidak ikhlas mencintai
72
rakyat.”

“Wèh … jadi untuk mencintai wong


cilik itu ternyata perlu keberanian dan
keikhlasan nggih, Pak?”

“Wéé … lha priyé to kamu itu! Wong


cilik itu mlarat dan sengsara. Karena itu,
memusingkan kepala dan menakutkan
pemimpin. Yang tidak mau pusing
kepalanya dan takut, ya terus ngapusi,
ngibuli rakyat.”

Tahu-tahu hari sudah senja betul. Saya


longok hari mulai gelap. Mr. Rigen
tanggap ing sasmitå segera bersiap untuk
menyediakan makan malam saya.

Di ambang malam itu, tiba-tiba mak


srêêêtt, di ambang pintu kamar depan,
berdiri seorang tinggi besar dengan baju
surjan lurik biru, ikat kepala biru dan
berkain batik Yogya. Wah, upacara
pemakaman di Imogiri sudah selesai 24
73
jam yang lalu, kok ini baru sampai di sini.
Tidak mungkin dia berjalan kaki dari
Imogiri. Di luar saya lihat sebuah Baby
Benz diparkir dengan indah dan
mulusnya. Tapi, siapa tamu misterius ini?

“Pangling, to? Pangling, to?”

“Terus terang, iya. Siapa ya? Astaga,


Mas Mulyo to ini?”

“Ha … ha … ha …! Akhirnya kamu


mengenali saya juga.”

“Ini tadi dari mana, Mas? Kok masih


pakai baju layat Imogiri?”

“Aku sudah beberapa hari yang lalu


berangkat dari Jakarta. Dapat tugas
memantau daerah. Maklum sebentar lagi
kongres. Eh, sampai sini kok pas
pemakaman Ngarsådalêm. Jadi ya
sekalian saja layat. Sekalian nyuwun
berkah yang pada sumaré, yang
dimakamkan, di sana.”
74
“Wah .. wah .. memantau daerah,
menyiapkan kongres, nglayat terus sambil
ngalap bêrkah. Jann élok tênan.”

“Lho, ini mematuhi dhawuh guru,


Geng. Kau kira aku belum lepas baju layat
kenapa? Ya, karena mematuhi dhawuh
romo guru, to! Semua slamêt-slamêt saja,
to? mBok kamu itu kalau sedang di
Jakarta rame-rame sama anak istrimu
datang ke rumahku, to! istriku sekarang
pinter bikin sabu-sabu dan sukiyaki, lho.
Wis, yo! Aku mau terus.”

“Eh, mbok ya makan dulu seadanya,


Mas. Menu bachelor, gå ji pé ro, sêgå siji
témpé loro, ya? Mister Rigeenn …!”

“Eit .. eit ..! Nggak … nggak ..! Aku


harus berangkat lagi. Thanks anyway. Aku
cuma menengok kamu saja, kok. Eh,
kamu mau saya calonkan di kongres? Itu
baru langkah pertama. Berikutnya bisa
kita garap macam-macam nanti.
75
Gimana?”

Saya menolak. Saya katakan kalau


saya sudah cukup senang jadi guru dan
setiap Selasa boleh ngoceh ngalor-ngidul
di koran lokal. Dia memberiku kartu
namanya. Waduh! Namanya sekarang,
Mulyo Reksoartonegoro, S.H, S.E. Dulu
kayaknya cuma Mulyo saja. Dia berjalan
seperti dulu juga, dengan gagah keluar.
Kemudian ditelan Baby Benz itu, hanya
kedengaran „mak bêpp”. Kemudian mobil
itu berjalan nyaris tak bersuara …..

Yogyakarta, 11 Oktober 1988

76
Ngarsadalem Sudah Seda,
Hidup Ngarsadalem!

SIANG-SIANG waktu memasuki kota


terasa ada suasana yang tidak seperti
biasa. Bendera-bendera masih pada
berkibaran setengah tiang. Wah … kok
aneh orang Yogya ini, lho. Pancasila
sudah jelas sakti kemarin, kok
benderanya masih nglumpruk setengah
tiang. Atau masyarakat Yogya begitu
nglemprahnya, malas menaikkan bendera
mereka? Tetapi, kalau sepanjang jalan
Solo, termasuk Ny. Suharti, Hotel
Ambarukmo, mes perwira polisi juga
masih mengibarkan bendera setengah
tiang, apakah mereka ikut-ikutan
nglemprahsemangatnya?

Di rumah, Mr. Rigen anak beranak


yang untuk kesekian kali saya tinggal
pergi untuk waktu yang agak lama, tidak
77
seperti biasanya, tidak menyambut
kedatangan saya dengan penuh
enthusiasm. Bahkan si bedhes Beni
Prakosa, yang dalam keadaan seperti itu
selalu tidak pernah terlambat
menodongkan tangannya menagih oleh-
oleh, siang itu kelihatan diam setangah
nyekutrut. Elho … ada apa ini?

“Lho, ada apa ini?Kok kalian bermuram


durja seperti durjana-durjana?”

Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem, yang


menggendong anak oroknya, saling
berpandangan. Wah … gawat ini.Setiap
kali saya melihat suami-istri itu saling
memandang begitu, hati saya jadi ketir-
ketir. Itu saling pandang yang biasanya
suatu ancang-ancang untuk sebuah
resolusi yang ekonomis sifatnya.
Akhirnya, Mr. Rigen angkat bicara juga.

“Lho, apa Bapak belum dengar?”

78
“Dengar apa?”

“Elho … kados pundi to Pak Ageng


ini?Nga … Ngar-sa da-da-lem seda!”

“Kowe ojo edan lho, Mister. Wong dua


tiga bulan yang lalu saya masih salaman
dengan beliau di satu pesta di Jakarta.
Dan beliau itu nampak seger-buger, tidak
kurang suatu apa, lho.”

“Saestu, Pak. Ngarsadalem seda.


Makanya kita semua diperintahkan untuk
mengibarkan bendera setengah tiang.
Waahh … jiiaann, kita semua jadi kaget
saestu, Pak. Ngarsadalem kok seda. Tidak
bisa itu, Pak!”

“Lho, Ngarsadalem kan manusia juga,


Gen.”

“Ha, inggih.Ning bukan sakbaene


manungsa. Bukan sembarang manusia
seperti kita. Tidak boleh begitu saja

79
seda.”

“Kok kamu enak saja bilang „tidak


boleh”? Yang boleh dan kuasa bilang
begitu kan cuma Gusti Allah to, Gen.”

“Ha, inggih. Tapi, rasanya kok belum


waktunya beliau itu pergi sekarang. Lha,
wong kita semua masih butuh
pengayoman beliau lho, Pak. Rasanya
kalau beliau itu masih ada, wong cilik itu
kok rasanya ayem, tentrem, mak nyes
begitu.”

“Betul apa, Gen. Wong kamu bukan


orang Yukja saja, kok bisa ngomong
begitu. Kalau kamu wongYukja asli, boleh
kamu ngomong begitu.”

“Weh … Pak Ageng ini bagaimana,


to.Ngarsadalem itu bukan punya orang
Yukja saja. Punya orang Jawa semua.
Punya orang Indonesia semua. Rak
inggih, to, Pak Ageng?”
80
Saya manggut-manggut. Lagi-lagi saya
merasa kagum oleh pandangan Mr. Rigen,
yang kadang-kadang mencuat dengan
briliannya. Baru sebulan yang lalu, dia
banting setir merayakan malam satu Suro
dengan tidak ikut-ikutan mengiring kebo
bule Kiai Slamet, tetapi merayakannya
dengan prihatin di rumah saja. Dunia
Pracimantoro, dunia Solo sudah lama dia
lebur bersatu dengan dunia Yogya.
Ternyata dunia itu sudah dia lebur
menjadi dunia Indonesia. Hamengku
Buwono tidak dia dudukkan dalam satu
kerajaan yang sempit. Tetapi dalam satu
“kerajaan” yang jauh lebih luas lagi.

Saya ngunandika, dari mana


datangnya konsep seperti itu pada otak
seorang jebolan SD desa di Pracimantoro
itu? Pasti bukan dari pendidikan
formalnya, toh? Pasti bukan dari
pergaulannya sesama anggota Persatuan
Djongos Djongos dan Persatuan Babu

81
Babu, toh? Eh, … tunggu dulu. Manungsa
tan kena kenira. Manusia tidak dapat
diduga. Mungkin bisa saja dialog di antara
mereka justru dapat mengangkat mereka
pada cakrawala-cakrawala yang luas tidak
bertepi.

“Saya dan ibunya Beni sudah sepakat


untuk puasa tiga hari, sebagai tanda ikut
berduka cita dan prihatin.”

“Huss, istrimu baru habis melahirkan


begitu, lho. Masih harus menyusui. Kok
mau kamu ajak puasa, edan kowe! Kamu
saja yang puasa. Istrimu boleh prihatin
dengan cara lain.”

Mr. Rigen tertunduk malu. Mereka


bertiga pergi ke belakang. Masih jelas
membawa roso berat menerima berita
meninggalnya Ngarsadalem. Saya sendiri
masih termangu duduk di kursi goyang,
tahta saya yang reyot tetapi masih
berfungsi menggoyang-goyang punggung
82
saya dengan enak.

Saya jadi ingat waktu masih kecil dulu,


waktu baru duduk di bangku SD. Saya
ikut eyang putri saya berdiri di pinggir
jalan di depan HIS Tungkak. Menunggu
berjam-jam datangnya iring-iringan
jenazah ayahanda Hamengku Buwono IX
menuju ke Imogiri. Masih jelas terbayang
bagaimana agung dan khidmatnya iringan
itu. Kemudian sesudah itu gambar-
gambar beliau sebagai Sultan yang baru.
Duduk sinewaka dengan seriusnya.
Alangkah muda Sultan yang baru itu, pikir
saya waktu itu. Sebab saya selalu
membayangkan seorang raja sebagai
seorang yang harus berusia lanjut. Tidak
terpikir sedikit pun oleh saya bahwa
Sultan atau Raja ini, waktu saya bisa
menjamah tangannya. Bisa saya jangkau
pikiran-pikirannya.

Dan kesempatan itu datang karena


revolusi ikut merobohkan tembok protokol
83
yang memisahkan kemungkinan
menjamah tangan sang Raja itu.
Kesempatan itu datang lebih sering dan
akrab lagi pada waktu diskusi-diskusi
pada hari-hari pertama Orde Baru.
Dengan penuh kesabaran dan
keterbukaan beliau mengemukakan
pikiran-pikiran dan nasihat-nasihat beliau.
Dari jarak yang sangat dekat itu, saya
merasa berhadapan dengan seorang
pemimpin rakyat biasa. Dengan hem
lengan pendek keluar, sepatu sandal,
menyeruput kopi dengan caranya yang
khas, mengganyang pisang goreng
dengan nikmat. Belaiu tampil seperti
pemimpin-pemimpin yang lainnya. Tetapi
benarkah? Tidak sepenuhnya.Entah
bagaimana, ada sesuatu pada beliau yang
somehow, bagaimanapun, kadang-
kadang nyelonong sinar kerajaannya.
Meskipun sinar itu hanya sekilas saja.

Kemudian kira-kira lima, enam bulan

84
yang lalu waktu kami segerombol
pengamat seni diundang ke istana kecil
beliau di Bogor. Seorang Hamengku
Buwono yang lain tampil pada sore hari
itu. Di istananya yang indah dan modern
tetapi masih berbau Yogya itu, beliau
dengan Ibu Norma, menerima dan meng-
entertain kami sebagai tuan dan nyonya
rumah yang sangat ramah dan luwes.
Dengan sangat kikuk, kami dan istri-istri
kami menerima keluwesan tuan dan
nyonya rumah kami itu. Saya mencatat
suatu suasana yang sangat rileks, ayem
dan happy pada pasangan itu. Tanpa satu
kompleks apapun beliau mengobrol dan
meladeni kami makan. Lagi, seperti dulu,
beliau memberikan pendapat dan saran
beliau dengan sangat terbuka dan
bijaksana.

Barangkali kesahajaan sikap beliau itu


yang menjadi kekuatan beliau.
Kesahajaan yang bukan hanya charming,

85
memikat hati, tetapi juga memberi roso
tenang dan tenteram. Barangkali ini juga
yang sempat terasa pada orang-orang
seperti Mr. Rigen dan family. Orang-orang
yang kalau dihitung dari sudut jarak
meter begitu jauh berada dari istana Sri
Sultan. Tetapi, jika roso itu ternyata
memang telah berhasil menjamah mereka
dan sekian juta orang lagi, apakah
fenomena itu selain dari cahaya raja
namanya?Ngarsadalem sudah seda, hidup
Ngarsadalem!Le roi es mort. Vive le roi!

Yogyakarta, 4 Oktober 1988

86
Koran Itu Dulu Seperti Air
Bengawan Solo

DI RUMAH kami, Mr. Rigen, Mrs.


Nansiyem bahkan juga Beni Prakosa tidak
kekurangan bacaan media masa. Lha
wong jadi staf kitchen cabinet dari rumah
tangga seorang intelektual sejati, je!
Pagi-pagi buta sembari membuka jendela
dan pintu, Mr. Rigen sudah akan dapat
menyambar Kedaulatan Rakyat yang
disorongkan di bawah pintu. Siang hari
sembari masak; Kompas, Gatotkaca,
Kirana, Minggu Pagi dan Bola adalah
ganyangan keluarga Rigen anak-beranak.
Di sela-sela koran-koran tersebut di atas
ada Tempo dan Editor, kadang-kadang
juga Matra dan Femina. Bagi Mr. Rigen,
berita-berita crime, olah raga dan sudah
tentu tarikan lotre TSSB adalah berita-
berita yang tidak kunjung berhenti
mengasyikannya.
87
Bagi Mrs. Nansiyem, gambar-gambar
bintang pilem dan adpertensi yang
menampilkan nyonya-nyonya Londo yang
blengeh-blengeh serta alat-alat
kecantikan, yang seperti sudah bisa
dicium baunya dari majalah dan koran itu
adalah informasi maha penting yang
sanggup menerobos dunianya di jagat
Jatisrono.

Dan bagi Beni Prakosa, sang jenius


cilik yang sekarang sudah menjadi
bintang kelas TK Indonesia Hebat, apa
makna media masa modern baginya?
Mobil-mobil yang bagus, keren dan
mewah, gambar-gambar kue yang enak-
enak dan ah, … gambar-gambar Pak
Ageng yang baginya mungkin seorang
pemimpin dunia uber alles. Barangkali
karena alasan yang terakhir ini saya
selalu saja tidak kunjung berhasil
menanam disiplin baja kepada anak ini
untuk selalu rapi dan necis

88
memperlakukan koran dan majalah yang
habis dibacanya. Begitu koran dan
majalah itu kena jamah sang jenius cilik,
media masa itu sudah pada terlipat-lipat,
sedikit kumal dan kadang-kadang juga
langsung berantakan.

“Apa kamu tahu, Mister, kalau tidak


selamanya koran dana majalah bisa
dilihat gambarnya dengan bagusnya dan
cetha wala-wala seperti sekarang?”

“Ah, mosok to, Pak? Koran dan majalah


kok tidak bisa muat gambar cetha itu
terus gek pripun?”

“Lho, nyatanya begitu kok, Gen. Pada


jaman revolusi, kamu belum lahir, koran
dan majalah itu semi, setengah buram
kondisinya.”

“Elho, pripun itu? Koran kok setangah


burem? Apa pating dlemok, tintanya
dleweran semua begitu, Pak?”

89
“Ha, iya. Wong kertasnya saja kertas
merang. Warnanya semi coklat, semi
kuning. Kalau dicetak ya tintanya agak
terlalu keras teresap ke dalam kertas
yang kadang-kadang masih katutan
gabah. Kau bayangkan, Gen, bagaimana
sulitnya membaca koran jaman revolusi
itu. Sering kayak membaca teka-teki.”

“Lha, terus gambar-gambarnya


pripun?”

“Ya lebih teka-teki lagi, Mister. Yang


paling gampang ya nebak gambar Bung
Karno dan Pak Dirman. Meskipun banyak
pemimpin kita waktu itu pada pakai peci,
tapi buat nebak bayang-bayang buram
Pak Karno dan Pak Dirman itu tidak
susah, Gen.”

“Koran Kedaulatan Rakyat wakti itu apa


ya sudah ada to, Pak? Dan apa ya burem
juga?”

90
“Ya sudah ada, Gen. Dan tentu burem
juga tanpa kecuali. Wong koran kiblik
kok, Gen.”

“Kiblik itu apa?”

“Kiblik itu artinya, republik. Republik


Indonesia.”

Mr. Rigen manggut-manggut


mendengarkan cerita saya tentang koran
kiblik waktu itu. Mungkin baginya menarik
juga mendengarkan dan membayangkan
koran-koran dan majalah yang berwajah
kumal di ibukota republik kita. Wong
koran kok huruf dan gambarnya susah
ditebak.

“Lha, terus kabar yang dimuat itu apa


saja, Pak?”

“Woo, ya macam-macam, Gen. Berita-


berita pertempuran di front. Berita politik,
culik-culikan, perebutan kekuasaan.”

91
“Weh … weh … weh … elok dan
serem. Mosok begitu menyeramkan to
keadaan waktu itu, Pak?”

“Lho, kamu sendiri kan didongengi


bapakmu sendiri to bagaimana jaman
clash desamu ditrajang Londo, tentara
dan pengungsi.”

“Ha, inggih. Malah kita jadi mlarat


semua. Ning saya tidak membayangkan
kalau keadaan Yogya sebelum diserbu
Londo itu sudah serem dan gawat begitu
lho, Pak.”

Saya tersenyum. Ingat hidup di Yogya


pada jaman pra serbuan tanggal 19
Desember 1949. Suasana romantika
revolusi seperti itu tidak akan dapat
terulang lagi di kota kita, di mana saja di
republik ini. Meskipun di rumah, waktu
itu, ada beberapa koran kiblik, tetapi
salah satu kegemaran saya sepulang
sekolah mampir dulu di depan kantor
92
Kedaulatan Rakyat, yang waktu itu ada di
jalan Tugu Kidul, yang sekarang disebut
Jalan P. Mangkubumi. Saya akan berdiri
suk-sukan, berdesak-desakan dengan
para pembaca lain, membaca berita-
berita yang mesti ditebak-tebak huruf dan
gambarnya itu.

Meskipun saya sudah membaca banyak


berita di rumah karena ayah saya bekerja
di Kementerian Pertahanan, saya selalu
senang mendengar gotek-nya,
celotehnya, rakyat yang tidak mampu
berlangganan koran dan hanya bisa
membaca yang ditempel di papan depan
kantor Kedaulatan Rakyat itu. Kita, saya
dan para pembaca itu, akan geram, sedih
dan kadang-kadang mengacungkan tinju,
bila membaca berita pasukan kita
semakin harus mundur. Atau kalau dalam
perundingan selalu saja harus memberi
konsesi-konsesi kepada delegasi Belanda.
Hati kita kadang-kadang kecut sekali

93
membayangkan wilayah republik kita kok
jadi semangkin ciut.

Tetapi, di tengah keprihatinan dan


kekecutan hati itu, toh koran-koran itu
selalu sanggup juga memberi berita segar
dan membesarkan hati. Gambar-gambar
pemimpin kita, meskipun buram, selalu
merupakan inspirasi segar. Sumber
optimisme kita. Tetapi, waktu serbuan itu
tiba dan koran Kedaulatan Rakyat ikut
dibungkam, kami berhenti dolan ke depan
kantor koran itu. Koran Suluh Indonesia
dari pemerintah federal tidak pernah kita
gubris. Kita terima untuk dipotong-potong
sebagai lintingan rokok atau bungkus
jualan. Beritanya kita anggap bohong
semua.

“Lha, selain kabar-kabar perang apa


tidak ada kabar adpertensi nyonyah-
nyonyah ayu, rokok putih mewah, mobil-
mobil …?”

94
“Nyonya ayu siapa? Nyonya-nyonya
kiblik, meskipun ya ayu-ayu, ning ayunya
wong prihatin dan mlarat. Tidak ada
adpertensi dodolan waktu itu, Gen. Lha,
yang mau diadpertensi itu apa lho, Gen?
Wong ya dodolan rombengan baju-baju
kita sendiri. Mobil mewah? Walah …
mobil itu nyaris tidak ada, Gen. Rokok itu
Cuma rokok White House yang wanginya
bisa dicium berkilo-kilo meter dari sini.
Pokoke, Gen, koran waktu itu berjuang,
… berjuang, … berjuang … “

Beni Prakosa, yang waktu kami


berdiskusi tentang koran Kedaulatan
Rakyat waktu itu duduk di tikar, mengaco,
mengacak-acak majalah dan koran, tiba-
tiba melihat gambar model adpertensi
perempuan ayu di salah satu adpertensi,

“Bapak kalo dikasih nyonyah ayu ini ya


gelem.”

“Mana, … mana, Le?” tanya saya.


95
Beni memperlihatkan gambar seorang
model nyonya ayu nglendhot di pintu
mobil Roll Royce.

“Huss … huss … huss … jangan kuran


ajar ya kamu, Le!” terdengar dari ambang
pintu dapur Mrs. Nansiyem membentak
anaknya.

Saya tidak lagi mendengar percakapan


mereka selanjutnya. Saya terbayang lagi
koran Kedaulatan Rakyat tahun 1946,
yang warnya kecoklatan seperti air
bengawan Solo.

Yogyakarta, 27 September 1988

96
Mr. Rigen Menjangkau Langit

PULANG dari tugas ke luar negeri, saya


disambut oleh datangnya warga baru
dalam jagad istana saya. Beni Prakosa,
sesudah menunggu-nunggu hampir
empat tahun, akhirnya mendapat adik.
Laki-laki, blengah-blengah seperti bayi
Kakrasana.Mr. & Mrs. Rigen, yang pada
waktu kelahiran anak mereka yang
pertama dulu berharap agar anaknya di
kelak kemudian hari bisa menjadi jenderal
ABRI, apesnya ya kolonel, menamakan
anak itu Beni Prakosa, kali ini agak
keteter imajinasinya.Anak yang baru lahir
ini datang pada bulan September.Bulan
yang tidak merangsang imaji harapan
yang menggetarkan.Lain dengan Beni
dulu.Dia lahir pada tanggal 5 Oktober,
hari ABRI. Tetapi, September?

“Wah, repot, Pak. September itu rak


97
bulannya Gestapu to, Pak?”

“Ya, jangan kau ambil yang Gestapu,


Gen. Cari hari yang lebih mengandung
harapan cerah begitu.”

“Lha, pripun.Wong nyatanya peristiwa


yang dahsyat, medeni, banjir getih itu
dimulai tanggal 30 September itu.Saya
jadi judeg cari hari-hari lain yang lebih
menggembirakan di bulan September itu,
Pak.”

“Yang penting, kamu itu kepingin


anakmu yang ini jadi apa?”

“Ha inggih ABRI lagi to, Pak. Mau apa


lagi. Jadi ABRi sudah karuan.Pasti mantep
jalannya jadi priyayi.”

“Lho, tenan to, Gen?”

“Ha, buktinya semua sanak saudara


saya yang jadi ABRI itu sekarang mukti
semua kok, Pak.”
98
“Lho, sanak saudaramu itu pada jadi
jenderal begitu apa?”

“Lha, inggih mboten.Mosok semua


ABRI itu jenderal. Terus prajuritnya
siapa?”

“Karena itu, kamu kok terus ambil


kesimpulan semua sanakmu yang ABRI
mukti semua.”

“Semua mukti saestu kok, Pak. Ada


yang jadi camat, ada yang jadi lurah, ada
yang priyagung kantoran.Pun to,
pokoknya enak semua.”

“Geen, Geen. Jadi yang kamu inginkan


itu anakmu itu akan jadi lurah atau
camat, to? Lha, kalau itu ngapain harus
jadi ABRI dulu?”

“Lho, Pak. Kalau tidak jadi ABRI dulu


apa bisa jadi camat atau priyayi dhuwur
di kantoran?”

99
“Oalahh, Le. Dak bilangin, ya. Yang
kamu katakan itu kan keadaan darurat.
ABRI membantu sipil.Nantinya ya tidak
harus begitu, to.Ya kalau mau jadi ABRI,
ABRI saja.Mau jadi lurah saja kok mesti
jalan-jalan dulu jadi ABRI.”

“Inggih, pun.Jadi ABRI saja.Thole Beni


nanti jadi jenderal. Adiknya ya jadi
jenderal.Kalau tidak nanti adiknya meri,
cemburu.Dikira orang tuanya membeda-
bedakan kesempatan.Rak inggih to, Pak?”

“Yo wis. Setuju aku. Terus namanya itu


lho, siapa?”

Kami berdua lantas terdiam. Berpikir


keras mencari nama. Betul juga
kegamangan Mr. Rigen melihat bulan
September sebagai bulan
berdarah.Tetapi, lho kok dia lupa. Kan
yang menang melawan Gestapu itu ABRI
sama rakyat. Jadi September itu, meski
bulan berdarah, menyedihkan, tapi ABRI
100
rak jaya.

“Gen, September itu bulan ABRI jaya,


lho.Jadi ya sudah cocok dengan
gegayuhanmu mau melihat anakmu jadi
ABRI nanti.”

“Oh, inggih ding. Pun begini saja. Anak


saya, saya namakan Septian Jaya.Pripun,
Pak?”

“Sep-ti-an Ja-ya. Yo wis, apik.”

Begitulah nama itu diturunkan kepda si


jabang bayi. Sekali saya takjub, terharu,
bangga dan tentu saja juga was-was
mendengar begitu menggebu-nggebunya
Mr. Rigen nggonto, meraih harapan, buat
anak-anaknya. Di hadapan saya duduk
nglesot seorang jebolan SD desa, mantan
anak petani yang cukup berada, tetapi
yang jadi korban revolusi hilang
kemungkinannya naik tangga sosial
dengan cepat. Tetapi, status yang dulu

101
pernah sekejap melintas di rumah Mr.
Rigen Senior nun di desa sana rupanya
belum padam dan hilang dari ingatan Mr.
Rigen. Kayaknya ada dendam kelas.
Awas, satu ketika saya akan bisa juga
mengejar kekalahan itu. Kalau bukan
saya, ya anak saya.Awas. Apakah dia
tahu bahwa persaingan itu akan lebih
ketat dan keras lagi untuk masuk
AKABRI? Dan sekolah prajurit, kopral,
sersan, letnan, kapten, mayor, kolonel
dan jenderal itu akan lebih berlapis-lapis
lagi dan lebih susah lagi? Pelajaran dan
ketrampilan yang dituntut akan lebih
canggih dan modern lagi? Kok dia masih
membayangkan jadi ABRI sebagai camat
atau lurah?

Dari jendela saya lihat Beni Prakosa


pulang sekolah dijemput sepupu
perempuannya yang kebetulan sedang
berada di kota. Beni dengan pakaian
seragam TK Indonesia Hebat dengan

102
enak dan nglaras roso duduk di
gendongan belakang sepupunya, sembari
makan bakmi kering krip-krip.

“Lho, katanya mau jadi ABRI di sekolah


Indonesia Hebat kok masih digendong?”

“Habis, capek Pak Ageng.


Panas.Digendong mBak Nimplek enak lho,
Pak Ageng.”

Tasnya dilempar ke amben dapur.Baju


seragamnya dilepaskan oleh Mrs.
Nansiyem dan sepupunya.Juga sepatunya
dijulurkannya kepada mereka untuk
dilepas.

“Madhaang, Buk. Madhang pake


endhog, oseng-oseng kacang pake
bakso.”

“Inggih, Den Bagus.”

Saya melihat pemandangan itu dengan


takjub.Saya melirik ke Mr. Rigen.Dia
103
tersenyum.

“Wong dia begitu itu yang ditiru, ya


anak-anak, adik-adik Pak Ageng.”

“Ah, mosok?”

“Atau putro-putro dosen di sekitar sini.”

“Ah, mosok?”

“Lha, terus niru siapa?”

“Lha, kalau begitu terus apa bisa jadi


jenderal dia nanti, Gen?”

“Ah, ya nanti dilihat saja Pak Ageng.


Dengan pangestu Pak dan Bu Ageng,
dengan pertolongan dan sumbangan dari
para priyagung mosok anak-anak saya
tidak akanslamet sempulur jalannya. Ya,
Le,ya? Sana makan yang enak dan
habiskan ya!”

Ya, dengan do”a restu, dengan


pertolongan dan sumbangan dari sana-
104
sini mosok tidak bisa anak-anak maju jadi
jenderal, jadi profesor, jadi menteri, jadi
…..

Yogyakarta, 20 September 1988

105
Halo-Halo & Prof. Surapon

Halo-halo adalah es teler versi


Philipina. Tentu saja menurut pendapat
saya yang sangat obyektif dan tidak
memihak, es teler masih jauh lebih enak!
Lebih seru dan lebih menjanjikan
surprise-surprise sepanjang tegukan gelas
dan kerongkongan. Lebih banyak
ditemukan unsur-unsur seperti pringkilan-
pringkilan es, nangka yang nyaris
kematangan, duren yang masih setengah
matang, dalam satu gelas es teler. Pada
halo-halo pengalaman dengan kejutan-
kejutan begitu nyaris tidak ada. Tidak
lucu! Wong minum kok ngglenyer saja!

Mr. Surapon, sahabat saya, seorang


profesor ilmu komunikasi dan seni tari
dari Universitas Chulalongkorn di
Bangkok, srupat-sruput meneguk halo-
halonya. Tampak sangat maat. Batin
106
saya,

“Oalahh mesakake, Le. Wong minuman


begitu saja kok bolehnya maat!”

“Apakah di Yogya ada minuman yang


begini enak?” tanya profesor kita dari
Chula itu.

Saya selalu siap menghadapi


pertanyaan seperti itu. Kuda-kuda
“Indonesia Uber Alles” selalu siap sedia
saya pasang setiap kali saya ke luar
negeri. Bukankah para pemimpin kita
selalu selalu mengindoktrinasi kita untuk
selalu tampil sebagai duta bangsa yang
baik? Dan harus dengan kepala tegak,
tidak nyerepeh, merunduk-runduk,
merendah-rendah, kayak negeri kita yang
hebat lagi dahsyat ini negeri cekeremes
yang tidak punya apa-apa! Tak usah ya!

“Di Yogya ada sedikitnya tujuh belas


minuman seperti ini.”

107
“Astaga! Tujuh belas macam? No
kidding?!”

“No! Tenan! Eh, I mean true. Dan


rasanya juga tujuh belas kali lebih enak
dan lebih seru dari halo-halo.”

“mBok coba you sebut tiga saja dari


minuman itu!”

“Yes, Sir! First, es teler, second dawet,


lha sing ping telu cao. Bagaimana?”

“Cao? Apakah es itu es dari Italia? Cao


di Italia artinya goodbye. Kalau bahasa
Indonesia ya selamat tinggal. Apa
menurut kamu ada terjemahan yang lebih
tepat dalam bahasamu?”

“Lho, ya ada. Cao itu terjemahannya


yang tepat, ya wis yo. Ah, tapi cao itu
minuman asli Jawa, lho!”

Kami pun terus ngobrol ngalor-ngidul


tentang macam-macam hal. Prof.
108
Surapon adalah pecinta dan pengagum
tari, gamelan dan kebudayaan Jawa.
Bahkan menurut dia Budha Thailand
harus belajar banyak dari Jawa. Sebab
bangsa yang bisa membuat Borobudur
pastilah bangsa Budha yang dahsyat.
Edyaannn! Masalahnya, apa yang bikin
Borobudur itu orang Jawa seperti orang
Jawa sekarang? Menurut dia, kalau toh
meleset, pasti tidak banyak melesetnya.
Saya pun jadi bangga sampai megar
lubang hidung saya, yang biasanya semi
tertutup itu. Maka sebagi ganti untuk
memberi komplimen kepada sahabat dari
Thailand itu saya pun membuka dialog
komplimen. Mutual compliments dalam
rangka persatuan Asean, to?

“Wah, saya dengar negerimu sekarang


jadi negara Macan Asia yang kelima.
Hebat dong!”

“Ah, macan apa? Biasa saja yang


dikerjakan negeraku. Jualan buah-
109
buahan, bunga anggrek, ikan asin dan
beras, sedikit-sedikit.”

“Lha, kok para pengamat sudah


memberi cap kamu Macan Asia?”

“Ah, orang suka sensasi.”

“Tapi menurut berita-berita bisnis,


ekspor bunga anggrek kalian sekarang
sudah menyaingi ekspor bunga tulip dari
Negeri Belanda.”

“Betul. Kami memang sudah mengirim


bunga anggrek ke seluruh dunia. Itu tidak
berarti kami sudah jadi macan.”

Setelah itu disruput-nya lagi halo-halo


dengan enak.

“Orang Philipina memang pintar bikin


minuman,” sambungnya lagi.

Saya jadi panas lagi. Halo-halo


cekeremes masih saja dipuji.
110
“Bagaimana kalian bisa jadi eksportir
anggrek begitu? Anggrek kami bagus dan
indah. Kok kami baru bisa jual kecil-
kecilan.”

Lagi Prof Surapon menyeruput halo-


halo yang tampaknya tidak kunjung habis
itu. Kemudian wajahnya yang ganteng
seperti Bengawan Solo itu menyungging
senyum.

“Anggrek Indonesia memang indah-


indah dan bagus-bagus, di hutan dan
entah di mana lagi. Tapi tidak di
laboratorium penelitian dan tidak di
tempat pemasaran dunia.”

Prof. Surapon menyeruput lagi halo-


halo yang menjengkelkan itu. Saya pun
mulai mengerti sedikit.

“Dengan kata lain, Thailand sudah


lama sekali menyiapkan semua itu
dengan penelitian, baik tentang anggrek

111
maupun tentang pasarnya?”

“Ya. Waktu kami mau merebut pasar


durian, pemerintah kami memerintahkan
kedutaan-kedutaan kami untuk
menjajakan durian itu di halaman
kedutaan.”

Wah, saya mulai memejamkan mata


membayangkan kalau suatu ketika para
duta besar kita juga harus jualan mangga
dan salak di halaman kedutaan kita. Ah,
yang benar saja! Mosok priyagung kok
jualan buah, lho! Apa tidak ada pekerjaan
lain yang lebih penting, to? Pekerjaan
seperti penataran P4, meningkatkan
kewaspadaan nasional dan waskat itu!

“Saya sudah kangen Yogya.”

“Apanya yang bikin Anda kangen?”

“Ya, semuanya. Suasana yang masih


alon-alon. Suara gamelan di keraton. Tari-
tarian di pendopo Rama Sas. Dan .. ah,
112
Kotagede di mana tukang perak masih
benar-benar tukang yang seniman. Istri
saya masih terus bicara tentang tusuk
konde perak itu … “

Waktu Prof. Surapon terus nyerocos


itu, saya memejamkan mata lagi. Saya
lihat lalu-lintas yang semrawut, tanpa tata
krama dan tanpa toleransi, saya melihat
anak-anak muda yang begadang di
tempat-tempat billiar. Dan di Crazy
House, saya melihat tukang-tukang perak
di Kotagede yang masih saja kecil
upahnya dan tampak semangkin bongkok
punggungnya. Bagaimana Denmas
Surapon bisa menangkap Yogya yang
begitu lain. Klise idyllic dari para
romantikus Barat yang dekaden dan tidak
peka melihat perubahan zaman dan
penderitaan rakyat?

“Kalau Bangkok, bagaimana sekarang,


Prof?”

113
“Ahh … Bangkok semangkin jadi kota
dagang. Semua dijadikan barang
dagangan. Semua orang jadi pedagang.
Lantas orang juga semangkin kaya.”

“Naa … kalau begitu benar kan


negaramu mau jadi Macan Asia?”

“Macan … macan. Anda kok mata-


macanen terus. Orang Thai itu cuma
kepingin kaya. Kalau jalan untuk jadi kaya
itu harus lewat jualan buah, jualan
anggrek, jualan ikan asin, ya itu
dikerjakan.”

Karena gelas halo-halonya sudah


kosong, Prof. Surapon tinggal bisa koret-
koret sisa biji-biji jenang mutiara yang
masih nempel di dinding gelas.

“Orang Thai, ya Mas, sekarang


diindoktrinasi untuk jadi pedagang
pertanian. Marketing jadi mata pelajaran
penting di sekolah-sekolah. Citra Thailand
114
sebagai petani thok akan hilang.”

“Apa Anda senang dengan perubahan


itu?”

Prof. Surapon tidak menjawab


pertanyaan saya. Mulutnya klametan
komat-kamit, mungkin masih mau halo-
halo lagi.

“Ah … kapan ya saya bisa ke kotamu


lagi? Mungkin tahun depan tabungan
kami cukup untuk ke Yogya, ke Kotagede,
ke Solo. Kamu ada di Yogya waktu itu?”

“Tentu. Tentu, Prof. Saya akan


menemani kalian berdua.”

Tiba-tiba tuan rumah kami dari


University of The Philippines berdatangan
mengajak kami makan di kompleks
mereka. Cofee Shop tempat kami minum
halo-halo, mereka anggap tidak
memenuhi syarat. Di restoran kampus
yang khusus untuk dosen itu, saya tidak
115
bisa menikmati makanan mereka. Kali ini
mungkin tidak ada hubungannya dengan
segala uber alles itu.

Tiba-tiba saya kangen restoran “masih


sepuluh”. Tiba-tiba saya bingung
mengapa saya sekaligus kangen, bangga
dan anyel dengan semua yang masih
terus saja kumal, lethek, sedep, indah
tetapi dari dulu masih di situu saja! Es
teler, dawet dan cao. Mengapa Prof.
Surapon from Thailand itu begitu rendah
hati menikmati halo-halo dengan
sejujurnya. Orang kaya bukankah lebih
bisa bersikap jujur dan rendah hati? Atau
tidak? Orang melarat bukankah lebih
membutuhkan gaya yang lebih seru dan
melihat sikap penthenthengan sebagai
katarsis yang sangat penting? Atau tidak?

Tetapi mengapa Prof. Surapon tidak


mau menjawab pertanyaan saya, apakah
dia senang atau tidak negerinya jadi
kaya. Dia cuma dengan mata merem-
116
melek menjawab mau ke Yogya tahun
depan dengan uang tabungannya. Dari
uang tabungannya! Trembelane tenan!
Dengan uang itu Prof. Surapon bisa
menikmati, melihat kemelaratan kita yang
indah.

Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem, Beni


Prakosa! Ayo sepulang saya nanti kita
mulai dodolan! Apukat kita yang di
belakang dan nangka kita yang di depan,
ayo kita jajakan di halaman. Nongko …
nongko … apokat … apokat. Es teler …
es teler …

Yogyakarta, 13 September 1988

117
Pasca Lebaran

PADA HARI kedua lebaran, pagi-pagi,


kami serumah dikejutkan oleh suara
“penggeng eyem … penggeng eyem .. “
dari Pak Joyoboyo. Terkejut, karena tidak
masuk dalam perhitungan dan harapan
kami bahwa pada hari kedua lebaran,
yang mestinya masih hari reriungan
dengan keluarga, Pak Joyoboyo sudah
harus berjalan ngukur jalan berkilo-kilo
untuk menyunggi tenong di kepalanya.
Tentu saja suara cempreng itu kami
terima dengan sangat senang. Bagi si
mBak, yang datang dengan suami dan
anaknya, si Gendut dan ibu anak-anak,
kedatangan Pak Joyoboyo itu adalah
kesempatan bertatap muka dengan tokoh
legendaris tersebut. Bagi Mr. Rigen, yang
kali ini tanpa Mrs. Nansiyem dan Beni
Prakosa tetapi ditemani oleh Madam yang
spesial diimpor dari Gunung Kidul,
118
kedatangan Pak Joyoboyo juga suatu
blessing karena mereka tidak perlu terlalu
panik lagi kekurangan lauk.

Pak Joyoboyo untuk sekejap kelihatan


grogi mendapat sambutan yang demikian
hebat. Bayangkan. Lain dari biasanya
yang hanya disambut oleh ketiga orang
termasuk si bedhes Beni Prakosa. Kali ini
tidak kurang delapan orang mengepung
dan ngerubung dia. Tetapi, bukan Pak
Joyoboyo kalau tidak dapat lepas dari
tekanan tatapan dari delapan orang saja.
Dengan roso percaya diri yang
meyakinkan, tenong itu dengan sebat
diturunkan. Lantas dibuka dan sebat pula
potongan-potongan ayan itu digelar,
disusun menurut gelaran perang
Bratayuda, yaitu gelaran Supit Urang ala
divisi Hastina versus gelaran Garuda
Nglayang ala divisi Pandawa. Bagi saya
dan Mr. Rigen, pertunjukan gelaran
seperti itu sudah merupakan show of

119
force biasa. Tetapi bagi brayat saya dari
Jakarta, pertunjukan itu adalah
pertunjukan yang mengagumkan. Si
Gendut yang ahli komentator spontan
memberikan kesannya yang pertama.

“Wah, keren, lho. Kayak parade senja


tujuh belasan di Istana Negara, Jakarta.”

Saya yang selalu peka buat komentar-


komentar yang menganggu stabilitas
nasional segera membentak dia.

“Hush! Yang benar. Masak ABRI kau


samakan dengan penggeng eyem. Ayo,
cabut komentarmu. Nanti dak cabut izin
makanmu, lho!”

“Eh, sorry … sorry. Kayak parade


satpam di Cipinang Indah. Ning pating
plethot itu, Pak, kalau parade satpam
Cipin.”

“Yo ben. Pokoke jangan ABRI. Pokoke


ABRI itu, … sudahlah … “
120
“Niki, Den, Pak. Sedaya sudah siap
diganyang.”

Maka dengan sebat sekian banyak


tangan pada sraweyan nuding-nuding
gelaran Perang Bratayuda tersebut.
Dalam sekejap susunan barisan, baik
yang Kurawa maupun Pandawa, jadi
bubrah, berantakan berpindah tangan. Si
mBak dan suaminya, Mr. Kebumen, dan
anak mereka si Kenyung serta si Gendut
segera pindah ke meja makan, langsung
sarapan dengan panggang ayam.
Meskipun rambut mereka masih dhawul-
dhawul dan pojok-pojok mata mereka
masih gemerlapan oleh setep-setep
mereka. Saya dan istri karena manula-
manula, ya harus kalem-kalem duduk
nyawang mukti-nya anak-anak yang pada
reriungan di seputar meja makan dan
nyawang Mr. Rigen, Madam berdialog
dengan Pak Joyoboyo.

“Ha, inggih, Mas Joyo. Wong hari


121
kedua lebaran kok ya sudah keluar jualan
niku, pripun?”

“Ha, sampeyan sendiri bagaimana, Bu


Madam? Lebaran-lebaran kok malah di
kutha. Dan Mas Rigen juga kok ya nggak
nyusul anak istri pulang ke ndeso?”

“Wee, lha. Kalau saya tidak sepiksial


turun dari Tepus ke sini sida berantakan
kerjaan Rigen di sini. Tuwek-tuwek begini
saya sepiksial diimport Pak Ageng, lho.”

“Lha, kula ya begitu, Mas Joyo. Kalau


saya nyusul mbokne thole dan thole Beni,
lha kasihan tamu-tamu dari Jakarta mesti
isah-isah piring dan cuci pakaian.”

“Lha, kan sama saja to dengan saya.


Pokoke kalau buat wong cilik seperti kita-
kita ini mesti lain etungan-nya!”

“Pripun etungane, Mas Joyo?”

“Ha, inggih to, Bu Madam. Nek kula


122
reriungan penuh di rumah, kerjaan
keteter, uang tidak masuk dan para bos-
bos pada kekurangan lawuh. Mangka
anak-anak di rumah habis liburan ini
butuh banyak pengeluaran sekolah. Lha,
sampeyan berdua kan sama saja, to?
Etungan-nya kalau reriungan di sini kan
ya lumayan persen-persen dari keluarga
bos sampeyan niku?”

Kedua orang itu tertawa nyekikik


merasa kena oleh analisa Pak Joyoboyo
yang selalu waskito itu.

“Sudah, to. Reriungan keluarga itu


buat kita-kita ini sak cukupnya saja.
Wong butuh kita lebih banyak dari bos-
bos niku. Kalau beliau-beliau itu memang
harus reriungan. Wong hidupnya mencar-
mencar dengan keluarganya. Lha, yang
tidak mencar-mencar dengan
keluarganya, ya tidak harus reriungan.
Jeneh bagaimana kalau tidak. Terus yang
jualan ketupat, bubuk dhele, ayam,
123
krecek, pete, tholo dan sak uba-rampene
makanan lebaran itu terus siapa? Itu
kewajiban para priyayi untuk
menyediakan makanan lebaran yang
mbruwah begitu. Mangkin mbruwah
semangkin baik buat mereka dan yang
penting juga buat kita-kita ini wong cilik.
Gitu lho, Mas Rigen, Bu Madam, ekonomi-
ne lebaran. Makanya sudah betul kita
hadir di sini waktu lebaran itu. mPun ah,
kula badhe neruskan lampah.”

Dan Pak Joyoboyo pun, sesudah


mengantongi uangnya dengan sebat dan
gembira, meneruskan perjalanannya
dengan disertai suara cempreng nan
legendaris, “penggeng eyem … penggeng
eyem …”. Saya dan istri masih duduk
berpandang-pandangan. Masih thenger-
thenger, kamitenggengen mendengar
penjelasan Pak Joyoboyo tentang
sosiologi dan ekonomi lebaran. Kadang-
kadang saya curiga jangan-jangan Pak

124
Joyoboyo itu seorang pakar ilmu sosial
tamatan luar negeri yang sedang
menyaru sebagai rakyat jelata dan ingin
ngece kaum kelas menengah yang
feodalnya nggak ketulungan, seperti saya.
Atau jangan-jangan malah teoritikus
Marxis! Habis, penjelasannya itu sering
kali begitu penuh dengan analisis kelas.

“Wah, Pak Joyoboyo itu hebat tenan


lho, Pak. Dia itu bisa kita katakan sebagai
filsuf sosial alam, Pak.”

“Eh, betul, Bune. Ahli ilmu sosial dan


sekarang filsuf sosial.”

Kami berdua kemudian terdiam.


Mungkin kami sama-sama ingat hal yang
sama. Kasbon kami di kantor kami
masing-masing yang semangkin
menumpuk buat lebaran tahun ini. Yah,
kalau menurut Pak Joyoboyo, demi
menjaga fungsi reriungan lebaran kaum
kelas menengah, to?
125
Yogyakarta, 24 Mei 1988

126
Di Republik Yang Egaliter Ini

Salah satu kenikmatan Minggu pagi,


bagi saya, adalah membiarkan tubuh
tetap menggeletak lama-lama di tempat
tidur. Mata boleh disilakan membuka pada
pukul enam atau tujuh, tetapi tubuh
biarlah tergolek menurut maunya sendiri.
Dalam keadaan begitu saya justru paling
merasa nikmat bila tubuh itu membujur
telentang. Muka menghadap langit-langit
dan telinga mulai menangkap suara-suara
di luar. Burung-burung, langkah-langkah
kaki orang ber-jogging, teriak anak-anak
dan suara para penjaja makanan yang
mulai bergerak menjelajahi kompleks.

Jelas kenikmatan begitu bukan


kenikmatan para petani yang tidak
mengenal hari Minggu pagi dan tetap
menjalankan rutin dan ritme kerjanya
sejak setiap pagi subuh. Mungkin juga
127
bukan kenikmatan buruh kecil kota, yang
meskipun tidak berangkat kerja pada hari
Minggu, tetapi naluri petaninya akan
mencegahnya untuk bermalas-malas
menggeletak di tempat tidur. Kenikmatan
Minggu pagi saya itu mungkin kenikmatan
kelas pekerja birokrasi yang masih
memiliki sisa-sisa naluri priyayi. Naluri
untuk mau mat-matan dan nglaras kapan
saja dan di mana saja …

“Penggeng eyem …! Penggeng eyem


…!”

Wah, kok suara pertama yang merobek


Minggu pagiku mesti suara Mas Joyoboyo,
lho! Saya tetap menggeletak, telentang di
tempat tidur. Saya ingin tahu suara-suara
apa yang kemudian akan terdengar
sesudah Mas Joyoboyo melempar
provokasi dengan suaranya yang
cempreng. Biasanya, si bedhes cilik Beni
Prakosa yang akan sigap menanggapinya.

128
“Penggeng eyem, Pak Ageng!
Penggeng eyem, Pak ….!”

Nah, rak tenan, to! Mr. Rigen yang


sedang menyapu ruang tengah segera
terdengar menertibkan anaknya.

“Hus, huss. Jangan bengak-bengok.


Pak Ageng biar dulu di kamar!”

Suara tenong yang berisi panggang


ayam terdengar mak sreett di geser di
lantai ruang depan.

“Wah, Bapake masih sare ya, Mas


Rigen?”

“Haa, enggih. Wong hari Minggu ya


buat ngaso to, Mas Joyo.”

“Ngaso buat priyayi macam beliau.


Buat priyayi macam kita? Apa ya bisa dan
diparengke, diijinkan oleh Sing Kuaos to,
Mas Rigen.”

129
“Yak, sampeyan kok ya lucu, lho, Mas
Joyo. Mosok kita priyayi? Kita ini buruh,
Mas. Buruh cilik.”

“Iya, sudah tahu saya, Mas, kalau


bukan priyayi. Cuma kadang-kadang
boleh to, Mas, kita menganggap diri kita
priyayi?”

“Ya, kalau cuma begitu tentu boleh-


boleh saja. Bahkan membayangkan suatu
ketika tidak cuma jadi priyayi, tapi
priyagung, priyayi sing gedhii banget itu
ya boleh-boleh juga.”

Kedua orang itu tertawa dengan


renyah-nya. Dan Beni Prakosa pun ikut-
ikutan tertawa tanpa mengerti betul apa
yang ditertawakan bapaknya. Solidaritas
anak kepada bapaknya agaknya memang
sudah sejak dini sekali dipupuk oleh alam.

Karena gelagatnya percakapan itu


masih akan seru dan menarik, saya

130
memutuskan untuk tidak bangun dulu
dari tempat tidur, melainkan cukup
dengan menggeser lempeng saya miring
ke kiri. Telinga saya pasang baik-baik.

“Eeh, siapa tahu, ya Mas Joyo. Siapa


tahu bayangan kita itu satu waktu bisa
kita capai. Jadi priyayi.”

“Wah, kalau perkara itu saya tempoh


hari sudah matur Bapak sampeyan itu.
Saya sudah semeleh. Pasrah dhapukane
Gusti Allah. Kalau Sing Kuaos itu satu hari
mau ndhapuk kita mandeg jadi priyayi,
ya manut, ndherek saja.”

“Ya, harapan saya itu pada thole


Prakosa ini. Lahirnya saja tanggal 5
Oktober, hari ABRI. Dak gadang-gadang
bisa jadi jendral. Lha, jendral itu „kan juga
priyagung to, Mas Joyo?”

“Wee, lha enggih! Lha, nek anak saya


itu katanya kepingin jadi nginsinyur. Itu

131
„kan juga priyagung to, Mas Rigen?”

“Wee, lha enggih! Mung bedane itu


sipil!”

“Lha, kalau anak-anak kita itu jadi


priyagung, mosok mereka tidak akan
mikul dhuwur mendhem jero, nggih?”

“Oh, ya harus, Mas. Paling tidak


mereka harus membolehkan kita ikut
mulyo. Apes-apesnya ya nunut naik
Mercedes mereka to, nggih?”

“Wee, naik Mercedes. Lha, terus


tenong panggang ayam saya dak taruh di
mana, lho?”

“Sampeyan itu bagaimana. Sudah jadi


priyagung, sudah naik mercedes kok
masih mikir jualan panggang ayam di
tenong!”

“Lho, mboten jualan, Mas Rigen.


Waktu itu saya akan mborong panggang
132
ayam sak tenong buat oleh-oleh anak
cucu. Priyagung mosok tidak kuat
mborong ayam panggang sak tenong,
lho!”

Mereka pun tertawa renyah lagi. Beni


Prakosa ikut-ikutan lagi.

“Tapi kayaknya, eh, mestinya priyayi


dosen seperti Bapak sampeyan itu sudah
enaknya begitu, lho. Mentang-mentang
hari Minggu bisa tidur mbangkong. Jam
setengah sanga kok masih enak tidur.
Weh, lha kalau sudah tingkat priyagung
apa ya tidak tiap hari mbangkong, lho?”

Saya tertawa nggleges di tempat tidur.


Rasanya seperti Prabu Angling Darma
yang tgertawa sendirian mendengar
obrolan dua ekor cicak di langit-langit
kamarnya.

Tujuh belas Agustus 1987 belum lama


lewat. Empat puluh dua tahun sudah kita

133
bikin republik yang egaliter. Weh, lha, kok
begitu lho, cara Mas Joyoboyo dan Mr.
Rigen menyawang, mamandang kita ..

Di Jakarta, waktu saya pulang, istri


saya rupanya masih tercekam dengan
berita hot tentang Mangkunegaran.

“Tempoh hari, beberapa minggu


sebelum Bapak seda, kan beliau dapat
kekancingan menjadi raden mas
tumenggung … “

Ya Allah, berilah tempat yang lapang


bagi arwah ayah hamba. Dan bagi kami
yang ditinggalkan di republik ini ….

Yogyakarta, 25 Agustus 1987

134
Senyum, Kekasihku Senyum

Beni Prakosa menerima tugas itu


dengan muka yang amat cerah. Betapa
tidak, tugas itu adalah mencegat Pak
Joyoboyo untuk mampir ke rumah. Sudah
agak lama penjaja ayam panggang Klaten
itu tidak singgah karena akhir-akhir ini
saya lebih banyak berada di Jakarta.
Terutama pada hari-hari
persinggahannya, yang biasanya jatuh
pada hari Minggu dan kadang-kadang
juga pada hari Kamis.

“Beni, ayo sana duduk di lincak depan.


Kalau Pak Joyoboyo lewat, panggil ya!”

“No, Pak Ageng. Eh … yes, yes, Pak


Ageng.”

“No, yes, no, yes. No apa yes?”

“Yes, yes. Yes itu inggih, kan?”


135
Beni pun njranthal, lari secepat
Purnomo*) ke teras depan, langsung
duduk bersila di lincak. Matanya
memandang ke depan, mulutnya
ndremimil menirukan cara Pak Joyoboyo
menjajakan ayamnya. Penggeng eyem, …
penggeng eyem … Akhirnya suara asli
Joyoboyo itu kedengaran juga di
kejauhan. Beni pun langsung mlorot ke
bawah lari mendapatkan orang yang
sudah didambakannya itu.

“Wah, Pak. Kok saya dijotak lagi, tidak


pernah ditimbali lagi.”

“Lho, ya tidak to, Mas Joyo. Soalnya


kalau sampeyan lewat daerah sini,
kebetulan saya ada di Jakarta.”

Beni Prakosa tanpa ditawari atau


disilakan sudah membawa piring kecilnya
dan mencomot satu tusuk sate usus
dibawa lari ke dalam.

136
“Pripun, Mas Joyo. Sampeyan punya
cerita-cerita baru apa yang menarik?”

Mas Joyo cuma tersenyum lebar sambil


tangannya cak-cek dengan ketrampilan
seperti biasanya membungkus pesanan
saya.

“Lho, dimintai dongeng kok sampeyan


malah cuma klencam-klencem, senyum-
senyum saja, Mas.”

“Begini lho, Pak. Kalau cerita seru dan


serem itu, ya saya tidak punya. Tapi kalau
cerita ngrasani sing cilik-cilikan, ya selalu
ada.”

“Naa, … ya itu yang saya maksud,


Mas. Cerita cilik-cilikan yang seperti itu
yang biasanya lebih penting dan lebih
gayeng.”

“Saya tadi itu klencam-klencem karena


ingat adik ipar saya yang jadi polisi, Pak.
Dia itu sekarang dapat perintah untuk
137
sebanyak mungkin tersenyum.”

“Lho, perintah kok untuk tersenyum.”

“Lha, inggih niku, Pak. Ning itu


perintah.”

“Terus?”

“Lha, maksudnya supaya polisi itu


ketok tampil ramah, gitu lho, Pak.
Lucunya atau ciloko-nya adik ipar saya itu
sekarang sedang tengkar terus sama adik
ibunya thole. Ditambah lagi giginya itu
juga sedang kumat. Wah, jadi ya repot
banget melaksanakan perintah mesam-
mesem itu.”

Saya jadi dapat membayangkan


kerepotan adik ipar Pak Joyoboyo itu.
Sedang tengkar sama istri, gigi krowok
kumat, cekot-cekot, dapat perintah untuk
selalu tersenyum sama rakyat. Mana
tanggal tua lagi. Wehh.

138
“Lha, niku, Pak. Kocapo adik ipar saya
itu meskipun polisi, rasa solider sama
masyarakat niku besar. Dia selalu ikut
siskamling. Waktu beberapa malam yang
lalu dia diampiri untuk siskamling, dia
mangkir karena soal istri dan gigi itu. Eh,
kok teman-teman kampung itu malah
nggrundel. Katanya adik ipar saya itu
solidernya mung lamis saja.”

“Terus, terus?”

“Ya, terus adik ipar saya itu marah.


Kelompok siskamling itu dimarahi dan
dipisuhi semua. Lha, esok harinya
kedengaran sama kumendan-nya. Ganti
dia dimarahi karena lupa perintah
“operasi senyum-senyum” itu. Wah, …
adik ipar saya itu merasa sial tenan
sekarang. Istrinya masih merengut
karena belum dibelikan giwang, giginya
yang krowok belum sembuh, senyum
belum bisa, hati masih kudu anyel terus,
sekarang tambah dimarahi kumendan-
139
nya. Saya itu kasihan sama dia, ning ya
kudu tertawa saja. Weh … pemerintah,
pemerintah, wong perintah kok kudu
senyum, lho.”

“Mas Joyo, sampeyan jangan begitu,


lho. Perintah itu kan baik-baik saja, to?
Supaya polisi itu tidak ketok medeni,
menakutkan, gitu lho.”

“Yakk, … Bapak. Polisi itu yang bikin


medeni kalau dia mulai aeng-aeng, aneh-
aneh sama wong cilik. Kalau tidak aeng-
aeng, lha, mbok tidak usah tersenyum ya
tidak menakutkan, Pak.”

“Lha, yang sampeyan maksud dengan


aeng-aeng itu apa to, Mas Joyo?”

“Yakk, … Bapak. Gaharu cendana pula,


sudah tahu bertanya pula ….”

Sambil berkata begitu, dengan


tersenyum lagi, Mas Joyoboyo pun

140
mengangkat tenong-nya pergi. Weh …
rupanya hafalannya di SD dulu tentang
peribahasa masih lengket di kepalanya.
Lumayan.

Saya tercenung di kursi malas ruang


depan itu. Saya lihat di halaman depan, di
rerumputan, Mr. Rigen mengaso sehabis
menyapu halaman. Mrs. Nansiyem
nglesot di sampingnya sehabis mencuci
pakaian seisi rumah. Dan sang pangeran,
Beni Prakosa masih mengetet-etet sate
usus yang tidak kunjung putus. Wajah
mereka ceria di pagi hari yang cerah itu.
Serba tersenyum. Setahu saya, baik saya
atau Mr. Rigen belum pernah
melancarkan “operasi senyum” di rumah
kami.

Yogyakarta, 26 Januari 1988


*) Purnomo : sprinter Indonesia yang pernah
ikut Olimpiade Los Angeles, 1984

141
Mikul Dhuwur, Mendhem Jero

Ayah kenalan lama saya belum lama ini


meninggal dunia. Saya memutuskan
untuk datang melayat. Kawan saya itu
dulu teman sekuliah kemudian entah
bagaimana dia sukses menaiki jenjang
karier, berhasil menjadi seorang direktur
di satu departemen yang renes bin basah.
Sumpah, bukan karena dia direktur dan
priyagung yang begitu penting maka saya
memutuskan untuk melayat. Saya
melayat karena dia adalah seorang kawan
yang kesusahan. Juga karena, dulu
semasa kuliah, hubungan kami lumayan
akrabnya. Bahkan sekali dua kali saya
pernah diajak menginap di rumah orang
tuanya di satu desa di lereng Gunung
Merapi yang subur. Sering kali saya
mengenang hari-hari yang
menyenangkan menginap di rumah orang
tuanya yang ramah dan sederhana itu.
142
Rumahnya tidak berapa besar, dari kayu,
berpotongan limasan sederhana.
Pekarangan rumahnya juga tidak
seberapa besar, ditumbuhi pohon buah-
buahan. Jambu kaget, mangga arum
manis dan duwet hitamnya tidak pernah
saya lupakan hingga sekarang. Juga
suasana yang adem dan teduh dari
rumah itu serta sayur lodeh dan sambal
terasi yang dihidangkan di meja makan
mereka masih sering dengan jelasnya
menyusup dalam kenangan saya. Orang
tua itu, sungguh pensiunan guru yang
menghabiskan masa tuanya dengan
bahagianya.

Pilihan pekerjaan yang berbeda serta


tempat bertugas yang berjauhan, dia di
ibukota saya di pedalaman, telah
memisahkan saya dan kenalan itu hingga
bertahun-tahun lamanya. Dan dengan itu
juga hubungan saya dengan orang
tuanya di desa yang indah itu. Tentu

143
sekali-sekali saya membaca berita-berita
tentang dia di surat kabar dan melihat
wajahnya di layar TV. Juga satu dua kali
pernah bertemu di resepsi ini dan itu di
Jakarta atau pesta perkawinan di Yogya.
Setiap bertemu yang sebentar-sebentar
begitu tentu kami bertukar salam akarab,
saling berjanji untuk saling mengunjungi
dengan keluarga kami, bahkan juga untuk
naik gunung ke rumah orang tuanya.
Tetapi, kerja dan karier memang bisa
kejam sekali. Mesin tempat kami bekerja
tidak pernah mengizinkan kemewahan-
kemewahan kecil, seperti berkunjung ke
rumah kawan berjalan sangat mulus.
Sayur lodeh,sambal terasi, jambu kaget,
duwet hitam adalah ornamen-ornamen
kecil yang agaknya tidak relevan dengan
efisiensi mesin. Maka, begitu saya
mendengar bahwa orang tua itu
meninggal, saya putuskan untuk melayat
ke desa bagaimanapun susah dan rumpil-
nya jalan ke sana.
144
Jip tua, reyot dan knalpotnya yang
gemuruh suaranya itu, dengan terengah-
engah mendaki tanjakan terakhir menuju
desa tersebut. Mr. Rigen yang sebentar-
sebentar mendesah dan melenguh karena
kondisi mesin dan knalpot jip yang rawan
itu, harus saya akui, adalah seorang sopir
amatir (karena menurut dia belum
“propesi”) yang cekaran dan tangkas.
Tikungan-tikungan jalan yang mendaki
dia lalap bagai sopir taksi di Beirut. Tiba-
tiba pada jarak satu kilometer dari desa
tujuan kami, jalan itu berubah menjadi
jalan yang beraspal mulus sekali. Ini
bukan kondisi jalan yang dulu beberapa
kali saya lewati. Kemudian kira-kira lima
ratus meter dari batas desa, kami melihat
mobil-mobil berplat AB, B, H, AD, L dan
entah apa lagi, berderet di pinggir jalan.
Mercedes, Volvo dan segala merk mobil
Jepang terwakili pada deretan itu. Juga
selain mobil jenazah yang super de lux,
saya melihat tiga bus Hino berderet
145
dengan megahnya.

Waktu saya turun memasuki halaman


rumah mulut saya nyaris otomatis
ternganga lebar. Betapa tidak. Halaman
rumah yang dulu penuh dengan pohon
jambu kaget, mangga arum manis dan
duwet hitam itu sudah berubah. Di
halaman itu, sekarang tumbuh pohon-
pohon sawo kecik yang megah, yang
mengingatkan saya pada rumah-rumah
bangsawan di jeron beteng di kota. Dan,
rumah itu! Astaga! Lenyap sudah rumah
kecil sederhana berpotongan limasan itu.
Sekarang, di hadapan saya berdiri satu
rumah besar, megah, beratap sirap
dengan pendopo joglo. Tiang-tiangnya
berukit Jepara di pinggir diplipit prada
yang kemilau. Kemudian saya baru
menyadari keadaan di pendopo itu.

Jenazah itu tergeletak di tengah, di


kepung oleh karangan-karangan bunga.
Kemudian saya lihat teman saya itu
146
berbaju surjan sutera hitam lengkap
dengan kain dan blangkon gaya
Mataraman. Begitu juga saya lihat kaim
kerabatnya. Baik yang lelaki maupun yang
perempuan semua berpakaian daerah
lengkap berwarna hitam. Lalu saya
mendengar suara kaset gamelan
mengalunkan lagu “Tlutur” yang
menyayat hati. Kawan saya dan istrinya
dengan tergopoh menyambut kedatangan
saya. Kami berangkulan. Sejenak, untuk
beberapa detik, saya tercekam keharuan.
Berapa tahun sudah sang waktu dan sang
mesin birokrasi telah mengasingkan kami.
Tetapi, aneh sekali waktu saya lihat
matanya yang basah karena air mata itu,
kok saya tidak menangkap sinar
kesedihan melainkan justru sinar
kebanggaan. Dan seakan dia bisa
membaca rasa ngungun saya, dia pun
berkata,

“Yahh, … cuma beginilah, Mas, yang

147
bisa saya lakukan memuliakan orang tua
saya.”

Saya manggut-manggut sembari


berjalan digandeng masuk di deretan
kursi kehormatan dekat pringgitan.

“Orang Jawa bilang anak laki-laki itu


harus bisa mikul dhuwur, mendhem jero,
memikul tinggi-tinggi, menanam dalam-
dalam. Sebisa-bisa saya, itu sudah saya
laksanakan. Kau lihat rumah ini sudah
saya sulap menjadi rumah begini.”

“Wahh, … ini rumah bupati zaman


dahulu, Dik.”

“Yakk, ya belum, Mas. Baru mencoba


mendekati. Upacara pemakaman ini
sengaja saya bikin megah. Supaya Bapak
marem. Semua rekan-rekan di kantor
kanwil di tiga propinsi saya datangkan
untuk membuat suasana khidmat tapi
regeng. Ya, lumayan to, Mas, kalau dilihat
148
dari banyaknya tamu dan banyaknya
mobil yang datang. Yah, biar Bapak lega
dan marem di hari akhirnya. Kau masih
ingat „kan bagaimana sederhananya
Bapak saya itu. Terus nenuwun, puasa
Senin-Kemis, ngrowot dan entah apa lagi.
Semuanya agar anak-anaknya bisa hidup
mulyo. Yah, berkat tirakat itu kau lihat
sendiri to, Mas. Saya dan adik-adik
selamat meniti karier.”

Huwihh, lumayan? Kalau ini lumayan


terus yang telah saya capai selama ini,
apa dong? Saya ngunandika dalam hati.

Waktu jenazah diberangkatkan, lagu


“Tlutur” yang sedih itu justru berhenti,
diganti dengan kagu “Gleyong”. Saya
terpana, lagu Gleyong? Bukankah lagu itu
lagu yang biasa dimainkan ki dalang
untuk mengiringi Prabu Suyudono kalau
jengkar kedaton? Iring-iringan mobil yang
mengiringi mobil jenazah ke arah selatan
kota itu telah menggegerkan desa-desa
149
yang kami lalui. Sungguh satu peristiwa
dahsyat dan mengagumkan bagi
penduduk. Suara sirene mobil meraung-
raung di jalanan pedesaan yang sepi itu.
Mobil berpuluh beriringan. Bus-bus. Dan
bunga-bunga yang disebarkan dengan
uang recehan lima puluh sen yang entah
berapa jumlahnya.

Jip kami tertatih-tatih ingin mencoba


mengikuti laju iringan mobil-mobil itu.
Suara mesinnya kemrosak, suara
knalpotnya gemuruh, tetapi larinya kok
terpincang-pincang. Waktu masuk kota di
jalan Magelang, tiba-tiba terdengar
“grobyak!” Knalpot itu patah dan jatuh
terguling. Mr. Rigen menghentikan mobil
dan memarkirnya di pinggir jalan. Knalpot
yang terkapar di jalan dipungutnya dan
ditunjukkan kepada saya. Saya tersenyum
karena knalpot itu mengingatkan saya
pada patung seni rupa baru.

“Mr. Rigen, enaknya kita istirahat di


150
warung soto depan situ. Nututi iringan
mobil itu juga percuma, Setuju?”

“Siippp, Bos.”

“Dapurmu!”

Sambil menyruput kaldu soto yang


cuwernya seperti air Kali Code itu, saya
jadi minder ingat kemegahan upacara
pemakaman hari itu. Memang kawan saya
itu priyagung yang hebat. Punya roso
darma yang canggih. Dibanding dengan
itu, pemakaman ayah saya tempo hari,
wah, kok sederhana dan polos-polos saja.
Masih terngiang di telingaku dan
terbayang mukanya yang penuh khidmat
waktu bilang : mikul dhuwur, mendhem
jero …..

Yogyakarta, 28 Juli 1987

151
Tentang Gaya Hidup Jakarta,
nJukja dan Ngawi

Di Jakarta kemarin, saya ketemu


kawan lama, seorang ekonom tamatan
Harvard. Seperti biasanya bila dua orang
kawan lama tidak ketemu, percakapan
pun merembet ke mana-mana dan
merembet ke pribadi-pribadi lain yang
juga sudah lama tidak ketemu.

“Lha, si Usman itu bagaimana


sekarang? Apa juga masih setia mengajar
seperti kamu?”

Adapun yang saya sebut sebagai si


Usman adalah juga seorang kawan lama,
seorang tamatan Harvard Business
School. Cemerlang, mengajar dengan
penuh dedikasi di salah satu universitas
negeri, karena itu pas-pasan saja
ekonominya. Kayak kata “business” dan

152
“Harvard” itu tidak ada dampaknya yang
berarti dalam hidupnya.

“Naahh, itu. Usman, jangan kaget,


sudah meninggalkan dunia pendidikan.
Keluar dari fakultas kami dan pindah kerja
di satu perusahaan raksasa.”

“Pindah kerja? Ke perusahaan raksasa?


Rasanya kok susah membayangkan si
Usman kerja di perusahaan.”

“Susah kalau hanya membayangkan


pekerjaannya. Tapi, kalau lu bayangin
gajinya barangkali jadi tidak terlalu susah
lagi. Mau tahu gajinya sekarang di
perusahaan itu?”

Saya menggelengkan kepala masih


membayangkan Usman yang sederhana
dan penuh idealisme itu mengabdikan
dirinya di luar dunia keilmuan dan
pendidikan.

“Lima belas juta rupiah!”


153
“Setahun?”

“Huss! Kok setahun?! Sebulan, dong!”

Astaghfirullah. Gek seberapa banyak


uang segitu?

“Uwahh! Terus untuk apa uang sak


pethuthuk, sak hohah dan sak abreg-
abreg itu? Mbayangin banyaknya saja
sudah susah. Tunggu, tunggu. Dua belas
kali lima belas juta. Jadi berapa ya
terimanya si Usman setahun?”

“Ya, seratus delapan puluh juta rupiah,


dong.”

“Huwahh! Lha, itu berarti dia bisa beli


dua rumah setahun, gitu!”

Kawan saya tertawa terkekeh-kekeh.


Pundak saya dia gaploki beberapa kali.

“Geeng, Geng! Elu itu kok masih udik


nYukja bener, sih. Bahkan mungkin
154
nYukja saja kagak. Ngawi barangkali!”

“Elho! nYukja atau Ngawi atau


Cambridge Massachusett, ngelmu
aritmatikanya kan sama saja, toh? Di
kompleks tempat saya tinggal, Cipinang,
kau bisa beli maisonette lima pulub lima
juta sebiji. Kalau si Usman beli dua
maisonette setahun itu baru seratus
sepuluh juta rupiah. Seratus delapan
puluh juta diambil seratus sepuluh masih
…. “

“Ha … ha … ha … Ya, itu aritmatika


nYukja atau Ngawi. Hitung-hitungan itu
kan terkait sama gaya hidup, Bung. Kalau
gaya hidup nYukja yang cuma sekitar
gudeg dan Ngawi yang cuma tempe, iya
lah! Si Usman bahkan bisa beli tiga rumah
setahun dengan gaya hidup dua kampung
itu. Tapi kalau kau ukur dengan gaya
hidup Jakarta, belum tentu gaji sebesar
itu cukup buat si Usman.”

155
Saya jadi merasa tersinggung
dikatakan tidak tahu gya hidup Jakarta.
Jelek-jelek begini kan saya punya rumah
di Jakarta. Dan gaya hidup? Eh, sekali-
sekali saya kan singgah juga di Pizza Hut
melahap pizza yang sebesar nampan
dapur. Makan di Teppanyaki di Tokyo
Garden dan Shima. Makan sea food di
Yun Nyan atau Kingdom. Mendengarkan
jazz di Borobudur, Sahid Jaya atau
Mandarin, dan hahhh (!), juga es krim
Haagen Dasz yang dahsyat itu!

Kurang tahu apa aku dengan gaya


hidup Jakarta. Dan orbit perpusaran
socialite, kaum elit, di Jakarta, toh aku
tidak terlalu asing. Sekali-sekali undangan
cocktail, dinner dan lunch dengan para
tokoh mancanegara aku juga kecipratan.
Kurang apa, kurang apa?! Eh, trembelane
tenan! Kawan saya itu malah semangkin
terpingkal tertawanya mendengar deretan
pembuktianku tentang tidak asingnya aku

156
dengan gaya hidup Jakarta.

“Ho … ho … ho … Orang dengan gaji


seperti Usman di Jakarta itu sudah punya
konsep lain tentang gaya hidup Jakarta.
Berlibur weekend atau main golf di Bali
itu, seperti kau mau jajan tempe bacem
dan jadah ke Kaliurang. Weekend,
mereka ke Pulau Phuket di Thailand atau
ke salah satu pulau kecil di lepas pantai
Malaysia. Dan liburan mereka yang
beneran ya ke mana saja. Ke Maldives,
Gstaad, Sapporo, ke desa kecil di Swedia
atau ke Kepulauan Karibia. Pokoknya ke
tempat-tempat yang tidak umum.
Setidaknya buat kita.”

“Dan, dia antara mereka itu ada


semacam, entah itu, persaingan atau
persengkongkolan untuk saling
mendahului, menduduki tempat-tempat
itu. Singapur, Hong Kong, Tokyo, New
York? Kecil itu, buat mereka. Terlalu
ordinaire, terlalu biasa. Belum lagi yang
157
mereka belanjakan. Belum lagi cara
mereka meng-entertain, menghibur atau
menjamu relasi-relasi mereka. Nah, apa
cukup uang lima belas juta sebulan itu?
Apa lagi mereka keluarkan uang itu
dengan uang plastik atau credit card itu.
Charge … charge … charge … tahu-tahu
dapat peringatan dari bank kalau
cadangan mendekati garis merah.”

Waktu kami berpisah, saya masih


terbayang-bayang tampang Usman. Apa
iya Usman akan atau sudah menjalani
gaya hidup Jakarta yang kayak begitu?
Saya masih ingat rumahnya di Tebet dulu
waktu masih mengontrak. Sekali-sekali
kami singgah di rumah kontrakan yang
sederhana itu. Kami disuguhi ketoprak,
asinan atau gado-gado. Tidak pernah
lebih mewah dari itu. Saya ingat pernah
ketemu Usman sekeluarga nonton
Srimulat di TIM sambil masing-masing
mengunyah tahu Sumedang dan

158
menyedot teh Sosro. Itu pun gantian
nyedotnya. Sekarang? Waahhh, apa iya
sampai di Gstaad dia main ski. Berenang-
renang dengan snorkel di Laut Karibia
yang biru itu. Berajojing di Crazy Horse
Paris? Waahh, berantakan semua
gambaran saya tentang Usman di benak
saya. Seperti kepingan-kepingan
kaleidoskop yang berwarna-warni. Ya,
semoga happy sajalah kau Usman. Tiba-
tiba mulutku mencong tersenyum sendiri.
Dapurmu! Lima belas juta, jee!

Minggu pagi itu, di rumahku di


mBulaksumur, seperti biasa Mr. Rigen
bertanya menu makan siang.

“Pak, bagaimana kalau siang ini saya


masak brongkos? Sudah lama tidak
masak brongkos. Dengan kikil, kacang
tholo besar, lombok ijo, tempe dan tahu.
Nanti saya pilihkan kluwak-nya yang tua-
tua. Nggih, begitu saja, nggih? Pasti
brongkos itu nanti dahsyat dan mlekoh …
159

Saya mengangguk-angguk saja di kursi


malas. Dalam pikiran saya bagaimana
kalau si Usman pada waktu pagi itu ikut
duduk mendegarkan Mr. Rigen …

Yogyakarta, 1 Maret 1988

160
Subur Kang Sarwo Tinandur

Untuk pendidikannya yang cuma SD


from Pracimantoro, kegemaran Mr. Rigen
membaca berbagai surat kabar dan
majalah, mengagumkan juga. Kompas,
Suara Pembaharuan dan Kedaulatan
Rakyat dilalap habis. Tempo dan Editor
diganyangnya pada gambar-gambar
advertensi dan foto-fotonya. Persoalan
politik dan militer di dalam dan luar
negeri dikuasainya. Berita-berita skandal
seks dan kriminal, apalagi! Daharan-nya
sehari-hari.

Kepatuhan dan kepercayaannya


kepada dunia media sangat mengharukan
sekaligus mengkhawatirkan. Bagaimana
tidak, semua yang dibacanya diterimanya
sebagai kebenaran yang tidak
tergoyahkan lagi. Reagan dan Gorbachev
sama betulnya. Keterangan pemerintah
161
semuanya benar dan baik. Mobil merk
BMW adalah mobil yang paling bagus.
Rokok Djarum adalah rokok yang paling
hebat dan Essaven adalah obat ambeien
yang paling dahsyat. Sampai pada suatu
hari saya ajak diskusi tentang berita
kriminal di desa.

“Ini bagaimana, Gen. Kok kehidupan di


desa sangsoyo rusuh.”

“Rusuh pripun? Wong ndeso niku adem


ayem, tidak ada apa-apa kok rusuh to,
Pak.”

“Lho, kamu mengikuti berita di koran-


koran, tidak?”

“Ya, mengikuti to, Pak. Ning kabar


ndeso rusuh itu kok saya tidak lihat.”

“Lha, itu kabar simbah yang ngracun


cucunya dengan racun tikus. Mantu
membunuh mertuanya dengan endrin.
Pemuda-pemuda sorak-sorak menggiring
162
orang kumpul kebo dengan menyuruh
mereka berjalan bugil. Apa semua itu
bukan gejala desa sangsoyo rusuh?”

“Oohh, itu to? Kalau menurut saya


koran-koran kota itu kalau memberitakan
keadaan desa kok suka ditambah-
tambahi. Biar ramai.”

“Jadi, menurut kamu kabar-kabar


seperti itu sesungguhnya tidak terjadi di
desa?”

“Ya, kalau pembunuhan, sekali-sekali


ya terjadi to, Pak. Tani pacul-paculan
gara-gara rebutan air. Gerombolan
rampok lewat, ngrampok rumah orang
sugih di desa. Ning nek sing aneh-aneh
seperti simbah ngracun putune pakai
racun tikus, pemuda ngarak orang
disuruh bugil, itu apa ya memper, Pak?”

“Lho, zamannya baru zaman edan kok,


Gen. Mosok tidak mungkin?”

163
“Ya, sak edan-edannya wong ndeso,
tidak mungkin ada simbah membunuh
cucunya sendiri. Bapak kan sering dolan
ke desa. Kan, Bapak pirsa sendiri
bagaimana simbah di desa itu sayangnya
sama putu habis-habisan. Kok ini diracun.
Pakai racun tikus lagi. Dan pemuda-
pemuda desa itu, Bapak pirsa juga kan?
Rukunnya mboten jamak, kok ini
diberitakan ugal-ugalan, menelanjangi,
terus mengaraknya keliling desa. Tak
mungkin, tak mungkin … “

Mr. Rigen yang selalu patuh dan


percaya kepada semua berita di koran
dan majalah, tiba-tiba jadi seperti kena
sengat waktu ada berita yang miring
tentang desa. Berita-berita itu jadi tampil
sebagai berita yang dibikin-bikin. Sebagai
sensasi untuk mencari kegemparan.
Suaranya jelas menampakkan kegetiran.
Kengototannya mengucapkan “tidak
mungkn, tidak mungkin” bagaikan

164
almarhum Jhoni Gudel, menunjukkan itu
semua. Saya pun jadi miris. Itu suara
rakyat yang tidak trimo.

Saya pun jadi manggut-manggut saja.


Tetapi di dalam hati saya terus bertanya
bagaimana hal-hal yang memang benar
terjadi itu disangkal dengan sengit oleh
Mr. Rigen. Memang selalu ada
kemungkinan pemberitaan itu dibumbui
untuk menambah selera sajian berita,
tetapi kenyataan juga menunjukkan
bahwa hal-hal tersebut telah diproses
lewat otopsi di rumah sakit untuk korban
yang dibunuh, dan semua peristiwa itu
telah pula diajukan ke sidang pengadilan.
Dan Mr. Rigen juga membaca semua itu
di koran. Toh dia menolak itu sebagai
suatu kenyataan. Apakah justru karena
saking pedih hatinya melihat semua itu
terjadi di desa, sehingga Mr. Rigen
menyangkal dengan keras semuanya.
Seakan-akan dengan begitu hatinya jadi

165
tenteram. Saya tidak tahu.

Hari Minggu berikutnya, Pak Joyoboyo


singgah ke rumah. Saya sedang malas
mengobrol. Maka saya hanya tiduran di
kamar sembari membaca. Kepada Mr.
Rigen sudah saya instruksikan agar
membeli beberapa potong ayam
panggang untuk sarapan siang saya. Dari
kamar saya dengar jelas obrolan mereka.

“Wah, pripun Mas Rigen. Wong cilik di


desa saya semangkin susah hidupnya. Di
desa sampeyan bagaimana?”

“Lha, ya sama saja. Apalagi daerah


saya itu tandus. Tidak menghasilkan apa-
apa. Maka kebanyakan dari kita ya
ngumbara cari makan di kota. Seperti
saya ini.”

“Lha, harga-harga edan-edanan


mahalnya kayak sekarang ini bagaimana?
Kita wong cilik ini terus disuruh makan

166
sama apa, nggih?”

“Ya, makan sisanya wong-wong yang


luwih sugih dari kita, Mas. Habis harus
bagaimana? Wong orang kayak kita ini
ditakdirkan kalah terus, kok.”

“Wah, sampeyan kok pagi ini mendung


banget to, Mas. Apa Pak Ageng marah
sama sampeyan?”

“Tidak marah. Cuma pertanyaannya


tentang macam-macam kejahatan di desa
itu membuat saya marah dan bingung.
Lha, wong ndeso kok sekarang ini jadi
macam-macam begitu, lho. Yang mbunuh
putu, yang ngracun endrin, yang ngarak
orang bugil. Mestinya itu semua saking
bingung susahnya cari makan ya, Mas?”

“Nggih mbok menawi mawon, Mas


Rigen. Wong hidup di ndeso jan susah
betul, kok.”

“Lha, buktinya jaman saya kecil dulu,


167
jaman nurmal atau neromal gitu, katanya,
saya kok tidak pernah dengar kabar yang
aneh-aneh kayak begitu. Sampeyan
waktu kecil pernah dengar kabar simbah
mbunuh putune dhewe, Mas Joyo?”

“Yak, ya tidak pernah, Mas Rigen.


Sudah ah, saya pamit dulu. Pagi-pagi kok
kita sudah ngobrol yang bikin perut
mules, kepala pusing. Pun kita wong cilik
pasrah kersaning Allah, Mas Rigen.”

Saya dengar Pak Joyboyo berjalan


menjauh dan di jalan mulai meneriakkan
lagunya yang terkenal, penggeng eyem
… penggeng eyem …. Beni Prakosa yang
rupanya kelupaan dibelikan setusuk sate
usus, berontak kepada bapak dan ibunya.
Suara rengekannya menyebalkan betul di
pagi itu.

“Pak, sate usus, Pak. Buk, sate usus,


Buk. Pak, sate usus, Pak. Bu, sate ….!”

168
“Diam apa tidak! Diam apa tidak!
Dibilangin nggak ada sate usus kok ribut!”

“Pak, sate usus, Pak. Buk, sate usus,


Buk!”

“Eh, kok malah rewel! Malah nangis.


Nanti dak racun tikus baru tahu rasa
kamu. Diam!”

Astaga ……

Yogyakarta, 9 Februari 1988

169
Air Dan Hidup Ngrekasa

Di Koran Senin pagi itu, saya membaca


tentang kekeringan air di Pracimantoro.
Segera saya panggil Mr. Rigen yang
sedang menyapu halaman depan. Ini
kabar gawat, pikir saya. Pastilah Mr. Rigen
akan prihatin sekali membayangkan
kesulitan orang tuanya. Maka untuk
menambah bobot urgensi pada situasi,
nada suara saya waktu memanggil Mr.
Rigen juga seperti suara seorang jenderal
memanggil ajudannya. Berat, berwibawa
tur mantep.

“Mr. Rigen, rene!”

Mr. Rigen yang sejak lama sudah saya


coba didik menjadi seorang teknokrat
terampil tetapi tetap manusia, toh masih
saja menyimpan sisa-sisa naluri robot di
tubuhnya. Begitu mendengar suara
panggilan jenderal itu, mak grobyak sapu
170
dilempar di tanah, rerontokan dedaunan
dibiarkan tetap berserakan dan sreett
begitu saja sudah berdiri di depan saya.

“Wonten dawuh, Pak?”

Sikapnya berdiri tegak, tangan


ngapurancang. Di belakangnya, Beni
Prakosa, beo murni dari bapaknya, berdiri
dengan sikap yang sama.

“Teh atau topi? Teh atau topi, Pak


Ageng?” Robot beo kecil pun ikut-ikutan
nyerocos pertanyaan rutinnya pada pagi
hari.

“Teh, teh. Sana suruh ibumu bikin. Ini


lho, Gen. Ada kabar gawat di desamu!”

“Oohh, itu to, Pak. Kabar kekeringan


air to, Pak? Tiwas saya itu deg-degan
waktu ditimbali tadi. Dak kira mau
didukani atau mau diparingi apa, gitu.”

Cilaka! Mengapa naluri pembantu


171
selalu begitu kalau dipanggil majikannya.
Siap untuk dimarahi atau siap untuk
diberi hadiah. Atau jangan-jangan itu
naluri kita semua setiap kali kita dipanggil
oleh atasan kita? Begitu terbatas dan
nyaris tanpa nuansa kah pilihan-pilihan di
republik yang egaliter ini?

“Lho, kamu kok kelihatannya tidak


kaget begitu, Gen? Ini kan kabar krisis
berat? Air, je!”

“Lha iya, air. Terus mau diapakan to,


Pak. Wong itu sudah begitu terus saben
tahun. Kalau ada urusan gawat betul
nanti, kan orang tua saya suruhan orang
ke sini.”

“Lha, orang tuamu itu apa ya tidak


ngrekasa kurang air begitu?” Mr. Rigen
tertawa. “Orang desa itu kapan tidak
ngrekasa to, Pak? Selamanya kan ya
ngrekasa. Karena biasa ngrekasa ya jadi
tidak terasa ngrekasa, Pak.”
172
Wah, elok tenan. Pagi-pagi sudah
dapat kuliah filsafat ngrekasa. Benar juga
kata guru saya dulu bahwa filsuf-filsuf
terbaik di dunia lahir di negeri-negeri
yang gersang. Mungkinkah Pracimantoro
akan menjadi gudang filsuf-filsuf ulung?
Setidaknya filsuf ngrekasa.

Dan Mr. Rigen pun berkisah tentang


desanya yang gersang. Tentang gunung-
gunungnya yang pada gundul. Tentang
telaga-telaga yang sedikit airnya, yang
pada musim kering begini akan kering
sama sekali. Maka orang akan berebut
mencari sumber-sumber air yang lebih
jauh letaknya dan lebih sedikit airnya.
Dan perebutan itu nantinya tidak akan
antara manusia-manusia, akan tetapi juga
dengan macan-macan yang mulai pada
turun dari gua-gua di gunung.

“Macan?”

“Iya, Pak. Macan itu tidak hanya mau


173
air. Tetapi juga mau jenazah-jenazah
manusia. Kami di sana sudah nrimo kalau
jenazah kami akhirnya dibongkar kiyaine
itu untuk kemudian digondol, dibawa ke
gua meraka.”

Fantastik. Saya mendengar itu seperti


melihat layar teve imajiner di depan
mataku menyiarkan lakon science fiction.
Tetapi bukan! Teve itu adalah teve Mr.
Rigen from Pracimantoro. Dengan tenang
dan dengan gaya dramatik teater
tradisional dia menghabisi ceritanya.

“Tapi orang tua saya masih untung


kok, Pak.”

“Untung bagaimana? Orang Jawa kok


untung terus, lho!”

“Lha, mereka itu tidak seperti lainnya.


Mereka hanya harus menempuh tiga
kilometer untuk mencari air …”

Astaga. Hanya tiga kilometer ….


174
Sore-sore hawa yang seharian panas
jadi teduh sedikit. Warna langit yang
lembayung kemerahan itu ikut
menambah sejuknya suasana. Dari
jendela saya melihat Mr. Rigen & family
sembur-semburan air dari selang yang
habis dipakai untuk membasahi rumput
halaman. Tawa meraka berderai-derai.
Baju Beni Prakosa basah kuyup, tetapi
dengarlah suara tertawanya yang renyah
bahagia. Saya teringat orang tua Mr.
Rigen di desanya. Sudahkah mereka
mendapat air dari belik pada jam begini.
Dan macan-macan itu? Saat itu pun saya
tidak mungkin lupa pesan Prof.
Blommenstein, ahli air yang bernenek
Jawa tempo hari, “Ojo ngguwak-ngguwak
banyu, ora ilok …!”

Yogyakarta, 8 September 1987

175
Sukses Nggendhong Lali

Hari Jum‟at kemarin sepulang saya dari


kantor, saya memergoki Mr. Rigen anak-
beranak pada duduk nglesot di sekitar
meja bundar ruang duduk. Mr. Rigen
duduk bersila sembari memegang koran,
Mrs. Nansiyem nglendhot bahu suaminya
ikut memperhatikan apa yang dibaca
suaminya. Beni Prakosa juga ikut-ikutan
nglendhot di bahu bapaknya. Madu di
bahu kanannya, racun di bahu kirinya.
Pemandangan rukun reriungan begitu
selalu mengharukan hati saya.

Cuma ada sesuatu yang aneh pada


pemandangan itu. Mrs. Nansiyem yang
pemalu binti clingus itu kok sari-sarinya
ikut-ikutan duduk pada siang hari begitu
di ruang dalam. Biasanya hanya pada
waktu tivi menyiarkan ketoprak saja dia
berani ikut muncul di dalam. Tapi pada
176
siang itu, eh, kok elok tenan, dengan
enaknya dia duduk menglendhot sang
suami di ruang tengah.

“Wah, kok bolehnya rukun siang panas


begini pada dhesek-dhesekan duduknya.
Tidak sumuk, apa?”

Mak njenggirat, mereka kaget, sama


sekali tidak mendengar kedatangan saya.

“Lho, Bapak rawuh kok kami tidak


dengar, ya ..”

“Pak Ageng bisa menghilang. Pak


Ageng bisa … “

“Hesysy … menghilang apa. Wong


pintu depan dibuka lebar-lebar begitu.
Tentu saya bisa masuk begini saja. Coba
kalau penodong di siang hari yang
datang. Mau apa kalian? Paling kaliang
ndredeg ewel-ewelan, to?”

Mereka bertiga tersenyum tersipu. Mrs.


177
Nansiyem bersiap berdiri mau pergi ke
belakang.

“Eh, mau ke mana kamu? Kamu duduk


saja di sini. Saya mau tahu kalian itu kok
bolehnya kelihatan asyik. Apa sih yang
seru di koran?”

Mr. Rigen membeber koran-koran yang


saya langgani pada hari itu.

“Lha, ini lo, Pak. Gepeng itu, lho.


Jiaann, bocah kok mesake tenan.”

“Lha, kan kamu sudah tahu kalau


Gepeng meninggal sejak tadi pagi?”

“Ha, inggih. Tapi berita yang lengkap


tenan rak baru siang ini. Saya bacakan
cerita meninggalnya itu, kami jann
trenyuh betul. Lha, ibune thole itu malah
mbrebes mili, air matanya dleweran
membasahi bumi.”

“Dhapurmu, Gen! Iyo to, Nan? Nangis


178
tenan kowe?”

Mrs. Nansiyem tersenyum kemalu-


maluan.

“Walah, Pak. Wong karangan bapaknya


thole saja, lho. Kok panjenengan
percaya.”

“Lha, wong mesakake betul to, Bune?”

“Yang bikin kalian itu sedih apanya,


coba? Kan biasa, cepat atau lambat orang
mesti meninggal? Apa Gepeng itu masih
sanak kalian?”

“Ya bukan. Ning dia itu sudah kayak


sedulur lo, Pak!”

“Ayakk, kamu itu.”

“Lha, iya to, Pak. Kalau Gepeng tampil


di tipi itu kan bikin kita seneng. Suasana
jadi seger. Semua pegel linu di badan jadi
hilang semua. Lha, jadi Gepeng itu kan
179
dekat sekali sama kita, Pak Ageng.”

“Kalian kehilangan betul, kalau


begitu?”

“Lha, inggih to, Pak. Rasanya sekarang


tipi jadi sepi tanpa Gepeng.”

“Yakk … jangan berlebih-lebihan. Kan


masih ada pelawak lain di tipi. Itu ya
lucu-lucu, semua, Gen!”

“Ya, betul, Pak. Ini soal sreg sama


cocok kok, Pak.”

“Sreg-nya itu di mana? Kalau pelawak


itu lucu, ya lucu, Gen!”

“Eee … mboten! Gepeng itu buat kami


istimewa lucunya. Dia itu bikin kami yang
bodo-bodo ini jadi senang. Jadi tidak
minder gitu lho, Pak.”

“Minder itu apa?”

180
“Lho, kan Bapak sendiri yang suka
ngendika begitu. Jadi orang itu jangan
suka minder, Gen! Lha, minder itu rasa
kurang harga diri.”

Saya jadi terbayang wajah Gepeng


kalau melawak di teve. Wajahnya
memang blo‟on, suka ngeyel dan soknya
bukan main. Tetapi gabungan unsur
celaka begitu jadi ramuan yang
membuatnya pelawak yang disayang.
Barangkali tiga unsur itu abstraksi dari
kebanyakan sifat kita. Kita jadi diingatkan
bagaimana kadang-kadang juga bisa
konyol. Tetapi bagi Mr. Rigen, dan
mungkin bagi teman-temannya yang lain,
dagelan Gepeng itu justru memberi
harapan-harapan. Mungkin bukan karena
blo‟on, ngeyel atau soknya. Tetapi
suksesnya sebagai pelawak. Tiba-tiba Mr.
Rigen nyeletuk.

“Cuma sayang, nggih, Pak. Hidupnya


kok awut-awutan begitu.”
181
“Awut-awutan bagaimana?”

“Lha, inggih. Suka minum minuman


keras, begadang, lupa anak istri, lupa
Srimulat. Lha, jadi jebol semua.”

“Tapi kan akhir-akhir ini dia sudah


rukun lagi sama semuanya. Itu harus kita
hargai, Gen. Itu membutuhkan
keberanian lho, Gen. Mau mengakui
kekeliruan kepada orang-orang yang
pernah disakiti.”

Mr. Rigen masih thenger-thenger. Mrs.


Nansiyem solider thenger-thenger. Beni
Prakosa melihat itu semua juga ikut-
ikutan, thenger-thenger-nya anak kecil
yang mulai lapar dan ngantuk. Tiba-tiba
saja dia berteriak,

“Buuukkk … makan! Sudah siang


begini kok Beni belum dikasih makan?!”

“Huss … huss … huss … Ayo, Le, ke


belakang.”
182
Mrs. Nansiyem menggring anaknya ke
belakang. Mr. Rigen masih belum
beranjak dari tempat duduknya. Masih
thenger-thenger.

“Wah, Peng, kamu itu melik


nggendhong lali. Terlalu ngongso
cenderung lupa.”

Saya ikut-ikutan nambah,

“Bukan, Gen. Gepeng itu sukses


nggendhong lali …… “

Yogyakarta, 21 Juni 1988

183
Service

Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem, Beni


Prakosa paham betul makna service atau
pelayanan tersebut. Dari pukul 06.00 pagi
hingga selesai teve pada pukul 23.00
konsentrasi mereka nyaris pada service
saja. Melayani majikan atau boss dengan
penuh dedikasi, bahkan kasih sayang.
Bayangkan! Pada waktu fajar sudah
merekah Beni sudah berteriak di kursi
goyang saya.

“Slamat pagii, Pak Ageeng!!”

“Slamat pagii, Le. Pak-tung-plak-pak-


tung-plak.”

“Pak-tung-plak-pak tung-plak! Teh apa


topi, teh apa topi, Pak Ageng?”

“Kopi! Kopi! Sudah hampir empat


tahun kok masih saja bilang topi. Kopi!”
184
“Yes, Pak Ageng. To-pi!”

Bedhes kepala batu itu pun mak brabat


ke belakang lapor kepada bapak ibunya.
Pukul 06.15 entrée Mr. Rigen denga
secangkir kopi panas dan dua potong
pisang goreng.

“Sarapannya mau nasi gudeg, nasi


goreng atau toos dengan tigan orak-arik?
Terus mau dhahar sebelum siram atau
sesudahnya?”

Dan kalau saya bilang „sekarang’,


maka dengan sebat pula kitchen cabinet
saya bekerja dengan gesit dan efisien.
Siapa bilang orang kita tidak paham
service? Service, pelayanan, mereka
kurang bagus, ojo takon dosa, out, out!

Tetapi bener nih, service sudah


dipahami semua lapisan masyarakat?
Dalam pesawat Garuda saya pernah
menyaksikan seorang pramugri gemas,
185
matanya melotot, mukanya
menggambarkan rasa jijik kepada
seorang ibu muda yang kebingungan
melihat anaknya muntah-muntah.
Penumpang (yang membayar) itu tidak
ditolong, malah ditinggal lari. Ahh,
apalagi yang menjijikkan begitu.
Permintaan sederhana buat secangkir
kopi lagi saja dilayani dengan muka anyel
bin cemberut! Dan hari Minggu kemarin,
di dalam cabin kelas eksekutif lho,
seorang penumpang (yang membayar)
mengeluh karena kopi yang diminumnya
kok terasa dingin. Sang pramugari cuma
tersenyum manis banget, tetapi tidak
berbuat apa-apa. Kayaknya beliau itu
mau mengatakan, “Woo .. Pak, sudah
berapa-berapa, sudah untung Bapak bisa
naik Garuda hari ini. Kok masih
nggerundel, lho. Mbok jadi orang itu
jangan rewel to, Paakk, Paakk.”

Saya sering tercenung melihat gejala

186
seperti itu. Mr. Rigen tahu artinya service
atau pelayanan dan melaksanakannya
dengan baik dan ikhlas. Miss pramugari?
Edaann! Ya tahu dong arti service. Tetapi
ngelapi bayi muntah, nggodog kopi
secangkir buat penumpang? Tunggu dulu,
dong. Memangnya aku ini batur atau
babu penumpang apa? mBakyu saya dan
pakdhe saya di rumah saja tidak berani
mrintah-mrintah begitu. Kok ini ….

Rupanya melayani, meladeni, dan


service ada nuansa-nuansa maknanya.
Bahkan mungkin ada hubungannya
dengan kelas! Mr. Rigen ikhlas, lega-lila
melayani karena melaksanakan tugas
batur yang allround! mBak pramugari
yang ayu menik-menik melayani pilih-
pilih, muntah atau tidak. Wong di rumah
tidak pernah melayani, tetapi dilayani, je!

Lha, kalo kemenakan dan sepupu saya


yang kerja di Bea Cukai dan Kantor Pajak
itu? Makna service-nya bagaimana? Wee,
187
lha …….

Yogyakarta, 12 April 1988

188
Rapat Meja Bundar Menjelang
Lebaran

Hari baru berangkat malam, tegukan


kolak terakhir masih terasa manisnya,
tatanan untuk santap malam baru selesai
disusun di meja, Mr. Rigen & family sudah
mengajak konperensi meja bundar di
seputar meja pei saya. Mereka, Mr. Rigen,
Mrs. Nansiyem dan Beni Prakosa pada
duduk bersila ngedhepes bagai abdi
dalem kraton duduk caos di dalam istana.

“Pak Ageng, kami mohon petunjuk,


sokur-sokur lengkap dengan TOR dan
juklaknya tentang bagaimana
menghadapi lebaran yang akan datang.”

“Welehh … TOR? Juklak? Elok tenan,


kowe! Gek dari mana kamu dapat istilah
itu, Mister?”

Mr. Rigen meringis, menunjukkan


189
bahwa, meskipun dia hanya jebolan SD
van Pracimantoro, dia tetap terus up to
date mengikuti perkembangan istilah
negara kita yang semangkin modern dan
canggih ini.

“Lha, ya dari teman-teman bapak,


yang propesor ngadministrasi yang
pinter-pinter itu to, Pak.”

“Coba, bagaimana kamu tahu arti TOR


dan juklak itu?”

“Lha, begini. Satu hari saya mau


ngampiri mereka sama-sama belanja ke
Pasar Kranggan. Rupanya bapak-ibu
propesor itu mau masak besar. Lha, si
Dimin itu kelihatannya kok bingung
mengingat-ingat yang mesti dibelanja.
Pak Propesor itu kehilangan
kesabarannya. Dengan gemes begitu
beliau berkata, “ Lha, tadi kan sudah jelas
TOR dan juklaknya dari ndoro putrimu,
heh?! TOR-nya hari ini hari istimewa
190
karena Ietje hari ini yahrer …..” “

“Tunggu dulu, Mister. Saya potong


dulu. Yahrer itu apa?”

“Ya Allah, Pak Ageng, mesti pura-pura


nggak tahu, lho. Itu lho cara Londo-nya
ulang tahun.”

“Oh … ya, ya, maafkan kalau aku lupa.


Dak kira maksudmu itu jarig gitu, lho.”

“Na inggih, yahrer! Lha, sekarang saya


teruskan, nggih? Pak Propesor ngendika
begini, „ … juklaknya, kau pergi ke toko
daging Andini Sakti beli buntut, baru
belanja ke pasar, habis itu ke toko Trubus
beli macam-macam jajanan. Huh … gitu
aja bingung. Kalo TOR dan juklak itu
sudah jelas semua ya beres, bento!’
Habis itu, Pak, si Dimin itu sama konco-
konco-nya sedikit-sedikit ngomong juklak
dan TOR. Mau bal-balan, TOR dan juklak.
Mau ronda, TOR dan juklak. Mau nebak
191
buntut, TOR dan juklak. Sampai-sampai
sekarang kita ketularan TOR-juklak, TOR-
juklak, -juklak ….”

“Dapurmu, Gen, Gen. Sudah sekarang


cepat, kalian memanggil sidang pleno
meja bundar ini apa? Mana aku baru
buka sama kolak dan teh panas. Ayo
cepetan, aku selak lapar!”

Pokoknya Mr. Rigen & family,


Ramadhan menjelang lebaran ini
menghadapi dilema gawat. Biasanya pada
tahun-tahun yang lalu mereka selalu nir-
dilema. Jelas keputusan mereka. Mereka
mau tetap di Yogya, karena semua
kerabat saya dari mana-mana pada
berkumpul di sini waktu lebaran itu. Dan
itu berarti; persen, persen dan persen.

Tetapi sekarang, tiba-tiba Mrs.


Nansiyem sangat kangen, rindu kepada
192
desanya di Jatisrono sana. Itulah dilema
itu. Kalo dibiarkan istrinya pergi, itu
berarti seluruh Rigen family akan harus
ikut, itu berarti juga nir-persen, nir-
persen dan nir-persen. Saya manggut-
manggut mencoba menjajagi Mrs.
Nansiyem.

“Lha, kamu kok tiba-tiba kangen sama


ndesamu itu kenapa to, Nyah? Wong
tahun lalu Simbok-mu ya ke sini, lho.”

“Lho, saya itu tidak cuma kangen


Simbok, adik-adik dan sanak yang lain,
Pak.”

“Lha, apalagi?”

“Saya itu kangen juga sama sawah,


padi yang ijo, kali yang mengalir, kerbau,
sapi dan kambing, suara anak-anak desa
teriak-teriak ….” Mr. Rigen yang tidak
sabar langsung saja memotong.

“Woo, … Bune, Bune. Wong sawah


193
bukan punya Simbok-mu, kerbau, sapi
dan kambing juga punya orang lain.
Gunung-gunung pada gundul kok
dikangeniiii …!”

Saya yang baru terlena


membayangkan puisi Mrs. Nansiyem jadi
penasaran juga mendengar suara Mr.
Rigen yang sangat prosais berorientasi
kepada kelas.

“Huss … mbok biar, istrimu cerita


tentang kekangenannya. Teruskan,
Nyah!”

“Lha, inggih niku, Pak. Pake Beni itu


bangsa yang gitu-gitu mana mau tahu.
Tahunya cuma ekonomi saja.”

“Weeh, elok. Tadi suaminya TOR-


juklak, sekarang istrinya puisi. Nanti Beni
mau ngomong apa lagi, nih?”

“Begini lho, Pak. Kalau saya terlalu


lama tidak lihat semua tadi, hati saya jadi
194
nglangut, sedih. Lha, kerjaan bisa jadi
kacau. Begitu lho, Pak.”

Tiba-tiba suasana rapat meja bundar


jadi sepi seperti ada setan lewat. Baru
kaget semua waktu Beni Prakosa
menggebrak meja. Derr!

“Kok diam semua, to?! Terus


makannya itu kapan? Saya lapar, Pak
Ageng.”

“Yo, yo, Le. Pak Ageng juga. Begini


saja komprominya. Dengarkan! Mr. Rigen
antar istrimu ke Jatisrono, tapi Mr. Rigen
harus segera kembali ke sini. Mrs.
Nansiyem dan Beni boleh tinggal di desa
sepuasnya. Sementara mereka pergi,
datangkan Madam dari Tepus. Setuju
semua?”

“Setujuuuuu, Pak Ageng!”

Saya meringis. Tentu saja mereka


semua setuju. Apa ada pilihan buat
195
mereka? Tetapi, toh rapat meja bundar
itu menarik juga. Mrs. Nansiyem yang
pendiam, jebolan SD juga, tahu-tahu
punya roso puisi yang terpendam. Dan
waktu itu tidak tertahan muncul, persen-
persen tahunan yang gede disuruhnya
minggir. Apa ora elok?

Lha, waktu saya di Jakarta kemarin,


juga ada rapat meja bundar di Cipinang
Indah. Wong saya yahrer (menurut istilah
Mr. Rigen). Tetapi, topiknya bukan soal
yahrer saya. Itu sih rutin tahunan yang
biasa, kata anak-anakku. Yang penting,
nanti waktu lebaran sehabis nyekar
embah kakung di Bonoloyo terus mau ke
mana? Wong restauran sak Solo tutup.
Cilaka! Mengapa anak-anakku tidak ada
yang berbakat puitis seperti Mrs.
Nansiyem. Anak-anak metropolitan yang
hedonis …..

Yogyakarta, 3 Mei 1988

196
Mr. Rigen Can Do No Wrong

Sesudah peristiwa Suro Sakmadyaning


Wono tempo hari, kehidupan di rumah
saya tidak seperti biasanya lagi. Oh …
lancar sih tetap lancar. Roda
pemerintahan yang dikoordinir oleh
direktur kitchen cabinet sang Mr. Rigen
dan staf tetap berjalan dengan mulus. Mr.
Rigen tetap memelihara halaman rumput
di depan rumah bagai memelihara golf
course Bob Hasan di Bedugul, Bali.
Masakan di dapur tetap merupakan hasil
perpaduan antara juru musik
improvisasionis pendiri jazz gaya New
Orleans di mana temu pokok itu larut
dalam melodi yang ora karu-karuan.
Tetapi improvisasi jazz yang pating
jlekutit dan grombyangan itu enak di
dengar, improvisasi di bidang permasakan
yang antara pating klenyit dan pating
klonyot dari Mr. dan Mrs. Rigen itu … eh,
197
enak juga! Buku resep masakan Femina
kiriman Bu Ageng mereka apkirkan dan
diberikan kepada sang jenius Beni
Prakosa untuk persiapan text book dari
TK Indonesia Hebat.

Jadi dari sudut itu rumah tangga saya


oke-oke saja. Yang jadi lain itu cara saya
mendudukkan posisi Mr. Rigen
sepeninggal tokoh misterius Suro
Sakmadyaning Wono itu. Terus terang
saya jadi agak minder menatap muka Mr.
Rigen yang kadang-kadang, kadang kala,
bisa tampil super blo’on. Bagaimana
tidak, keluarga besar Mr. Rigen from
Pracimantoro itu ternyata bukan
sakbaene keluarga besar. Mereka
keluarga besar berumah joglo, malah
zaman revolusi sanggup jadi koordinator
logistik bagi para pejuang dan pengungsi.

Tetapi sekarang, di mana kejayaan itu?


Nasib Suro Sakmadyaning Wono yang
meringkik ueh .. eh .. he .. he … bagai
198
jaran kore, kita sudah tahu. Dia sekarang
adalah Ulysses yang menjalani Odissey
melacak Mas Lesmana Mandrakumara
dalam baju Jawa yang compang-camping.
Tetapi, generasi pasca revolusi dari Mr.
Rigen senior seperti kakak dan adiknya,
kenapa juga tidak ikut terangkat di
masyarakat? Anak-anak desa yang datang
dari keluarga sederhana telah berhasil
berebut naik tangga-tangga karier di kota
dan sekarang mungkin juga pada sibuk
memapankan diri sebagai para neo-
priyayi di ibukota. Tetapi, mengapa Mr.
Rigen trimo ikut saya meskipun saya beri
pangkat direktur dalam kitchen cabinet
saya? Dan sikapnya pun begitu nrimo dan
lembah manah, tidak pernah nggresah
dan ngresulo dan tampaknya menerima
nasibnya sebagai sudah digariskan begitu
oleh Yang Maha Kuasa. Hiburannya
dengan pasang lotre buntut dan Porkas
mungkin dia perlukan sebagai pelarian
sekejap dari garis nasib. Dan kalau sekali-
199
sekali dia berhasil menebak jitu, dia
terima itu dengan penuh rasa syukur.
Mungkin dia melihat itu sebagai bonus
kecil-kecilan dari Tuhan sebagai atensi
Gusti Allah kepada wong cilik yang
kadang-kadang perlu digembirakan
hatinya.

Makanya sejak itu saya


memperlakukan dia lebih lembah manah
dan toleran. Krompyanggg! Gelas dan
cangkir kiriman dari Jakarta pada pecah
gara-gara teknik isah-isah dari Mr. dan
Mrs. Rigen masih saja primitif. Ah, wis
ben! Dibanding dengan pengorbanannya
pada masa revolusi (meski waktu itu dia
belum lahir) apalah arti kehilangan satu
lusin cangkir sebulan. Sreett … sreettt …
sreett! Beni Prakosa kampiran roh Eyang
Effendi mencoret-coret pintu dan tembok
(yang baru saya cat lagi menjelang Idhul
Fitri) dengan spidol merah dan hitam. Ah,
ya ben! Anggap saja itu investment bakat

200
jenius dari Beni. Apalah arti satu, dua
pintu dan beberapa bidang tembok yang
coreng-moreng dibanding dengan
pengorbanan mereka saat revolusi?
Tetapi, lho? Lama-lama kok mereka
semangkin ndadra motorik dan
kreativitasnya. Rumah saya sekarang
tinggal punya cangkir dua pasang, piring
tiga biji dan sendok porok tidak sampai
setengah lusin.

Bila teman-teman datang makan dan


minum di rumah terpaksa diatur kalau
makan satu piring dipakai untuk dua
orang. Kadum, kata orang Jawa. Dan
karena sendok garpu juga tinggal sedikit,
ya gantian juga dalam satu piring. Hak-
hakan, kata orang Jawa.

Dan, tembok dan pintu rumah saya


penuh semua dengan coreng-moreng
warna-warni. Mungkin tembok rumah
Salvador Dali yang melebihi coreng-
morengnya, meskipun itu semua adalah
201
lucu, ah … lama-lama risih juga.
Meskipun rumah intelektual sejati seperti
saya pantas kalau nyeniman dan
bohemian, tapi yakk, kalau begini ya
sudah keterlaluan kacaunya.

Saya memutuskan untuk menegur


tegas Mr. Rigen sekeluarga! Memang
keluarga besar Mr. Rigen berjasa besar
bagi perang kemerdekaan. Tetapi,
bukankah para pahlawan kemerdekaan
yang paling berjasa pun kadang-kadang
perlu ditegur? Masak kita tidak berani
menegur? Begitulah keputusan saya,
tegur dengan tegas! Dengan berjingkat
saya masuk ke dapur. Ternyata mereka
sedang reriungan di bawah pohon pisang.
Dari jendela dapur mereka kelihatan
seperti lukisan Paul Ganguin di Tahiti.
Begitu icryllic dan romantis kelihatannya,
mereka sedang mengajari Beni Prakosa
menghafal buku bergambar peralatan
perang dan prajurit-prajurit.

202
“Siap!” teriak Mr. Rigen. Seketika Beni
Prakosa berdiri tegak dan salam hormat.

“Sudah makan?”

“Siap, jenderal!”

“Dengan apa?”

“Dengan sega wadhang dan sisa cap


cay Pak Ageng, Jenderal!” saya urung
mau memarahi mereka. Nun di sana di
pojok kecil seberkas noktah secuil
keluarga wong cilik sedang mencoba
merajut masa depan mereka.

Saya masuk ke kamar tidur untuk


merebahkan badan. Angin fan yang
semilir menyapu-nyapu tubuh saya. Mata
mulai saya pejamkan, tiba-tiba dari
belakang ….. krompyangg!!!

Yogyakarta, 30 Agustus 1988

203
Kami Bangsa Tempe

Mister Rigen adalah seorang kepala


kitchen cabinet yang baik. Sebagai
direktur, dia membawahi dua staf yang
sangat kompeten di bidang masing-
masing. Mrs. Nansiyem adalah seorang
asisten semua bidang yang, meskipun
memeliki tempo sendiri dalam bekerja,
sangat efektif. Dia adalah seorang drop
out SD sebuah desa, tetapi sama dengan
banyak penyandang drop out di dunia,
dia adalah seorang yang dengan sukses
menguasai beberapa bidang. Memasak
masakan tanpa nama tetapi sangat
kreatif, mencuci segala macam cucian
beberapa jam sehari dan mengelola
dinamika anaknya Junior Beni Prakosa.

Beni Prakosa sendiri, yang sekarang


semangkin mendekati usianya yang ke-3,
pastilah juga seorang anggota staf
204
kitchen cabinet dengan status capeg
(calon pegawai) karena belum cukup
umur dan belum menguasai bahasa Jawa
dan Indonesia dengan sempurna karena
teknik melipat lidahnya masih sangat
awam tingkatannya. Hobinya berdiri di
pinggir rak piring dan berteriak, “Solo –
Plambanan … Solo – Plambanan” sambil
mengacungkan tangannya menirukan
kenek kol yang dalam pandangan junior
begitu tampak gesit berwibawa. Orang
tuanya selalu tersenyum kagum melihat
anaknya yang kecil-kecil begitu sudah
pinter menjadi kenek kol. Namun dalam
hati mungkin rada cemas juga, jangan-
jangan cita-citanya Cuma segitu saja.
Meskipun Mr. Rigen belum pernah
mendengar Bung Karno meneriakkan,
“Gantungkan cita-citamu setinggi langit!”
Setidak-tidaknya dia tidak berharap cita-
cita anaknya setinggi kol Yogya – Solo
saja. Lahirnya saja pas hari ABRI, je!
Mosok akan cuma jadi kenek.
205
Bulan Syawal yang panjang belum
habis dan Mr. Rigen & staf dengan patuh
dan penuh profesionalisme melaksanakan
garis kebijaksanaan ekonomi-finansial-
budgetair yang telah saya gariskan.
Karena keringnya dana tentulah
deregulasi juga saya terapkan. Artinya,
saya tidak terlalu menuntut yang macam-
macam. Namun demikian, justru karena
anggaran kering itulah, saya telah
menuntut kitchen cabinet saya untuk bisa
lebih kreatif lagi. Ekspor non migas juga
saya galakkan dan saya tuntut pula
kreatifitas mereka. Koran-koran lama.
Majalah dan beberapa brosur diekspor
Rigen ke tukang loak untuk merentang
panjang anggaran. Kadang-kadang
kreatifitas mereka keterlaluan juga.
Mosok, pada satu hari saya dapatkan file
dokumentasi kertas-kertas seminar lama
semakin menipis. Mr. Rigen mengaku
telah mengikut sertakan makalah-
makalah lama itu berpartisipasi dalam
206
ekspor non migas.

“Itu kan makalah yang tidak penting


lagi, Pak!” penjelasannya pasti.

“Lho, bagaimana kamu tahu itu tidak


penting, hah?” hardik saya.

“Lha, makalah seminar ditumpuki terus


sampai kuning semua begitu mosok
taksih penting to, Pak? Bapak juga tidak
pernah baca lagi, kan?” pembelaannya
sangat pasti.

Saya menghentikan diskusi itu. Toh,


deregulasi sudah saya dekritkan dan
kratifitas ekspor non migas telah saya
canangkan pula. Konsekuen, dong!

Akan tetapi, bidang non migas itu di


rumah saya ternyata terbatas. Cuma yang
itu-itu saja. Koran, majalah, makalah
seminar, koran, majalah …. akhirnya
menipis juga. Bagimana tidak terbatas
kalau dunia itu hanya dunia tempe, tahu,
207
terong dan kangkung saja dan seminggu
sekali iwak pitik. Dan sejak dekrit saya itu
baru sekali ada ikan sapi, dan naga-
naganya akan semakin menipis saja. Ms.
Atau Mrs. (tergantung kapan
memakainya) Nansiyem yang memang
selalu kreatif, saya tahu, telah memutar
saya kreasinya. Tempe goreng, tempe
bacem, tempe bakar, sate tempe, gule
tempe bahkan sop tempe pun sudah
dihidangkan di meja dahar. Juga oseng-
oseng kangkung, salad kangkung,
dengan mayonaise santen, sayur asem
kangkung, sayur bening kangkung dan
entah menu kangkung apa lagi. Dan
cilaka, kuantitasnya pun kok semakin
menipis saja. Tempenya semakin langsing
dan kangkungnya pun semakin kurus.
Jangan ditanya iwak-iwak itu! Semangkin
sporadis dikepyur-kepyur di sela-sela
tempe dan kangkung! Wah, kalau begini
terus-terusan aluwung menggabung anak
istri di Betawi yang, meski sama-sama
208
kencangkan ikat pinggang, siapa tahu
tempe itu masih canggih …

Suatu sore, dari balik jendela belakang


saya melihat Mr. Rigen dan family pada
reriungan makan. Di bawah sinar listrik
dan sinar matahari senja, saya melihat
anak-beranak itu seperti lukisan Renoir.

“Lho, Pak, tempenya kok dicuwil-cuwil


lagi?!” protes Beni.

“Ssttt, biar roto, Le. Ini dak tambahi


jlantah iwak. Enak tho, gurih!”

“Iwak-nya mana, Bu?”

“SSttt, cuma sepotong buat Pak


Ageng!”

“Kok sudah lama Lik Joyo tidak bawa


ayam panggang, Pak?”

“Ssttt, Lik Joyo baru sakit. Mungkin


bulan depan, Le. Ayo, ini dimakan sop
209
kangkung ibumu. Seger!”

Oh, kitchen cabinet-ku yang kompak.


Aku tahu sekarang mengapa para ahli
ekonomi kita begitu pasti dan gagah
mengatakan bahwa “daya tahan ekonomi
rakyat desa masih kuat”.

Di dapur saya lihat Junior sudah mulai


lagi nggenjot-genjot rak piring dengan
penuh energi. “Solo-Plambanan …. Solo-
plambanan …. Solo-plambanan …. “

Yogyakarta, 16 Juni 1987

210
Senam Pagi Mrs. Nansiyem

SUDAH beberapa pagi sejak saya


pulang dari Jakarta, saya melihat Mr.
Rigen terlibat perdebatan yang sengit
dengan istrinya, Mrs. Nansiyem. Mula-
mula saya anggap itu sebagai perdebatan
domestik yang saya tidak berhak untuk
mencampurinya. Habis, perdebatan
antara suami dan istri. Apa yang lebih
preman dari itu, „kan?

Setiap pukul enam pagi, waktu saya


mulai membuka mata, sudah terdengar
suara ribut di dapur antara suami-istri itu.
Karena letak dapur terpisah oleh sekat-
sekat tembok ruang makan, saya tidak
pernah mendengar dengan jelas apa
yang mereka perdebatkan. Hanya saya
tahu perdebatan itu mendadak sontak
berhenti pada waktu sang pangeran Beni
Prakosa meneriakkan teriakan
211
pertamanya di pagi hari mengabsen
bapak dan ibunya kencang-kencang.
Biasanya sesudah teriakan dahsyat begitu
selalu disusul teriakan lain lagi. “Minta
mimmiikk” atau “pipiiiisss”. Bila sang
bedhes cilik sudah meneriakkan
komandonya begitu, perdebatan itu jadi
mak klakep berhenti. Dan mereka pun
mulai terlibat dalam rutinitas pagi hari
mereka.

Tetapi, waktu perdebatan pagi hari itu


mulai memola menjadi ritual uthuk-uthuk
in the morning, saya pun mulai
ngunandika,

“Yakk, ini sudah tidak lucu lagi.”

Saya pun mulai memanggil Mr. Rigen


ke kamar tidur saya. Untuk keluar dari
kamar tidur sepagi itu, saya masih males.
Maka ia pun saya suruh duduk di ujung
tempat tidur saya.

212
“Gen, kamu itu kalau pagi uthuk-uthuk
begini kok sudah ribut sama istrimu itu,
gek yang kamu ributkan itu apa, sih?”

Mr. Rigen keliatan kelincutan


tersenyum kecut.

“Ah, tidak apa-apa kok, Pak. Biasa


sarapan tukaran dengan istri.”

“Hushh, bertengkar ya bertengkar


sama istri. Tapi kalau kau jadikan upacara
pagi, saya keberatan banget, Mister.”

“Nggih sampun. Besok tidak lagi. Kula


janji setop.”

Dan Mr. Rigen pun buru-buru keluar


kamar tidur saya. Saya pun tidak
menanyakan lebih lanjut tema
perdebatan antara kedua suami-stri itu.
Tetapi, waktu beberapa hari berikutnya
perdebatan itu berlangsung lagi, saya pun
mulai tidak sabaran.

213
“Geenn, sini!”

Mr. Rigen masuk kamar tidur saya


dengan tubuh mengkeret.

“Kok, kamu ribut lagi?”

“Begini lho, Pak. Si Nansiyem itu „kan


sekarang sedang punya klangenan aneh.”

“Lha, klangenan? Bojomu punya pacar,


apa?”

“Lho, mboten Pak. Klangenan yang


berarti kesenangan.”

“Lha, apa itu? Wong kesenangan saja


kok ributnya berhari-hari. Tur kok mesti
tiap pagi!”

“Begini lho, Pak. Nansiyem itu


sekarang tiap jam lima pagi sudah kabur
ke lapangan. Jingkrak-jingkrak olah raga
diiringi mungsik.”

“Wee, elok tenan. Tapi ya nggak apa-


214
apa to, Gen. Malah apik tur aksi.”

“Lha, nggih niku. Aksine niku yang


saya keberatan. Mosok, wong anak ndeso
saja lho, Pak. Sekarang, dia itu kalau pagi
itu pakai selana panjang seporet. Baju
kaos panjang seporet. Sepatu putih
seporet.”

“Lha, terus maumu itu apa to, Gen.


Wong pakai celana dan baju panjang
seporet saja kok nggak boleh, lho. Mbok
biar!”

“Wah, Bapak. Itu nanti pasti


merembet-rembet jadi pakai baju macem-
macem. Gek saya harus bagaimana.
Wong kalau mau olahraga, tiap hari
nyuci, masak, momong anak „kan ya
sudah olahraga to, Pak.”

Saya berusaha Mr. Rigen bahwa gejala


Mrs. Nansiyem begitu gejala yang wajar-
wajar saja. Tidak usah dirisaukan. Tetapi,

215
sesungguhnya saya kepingin melihat
sendiri fenomena baru itu. Saya dan Mr.
Rigen sepakat untuk keesokan harinya,
uthuk-uthuk in the morning, untuk pergi
mengintip Mrs. Nansiyem di lapangan.

Dan esok harinya, tanpa


sepengetahuan Mrs. Nansiyem, saya dan
Mr. Rigen dengan mengendap-endap
pergi ke lapangan. Untung pagi itu
berkabut. Sosok orang-orang yang
berjalan di jalan tidak begitu jelas. Dus,
kami tidak usah khawatir ketahuan Mrs.
Nansiyem.

Waktu kami sampai di lapangan, saya


lihat ada kira-kira lima belas perempuan
berderet siap untuk bersenam.
Pemimpinnya sudah setengah tua,
estewe, tetapi tubuhnya masih dempal.
Kayaknya saya pernah melihatnya.

“Pemimpinnya itu siapa, Gen?” Saya


bertanya dengan berbisik.
216
“Lho, itu Yu Giman, koki Tuan Sepis
dari mBelgi, gitu kok, Pak.”

“Wehh, iya lho. Kokinya Mr. Spies.”

Senam dimulai. Dan sang koki mBelgi


pun memberi aba-aba.

“Kanca-kanca. Sumangga wiwit unjal


ambegan.”

Dan mereka pun tarik nafas dalam-


dalam.

“Sakmenika lunjak-lunjak nglemesaken


suku.”

Dan diiringi musik flashdance yang


sangat hot, mereka pun lunjak-lunjak
dengan penuh gusto. Dengan panuh
kekaguman dan ketakjuban, saya melihat
para anggota P(ersatuan) B(abu) B(abu)
itu lunjak-lunjak dengan indahnya. Pada
perasaan dan bayangan saya, lenyap
sudah sosok-sosok dari Pracimantoro,
217
Jatisrono, Nglora, Tepus, Playen pada
pagi yang setengah berkabut itu. Di
depan saya adalah Meriam Bellina, Soraya
Perucha, Lidya Kandau. Cuma ya ukuran
vitalnya agak besaran sedikit dengan
sana-sini tonjolan-tonjolan yang dempal.

Saya lirik Mr. Rigen di sebelah saya, eh


… kok ya ikut manggut-manggut
mengikuti irama flashdance itu.
“Dapurmu … Gen, Gen.” kata saya dalam
hati. Saya sendiri malah terharu melihat
wanita-wanita itu terus mengolah tubuh
mereka dengan grakan-gerakan yang
indah dahsyat. Gek mereka bisa punya
pikiran mengorganisasi begitu dari mana?
Dan musik flashdance dan sound system-
nya itu, lho! Apa ya kiriman dari Jennifer
Beals sendiri? Ah … past orang mBelgi
itu.

Kami sampai di rumah lebih dahulu


dari Mrs. Nansiyem. Beni Prakosa yang
ditinggal sendiri di rumah nangis
218
jemplang-jempling hingga memekakkan
telinga orang satu blok. Mrs. Nansiyem
datang dengan keringat dleweran. Kaget
melihat kami duduk di lincak teras depan.
Saya jadi tegang melihat Mrs. Nansiyem
dengan wajah bertanya-tanya melihat
suaminya yang sekarang juga berdiri
mendapatkan dia. Wah, kalau mereka
mulai dengan pertengkaran pagi mereka,
cilaka saya! Sebagai seorang bapak
rakyat aku harus siap dengan kalimat-
kalimat pembinaan yang penuh dengan
mutiara-mutiara kebijaksanaan. Tetapi,
lho? Saya melihat Mr. Rigen mendekati
isrinya seperti Deddy Miswar menjelang
kedatangan Lydia Kandau dalam film
“Kejarlah Daku Kau Kutangkap”. Dipegang
tangan istrinya.

“Wah, jebule apik tenan senammu ….


Mrs. Nansiyem tersipu-sipu, suaminya


digaploki tangan dan bahunya.
219
“Ngenyek ya kamu. Ngenyek ya kamu.”

Mereka pun masuk diikuti Beni


Prakosa. Damai pun turun di bumi pagi
itu. Saya tidak tahu sampai kapan proyek
senam pag itu akan berlangsung.
Yogyakarta, 19 Januari 1988

220
Eman-Eman Wanita

MENUNGGU waktu makan siang pada


hari Minggu kadang-kadang terasa amat
panjang. Apalagi kalau tidak banyak yang
kita lakukan pada waktu itu. Teve dengan
acara rutin yang itu-itu saja, pekerjaan
lemburan sedang kosong, utang
penulisan makalah sudah lunas, tidak ada
kawan yang datang untuk mengobrol.
Maka sempurnalah kebosanan menguasai
Minggu siang itu.

Di dapur Mrs. Nansiyem menggoreng


tempe, Mr. Rigen sedang memarut
kelapa, Beni Prakosa memetik daun
bayem. Saya dapat menduga pastilah
menu makan siang itu sayur bobor
bayem, tempe goreng, sambel tempe
bakar dan mungkin ayam goreng atau
bandeng goreng. Hampir tidak mungkin
mereka akan mencantumkan empal
221
daging sapi pada siang itu. Wong
tanggalnya sudah tua bongkok, mana
harga-harga di pasar sudah melangit.

Melihat trio kitchen cabinet saya


bekerja dengan rileks, terampil dan
gembira begitu, hati saya ikut senang
juga. Apalagi suasana antara mereka itu
bolehnya rukun begitu, lho. Mongkok hati
saya. Itu pertanda bahwa dari tubuh saya
cukup kuat sinar wibawa, aura yang
mengayomi mereka memancar dengan
kuatnya. Bukankah itu syarat utama bagi
setiap orang yang ingin madeg menjadi
raja yang baik?

“Kalian pasti sedang masak jangan


bobor bayem, tempe dan sambel tempe
bakar. Jangan lupa sambelnya diciprati
minyak jlantah biar sedep dan gurih.”

“Kok Bapak tepat sekali dugaannya,


lho. Padahal tadi pagi Bapak tidak
dhawuh macam menu apa-apa, lho.”
222
“Ya,apa susahnya nebak kalian masak
apa pada tanggal tua begini. Kalian pasti
tidak nggoreng empal, to?”

“Wah, ketebak lagi, Pakne. Siang ini


cuma nggoreng bandeng, kok Pak.”

“Nahh … rak tenan! Ya udah nggak


apa-apa. Asal jangan bobor-nya tidak
kemanisan, sambel tempe mlekoh
jlantah-nya dan bandeng gorengnya
kering.”

“Siipp, Pak Ageng. Siipp.” Dan si


bedhes cilik, Beni Prakosa mengacung-
acungkan jempolnya.

“Siipp ki apa, Le?”

“Siipp itu enak, Pak Ageng. Jangan


bobol siipp. Bandeng siipp. Blongkos
mboten siipp.”

Melihat Mrs. Nansiyem cak-cek dengan


terampilnya menggoreng tempe, menyaut
223
sayuran lantas dicemplungkan ke dalam
panci, menyaut lagi santan yang diperas
suaminya dan keringat yang dleweran
dari dahinya, sekali-sekali menetes ke
dalan lautan jangan bobor, tidak bisa lain
bagi saya selain semangkin
mengaguminya. Dapur memang wilayah
kekuasaannya. Di situ dia menunjukkan
wibawanya. Mr. Rigen dan Beni Prakosa
tidak bisa lain selain menerima otoritas
Mrs. Nansiyem itu.

“Coba, Pak. Lari sebentar angkut


jemuran itu. Kayaknya mau hujan itu.”

Dan Mr. Rigen, direktur kitchen cabinet


yang berwibawa itu, lari dengan
tergopoh-gopoh diikuti anaknya. Baru
saja selesai melaksanakan tugas sang istri
itu, datang lagi perintah yang lain.

“Cepet pergi ke Bu Arjo, Pak. Beli


lombok merah dan bawang merah buat
nyambel. Beni nggak usah ikut, di sini
224
saja.”

Dan Beni yang sudah siap nggonceng


bapaknya mulai membik-membik mau
nangis.

“Heshh, nggak usah nangis. Katanya


sudah lebih tiga tahun!”

Dan suara Mrs. Nansiyem begitu


berwibawa hingga tangis itu tidak jadi
runtuh membasahi pipi anak kecil itu.
Dan begitu Mr. Rigen datang, menyusul
perintah berikutnya.

“Cepet ulek sambel-nya, Pak. Tahu-


tahu kok sudah siang, lho. Sido kapiran
tenan, Bapak nanti.”

Saya yang duduk di kursi rotan di gang


dekat dapur merekam semua itu dengan
asyik. Dalam bulan ini sudah dua hingga
tiga kali saya terlibat dalam pembicaraan
tentang hak asasi wanita, jam kerja
wanita, upah wanita, tidak adilnya
225
masyarakat memperlakukan wanita.
Melihat tandanya, gerak-gerik dan nada
serta irama Mrs. Nansiyem menguasai
dunia perdapuran, suami dan anaknya,
makalah yang bagaimana lagi bisa ditulis
tentang wanita?

“Mrs. Nansiyem!”

“Dalem, Pak.”

“Kowe tahu arti emansipasi wanita?”

“Apa, Pak?”

“E-man-si-pa-si wa-ni-ta.”

“Oo … eman-eman wanito, to, Pak.


Lha, ya sudah sepantesnya dieman-eman
to, Pak, tiyang wedok niku …”

“Hessh … Bune, Bune. Mbok jangan


keminter, sok pinter gitu, to. Matur bares,
terus terang sama Pak Ageng. mBoten
ngertos, Pak.”
226
“Nah, rungokno, dengar baik-baik …”

Maka sebagai pembela hak asasi


wanita, sebagai pengagum wanita, saya
pun lantas menjelaskan apa makna
emansipasi wanita itu. Pokoknya saya
jelaskan kalau emansipasi itu artinya
bebas dari belenggu penindasan.
Penindasan siapa? Tentu saja penindasan
suami, penindasan aturan permainan
masyarakat, bahkan penindasan keluarga
sendiri. Perempuan selalu disia-siakan,
wong wedok disia-sia, diperlakukan tidak
adil. Dan lain sebagainya.

Selesai menjelaskan begitu, saya diam.


Mengamati wajah trio anggota kitchen
cabinet itu. Mereka menatap saya dengan
wajah melongo. Mungkin sedang
mencoba mencerna kuliah saya yang
sangat bermutu dan canggih itu. Ahh,
mereka tidak menyadari betapa
beruntungnya mereka punya majikan
priyayi Korpri, elite birokrasi seperti saya.
227
Tidak semua pembantu dapat previlese,
keistimewaan, mendengarkan kuliah yang
begitu canggih, bukan? Kuliah yang akan
membuat mereka batur-batur yang
progresif dan berwawasan luas!

Tiba-tiba, seperti orang yang baru


lepas dari hipnotis, mata mereka
membelalak melihat ke wajan di kompor.
Asap mengepul. Bau gosong.

“Matik aku, Pakne. Bandenge gosong,


bandenge gosong. Cepet, cepet, …
angkat Pakne. Minyaknya dibuang,
wajane digrujug air!”

Dengan sebat trio saya itu cak-cek


membereskan krisis sebentar itu. Bau
asap gosong memang masih terasa,
tetapi suasana sudah mulai tenang
kembali. Celaka, sedikitnya ada empat
bandeng yang jadi areng, gosong. Malam
nanti makan apa?

228
“Pripun kalau begini, Pak?”

“Lho, kok pripun?”

“Gara-gara Bapak ndongeng ngeman-


ngeman wanito, bandengnya gosong
sedaya. Bukan salah saya, bukan salah
saya, Pak.”

Saya tertegun melihat rasa bersalah


menguasai wajah Mrs. Nansiyem.

“Terus nanti malam Bapak dhahar apa,


coba? Tanggal tua begini anggarannya
sudah tipis! Makanya kalau orang lagi
kerja itu, Bapak jangan ngganggu, to.
Lenggah saja sing eco. Sudah nanti
malam manggil sate saja, nggih?!”

Wah, di depanku bukan lagi Mrs.


Nansiyem, anak buah Mr. Rigen dalam
kitchen cabinet. Di depanku adalah
Madam Rigen yang ambil inisiatif me-
rigen-kan semuanya. Dan kami yang ada
di depannya manggut-manggut manut
229
beliau belaka.

Eman-eman wanita, eman-eman


wanita. Eman-eman bandenge gosong
sedaya …..

Yogyakarta, 22 Desember 1987

230
Pariwisata Dimana-Mana

MAKAN malam di rumah yang sepi


tanpa di-reriung seorang anggota
keluarga jelas merupakan makan malam
yang hambar. Maka menu penderita
bludreg, yang mengurangi garam, yang
sudah secara rutin hadir di meja makan
saya makin terasa hambar lagi. Sayur-
sayuran tidak kelihatan hijau, sambal
kehilangan seri dan tempe-tahu pun
kelihatan pucat. Makan begitu baru terasa
sedikit lebih nikmat bila ada teman-teman
mampir dan mau mengawani makan. Itu
pun untung-untungan. Sebab tidak
semua orang akan doyan dengan
makanan yang bertitik berat sayuran.
Misalnya, kawan saya penyair dari lereng
Gunung Merapi itu. Meskipun anak desa,
dia itu anti sayuran. Katanya, sayuran
hanya diperuntukkan bagi kambing dan
kerbau saja. Manusia, katanya lagi, hanya
231
pantas makan telur, daging dan, ahh …
tongseng kambing. Waktu dia mula-mula
mengutarakan bahwa sayuran untuk
kambing dan kerbau, saya sudah siap
menyimpulkan bagaimana peka
lingkungan sahabat saya itu. Lha wong,
anak petani merangkap penyair, lho!
Tentu saja gevoeling terhadap
tetumbuhan dan hewan. Tetumbuhan
disediakan buat ternak agar ternak dapat
terus berguna buat manusia. Tetapi, pada
waktu dia bilang, ahh … tongseng, saya
tidak berani mengambil kesimpulan apa-
apa lagi. Mosok saya harus mengambil
kesimpulan bahwa kambing disediakan
bagi manusia agar manusia jadi berguna
seperti kambing-kambing ….

Berita nasional pukul tujuh malam di


teve baru saja selesai. Itu berarti Mr.
Rigen akan segera mengatur meja makan
untuk menyiapkan makan malam saya.
Wah, satu malam yang hambar
232
terhampar di depan saya. Mengharap
kedatangan sahabat saya penyair itu juga
akan sia-sia. Akhir-akhir ini hobinya
berkembang menjadi pemburu batu akik
di kuburan-kuburan yang angker. Yah,
sudahlah apa boleh buat. Dari balik koran
Kedaulatan Rakyat dan Kompas, yang
hingga sore hari itu sudah saya bolak-
balik tujuh belas kali, saya mendengar
suara Beni Prakosa menyilakan makan.

“Pak Ageng, dahaal … “

“Iyo, Le.”

Dan saya tetap membolak-balik koran.

“Dahalipun sampun, Pak Ageng.”

Saya pun dengan ogah-ogahan melipat


koran-koran saya dan mulai berjalan ke
kursi makan. Waktu saya mulai duduk
menghadapi makanan itu, saya mulai
melihat perubahan drastis pada blocking
tata piring lelawuhan itu. Jumlah sih,
233
tetap tiga piring saja. Tiga sehat tetapi
belum sempurna. Cuma warna sayur-
sayuran itu kok jadi hijau kemerah-
merahan. Juga tempe dan empal itu jadi
tampak coklat kemerahan. Saya baru
sadar kemudian bahwa lilin, yang biasa
dinyalakan di meja untuk menggusah
laler, kali ini berwarna merah. Jadi, ada
semacam light effect yang dramatis.
Tempe kok jadi dramatis, lho. Dan piring-
piring lelaukan itu juga tidak lagi berderet
linier satu baris. Tetapi ditata dalam
bentuk segitiga. Jadi triangle tempe,
sayur bayem dan empal. Tetapi shock
berat itu datang pada waktu saya
menatap Mr. Rigen dan anaknya yang
tumben pada malam itu berdiri rapi
berjajar dengan tangan ngapurancang.
Astaga, pakai baju apa mereka itu? Mr.
Rigen memakai daster Bali merah yang
kemilau, hem putih lengan panjang,
sarung plekat yang dilipat dan celana
panjang putih. Beni Prakosa memakai
234
blangkon yang dibeli di Sekaten
tangannya memegang ukulele mainan
yang siap untuk dikencrung kapan saja.

“Apa-apaan nih, Mr. Rigen?”

“Dener, Pak. Pliis.”

“Huss, dapurmu. Kowe iki baru kumat


apa?”

“Pliis, empal en tempe en bayem, Pak.


Pliis.”

“Dak tabok lho, kowe. Ini badutan apa


to, Gen?”

Mr. Rigen meringis tertawa. Anaknya,


Beni, mengencrung ukulele-nya.
Menyanyi keras-keras, “jenang gula, kowe
aja lali, malang aku iki iyo to, maass …. “

“Begini, lho Pak. Saya lihat Bapak kok


makannya makin sedikit kurang selera.
Terus saya, bune Beni dan Beni akal-
235
akalan pariwisata begini. Siapa tahu
Bapak jadi lebih lahap dhahar. Meski
begroteng tetap kurang. Hihiikk … “

“Pariwisata? Begini ini pariwisata, to


Gen?”

“Ha, enggih. Saya cuma tiru-tiru


dalem-nya Pak Propesor Lemahamba saja
kok, Pak.”

“Memangnya di sana ada pariwisata


apa?”

“Elho, Bapak belum tahu, to? Rumah


beliau yang di jalan Kaliurang itu disulap
jadi losmen apik sanget, lho Pak.”

“Losmen? Omah Profesor itu jadi


losmen? Tur Pak Lemahamba itu sudah
sugiih banget, lho. Rumahnya yang di
daerah Pogung sudah dikkontrakkan bule-
bule dalam dolar itu.”

“Lha, ya biar semangkin sugih, to Pak.”


236
Malam itu makanan yang di meja
masih terasa hambar. Meskipun ada lilin
merah. Meskipun lelawuhan itu disusun
dalam triangle tempe-empal-bayem.

“Coba kamu ceritakan pariwisata di


rumah Profesor itu bagaimana?”

“Ya, konco-konco saya yang kerja di


sana pakaiannya ya seperti yang saya
pake sekarang ini. Cuma mereka lebih
canggih.”

“Canggihnya bagaimana?”

“Ya, bahannya lebih mewah.


Sarungnya ya tidak kumel seperti sarung
saya ini. Tur mereka dikursus bahasa
Inggris oleh Pak Propesor sendiri. Wah,
konco-konco saya itu sekarang cara
Inggrisnya cas-cis-cus, lho Pak.”

“Coba cas-cis-cusnya kayak apa, Gen?”

“Wah, lha kalau ke sini itu salamnya


237
„halo’. Kalau pamit „bai-bai’. Kalau
terima kasih „sengs’. Kalau menyilakan
„pliss’. Pokoknya macem-macem. Etung-
etung; wan, tu, sri, saya juga sudah
mereka ajari.”

Pada suatu sore di took buku saya


ketemu Prof. Lemahamba. Saya cuma
kuat beli satu buku. Harga buku kok
semangkin mahal saja, lho. Tetapi Prof.
Lemahamba saya lihat membawa
setumpuk buku. Dengan setumpuk buku
itu wajahnya kelihatan lebih berwibawa
dan ilmiah lagi.

“Wah, mborong buku nih, Prof?”

“Yaahh, rutin. You know, untuk catch


up informasi bidang saya yang pesat
sekali kemajuannya. How are you?
Everything all right?”

“Yah, oke-oke saja, Prof.


Sakwangsulipun? Rak ya oke-oke saja,
238
to?”

“Oh, I’m not complaining. Everything


under control.”

“Wah, sukur to. Lha, saya dengar Prof.


sekarang buka losmen pariwisata?”

“Aahh, jangan losmen, dong. Hotel


kecil tapi modern. Nantinya mau saya
jadikan pariwisata yang bener. Hotel-hotel
di Yogya masih kurang canggih service-
nya. Saya harap hotel saya nanti jadi
model service yang betul-betul service.”

“Wah, Anda makin sibuk saja, dong.


Masih harus blebar-bleber ke luar negeri.
Masih kasih kuliah. Masih nguji. Sekarang
masih harus ngurus losmen, eh … hotel.”

“Ya, saya selalu bilang sama Anda.


Jangan stick sama satu profesi. Mesti
allround. Semua potensi kita mesti kita
manfaatkan. Anda mesti jadi economy

239
animal … “

“Wah, economy animal? Animal apa


lagi itu?”

“Pokoknya sekarang semua mau jadi


pariwisata, ya kita ikut bantu pariwisata.
Ini termasuk yang dinamai Tri Dharma
perguruan tinggi, lho! Pengabdian
masyarakat …”

Wah, ya deh. Ayo, Mr. Rigen, Mrs.


Nansiyem dan Beni, my Pracimantoro
animals. Ayo cancut tali wanda. Itu kamar
di depan masih bisa nampung dua orang
bule ….

Yogyakarta, 6 Oktober 1987

240
Madam

Mister Rigen bukannya selalu menjadi


direktur kitchen cabinet dalam
pemerintahan saya. Dulu, kira-kira hingga
empat tahun yang lalu, dia berada di
bawah kekuasaan tokoh lain. Tokoh ini
adalah Madam. Ya, Madam saja, tanpa
embel-embel nama lain dibelakangnya,
meskipun tentu dia punya nama yang
lebih lengkap lagi daripada itu.

Asalnya dari Tepus, Wonosari,


Gunungkidul. Umurnya sudah mendekati
enam puluh tahun dan sudah sejak umur
tujuh belas tahun mengembara,
mengembangkan karier sebagai
pembantu rumah tangga di berbagai kota
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rumah
tangga yang dimasukinya sebagai
pembantu bukan hanya terbatas pada
keluarga Jawa saja, melainkan juga
241
keluarga-keluarga asing. Tidak
mengherankan, bila pada waktu dia
menginjak umur empat puluh tahun, dia
sudah mumpuni dalam segala bidang
pelayanan. Mencuci bersih, menyetrika
halus, menata rumah modern eropis.
Masak memasak? Apalagi! Mulai dari
spaghetti bolognaise, steak hingga ke
brongkos dan pepes ikan dikuasainya
bagai seorang chef, koki sejati.

Tidak mengherankan apabila


wibawanya di dunia P(ersatuan) B(abu)
B(abu) dan P(ersatuan) D(jongos)
D(jongos) sangatlah dasyatnya. Para
babu dan jongos yang baru mulai
menapakkan kakinya di rumah tangga
priyayi pada gemetar dan kekes
mendengar reputasinya. Pada
pergunjingan dan seminar-seminar PBB
dan PDD namanya semangkin muncul
sebagai tokoh legendaris, berwibawa dan
menakutkan. Kolega-koleganya banyak

242
yang tidak tahan dan kuat mengalami
pembinaannya. Dia adalah contoh
perfeksionis dan cerewetis sejati. Bagi
para babu dan jongos yang baru belajar
itu, rasanya ada saja yang belum beres
bagi sang pembina. Yang debu masih
melekat di pojok kaki kursi, sprei yang
masih terlipat-lipat di tempat tidur, ukuran
gula yang masih kurang tepat, bumbu
masakan yang msih cemplang dan entah
apa lagi.

Dengan reputasi begitulah dia


memasuki kehidupan saya. Waktu itu
saya memang membutuhkan seorang
yang allround, yang sendirian, mandiri
dan dapat melayani saya. Pada pikiran
saya, dengan orang seperti itu saya akan
dapat lebih tenteram, tidak perlu lagi
mengajari seni manajemen serta seni
masak-memasak makanan saya. Lagi
pula, saya sudah benar-benar bosan
dengan makanan rantangan. Akan tetapi,

243
saya lupa bahwa pada waktu dia dating
itu umurnya sudah sekitar lima puluh
tahun dan sudah mencapai puncak
prestasi serta prestisenya.

Pada waktu dia memasuki kawasan


rumah saya yang tampil bukan lagi
seorang pembantu rumah tangga, bahkan
juga bukan seorang sesepuh koki, tetapi
seorang pro dengan sosok seorang ndoro
putri sejati. Bayangkan! Dia datang hari
itu dengan kain rujak sente, kabaya
chiffon dengan warna pastel kebiruan,
slendang, selop, payung yang bisa dilipat-
lipat. Tangannya hanya menjinjing tas
kecil. Kopernya baru datang sore harinya
diantar becak. Jadi, yang berdiri di
hadapan saya waktu itu benar-benar
seorang lady dengan segala elegance dan
flair-nya.

Begitu kami mulai bicara tentang


tugas, dia menuntut dua orang asisten.
Satu untuk bersih-bersih rumah, satu
244
untuk mencuci dan menyetrika, sedang
untuk masak-memasak beliau berkenan
untuk melaksanakannya sendiri. Saya
tidak tahu apa yang menguasai benak
saya waktu itu. Permintaan itu saya
penuhi belaka. Mungkin gaya bahasanya
yang tes-tes-tes menyakinkan itu.
Mungkin karena saya merasa berhadapan
dengan calon seorang dame van de
huishouding alias pengelola rumah
tangga. Dua orang asisten itu adalah
seorang perempuan, bekas babu cuci di
Sekip, dan seorang lagi adalah Mr. Rigen
yang pada waktu itu masih lajang dan
masih agak segar baru turun dari
pertapaan di Pracimantoro.

Hanya dalam waktu seminggu sang


asisten wanita itu tahan dibina. Segera
dia minta berhenti. Dan sesudah itu
beberapa asisten wanita dicoba, akan
tetapi segera pula berjatuhan. Dan sejak
itu pula jabatan asisten wanita

245
ditiadakan. Akan halnya Mr. Rigen, sang
Pembina itu menyukainya karena Mr.
Rigen orangnya penurut dan memang
ingin mengembangkan karier sebagai
seorang teknokrat yang terampil dan
berguna. Segera terasa dalam rumah
kami bahwa kekuasaan dan dinamika
rumah tangga berada di tangannya. Tidak
pelak lagi dialah Madam dalam rumah.
Saya dan Mr. Rigen hanyalah anak
wayang beliau saja. Untunglah Madam
sembodo orangnya. Rumah saya terkelola
dengan baik, makanan selalu enak dan
Mr. Rigen berkembang sebagai teknokrat
yang baik. Memang agak otoriter caranya
mengendalikan kami. Tetapi, bukankah
untuk sesuatu ada sesuatu? Untuk
keotoriterannya itu saya mendapat
imbalan hidup yang enak. Bahkan anak
istri yang kadang-kadang datang dari
Jakarta pun tidak luput dari wibawa
otoritas Madam. Tanpa satu kompleks
rendah diri Madam akan mengatur semua
246
jaringan keluarga saya yang datang di
Yogya. Dan anehnya (meski dengan
menggerutu di sana-sini) mereka
menerima juga kepimpinan Madam.

Sampai pada suatu hari Madam jatuh


sakit agak keras dan beliau mulai
menyimpulkan bahwa waktunya untuk
beristirahat sebagai purnawirawati
datang. Umurnya saya taksir memang
telah mendekati enam puluh tahun.

“Pak, saya mau pulang ke Tepus.”

Begitu saja terlontar kelimatnya.


Alangkah aneh kalimat itu sesudah sekian
tahun kami serumah menikmati bius
kepimpinannya. Sungguh satu
antiklimaks! Kadang-kadang kalau saya
harus membayangkan saat perpisahan itu
akan lebih melodramatik lagi. Dengan
plot yang lebih berbelit begitu. Ini tidak.
Begitu saja Madam mau kondur mudik ke
tanah asalnya.
247
“Terus kamu mau ngapa di Tepus?”

“Ya, istirahat saja, Pak. Bantu-bantu


saudara-saudara saya bertani. Menikmati
masa tua di desa.”

Edan. Saya terkesima. Benar-benarlah


Madam seorang Madam. Sesudah sekian
tahun mengembara kemudian
berkembang menjadi seorang Madam
yang mumpuni mengelola satu rumah
tangga dengan life style yang agak gila,
dia membayangkan hari tuanya sebagai
seorang pensiunan priyayi yang sore-sore
akan duduk di beranda depan rumahya
menikmati senja yang turun.

Begitulah tongkat estafet pengelolaan


rumah saya berpindah ke tangan Mr.
Rigen, yang kemudian telah sempat pula
membangun keluarg kecilnya yang
dahsyat itu. Setahun dua kali Madam
akan muncul ke rumah kami. Pada waktu
sesudah lebaran dan waktu Sekaten.
248
Tentulah dengan begitu anggaran pension
lebaran dan Sekaten saya sediakan. Tidak
perlu Madam mengisi D(aftar) I(sian)
P(royek) karena kedatangan beliau pun
sudah selalu dengan semangatnya : saya
datang, saya melihat dan saya menang.
Waktu lebaran kemarin Madam tidak
datang. Menurut kabar dari Tepus Madam
sakit. Juga kabarnya Madam mulai agak
kesulitan bergaul dengan saudara-
saudaranya. Kebudayaan Madam, yang
selama ini sanggup memberinya status,
sosok dan wibawa yang meyakinkan,
rupanya menjadi tidak berlaku kembali di
desanya. Memang agak susah juga
membayangkan Madam dengan segala
flair dan kecanggihannya itu mengatur
pengelolaan saudara-saudaranya. Dan
masakan apa pula yang dia kembangkan
di Tepus itu? Apakah Madam akan
dimintai memberikan demontrasi
memasak spaghetti ala bolognaise pada
pertemuan PKK kelurahan?
249
Waktu saya baru-baru ini pulang dari
Jakarta, Mr. Rigen melapor bahwa Madam
datang menginap untuk beberapa hari.
Mau nonton Sekaten.

“Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Kelihatannya sehat-sehat saja. Hanya


rambutnya semakin memutih dan
wajahnya itu, lhp Pak?”

“Kenapa?”

“Tampak agak murung ….. “

Saya membayangkan sore itu Madam


duduk-duduk di depan rumahnya
memandangi tegalan di depan rumahnya.
Saya menyesal tidak ketemu Madam kali
ini. Mungkin Sekaten tahun depan,
Madam.
Yogyakarta, 3 Nopember 1987

250
Tentang Main Sabun

Mr. Rigen yang pencandu sepakbola itu


gemas sekali melihat hasil skor
pertandingan Persebaya lawan Persipura.

“Kok bisa-bisanya ya, Pak?”

“Bisa-bisanya bagaimana?”

“Lha, ya itu. Skor kok 12 – nul. Itu kan


main sabun to, Pak?”

“Bagaimana kamu pasti itu hasil main


sabun?” Saya pancing dia.

“Ha, inggih jelas gitu kok, Pak. Mana


mungkin Persebaya kalah sampai dua
belas dari Persipura. Persebaya sekali-
sekali ya boleh kalah dari Persipura. Ning
nek sampai kalih welas itu mboten
umum. Jadi, ini pasti main sabun.”

Saya mengangguk-angguk,
251
menyatakan setuju dengan jalan
pikirannya. Cara dia membangun logika,
memilih premis dan menarik kesimpulan
boleh juga.

“Terus kalau menurut kamu permainan


sabun begitu harus diapakan?”

“Ya dihukum gitu, Pak. Dihukum.


Sebab kalau tidak, mremen-mremen,
menjalar ke mana-mana. Bisa rusak
sepakbola kita.”

Saya mengangguk-angguk lagi. Kagum


akan ketegasan dan kekukuhan
pendiriannya. Dan pada waktu orang-
orang Persebaya sendiri mengaku bahwa
itu main sabun dengan Persipura agar
bisa mendepak keluar PSIS, dengan
bersemangat Mr. Rigen datang lagi
kepada saya.

“To, Pak. To, Pak. Pripun, pripun, kalau


begni ini.”

252
“Ada apa kali ini, Mister? Kok bolehmu
gugup!”

“Lha, ini Persebaya ngaku kalau main


sabun.”

“Terus?”

“Enak saja bilangnya itu siasat. Kalau


semua main sabun pakai alasan siasat,
rak inggih kaco aturan negoro nggih,
Pak?”

Sekali lagi saya mengangguk-angguk.


Sekali lagi saya kagum akan keteguhan
pendiriannya. Oh, rakyatku yang
sederhana, pikiranmu yang polos itulah
sokoguru kelangsungan republik ini.
Kepolosanmu akan disalahgunakan,
kepolosanmu akan diinjak-injak,
kepolosanmu akan diperjualbelikan, tetapi
kepolosanmu itu akan tetap menjadi
sokoguru republik ini. Nah!

Di belakang rumah, saya mendengar


253
Mrs. Nansiyem ribut-ribut dengan Beni
Prakosa. Mr. Rigen segera mak brabat lari
ke belakang mungkin mencium gejala
krisis di daerah kekuasaannya. Saya pun
jadi ikutan tergerak mak brabat lari ke
belakang.

“Iki lho, Pak-e. Iki lho, Pak-e!”

“Ada apa, Bune? Ada apa kok ribut ora


karuan?”

“Lha, ini kamu lihat sendiri anakmu si


bedhes ndoromas Beni Prakosa. Mandi
cuma main sabun terus. Nggak mau
mandi-mandi. Ayo mandi, nggak? Nanti
dak jewer betul, lho, kupingmu!”

Saya melihat sang bedhes Beni yang


memang angudubilah nakalnya itu,
tertawa terkekeh-kekeh menggosok-
nggosokkan sabun di tubuhnya, lantas
dicelup-celupkan lagi ke ember mandi
hingga air di ember jadi putih semua.

254
Sabun yang berenang-renang di ember
itu selalu mrucut menghindar tangkapan
anak itu. Mrs. Nansiyem tidak sabar lagi.
Tangannya dengan sebat menjewer
kedua telinga anaknya. Cengeerrrr …
sang Beni pun menangis menjempling-
jempling. Situasi pun menjadi tidak
terkendali lagi.

“Ini anak bandel tidak ketulungan lagi.


Dibilangin jangan main sabun, kok terus
saja main sabun!”

Dan Mrs. Nansiyem dengan lebih getol


dan penuh gusto mengewer-ngewer
telinga anaknya lagi.

“Kapok ora?! Kapok ora?!”

Dan Beni Prakosa pun semangkin


menjadi-jadi jerit tangisnya. Lama-lama
saya lihat Mr. Rigen tidak tahan lagi
melihat situasi yang bising dan kacau
nggak karuan itu.
255
“Wis, Bune. Wis, Bune. Kamu jangan
ngawur mala anak. Salah-salah malah
putus kewer-kewer kuping anakmu. Nanti
kamu yang nyesel.”

“Anak salah ya kudu diajar ngono.”

“Iyo. Ning kamu sudah kebangeten.”

Beni lantas digendong bapaknya.


Dihanduki lantas digeletakkan di tempat
tidur. Waktu Mr. Rigen ketemu saya lagi di
ruang depan, dia merasa perlu
menjelaskan sikapnya menyelematkan
anaknya dari jeweran istrinya.

“Lha, inggih to, Pak.”

“Apanya yang lha inggih?”

“Anak itu ya kita tega patine ning ora


tega larane. Bune thole itu sok
kebangeten mala anak.”

“Ayak, Gen, Gen … Yang tadi bilang


256
orang main sabun kudu dihukum itu
siapa?”

“Ha, inggih kulo. Ning ya lihat-lihat


sikonnya to, Pak.”

“Weh, kok kowe tahu sikon apa?”

“Ha, inggih to, Pak. Yang main sabun


ini kan anak. Anak, Pak. Anak! Meski
salah ya akhirnya kudu tetep dilindungi.
Wong anak kok, Pak. Anak!”

Saya mengangguk-ngangguk. Oh,


rakyatku yang baik hati. Kebaikan hatimu
inilah yang akan menjaga kelangsungan
hidup republik kita yang tercinta ini ….

Yogyakarta, 15 Maret 1988

257
Pada Suatu Senin Pagi Sesudah
Lebaran

SENIN kedua sesudah hari-hari lebaran


merupakan Senin yang memulaskan
perut. Secara harfiah itu karena proses
penggilingan sisa-sisa opor ayam, sambel
goreng ati dan pete, ketupat dengan
bubuk dele dan tentu saja segala macam
kuwe spikuk dan semprit, masih terus
berjalan. Tahap pertama proses
penggilingan itu tentulah pada waktu kita
terserap oleh siklus jaringan keluarga
sendiri. Sedang tahap kedua dari proses
itu pada waktu kita memeringiskan
senyum pepsodent kita di kantor dan
kampung. Kita bisa membayangkan
proses kimiawi yang bagaimana yang
sedang terjadi di usus dan perut kita
dengan volume input sebesar itu.

Secara imaji dan metafor mulas itu


258
tentu saja tidak di perut letaknya, akan
tetapi di kepala. Justru karena diproses di
kepala itu waktu konsep tersebut turun
ke perut roso mules itu justru melebihi
yang sejak semula diproses di perut.
Manusia memang binatang yang aneh.
Memiliki kelebihan yang hebat ketimbang
rekan-rekannya binatang menyusui yang
lain, seperti menciptakan imaji dan
metafor itu. Tetapi begitu ia membiarkan
imajinya berjalan, dia jadi bingung
sendiri. Jadi mules, salah-salah kalau
keterusan jadi sakit mah alias maag.

Begitulah pada hari Senin kedua itu.


Rasanya pukul tujuh pagi masih terasa
kepagian untuk ngulet apalagi bangun
dengan sigap. Dan waktu akhirnya pelan-
pelan sekali tangan itu terentang ke atas,
mak kreteg begitu, tubuh juga tidak
otomatis mau bangun sendiri. Mules di
perut mulai terasa. Wah, masih mules
yang kemarin-kemarin juga, nih. Dah

259
pastilah aroma di belakang nanti masih
akan sama dengan kemarin-kemarin
tanpa nuansa. Habis, lebaran memang
mendekritkan satu perintah tak tertulis
untuk hanya menyajikan menu yang itu-
itu saja. Bayangkan bila kita harus
mengunjungi 17 rumah, 1 syawalan di
kampung, 1 syawalan di kantor. Nuansa
yang bagaimana yang bisa diharapkan
dari guided menu seperti ini.

Pada waktu ritual proses penggilingan


itu selesai dan rasa mules sementara
teratasi, di kamar, waktu ganti baju muka
bertatap dengan kelender. Wah, cialat
lho, kok baru tanggal 8 Juni! di depanku
segera saja tampil satu jalan yang
gersang dan panjaaang sekali. Sepi,
lengang. Yah, masalahnya sederhana
saja, mengapa panorama yang
mengerikan bagai adegan salah satu film
Ingmar Bergman itu muncul. Gaji untuk
bulan Juni sudah saya ambil menjelang

260
hari Lebaran kemarin. Waktu reriungan
dengan jaringan keluarga siapa yang
ingat bahwa bulan Juni belum mulai.
Bahwa pengeluaran-pengeluaran untuk
sebulan yang akan datang masih harus
dibayar. Bahwa masih harus menanggung
makan Mr. Rigen anak-beranak untuk tiga
puluh hari. Bahwa masih harus mondar-
mandir Yogya-Jakarta sedikitnya dua kali
dengan Garuda. (Padahal sejak tahun
anggaran ini tak ada lagi seminar,
lokakarya dan sebagainya itu. Kecuali
kalau seminar itu bisa konkret, langsung
menelorkan usul-usul yang segera dapat
dilaksanakan menaikkan ekspor non
migas atau mungkin bagaimana bisa
mencari jalan pintas untuk
mengembalikan rupiah yang diparkir di
luar negeri. Sminar kebudayaan?
Kesenian? Wah, gersang …!)

Maka bahwa-bahwa yang beruntun


itulah yang membuat roso mules fase

261
kedua datang “laksana malaikat
menyerbu dari langit …”. Seketika tubuh
itu jadi loyo, lemas. Bahwa-bahwa sialan!
Bisa betul you ruin my Monday morning!
Saya pun terduduk di kursi lupa kalau hari
itu hari ngantor. Ruangan itu semakin
terasa lengang sejak anak-anak dan ibu
mereka harus balik ke Betawi. Juga para
keponakan dan orang tua mereka, yang
sempat membuat horeg rumah, sudah
pada “cabut”, sowang-sowang pulang ke
kandang masing-masing. Kalau sendiri
begitu kok jadi semakin dramatis
membayangkan amplop gaji berwarna
cokelat dari fakultas itu. Amplop itu dari
sononya memang tidak pernah tebal.
Sesudah digerogoti hari-hari Lebaran
amplop itu semakin menipis. Pada hari
Senin pagi itu, amplop keramat bulanan
itu sudah menjadi konsep yang abstrak.
Bahkan sudah menjadi satu metafor.
Lambang bagi kerja sebulan sebagai
anggota Korpri. Tetapi menyusur jalan
262
panjang dan gersang dalam waktu
sebulan yang akan datang, alangkah
konkretnya itu!

Rigen datang menanyakan mau masak


apa hari itu. “Sayur-sayuran wae! Untuk
sebulan ini terus ganti-ganti sayur asem,
sayur bening, sayur asem, sayur bening,
tempe, tempe, tempe. Pokoknya yang
enteng-enteng saja.”

“Terus begitu, Pak, sebulan? mBoten


bosen?”

Tentu saja saya terangkan bahwa itu


semua dalam rangka menguras perut kita
sesudah kena polusi opor ayam Lebaran.
Untuk jaga gengsi tak mungkin, dong.
Diceritakan aspek ekonomis-finansial-
budgetair kepada Mr. Rigen, meskipun dia
(seperti pernah saya laporkan dalam
kolom ini) adalah ekonom.

“Apakah ini dalam rangka hidup

263
sederhana, Pak? Di koran itu ….”

“He-eh, he-eh bener kowe! Ini


menyesuaikan dengan cara hidup
sederhana para bapak di Pusat.”

“Lha, saya dengar bapak-ibu di Betawi


itu sekarang jarang sekali dahar daging.”

“He-eh, he-eh bener kowe …”

“Malah kabarnya bakul daging pada


ngeluh mboten payu ….”

“Ayakk, kalau ini ngarang kamu.”

“Lho, estu Pak. Kalau pada mboten


kersa dahar daging kan sedikit orang
beli.”

Tiba-tiba dari depan pagar rumah ….

“Penggeng eyem, penggeng ….” Dan


Mas Joyoboyo …. cleret … sudah begitu
saja nglesot di depan saya dan Mr. Rigen.
264
“Wah baru nyirik iwak, je, Mas.”

“Waduhh, iwak kok disirik, lho. Dan


elok-nya sak kompleks sini kok pada mau
begitu to, Den. Wonten gerakan apa, to,
Den?”

Tiba-tiba Beni Prakosa nyelonong


merengek minta sate usus
kegemarannya. Rigen yang tidak pernah
tahan rengekan anaknya cepat merogoh
koceknya mau membayar. (Tetapi
kayaknya bolehnya merogoh kocek itu
kok pelan sekali).

Saya pun tanggap ing sasmita, “Wis,


wis, ini saja. Ambil sate usus lima!”

“Cuma ini, Den?”

Saya cuma menganggukkan kepala.


Berdiri. Siap-siap mau pergi ke fakultas
karena hari ini memang sudah siang
betul.

265
“Begini, lho, Mas Joyo. Bapak itu
sekarang sedang mau sederhana seperti
bapak-bapak di Pusat. Maunya cuma
dahar sayur sama tempe saja.”

“Wooo, lha saya kalau tidak makan


iwak sak cuwil apa kuat dodolan begini.”

Di jalan saya tidak mendengar diskusi


itu lagi. Wong cilik, mana tahu lu strategi
pangan dan krisis moneterku. Di depan
saya ajaib sekali jalan ke fakultas kok
sekarang gundul dan panjaaang sekali.

Yogyakarta, 9 Juni 1987

266
Kami Bangsa Tempe

Mister Rigen adalah seorang kepala


kitchen cabinet yang baik. Sebagai
direktur, dia membawahi dua staf yang
sangat kompeten di bidang masing-
masing. Mrs. Nansiyem adalah seorang
asisten semua bidang yang, meskipun
memeliki tempo sendiri dalam bekerja,
sangat efektif. Dia adalah seorang drop
out SD sebuah desa, tetapi sama dengan
banyak penyandang drop out di dunia,
dia adalah seorang yang dengan sukses
menguasai beberapa bidang. Memasak
masakan tanpa nama tetapi sangat
kreatif, mencuci segala macam cucian
beberapa jam sehari dan mengelola
dinamika anaknya Junior Beni Prakosa.

Beni Prakosa sendiri, yang sekarang


semangkin mendekati usianya yang ke-3,
pastilah juga seorang anggota staf
267
kitchen cabinet dengan status capeg
(calon pegawai) karena belum cukup
umur dan belum menguasai bahasa Jawa
dan Indonesia dengan sempurna karena
teknik melipat lidahnya masih sangat
awam tingkatannya. Hobinya berdiri di
pinggir rak piring dan berteriak, “Solo –
Plambanan … Solo – Plambanan” sambil
mengacungkan tangannya menirukan
kenek kol yang dalam pandangan junior
begitu tampak gesit berwibawa. Orang
tuanya selalu tersenyum kagum melihat
anaknya yang kecil-kecil begitu sudah
pinter menjadi kenek kol. Namun dalam
hati mungkin rada cemas juga, jangan-
jangan cita-citanya Cuma segitu saja.
Meskipun Mr. Rigen belum pernah
mendengar Bung Karno meneriakkan,
“Gantungkan cita-citamu setinggi langit!”
Setidak-tidaknya dia tidak berharap cita-
cita anaknya setinggi kol Yogya – Solo
saja. Lahirnya saja pas hari ABRI, je!
Mosok akan cuma jadi kenek.
268
Bulan Syawal yang panjang belum
habis dan Mr. Rigen & staf dengan patuh
dan penuh profesionalisme melaksanakan
garis kebijaksanaan ekonomi-finansial-
budgetair yang telah saya gariskan.
Karena keringnya dana tentulah
deregulasi juga saya terapkan. Artinya,
saya tidak terlalu menuntut yang macam-
macam. Namun demikian, justru karena
anggaran kering itulah, saya telah
menuntut kitchen cabinet saya untuk bisa
lebih kreatif lagi. Ekspor non migas juga
saya galakkan dan saya tuntut pula
kreatifitas mereka. Koran-koran lama.
Majalah dan beberapa brosur diekspor
Rigen ke tukang loak untuk merentang
panjang anggaran. Kadang-kadang
kreatifitas mereka keterlaluan juga.
Mosok, pada satu hari saya dapatkan file
dokumentasi kertas-kertas seminar lama
semakin menipis. Mr. Rigen mengaku
telah mengikut sertakan makalah-
makalah lama itu berpartisipasi dalam
269
ekspor non migas.

“Itu kan makalah yang tidak penting


lagi, Pak!” penjelasannya pasti.

“Lho, bagaimana kamu tahu itu tidak


penting, hah?” hardik saya.

“Lha, makalah seminar ditumpuki terus


sampai kuning semua begitu mosok
taksih penting to, Pak? Bapak juga tidak
pernah baca lagi, kan?” pembelaannya
sangat pasti.

Saya menghentikan diskusi itu. Toh,


deregulasi sudah saya dekritkan dan
kratifitas ekspor non migas telah saya
canangkan pula. Konsekuen, dong!

Akan tetapi, bidang non migas itu di


rumah saya ternyata terbatas. Cuma yang
itu-itu saja. Koran, majalah, makalah
seminar, koran, majalah …. akhirnya
menipis juga. Bagimana tidak terbatas
kalau dunia itu hanya dunia tempe, tahu,
270
terong dan kangkung saja dan seminggu
sekali iwak pitik. Dan sejak dekrit saya itu
baru sekali ada ikan sapi, dan naga-
naganya akan semakin menipis saja. Ms.
Atau Mrs. (tergantung kapan
memakainya) Nansiyem yang memang
selalu kreatif, saya tahu, telah memutar
saya kreasinya. Tempe goreng, tempe
bacem, tempe bakar, sate tempe, gule
tempe bahkan sop tempe pun sudah
dihidangkan di meja dahar. Juga oseng-
oseng kangkung, salad kangkung,
dengan mayonaise santen, sayur asem
kangkung, sayur bening kangkung dan
entah menu kangkung apa lagi. Dan
cilaka, kuantitasnya pun kok semakin
menipis saja. Tempenya semakin langsing
dan kangkungnya pun semakin kurus.
Jangan ditanya iwak-iwak itu! Semangkin
sporadis dikepyur-kepyur di sela-sela
tempe dan kangkung! Wah, kalau begini
terus-terusan aluwung menggabung anak
istri di Betawi yang, meski sama-sama
271
kencangkan ikat pinggang, siapa tahu
tempe itu masih canggih …

Suatu sore, dari balik jendela belakang


saya melihat Mr. Rigen dan family pada
reriungan makan. Di bawah sinar listrik
dan sinar matahari senja, saya melihat
anak-beranak itu seperti lukisan Renoir.

“Lho, Pak, tempenya kok dicuwil-cuwil


lagi?!” protes Beni.

“Ssttt, biar roto, Le. Ini dak tambahi


jlantah iwak. Enak tho, gurih!”

“Iwak-nya mana, Bu?”

“SSttt, cuma sepotong buat Pak


Ageng!”

“Kok sudah lama Lik Joyo tidak bawa


ayam panggang, Pak?”

“Ssttt, Lik Joyo baru sakit. Mungkin


bulan depan, Le. Ayo, ini dimakan sop
272
kangkung ibumu. Seger!”

Oh, kitchen cabinet-ku yang kompak.


Aku tahu sekarang mengapa para ahli
ekonomi kita begitu pasti dan gagah
mengatakan bahwa “daya tahan ekonomi
rakyat desa masih kuat”.

Di dapur saya lihat Junior sudah mulai


lagi nggenjot-genjot rak piring dengan
penuh energi. “Solo-Plambanan …. Solo-
plambanan …. Solo-plambanan …. “

Yogyakarta, 16 Juni 1987

273
Jebule …

Pulang dari kantor pada bulan puasa


adalah puncak penderitaan. Hari sedang
menikmati sinar kepanasannya menusuk
kulit manusia yang lalu-lalang di muka
bumi pada jam-jam begitu. Tetapi,
setidaknya pada hari-hari bukan puasa,
kita akan segera terhibur membayangkan
apa yang bakal kita makan pada siang
itu. Masuk rumah yang terasa teduh, baju
kerja diganti sarung, kita akan segera
duduk di kursi meja makan. Tetapi, pada
hari-hari bulan puasa, urutan skenario
yang begitu akan banyak dilompati. Ada
beberapa jumping scenes menurut istilah
skenario film. Sesudah adegan ganti
sarung, ya sudah melompat ke adegan
tidur siang hingga adegan maghrib waktu
kita membuka puasa.

Begitulah siang itu waktu saya pulang


274
dari kantor. Sarung sudah membungkus
separuh tubuh, kaos oblong pun sudah
melekat di badan. Sambil menunggu
keringat mengering, saya duduk berkipas-
kipas di kursi goyang kerajaan. Dari
tempat itu saya melihat gelombang panas
bergetar di jalan depan rumah.

Tiba-tiba, dari belakang datang si


bedhes cilik Beni Prakosa mengelamuti es
tung-tung yang tinggal separuh. Mulutnya
belepotan dengan es yang berwarna-
warni pelangi.

“Eh, Pak Ageng, Pak Ageng. Jebule es


tung-tung itu enak lho, Pak Ageng.”

Kembali bedhes cilik itu mengelamuti


es-nya. Kelihatan nikmat dan seger betul.
Sialan! Trembelane tenan!
Kerongkonganku terasa lebih kering lagi
melihat itu.

“Jebule enak tenan, Pak Ageng.”

275
Dan ia pun terus saja mengitari kursi
goyangku, nggubel di dekatku.
Tampangnya yang lucu menjengkelkan itu
membuat saya gregetan dan
kerongkongan semakin kering lagi.
Akhirnya es tung-tung itu pun habis juga.
Mukanya sudah coreng-moreng seperti
badut sirkus, bajunya sudah berantakan
oleh lumuran es.

“Ayo, lekas ke belakang. Minta cuci


ibumu sana. Minta ganti baju yang sudah
basah semua itu. Masuk angin baru tahu
rasa kowe.”

“Beni Prakosa dengan pringisan lari ke


belakang sambil berteriak, “Yeeessss, Pak
Ageng!”

Damai turun kembali di bumi. Saya


masih belum siap untuk menuju ke
tempat tidur. Rasanya lemas betul untuk
dapat bangkit dari kursi goyang.
Indahnya es tung-tung itu masih
276
terbayang di mukaku. Kenapa pada masa
puasa begini es tung-tung dengan
kualitas cekeremes itu jadi seindah
lukisan Andy Warhol? Begitu nyata
lumeran es-nya. Mata mulai mengantuk.
Ada semilir angin terasa menerobos
masuk.

Tiba-tiba datang lagi si bedhes cilik.


Bajunya sudah ganti dengan yang bersih.
Mukanya juga sudah bebas dari
belepotan es tung-tung. Sekarang di
tangannya ada sepotong tempe bacem
yang tampak hitam kecoklatan. Pasti Mrs.
Nansiyem agak kebanyakan menaruh
gulanya. Kedelainya pun tampak besar-
besar menonjol. Puasa, puasa! Kenapa
bisa betul kau membuat mataku jadi
bertambah peka begini! Es tung-tung jadi
seindah lukisan, warna tempe bacem jadi
tampak lebih matang dan kedelainya pun
muncul lebih menor.

“Eh, Pak Ageng, Pak Ageng. Jebule


277
tempe bacem itu enak lho, Pak Ageng.”

Sambil berkata begitu mulutnya


bergerak menggerogoti tempe itu dengan
dahsyatnya.

“Jebule enak tenan, Pak Ageng.”

“Jebulmu, jebulmu kuwi! Ayo sana out!


Aououtt …!”

Dan kembali Beni Prakosa sembari


pringisan lari ke belakang.

“Yeeesss, Pak Ageeng!”

Sekarang saya yakin seyakin-yakinnya,


syaiton pasti yang mengirim Beni Prakosa
untuk meruntuhkan iman puasaku.
Astaghfirullah hal adziim!. Es tung-tung,
tempe bacem. He .. syaiton, ayo kirimi
aku es krim Haagen Dasz satu galon dan
t-bone steak barang sepuluh kilo. Ini
perutku, mana perutmu! Dan saya pun
berjalan gontai masuk kamar tidur.
278
Maghrib masih tiga jam lagi …

Seminggu sesudah syaiton mencobaku


dengan es tung-tung dan tempe bacem,
di Jakarta saya mendapat undangan
untuk berbuka puasa di salah satu hotel
berbintang empat. Ahh … ini pasti bukan
syaiton yang mengirim undangan.
Pastilah malaikat. Wong yang
mengundang itu mantan pejabat tinggi
yang sudah dua kali naik haji. Acaranya
pun lengkap. Buka puasa, sembahyang
maghrib, santap malam, sembahyang isya
’ disambung dengan sembahyang
tarawih. Kemudian ditutup dengan
ceramah tarawih dan ular-ular, wejangan,
buat putra dan putri sang pengundang
yang baru pulang dari California
menamatkan kuliah mereka.

Yah, enaknya jadi mantan pejabat


pemerintah pusat seperti saya ini. Masih
dihitung dalam undangan yang hebat-
hebat seperti itu. Dan kalau dihitung,
279
sudah beberapa kali saya jadi mantan
pejabat. Jabatan ini, jabatan itu. Eehh …
lumayan juga mantan-mantan priyagung
itu masih ingat kepada saya. Dan di
room-room yang sudah disiapkan di hotel
mewah itu, memang banyak saya lihat
tidak hanya para mantan dirjen, sekjen
dan menteri, tetapi juga para mantan, eh
..bukan, purnawirawan pati. Semua sokur
ngalkhamdulillah, kelihatan segar-segar
dan makmur belaka. Hem batik mereka
kelihatan gemerlap. Begitu juga dengan
para ibu beliau-beliau itu. Dalam baju
jilbab pun ibu-ibu itu masih tampak
kemilau. Dan bukan main. Dalam
percakapan di tengah santap malam yang
terdiri dari makanan Indonesia dan Eropa
itu, saya juga ikut bersyukur, ikut senang
mendengar tukar-menukar informasi
tentang keadaan keluarga masing-
masing. Percakapan seperti,

“Kalau buat si Joni dan Desi yang

280
mBakyu kirim sekolah di Boston itu
berapa mBakyu sediakan tiap bulannya?”

“Eh, ternyata not so much, lho.”

Saya tidak dapat mendengar jumlah


uang itu. Karena, mungkin saya ada di
dekat-dekat ibu-ibu itu, beliau
menempelkan mulutnya pada telinga ibu
yang seorang. Kedua ibu itu tertawa
cekikikan. Mereka melihat kepada saya.
Saya mengangguk sopan sekali,
tersenyum tanpa teges.

“Ahh, masa cuma segitu, mBakyu?”

“Bener, heus echt, tenan kok mBakyu.


Buat apa lho saya bohong. Lagian kami
sekarang kan sudah mantan toh? Mesti
berhemat-hemat.”

“Kalau begitu saya mau pindahkan


anak-anak saya ke Boston juga, ah. Habis
di California saya dengar brengsek sih,
situasinya.”
281
Saya berjalan bergeser mencoba
mencari makanan lain sambil mau
bergabung dengan kelompok lain. Wah,
kalau ongkos hidup satu orang dihitung
mepet saja sudah US $ 500,0, maka dua
orang anak sudah US $ 1.000,0. Masak
nggak pakai uang jajan? Belum lagi uang
kuliah mereka. Tetapi bukankah buat
pendidikan anak-anak kita , kita sanggup
berkorban apa saja? Kepala jadi kaki, kaki
jadi kepala dan entah bagian tubuh kita
yang mana lagi yang akan kita jumpalik-
kan asal anak bisa sekolah setinggi
mungkin? Ahh, ibu-ibu dan bapak-bapak
yang sangat bertanggung jawab!

Saya hanyut bergeser ke kelompok


anak-anak muda. Pastilah anak-anak para
kolega mantan-mantan itu.

“Malam, Oom!”

“Malam. Bagaimana nih score-nya?”

282
Mereka tertawa serempak. Mungkin
senang mendengar saya bicara dengan
lingo, bahasa, mereka.

“Score ya ini Oom. Kita harap


tarawihnya jangan lebih dari sebelas
rakaat, gitu.”

“Lho, memangnya kenapa kalau lebih


dari sebelas rakaat?”

“Pegel, dong, Oom. Lagian kita mau itu


tuuhh …”

“Itu tuuhh apa?”

“Yah, Oom manula, sih. Kita mau


nyambung ke disko …”

Saya terus bergeser menemui kawan-


kawan lama. Makanan yang mbanyu mili
itu serba nyuss dan milyuss belaka. Baik
roast beef-nya maupun rendang ala
rumah makan Pagi-Sore Padang serba
dahsyat. Malam pun berlalu dengan
283
mulus. Sembahyang tarawih berlalu tidak
lebih dari sebelas rakaat dan ceramah,
ular-ular, dari ulama itu pun singkat
mengena. Akhir ular-ular itu …

“ … begitulah, saya harapkan dari


anak-anak berdua. Sepulangnya nanti,
anak-anak dengan mulus dapat kembali
kepada ayah dan ibumu. Yaitu menjadi
bagian keluarga muslim yang taat, dari
keluarga pejuang yang selalu berbakti
kepada negara dan bangsa …”

Di rumah, istri saya yang berhalangan


ikut datang karena uzur, langsung
menginterogasi saya.

“Bagaimana suasananya?”

“Jebule buka puasa dan tarawih di


hotel itu menyenangkan betul.”

“Menyenangkannya?”

“Ruangan full AC yang sangat adem.


284
Permadani tebel bin empuk. Bau harum.
Makanan lezat dan mewah. Percakapan
seronok. Sembahyang khusyuk. Tidak
terganggu suara berisik lalu-lintas.
Jemaahnya tidak ada yang bau keringat
penguk. Wis to, pokoke menyenangkan.”

Istri saya manggut-manggut.

“Jebule begitu to buka puasa dan


tarawih para priyagung di hotel itu?”

Saya juga manggut-mangut. Mungkin


pada saat itu anak-anak muda putra-putri
para mantan dan purnawirawan itu
sedang asyik berajojing. Saya jadi
terbayang irisan roast beef yang merah
dan nyuss itu. Santapan kiriman para
malaikat. Tetapi kemudian juga bayangan
si bedhes cilik Beni Prakosa tampil
dengan sekeping tempe bacem.

“Jebule tempe bacem itu enak, Pak


Ageng!”

285
Ahh, santapan kiriman syaiton untuk
meruntuhkan iman puasaku ….

Yogyakarta, 26 April 1988

286
Saudara Flu

Pada suatu siang bolong minggu lalu,


tiba-tiba angin musim bediding yang
dingin masuk lewat jendela kamar kerja
saya dan langsung menggerayangi
seluruh tubuh saya. Syiirr. Langsung
seluruh tubuh menggigil kedinginan.
Waktu rasa dingin itu masih ngendon
untuk lima hingga sepuluh menit di tubuh
saya, saya perintahkan Pak Bei
Bahurekso, pesuruh-pembuat minum,
tukang putar mesin stensil, juru taman,
satpam sekaligus direktur pada waktu
kantor kosong, lari ke rumah untuk
mengambil jas Mao biru saya.

Jas itu memang jas bikinan RRC gaya


Mao yang saya beli beberapa tahun yang
lalu di toko serba ada di Singapura. Tentu
saja jas itu sekarang sudah kedaluarsa
modenya. Jangankan para mahasiswa
287
dan kaum intelektual yang sok kiri di
negeri kapitalis yang pernah tergila-gila
mengenakan jas Mao biru itu, di RRC pun
tinggal Deng Xiao Ping yang mau
memakainya. Itu pun mungkin cuma buat
basa-basi. Untuk sedikit membuat arwah
Mao, yang terus-terusan dia kritik itu,
sedikit tenteram. Selebihnya para
generasi muda RRC konon sudah bersikap
cuek terhadap jas potongan begitu. Sama
dengan generasi muda belahan dunia
yang lain, mereka memakai celana jeans,
t-shirt dan rambut di-sliwir. Touche buat
simbah Marx! Berantakan sosialisme
sampeyan digasak kathok bluwek dan
kaos oblong dan come back-nya kucir
China. Tetapi jas itu masih berfungsi bagi
saya. Terutama pada saat-saat gawat
darurat seperti siang itu. Sangat efektif
buat menutup tubuh yang menggigil.
Makanya jarang saya cuci. Semangkin
jarang dicuci ternyata semangkin ampuh
daya hangatnya.
288
Tetapi waktu Pak Bei Bahurekso datang
dan mengrukup tubuh saya dengan jas
Mao legendaris itu, saya malah gebres-
gebres, bersin-bersin, hampir sepanjang
hari. Tahulah saya bahwa saudara flu
telah datang kembali.

Di rumah, Mr. Rigen segera saya


perintahkan membuat wedang jeruk pecel
yang panas dan persediaan Refagan yang
cukup.

“Lho, saudara flu sudah rawuh lagi to,


Pak?”

“Iya, iya. Gek cepetan sana siapkan


semuanya!”

“Lho, tadi pagi Bapak masih seger,


menyanyi lagu-lagu Londo. Masih sempat
menjewer kupingnya thole Beni. Kok
sekarang ….. “

Saya bersin mengikuti gaya almarhum


ayah saya. Huuuuurrsyaaahhhh ….
289
Huuuurrsyaaaahhh …!

“Wah, blaik tenan iki. Pak Ageng


ketamuan saudara flu tenan iki …. “

“Lha, sudah tahu orang mulai wohang-


wahing nggak karuan begini kok masih
saja berdiri di situ, lho! Ayo cepetan,
siapkan semuanya!”

Flu memang akrab dengan saya.


Begitu akrab sehingga kedatangannya
yang agak teratur itu menjadi sasmita,
isyarat, bagi kami serumah. Bagi Mr.
Rigen itu pertanda bahwa untuk hari-hari
flu begitu dia mesti hati-hati dalam
menebak buntut dan menyusun huruf-
huruf KSOB. Dia yang begitu fanatik
dengan aura, sinar, kekuasaan
majikannya percaya benar bahwa flu akan
sangat berpengaruh terhadap
gelombang-gelombang yang membangun
sinar wibawa saya. Dan pengaruh itu
baginya terang pengaruh yang tidak
290
menguntungkan. Sebab gangguan sinar
tersebut akan ikut mengganggu susunan
nomor dan huruf-huruf yang, menurut Mr.
Rigen, akan terbawa lewat getaran
gelombang saya menuju otak dia. Maka
flu harus dilawan, dicegah agar jangan
lama-lama ngendon di tubuh saya.

“Alahhh! Tanpa flu kamu juga jarang


dapat pasang buntut sama huruf.”

“Lho, kalo Bapak sehat buktinya saya


sering dapat itu, Pak!”

“Gombal! Itu othak-athik mistik


kampungan.”

Bagi Mrs. Nansiyem, flu itu membawa


sasmita lain lagi. Bagi dia kedatangan
saudara flu berarti bakmi godhog panas
dan sambel botol sepanjang sarapan
pagi, makan siang dan makan malam
saya. Hari-hari begitu meskipun
menyederhanakan tugasnya, pastilah

291
sangat membosankannya. Daya
kreativitasnya di dapur terasa sangat
dihina oleh saudara flu itu. Masak cuma
mi tiap hari! Itu pun bukan mi telur tetapi
supermi biasa. Tetapi mau bagaimana lagi
kalau cita rasa boss kadang-kadang,
kadang kala, memang bukan cita rasa
kalangan intelektual.

Dan buat Beni Prakosa, kedatangan flu


di tubuh Pak Ageng sungguh membawa
sasmita petaka yang luar biasa besar.
Apalagi kalau flu itu datangnya pada
malam hari Kamis atau malam Minggu.
Oh … ciloko tenan, Pak Ageng. Hari
Kamis dan hari Minggu adalah hari-hari
Pak Joyoboyo patroli di kawasan
kompleks perumahan kami. Biasanya
pada malam Kamis dan malam Minggu
sang bagus Beni Prakosa sudah
mengingatkan saya akan hari besar itu.

“Sesuk Pak Joyoboyo lewat lho, Pak


Ageng!”
292
Saya pun mengerti sendiri bahwa itu
berarti sate usus minimum dua tusuk
buat dia. Tetapi dengan datangnya
saudara flu, tak mungkin itu terjadi!
Seperti telah saya ceritakan, bahwa flu
telah merendahkan kualitas makan-
memakan saya, menjadi dunia bakmi
menjadi mi godhog saja. Penggeng eyem
hasil eksperimen budaya masak-memasak
yang turun temurun di Klaten itu tidak
mempan melawan flu. Tubuh saya
langsung merinding melihat santan yang
mlekoh bergelimang membungkus dada
mentok dan paha. Melihat kelebatannya
saja perut terasa dikebur, tenggorokan
terasa sesak mau muntah. Dus, no
penggeng eyem, yes? Maka bagi Beni, flu
itu benar-benar satu kutukan dewata.

Bagi saya, pada usia yang mulai


membayang laruik sanjo ini, aneh sekali
flu semangkin jelas peranan spiritualnya!
Kedatangannya semangkin membawa

293
pesan jelas untuk lebih mawas diri. Dulu
hal itu tidak pernah saya rasakan

Flu, seperti Anda semua tahu, adalah


virus yang tidak tedhas tapak paluning
jamu sisaning tablet. Obat yang paling
mujarab adalah daya tahan tubuh kita
masing-masing. Semangkin kuat daya
tahan tubuh kita, semangkin cepat flu itu
hengkang dari tubuh kita. Semangkin
lemah daya tahan tubuh kita, semangkin
lama kita tergeletak di tempat tidur
merenungi langit-langit kamar.

Ada pun wedang jeruk pecel, Refagan,


bakmi godhog dan sambel botol hanyalah
sebatas penguat sugesti bahwa tubuh
kita digarap oleh semacam obat yang bisa
melawan flu.

Begitulah. Dari pengalaman saya


tergeletak di tempat tidur kamar saya
yang sunyi sepi karena ditinggal sendiri,
muka menghadap ke langit-langit kamar
294
dan mata yang hanya menangkap
sepetak eternit yang bagaikan lukisan
Mondrin yang belum jadi, saya mulai
menangkap sasmita itu. Dimulai dengan
merenung apa yang sudah dan belum
saya kerjakan hari-hari dan yang akan
datang. Lama-kelamaan, saya jadi mawas
keterbatasan saya dan menemukan
sangat sedikitnya kebisaan dan kebolehan
saya.

Saya janjikan satu mobil Mercedes


Benz 220 pada usia saya yang ke-40
kepada anak istri saya. Saya janjikan
sangu naik-dewasa kepada mBak dan
Gendut sebanyak US $ 1.000,00, yang
sesungguhnya hanya seper-seribu yang
diberikan Yoseph Kennedy kepada anak-
anaknya. Saya janjikan baju seragam
ABRI kepada Beni Prakosa menjelang
ulang tahunnya yang ke-4. Eh, …. tidak
satu pun dari jani-janji tersebut mampu
saya penuhi. Jangankan di usia yang ke-

295
40, usia sudah merayap mendekati yang
ke-60 ini pun janji-janji itu masih
berstatus gombal melulu. Nahhh, jadi
tahu kan keterbatasan kita? Itulah fungsi
spiritual flu! Ia berfungsi meng-edit,
menyunting janji-janji palsu kita. Dari
janji Mercedes Benz 220 pada usia yang
ke-40 menjadi Jeep kanvas plat merah.
Dari janji US $ 1.000,00 waktu naik-
dewasa menjadi slametan murah -tidak
begitu- meriah di antara sanak sedulur.
Dari janji baju seragam ABRI menjadi dua
biji kaos oblong bergambar Superman.

Virus-virus flu seluruh Indonesia,


bersatulah! Berilah sasmita kepada
semua pemimpin kita, ABRI atau sipil,
yang belum mantan atau yang sudah
purnawirawan, yang masih sendiri atau
yang sudah warakawuri, yang sudah
berjanji ini dan itu. Hinggaplah sewaktu-
waktu pada tubuh-tubuh mereka. Biarkan
mereka sewaktu tergeletak di tempat

296
tidur, mereka menatap langit-langit,
mengingat-ingat janji-janji mereka.
Saudara flu, biarkan mereka.

Yogyakarta, 19 Juli 1988

297
Haagen Dasz vs Es Tung-Tung

Jajan adalah sarapan kedua, dessert


atau cuci mulut sesudah makan siang,
dan alat untuk mancal kemul atau
penedang selimut sebelum tidur.
Bagaimana hebat dan bertubi-tubinya
indoktrinasi yang telah kita dapat sejak
kecil bahwa jajan adalah tidak baik.
Karena airnya mentah, makanannya tidak
ditutup tudung saji karena itu penuh
dengan debu, gizinya cuma sedikit,
tempat nangkring lalat pembawa
penyakit. Toh, dengan gembira kita lawan
indoktrinasi itu. Seakan-akan indoktrinasi
yang sudah berdasar penelitian dan
penemuan ilmiah itu omongan gombal
saja.

Korban besar atau kecil, perut mules


atau mencret bahkan meninggal, tidak
pernah membuat kita jera. Kita jajan,
298
jajan dan jajan. Dan sepertinya ini
merupakan persekongkolan internasional
melawan fatwa-fatwa tentang hygiene
dan kesehatan, di seluruh dunia, baik
kesatu, kedua dan ketiga, orang gemar
melahap jajanan itu. Dan with relish,
dengan nikmat!

Lihat saja Meryl Streep dalam “Falling


in Love”. Dengan sedapnya aktris dahsyat
itu melahap hot-dog jalanan sembari
terus minta tambah sambal chili kepada
penjajanya. Padahal di samping
indoktrinasi di sekolah, majalah
“Comsumer’s Report” yang sangat
berwibawa di Amerika itu, tidak jera-
jeranya memperingatkan khalayak akan
kotor dan tidak hygienis-nya makanan
seperti hot-dog atau hamburger jalanan
itu.

Bahkan untuk makanan rakyat atau


makanan jalanan itu, mereka
menciptakan istilah junk food. Makanan
299
sampah! Makanan rongsokan! Toh, rakyat
Amerika terus melahap makanan
rongsokan itu di jalan-jalan. Restoran-
restoran yang canggih di negara itu yang
mengangkat hamburger dalam menu
mereka dengan, misalnya, merk
hamburger with college education, tidak
pernah dapat mengusir hot-dog dan
hamburger dari jalanan. Mereka tumbuh
terus dengan suburnya. Ilalang tidak
pernah punah, kata pepatah Belanda.

“Pak Ageng, Beni boleh panggil


ginding-ginding, ya?”

“Ginding-ginding itu apa?”

“Itu, lho, yang bundel-bundel, yang


ting-ting.”

Anak kecil, apalagi jenius seperti Beni


Prakosa, selalu mempunyai cara sendiri
untuk menggambarkan benda-benda.
Adapun ginding-ginding itu maksudnya

300
glinding-glinding, bundel-bundel adalah
bunder-bunder dan ting-ting adalah suara
mangkuk yang dipukul sendok. Maka
tahulah kita yang dia gambarkan. Bakso!
Wah, setan cilik itu minta bakso pada
pukul empat sore. Dua jam sebelumnya
dia masih tidur pules. Dan setengah jam
sebelumnya dia masih makan siang
dengan sop cakar yang sangat bergizi.
Pada pukul empat sore tubuhnya sudah
membutuhkan jajan bunderan daging
kecil-kecil yang direkat dengan kanji
dalam jumlah yang sangat sporadis
berenang-renang di kolam larutan kaldu
yang mengagumkan cuwer-nya.

“Boleh, boleh. Panggil, Le!”

Saya tidak tahu mengapa nyaris


otomatis saya mengatakan “boleh”
kepada setiap permintaan bedhes cilik itu.
Mr. Rigen yang mendengar itu, buru-buru
berteriak,

301
“Ginding-ginding tiga saja!”

Hari berikutnya, hari yang memang


panas betul. Kami serumah leyeh-leyeh
kegerahan. Suara penjaja es puter lewat.
Beni Prakosa pun berteriak,

“Pak Ageengg! Es tung-tung, es tung-


tung!”

“Terus mau apa kalau ada es tung-


tung?”

“Beni mau, Pak Ageng.”

“Kamu baru sembuh dari pilek, to?”

“Sudah sembuh, sudah sembuh!”

“Sudah sembuh, sudah sembuh! Ya,


boleh panggil, Le!”

Dan, eh, kok saya ikut-ikutan beli juga,


lho. Dan, hemm … nikmat juga! Dan
tentu saja saya tidak bertanya apakah

302
airnya matang atau mentah, santannya
diperas di bekas kaos dalam penjajanya
atau dikalo bambu yang bersih, merasnya
pakai tangan kanan atau tangan kiri.
Pokoknya rasanya enak. Dan kami
serumah menikmati es tung-tung tanpa
beban apa pun. Mr. Rigen dan spouse
pun ikut menikmatinya tanpa
kekhawatiran anaknya mungkin akan
kambuh batuknya. Pokoknya enak.

Di Jakarta beberapa hari sesudah itu si


mBak, anak sulung saya yang sudah
bersuami dan beranak bayi itu, membawa
berita setengah pengumuman setengah
tuntutan.

“Pak, es krim Häagen Dasz sudah


datang di Jakarta!”

“Terus?”

“Kok terus. Beli, dong!”

“Dalam rangka?”
303
“Dalam rangka nostalgia.”

Es krim, saya ingat, memang kelewat


enak. Cuma enaknya es krim itu sampai
mana sih batas puncaknya? Di Moskow,
saya ingat, es krimnya juga kelewat enak.
Konon dulu mereka mengirim Anastasia
Mikoyan sendiri untuk belajar membuat
es krim di Amerika. Ada pun Häagen Dasz
itu bukan es krim Skandinavia, melainkan
es krim Amerika tulen. Nama Häagen
Dasz itu konon untuk bikin seram di
telinga saja. Biar lebih meyakinkan,
memberi kesan es krim impor. Jadi,
sesungguhnya sama saja dengan sepatu
Cibaduyut diberi merk „kebarat-baratan’,
tas kantor Sidoarjo diberi merk Echolac
atau Samsonite.

“Demi nostalgia nih, yeee?”

“Iye, dong, Be.”

Dan demi nostalgia itu mahal juga


304
harganya. Eh, bukan mahal! Tapi …
muahall! Plus korban perasan lagi.
Bayangkan, di delicatessen Hotel
Borobudur saya memang plingak-plinguk
mencari saudara Häagen Dasz itu
ngumpet di mana. Perempuan yang jaga
itu, perempuan Indonesia, bertanya rada
ketus,

“Yes?”

Lho, kok yes, tanya saya dalam hati,


“Yes?”

Wah, repot nih. Tanyanya yes melulu.

“Anu, apa betul di sini jualan Häagen


Dasz?”

“Sure. Di situ. Di freezer itu. Mau beli?


Satu pint Rp 9.500,- plus tax, lho.
Diamond saja lebih murah. Bule saja
kalau ke sini ambil yang Diamond …”

Untuk show of force bahwa Häagen


305
Dasz itu dulu di Amerika sono adalah
dessert kami setiap saat, saya beli dua
pint. Satu Chocolate, satu Vanilla Honey.
Di depan kas, meski mata masih
menteleng mempertahankan gengsi, hati
saya kecut juga. Mati aku. Es krim dua
pint saja kok dua kali Rp. 9.500,- plus
tax, lho.

“Terima kasih, Pak. Saya harap


keluarga akan enjoy Häagen Dasz.”

“Sure, sure, mBak. Häagen Dasz


ganyangan kami sehari-hari.”

Di rumah kami, di Cipinang Indah,


memang dengan penuh relish anak-anak
saya plus meng-Häagen Dasz dengan
nikmatnya. Akan halnya saya, karena
yang membayar, tentu saja harus juga
kelihatan nikmat melahap es krim canggih
itu. Juga istri saya, yang sepeninggal saya
wajib ketir-ketir hatinya menampung
tuntutan-tuntutan nostalgia yang lain dari
306
anak-anak saya.

Waktu kembali ke Bulaksumur segera


saya keluarkan perintah hari itu.

“Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem, Beni


Prakosa, kalau es tung-tung lewat, segera
panggil, ya!”

“Lho, tumben Bapak kok ngebet es


tung-tung?”

“Demi nostalgia, Gen.”

Kami berempat, sekali lagi leyeh-leyeh


di lincak menikmati es tung-tung di siang
yang gerah itu. Empat gelas es tung-tung
harganya cuma Rp. 200,-. Junk food,
makanan rongsokan sedunia, bersatulah!

Yogyakarta, 23 Februari 1988

307
Roti Dan Permainan

Dialog antara Mr. Rigen dengan Mas


Joyoboyo pada rutin ayam panggang
Minggu pagi kemarin itu agak nyleneh,
keluar dari acuan biasa mereka. Tidak
kedengaran mereka ngrasani kelas
priyayi, tidak terdengar desah tradisional
kelas wong cilik. Tidak juga nyelonong
semangat kepasrahan mereka. Yakni
sembari tiduran di kamar pada Minggu
pagi yang permai meski sedikit sumuk.

“Mas Rigen, sampeyan nanti malam


mau nonton bal-balan Indonesia lawan
Malaysia tidak?”

“Haa, enggih, to! Pinal, je!”

“Wah, sampeyan enak nggih,


nontonnya di sini sama majikan
sampeyan.”

308
“Wee, lha enggih. Tur tipi-nya
berwarna.”

“Wah, lha kalo saya mesti numpang


lihat di rumah ipar saya. Sesungguhnya
rikuh juga. Ngrepoti.”

“Wong numpang nonton tipi saja kok


ngrepoti, to Mas. Di rumah ipar lagi!”

“Ya, mestinya begitu. Tapi ipar saya


yang satu ini elok tenan kok, Mas Rigen.”

“Bagaimana elok-nya?”

“Lha, kalo saya datang sama anak-


anak mau nonton tipi itu ada saja
sindirannya. Katanya begroteng nyamikan
kacang tambah sekilo, gula ya tambah
sekilo, lha teh sama kopi tambah dua
bungkus. Mangka kami datang belum
tentu seminggu sekali, lho. Jiaan, elok
tenan sedulur saya yang satu ekor itu.”

“Ahh, mosok saestu, Mas Joyo. Wong


309
bersaudara kok begitu?!”

“Weh, lha saestu. Ning nanti malam


saya mau rai gedhek, muka tebal, kok.
Biar dia bilang mau tambah begroteng
gula kopi sak kwintal, ya biar saja.
Soalnya bal-balan, je. Sampeyan njagoi
mana, Mas Rigen?”

“Ya Indonesia, ngoten. Mosok njagoi


mungsuh?”

“Wah, kalo saya itu, meskipun bangsa


dhewek, kalo nganyelke, ya tidak usah
dijagoi, Mas.”

“Lho, nganyelke bagaimana?”

“Lha, bal-balan kok makan suap


pemain kita itu, lho. Karena itu nanti
malam saya njagoi Malaysia.”

“Ah, biar makan suap, kan bangsa


dhewek, Mas Joyo.”

310
“Kalo begitu begini, Mas Rigen. Kita
totohan, taruhan dada mentok panggang
lima biji. Kalo Malaysia yang menang,
sampeyan kudu beli lima potong dada
mentok. Sebaliknya, kalo Indonesia yang
menang saya hadiahi dada mentok lima
biji, biar sampeyan sama mbakyune sama
den baguse Beni blokekan ayam
panggang.”

“Nggih, setuju!” Dan keduanya tertawa


keras-keras. Saya pun di tempat tidur ikut
cekikikan sendiri. Wah, ada-ada saja para
punakawan mencari hiburan. Tidak setuju
suap tapi setuju taruhan.

Konon, Julius Caesar, kaisar Romawi


yang agung itu punya resep jitu untuk
menenteramkan rakyatnya, yaitu resep
“roti dan permainan”. Berilah wong cilik
cukup makanan, maka mereka akan diam
karena kenyang. Berilah wong cilik cukup
permainan, maka hatinya akan senang.
Rakyat mana yang akan mau macam-
311
macam kalau sudah dibegitukan? Tetapi
apakah Julius Caesar orisinal dengan
konsepnya itu? Mungkin tidak. Mungkin
dia meniru saja resep sederhana dari
orang tuanya. Bukankah para orang tua
dari zaman dulu sampai sekarang begitu
saja mengelola kontradiksi dalam rumah
tangganya? Cukupi roti di pasaran,
giringlah rakyat menonton gladiator
berkelahi sampai mati di koloseum. Dan
kalau mereka masih resah, kirim mereka
berperang ke Mesir dan entah ke mana
lagi.

Lha, di rumah saya, di mana kecil-kecil


saya juga madeg, bertahta bagaikan
seorang kaisar, ternyata saya menerapkan
resep begitu juga (yang saya dapat dari
orang tua saya dulu). Roti yang berbetuk
nasi lauk-pauknya cukup. Begitu juga
permainan, apalagi yang kurang? Yang
disebut rakyat di kerajaan saya cuma tiga
orang. Kamar tidur mereka satu. Cukup

312
untuk permainan apa saja buat Mr. Rigen
dan Ms. Nansiyem. Dan Beni Prakosa
mulai dari mainan thowet-thowet sampai
mobil-mobilan dari jalan Solo ada semua.
Dan semua tontonan baik di Purna
Budaya maupun di alun-alun utara, mulai
ketoprak Gito-Gati sampai flipper dan
sirkus sekatenan adalah saluran
permainan mereka juga. Bisa dimengerti
kan kalau mereka tidak rewel dan hatinya
senang? Dan, eh, teve berwarna yang
baru bisa saya beli dua bulan yang lalu,
yang setiap hari dipamerkan Beni kepada
setiap tamu yang berkunjung ke rumah,
kok ya menyajikan SEA Games, lho.
Setiap pukul lima sore, sehabis mandi,
sang jenius kecil Beni Prakosa sudah
duduk manis dan rapi di depan teve,
berteriak menuntut, “Setel tipi, Pak
Ageng, sigim, sigim.” Ucapan Inggris
jenius cetakan Pracimantara memang
agak lain …

313
Sore itu, saya sudah mapan
tertelungkup di depan teve sejak pukul
tujuh sore. Mr. Rigen boleh full melihat
final sepak bola asal sembari mijit tubuh
saya. Wong kaisar, kok! Dan Mr. Rigen,
rakyatku yang setia, apakah ada pilihan
lain? Malam itu adalah malam taruhannya
yang terpenting dan terbesar. Lima dada
mentok panggang Klaten. Itu berarti
seperenam dari gajinya setiap bulan. Bisa
dimengerti kalau konsentrasi pijitannya
agak kacau malam itu. Nyet-nyet
tangannya yang khas terasa agak enteng
malam itu. Dan kalau Malaysia mulai
menggerebek gawang Mas Ponirin,
tangannya begitu saja dilepaskan dari
kaki saya karena dibutuhkan untuk
sedakep sendiri. Dan pada waktu pasukan
kita menggerebek gawang Malaysia
tanganya juga dilepas lagi. Kali ini
dibutuhkan untuk mengepal-ngepal
tinjunya. Dan kasihan nasib juga Beni
pada malam itu. Terus-menerus digusah
314
bapaknya ke belakang ke tempat ibunya.

Akhirnya Ribut Waidi dengan ributnya


membuat gol sehingga Mr. Rigen
membikin ribut suasana rumah saya.

“Gol! Goll! Mana dada mentok-mu Mas


Joyooooo?!”

Dan Mr. Rigen pun berjingkrak-jingkrak


membayangkan dada mentok lima buah
yang bakal dia terima Minggu pagi yang
akan datang. Kalau begini memang
taruhan itu sehat dan tidak berbahaya.
Lha wong dada mentok, je ….!!!

Yogyakarta, 22 September 1987

315
Nostalgia

AGAK mengejutkan juga percakapan


dengan Prof. Dr. Lemahamba M.Sc.
seminggu yang lalu di rumah saya.
Pertama, kunjungan itu adalah kunjungan
yang boleh dikatakan langka karena
kesibukan Profesor tersebut mengurus
dunia. Mungkin itu yang disebut mamayu
hayuning bawana. Kedua, tema
percakapannya itu. Coba ….

“Well, I think our economy is in totally,


completely chaos.”

“Lho, kados pundi to, Prof?”

“Ekonomi-ne negaramu itu, lho, ancur-


ancuran!”

“Lho, ancur-ancuran bagaimana to,


Prof?”

316
“Daging sekarang sudah Rp. 5.500,-
satu kilo, kacang lanjaran yang beberapa
waktu yang lalu satus rupiah tiga ikat,
sekarang seket rupiah satu ikat. How,
about that?”

“Wah … lha how ya? Prof kok begitu


up to date data-data pasar? Dapat dari
ibu, ya?”

“Eh, tidak. Data dari ibu itu hanya


untuk mengecek saja. Saya mengadakan
grounded research sendiri. Di Pasar
Kranggan, Pasar Beringharjo, bahkan
pasar di jalan Solo yang nylempit di
antara toko-toko itu.”

“Yakk, apa bener itu harga-harga di


pasar Yukja, Prof? Kok kayaknya ibunya
Gendut di Jakarta minggu lalu laporannya
ya kayak begitu, Prof. Daging, kacang
lanjaran, kangkung … “

“Pokoknya mahal, mahal, mahal. Terus


317
nanti kalau lebaran bagaimana? Rakyat
kecil itu lho, yang saya pikirkan. Mau
makan apa mereka?”

“Kalau pertanyaan itu yang kita


tanyakan, wah, kita hanya akan
dikecelekan oleh surprise-surprise
mereka, Prof.”

“Maksudmu?”

“Wong cilik itu kayaknya kok pinter jadi


tukang sulap semua, Prof. Coba Prof,
lebaran nanti datang nyelonong begitu
saja ke rumah pembantu Prof. di desa.
Nanti Prof. rak kaget.”

“Kaget bagaimana?”

“Di meja makan mereka akan ada juga


opor ayam, ketupat, lontong, sambel
goreng ati. Coba saja datang, Prof.”

“Ahh, masa. Dari mana mereka dapat


duit untuk itu semua, hah?”
318
“Yaa, ada saja akal mereka, Prof.
Menabung sedikit demi sedikit.”

“Curi sedikit demi sedikit?”

“Ahh, ya tidak, Prof. Kalau yang diikuti


pegawai negeri kayak kita, yang mau
dicuri itu gek ya apa to, Prof?”

Prof. Lemahamba menghela nafas


panjang. Kekhilafannya masih tercekam
oleh naiknya harga-harga. Atau mungkin
lebih oleh roso prihatinnya memikirkan
nasib wong cilik. Lha wong beliau itu
sarjana, intelektual, patriot, penerap tri
dharma perguruan tinggi komplet,
pelaksana P4 sempurna, lho!

“Wah, … hemm. Hidup kita sebagai


pegawai negeri kok semakin berat, ya?”

“Ya berat, Prof. Tapi ya tidak usah


sedih-sedih amat, Prof. Seperti para
pembantu kita itu, mosok kita akan
kehilangan akal. Akan tetap ada opor
319
ayam, sambel goreng ati, ketupat sak uba
rampe-nya. Ya, embuh nanti, Prof.
Lebaran tahun ini di mana, Prof?”

“Wah, … kami agak mujur lagi tahun


ini, Bung. Kalau tahun lalu kebetulan kami
dapat undangan konferensi di Geneva.
Tahun ini dekat-dekat sini saja.
Kebetulan, kebetulan lagi nih, kami ada
undangan rapat konsultasi di Hongkong.
Ya, lumayan. Ngirit! Menghemat tidak
usah sedia opor ayam. Cuma itu, lho ….!”

“Cuma apa, Prof?”

“Kami masih memikirkan para


pembantu itu, lho. Mau makan apa
mereka nanti lebaran. Tapi ah, ya, kalau
seorang sosiolog seperti kamu sudah
mengatakan para pembantu itu banyak
akalnya, very resourceful, ya sebagai
orang di bidang matematika, yah, saya
percaya saja.”

320
Sesudah Prof. Lemahamba pergi dan
Mr. Rigen mengundurkan cangkir-cangkir,
Mr. Rigen kembali ke ruang duduk nglesot
di dekat kursi malas. Saya sudah tahu,
dia pasti mau kasih komentar.

“Apa, kamu rak habis nguping,


menelinga lagi, to?”

Saya menunggu Mr. Rigen meringis.


Eh, kok tidak.

“Jan para priyayi itu sadis semua!”

“Lho, sadis bagaimana, Mister?”

“Lha, coba saja dengar kata-kata


profesor yang lemah-nya berhektar-
hektar itu.”

“Ya, tidak berhektar-hektar to, Mister.


Beberapa ribu meter saja.”

“Ya sudah, beribu-ribu. Kayak yak-yak-


nya saja mengeluh harga kangkung,
321
kacang lanjaran. Wong tahu harga koran
Jakarta, lho.”

“Ya, kan tidak salah to, Gen? Harga-


harga rak mumbul semua, to?”

“Iya. Tapi mboten usah ethok-ethok


sedih. Terus saya ini yang mau sedih
betul bagaimana?”

“Lho, kamu sedih apa, Mister?”

“Yakk, Bapak ki. Saya dengar Bapak


ikut-ikutan bilang wong cilik banyak
akalnya itu, saya jadi semangkin sedih.
Wong akal saya mangkin sedikit lho, Pak,
kalau dekat-dekat lebaran begini.”

“Saya kan ya tidak terlalu salah to,


Gen, kalau bilang kalian bisa
menyediakan opor ayam sak uba rampe-
nya itu?”

“Ya, tidak terlalu salah. Ning tetep


salah, Pak.”
322
“Salahnya?”

“Ya, wong cilik itu makin pringisan cari


akalnya, Pak. Makin susah
mengumpulkan duit. Opor ayam ya tetep
ada. Ning ya itu. Yang disembelih
ayamnya mangkin cilik tur sithik.
Santannya juga mangkin cuwer. Sambel
gorengnya ya tidak pakai ati lagi. Daging
ya ada ning disuwir-suwir. Pak, Pak, mbok
panjenengan sedaya jangan sadis-sadis
sama wong cilik …. “

Mak klepat Mr. Rigen pergi ke


belakang. Hatiku anjlok beberapa meter.
Kali ini miris betul aku. Aku tercenung
mendengar grundelan Mr. Rigen itu. Aku
membayangkan Prof. Lemahamba jalan-
jalan shopping di Kowloon lebaran yang
akan datang. Aku membayangkan opor
ayam dan rendang dagingku di Jakarta.

“Pak Ageng, nanti sore boleh lihat baris


dramben?”
323
Beni Prakosa tahu-tahu sudah
mengelus-ngelus tanganku di kursi.

“Boleh, boleh, Le. Bilang bapakmu


boleh pakai jip …”

“Horee, horee, boleh pakai jip,


Paaakkkk!”

Yogyakarta, 2 Februari 1988

324
Gudeg, Kultur dan Kita

Dari sudut gizi apalah artinya gudeg?.


Makanan yang unsur utamanya adalah
nangka muda itu dimasak dalam lautan
santan dalam waktu paling sedikit dua
puluh empat jam. Dua puluh empat jam!
Dalam waktu selama itu manusia normal
sudah akan tidur dan bangun sedikitnya
dua kali, makan sedikitnya tiga kali,
mandi dua kali dan ke belakang sekali.
Belum lagi bekerja plus ngantuk-
ngantuknya di kantor yang sedikitnya
enam jam itu. Pendeknya, dalam dua
empat puluh jam itu, alangkah banyak
yang dikerjakan manusia.

Tetapi gudeg? Dalam waktu selama itu,


nangka muda itu diubleg-ubleg dengan
kehangatan yang konstan dalam lautan
santan, gula Jawa dan buillon plus
kumpulan rempah-rempah yang hanya
325
diketahui oleh juru masaknya.

Untunglah nangka muda itu tidak


punya roh seperti kita. Bayangkan kalau
mereka punya roh itu. Diubleg-ubleg
dalam segala macam lautan bumbu
begitu. Apakah mereka tidak akan
berontak memecahkan belanga,
meluberkan santan dan kaldu,
menggelegakkan semuanya hingga dapur
mbakyu penjual gudeg itu akan
berantakan tenggelam dalam lautan kuah
gudeg?

Kalau hal itu sampai terjadi, koran


Kedaulatan Rakyat pada esok paginya
pasti akan memuatnya sebagai headline.
Kira-kira laporan itu akan berbunyi seperti
ini.

“Pemberontakan Gudeg! karena sudah


tidak tahan lagi menahan penderitaan
yang berabad-abad lamanya, nangka
muda di dalam belanga pabrik gudeg
326
mBakyu Siyem berontak. Kuwali itu
diledakkan dari dalam dengan suara
menggelegar. Dapur itu hancur
berantakan. Seorang pembantu mBakyu
Siyem ditemukan mati tergeletak di
dapur. Tubuhnya berlumuran santan,
cuwilan nangka muda, tetelan daging dan
tulang-belulang bertebaran di seluruh
tubuhnya ….. “

Jadi dari sudut gizi, gudeg itu nyaris


tidak berarti. Ia termasuk masakan yang
over-overcooked, alias sangat terlalu lama
dimasak sehingga menguap semua sari-
sari vitaminnya. Tetapi, apakah masakan
asli kita pernah sangat peduli tentang
vitamin? Lodeh, sambal goreng ati dan
pete, opor, oblok-oblok, abon, akankah
tidak terlalu menggubris akan kesegaran
vitamin? Yang penting eco, lezaat, mak
nyuss. Tetapi, bicara tentang kelezatan
gudeg, secara obyektif, kita harus
mengakui bahwa itu relatif. Bagi orang

327
Yogya jekek yang sudah bergenerasi
tinggal dalam pelukan jas sogok upil dan
mondolan telur, tentulah gudeg itu
kelezatannya seklasik gamelan Sekaten.
Tetapi, bagi wong sabrang yang datang
ange-Jawa, gudeg itu terlalu manis,
baahh!

Toh dari sudut kultur, gudeg itu adalah


fenomena ajaib! Ada unsur beyond, nun
di balik sana. Di balik rasa gudeg yang
dianggap eco, bisa dianggap terlalu manis
itu, ada satu ikatan emosional yang aneh
bagi siapa saja yang pernah bermukim di
kota Yogya. Pak Affandi, pelukis
ekspresionis yang kesohor seantero dunia
tetapi berasal dari Cirebon dan bermukim
di pinggir Kali Gajah Uwong,
Ngayogyakarta, selalu harus nongkrong di
depan bakul gudeg setiap kali beliau
pulang dari perjalanan melukis di luar
kota. Rasanya belum afdol kalau belum
melahap gudeg sepulang dari jalan

328
menggambar, kata beliau.

Almarhum Pak Wonohito, Pak Besut


dan Pak Samawi hampir setiap malam
sehabis tugas di belakang meja
Kedaulatan Rakyat nongkrong di gudeg
Bu Mul dan wedang Bu Amat di depan
Pasar Beringharjo. Berhandai-handai
dengan dua ibu itu, dengan siapa saja
yang mampir nongkrong di situ.
Menghirup udara malam, mengamati
kehidupan sehari-hari sembari makan
gudeg dan menyeruput wedang teh
nasgitel, panas legi tur kenthel, adalah
ritual yang sangat penting bagi almarhum
pelopor-pelopor wartawan itu.

Para seniman yang habis nonton teater


di Seni Sono atau lihat pameran di Purna
Budaya atau mendengar ceramah di Karta
Pustaka adalah juga pelanggan gudeg
yang setia di sepanjang trotoar Malioboro.
Dan sekali-sekali keluarga Presiden kita
kalau kebetulan menginap di Istana
329
Gedung Agung juga berkenan memanggil
Bu Mul dan seorang kolega lagi untuk
membawa gendongan gudeg mereka ke
istana itu. Pak Harto dan Bu Tien sekali-
sekali rindu juga jajan gudeg sembari
nglesot di tikar. Pastilah bukan kebetulan
kalau kehidupan malam sepanjang trotoar
Malioboro dengan sederet gudeg-gudeg
itu semangkin rame saja di kota ini.
Beyond, nun di balik sana, itu pasti ada
sesuatu …

Begitulah, pada suatu malam, saya


mengajak beberapa teman dan Mr. Rigen
untuk makan gudeg Bu Mul dan minum
teh jahe di Bu Amat, di depan Pasar
Beringharjo. Untuk kesekian kali, Mr.
Rigen tidak begitu antusias ikut rame-
rame makan gudeg begitu. Tetapi, karena
ini perintah bos yang membutuhkan
sopirannya, dengan penggrundelan di
dalam hati, Mr. Rigen akhirnya mau juga.
Meskipun dengan melemparkan

330
pangunandikanya secara vokal kepada
saya.

“Kalo Bapak rame-rame dhahar gudeg


begini, apa Bapak tidak merasa buang-
buang saja?”

“Tidak. Memangnya kalau aku jajan


dengan uang-uangku sendiri tidak boleh?
Lagi pula ini jajan gudeg. Nguri-nguri
warisan tradisional. Saya kan tidak ngajak
teman-teman dan kamu jajan steak dan
hamburger, Mister.”

“Lha, nguri-nguri gudeg di rumah kan


ya bisa to, Pak. Urusan saya beli gudeg
Selokan Mataram atau Juminten terus
didhahar rame-rame di rumah kan bisa?
Kalau begini ini kan Bapak terpaksa
begadang sampe jauh malam. Naaa…
besok masuk angin! Saya juga ikut
repot!”

Cilaka! Ini direktur kitchen cabinet


331
sudah agak kejauhan kritiknya. Saya jadi
agak tersinggung karena dia sudah mulai
berhak mencampuri urusan dalam negeri
saya. Juga karena dia tidak mengerti
unsur beyond dari gudeg itu.

“Pokoknya kamu harus ikut. Titik. Ini


proyek prioritas. Kamu harus ikut!”

Mr. Rigen tidak bisa lain daripada harus


ikut. Nada sang bos sudah kedengaran
final betul.

“Siap, Pak!”

Dan berangkatlah kita ke depan Pasar


Beringharjo. Dan malam itu berjalan
seperti malam-malam yang lain. Hangat,
seronok, geerrr, srupat-sruput minum
wedang, satt-sett melahap gudeg.
Lempar melempar guyon kepada kedua
ibu legendaris itu. Orang ngamen, baik
yang siteran maupun yang Bob Dylan
gadungan, tidak hentinya mampir minta

332
pembagian honorarium. Mr. Rigen
biasanya tidak mau ikut makan, tetapi
cuma duduk di pojok lincak Bu Amat
sambil nyeruput wedang teh nasgitel.
Mungkin dari pojok begitu dia bisa
merasa aman mengamati polah tingkah
kami warga kelas menengah elite
birokrasi yang sedang piknik ke bawah
dengan para wong cilik. Saya lihat
sebentar-sebentar dia tersenyum sendiri.
Mungkin menertawakan absurditas ritual
makan gudeg kami.

Tiba-tiba saya melihat ketebang-


ketebang segerombolan wong sabrang
datang, sahabat saya seangkatan di UGM
dulu yang sekarang jadi bos besar di
departemen dalam negeri, Mr. Robert
Rajagukguk. Dan seorang lagi yang saya
juga kenal, Mr. Johni Sibutar Butar, juga
seorang petinggi di salah satu
departemen di Jakarta.

“Wah … wah … wah… ini kok raja-


333
raja mBatak pada turun ke kerajaan
Jawa. Ada apa nih?”

“Ha … ha … ha … ini si raja Zawa kok


masih kerazan nongkrong teruz di Zogza.
Gudegnya, Buk, yang bezar dada
mentoknya, yang banyak nazinya. Kalau
belum makan nazi gudeg di Zogza, belum
zah, toh?”

Dan sambil tertawa keras-keras, Raja


memukul punggung saya keras-keras.
Dan pesta gudeg itu pun jadi semangkin
seronok.

“Eh, Raja. Seingat saya, dulu kau itu


paling benci sekali dengan gudeg, lho.
Yang terlalu manis lah, yang bikin eneg
lah. Kok sekarang malah rindu gudeg?”

“Ya, itulah gudeg. Kalau jauh bikin kita


rindu. Kalau hari-hari di zini jadi bozan,
ya? Zama dengan kota Zogza, toh?”

Dan kami pun melewatkan malam itu


334
dengan saling mengingatkan zaman jauh
sekali di belakang, yang sekarang
kayaknya tampak begitu indah tanpa cela.

Di rumah, jam sudah menunjukkan


pukul dua pagi. Mataku mulai terasa
berat betul. Dan boyok pun mulai
berbunyi mak kreteg setiap saya
gerakkan agak keras sedikit. Mr. Rigen
melihat saya tampak begitu loyo,
membantu saya melepas pakaian saya.
Kemudian masih memandang saya agak
lama menggeletak di tempat tidur saya.
Sebelum meninggalkan kamar saya, dia
masih sempat nyeletuk,

“Maaf, nggih Pak. Dhahar gudeg


seperti tadi itu buat saya malah tidak
cucuk. Ngebreh, tidak hemat. Kalo tadi
dhahar gudeg di rumah, kan Bapak tidak
gerah dan loyo seperti sekarang …”

Dengan mata belas kasihan dia


memandang saya sekali lagi, terus
335
menghilang di balik pintu. Saya menguap
kuat-kuat. Boyok memang semangkin
sakit. Tetapi ingat kawan-kawan lama
tadi, malam lesehan yang begitu maat
dengan gudeg dan wedang teh jahe,
alangkah nikmatnya. Tidak cucuk, kata
Mr. Rigen! Mungkin buat dia ritual gudeg
seperti malam itu, ritual mewah kaum
priyayi yang dekaden saja. Mungkin
gudeg buat dia mesti dihayati sebagai
lawuh, lauk yang mesti dilahap langsung
dengan nasi tanpa embel-embel apa-apa
lagi. Sedang melahap gudeg seperti
malam tadi itu hanya buang uang dan
energi saja. Kaum priyayi sekarang yang
bernama Korpri, sih! Tetapi si Rajagukguk
tadi, apakah dia juga priyayi? kalau Mr.
Rigen mendengar pangunandika saya,
mungkin dia masih akan ngeyel begini,

336
“Ahh, dia kan Korpri juga. Jadi priyayi
juga to, nggih. Dari namanya saja
Rajagukguk. Pasti priyayi itu, wong raja
kok …”

Yogyakarta, 15 Desember 1987

337
Menjelang Tahun Baru

MEREKA yang benar-benar penikmat -


connoisseur- pijit, pastilah tahu bahwa
semua tukang pijit profesional adalah
pemijit yang nikmat. Sering kali bahkan
sebaliknya. Saya punya langganan
seorang tukang pijit prof di Jakarta yang
memang seorang prof sejati. Artinya,
bukan hanya hidupnya dari pekerjaan
memijit, akan tetapi pekerjaan itu
ditekuninya dengan sangat seriusnya.
Segala macam letak urat, syaraf, tulang
belulang dikuasainya. Bukunya tentang
pijit memijit dari macam-macam Negara
dimiliki dan dikuasainya. Tetapi kalau mau
pijit maat-maatan lebih baik kita tidak ke
sana. Sebab pijitannya itu, wuaduh …
prof sekali alias sakit sekali dan mahal
betul ongkosnya. Tetapi, memang
sesudah itu tubuh kita terasa segar dan
lincah.
338
Tetapi, apakah orang hidup mesti
hanya kesegaran dan kelincahan yang
dicari? Tidak, kan? Orang hidup di
samping mau segar dan lincah bukankah
mau macam-macam lagi? Misalnya, mau
hidup laras, santai dan maat. Maka di
dunia pijit-memijit mestilah ada yang
memiliki keahlian khusus memberi roso
maat kepada yang dipijit. Dan sering kali
tidak ada hubungannya dengan urusan
ilmiah seperti pemijit prof saya yang di
Jakarta itu. Ini urusan roso. Ada yang
mengisik-isik, mengosok-osok, ada pula
yang menggosok-gosok dan menggusuk-
gusuk, ada pula yang …. ahh, pokoknya
yang ada hubungannya dengan roso-lah!

Mr. Rigen adalah pemijit dari mazhab


yang kedua itu. Pemijit roso. Hanya sekali
dia diajari oleh sahabat saya yang penyair
sekaligus pemijit, pencari batu akik dan
pengusir setan itu. Tetapi pada
kesempatan berikutnya, Mr. Rigen sudah

339
memijit dengan nikmatnya. Salah satu
bonus saya, bila kecapekan habis
melembur baik di Yogya maupun di
Jakarta, adalah menyerahkan tubuh
kepada Mr. Rigen di tikar depan teve.

Demikianlah pada hari Minggu kemarin


waktu baru pulang dari Jakarta. Dengan
diselingi suara Beni, anaknya, yang ikut-
ikutan mengisik-isik sambil berbunyi
nyeet-nyeet-nyeet, batas mega-mega di
langit maat-maatan itu mulai terjangkau.

“Malam tahun baru di Jakarta itu apa


ya hebat dan muahal seperti kata koran
itu to, Pak?”

Saya terkejut dan langsung turun ke


bumi lagi.

“Hehh? Malam tahun baru di Jakarta?


Apanya yang hebat?”

“Lho, itu lho, Pak. Kalo menurut gotek-


nya koran-koran Jakarta itu malam tahun
340
baru di Jakarta itu jan elok saestu!”

“Lha, coba, kalau menurut


bayanganmu malam tahun baru di
Jakarta itu kayak apa?”

Mr. Rigen njegeges, pijitannya


dihentikan. Kemudian dia pun mulai
ngecepres bercerita tentang apa yang ia
bayangkan sebagai malam tahun baru
Jakarta.

“Para priyayi kakung putri yang bagus,


ngganteng, ayu, gandhes, kewes pada
naik Mersedes, BMW, Toyota pergi ke
restoran yang mahal-mahal. Dhahar
bestik yang kandel-kandel, tebel tapi
dagingnya empuk-empuk. Kalau diiris
dengan pisau mak nyuss kuahnya
dleweran campur sedikit darah.
Kentangnya ada yang digoreng, ada yang
diongklong, ada yang digodok. Habis
dhahar begitu terus disambung dhahar
poding. Podingnya merah, ijo, kuning.
341
Susunya juga dleweran ke bawah.
Rasanya juga mak nyuuss muanis seger!”

Mr. Rigen berhenti sebentar. Saya lihat


jakunnya naik turun. Mulutnya klametan.

“Lho, cerita malam tahun baru, baru


sampai restoran kok sudah glagepen dan
klametan begitu to, Mister.”

“Lha, pripun, wong makannya wong-


wong sugih itu ya enak-enak tenan lho,
Pak. Terus habis dhahar di restoran
mereka naik Mersedesnya lagi pergi ke
nait kelep.”

“Apa? Apanya yang kelep, Gen?”

“Niku, lho, Pak. Gedhong-gedhong sing


lampunya kecil-kecil, bunder-bunder,
panjang-panjang, abang, ijo, kuning,
byar-pet, byar-pet. Terus musiknya
buanter banget gedobrakan.”

“Oh, itu to. Nait klup.”


342
“Lha, inggih. Nait kelep. Terus ndoro-
ndoro yang bagus-bagus dan ayu-ayu itu
duduk minum bir kalih ciu. Habis itu
mereka pada dangsah.”

“Dangsah? Piye, dangsah-nya?”

“Dangsah-nya itu kados mau tinju lho,


Pak. Ning tidak jotos-jotosan saestu.
Cuma ethok-ethokan jotosannya. Ning
ada juga yang dangsahnya cuma kekep-
kekepan saja. Asyiikk.”

Mr. Rigen menyudahi ceritanya.


Matanya kiyer-kiyer, merem-melek,
merem-melek. Dia pun melanjutkan
pijitannya lagi.

“Sudah, cuma sampai itu bayanganmu


tentang malam tahun baru di Jakarta?”

“Lha, enggih. Wong saya juga cuma


nggabung-nggabungkan cerita yang saya
dengar dari konco-konco yang pernah
nderek di Jakarta kok, Pak.”
343
“Lha, apa menurut kamu di Jakarta itu
tidak ada wong cilik to, Gen?”

“Lha, enggih kathah. Berjuta-juta,


malah. Ada apa to, Pak?”

“Elho! Lha, menurut kamu apa wong


cilik itu tidak merayakan malam tahun
baru?”

Mr. Rigen tertawa keras banget.

“Huahahahaha … Bapak ndagel lagi


ini. Wong cilik itu kerjanya ya cuma
ubyang-ubyung, grudak-gruduk. Berdiri
atau jongkok di pinggir jalan.
Memandang, nyawang, Mersedes-
Mersedes itu lewat. Paling mereka cuma
tat-tet, tat-tet nylompret slompretan
kertas.”

“Hushh … mereka itu juga jalan-jalan


lho, Gen. Jajan bakso, wedang sekoteng,
kuwih pancong, soto mie, es teller.
Macam-macam. Apa hati mereka tidak
344
senang? Mereka pergi ke Ancol, ke Taman
Mini.”

“Hoalahh … terus mereka itu numpak


apa? Terus duitnya itu bolehnya ngutang
to, Pak?”

“Semua orang juga ngutang, Gen. Apa


menurut kamu yang naik Mersedes itu
tidak ngutang, apa? Utangnya guedhiiii
banget lho, Gen.”

“Lha … lha, Bapak rak ndagel lagi.


Wong sugih itu ya sugih. Kalau ngutang
ya cepet nyaur-nya. Tapi kalau wong cilik
ngutang, ya ngutang terus.”

Mr. Rigen pun selesai memijit.


Dibikinnya teh jahe hangat, diletakkan di
meja di depan saya.

“Lha, Bapak malam tahun baru ini


tidak tindak Ngambarukmo to, Pak?”

“Enggak. Aku mau pulang ke Jakarta.


345
Malam tahun baru di rumah saja sama
ibumu nonton teve.”

“Hoalahh … apa mboten bosen to,


Pak. Lihat tipi sepanjang malam?”

“Ya, bosen. Wong pilihannya cuma itu


kok, Gen. Lha, kamu mau apa? Kalau
kamu mau ubyang-ubyung di Malioboro,
ya boleh-boleh saja. Tapi rumah kudu
dikunci baik-baik. Banyak maling kalau
malam tahun baru begini. Dan, awas
kowe kalau pakai jip kantor. Dak kethak
tenan, kowe! Itu jip Negara. Yang boleh
pakai itu saya. Orang kantor saja kalau
mau pakai minta ijin saya, lho!”

Mr. Rigen pringisan. Mungkin dia tidak


mengira kalau saya tahu kadang-kadang
dia bersama Mrs. Nansiyem dan si jenius
Beni Prakosa suka kya-kya naik jip keliling
kota.

“Kalau saya punya duit, malam tahun


346
baru ini saya mau ke Ngambarukmo.”

“Hah?! Kamu ke Ngambarukmo?”

“Lho, itu juga umpama punya duit kok,


Pak. Saya cuma kepingin lihat Meriam
Belina kok, Pak. Waktu dia main jadi Rara
Mendut dulu itu, waahhh jiaaannn, kewes
saestu!”

“Rupamu!”

“Kalau dipikir ya, Pak. Wong mau


ketemu Meriam Belina saja kok ya harus
sugih to, Pak.”

“Lho, kamu juga bisa lihat gitu kok di


film. Kamu kok tiba-tiba nggrundel to,
Gen?”

“Ya, nggrundel sebentar aja ya boleh-


boleh aja to, Pak. Paling-paling saya rak
yo kembali lagi jadi pembantu Bapak.
Jangan khawatir, Pak. Saya tetap di sini
tempatnya.”
347
Malam pun semangkin larut. Seharian
saya tidak istirahat. Malam itu juga tidak
sempat kerja apa-apa. Waktu menjelang
tidur, di tempat tidur, kok sekilas saya
melihat Meriam Belina tersenyum. Saya
menguap keras-keras. Mr. Rigen, Mr.
Rigen …..

Yogyakarta, 29 Desember 1987

348
Pariwisata Dimana-Mana

MAKAN malam di rumah yang sepi


tanpa di-reriung seorang anggota
keluarga jelas merupakan makan malam
yang hambar. Maka menu penderita
bludreg, yang mengurangi garam, yang
sudah secara rutin hadir di meja makan
saya makin terasa hambar lagi. Sayur-
sayuran tidak kelihatan hijau, sambal
kehilangan seri dan tempe-tahu pun
kelihatan pucat. Makan begitu baru terasa
sedikit lebih nikmat bila ada teman-teman
mampir dan mau mengawani makan. Itu
pun untung-untungan. Sebab tidak
semua orang akan doyan dengan
makanan yang bertitik berat sayuran.
Misalnya, kawan saya penyair dari lereng
Gunung Merapi itu. Meskipun anak desa,
dia itu anti sayuran. Katanya, sayuran
hanya diperuntukkan bagi kambing dan
kerbau saja. Manusia, katanya lagi, hanya
349
pantas makan telur, daging dan, ahh …
tongseng kambing. Waktu dia mula-mula
mengutarakan bahwa sayuran untuk
kambing dan kerbau, saya sudah siap
menyimpulkan bagaimana peka
lingkungan sahabat saya itu. Lha wong,
anak petani merangkap penyair, lho!
Tentu saja gevoeling terhadap
tetumbuhan dan hewan. Tetumbuhan
disediakan buat ternak agar ternak dapat
terus berguna buat manusia. Tetapi, pada
waktu dia bilang, ahh … tongseng, saya
tidak berani mengambil kesimpulan apa-
apa lagi. Mosok saya harus mengambil
kesimpulan bahwa kambing disediakan
bagi manusia agar manusia jadi berguna
seperti kambing-kambing ….

Berita nasional pukul tujuh malam di


teve baru saja selesai. Itu berarti Mr.
Rigen akan segera mengatur meja makan
untuk menyiapkan makan malam saya.
Wah, satu malam yang hambar
350
terhampar di depan saya. Mengharap
kedatangan sahabat saya penyair itu juga
akan sia-sia. Akhir-akhir ini hobinya
berkembang menjadi pemburu batu akik
di kuburan-kuburan yang angker. Yah,
sudahlah apa boleh buat. Dari balik koran
Kedaulatan Rakyat dan Kompas, yang
hingga sore hari itu sudah saya bolak-
balik tujuh belas kali, saya mendengar
suara Beni Prakosa menyilakan makan.

“Pak Ageng, dahaal … “

“Iyo, Le.”

Dan saya tetap membolak-balik koran.

“Dahalipun sampun, Pak Ageng.”

Saya pun dengan ogah-ogahan melipat


koran-koran saya dan mulai berjalan ke
kursi makan. Waktu saya mulai duduk
menghadapi makanan itu, saya mulai
melihat perubahan drastis pada blocking
tata piring lelawuhan itu. Jumlah sih,
351
tetap tiga piring saja. Tiga sehat tetapi
belum sempurna. Cuma warna sayur-
sayuran itu kok jadi hijau kemerah-
merahan. Juga tempe dan empal itu jadi
tampak coklat kemerahan. Saya baru
sadar kemudian bahwa lilin, yang biasa
dinyalakan di meja untuk menggusah
laler, kali ini berwarna merah. Jadi, ada
semacam light effect yang dramatis.
Tempe kok jadi dramatis, lho. Dan piring-
piring lelaukan itu juga tidak lagi berderet
linier satu baris. Tetapi ditata dalam
bentuk segitiga. Jadi triangle tempe,
sayur bayem dan empal. Tetapi shock
berat itu datang pada waktu saya
menatap Mr. Rigen dan anaknya yang
tumben pada malam itu berdiri rapi
berjajar dengan tangan ngapurancang.
Astaga, pakai baju apa mereka itu? Mr.
Rigen memakai daster Bali merah yang
kemilau, hem putih lengan panjang,
sarung plekat yang dilipat dan celana
panjang putih. Beni Prakosa memakai
352
blangkon yang dibeli di Sekaten
tangannya memegang ukulele mainan
yang siap untuk dikencrung kapan saja.

“Apa-apaan nih, Mr. Rigen?”

“Dener, Pak. Pliis.”

“Huss, dapurmu. Kowe iki baru kumat


apa?”

“Pliis, empal en tempe en bayem, Pak.


Pliis.”

“Dak tabok lho, kowe. Ini badutan apa


to, Gen?”

Mr. Rigen meringis tertawa. Anaknya,


Beni, mengencrung ukulele-nya.
Menyanyi keras-keras, “jenang gula, kowe
aja lali, malang aku iki iyo to, maass …. “

“Begini, lho Pak. Saya lihat Bapak kok


makannya makin sedikit kurang selera.
Terus saya, bune Beni dan Beni akal-
353
akalan pariwisata begini. Siapa tahu
Bapak jadi lebih lahap dhahar. Meski
begroteng tetap kurang. Hihiikk … “

“Pariwisata? Begini ini pariwisata, to


Gen?”

“Ha, enggih. Saya cuma tiru-tiru


dalem-nya Pak Propesor Lemahamba saja
kok, Pak.”

“Memangnya di sana ada pariwisata


apa?”

“Elho, Bapak belum tahu, to? Rumah


beliau yang di jalan Kaliurang itu disulap
jadi losmen apik sanget, lho Pak.”

“Losmen? Omah Profesor itu jadi


losmen? Tur Pak Lemahamba itu sudah
sugiih banget, lho. Rumahnya yang di
daerah Pogung sudah dikkontrakkan bule-
bule dalam dolar itu.”

“Lha, ya biar semangkin sugih, to Pak.”


354
Malam itu makanan yang di meja
masih terasa hambar. Meskipun ada lilin
merah. Meskipun lelawuhan itu disusun
dalam triangle tempe-empal-bayem.

“Coba kamu ceritakan pariwisata di


rumah Profesor itu bagaimana?”

“Ya, konco-konco saya yang kerja di


sana pakaiannya ya seperti yang saya
pake sekarang ini. Cuma mereka lebih
canggih.”

“Canggihnya bagaimana?”

“Ya, bahannya lebih mewah.


Sarungnya ya tidak kumel seperti sarung
saya ini. Tur mereka dikursus bahasa
Inggris oleh Pak Propesor sendiri. Wah,
konco-konco saya itu sekarang cara
Inggrisnya cas-cis-cus, lho Pak.”

“Coba cas-cis-cusnya kayak apa, Gen?”

“Wah, lha kalau ke sini itu salamnya


355
„halo’. Kalau pamit „bai-bai’. Kalau
terima kasih „sengs’. Kalau menyilakan
„pliss’. Pokoknya macem-macem. Etung-
etung; wan, tu, sri, saya juga sudah
mereka ajari.”

Pada suatu sore di took buku saya


ketemu Prof. Lemahamba. Saya cuma
kuat beli satu buku. Harga buku kok
semangkin mahal saja, lho. Tetapi Prof.
Lemahamba saya lihat membawa
setumpuk buku. Dengan setumpuk buku
itu wajahnya kelihatan lebih berwibawa
dan ilmiah lagi.

“Wah, mborong buku nih, Prof?”

“Yaahh, rutin. You know, untuk catch


up informasi bidang saya yang pesat
sekali kemajuannya. How are you?
Everything all right?”

“Yah, oke-oke saja, Prof.


Sakwangsulipun? Rak ya oke-oke saja,
356
to?”

“Oh, I’m not complaining. Everything


under control.”

“Wah, sukur to. Lha, saya dengar Prof.


sekarang buka losmen pariwisata?”

“Aahh, jangan losmen, dong. Hotel


kecil tapi modern. Nantinya mau saya
jadikan pariwisata yang bener. Hotel-hotel
di Yogya masih kurang canggih service-
nya. Saya harap hotel saya nanti jadi
model service yang betul-betul service.”

“Wah, Anda makin sibuk saja, dong.


Masih harus blebar-bleber ke luar negeri.
Masih kasih kuliah. Masih nguji. Sekarang
masih harus ngurus losmen, eh … hotel.”

“Ya, saya selalu bilang sama Anda.


Jangan stick sama satu profesi. Mesti
allround. Semua potensi kita mesti kita
manfaatkan. Anda mesti jadi economy

357
animal … “

“Wah, economy animal? Animal apa


lagi itu?”

“Pokoknya sekarang semua mau jadi


pariwisata, ya kita ikut bantu pariwisata.
Ini termasuk yang dinamai Tri Dharma
perguruan tinggi, lho! Pengabdian
masyarakat …”

Wah, ya deh. Ayo, Mr. Rigen, Mrs.


Nansiyem dan Beni, my Pracimantoro
animals. Ayo cancut tali wanda. Itu kamar
di depan masih bisa nampung dua orang
bule ….

Yogyakarta, 6 Oktober 1987

358
Mas Joyoboyo Dikejar Target

Minggu pagi kemarin Mas Joyoboyo


datang setengah protes kepada saya.
Tenong-nya digelar di lantai di antara
kursi-kursi bambu ruang duduk rumah
saya dengan agak demonstratif. Ayam-
ayam itu disusun menurut gelar perang
klasik. Di sebelah selatan ayam-ayam itu
ditaruh dalam gelar Supit Urang. Sedang
yang utara menurut gelar Garuda
Nglayang. Karena saya duduk di kursi
goyang, ayam-ayam panggang yang mau
diadu menurut strategi perang Bratayuda
itu jadi tampak lebih mengesankan lagi.
Itulah cara rakyat kecil Jowo melancarkan
protes. Overacting, nylekit, tetapi tidak
memarahan hati. Mungkin karena itu
protes-protes Jowo tidak pernah terlalu
efektif. Yang diprotes malah ketawa
cekakakan …

359
“Pun, pripun, Pak! Kalau sudah digelar
begini panjenengan tidak kersa mborong,
kebangetan tenan, Pak!”

“Elhoo ..! Ayam panggang sak medan


Kurusetra mau disuruh mborong, terus
yang mau makan itu gek yo siapa to, Mas
Joyo?”

“Elhoo ..! Ya ada saja to, Pak. Mas


Rigen sak brayat, ibu panjenengan di
Pogung, untuk oleh-oleh Jakarta.
Pokoknya akan ada saja yang dapat
diberi. Tanggalnya tanggal muda, Pak.
Tanggal baik untuk dedane, beramal.”

“Wee … lha, Mas Joyo. Pegawai negeri


seperti saya ini juga masih harus diberi
dedane, je.”

“Haa, inggih. Ning nek panjenengan itu


dapat dedane ya datangnya dari dewa-
dewa di atas sana, di Jakarta sana. Yen
kulo ya cukup dari Bapak saja. Nggih Pak,
360
nggih?”

Saya jadi mikir juga. Tidak sari-sarinya


Mas Joyoboyo begitu mendesak bolehnya
minta ayamnya diborong. Biasanya dia
datang dengan rileks menjajakan ayam
panggangnya. Dan selalu tampak percaya
diri. Tetapi sekarang kok kelihatan
desperate, terdesak nyaris putus asa
betul. Saya memutuskan membeli agak
banyak karena sore itu saya memang
mau pergi ke Jakarta.

“Jadi tidak dibeli semua to, Pak?


Tanggung Pak.”

“Yakk, sampeyan itu! Sudah saya beli


banyak kok ya masih ngangsek terus, lho.
Ada apa sih kok sampeyan maksa saya
mborong?”

“Lha, ya ini to, Pak. Saya itu jadi


kemrungsung. Di perusahaan ayam
panggang itu sekarang ada sistem target

361
atau apa itu. Pokoknya saya harus
menghabiskan ayam panggang sak
tenong ini. Kalau tidak habis saya kena
potong komisi saya. Pun cilaka apa tidak
itu?! Terus anak saya yang ragil, eh …
tahu-tahu kok ya sudah mau tamat SMA.
Pengeluaran lagi buat persiapan ujian.
Sampun to, wong cilik itu tidak hentinya
dirongrong pengeluaran.”

Tenong-nya disiapkan. Sisa-sisa Supit


Urang dan Garuda Nglayang sudah pada
rontok satu demi satu masuk ke dalam
tenong. Wajahnya kelihatan pasrah dan
memelas.

“Lha, tapi ya, Mas Joyo. Yang kena


begitu tidak cuma wong cilik, Mas Joyo.
Kabeh, semua, kena yang begitun, Mas!”

“Ayakk, Bapak.”

“Lho, iya. Target itu untuk efisiensi,


untuk ngirit tapi produktif.”
362
“Gek apa lagi itu, Pak Ageng?”

“Lha, perusahaan itu sekarang kan


harus bersaing to, Mas Joyo. Jadi …. “

“Jadi harus nyekik lehernya wong cilik,


nggih?”

“Lha, ya mboten. Supaya wong cilik itu


harus lebih pinter jualan. Supaya jadi
lebih kaya. Sampeyan tidak mau kaya?”

“mBoten! Saya cuma mau cukup saja.


Hidup sak madya saja.”

“Lho, tidak boleh lagi sekarang hidup


sak madya. Harus ngaya, ning tidak usah
lekas tua. Kerja keras, efisien, produktif,
sugih!”

Mas Joyo geleng-geleng kepala. Pelan-


pelan mengangkat tenong-nya ke atas
kepalanya.

“Urip kok semangkin kemrungsung.


363
Terus enaknya jadi wong Jowo di mana?
Wong Jowo itu ya, Pak Ageng, enaknya
hidup gliyak-gliyuk, je. mBoten ngaya,
mboten dioyak-oyak. Alon-alon waton
kelakon. Pelan-pelan ning sampai dengan
slamet. Apa itu salah to, Pak Ageng. Kok
ini diganti target, pengeluaran anak
semangkin aneh-aneh. Wahh, puuunnn
….. we-el-we-el-ka-we-te saja.”

“Lho, apa itu, Mas?”

“Wala wala kuwata, semoga kuat saja.


Sampun nggih. Sami donga-dinonga.
Saling mendoakan saja supaya semua
bisa mencapai target.”

Hampir saja saya mau terus wewejang


hukum ekonomi modern yang capet-
capet, lamat-lamat, pernah saya ketahui.
Tentang Schumpeter, tentang Keynes,
tentang Samuelson. Edann! Kok mak
brabat dia sudah lenyap tanpa suara
jajaaann-nya yang tersohor itu. Mas Joyo,
364
Mas Joyo … kapan dikau mau developed.
Underdeveloped terus, dong, kalau kau
begitu.

Liyer-liyer, setengah memejamkan


mata, saya bersandar di kursi goyang
antik hadiah almarhum Syumajaya.
Alangkah damai, maat, nyaman duduk
rileks begitu pada Minggu pagi. Burung
prenjak yang berkicau semangkin
menambah kedamaian pagi itu. Tiba-tiba
… bruk-bruk-bruk … Beni Prakosa
setengah telanjang lari dikejar-kejar Mr.
Rigen.

Saya gragapan, tergagap dari setengah


tidur saya. Sialan. Sontoloyo. Trembelane!

“He .. he .. he ..!! Mandeg! Berhenti!”

Kedua anggota staf itu pun berhenti


dan berdiri bagaikan tikus. Tahu Pak
Ageng sedang tidak berkenan di hati.

“Tidak tahu ini Minggu pagi, hah?


365
Semua mesti tenang! Tidak boleh ganggu
Pak Ageng. Pak Ageng mau istirohat!”

Beni Prakosa meskipun takut, matanya


yang besar-besar seperti kelereng itu
masih sempat melirik ke ayam panggang
yang tergeletak.

“Heitt! Karena kamu sudah ganggu Pak


Ageng pagi ini, tidak ada sate usus buat
kamu. Out! Out!”

Kedua anak beranak itu pun kluncrut-


kluncrut pergi ke belakang. Saya
meneruskan liyer-liyer saya di kursi
goyang. Angin semilir dan mestinya saya
jatuh tertidur. Wong tidak lama kemudian
saya melihat Mas Joyoboyo
mengacungkan dada menthok panggang
kepada saya sambil berteriak keras-keras,
“target, target, target, target, ….”

Yogyakarta, 5 April 1988


366
Kencana Wingka

Membayangkan anak kita buruk rupa,


tidak cantik atau tidak ganteng, apalagi
goblok dan tidak terampil adalah hal yang
tidak mungkin. Kalau toh anak kita itu
tidak seberapa cantik atau ganteng, tidak
seberapa pinter dan cekatan kita sudah
akan siap dengan penjelasan. Anak kita
itu betul tidak terlalu cantik, tetapi kalau
ditatap lama-lama kok kelihatan sedep.
Anak kita itu memang tidak ganteng,
tetapi entahlah kok kayaknya dia itu ada
sesuatu yang menarik. Mungkin itu yang
disebut sexy barangkali. Anak kita itu
rapornya ya cuma pas-pasan, rata-rata
enam saja, tetapi nanti kalau kerja di
masyarakat dia akan sukses memimpin
masyarakat. Wong dia selalu aktif di OSIS
dan jadi maskot drumband „tu. Anak kita
itu ….. dan selalu saja akan ada
penjelasan tambahan dari kita. Wong
367
anak, je! Sejelek-jelek anak, wong anak,
je! Orang Jawa, suku bangsa yang selalu
siap dengan segala peribahasa dan
umpamaan untuk melindungi
kekurangannya, menciptakan istilah
“kencana wingka”. Kencana adalah emas,
wingka adalah pecahan genteng. Bagi
kita dia tetap kelihatan kemilau bagaikan
emas. Opo ora hebat?!

Begitulah pada musim NEM dan


Sipemnaru ini. Wingka-wingka itu
semakin tampak kemilau bagai emas 24
karat. Wong anak, je! Pada waktu mereka
begadang mencicil belajar sampai pagi,
kita akan sebentar-sebentar melongok ke
kamarnya, atau kalau mereka tidak punya
kamar sendiri, menatap dari kejauhan.
Hati mongkok. Anakku belajar tenan, lho!
Hati terharu. Anakku prihatin tenan, lho!
Dan para orang tua yang alim dan saleh
pada lebih rajin lagi bersembahyang. Dan
para orang tua yang berolah kebatinan

368
tan kendat mengucapkan “rahayu”,
mungkin akan topo ngrowot, hanya
makan ubi-ubian. Semuanya demi
suksesnya wingka-wingka kita. Tetapi,
pada waktu anak-anak kita datang
melapor dengan muka berkabut, kita tahu
ada sesuatu yang tidak benar.

“NEM saya ancur-ancuran, Pak, Bu.”

“Ahh, mosok? Keliru kali?”

Hati deg-degan, tetapi masih belum


percaya membayangkan kencana kita
hancur berantakan bagai sebuah wingka.
Waktu angka-angka NEM itu, dengan
jelasnya mblungker-mblungker di depan
kita, tahulah kita bahwa NEM-nya hancur
beneran. Hati orang tua angles, tetapi
darah mulai mendidih. Bagaimana bisa.
Angka-angka di rapor „kan lumayan
bagus, kok, NEM-nya ancur-ancuran.
Gurunya pasti tidak beres, nih. Guru
sekolah lain yang memeriksa ujian pasti
369
tidak fair. Guru-guru itu pasti mau minta
sogok. Waktu akhirnya hati sudah tenang,
darah sudah mendingin, kita juga melihat
bahwa mungkin pertanyaan-pertanyaan
itu memang terlalu sukar buat anak-anak
kita.

“Tidak apa, Le, nDuk! Ayo cancut


taliwanda. Tiwikrama! Kita bikin revenge
nanti waktu ujian Sipenmaru. Mosok ……

Dan wingka-wingka itu kelihatan


seperti kencana lagi. Sipenmaru pun
lewat. Anak-anak datang lagi dengan
muka berkabut. Wah, jangan-jangan
revenge mereka seperti revenge-nya PSSI
terhadap kesebelasan Jepang. Keok lagi.

“Sipenmarunya ancur-ancuran, Pak,


Bu. Matematika dan Fisika hangudubillah
setan sulitnya ..”

“Ahh, mosok? Keliru kali?”


370
Hati para orang tua angles lagi. Darah
mendidih lagi. Penanaman modal selama
dua belas tahun begitu saja harus
menguap bagai embun di pagi hari?
Tidak! Wong anak, je!

“Tidak apa, Le, nDuk! Ayo cancut


taliwanda. Tiwikrama! Masuk universitas
swasta! “

Waduhh, universitas swasta? Segera


angka-angka jutaan menari-nari di depan
kita. Bagaimana akan mampu kita
membayar semua itu? Kita suruh kerja
saja anak-anak kita itu? Jadi apa? Pelayan
toko, kenek kol, satpam, jongos restoran,
pengintil turis, asisten bong supit, jual
ronde dan bakso … Uwahh, ternyata
banyak juga, lho, lapangan kerja
menganga di pasaran.

Tidak apa, Le, nDuk, tidak boleh


masuk universitas negeri. Wong itu nanti
kabarnya cuma buat anak-anak
371
cemerlang dan cemerling, kok. Kau tidak,
kan? Baiklah dicoba masuk universitas
swasta. Don’t worry yang jut-jut itu!
Kepala akan kita jadikan kaki, kaki akan
kita jadikan kepala. Gulung koming, mati-
matian cari duit seperti buto Sriwedari.
Dan kalau yang jut-jut itu tidak nyampe,
yang sabar ya Le, ya nDuk. Atau
sementara kerja jadi pelayan toko, kenek
kol, satpam, pengintil turis, asisten bong
supit …

Wahai, wingka-wingka yang tercinta,


bagi kami kalian tetap kencana yang
terus berkilau!
Catatan Admin :
NEM : Nilai Ebtanas Murni
Sipenmaru : Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

Yogyakarta, 30 Juni 1987

372
Never On Sunday

BEBERAPA tahun terakhir ini kondisi


kesehatan saya kurang begitu prima.
Dokter menasihati agar saya lebih santai.
Umpama mobil begitu, saya tidak bisa
lagi digenjot di atas 100 kilometer sejam.

“Jangan ngoyo, Pak. Nanti cepat tua,


lho!”

“Yak, dokter ini kok klise begitu. Mbok


yang lebih orisinil, Dok, nasihatnya …”

“Baik! kalau you begini terus …. nggak


tahu, deh!”

“Yaa, masih ucapan klise, Dok. Tapi


bolehlah, setidaknya lebih jelas. I get
your message, Doc!”

“Kalau puasa sekuatnya saja dulu.


Pokoknya jangan ngoyo!”
373
Kali ini saya tidak lagi ngeledek “tidak
orisinil”. Karena nasihatnya sangat kreatif,
lagi relevan dengan rencana bawah sadar
saya. (Menurut Freud, bawah sadar
memang punya rencana, kok!).
Rencananya, ya itu! Tahun ini bulan Pasa
1987, atau bulan Romadhon 1407 Hijriah,
saya tidak akan mampu puasa penuh
karena menurut roso tubuh saya akan
nglemprek, loyo, kalau dipaksa puasa
penuh. Lha, kok dokter memerintahkan
pas seperti yang dimaui bawah sadar
saya.

Maka saya memutuskan untuk tidak


akan puasa pada setiap hari Minggu.
Tiba-tiba saya ingat nama yang bagus
untuk program prei puasa pada tiap hari
Minggu itu, Never on Sunday. Bagi
mereka yang sebaya dengan penulis
kolom ini mungkin masih ingat bahwa
Never on Sunday adalah judul sebuah
film yang pada permulaan tahun enam

374
puluhan sempat terkenal. Film itu
disutradarai oleh Jules Dassin dan
dibintangi oleh Merina Mercouri, aktris
Yunani yang konon sekarang menjadi
menteri kebudayaan di negerinya. Yang
penting bagi saya bulan filmnya karena
saya sudah banyak lupa adegan-adegan
ceritanya. Yang penting peristiwa
pemutaran film itu dengan saya. Lho?!
Bukan nyombong „nih ye. Saya nonton
film itu di New York dengan Bung Karno,
Pak Ali Sastroamidjojo, salah seorang
tokoh NU yang saya lupa namanya dan
D.N. Aidit. Pada waktu itu Bung Karno
datang dengan delegasi besar dan kami
para mahasiswa dikerahkan untuk
meladeni bapak-bapak itu. Pekerjaan con
amore alias gratisan (waktu itu kita belum
memasuki era honorarium …) tetapi yang
sangat membanggakan hati. Bayangkan
pada malam hari kita piket di Hotel
Waldorf Astoria. Dan bila Bung Karno
berkenan melihat film kita semua diajak.
375
Wah, mongkok-nya hati ini, lho!
Rombongan Indonesia itu datang
terlambat di gedung bioskop itu. Terpaksa
penonton bule-bule Amerika itu
menunggu kita. Dan waktu Bung Karno
tampil di balkon memberi salam kepada
semua penonton (hallo, … hallo …!)
kayak gedung itu di Gedung Kesenian
Pasar Baru jakarta dan penonton pada
bertepuk tangan, wah, banggaku!
Presidenku jan hebat tenan …!

Pada Sunday pertama saya mulai


programku itu terasa nikmat betul.
Bangun pukul 8 pagi, secangkir kopi susu,
roti bakar dengan dilepot selei setroberi
cap hero, koran KR Minggu, kaki
metangkrang di meja. Uwahh, laras
banget. Tiba-tiba … penggeng eyem, …..
penggeng eyem ….

“Panggange, dipundhuti, Den?”

Hlaadalahh! Mas Joyoboyo begitu saja


376
sudah nglesot di lantai di bawah kursi
malas saya. Dan rite de panggang ayam
dibeber pun begitu saja dimulai. Karuan
saja saya jadi kelabakan, malu ketahuan
tidak puasa. Repot nih! Apakah mungkin
wong Klaten ini akan mengerti kalau saya
terangkan makna program Never on
Sunday, dan kenapa dipilih kode Never on
Sunday.

“Lho, mboten siyam to, Den?”

Belum sempat saya menemukan kata-


kata penjelasan yang tepat …..

“Saya juga tidak pasa kok, Den. Wong


saya mesti menjaja ngalor-ngidul, ngetan
bali ngulon, cari makan buat anak ini.
Mosok Gusti Allah tidak paring ampun,
nggih, Den?”

Saya Cuma bisa menggut-manggut


tanpa teges, mulutku masih belepotan
selei setroberi.
377
“Apalagi menurut Den Bei Curiga
Naraka, sing penting itu batine kalau
pasa, Den. Kalau batine resik dan kuat,
lha, … mbok minum es kopyor ditambah
bistik komplit dikunyah nyas-nyis-nyus
waktu pasa siang bolong begini ya tidak
apa-apa, Den. Mak legenderr … masuk
mulut tapi tidak terasa makan. Itu, Den,
menurut Den Bei Curiga Naraka pasa
kelas paling tinggi …”

“Sudah … sudah … sudah … Ini uang


panggang ayam. Sampeyan lekas pergi
sana meguru sama Den Bei sampeyan!”

Saya masuk kamar mencoba


membaca. Edan tenan! Minum es kopyor
tidak terasa minum, makan bistik tidak
terasa makan. Edan …! Dari kamar
terdengar jauh Mas Joyoboyo menjaja,
penggeng eyem … penggeng eyem ….
Suaranya cempreng.

Senja mulai turun. Langit merah


378
campur lembayung. Sirene mengaung
terdengar berbareng dengan adzan
maghrib menembus sungai dan pohon
randu alas. Nglangut dan adem benar
kedengarannya.

Di kamar makan saya lihat dari jendela


luar, Beni Prakosa, -anak Rigen,
pembantu rumah saya- menyalami Rigen
dan ibunya (Nansiyem Rigen). “Selamat
buka, Pak. Selamat buka, Bu.”

“Iya, Le. Terima kasih, ya. Kita sama-


sama makan kolak ya, Le.”

Di dalam, sehabis makan malam Rigen


bertanya,

“Besok hari Senin, Bapak puasa, to?”

“Ya … ya … yaaa ….. Allahumaghfirli,


Tuhan ampunilah aku …..”

Yogyakarta, 19 Mei 1987

379
Melik Nggendhong Lali

NAMA lengkapnya panjang sekali.


Teguh Budi Santosa Resik Bawa Laksana.
Tentu tidak seorang pun dari saudara dan
kawan-kawannya pernah memanggilnya
dengan nama lengkap. Untuk menghemat
nafas, kami setuju untuk memanggilnya
cukup dengan „Mas Guh’ saja.

Dia adalah ipar dari sepupu mertua


perempuan saya. Orang Jawa, yang
kadang-kadang memang ruwet sistem
kekerabatannya, tidak terlalu
mementingkan lagi bagaimana orang
seperti Mas Guh ini mesti didudukkan
dalam bagan pohon kekerabatan kami.
Maksud saya bagaimana Mas Guh itu
seharusnya dipanggil. Mestikah saya dan
sistri saya memanggilnya dengan Oom,
Pakde, Paklik atau bagaimana. Dan anak-
anak kami mesti memanggilnya dengan
380
Eyang atau mBah Guh? Oh, repot. Yang
bernama Mas Guh itu masih muda. Baru
kira-kira empat puluh lima tahun
umurnya. Tinggi semampai, gagah,
rambut berombak, kulit coklat matang,
matanya serasa mau membujuk. Lha,
mulutnya, begitu sensuous-nya. Kalau
menurut anak saya, si Gendut, Oom Guh
itu hensem, tubuhnya sangat mbody, dan
senyumnya seperti Robert Redford –
kayak mau menahan sakit tapi nggak
jadi. Ya sudah. Lalu mesti dipanggil
bagaimana Teguh Budi Santosa etc, itu?!
Maka kembalilah kami serumah
memanggilnya dengan „Mas Guh’ dan
bagi anak-anak „Oom Guh’.

“Ahh, sing penting dia itu sedulur


dhewek. Sing luwih penting lagi kabeh
sedulur kudu rukun.”

Begitulah mBah Putri saya menasihati


kami semua. Nah, itulah kata kuncinya,
rukun. Dan bagi jaringan keluarga kami
381
yang memang selalu rukun tidak ada
masalah untuk tidak rukun dengan Mas
Guh sekeluarga yang simpatik itu. Dan
ternyata kesediaan keluarga Mas Guh
untuk berukun-rukun itu juga diperluas
dengan sifatnya yang luwes, soepel, suka
berhandai-handai dengan anggota
jaringan keluarga yang mana saja. Dan
yang lebih penting lagi, Mas Guh itu juga
amat murah hati. Loma bin blaba. Setiap
tarikan arisan keluarga atau rapat trah di
rumahnya selalu didatangi lengkap oleh
semua anggota.

Menunggu hari-H arisan itu seperti


menunggu datangnya pesta perayaan
kawain perak saja. Habis bagaimana tidak
begitu, untuk arisan begitu saja, keluarga
Mas Guh pesan dari catering yang terbaik
di kota. Dan jumlahnya selalu berlimpah
hingga kami yang datang selalu
mendapat pembagian oleh-oleh sisa
makanan arisan itu. Untuk anggota

382
jaringan trah kawulo negeri yang jarang
menikmati kemewahan seperti itu,
tentulah kesempatan seperti itu welkom.
Lha, untuk anak-anak remaja putri
kesempatan arisan di rumah Mas Guh itu
juga merupakan kesempatan yang bagus
untuk menguras isi lemari pakaian anak-
anak remaja putri mereka. Entah
bagaimana, setiap arisan begitu kok
selalu saja ada lemari remaja putri yang
siap sedia untuk dikuras, lho. Mungkin
berhari-hari sebelumnya Mas Guh anak
beranak memang sudah membuat
inventaris pakaian anak-anaknya. Mana
yang dapat dilepas, mana yang tetap
tinggal di lemari. Sedang yang masih
baru, maksudnya baru dari Singapur atau
Hong Kong disimpan di lemari lain. (Ahh,
tetapi ini tentu imaji saya saja). Apa pun,
pokoknya, arisan di keluarga Mas Guh
adalah hari yang menyenangkan buat
kebanyakan anak-anak perempuan
keluarga trah. Tetapi juga buat ibu-ibu
383
anggota trah. Kalau ada arisan-arisan lain
kesempatan kumpul begitu dipakai untuk
saling menjajakan pakaian dan pinjam
meminjam uang, tidak pada arisan di
rumah Mas Guh. Di rumah itu, arisan itu
berfungsi sebagai Bank Dunia. Ibu-ibu
akan datang kepada Mas Guh beserta
ibu, yang akan dengan penuh simpati,
mendengarkan proposal pembangunan
yang canggih tapi tidak tertulis itu.
Biasanya setiap proposal itu gol,
diluluskan, tanpa bunga, tanpa batas
waktu. Bank Dunia mana yang bisa
murah hati seperti itu?!

“Wahh, Mas Guh, mBakyu Guh, matur


nuwun sanget, lho. Sudah ditolong. Kalau
tidak ada Mas dan mBakyu ….. “

Atau bagi mereka yang belum dapat


mengangsur hutang,

“Aduhh, Mas Guh, mBakyu Guh,


nyuwun duka, maaf seribu maaf, belum
384
dapat mengangsur. Habis, bulan ini si
Gendhuk lan Thole …. “

Atau kadang-kadang laporan yang


lebih dahsyat lagi,

“Ketiwasan, Mas Guh, mBakyu Guuhh.


Proyek kami bangkrut. Modal kami ludes.
Habis, saingan sama modal non-pribumi
…. “

Mas Guh dan mBakyu Guh sama


dengan waktu mereka mendengarkan
proposal para nasabah trah, tetap
simpatik, tetap tersenyum.

“Wis, wis, … ora papa, ora papa. Kami


mengerti. Kami akan sabar menunggu
sampai kalian sanggup. Kalau akhirnya
tidak sanggup, yo ora papa, ora papa.
Wong rejeki kami kan rejeki paringan.
Kalau tidak sumrambah, merata, buat
sanak sedulur, lha kan sedulur apa saya
ini. Kan menurut pesan mBah Putri, sing
385
rukun, sing rukun …. “

Akan tetapi namanya cakra


manggilingan, sang roda waktu, kok ya
berputar ke bawah. Dan itu ditandai
dengan berita di koran pagi itu. Cilakanya
yang melapor lebih dulu, kok ya Mr.
Rigen.

“Ini lho, Pak. Kabar rame. Pak Guh


terlibat korupsi sak miliar … “

Cepat-cepat koran saya rebut dari


tangannya. Astaga. Memang di situ
diberitakan Dr. Tgh. Bst. Rsk. Bwlksn,
M.Sc, ditahan untuk dimintai keterangan
tentang uang proyek yang ketlisut
sebesar satu miliar rupiah.

“Ini kan betul Pak Guh, nggih Pak?


Wahh, tidak nyana, tidak ngimpi, nggih
Pak … “

“Wis, wis, kau urus uang proyek

386
belanjaan pasarmu sana dulu!”

Keranjingan! Mr. Rigen alumnus SD


Pracimantoro pun sudah pinter membaca
nama-nama yang dipendekkan di koran.
Lha, skandal koran mana lagi yang tidak
akan dia ketahui. Saya terhenyak duduk
di kursi malasku. Juga tidak nyana dan
tidak ngimpi. Wah, bagaimana orang
sekaya dan sebaik begitu sampai menlisut
uang sak miliar. Saya mesti pergi ke
rumah kawan wartawan yang bekerja di
koran itu. Aku butuh info lebih banyak
tentang Mas Guh. Dan info dari kawan
wartawan itu lebih membuatku grogi.
Bagaimana tidak. Mas Guh ternyata telah
memutarkan uang itu untuk berbagai
proyek spekulasi yang agaknya hancur
semua. Tetapi yang lebih mengenaskan
lagi proyek spekulasi itu masih ditambah
dengan proyek spekulasi yang lain. Mas
Guh ternyata punya tida istri lagi. Dikawin
sah. Astaga! Serta merta saya ingat

387
lukisan kaca karya almarhum Pak Sastra
Gambar dari Muntilan. Gambar itu
menampilkan Petruk jadi raja, duduk di
kursi goyang, memangku seorang
perempuan, sedang tangan kanannya
memegang gelas berisi whiski. Gambar
itu bertuliskan huruf Jawa : Melik
Nggendhong Lali. Mendamba
menggendong alpa. Sayang lukisan itu
saya berikan kepada seorang sahabat di
Jakarta. Siapa tahu kalau dulu saya
hadiahkan ke Mas Guh, ada pengaruhnya.
Tetapi .. yahh, siapa nyana, siapa ngimpi
…..

Di Jakarta semua anggota keluargaku


sedih mendengar laporanku. Masing-
masing terdiam dengan kenangannya
sendiri tentang Mas Guh. Mungkin buat
istri saya, dia dikenang sebagai sedulur
yang pernah memberi oleh-oleh tas
Etienne Aigner, dan bagi anak-anak saya
sebagai Oom yang ngganteng, yang

388
senyumnya bagaikan senyum Robert
Redford yang aneh, yang bodynya sangat
mbody.

“Tapi korupsi kan nggak buat dia


sendiri, Pak. Rejekinya dibagi-bagi kan?
Buat tolong sanak sedulur, kan Pak?”

Saya tidak mendengar apa-apa lagi.


Mungkin saya masih grogi dan bengong.
Akhirnya, aneh sekali, saya cuma bisa
bergumam kepada anak istriku. Wis, wiss
… ora papa, ora papa, ora papa, ora …..

Yogyakarta, 4 Agustus 1987

389
Sekaten Telah Lampau

SEKATEN telah lampau. Seperti tahun


lalu, tahun ini saya tidak sempat
menengoknya. Pekerjaan mondar-mandir
Yogyakarta-Jakarta, pekerjaan rutin di
kampus selalu saja menunda keinginan
untuk pada satu malam jalan-jalan ke
alun-alun menyaksikan ombyaking kawula
Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan
solidaritas mereka. Solidaritas? Solidaritas
kepada siapa?

“Mister Rigen, kemarin kalian nonton


Sekaten berapa kali?”

“Tiga, eh, … empat kali, Pak.”

“Wehh, kok bolehnya katog!”

“Lha, yang dua kali sama bune Beni,


thole Beni, mengantar simbok sama
Madam. Kalau cuma sekali mengunyah
390
sirih di gapura mesjid, simbok sama
Madam tidak puas itu, Pak. Menurut
mereka, kalau mau awet muda, makan
sirihnya mesti beberapa kali.”

Yang dipanggil simbok adalah ibunya


Ms. Nansiyem, dus ibu mertua Mr. Rigen,
yang sekarang sudah berumur enam
puluh tahun. Dan Madam kira-kira juga
seumur itu. Sunggguh dua orang janda
yang memandang kehidupan di depan
dengan optimisme besar. Sembari
mengunyah sirih sekali setahun di gapura
masjid keraton direntangnya terus umur
mereka.

“Terus kamu sendiri mengunyah apa,


Gen?”

“Yakk, Bapak. Mosok saya ikut


ngunyah sirih. Nggih mboten, Pak. Saya
sama thole, nunggu mereka nglesot di
tangga gapura mendengarkan gamelan
Kiai dan Nyai Sekati.”
391
“Apa menurut kamu suara gamelan itu
merdu, to Gen?”

“Wah, kalau dibanding sama gamelan


uyon-uyon ya kalah mat dan gayeng, Pak.
Cuma itu lho, Pak.”

“Cuma apa, Gen?”

“Gamelan Sekaten itu suaranya cuma


cemplang-cemplung kok bisa bikin
merinding, to Pak.”

“Ah, mosok. Kamu saja itu yang


begitu.”

“Ee, Bapak kok tidak percaya, lho!


Simbok, Madam, bune Beni semua
merinding lho, Pak. Dan pasti lainnya juga
begitu.”

Menurut Mr. Rigen gamelan Kiai dan


Nyai Sekati adalah gamelan yang bukan
sakbaene gamelan. Bukan gamelan
sembarangan. Makanya yang
392
mendengarkan pada merinding semua.

“Ning merindingnya itu merinding yang


baik, lho Pak. Bukan merinding yang bikin
ngeri itu.”

“Lha, merinding yang yang tidak bikin


ngeri itu yang bagaimana?”

“Merinding yang bikin nglangut. Bikin


adem dan tentrem begitu, lho Pak. Plang-
plung, plang-plung, ning terus mak nyes
di hati dan pikiran, gitu lho Pak.”

Saya membayangkan beratus mungkin


beribu orang pada duduk nglesot di
halaman masjid keraton, di bawah
gapura, di emperan, di bawah pohon,
dengan wajah entah ke mana
mendengarkan suara gamelan itu dengan
syahdunya. Orang-orang yang entah
datang dari mana. Orang yang seperti
Madam, yang meskipun belum sembuh
benar dari sakitnya, memerlukan turun

393
dari desanya di Tepus nun jauh di selatan
sana. Orang yang seperti simbok, yang
jauh datang dari desanya Jatisrono di
kawasan Wonogiri. Apakah mereka
datang untuk sekadar menikmati
segarnya sirih yang akan membuat
mereka awet muda dan mendengarkan
Kiai dan Nyai Sekati supaya hati dan
pikiran jadi mak nyes seperti
digambarkan oleh Mr. Rigen? Ataukah itu
yang disebut daya tarik kolektif dari satu
tradisi?

“Lha, terus yang dua kali lagi kamu


nonton sama siapa, Gen?”

Mr. Rigen tertawa nyekikik secara


misterius. Suaranya pun lebih rendah
beberapa oktaf.

“Lha, nggih niku, Pak. Saya diajak


konco-konco pembantu di Sekip untuk
nonton ndangdut di Sekaten. Ning janji
tidak boleh ngajak konco wingking. Wee
394
… jebul edan saestu ndangdut di Sekaten
itu, Pak.”

“Edane? Wong ndangdut saja kok


pakai edan segala.”

“Hot, Pak. Hot ….!”

“Huss, cah Praci wae kok tahu hot


segala. Hot itu apa, sih?”

“Pokokipun goyangnya penyanyi itu


panas. Hot! Sangsaya dalu sangsaya hot.
Mangkin malam mangkin gayeng, saestu
lho, Pak.”

“Terus kamu jadi merinding seperti


waktu mendengar gamelan Kiai Sekati?
Terus kamu nonton lagi supaya merinding
lagi?”

“Yahh, Bapak „ki terus begitu, lho.


Tidak boleh, to Pak?”

“Ya, boleh-boleh saja. „Kan kamu


395
sudah jadi orang. Itu hak kamu untuk
milih hiburan. Mana saya berani nglarang-
nglarang kamu. Asal tugasmu beres, tidak
bikin repot dan susah orang lain dan yang
penting tidak dikrawus istrimu, pipimu
yang peyot itu. Ongkos jahitnya itu lho,
Gen, yang mahal … “

“Yang nonton itu bukan cuma barisan


batur seperti saya dan konco-konco itu,
lho Pak. Banyak priyayinya juga.
Mahasiswa, pelajar, malah bapak-bapak
dosen dan pegawai saya lihat juga pada
nonton itu, Pak.”

“Lha, mereka „kan ya manungsa kayak


kamu to, Gen. Masak cuma kamu yang
boleh merinding lihat ndangdut Sekaten?”

Saya membayangkan berpuluh,


beratus orang pada duduk terdiam
menghadapi panggung. Wajahnya
terpaku pada sang primadona yang
menggoyangkan pinggulnya. Bajunya
396
aduhai tipisnya. Mungkin yang paling
brukut pada tubuhnya hanya sepatu
laars-nya yang tinggi hingga lutut. Bunyi
seruling, gendang dan mungkin juga
tabla yang mak nduuttt semangkin
membuat goyang sang primadona
semangkin seser. Wajah-wajah penonton
melongo, mulut ndoweh, iler netes,
kalamenjing alias jakun naik-turun dalam
frekuensi yang meninggi. Siapakah
mereka itu? Dan para penyanyi, penari
dan pemusik ndangdut itu? Saya tidak
dapat memastikan meja prasmanan yang
bagaimana gelanggang alun-alun Sekaten
sekarang ini. Hidangan gamelan Sekaten
itu di sebelah timur dan hidangan
ndangdut hot di sebelah barat.
Penikmatnya ada yang menyantap
dengan memilih. Tetapi tidak kurang juga
seperti angkatan Mr. Rigen yang tampil
sebagai penikmat ulang-alik dan
merasakan hidangan-hidangan itu sama
nikmatnya. Sama merindingnya.
397
Sampai jumpa di Sekaten yang akan
datang. Apakah simbok dan Madam akan
turun lagi dari Jatisrono dan Tepus untuk
makan sirih dan liyer-liyer menikmati
merindingnya gamelan Kiai dan Nyai
Sekati? Apakah Mr. Rigen masih akan
sabar dan telaten menggiring kerabatnya
itu ke bawah gapura masjid? Atau Mr.
Rigen akan lebih betah lagi menonton
ndangdut Sekaten? Dan barisan pemusik,
penyanyi dan penggoyang pinggul itu
akan lebih besar dan lebih berani?

Eh, ngomong-ngomong, berapa ya


keuntungan bersih pasar malam Sekaten
tahun ini ……

Yogyakarta, 10 Nopember 1987

398
Musim Bal – Balan

Pagi-pagi sesudah menonton


kesebelasan Uni Sovyet menghancurkan
kesebelasan Italia, Mr. Rigen sembari
menata meja untuk sarapan pagi
mengomel,

“Mbok PSSI itu kalo bal-balan seperti


londo-londo Eropah itu, lho. Bal-balan kok
kakinya pengkor semua. Lawan
kesebelasan Pracimantoro saja belum
tentu menang …”

Saya yang sudah mandi dan siap untuk


mulai dengan ritual makan pagi, rada
kaget mendengar pengantar makan itu.
Saya lihat Mr. Rigen masih agak bintit
matanya karena nonton pertandingan Uni
Sovyet lawan Italia, dan pagi-pagi sekali
sudah harus bangun menyapu lantai dan
menyiapkan sarapan.

399
“Kamu itu pagi-pagi kok mendahului
sarapan saya dengan penggerundelan
bal-balan. Ada apa to, Gen? Kamu kalah
taruhan?”

“Ha, inggih mboten, Pak. Saya itu


cuma ngungun, terheran-heran, lihat
PSSI dilalap Korea empat nol. Sekali jebol
kok terus mreteli tanpa bisa melawan
apa-apa. Dan lawan Korea, kita itu kok
kalah terus to, Pak.”

“Kalah awu barangkali, Mister.”

“Awu napa? Wong tidak ada hubungan


darah sama mereka kok ada hubungan
awu. Lha, nek badminton kalah sama
RRC, nah itu ada hubungan awu.”

“Elhoo, Gen. Kamu itu bicara apa? Kok


terus mrembet-mrembet soal badminton
sama RRC?”

“Ha, inggih to! Cina peranakan itu kalo


ketemu Cina daratan Tiongkok sana rak
400
jadi kalah awu to, Pak? Kalah tua! Lha
kalah badmintonnya, wong takut kuwalat
..!”

“Huss … huss … Kamu itu kalau


ngomong mbok jangan begitu. Semua
pemain badminton kita itu warga negara
Indonesia. Ya kayak kamu, kayak saya.
Sama haknya, sama kewajibannya. Lha,
siapa tahu to, Gen, kamu dan saya itu
dulu-dulunya ada juga kecipratan darah
campuran Cina, Arab atau India. Terus
hubungan awu-nya bagaimana? Rak
kacau to?”

Mr. Rigen tertawa nyekikik.

“Pak Ageng, Pak Ageng. Yang mulai


ngendika awu tadi itu siapa? Rak
panjenengan to, Pak?”

“Ya sudah, saya ngaku salah sudah


mulai. Ayo, sambil ngatur makan pagiku,
kamu teruskan penggrundelanmu tentang
401
bal-balan.”

Dengan kegesitan seorang pelayan


restoran profesional, Mr. Rigen cak-cek
mengatur blocking piring, gelas, wijikan,
sendok-garpu, lauk-pauk serta nasi yang
sesungguhnya sisa-sisa makan malam
sebelumnya. Meski sisa-sisa begitu,
karena dihangati lagi dan diatur dalam
ngelmu tata meja yang canggih, sarapan
pagi di rumah saya selalu tampil indah
menggiurkan, tidak kalah dengan yang
disajikan oleh majalah Femina atau House
and Garden.

“Begini lho, Pak. Saya itu ngungun kok


bal-balan dan badminton kita itu
kayaknya tidak maju-maju. Wong tiap
tarikan porkas*) saya ya ikut nyumbang,
lho. Gek uang sak pethuthuk banyaknya
itu apa ya masih kurang saja untuk
menaikkan mutu mereka, Pak?”

Saya terdiam. Ini pertanyaan klise


402
yang sehari-hari sudah kita dengar
tentang kegagalan pembinaan olah raga
kita dan tentang hubungannya dengan
porkas. Apalagi kalau itu ditambah
dengan jumlah penduduk kita yang lebih
seratus juta orang dibandingkan dengan
negera Eropa yang hanya dua puluh
hingga tiga puluh juta orang itu. Juga
kalau ditambah lagi dengan keluhan dari
para mantan pemain sepakbola atau
olah-ragawan tempo doeloe. Yang
membandingkan bagaimana mereka dulu
lebih idealis, tidak materialis dan lebih
gembira dalam melakukan olahraga
ketimbang para atlet sekarang. Wah, saya
tidak dapat memberikan penjelasan yang
memuaskan.

Masing-masing pertanyaan dan


keluhan itu ada benarnya, akan tetapi
juga tidak dapat begitu dijadikan alat
penjelasan yang mutlak memuaskan.
Dana yang digrujuk banyak-banyak

403
memang tidak menjamin mutu bal-balan
otomatis naik. Akan tetapi, di lain pihak,
kesebelasan-kesebelasan terbaik Eropa
itu memang selamanya didukung oleh
grujukan dana yang banyak. Dan jumlah
penduduk yang banyak dari satu negara
memang juga tidak menjamin kualitas
tinggi dari negera tersebut. Tetapi jumlah
penduduk yang banyak, di lain pihak,
akan selalu lebih siap memberi cadangan
sumber daya manusia. Yang jelas dana
yang banyak memang bisa menjadi modal
yang menguntungkan. Kalau modal yang
menguntungkan itu tidak bisa
menggerakkan, mengembangkan dan
menaikkan kualitas ketrampilan dan
kecakapan manusia, lha mestinya
manusianya yang mesti menggerakkan.

“Lha, inggih niku lho, Pak. Saya mau


bilang manungsa-nya yang
menggerakkan itu yang bento kok tidak
tegel. Wong saya ini cuma tamatan SD

404
Pracimantoro. Tapi dibilang pinter wong
nyatanya ya mutunya merosot terus.”

Saya tersenyum mendengar itu.

“Dan niku lho, Pak. Pemain-pemain


kita itu kalo bertanding kok kelihatannya
ngoyo, tegang, kenceng tapi tidak seneng
dan tidak gembira hatinya. Mungkin itu
juga yang menyebabkan mereka kalah
terus lho, Pak.”

“Apa pemain londo-londo itu tidak


ngoyo dan kenceng begitu, Gen?”

“Mereka itu srius … “

“Apa?”

“Srius! Srius, … srius!”

“Ohh … serius. Se-ri-us.”

“Lha, inggih niku, srius! Mereka itu


srius tapi mboten keberatan beban begitu
405
kayak pemain kita. Padahal kalo mereka
mau main rilek tapi srius mungkin
menang lho, Pak. Apa mungkin karena
awu lagi ya, Pak?”

“Lha, awu lagi. Tidak. Mungkin kamu


betul, Mister. Serius tapi rilek, rilek tapi
serius … “

Tiba-tiba saya jadi ingat waktu SD dulu


di Solo, saya ikut dua perkumpulan bal-
balan. Di sekolah ikut perkumpulan
O(nze) V(oetbal) C(lub) dan di kampung
ikut B(romantakan) V(oetbal) C(lub).
Saya menjadi pemain cadangan abadi.
Tugas saya di samping jadi pemain
cadangan, juga jadi tukang kepruk es
prongkol yang akan dibagikan kepada
para pemain waktu jeda. Es batu itu saya
bungkus dalam serbet besar, lantas saya
kepruk-kan ke batu besar sampai es itu
berantakan. Lha, mengepruk es batu itu,
seingat saya, saya laksanakan dengan
serius dan rilek, dengan rilek dan serius.
406
Pruk … pruk … pruk … Dan lagu
kebangsaan BVC itu, wah … canggih
banget. Sola, fa, mi, sol, si, fa, sol, si, re,
do … BVC, Bro-man-ta-kan Voet-bal Club,
kumpulannya anak-anak muda …

“Pak, nanti sore saya nyuwun pamit.”


“Lho, mau ke mana kamu?”
“Lha, saya di-bon kesebelasan Pogung
mau pertandingan sama Blunyah Cilik …“
“Ya, boleh. Tapi mainnya yang rilek dan
serius lho, ya! Jangan kayak PSSI … “
“Wooo … tanggung main kulo mirip
Rut Gullit. Setidaknya ya dekat-dekatnya
Marko pan Basten.”

Saya sudah siap untuk pergi ke kantor


untuk berdikusi soal bal-balan lagi ….

Yogyakarta, 28 Juni 1988


*) Porkas : lotere nasional dng dalih untuk
sumbangan olahraga
407
Sore-Sore Tentang Gusti Allah

Sore-sore sepulang saya dari Jakarta


dan Padang, Mr. Rigen menunggu saya
minum teh dan nyomot pisang goreng
panas. Upacara sore begitu sering kali
memang saya rindukan setiap kali saya
harus lama meninggalkan Yogya. Ada
suasana yang khas pada sore-sore begitu.
Suasana yang tidak dapat digambarkan
atau ditulis secara pas. Wong soal roso,
kok! Setangkas-tangkas seorang penulis
tidak akan mungkin ia akan memiliki
cukup peluru kata-kata untuk bercerita
tentang suasana sore dengan teh panas
kenthel dan pisang goreng yang manget-
manget. Ya, pokoknya maat dan laras.
Mungkin Anda akan bertanya apakah di
Jakarta, di mana saya justru direriung
keluarga tidak saya temui suasana maat
dan laras begitu? Wooo … lain!

408
Di Jakarta, istri baru pulang menjelang
maghrib dari rutin kerja kantor. Si
Gendut, mahasiswi metropolitan masa
kini, entah di mana sore-sore begitu.
Entah belum pulang dari ngobrol di
rumah temannya, jogging keliling
kompleks, pokoknya embuh di mana, dia
selalu punya acara sendiri. Suasana
kumpul itu baru datang di sekitar meja
makan pada malam hari. Sore memang
jarang hadir di rumah saya di Jakarta.
Kecuali pada hari Minggu dan hari libur.

Sore-sore, agaknya memang milik kota


yang masih adem ayem di pedalaman.
Kota yang pada pukul dua siang tidur.
Yang toko-tokonya setengah terbuka
setengah tertutup pada jam-jam siang
begitu. Sore-sore memang sekatan waktu
yang indah antara siang dan malam.
Sehabis menggeliat sesudah tidur siang,
belum siap untuk mandi sore dan mikir-
mikir mau apa pada malam harinya. Sore

409
memang zona yang akan aman untuk
menampung itu semua. Di luar negeri
pun tidak ada suasana sore-sore begitu.
Sore kadang lenyap begitu saja ditelan
malam pada musim dingin. Atau tidak
jelas batasnya pada hari-hari panjang di
musim panas. Pokoknya sore-sore milik
kota seperti Ngayogya inilah.

“Wah … pripun, Pak?”

“Pripun lagi. Mbok sekali-sekali mulai


dialog itu tidak dengan pripun.”

“Lha, memang batur itu kan


perbendaharaan kata-katanya terbatas to,
Pak. Di ketoprak-ketoprak dan dagelan-
dagelan itu batur kan ya mulai dengan
pripun to, Pak.”

“Huss … kok semangkin nekat, lho.”

“Ha …inggih. Pripun itu cara wong cilik


bertanya pada para pemimpinnya.”

410
“Ya, sudah. Silakan pripun!”

Mr. Rigen meringis. Tahu bahwa diam-


diam majikannya selalu kagum akan
ketangkasan pokorolannya.

“Pripun, Pak? Jago-jago Bapak kok


keok semua!”

“Jago apa?”

“Persija, keok. Pak Ngalmus dobel


keok!”

Saya jadi mak sengkring mendengar


pertanyaan atau malah ledekan Mr. Rigen
itu. Saya sudah mencoba melupakan
semua itu, kok ini malah digugat lagi.

“Yaaa … kadang-kadang dalam hidup


itu, Gen, orang tidak dapat terus-terusan
berhasil. Kadang-kadang perlu juga keok
itu. Ada hikmahnya, Gen, keok itu.”

“Yakk … Bapak kok terus jadi lebih tua


411
begitu, lho.”

“Lha, terus maumu apa, Gen? Wong


kenyataannya Persija ya kalah tenan. Pak
Ngalmus ya belum berhasil lagi jadi
menteri. Mau apa, mau apa?”

“Ya, betul itu memang kersane Gusti


Allah. Yang saya herani, kok Persebaya
diparengke menang, wong sudah pernah
urikan main sabun. Dan Pak Ngalmus
yang sudah ngetok semua usaha
bertahun-tahun kok ya belum diparengke
Gusti Allah jadi menteri, lho.”

“Ya, mana kita tahu, Gen. Pokoknya


apa yang digariskan Yang Kuwasa itu
mesti ada maksudnya. Mesti baiknya.”

“Yakk … Bapak itu kok terus tiru-tiru


kami wong cilik, lho. Kalau tidak paham,
sudah buntu, larinya ke Gusti Allah. Buat
ngayem-ayem, menenteramkan hati.
Saya itu mohon penjelasan lho, Pak.”
412
Saya jadi judeg. Kenapa wong cilik
seperti Mr. Rigen itu suka menuntut yang
angel-angel dari kami kaum pemegang
kekuasaan. Kami power elite. Keranjingan
tenan! Mbok ya sudah nrimo saja dengan
keterangan yang seadanya, yang masuk
akal. Lagi pula apa kersanya Gusti Allah
itu hanya untuk wong cilik saja?

“Gen! Gusti Allah itu kalau kagungan


kersa buat kita semua. DIA yang
menentukan Persebaya menang. Yo wis.
DIA menetapkan Pak Ngalmus belum
boleh jadi menteri. Yo wis. Diterima saja.”

“Wah … kalau begitu saya dak main


sabun dalam bal-balan lawan Blunyah
Cilik minggu depan. Biar Jetis terpelanting
masuk kotak. Paklik saya di Praci dak
suruh lenggang-kangkung saja, tidak
usah kasak-kusuk untuk jadi lurah. Nanti
kan kejatuhan pulung sendiri.”

Sehabis ngomong begitu, mak brebet


413
Mr. Rigen pergi ke belakang. Saya
mengelus dada. Weh … sering kali sulit
juga nyrateni, momong kemauan wong
cilik! Selalu butuh penjelasan yang
memuaskan. Tetapi permintaannya sering
sulit-sulit. Kayaknya kami kaum power
elite hasumadya dengan penjelasan yang
memuaskan. Kalau kami sendiri hilang
akal dan mau lari ke Gusti Allah dimarahi.
Kayaknya cuma mereka yang punya Gusti
Allah. Wee … lha, trembelane tenan!

Tetapi sesudah saya merenung


sebentar, saya kok jadi tersenyum. Lha,
kalau mereka wong cilik tidak mengklaim
Gusti Allah sebagai milik mereka, punya
apa lagi mereka?

Yogyakarta, 29 Maret 1988

414
Mudik Lebaran dan Rigenomics

MUSIM semi datang bagai seekor


singa, kata penyair T.S. Elliot. Tetapi
lebaran datang bagai air bah, kataku.
Pengeluaran dan pengeluaran itu lho,
yang datang bagai air bah. Gaji para
anggota kitchen cabinet alias kanca
wingking mesti dibayar dobel. Lebaran
kok! Pakaian lengkap dari atas ke bawah
bagi mereka juga kudu dibeli. Lha,
lebaran je.

Dan di atas semua itu para anggota


kabinet tersebut tentulah membutuhkan
masa reses juga. Sama seperti anggota
DPR yang sudah sekian bulan mengantuk
di ruang besar yang ber-air conditioning
membutuhkan udara luar yang segar
sambil meninjau kebutuhan rakyat di
tanah akarnya, begitulah para kanca
wingking. Mereka butuh reses sesudah
415
setahun penuh (dan di sini mungkin
mereka agak berbeda dari anggota DPR)
bekerja keras mengabdi para bendoro
(yang kadang-kadang ada yang mau
dipanggil Pak atau Bu). Mereka butuh
mudik untuk reriungan dengan jaringan
keluarga mereka, yang entah berapa
kompi besarnya, bila datang berkumpul di
rumah leluhur mereka di desa. Jaringan
yang antara bulan Syawal yang satu
dengan Syawal yang lain ada dalam
kondisi cerai-berai, tersebar ke mana-
mana. Tetapi, pas pada dua hari riyaya
itu, jaringan itu akan terpaut kembali
menjadi satu jagat yang utuh, hangat dan
bersemangat, mangan ora mangan waton
kumpul. Lha, wong lebaran, je! Maka,
karena itu tradisi reses itu kudu diberikan.
Pengeluaran lagi!

“Mau mudik berapa lama?”

“Seminggu saja, nDoro Putri.”

416
“Edann, kowe! Seminggu?! Jadi aku
kau suruh nyuci piring dan nDoro Kakung
ngangsu air, kasih makan dan ngguyang
si Bleki selama seminggu lamanya,
hahh?! Ora! Tiga hari saja!”

“Waduhh, mbok kasihan sama simbok


dan bapak saya, nDoro. Sudah setahun
tidak ketemu. Kangen, nDoro.”

“Ya, wis. Lima hari, tidak boleh lebih.


Awas kalau kowe pulangnya molor, dak
cengklong gajimu!”

“Matur nuwun sanget, nDoro! Saya


akan pulang tepat!”

Wajahnya menunduk gembira. nDoro


Putri pun lega. Keduanya tahu, di dunia
Jawa (mungkin juga di dunia mana saja),
semuanya kudu ada bargaining, tawar-
menawar, nyang-mengenyang. Setidaknya
dulu ……

Meski hidup sendiri di Yogya, jelek-


417
jelek saya punya kitchen cabinet. Mereka,
seperti telah saya laporkan dalam kolom
terdahulu, terdiri dari tiga anggota : (Mr.)
Rigen, (Mrs.) Nansiyem Rigen dan
(Junior) Beni Prakosa. Dan meskipun
hadiah lebaran tahun ini dari fakultas
semangkin mungkret (delapan belas ribu
dicengklong tiga ribu buat Syawalan),
karena mau solider dengan tekad yang
dahsyat dari bapak-ibu di Pusat untuk
hidup sederhana, saya toh tetap tak bisa
lain daripada mempertahankan ritual
lebaran. Dan itu „kan perlu untuk
memelihara rapor dengan rakyat saya.
Pakaian lengkap dari atas sampai bawah,
gaji dua bulan dan menawarkan reses
lima hari ke desa.

Buat saya, kepergian The Rigen’s


setiap lebaran begitu tidak pernah
mengacaukan organisasi pemerintahan
saya. Sebelum pergi, semalam suntuk
biasanya mereka saya perintahkan untuk

418
mau secara sukarela (dengan ancaman
sanksi secukupnya) melembur sambel
goreng ati (plus pete), opor ayam,
mendeplok bumbu kedele, merebus
ketupat. Pagi harinya, dengan mata
merah, tubuh loyo tetapi hati gembira,
mereka pun meninggalkan rumah saya
dengan meja makan sudah tertata rapi.
Ahh, menteri-menteriku yang setia …
Dan siang harinya, istri dan anak-anakku
pun datang dari Betawi lengkap dengan
oleh-oleh dunia metropolitan yang super
canggih. Dengan sigap pula mereka akan
mengambil alih semua administrasi dan
bidang pekerjaan umum rumah saya.
Ahh, anggota keluargaku yang efisien …

“Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem dan Junior


… “ Begitulah setiap lebaran saya akan
menegur dengan formal sekali.

“Ini baju-baju kalian. Semoga


memuaskan kalian. Ini gaji dua bulan.”

419
“Matur nuwun sanget, Pak.”

Pada saat begitu paduan suara anak


beranak itu sangat merdunya. Tak senada
pun mblero.

“Lha, tahun ini kalian mau pulang


berapa lama? Lima hari seperti biasa?”

Diam sejenak. Mr. dan Mrs. Rigen


saling berpandangan sedetik. Lantas …

“Kalau boleh, tahun ini kami tidak


pulang.”

“Lho?! Priye karepmu?”

“Terus terang ke desa Cuma habis-


habiskan uang, Pak.”

“Lha, tentu saja uang mesti


dihabiskan. Kan dibagi sama orang tua
dan lain-lainnya?”

“Desa cuma bikin hari sedih, Pak.”

420
“Ahh, mosok? Wong iji royo-royo.
Gemah ripah.”

“Yak, Bapak. Kok terus ndagel, lho!”

Rupanya Mr. Rigen sudah punya


perhitungan yang rapi bin njlimet. Tahun
ini mereka tidak mudik tetapi cukup kirim
uang ke kedua orang tua mereka. Praktis,
tidak repot katanya.

Kalau pulang jatah subsidi Bandes itu


akan molor. Belum naik bus tiga kali plus
colt. Belum muntah-muntah madam dan
Junior di tengah jalan. Sudah uang
mereka sudah dicengklong buat orang
tua itu diharap akan dikompensir oleh
persen dari jaringan keluarga saya yang
diperhitungkan akan reriungan di rumah
saya dan di rumah ibu saya. Kalau datang
semua bisa sekitar 15 orang jumlahnya …

“Coba kalau saya pulang, Pak. Bapak


akan capek nyopir jip. Para putri akan
421
lecet tangannya nyuci …”

Kemudian bibirnya menyungging


senyumnya yang lihai.

“ … dan saya akan kehilangan rejeki


dari ibu-ibu dan bapak-bapak.”

“Dapurmu!”

Saya jenggung kepalanya alon-alon.


Well, President Ronald Reagan, you may
have your Reaganomics …. Tetapi di sini,
I punya Rigenomics!

Yogyakarta, 26 Mei 1987

422
Sawang Sinawang Waktu
Lebaran

MENURUT para pengamat budaya


Jawa, konon orang Jawa itu sangat
mementingkan keselerasan, harmoni dan
sejauh mungkin menghindari konfrontasi
dan konflik. Konfrontasi dan konflik akan
membuat suasana tidak laras dan tidak
apik. Dan seterusnya akan membuat
jagat menjadi gonjang-ganjing, unsur-
unsurnya pun akan mreteli, lepas satu
demi satu, dan akhirnya akan berantakan
jagat yang sebelumnya mengikat orang-
orang Jawa itu selaras dan seimbang
dalam keindahan.

Apakah itu berarti bahwa orang Jawa


tidak pernah berani menatap muka
orang? Bayangkan, satu dunia yang
terdiri dari orang-orang yang membuang
muka atau menundukkan kepala (dengan
423
malu-malu atau tidak) setiap bertemu
muka dengan orang demi keselerasan
dan keindahan. Baru membayangkan satu
bagian kecil saja dari dunia orang Jawa,
Malioboro misalnya, penuh dengan orang-
orang yang begitu sudah sulit, apalagi
membayangkan seluruh jagat Jawa
seluruhnya. Kalau begitu, apakah orang-
orang Jawa sudah menjadi tawanan
kearifan pandangan hidupnya sendiri?
Menjadi suku yang minggrang-minggring,
terus menerus dihantui suara hati yang
dengan nada serak berkata : mengko
dhisik, le … ; mengko gek …, jangan-
jangan ….! Takut atau segan bertatap
muka, lebih baik minggir dan
menundukkan kepala agar kemungkinan
konfrontasi atau konflik dapat terus
menerus diperkecil. Lantas bagaimana
Mas Giman bisa mengatakan kalau
Pariyem berwajah … huuhhh …
menggemaskan atau Denmas
Suryodicokroingjonggo dapat bilang kalau
424
Rara Lara Ireng black sweet alias ireng
manis, kalau mereka terus menerus
saling menghindar menundukkan kepala?
Mestinya Mas Giman berani menatap
(dengan kalamenjing atau jakun naik
turun) muka Pariyem untuk sampai pada
kesimpulan “huuhhh …” itu. Atau denmas
yang namanya dapat melingkari beringin
kurung di alun-alun itu pastilah pernah
dengan mata membelalak mengamati
gerak-gerik dan lenggak-lenggok den rara
itu untuk menetap bahwa gadis yang
tinggal di pojok beteng itu hitam manis.

Ternyata, untuk satu jebakan filsafat


hidup selalu ada semacam safety device
alias alat penyelamat untuk keluar dari
kesulitan kearifan pandangan hidup yang
dibikin sendiri. Konon, hanya bangsa yang
besar yang akan dapat secara kreatif
berkelit menciptakan alat penyelamat
tersebut. Dan bangsa Jawa (setidaknya
dalam jumlah) adalah bangsa yang besar.

425
Ia, bangsa Jawa itu, telah menciptakan
alat penyelamat tersebut. Sawang-
sinawang, memandang-(dan)-dipandang.
Hidup itu hanya sekadar sawang-
sinawang kata para filsuf Jawa. Dan
karena saya bukan filsuf (untuk mata
kuliah yang angker itu saya hanya lulus
pas-pasan), saya membuat tafsiran
sendiri tentang sawang-sinawang itu.
Begini. Orang Jawa sudah terlanjur
menjebakkan diri dalam pegangan
“keselarasan apa pun bayarannya” dan
“emoh konfrontasi karena itu tidak edi
peni”. Padahal alangkah banyaknya
keindahan di dunia ini yang harus dilihat,
ditatap dan dinikmati. Maka mesti ada
akal, dong, untuk dapat keluar dari
dilema tersebut. Dengan strategi “dijupuk
iwake ojo nganti butek banyune”, diambil
ikannya (tetapi) jangan sampai keruh
airnya, digalilah dari akar budaya bangsa
Jawa sendiri, pandangan hidup sawang-
sinawang itu. Keselrasan harus tetap
426
dijaga, konfrontasi harus tetap dihindari,
tetapi nyawang, memandang dari satu
jarak tertentu, ya boleh, to? Nyawang dan
disawang (karena dalam jarak tertentu
yang tidak terlalu dekat) berada dalam
titik netral yang tidak mungkin
mengundang konfrontasi dan merusak
harmoni.

Nah, pada hari lebaran itu (meski


dianjurkan jangan) sahabat saya yang
jadi petinggi di daerah ini kok nekat
membuat open house. Dan yang aneh,
kok saya dan istri saya berani-beraninya
datang! Begitulah, pada siang hari itu
kami tahu-tahu sudah berada di tengah
pusaran manusia di rumah sang petinggi
yang indah. Salam-menyalam, lempar-
melempar senyum, rangkul-rangkulan
dan tentu saja (karena modelnya begitu)
sun pipi kiri dan kanan. Saling
memaafkan pun bergumam di sela segala
olag raga itu.

427
“Wah, hampir semua bapak-bapak
pake hem ikat sutera Troso. Kau sendiri
ketinggalan zaman, Pak.”

Istri saya melempar kalimatnya yang


pertama sesudah nyawang sekilas ke
sekelilingnya.

“Yo, ben.”

Saya pun mulai ikut menyawang ke


ibu-ibu yang pada hari itu kok pada
kelihatan menor semua.

“Lha, itu para ibu juga pada parade


pake batik sutera Sapto, Ardianto, Iwan
Tirta. Waduhh, selendangnya yang
setelan klengsreh tanah. Kau sendiri yang
….. “

“Yo, ben!”

Istri saya trengginas menukas hasil


sawangan saya. Saya memotong, begitu
tiba-tiba dia pelukan dengan grapyaknya
428
dengan seorang ibu yang sebaya
dengannya.

“Aduuhh, yang baru pulang dari Hong


Kong dan Singapur. Mana hayoo, oleh-
olehnya …”

“Waallaahh, kok oleh-oleh. Waktu buat


soping itu enggak ada!”

Aku terus diewer-ewer Kangmas suruh


ikut drink sini, eat sana. Sudah to,
pokoknya …

“mBakyu itu umpama tidak overacting


kerdipan dan pacak lehernya mirip Leni
Marlina, lho”

“Halahh, Leni Marlina apa! Hongkong,


Singapur, tapi urunan arisan sudah dua
bulan belum bayar. Wong sugih kok
malah …”

dan seharian penuh kami pun


menyawang dan menyawang segala
429
kemilau yang beredar di sekitar kita. Di
rumah, di tempat tidur, saya melihat
langit-langit yang sudah kusam dua ekor
cicak berkejaran. Saya tersenyum masih
melihat open house di rumah petinggi.

“Kenapa senyum sendiri lihat cicak.


Rumangsamu Prabu Angling Dharma,
apa?”

Saya tersenyum, nggleges.

“Eee, Bu. Betul juga, ya. Hidup itu


mung sawang sinawang ….”

Saya menyawang Leni Marlina. Lha,


istri saya menyawang siapa sekarang?

Yogyakarta, 2 Juni 1987

430
Sawang Sinawang Waktu
Lebaran

MENURUT para pengamat budaya


Jawa, konon orang Jawa itu sangat
mementingkan keselerasan, harmoni dan
sejauh mungkin menghindari konfrontasi
dan konflik. Konfrontasi dan konflik akan
membuat suasana tidak laras dan tidak
apik. Dan seterusnya akan membuat
jagat menjadi gonjang-ganjing, unsur-
unsurnya pun akan mreteli, lepas satu
demi satu, dan akhirnya akan berantakan
jagat yang sebelumnya mengikat orang-
orang Jawa itu selaras dan seimbang
dalam keindahan.

Apakah itu berarti bahwa orang Jawa


tidak pernah berani menatap muka
orang? Bayangkan, satu dunia yang
terdiri dari orang-orang yang membuang
muka atau menundukkan kepala (dengan
431
malu-malu atau tidak) setiap bertemu
muka dengan orang demi keselerasan
dan keindahan. Baru membayangkan satu
bagian kecil saja dari dunia orang Jawa,
Malioboro misalnya, penuh dengan orang-
orang yang begitu sudah sulit, apalagi
membayangkan seluruh jagat Jawa
seluruhnya. Kalau begitu, apakah orang-
orang Jawa sudah menjadi tawanan
kearifan pandangan hidupnya sendiri?
Menjadi suku yang minggrang-minggring,
terus menerus dihantui suara hati yang
dengan nada serak berkata : mengko
dhisik, le … ; mengko gek …, jangan-
jangan ….! Takut atau segan bertatap
muka, lebih baik minggir dan
menundukkan kepala agar kemungkinan
konfrontasi atau konflik dapat terus
menerus diperkecil. Lantas bagaimana
Mas Giman bisa mengatakan kalau
Pariyem berwajah … huuhhh …
menggemaskan atau Denmas
Suryodicokroingjonggo dapat bilang kalau
432
Rara Lara Ireng black sweet alias ireng
manis, kalau mereka terus menerus
saling menghindar menundukkan kepala?
Mestinya Mas Giman berani menatap
(dengan kalamenjing atau jakun naik
turun) muka Pariyem untuk sampai pada
kesimpulan “huuhhh …” itu. Atau denmas
yang namanya dapat melingkari beringin
kurung di alun-alun itu pastilah pernah
dengan mata membelalak mengamati
gerak-gerik dan lenggak-lenggok den rara
itu untuk menetap bahwa gadis yang
tinggal di pojok beteng itu hitam manis.

Ternyata, untuk satu jebakan filsafat


hidup selalu ada semacam safety device
alias alat penyelamat untuk keluar dari
kesulitan kearifan pandangan hidup yang
dibikin sendiri. Konon, hanya bangsa yang
besar yang akan dapat secara kreatif
berkelit menciptakan alat penyelamat
tersebut. Dan bangsa Jawa (setidaknya
dalam jumlah) adalah bangsa yang besar.

433
Ia, bangsa Jawa itu, telah menciptakan
alat penyelamat tersebut. Sawang-
sinawang, memandang-(dan)-dipandang.
Hidup itu hanya sekadar sawang-
sinawang kata para filsuf Jawa. Dan
karena saya bukan filsuf (untuk mata
kuliah yang angker itu saya hanya lulus
pas-pasan), saya membuat tafsiran
sendiri tentang sawang-sinawang itu.
Begini. Orang Jawa sudah terlanjur
menjebakkan diri dalam pegangan
“keselarasan apa pun bayarannya” dan
“emoh konfrontasi karena itu tidak edi
peni”. Padahal alangkah banyaknya
keindahan di dunia ini yang harus dilihat,
ditatap dan dinikmati. Maka mesti ada
akal, dong, untuk dapat keluar dari
dilema tersebut. Dengan strategi “dijupuk
iwake ojo nganti butek banyune”, diambil
ikannya (tetapi) jangan sampai keruh
airnya, digalilah dari akar budaya bangsa
Jawa sendiri, pandangan hidup sawang-
sinawang itu. Keselrasan harus tetap
434
dijaga, konfrontasi harus tetap dihindari,
tetapi nyawang, memandang dari satu
jarak tertentu, ya boleh, to? Nyawang dan
disawang (karena dalam jarak tertentu
yang tidak terlalu dekat) berada dalam
titik netral yang tidak mungkin
mengundang konfrontasi dan merusak
harmoni.

Nah, pada hari lebaran itu (meski


dianjurkan jangan) sahabat saya yang
jadi petinggi di daerah ini kok nekat
membuat open house. Dan yang aneh,
kok saya dan istri saya berani-beraninya
datang! Begitulah, pada siang hari itu
kami tahu-tahu sudah berada di tengah
pusaran manusia di rumah sang petinggi
yang indah. Salam-menyalam, lempar-
melempar senyum, rangkul-rangkulan
dan tentu saja (karena modelnya begitu)
sun pipi kiri dan kanan. Saling
memaafkan pun bergumam di sela segala
olag raga itu.

435
“Wah, hampir semua bapak-bapak
pake hem ikat sutera Troso. Kau sendiri
ketinggalan zaman, Pak.”

Istri saya melempar kalimatnya yang


pertama sesudah nyawang sekilas ke
sekelilingnya.

“Yo, ben.”

Saya pun mulai ikut menyawang ke


ibu-ibu yang pada hari itu kok pada
kelihatan menor semua.

“Lha, itu para ibu juga pada parade


pake batik sutera Sapto, Ardianto, Iwan
Tirta. Waduhh, selendangnya yang
setelan klengsreh tanah. Kau sendiri yang
….. “

“Yo, ben!”

Istri saya trengginas menukas hasil


sawangan saya. Saya memotong, begitu
tiba-tiba dia pelukan dengan grapyaknya
436
dengan seorang ibu yang sebaya
dengannya.

“Aduuhh, yang baru pulang dari Hong


Kong dan Singapur. Mana hayoo, oleh-
olehnya …”

“Waallaahh, kok oleh-oleh. Waktu buat


soping itu enggak ada!”

Aku terus diewer-ewer Kangmas suruh


ikut drink sini, eat sana. Sudah to,
pokoknya …

“mBakyu itu umpama tidak overacting


kerdipan dan pacak lehernya mirip Leni
Marlina, lho”

“Halahh, Leni Marlina apa! Hongkong,


Singapur, tapi urunan arisan sudah dua
bulan belum bayar. Wong sugih kok
malah …”

dan seharian penuh kami pun


menyawang dan menyawang segala
437
kemilau yang beredar di sekitar kita. Di
rumah, di tempat tidur, saya melihat
langit-langit yang sudah kusam dua ekor
cicak berkejaran. Saya tersenyum masih
melihat open house di rumah petinggi.

“Kenapa senyum sendiri lihat cicak.


Rumangsamu Prabu Angling Dharma,
apa?”

Saya tersenyum, nggleges.

“Eee, Bu. Betul juga, ya. Hidup itu


mung sawang sinawang ….”

Saya menyawang Leni Marlina. Lha,


istri saya menyawang siapa sekarang?

Yogyakarta, 2 Juni 1987

438
Air Dan Hidup Ngrekasa

Di Koran Senin pagi itu, saya membaca


tentang kekeringan air di Pracimantoro.
Segera saya panggil Mr. Rigen yang
sedang menyapu halaman depan. Ini
kabar gawat, pikir saya. Pastilah Mr. Rigen
akan prihatin sekali membayangkan
kesulitan orang tuanya. Maka untuk
menambah bobot urgensi pada situasi,
nada suara saya waktu memanggil Mr.
Rigen juga seperti suara seorang jenderal
memanggil ajudannya. Berat, berwibawa
tur mantep.

“Mr. Rigen, rene!”

Mr. Rigen yang sejak lama sudah saya


coba didik menjadi seorang teknokrat
terampil tetapi tetap manusia, toh masih
saja menyimpan sisa-sisa naluri robot di
tubuhnya. Begitu mendengar suara
panggilan jenderal itu, mak grobyak sapu
439
dilempar di tanah, rerontokan dedaunan
dibiarkan tetap berserakan dan sreett
begitu saja sudah berdiri di depan saya.

“Wonten dawuh, Pak?”

Sikapnya berdiri tegak, tangan


ngapurancang. Di belakangnya, Beni
Prakosa, beo murni dari bapaknya, berdiri
dengan sikap yang sama.

“Teh atau topi? Teh atau topi, Pak


Ageng?” Robot beo kecil pun ikut-ikutan
nyerocos pertanyaan rutinnya pada pagi
hari.

“Teh, teh. Sana suruh ibumu bikin. Ini


lho, Gen. Ada kabar gawat di desamu!”

“Oohh, itu to, Pak. Kabar kekeringan air


to, Pak? Tiwas saya itu deg-degan waktu
ditimbali tadi. Dak kira mau didukani atau
mau diparingi apa, gitu.”

Cilaka! Mengapa naluri pembantu selalu


440
begitu kalau dipanggil majikannya. Siap
untuk dimarahi atau siap untuk diberi
hadiah. Atau jangan-jangan itu naluri kita
semua setiap kali kita dipanggil oleh
atasan kita? Begitu terbatas dan nyaris
tanpa nuansa kah pilihan-pilihan di
republik yang egaliter ini?

“Lho, kamu kok kelihatannya tidak


kaget begitu, Gen? Ini kan kabar krisis
berat? Air, je!”

“Lha iya, air. Terus mau diapakan to,


Pak. Wong itu sudah begitu terus saben
tahun. Kalau ada urusan gawat betul
nanti, kan orang tua saya suruhan orang
ke sini.”

“Lha, orang tuamu itu apa ya tidak


ngrekasa kurang air begitu?” Mr. Rigen
tertawa. “Orang desa itu kapan tidak
ngrekasa to, Pak? Selamanya kan ya
ngrekasa. Karena biasa ngrekasa ya jadi
tidak terasa ngrekasa, Pak.”
441
Wah, elok tenan. Pagi-pagi sudah dapat
kuliah filsafat ngrekasa. Benar juga kata
guru saya dulu bahwa filsuf-filsuf terbaik
di dunia lahir di negeri-negeri yang
gersang. Mungkinkah Pracimantoro akan
menjadi gudang filsuf-filsuf ulung?
Setidaknya filsuf ngrekasa.

Dan Mr. Rigen pun berkisah tentang


desanya yang gersang. Tentang gunung-
gunungnya yang pada gundul. Tentang
telaga-telaga yang sedikit airnya, yang
pada musim kering begini akan kering
sama sekali. Maka orang akan berebut
mencari sumber-sumber air yang lebih
jauh letaknya dan lebih sedikit airnya.
Dan perebutan itu nantinya tidak akan
antara manusia-manusia, akan tetapi juga
dengan macan-macan yang mulai pada
turun dari gua-gua di gunung.

“Macan?”

“Iya, Pak. Macan itu tidak hanya mau


442
air. Tetapi juga mau jenazah-jenazah
manusia. Kami di sana sudah nrimo kalau
jenazah kami akhirnya dibongkar kiyaine
itu untuk kemudian digondol, dibawa ke
gua meraka.”

Fantastik. Saya mendengar itu seperti


melihat layar teve imajiner di depan
mataku menyiarkan lakon science fiction.
Tetapi bukan! Teve itu adalah teve Mr.
Rigen from Pracimantoro. Dengan tenang
dan dengan gaya dramatik teater
tradisional dia menghabisi ceritanya.

“Tapi orang tua saya masih untung kok,


Pak.”

“Untung bagaimana? Orang Jawa kok


untung terus, lho!”

“Lha, mereka itu tidak seperti lainnya.


Mereka hanya harus menempuh tiga
kilometer untuk mencari air …”

Astaga. Hanya tiga kilometer ….


443
Sore-sore hawa yang seharian panas
jadi teduh sedikit. Warna langit yang
lembayung kemerahan itu ikut
menambah sejuknya suasana. Dari
jendela saya melihat Mr. Rigen & family
sembur-semburan air dari selang yang
habis dipakai untuk membasahi rumput
halaman. Tawa meraka berderai-derai.
Baju Beni Prakosa basah kuyup, tetapi
dengarlah suara tertawanya yang renyah
bahagia. Saya teringat orang tua Mr.
Rigen di desanya. Sudahkah mereka
mendapat air dari belik pada jam begini.
Dan macan-macan itu? Saat itu pun saya
tidak mungkin lupa pesan Prof.
Blommenstein, ahli air yang bernenek
Jawa tempo hari, “Ojo ngguwak-ngguwak
banyu, ora ilok …!”

Yogyakarta, 8 September 1987

444
Raden Soemantio

Mr. Rigen menyilakan orang itu masuk


dan duduk di kursi bambu saya yang
antik di ruang tamu.

“Ada orang ingin sekali ketemu Bapak.”

“Siapa?”

“Duko. Katanya setap kawan Bapak di


kantor kesenian. Sudah kenal Bapak.”

“Wah, siapa ya?”

“Katanya namanya Soemantio. Perlu


sekali sama Bapak. Orangnya sopan
sekali lho, Pak.”

“Tahumu kalau sopan?”

“Lha wong ing atas-nya cuma ngomong


sama saya lho, Pak, bahasanya itu bahasa
Jawa krama halus sekali. Biasanya priyayi
445
itu kalo ngomong sama wong cilik seperti
saya cukup krama madya atau ngoko saja
kan, Pak? Ini tidak, lho. Halus, gaya Solo,
berdirinya juga ngapurancang terus.”

Saya jadi penasaran. Sudah lama sekali


tidak ada orang sopan bertamu ke rumah
saya. Maksud saya dengan sopan yang
seperti yang diceritakan Mr. Rigen itu.
Penuh tata krama, berbahasa Jawa krama
halus.

Teman-teman saya selalu berbahasa


Jawa ngoko campur bahasa Indonesia.
Teman yang kurang akrab (meskipun
Jawa) berbahasa Indonesia (yang baik
dan benar). Mungkin untuk mencegah
kami terperosok dalam komunikasi
bahasa Jawa yang membingungkan
jenjang-jenjangnya itu. Lha, kalau sanak
saudara saya, karena yang paling akrab
dengan saya yang paling kacau bahasa
percakapannya itu. Bahasa Jawa penuh
tidak, bahasa Indonesia yang baik dan
446
benar juga tidak. Dan untuk aksi di sana-
sini bahasa Inggris yang kadang-kadang
saja betul. Sering kali saya bertanya
sendiri, quo vadis bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa? Lha, ya quo vadis, wong
mau tanya ke mana saja kok ya quo
vadis, lho!

“Selamat pagi, Pak Ageng. Nyuwun


duko enjing-enjing sampun ngresahi.”

Mati aku!. Pagi-pagi mendapat sarapan


kata-kata yang begitu sopan, halus,
diucapkan dengan diksi yang sempurna
oleh seorang yang setengah baya, tinggi
semampai, handsome, ngapurancang
lagi.

“Lenggah, lenggah, Mas.”

Ia pun duduk. Dan gerak mau


duduknya itu juga dengan ritme seorang
yang kayaknya sudah pernah mendapat
kuliah di jurusan teater Institut Kesenian

447
Jakarta. Sangat luwes dan metodis.

Untuk mendapat gambaran yang lebih


tepat dari dialog kami, juga karena tidak
mungkin saya muat di sini bahasa krama
halusnya yang sempurna dan krama saya
yang jumpalitan, saya akan
menerjemahkan saja dalam bahasa
Indonesia yang baik dan benar.

“Bagaimana? Ada yang bisa saya


tolong, Mas?”

“Begini, Pak Ageng. Mungkin Bapak


tidak kenal lagi dengan sahaya. Sahaya
adalah staf Pak Soerono di Kantor
Kesenian DIY. Nama saya Soemantio.
Sahaya yang selalu mengatur
penyetensilan makalah-makalah bila ada
seminar, lokakarya atau diskusi di
Kepatihan. Bapak masih ingat? Ah, pasti
Bapak tidak ingat sama saya. Saya orang
kecil, Bapak orang penting.”

448
Kalau mendengar basa-basi seperti itu,
heran sekali, saya kok masih senang saja.
Bahkan mongkok hatiku ….

“Lantas, maksud kedatangan, Mas


Mantio?”

“Ya, terus terang saja, Pak. Sahaya


mohon pertolongan Bapak. Ini kalau tidak
menyusahkan atau merepotkan Bapak.”

“Wah, pertolongan apa, ya? Kalau saya


dapat, tentu dengan senang hati akan
saya usahakan.”

“Begini, Pak Ageng. Begini … eh,


begini.”

“Ya, begini bagaimana, Mas? Coba


terangkan. Jangan segan-segan.”

“Begini, Pak Ageng. Begini. Saya harus


menebus anak saya dari Panti Rapih. Dia
baru sembuh dari operasi uci-uci di
kakinya. Saya bawa uang Rp. 250.000,-
449
… eh, masih kurang. Lengkapnya Rp.
283.750,-. Jadi masih kurang Rp. 33.750,-
. Karena sahaya pikir Pak Ageng tinggal
dekat sini, dan Pak Ageng biasa
menolong teman-teman, sahaya mohon
pertolongan Pak Ageng menutup
kekurangan itu. Ini kalau tidak
menyusahkan Pak Ageng, lho.”

Dia duduk menunduk. Tangannya


disilangkan di pahanya. Wajahnya
kelihatan prihatin sekali. Oh … Korpri
kecil yang malang. Ada berapa juga dari
kalian yang akan selalu menemui
kesulitan seperti itu. Menebus surat
gadai, menebus beras, menebus baju,
menebus uang lembur dan ini menebus
anak dari rumah sakit.

Saya sebagai Korpri yang tidak begitu


kecil terpanggil untuk menolong sesama
anggota korps. Kalau menolong begini
saja tidak dapat, buat apa saya tempoh
hari lulus P4 nomor satu sak DIY, bukan?
450
Tetapi, uwahhh, tanggalnya kok ya tua
bangka, lho. Di laci lemari pakaian yang
berfungsi sebagai brangkas, tempat
menyimpan uang, surat-surat yang
sesungguhnya tidak perlu, foto-foto yang
juga tidak pantas disimpan, saya lihat
uang saya tinggal Rp. 45.000,-. Kira-kira
pas untuk uang belanja harian Mr. Rigen
ke Pasar Kranggan sampai hari gajian
tiba.

Waduh, kalau dipotong untuk


membantu Raden Soemantio yang halus
itu, saya dan keluarga Mr. Rigen bisa
survive sampai kapan? Tapi saya lantas
ingat mahasiswa saya dari Bali yang
tempoh hari bercerita tentang
pengorbanan Suthasoma dengan
mengharukan sekali. Wahh, dibanding
dengan Suthasoma yang ikhlas
menyediakan tubuhnya dilalap harimau
demi keselamatan desanya, apalah
artinya pengorbanan yang cuma

451
beberapa puluh ribu rupiah itu. Saya jadi
malu sekali. Kok begitu saja ragu-ragu,
meski sebentar. Tidak. Uang tiga puluh
tiga ribu sekian itu saya ambil, saya
hitung dan srett … saya ulungkan kepada
Raden Soemantio. Raden Soemantio
gurawalan menerima uang itu. Uang itu
diangkatnya sebentar di dahinya,
kemudian mak srett … dimasukkan ke
dalam saku hem-nya. Juga dengan luwes
dan metodisnya. Saya pikir tatakrama,
unggah-ungguh Jawa, memang seni
terapan ilmu teater yang canggih.

“Waduhh, … matur nuwun, sewu


sembah nuwun, Pak Ageng. Tidak salah
dugaan sahaya. Kalau kesulitan di tanggal
tua begini, pasti Pak Ageng yang dapat
menolong sahaya. Matur nuwun, Pak
Ageng. Matur nuwun.”

Dan cengklak, dia pun menyengklak


sepedanya menuju Panti Rapih. Saya pun
lega, di tanggal tua masih dapat
452
menolong kawan sesama korps. Cuma
waktu ingat sebentar lembar ribuan yang
cuma beberapa biji terseruak di antara
surat-surat dan foto-foto bosok di laci
lemari pakaian, saya jadi tergetar
sebentar. Ah, … tidak. Dibanding dengan
Suthasoma …..

Esok harinya saya menelepon Mas


Soerono di kantor Kesenian, melapor
tentang Raden Soemantio yang sopan
dan halus budi bahasanya itu.

“Lho, Mas Ageng, tidak ada yang


bernama Raden Soemantio di kantor
kami. Kebetulan hari ini kami sedang
menyiapkan daftar gaji. Tidak ada dalam
daftar ini yang bernama Raden
Soemantio.”

“Mungkin tenaga honorer?”

“Tidak ada tenaga honorer di sini, Mas


Ageng. Wahhh …. sampeyan kejeblos!”
453
Trembelane! Orang yang begitu halus
dan sopan menyandang sisa-sisa
keagungan peradaban Mataram. Kok, eh
… trembelane tenan! Mr. Rigen pun tidak
kurang-kurang jengkelnya. Sejarah hari-
hari paceklik tempe dan kangkung
tempoh hari terbayang di mukanya.

“To, gimana kalau begini, Gen?”

“Ha, enggih. Wong priyayi alus itu


jaman susah begini kok ya ngapusi-nya
pakai seni halus. Saya hitung tadi
sebelum dia ngulur tangannya minta duit,
ancang-ancangnya bilang begini, begini,
sampai 27 kali, Pak.”

Saya membayangkan priayi-priyayi


halus penipu yang kelas kakap di Pusat
sana. Apakah mereka juga masih harus
ancang-ancang begini, begini, begini,
sampai ratusan kali?
Yogyakarta, 16 Februari 1988

454
Pasca Lebaran

PADA HARI kedua lebaran, pagi-pagi,


kami serumah dikejutkan oleh suara
“penggeng eyem … penggeng eyem .. “
dari Pak Joyoboyo. Terkejut, karena tidak
masuk dalam perhitungan dan harapan
kami bahwa pada hari kedua lebaran,
yang mestinya masih hari reriungan
dengan keluarga, Pak Joyoboyo sudah
harus berjalan ngukur jalan berkilo-kilo
untuk menyunggi tenong di kepalanya.
Tentu saja suara cempreng itu kami
terima dengan sangat senang. Bagi si
mBak, yang datang dengan suami dan
anaknya, si Gendut dan ibu anak-anak,
kedatangan Pak Joyoboyo itu adalah
kesempatan bertatap muka dengan tokoh
legendaris tersebut. Bagi Mr. Rigen, yang
kali ini tanpa Mrs. Nansiyem dan Beni
Prakosa tetapi ditemani oleh Madam yang
spesial diimpor dari Gunung Kidul,
455
kedatangan Pak Joyoboyo juga suatu
blessing karena mereka tidak perlu terlalu
panik lagi kekurangan lauk.
Pak Joyoboyo untuk sekejap kelihatan
grogi mendapat sambutan yang demikian
hebat. Bayangkan. Lain dari biasanya
yang hanya disambut oleh ketiga orang
termasuk si bedhes Beni Prakosa. Kali ini
tidak kurang delapan orang mengepung
dan ngerubung dia. Tetapi, bukan Pak
Joyoboyo kalau tidak dapat lepas dari
tekanan tatapan dari delapan orang saja.
Dengan roso percaya diri yang
meyakinkan, tenong itu dengan sebat
diturunkan. Lantas dibuka dan sebat pula
potongan-potongan ayan itu digelar,
disusun menurut gelaran perang
Bratayuda, yaitu gelaran Supit Urang ala
divisi Hastina versus gelaran Garuda
Nglayang ala divisi Pandawa. Bagi saya
dan Mr. Rigen, pertunjukan gelaran
seperti itu sudah merupakan show of
force biasa. Tetapi bagi brayat saya dari
456
Jakarta, pertunjukan itu adalah
pertunjukan yang mengagumkan. Si
Gendut yang ahli komentator spontan
memberikan kesannya yang pertama.
“Wah, keren, lho. Kayak parade senja
tujuh belasan di Istana Negara, Jakarta.”
Saya yang selalu peka buat komentar-
komentar yang menganggu stabilitas
nasional segera membentak dia.
“Hush! Yang benar. Masak ABRI kau
samakan dengan penggeng eyem. Ayo,
cabut komentarmu. Nanti dak cabut izin
makanmu, lho!”
“Eh, sorry … sorry. Kayak parade
satpam di Cipinang Indah. Ning pating
plethot itu, Pak, kalau parade satpam
Cipin.”
“Yo ben. Pokoke jangan ABRI. Pokoke
ABRI itu, … sudahlah … “

“Niki, Den, Pak. Sedaya sudah siap


457
diganyang.”
Maka dengan sebat sekian banyak
tangan pada sraweyan nuding-nuding
gelaran Perang Bratayuda tersebut.
Dalam sekejap susunan barisan, baik
yang Kurawa maupun Pandawa, jadi
bubrah, berantakan berpindah tangan. Si
mBak dan suaminya, Mr. Kebumen, dan
anak mereka si Kenyung serta si Gendut
segera pindah ke meja makan, langsung
sarapan dengan panggang ayam.
Meskipun rambut mereka masih dhawul-
dhawul dan pojok-pojok mata mereka
masih gemerlapan oleh setep-setep
mereka. Saya dan istri karena manula-
manula, ya harus kalem-kalem duduk
nyawang mukti-nya anak-anak yang pada
reriungan di seputar meja makan dan
nyawang Mr. Rigen, Madam berdialog
dengan Pak Joyoboyo.
“Ha, inggih, Mas Joyo. Wong hari kedua
lebaran kok ya sudah keluar jualan niku,
458
pripun?”
“Ha, sampeyan sendiri bagaimana, Bu
Madam? Lebaran-lebaran kok malah di
kutha. Dan Mas Rigen juga kok ya nggak
nyusul anak istri pulang ke ndeso?”
“Wee, lha. Kalau saya tidak sepiksial
turun dari Tepus ke sini sida berantakan
kerjaan Rigen di sini. Tuwek-tuwek begini
saya sepiksial diimport Pak Ageng, lho.”
“Lha, kula ya begitu, Mas Joyo. Kalau
saya nyusul mbokne thole dan thole Beni,
lha kasihan tamu-tamu dari Jakarta mesti
isah-isah piring dan cuci pakaian.”
“Lha, kan sama saja to dengan saya.
Pokoke kalau buat wong cilik seperti kita-
kita ini mesti lain etungan-nya!”
“Pripun etungane, Mas Joyo?”
“Ha, inggih to, Bu Madam. Nek kula
reriungan penuh di rumah, kerjaan
keteter, uang tidak masuk dan para bos-
459
bos pada kekurangan lawuh. Mangka
anak-anak di rumah habis liburan ini
butuh banyak pengeluaran sekolah. Lha,
sampeyan berdua kan sama saja, to?
Etungan-nya kalau reriungan di sini kan
ya lumayan persen-persen dari keluarga
bos sampeyan niku?”
Kedua orang itu tertawa nyekikik
merasa kena oleh analisa Pak Joyoboyo
yang selalu waskito itu.
“Sudah, to. Reriungan keluarga itu buat
kita-kita ini sak cukupnya saja. Wong
butuh kita lebih banyak dari bos-bos niku.
Kalau beliau-beliau itu memang harus
reriungan. Wong hidupnya mencar-
mencar dengan keluarganya. Lha, yang
tidak mencar-mencar dengan
keluarganya, ya tidak harus reriungan.
Jeneh bagaimana kalau tidak. Terus yang
jualan ketupat, bubuk dhele, ayam,
krecek, pete, tholo dan sak uba-rampene
makanan lebaran itu terus siapa? Itu
460
kewajiban para priyayi untuk
menyediakan makanan lebaran yang
mbruwah begitu. Mangkin mbruwah
semangkin baik buat mereka dan yang
penting juga buat kita-kita ini wong cilik.
Gitu lho, Mas Rigen, Bu Madam, ekonomi-
ne lebaran. Makanya sudah betul kita
hadir di sini waktu lebaran itu. mPun ah,
kula badhe neruskan lampah.”
Dan Pak Joyoboyo pun, sesudah
mengantongi uangnya dengan sebat dan
gembira, meneruskan perjalanannya
dengan disertai suara cempreng nan
legendaris, “penggeng eyem … penggeng
eyem …”. Saya dan istri masih duduk
berpandang-pandangan. Masih thenger-
thenger, kamitenggengen mendengar
penjelasan Pak Joyoboyo tentang
sosiologi dan ekonomi lebaran. Kadang-
kadang saya curiga jangan-jangan Pak
Joyoboyo itu seorang pakar ilmu sosial
tamatan luar negeri yang sedang

461
menyaru sebagai rakyat jelata dan ingin
ngece kaum kelas menengah yang
feodalnya nggak ketulungan, seperti saya.
Atau jangan-jangan malah teoritikus
Marxis! Habis, penjelasannya itu sering
kali begitu penuh dengan analisis kelas.
“Wah, Pak Joyoboyo itu hebat tenan
lho, Pak. Dia itu bisa kita katakan sebagai
filsuf sosial alam, Pak.”
“Eh, betul, Bune. Ahli ilmu sosial dan
sekarang filsuf sosial.”
Kami berdua kemudian terdiam.
Mungkin kami sama-sama ingat hal yang
sama. Kasbon kami di kantor kami
masing-masing yang semangkin
menumpuk buat lebaran tahun ini. Yah,
kalau menurut Pak Joyoboyo, demi
menjaga fungsi reriungan lebaran kaum
kelas menengah, to?
Yogyakarta, 24 Mei 1988

462
Beni Prakosa Masuk Sekolah

Pada tahun pengajaran ini, Mr. Rigen


dan Mrs. Nansiyem memutuskan untuk
menyekolahkan anak mereka, sang bagus
Beni Prakosa. Pagi-pagi, beberapa hari
menjelang hari pertama masuk sekolah,
mereka menghadap saya.

“Lho, ada apa ini? Kok tanpa konsultasi


agenda terlebih dahulu tampil secara
pleno?”

“Ya, nyuwun samudra pangaksami, Pak


Ageng. Sudah berani-berani melanggar
prosedur. Begini saja sudah dumarojok
tanpa sarapan.”

Saya terpaksa tertawa ngakak. Beni


yang ikut duduk ngedhepes men-dhempel
ibunya ikut-ikutan tertawa.

“Dhapurmu! Ya, sudah. Tanpa atau


463
pakai sarapan, bilang saja apa maumu.”

Kedua suami istri itu saling


memandang. Anak mereka ikut-ikutan
memandangi orang tuanya bergantian.

“Begini lho, Pak. Beni mau kami


masukkan sekolah Senin depan ini.”

“Elhoo! Bocah baru tiga setengah tahun


umurnya kok sudah mau disekolahkan?!
Apa tidak terlalu kecil?!”

“Ya mestinya begitu. Cuma sekarang dia


itu sudah terlalu nakal di rumah. Kami
sudah terlalu repot ngladeni dia.
Pekerjaan kami jadi keteter semua.”

“Elhoo! Memasukkan anak sekolah kok


ukurannya nakal atau tidak nakal.
Mestinya rak sudah cukup umur atau
belum. Tiga setengah tahun itu masih
terlalu kecil, Mister. Nanti dia cepat
bosan, lho. Cepat kangen sama bapak
ibunya.”
464
“Kami sudah mempersiapkan semuanya
kok, Pak. Sudah kami beri endog teri nasi
tentang sekolah. Dia pun sudah seneng.
Malah tiap hari sudah orek-orekan di
kertas, nggambar dan membaca buku
Donal Bebek paringan Bu Ageng dulu.
Rak ya begitu to, Le? Seneng to kamu
sekolah?”

Beni Prakosa cuma pringas-pringis.


Ibunya mencubit paha anaknya.

“Ayo, matur seneng sekolah sama Pak


Ageng. Ayoo!”

Sekali lagi Mrs. Nansiyem mencethot


paha anaknya.

“Uaaduhh! Sakit, Buk! Seneng, seneng.


Seneng sekolah, Pak Ageng!”

Dan mak jranthal Beni pun melarikan


diri menjauhi kemungkinan cethotan lain.

“Terus anakmu itu mau kamu


465
sekolahkan di mana?”

“Di taman kanak-kanak yang baru


dibuka. TK Indonesia Hebat.”

“Edyaann! Elok tenan, Mister! Betul itu


namanya? Taman Kanak-Kanak Indonesia
Hebat? Edyaann tenan! Lha, terus yang
mau diajarkan itu apa saja? Dan kamu
kok bisa saja nemu sekolah yang seperti
itu?!”

“Betul, Pak Ageng. Namanya memang


begitu, TK Indonesia Hebat. Yang
mendirikan kabarnya para mantan,
purnawirawan dan warakawuri. Lha, saya
diberitahu sama pembantunya Pak
Propesor Lemahamba. Menurut cerita Pak
Propesor, sekolah itu akan jadi sekolah
yang hebat. Anak-anak yang sekolah di
situ akan jadi anak-anak yang hebat juga.
Akan dapat pekerjaan hebat dengan gaji
yang hebat juga.”

466
“Welehh, hebatnya bagaimana, Mister,
menurut Pak Propesor Lemahamba?”

“Ha, inggih pokoknya hebat. Katanya


sekolah itu nanti separo waktunya akan
diajari baris sing apik banget, terus yang
seprapat etung-etungan, yang seprapat
lagi ajar pidato.”

“Wah, elok tenan! Lha, miturut Pak


Propesor itu nantinya mau dapat
pekerjaan dan gaji yang hebat itu, gek
pekerjaan dan gaji yang bagaimana itu?”

“Ha, inggih mboten ngertos, Pak. Saya


itu kan cuma wong cilik tamatan SD
Pracimantoro. Tahu saya rak
membayangkan si thole itu nanti akan
jadi serba hebat. Itu saja, Pak. Eee…
siapa tahu ya Bune, anak kita akan bisa
mikul dhuwur orang tuanya.”

Saya lihat Mrs. Nansiyem manggut-


manggut, matanya sedikit berkaca-kaca.
467
Kedua suami istri itu saling memandang
dengan penuh kemesraan dan harapan.
Apa yang dapat Anda perbuat melihat
pemadangan seperti itu kecuali terharu.

“Yo, wis. Aku setuju! Wong bocah mau


disiapkan jadi bocah hebat, je! Mosok
nggak setuju. Setuju! Itu nanti kan
seragamnya delapan macam, kan? Wong
separo waktunya buat baris berbaris gitu,
kok. Yo wis, baju seragam nanti aku yang
tanggung.”

Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem lengser


dari paseban dengan mata berbinar-binar.
Kadang-kadang saya suka
membayangkan adegan seperti itu seperti
adegan wayang “Langen Mandra
Wanara”, yang para penarinya menari
tanpa berdiri tetapi dengan duduk
menjengkeng.

Beberapa hari pun berlalu semenjak


peristiwa tersebut. Saya berada di Jakarta
468
untuk berbagai pekerjaan ditambah
dengan penderitaan flu yang membandel
mengendon di tubuh saya. Sering kali di
kamar, bersama Bu Ageng, kami
membayangkan bagaimana sang bagus
Beni Prakosa melewati hari-harinya di
sekolah yang serba hebat itu.

“Apa tidak keberatan buat anak seumur


Beni itu, Pak?”

“Itu tidak relevan, Bu. Keberatan atau


tidak, yang penting itu hebatnya!”

“Lho, kok lucu. Anak sekolah kan ya


mesti dipertimbangkan kekuatannya.
Kalau dipaksa, bisa-bisa malah ambrol,
lho.”

“Ah, kamu itu. Mestinya ya sudah


diperhitungkan para pendirinya yang,
menurut Prof. Lemahamba, memang
pemikir-pemikir dahsyat di negeri kita.
Sekali lagi, yang penting hebatnya itu lho,

469
Bu. Hebat, hebat! Wah, anak itu nanti
akan jadi anak hebat betul, Bu. Baris,
bergitung, pidato. Baris, berhitung,
pidato. Baris, berhit ….”

Dan saya pun jatuh tertidur pulas


sekali.

Waktu saya pulang ke Yogya, tidak


sabar lagi saya tunggu Beni pulang dari
sekolah. Saya lihat Beni datang dibonceng
bapaknya. Di tubuhnya bergelantungan
tas ransel, tempat minum dan tempat
roti. Melihat saya, dia segera loncat dari
sepeda bapaknya.

“Halo, Pak Ageng. Oleh-olehnya apa,


Pak Ageng?”

“Oleh-oleh gampang nanti. Yang


penting senang tidak kamu sekolah?”

“Siap, Pak Ageng.”

Anak itu langsung mengambil sikap


470
tegak, gagah.
“Betul senang?”
“Siap, Pak Ageng!”
“Terus, diajar apa kamu hari ini?”
Tiba-tiba sikap tegaknya mengendur.
Dia berdiri rileks sekali. Mukanya pun
kelihatan rileks dan cerah.
“Tadi pagi saya jajan di sekolah, Pak
Ageng.”
“Hah, jajan?”
“Jajan bakmi dibungkus plastik. Enak
sekali.”
“Lho, kamu punya duit, apa?”
“Iya, dua. Dikasih Ibuk. Besok jajan
lagi. Seneng lho sekolah, Pak Ageng.
Boleh jajan.”
Saya terkesima sebentar. TK Indonesia
471
Hebat yang akan mencetak anak-anak
hebat membolehkan anak-anaknya jajan?
Wah, elok tenan!
“Di sekolah juga ada yang jual bakso,
Pak Ageng. Besok saya disangoni duit
buat jajan bakso, ya.”
Saya mengamati muka anak itu. Begitu
ceria, begitu gembira, begitu anak-anak.
Jajan bakmi, jajan bakso. Mau jadi hebat
bagaimana dia nanti? tetapi entah
mengapa dan bagaimana, tiba-tiba kok
saya jadi merasa lega sekali
membayangkan prospek Beni yang justru
mungkin tidak akan jadi hebat. Seketika
itu Beni saya angkat tinggi-tinggi, lantas
saya dudukkan di lincak. Anaknya tertawa
berderai-derai.
“Besok boleh jajan bakso ya, Pak
Ageng? Bakso, bakso, bakso …. “

Yogyakarta, 2 Agustus 1988

472
Semeleh

Bulan Syawal sudah agak lama lampau


dan bulan Dulkangidah pun sudah dekat
pertengahannya. Bekas luka-luka pesta
reriungan keluarga bulan Syawal sudah
mulai sembuh, mungkin sebentar lagi
luka-luka baru (luka-luka rutin bulanan)
akan segera hadir. Tidak apa. Pegawai
negeri sudah selalu ditempa untuk
menderita luka ini atau itu setiap
bulannya. Luka rutin bulanan itu sudah
diterimanya bagai bagian esensial dari
hidupnya sehingga bila ada satu bulan
berjalan mulus tanpa luka, mungkin akan
membuatnya shock berat. Kemulusan
memang bukan nyamikan-nya setiap sore
waktu minum teh. Justru kejutan-kejutan
kecil adalah menu santapannya setiap
hari. Maka dengan penuh percaya diri
saya melangkah masuk ke pertengahan
bulan Dulkangidah.
473
Goodbye Syawal yang indah tetapi yang
telah mendedel-duwelkan kantongku.
Welcome Dulkangidah, datanglah luka
baru apa pun itu bentukmu …. Hari
Minggu. Perintah pertama untuk hari itu
sudah saya jatuhkan.

“Beni, cegat lik Joyo penggeng eyem.


Suruh masuk ke sini.”

Beni memandang saya. Matanya yang


bulat indah itu menatap dengan
ngungun, terheran-heran. Sepertinya dia
mendengar suatu perintah tugas yang
sangat absurd. Mungkin sudah lebih dari
satu bulan tidak mendengar perintah
semacam itu. Waktu akhirnya perintah itu
tercerna di otaknya, mulutnya segera
melepas senyum. Jempolnya segera
diacungkannya.

“Dud. Pak Ageng. Beli dud!”

Jenius kecil! Celat begitu lidahnya sudah


474
berbahasa Inggris, lho. Dan dia pun
berlari ke pinggir jalan menunggu suara
penggeng eyem.

Pak Joyoboyo penjaja door to door yang


penuh energi meneriakkan penggeng
eyem itu, datang mengelesot dengan
mata berbinar.

“Wah, Den. Saya kira saya sudah


dijotak, diboikot, tidak ditimbali lagi.”

“Lho, khan saya bilang bulam kemarin


bulan tempe. Nyirik iwak.”

“Ayakk, nyirik iwak. Kok ada saja, lho.


Tidak mungkin priyayi seperti njenengan
cuma mau dahar tempe terus. Pantesnya
ya wong cilik seperti saya ini to, Den.”

Saya tercenung. Apakah ucapannya itu


satu teknik salesmanship, cara menjaja
yang lihai, untuk merayu gombal calon
pembelinya. Ataukah itu pandangannya
yang murni, yang melihat manusia dan
475
makanannya dalam penyekatan kelas.
Jadi, ada kelas priyayi dan wong cilik, ada
kelas iwak dan kelas tempe. Huwiihh,
awas lho, ini bangsanya Marxisme juga,
lho! Kelas iwak, kelas tempe ….

“Sampeyan itu bagaimana, to, mas


Joyo. Tempe itu makanan kita semua.
Wong enak tur gizinya tinggi. Nggak ada
urusan priyayi dan wong cilik. Semua
sama, padha-padha …. “

“Estu, to, Den? Lha, kok nasib saya dari


dulu kok beginiiii saja, to, Den?”

“Lho, jangan minder begitu, Mas.”

“Minder niku apa?”

“Minder ya minder. Niku, lho, cilik ati.


Kerjaan apa saja itu terhormat, Mas.
Jualan panggang ayam, dosen ngGajah
Modo, sama-sama, Mas.”

“Ayakk, kok bisa lagi, to, Den. Gantian


476
kerjaan apa, Den? Njenengan yang jualan
ayam, saya yang jadi dosen ngGajah
Modo?”

Saya tertawa kecut, Mas Joyo tertawa


keras. Kalau dia orang Perancis pasti akan
bilang “touche”. Orang Jakarta bilang
“kene lu!” Orang Yogya, awi, pripun
sakniki …. Untuk kesekian kalinya saya
kagum terhadap ketangkasan Mas Joyo.
Tangkas dalam menyambar paha dan
dada mentok. Tangkas dalam retorika.

“Saya ini sekarang sudah semeleh, kok,


Den. Pasrah kersaning Gusti Allah.
Dikasih peranan panggang ayam, ya saya
terima. Didapuk ketoprakan lainnya, ya
nderek. Lha, njenengan yang sudah
priyayi ngGajah Modo mestinya sudah
lama semeleh, nggih?”

Dengan gesit paha dan dada mentok


dibungkus cantik dalam lipatan daun
pisang. Bau gurih manis bercampur
477
harum merangsangku untuk cepat-cepat
sarapan pagi. Beni Prakosa menyerobot
dua tusuk sate usus. Teriak-teriak di
belakang memberi komando bapak
ibunya untuk menyiapkan makan paginya.
Di meja makan, tanpa tunggu mandi
dahulu saya siap melahap panggang
ayam Mas Joyo. Dengan indahnya iwak-
iwak itu semeleh di piring di depanku.
Uap nasi hangat, harum panggang ayam.
Suara cempreng Mas Joyo di kejauhan, “
… penggeng eyem, penggeng eyem … “
Oh, semeleh hatiku.

Yogyakarta, 14 Juli 1987

478
Pak Ngalmus Alias Mister
Almost

WAKTU saya baru pulang dari Jakarta


belum lama ini, Mr. Rigen lapor bahwa
selain dari kawan-kawan rutin yang
mampir untuk mengecek kehadiran saya,
datang juga “Pak Ngalmus”. Sejenak saya
tertegun membayangkan sosok Pak
Ngalmus itu. Orangnya tinggi besar,
ngganteng, rambut nyambel wijen,
berombak seperti lautan berwarna putih
kekelabuan, aktivis Golkar, dosen. Saya
tertegun karena disadarkan waktu kok
sudah hampir pembentukan kabinet lagi.

Pak Ngalmus adalah versi Mr. Rigen


untuk Mister Almost yang sesungguhnya
bernama asli Drs. Ngalimin M.Ed, Neb.
Adapun Neb itu berasal dari Nebraska,
salah satu Negara bagian di pedalaman
Amerika Serikat sana. Mudah diduga Neb
479
itu pastilah almamater beliau, seperti juga
mereka yang diduga dari Oxford
University suka mencantumkan kata Oxon
di belakang deretan titel akademis
mereka yang mentereng itu. Yah, waktu
kok berlari amat kencangnya. Sudah
hampir pembentukan kabinet lagi …

“Pak Ngalmus kok kalo muncul empat


atau lima tahun sekali to, Pak? Tur kalo
sudah muncul sampai berhari-hari
ngobrol terus sama Bapak.”

“Lho, apa tidak boleh to, Gen. Di negara


Pancasila ini boleh saja orang bertemu
cuma sekali dalam empat atau lima
tahun.”

“Yak, Bapak ki. Kok pake nyandhak


Pancasila segala. Ya, aneh to, Pak
Ngalmus itu. Wong priyayi Yukjo, satu
kota sama Bapak, eh, kalau dolan ke sini
cuma empat atau lima tahun sekali. Gek
pertimbangannya itu apa?”
480
“Ya ada. Pak Ngalmus itu tokoh politik
penting lho, Gen. Bukan kayak Bapakmu
ini, yang cuma dosen thok.”

“Terus kalau tokoh politik itu kalau


merdayuh, anjangsana cuma sekian
tahun sekali to, Pak?”

“Hush, ya tidak. Pak Ngalmus itu kalau


ke sini kan ingin ngobrol soal kabinet.
Bukan kabinet seperti kitchen cabinet-mu
itu, Mister. Ini kabinet betulan. Kabinet
yang terdiri dari menteri-menteri yang
hebat-hebat. Yang ngurus wong sak
negara.”

“Wih … wih … wih … Lha, terus Pak


Ngalmus itu kalau ngobrol empat tahun
sekali soal kabinet itu, njur mau apa to,
Pak.”

“Aahh … kamu wong cilik ngertimu apa,


Gen, Gen. Sana ngurus anak istrimu,
sana. Dak terangke kamu juga nggak
481
bakalan tahu. Pokoknya wong cilik tahu
beres sajalah!”

“Estu lho, Pak. Wong cilik tahu beresnya


saja nggih, Pak.”

Wah, saya jadi merinding dan miris


sebentar mendengar peringatan Mr. Rigen
itu. Peringatan wong cilik, je. Padahal
saya juga tidak pasti dapat menjelaskan
pola kedatangan Pak Ngalmus itu.

Bahwa tokoh itu bernama Mister Almost


dan aslinya bernama Ngalimin, itu Mr.
Rigen sudah tahu. Maka dari itu dia
memanggilnya Pak Ngalmus, singkatan
dari Ngalimin dan Almost. Tetapi, bahwa
dia disebut Mr. Almost, karena pada
setiap pembentukan kabinet dia selalu
merasa menjadi calon serius tetapi
akhirnya tidak jadi diangkat, tentulah
tidak dapat saya ceritakan kepada Mr.
Rigen. Itu agak merikuhkan. Dan kalau ini
tidak dapat dijelaskan, tentulah akan
482
lebih sulit lagi menerangkan pola
kedatangannya yang setiap menjelang
pembentukan kabinet itu.

Akhirnya, pada satu sore Pak Ngalmus


muncul. Waktu membawakan teh buat
tamu itu, kok saya lihat Mr. Rigen agak
lebih lama mengamati wajah Pak
Ngalmus. Dan Beni Prakosa yang
biasanya salam „halo’ kepada setiap
tamu, kali ini nampak mengkeret
memegang tangan bapaknya kenceng-
kenceng.

“How are you, kid?”

Pak Ngalmus mengulurkan tangannya


kepada Beni. Tetapi Beni malah lari ke
belakang menuju ibunya.

“Lho, anakmu tambah besar kok


mangkin pemalu gitu, Mr. Rigen?”

“Habis, Bapak kalau rawuh ke sini tiap


tahun Dal.”
483
“Yak, ngenyek kamu. Aku itu kalau ke
sini kalau ada urusan-urusan gawat saja
to, Mister. Lagi pula Bapakmu juga jarang
di Yogya.”

“Lha, sak niki ada urusan gawat apa to,


Pak? Soal kabinet, nggih?”

Saya mengerdipkan mata ke arah Mr.


Rigen, memberi kode agar dia masuk.
Mungkin menyadari bahwa pembicaraan
gawat tentang kabinet akan segera
dimulai, ia pun segera masuk ke
belakang.

“Wah … kamu itu. Soal gawat kok


kamu bocorkan sama baturmu, lho!”

“Soal gawat apa?”

“Lho, soal kabinet, to!”

“Wah … iya, ya. Sorry, sorry, sorry.


Maafkan saya. Saya kadang-kadang lupa,
lho, kalau soal kabinet itu soal gawat.
484
Sorry, sorry, sorry.”

“Begini, namaku masuk lagi, nih.”

Oh My God. Ya Allah. Namanya masuk


lagi. Pasti aku dapat tugas lagi.

“Calon menteri apa kali ini, Mas


Ngalimin?”

“Ada tiga kemungkinan.”

Kemudian ditempelkan mulutnya di


telingaku. Disebutnya tiga kementerian
yang top bin gawat. Saya mengangguk-
angguk. Waktu dia habis membisiki saya,
matanya dengan penuh waspada melirik
ke kanan dan kiri.

“Tapi ini masih sikret bin rahasia, lho.


Jangan bocorkan sama batur-baturmu.
Kamu tahu sendiri mulut batur-batur.”

“Oh, pasti saya rahasiakan betul, Mas.


Lantas saya mesti apa kali ini?”
485
“Nah begini. Seperti yang sudah-sudah,
sampeyan tolong lobi di Jakarta.
Koneksimu di kalangan bekas orang
partai, bekas ABRI dan bekas menteri kan
banyak.”

“Ya, cuma bekas-bekas, Mas.”

“Eh, … jangan remehkan para bekas-


bekas itu. Yang mencalonkan saya ini
juga seorang bekas, kok.”

Kemudian ditempelkannya lagi mulutnya


di telinga saya menyebutkan seorang
nama tokoh yang gueedhiii banget. Mata
Pak Ngalmus masih melirik ke kanan dan
kiri. Tetapi, kali ini memancarkan sinar
bangga dan gembira.

“Wah … hebat dong, kalau beliau yang


mencalonkan.”

“Naa … saya bilang apa. Jangan


meremehkan para bekas itu. Masih bisa

486
ampuh mereka itu. Yang belum bekas,
yang masih aktif, biar saya sama teman-
teman lobi sendiri. Tugasmu yang bekas-
bekas. Oke!?”

“Oke.”

Dalam hati saya agak kecut juga. Wong


jatah kok cuma yang bekas-bekas.

“Kali ini saya lebih besar


kemungkinannya untuk masuk.”

“Bagaimana Mas Ngalimin tahu?”

“Saya dengar kabinet akan datang fresh


semua. Segar semua. Itu mafia-mafia
berkelei, ngroterdam, ngamsterdam,
denhaah, kornel akan habis semua.
Diganti dengan tamatan luar negeri juga
tapi yang masih segar dan orisinil. Seperti
Nebraska, Alaska, Jamaika, dll. Jadi
kewajibanmu nglobi tentang keampuhan
tamatan universitas yang kecil-kecil tapi
yang belum dikenal ini.”
487
Dan Pak Ngalmus pamit dengan
menjanjikan bahwa „untuk sesuatu pasti
ada sesuatu’. Saya manggut-manggut
sambil membayangkan koneksi saya para
bekas-bekas itu. Minggu depan saya akan
menemui mereka. Ikut berkampanye agar
Pak Ngalmus jangan jadi Mr. Almost lagi
kali ini.

“Pak, apa bekas-bekas unjukan teh dan


bekas-bekas dhaharan kuweh bisa
dibuang ke keranjang sampah bekas. Dan
apa baju-baju bekas serta bekas-bekas
mebel yang di belakang boleh saya jual
ke pasar barang bekas …”

Kurang ajar! Mr. Rigen pasti nguping


terus sepanjang percakapan kami.

“Apa bekas-bekas …..”

“Hushh … gundhulmu amoh!”

Yogyakarta, 12 Januari 1988

488
Uber Alles

Pulang dari Aceh untuk menghadiri


Pekan Kebudayaan Aceh yang ke-3,
badan terasa loyo semua. Kaku dan keju
rasanya seluruh bagian tubuh.
Gemelethuk bunyi tulang-belulang setiap
digerakkan, bahkan untuk gerakan yang
paling kecil sekalipun!

Perjalanan ke ujung dunia Indonesia itu


ternyata memang terasa semangkin berat
buat seorang menula seperti saya ini. Dan
setiap kali saya melakukan perjalanan
jauh seperti itu, semangkin saya
diingatkan akan status kemanulaan itu.
Wah … syusyah! Kok proses menjadi tua
ini ternyata cepat sekali. Rasanya baru
kemarin saya hadir di upacara dies natalis
di Pagelaran sambil menyedot sebotol
Green Spot dan sekantong kue yang saya
dapat lewat perjuangan berebut dengan
489
beratus mahasiswa lain. Tahu-tahu
sekarang sudah harus menyaksikan anak-
anak diwisuda, kawin-mawin dan punya
cucu.

Mak kreteg! Boyok ini terasa kaku dan


kenceng lagi. He … saudara manula
kenapa begitu cepat kau masuk, angslup,
merasuk ke dalam tubuh saya? Apa tidak
bisa perjalanan angslup-mu itu agak
diperlambat sedikit? Biar saya tidak
kesusu gampang teler dan loyo seperti
sekarang ini.

“Geenn … Mis-terr Rigeenn!”

“Yes, eh … inggih!”

“Dhapurmu! Rene!”

“Ada apa, Pak?”

“Lho, kok masih tanya?! Kalau kamu


lihat aku sudah membujur horisontal di
tikar begini, tubuh nglokro, hayoo … aku
490
kepingin apa?!”

“Weh … Bapak mau klangenan lama.


Pijit. Rak inggih, to?”

“Naa … pinter kamu baca sasmita. Ayo


mulai!”

Maka segera saja terasa grayangan


mejik dari tangan Mr. Rigen. Jari
jemarinya yang kuat hasil tempaan tanah
tegalan Pracimantoro yang gersang plus
gemblengan meja cuci, isah-isah, di
dapur terasa kuat mencekam kaki dan
kempol-kempol saya yang lelah. Sekali
lagi saya merasa beruntung mempunyai
direktur kitchen cabinet seperti Mr. Rigen.
Ada beberapa gelintir direktur kitchen
cabinet di dunia ini (baik di Barat atau
Timur) yang bisa merangkap menjadi
tukang pijit yang canggih?

“Pak?”

491
“Huh …”

“Aceh itu apa ya jauh betul to, Pak?”

“Lha, iya. Kenapa?”

“Badan dan seluruh tubuh Bapak kok


pada terasa capek semua. Mestinya Aceh
itu ya jaauuhhhh sanget nggih, Pak?”

“Ha, iya. Wong ada di ujung Pulau


Sumatra sana! Kamu bisa bayangkan
bagaimana jauhnya itu?”

“Ya, bisa Pak. Wong dulu waktu SD juga


dapat pelajaran ilmu bumi lho, Pak.”

“Lha, ya sudah. Berapa jauh Aceh itu


dari sini, kira-kira?”

Mr. Rigen berpikir keras. Wong


pegangannya di kaki saya terasa
mengendor.

“Ha … kira-kira ya bolak-balik Praci-

492
Wonogiri 27 kali terus masih ditambah
ngubengi, keliling, Gunung Gandul 10
kali. Inggih apa mboten?”

“Rupamu! Ya, masih kurang jauh sekali,


Gen. Wong naik pesawat jet dari Jakarta
saja kira-kira tiga jam itu.”

“Weh … edan tenan jauhnya! Lha, terus


orang-orang Aceh yang di sana itu apa
seperti mahasiswa Aceh yang di sini,
Pak?”

“Lha, iya. Wong sak suku, kok. Ning


wong Aceh itu macam-macam
tampangnya. Ada yang putih blengah-
blengah, ada yang hitam cemani seperti
Kresna, ada yang matanya biru seperti
Londo, ada yang hitam, ada yang seperti
orang India. Pokoknya macam-macam.”

“Weh … kok begitu?”

“Lha, iya. Aceh itu sejak dulu-dulu


duluuu jadi tempat perdagangan dan
493
tempat mampir macam-macam bangsa.
Lha, karuan saja mereka pada berbaur,
Gen. Aceh itu dulu kerajaan hebat lho,
Gen. Rajanya naik gajah lho, Gen.”

“Weh … elok. Gajah itu jadi tumpakan


ratu?”

“Lha, kalau raja agung binatara ya


mesti begitu, Gen. Lha, raja sana itu dulu
juga suka adu gajah.”

“Weh … elok. Gajah kok diadu, lho.


Terus dapatnya gajah itu gek dari mana?”

“Ya, dari hutan, Gen. Hutan di sana


masih banyak gajahnya.”

“Weh … kalau hutan di sini kok cuma


banyak munyuk dan kera saja, lho.”

“Ha, iya. Yang masuk desa munyuk-nya


malih jadi seperti kamu to, Gen?”

“Yakk … Bapak ki terus menghina, lho!


494
Ning kalau sama kerajaan Mentaram
hebat mana kerajaan Aceh itu, Pak. Rak
hebat Mentaram to, Pak?”

“Ya, mungkin sama-sama hebat.”

“Ning apa raja Aceh punya Kiai Plered,


punya kreto kencono, punya istri ratu
lelembut Nyai Roro Kidul, punya Sultan
Agung yang pernah ngepung mBetawi?
Nggak punya to mereka, Pak?”

Saya jadi terkesima. Sambil tengkurap,


memejamkan mata, menikmati jari-jari
Mr. Rigen yang terus nyet-nyet-nyet
menggerayangi belakang badan saya.
Saya jadi ingat yang pada hadir di
seminar Pekan Kebudayaan Aceh itu.
Mereka, tua dan muda, yang masih pada
penuh kebanggaan, berbicara tentang
kedahsyatan Iskandar Muda Yang Agung,
yang telah berhasil membangun suatu
kerajaan yang kuat lagi makmur. Tentang
kehebatan generasi nenek dan buyut
495
mereka yang melawan Belanda. Tentang
keperkasaan mereka mempertahankan
Aceh sebagai wilayah terakhir dari
Republik Indonesia. Suatu kebanggan dan
kerinduan yang wajar dan dapat
dimengerti, karena itu semua memang
sudah dicatat dalam buku besar sejarah
kita.

Tetapi waktu mereka diingatkan bahwa


semua raja besar di Nusantara ini,
termasuk Iskandar Muda dan Sultan
Agung, adalah raja-raja yang absolut
kekuasaannya dan karenanya, mestinya,
juga sewenang-wenang, kok banyak dari
mereka yang naik amper-nya. Juga waktu
diingatkan bahwa pengorbanan rakyat
Aceh mengumpulkan dana lewat obligasi
nasional dan sekarang “dikemplang” oleh
pemerintah pusat sebaiknya diikhlaskan
saja sebagai salah satu dari sekian
banyak rentetan “tumbal” kemerdekaan.
Seperti tumbal rakyat Jawa Barat yang

496
mati dibunuh DI/TII, rakyat Jawa Timur
yang mati dibunuh PKI, rakyat Sulawesi
Selatan yang dibunuh Westerling. Kok
mereka jadi terheran-heran mendengar
argumentasi “tumbal” itu?

“Pripun, Pak. Betul kan kalau saya


matur Jowo itu masih unggul dari siapa
saja di nuswantoro ini?”

Mak jenggirat! Saya melepaskan diri


dari pijitan mejik Mr. Rigen. Saya merasa
shock berat mendengar ucapan Mr. Rigen.
Mr. Rigen direktur kitchen cabinet saya
masih berpikir uber alles Jowo?! Out! Dia
mesti saya keluarkan! Bikin malu komuniti
intelektual di mBulak Sumur saja.
Mukanya tanpak begitu tidak berdosa.
Lantas saya ingat berbagai perjalanan
saya di hampir seluruh kawasan
Nusantara. Wah … kok semangat uber
alles daerah itu masih kuat betul, lho.
Apalagi dengan kehadiran orang Jawa di
mana-mana, kayaknya semangat uber
497
alles itu kok semangkin menggebu-
nggebu seperti jelas terlihat di Aceh
waktu saya ada di sana.

“Eh … Mr. Rigen. Saya kasih tahu, ya!


Yang uber alles itu cuma Indonesia!
Nggak ada itu uber alles Jowo, uber alles
Aceh, uber alles Minangkabau, uber alles
Makassar ….. “

Wajah Mr. Rigen terheran-heran melihat


bosnya jadi beringas.

“Lho, Pak. Yang nguber-nguber tales


niku nggih siapa ……?”

Yogyakarta, 6 September 1988

498
Wahyu Cakraningrat

Pak joyoboyo yang mangkir datang


pada hari Minggu, Senin pagi kemarin
mampir. Mungkin mau coba-coba siapa
tahu saya masih mau beli juga. Tentu
saya beli juga beberapa potong. Meskpun
bukan hari Minggu, saya merasa
berkewajiban untuk menahannya dan
menyilakan dia membeber dan menggelar
potongan-potongan ayamnya. Seakan-
akan itu sudah merupakan ritual yang
tidak boleh lowong. Lagi pula sudah
berapa hari Minggu saya absen dari
Bulaksumur dan lebih banyak di Cipinang.
Alangkah susahnya orang lepas dari
ritual!

Mr. Rigen juga sudah ngetepes


menyangga piring duduk bersila di dekat
tenong. Beni Prakosa dengan mulut
klametan mengawasi usus-usus yang
499
tertusuk menjadi sate pada bergelatakan
di depannya. Tiba-tiba bapaknya, kurang
kerjaan, menggoda anaknya.

“Le, minggu depan di Jatisrono kamu


tidak bakalan lihat sate usus, lho. Masih
tetap mau mudik ke nJati sama ibumu?
Tidak ada satenya Pak Joyo lho, Le!”

Beni mendelik matanya. Sebentar


dipejamkan. Mungkin mencoba
membayangkan hidup tanpa sate usus
selama beberapa minggu di desa.
Kemudian dengan suara yang digagah-
gagahkan dia berseru,

“Biar saja tidak ada sate usus, Pak.


Pokoknya saya mau melu ibuk ke ndeso!”

“Tenan? Pikiren lho, Le! Dua minggu


tanpa sate usus. Belum lagi oleh-oleh
lebaran dari mBak Gendut, Bu Ageng.
Hayo priye, Le?”

Beni memejamkan matanya lagi.


500
Kemudian membuka matanya lagi.
Melolo.

“Pokoknya saya mau ke ndeso sama


ibuk. Biar nggak ada sate usus, nggak
ada oleh-oleh dari mBak Gendut sama Bu
Ageng. Biar, biar!”

Kemudian sambil menyambar dua sate


usus jatahnya, Beni pun lari ke belakang.
Kami bertiga tertawa terkekeh-kekeh. Pak
Joyo langsung melempar komentar.

“Mas Rigen, anak sampeyan itu kalau


dilatih terus bisa kesinungan wahyu pada
satu waktu lho, Mas Rigen!”

“Wahyu apa?”

“Elhoo, sampeyan pernah nonton


Wahyu Cakraningrat tidak?”

“Ha, inggih. Ning thole Beni niku terus


mau sampeyan dhapuk jadi Angkawijaya
begitu apa?”
501
“Elho, nek dilatih prihatin semua anak
bisa jadi Angkawijaya, Mas Rigen!”

“Pripun?”

Saya, yang meskipun sudah kesiangan


ngantor, malah enak-enakan duduk di
singgasana. Sangat kepingin tahu
bagaimana Begawan Joyoboyo mau
medar gagasannya.

“Begini lho, Mas. Waktu itu Lesmana


Mandrakumara rak sesungguhnya sudah
dapat kesempatan nyedot wahyu dulu,
to?”

“Inggih. Terus?”

“Ning bareng dihadap perawan ayu


terus tergiur, kepencut, lupa kalau harus
nglakoni empat puluh hari lagi. Lha,
wahyunya kabur lagi. Begitu juga dengan
Samba. Begitu dapat wahyu terus
pethenthang-pethentheng, berkacak
pinggang, tepuk dada. Eh, begitu dihadap
502
perawan ayu, mak nyuuttt, … nyuuttt, …
kepencut juga. Lha, wahyunya terbang
lagi.”

“Lha, inggih. Kalau Angkawijaya


memang kuat betul ya, Mas Joyo. Wahyu
masuk, digoda perawan ayu malah
menghunus kerisnya. Lha, terus
hubungannya dengan thole Beni Prakosa
itu apa?”

Saya tertawa nggleges. Weleh, direktur


kitchen cabinet itu kok bolehnya GR,
kesusu mau menyamakan anaknya
dengan Raden Angkawijaya. Dhapurmu,
Geen, Gen!

“Lho, tunggu dulu, Mas Rigen. Tadi saya


lihat thole Beni itu sudah tahu milih
pendirian. Mau ke ndeso meski sampeyan
iming-imingi sate usus dan oleh-oleh. Dan
dia tetap puguh, ora mingkuh dari
pilihannya. Lho, niku sudah modal, Mas
Rigen. Modal pendirian kukuh. Naa, itu
503
bisa dilatih terus, Mas Rigen.”

“Latihannya terus latihan kepala batu,


gitu?”

“Yakk, sampeyan itu. Mosok latihan kok


latihan kepala batu. Tidak usah! Dilatih
setia sama pendirian. Dilatih milih pilihan
macem-macem. Dilatih nimbang-nimbang
yang mau dipilih. Begitu pilihan jatuh dia
mesti pegang terus. Jangan miyar-miyur
lagi. Lha, kalau sudah begitu tinggal
gampang dia menghadapi wahyu apa
saja, Mas Rigen.”

Saya manggut-manggut lagi,


mengagumi kemicaraan Pak Joyoboyo.
Inilah kewicaksanaan rakyat kecil, pikir
saya. Tetes, titis, cespleng. Dari mana
mereka itu dapat kepinteran dan
kewicaksanaan begitu? Mosok dari
sekolah yang cuma beberapa tahun itu?
Tak mungkin, tak mungkin! Saya lihat Mr.
Rigen manggut-manggut juga. Cuma
504
manggut-manggutnya orang belum dong.

“Lha, terus wahyune niku seperti apa


dan mbesuk kapan datangnya, Mas
Joyo?”

Waduh, pikir saya. Lha, sudah jadi


direktur kitchen cabinet pirang-pirang
tahun dengan SK berlapis pitu, kok Mr.
Rigen itu masih bego juga, lho.

“Lho, pripun, Mas Rigen. Wahyu itu kan


cuma perlambang to, Mas. Bisa ngelmu,
bisa kawruh, bisa pangkat, bisa hadiah,
bisa jodoh atau apa saja yang datangnya
tiba-tiba, yang tidak kita nyana, pada
waktu jatuh jadi milik kita. Lha, kalau
sudah jadi milik kita, kita bisa ngopeni,
pegang baik-baik apa tidak? Sudah ah,
sudah siang. Saya mesti ngejar target
nyonyahe juragan. Salah-salah wahyu
cakraningrat ayam panggang melesat dari
tubuh saya …. “

505
Dan suara cempreng yang klasik itu pun
terdengar menjauh. Saya lihat Mr. Rigen
masih duduk thenger-thenger.

“Heisyy, thenger-thenger. Mikir apa,


Gen? Ini sudah siang, lho. Saya kudu
kerja, kamu juga kudu kerja. Sana, ayam
itu diringkesi ke belakang sana!”

“Saya itu trus mak nyuutt, merasa


diingatkan kalo perjalanan membesarkan
thole itu kok masih jauuhh sekali lho,
Pak.”

“Lha, memang begitu, to. Terus mau


apa kamu?”

“Lha, kalau nuruti anjuran Mas Joyo itu,


lha rak mesakake, kasihan thole itu. Kudu
dilatih keras. Belajar milih pendirian. Wah
… mpun, tidak tega saya. Biar saja thole
tumbuh seperti maunya … “

Di kantor ternyata saya juga duduk


thenger-thenger lama mikir konversasi
506
saya dengan kedua orang tadi. Saya jadi
ingat anak-anak saya sendiri, si mBak dan
si Gendut. Si mBak sudah berkeluarga, si
Gendut baru masuk universitas. Wahyu,
meskipun cakraningrat atau makuta
rama, kecil-kecilan datang dan pergi di
rumah saya. Syukur ngalkamdulillah
sampai sekarang anak-anak saya itu
slamet-slamet saja. Tanpa harus
ngengkeng menahan disiplin besi, eh …
mereka kok ya bisa tumbuh lumayan
juga. Untung juga waktu saya jadi dirjen
dulu uang belum melimpah ruah. Kalau
saya tidak keburu dimantankan tempo
hari, gek kayak apa anak-anak saya. Dan
saya? Akan mampukah saya melatih
disiplin seperti maunya Mas Joyoboyo?
Sokur nDuk, sokur … bapakmu sudah
keburu jadi mantan …..

Yogyakarta, 10 Mei 1988

507
Taksi AC Jakarta

Untuk memberi service yang lebih


memuaskan dan mat bagi warga
metropolitan Jakarta dan sudah tentu
para anggota komuniti bisnis bule dan
Jepang yang semangkin banyak saja
hadir di Jakarta, jumlah taksi
metropolitan yang dipasangi AC tahu-tahu
bermunculan banyak sekali. Juga sudah
tentu para wisatawan di harap akan lebih
senang naik taksi yang ber-AC itu. Dingin
mak-nyes di tengah hawa gurun sahara
kota Jakarta.

Saya termasuk yang menyambut


dengan gembira kehadiran taksi AC itu.
Betul pada jeglekan pertama angka
meteran argo itu belum-belum sudah Rp.
600,- tetapi „kan untuk tubuh yang kelas
gembrot seperti ini „kan menolong banyak
sekali. Keringat tidak lagi bercucuran,
508
kotos-kotos, kemana-mana. Hem tidak
lagi basah lengket di tubuh hingga singlet
di dalam tampak membayang. Belum lagi
rambut yang ambyar awut-awutan kena
angin kencang karena jendela dibuka
untuk sekedar menangkap angin.

Betul begroteng taksi jadi membengkak


sekali (dari rumah ke senayan saja sudah
rata-rata Rp. 4000,-), tetapi comfortable
and convenient-nya itu, lho! Dan
penampilan juga terpelihara, pokoknya
bonafide. Tubuh kering, rambut tidak
awut-awutan. Setidaknya yang mau kita
todong proyeknya agak netral dulu
melihat penampilan kita. Coba kalau baju
lengket di tubuh, muka berminyak,
rambut awut-awutan, salah-salah bisa
dikira mau jual kalender.

Akan tetapi, Jakarta bukan Jakarta


kalau tidak segera terjadi akal-akalan
yang kreatif dari para pemilik taksi reot
dalam menghadapi persaingan taksi AC
509
itu. Mau pasang AC mobil yang baru jelas
akan terlalu mahal. Maka mereka pun
memasang air cooler yang entah
bagaimana mengotak-atiknya, pokoknya,
pokoke ada angin sriwing-sriwing yang
sangat sporadis keluar. Yang duduk di
depan, di samping sopir, kalau tidak
tahan bantingan salah-salah bisa masuk
angin. Yang duduk di jok belakang salah-
salah bisa kagak kebagian angin karena
angin yang sriwing-sriwing keluar itu
tidak nyampe ke belakang karena
terhalang oleh tubuh sopir. Atau oleh
tubuh yang duduk di depan dan jok-jok
depan itu juga. Wah, susah juga. Sang
pemilik taksi dan sang sopir akan cuek
saja. Pokoknya tancap saja jeglekan
pertama Rp. 600,-. Lha wong sudah pakai
angin, kok! Extra service, bukan? Mau
nunggu taksi yang bonafide saja
jumlahnya belum terlalu banyak untuk
dapat mengambil oper semua lalu-lintas
taksi Jakarta. Jadi, yah berdiri di pinggir
510
jalan untung-untungan ….

Pukul sepuluh pagi. Hari sudah mulai


angudubilah setan panasnya. Hari itu
saya mesti pergi ngurus ini dan itu di tiga
tempat. Celakanya tenpatnya saling
berjauhan. Dari Jakarta Timur kudu ke
Jakarta Selatan terus ke Jakarta Pusat,
baru pulang ke Cipinang di Jakarta Timur
lagi. Sebuah taksi ijo datang. Kaca depan
bertulisan menyolok “full AC”. Wah, pasti
AC-nya sip. Lha “l” nya sampai tiga
begitu. Dengan gembira saya masuk.
Pintu saya banting biar dikira bos dan
saya pun duduk metengkreng di
belakang. Mobil pun ditancep kencang
sekali. Baru beberapa menit berjalan saya
mulai mencium bau nyenggrak yang
tajam sekali. Wah, edan, bau minyak
gosok yang kelas wong cilik betul. Dari
belakang kelihatan jelas sekarang leher
pak sopir yang dekil-dekumel itu berlerek-
lerek merah karena kerokan. Untuk

511
menghilangkan bau yang justru bikin
kepala pusing itu, jendela saya buka.

“Lho, ampun dibuka, Pak. Kulo niki


mangsuk angin. Hoakk-heekk ….”

Waduhh, lha ini. Baru masuk taksi


pertama sudah ketemu bangsa dhewek.
Bersendawa bin glegekan lagi.

“Lho, sampeyan dari Jawa to, Mas. Kok


sampeyan tahu saya juga dari sono?”

“Yakk, gampang ngenali priyayi Jawa


niku. Ning saya mohon pangerten Bapak
enggih? Jendelanya ditutup saja terus.
Tur ini AC kok, Pak. Kudu ditutup terus
biar adem buat panjenengan …”

Wah, ciloko. Gara-gara kudu pangerten


dengan bangsa dhewek, saya tidak dapat
menghalau bau minyak angin cilaka itu.
Waktu sampai tujuan saya tidak tahu lagi
saya yang masuk angin atau mas sopir
yang sembuh dari sakitnya.
512
“Matur nuwun untuk pangerten-nya, lho
Pak. Hoakk-heekk ….”

Dengan kepala terasa pusing dan perut


eneg, saya habiskan hari itu mengurus
pekerjaan saya. Dan saya pun tidak
peduli lagi waktu taksi AC yang berikut
adalah taksi biru dengan sopir Batak. Gas
ditancep. Sruuunggg …..!!!

“Minta perhatian, bah, jendela dibuka


dulu, ya. Saya masih merokok nih.
Sayang kalau dibuang …”

Ciloko maneh. Sekarang dibuka, mobil


terasa panas dan asap terus mengepul.
Argometer berklik-klik dengan tarif AC.
Yahh, demi pangerten-lah. Tancep terus,
bah …..!

Yogyakarta, 13 oktober 1987

513
Ketoprak dan Desa

Pentas PS Bayu pimpinan Gito-Gati di


Nanggulan Sabtu malam kemarin benar-
benar dahsyat. Bagaimana tidak. Ada
kurang lebih 10.000 manusia memenuhi
lapangan olah raga itu. Mata mereka
tertuju kepada pentas yang malam itu
menayangkan “Joko Umbaran” sejak
pukul 21.00 hingga pukul 3.30 pagi.
Tertawa mereka yang ger-geran itu tidak
putus-putusnya membahana sepanjang
tujuh jam seakan waktu yang begitu
panjang tidak berarti banyak bagi
masyarakat petani yang biasa bekerja
keras itu.

Kakek dan nenek yang sudah thuyuk-


thuyuk, ibu-ibu yang menggendong anak-
anak mereka yang masih menetek,
suami-suami mereka dan para remaja
yang sedang pacaran, semua tumplek-
514
blek membangun lautan manusia pada
malam yang agak dingin tetapi bebas
awan itu. Saya melihat sebagai fenomena
yang menggetarkan. Saya
membayangkan rumah-rumah mereka
yang sederhana di dukuh-dukuh yang
bertebaran di sekitar bukit-bukit agak
jauh dari lapangan tempat ketoprak
dipentaskan malam itu.

Saya membayangkan kerja keras


mereka sebagai petani sepanjang hari di
sawah-sawah mereka. Saya
membayangkan perjuangan mereka yang
sengit untuk mencapai target-target
hidup mereka. Saya membayangkan
kelelahan tubuh mereka yang seharian
dihajar oleh terik matahari dan hujan.
Tetapi malam itu, apa yang saya
bayangkan sebagai serentetan
penderitaan jadi tampak sebagai
bayangan yang saya bikin-bikin saja. Para
kakek dan nenek pada tertawa terkekeh

515
melihat dan mendengar dialog dan
gerakan-gerakan yang lekoh alias semi
porno, para ibu yang sedang meneteki
anak mereka tidak kurang pula gembira
dari para manula, manggut-manggut
sembari tangan mereka menahan
gronjalan tetek-tetek yang disadap bayi-
bayi mereka yang tidak peduli dengan
semua itu. Dan para remaja yang tentu
saja melupakan angka-angka sekolah
mereka kelihatan meremas-remas tangan
cewek-cewek di samping mereka.

“Apakah bayi-bayi itu tidak akan kena


pneumonia malam-malam begini diteteki
di udara terbuka. Sepanjang malam lagi!”
Saya menggerendeng sendiri, jelas
karena ingat cucu saya.

Mr. Oberlin, sahabat dan rekan saya di


kantor, nggleges.

“Heh … heh … heh … Pak Ageng


ngomong begitu karena terbiasa berpikir
516
cara kulon. Sampeyan bisa
menggerendeng begitu karena sampeyan
punya irama hidup sehari-hari yang
tercetak menurut cara kulon. Ha .. ha ..
buat mereka nggak apa-apa kok ngewer-
ngewer anak pada malam hari begini.”

“Ah, ya. Pastilah saya nyeletuk begitu


tadi karena saya ingat cucu saya yang
begitu diimi-imi oleh semua anggota
keluarg di Cipinang. Tapi apa itu soal
berpikir cara kulon atau cara wetan?”
Saya ngunandika dalam hati. Malam
semangkin larut. Pukul dua pagi kantuk
sudah tidak tertahan lagi dan saya pun
segera mohon pamit pada panitia.

Pagi harinya pada pukul delapan saya


sudah dibangunkan oleh bedhes cilik Beni
Prakosa.

“Pak Ageng, beli penggeng eyemnya


Pak Joyoboyo apa tidak? Itu lho sudah
duduk di depan! Saya minta sate
517
ususnya, ya?”

Dengan geragapan dan boyok masih


kaku semua, saya keluar kamar dan
langsung duduk di kursi kerajaan saya.

“Wah, panjenengan kok kelihatan capek


betul! Apa habis kerja nglembur?”

“Yak, sampeyan itu. Malam minggu kok


nglembur. Nglembur apa? Saya capek
dam masih ngantuk karena habis nonton
ketoprak di Nanggulan sampai jam dua
pagi, Pak Joyo.”

Mr. Rigen yang mungkin masih anyel


karena tidak saya ajak nonton
menyambung.

“Ha, inggih niku, Mas Joyo. Apa tidak


elok, Pak Ageng kok kerso menonton
ketoprak, lho.”

“Huss! Memangnya saya tidak pernah


nonton ketoprak apa?”
518
“Ya, sok-sok, kadang-kadang saja. Itu
pun biasanya cuma satu dua jam saja.
Rak inggih to, Pak Ageng?”

Touche, kata orang Perancis. Kena lu,


kata orang Jakarta. Trembelane, pisuh
saya.

“Pokoknya tadi malam itu saya kuat


nonton sampai jam dua pagi karena
ketopraknya hebat, penontonnya luber,
mbludak memenuhi lapangan sepakbola.
Saya kagum melihat kecintaan rakyat kita
di pedesaan sama ketoprak. Lha, itu yang
disebut ngleluri, ngimi-imi, mencintai dan
memelihara kesenian warisan budaya
tradisi kita, Gen, Pak Joyo.”

Kedua orang itu berpandangan


sebentar. Sepertinya mereka merasa
kaget bin heran mendengar pidato
kebudayaan saya yang canggih itu.
Kemudian Pak Joyoboyo pelan-pelan
angkat bicara.
519
“Lho, Pak Ageng. Selamanya sedherek
pedesaan itu akan mbludak kalau ada
tontonan gratis. Apa saja akan mereka
tonton waton tidak usah bayar.”

“Yak, sampeyan itu. Meski gratis kalau


tontonannya tidak mereka senangi dan
mereka hormati mosok ya mereka tonton,
Pak Joyo.

“Lho, lha inggih. Wong desa itu gelap,


sepi dan mlarat lho, Pak Ageng. Kalau
sudah malam mau apa sedherek
pedesaan itu, kecuali mancal kemul. Lha,
kalau ada tontonan, apa saja tontonan
itu, ya mesti ditonton to, Pak Ageng.
Lumayan buat melupakan boyok mereka
yang pegel karena macul dan hidup
mereka yang keras dan berat.”

Saya tercenung. Kaget mendengar


analisis Pak Joyoboyo yang keras
menjurus ke sinis itu. Jadi begitu to, dia
melihat fenomena seni rakyat itu. Aku
520
jadi thenger-thenger. Lha, terus dari
mana dan bagaimana roso estetika
keindahan wong desa itu muncul? Masak
tidak ada kesenian mereka? kalau theater
rakyat itu ditonton hanya karena mau
mengusir roso sepi dan melupakan
beratnya hidup, wah kok prosais betul
peranan theater itu!

Saya membayangkan sekali lagi ribuan


manusia yang menonton malam itu.
Wajah-wajah mereka yang cerah,
gembira dan sangat apresiatif mengikuti
riwayat Joko Umbaran yang dahsyat,
suara gamelan dan pesinden yang merdu.
Mosok mereka tidak mengenal keindahan
seni ketoprak? Tetapi wajah-wajah petani
yang tidak tampak lelah dan gembira itu
alangkah juga indahnya ….

Yogyakarta, 14 Juni 1988

521
Melaksanakan Nglobi Untuk Pak
Ngalmus

Waktu baru-baru ini saya duduk di lobi


Hotel Aryaduta, Jakarta, menunggu
seorang kawan yang yang akan menraktir
teppan yaki di restoran Shima yang
nempel di hotel tersebut, sekelebat saya
melihat Mas Ngalimin alias Drs. Ngalimin
M.Ed, Neb, alias Mr. Almost atau yang
menurut ejaan Mr. Rigen ; Pak Ngalmus.
Tubuh saya segera saya plorod-kan dan
saya jadikan lebih mengkeret takut
ketahuan Mr. Almost. Di kursi yang
empuk, kepenak bin comfortable itu
memang duduk sembari mlorod dan
mengkeret bisa enak sekali bagai seekor
kucing yang tidur mblungker.

Tetapi, bayangan begitu tentulah hilang


sama sekali. Bagaimana tidak. Seperti
yang pernah saya laporkan dalam kolom
522
ini pada bulan Januari yang lalu, saya
telah sanggup menerima tugas melobi
koneksi saya para mantan tokoh-tokoh
sipil dan militer untuk mengatrol Mr.
Ngalimin menjadi menteri. Memang betul
waktu itu saya duduk di lobi, tapi lobi
hotel, bukan lobi kasak-kusuk politik. Mati
aku! Beliau melihat saya bahkan
mendekati tempat saya duduk.

“Aha! Campaign manager-ku! Baru


duduk di lobi untuk melobi koneksi dalam
rangka aku jadi menteri?”

Waduh! Dalam hati, saya kagum juga


kepada beliau. Tidak saja sanggup
menebak apa yang sedang saya pikirkan.
Tetapi malah menebak dalam satu sajak.
Luar biasa. Saya terpaksa bersikap pura-
pura kaget.

“Lho, Mas Nglimin. Sudah lama di


Jakarta?”

523
“Lho, sampeyan itu bagaimana, sih? Ya
sudah, to. Kan saya mesti nongkrongi
SIUM MPR sembari lobi ke sana ke sini.
Sampeyan bagaimana nglobi-nya? Oke,
to?”

Saya jadi cegukan mendapat


pertanyaan seperti itu. Pertanyaan itu
adalah tagihan, tuntutan prestasi kerja
saya sebagai salah satu lobbyist Mr.
Ngalimin yang kali ini tidak boleh lagi
menyandang Mr. Almost, tetapi Insya
Allah mesti jadi Mr. Minister. Saya
cegukan karena saya tidak terlalu sukses
mengerjakan pekerjaan rumah saya.
Dengan pelan dan diplomatis sekali saya
coba menjawab dan memberikan laporan
pekerjaan rumah saya.

“Begini, Mas Ngalimin. Saya sudah


berhasil mengontak semua calon target
kita.”

“Good, good. I know you won’t let me


524
down,” sambil berkata begitu Mr. Ngalimin
menepuk-nepuk bahu saya. Benar-benar
sudah gaya politikus Nebraska.

“Wah … tunggu Mas. Saya berhasil


mengontak, tapi .. eh, itu Mas.”

“Eh … bagaimana?”

“Begini, Mas. Berhasil itu ternyata tidak


berarti sukses.”

“Lho, bagaimana ini? Berhasil tidak


berarti sukses? Waaahh … sampeyan ini
masih wong Jawa betul. Ngono yo ngono,
ning ojo ngono.”

“Maksud saya, nggih, Mas Ngalimin.


Saya sudah berhasil menghubungi atau
mendatangi empat rumah para mantan
target kita dan malah salah satu night
club yang sedang in di Jakarta.”

“Lantas, lantas? Tidak suksesnya itu di


mana?”
525
“Tidak suksesnya? Ya, di rumah-rumah
dan klab malam itu.”

“Bagaimana, bagaimana?”

“Begini. Di tiga rumah mantan menteri


sipil, menteri pati ABRI dan mantan
keuangan PT Lenga Klentik Negara, saya
dapatkan hal yang tidak dinyana-nyana.
Lha, kok mereka sudah pada seda,
meninggal dunia, semua.”

“Wah, jadi mereka juga sudah mantan


manusia, to? Lantas lainnya? Tadi
sampeyan menyebut empat rumah
mantan tokoh dan satu night club?”

“Ya, di satu rumah lagi itu rumahnya


seorang mantan perwira tinggi, mantan
seorang yang hebat banget. Saya dapati
rumahnya kosong. Rumahnya gede
banget. Anjing herdernya dua. Untung
satpamnya ramah. Katanya, bapak
sedang di rumah ibu yang satunya,

526
Ngomong begitu sambil berkedip-kedip
matanya. Waktu melihat wajah saya yang
kecewa bin gela, mas satpam itu
menyarankan saya untuk mencoba
malam-malam ke satu night club baru
yang kecil tapi indah, Le Beo. Bapak suka
dansa malam-malam di sana. Sekali lagi
satpam itu mengerdip-ngerdipkan
matanya.”

“Lantas, lantas? Sampeyan juga pergi


ke sana?”

“Lha, iya dong. Meski tempatnya sangat


eksklusif dan sangat muahall. Saya
glembuk adik saya yang jadi pengusaha
untuk mengajak saya ke sana. Adik saya
yang pengusaha kelas teri, yang cukup
puas dengan proyek sub-sub-sub
kontraktor, jadinya juga ngglembuk
partner Cina-nya. Yang sesungguhnya
juga pas-pasan saja.”

“Lantas, lantas?”
527
Saya lantas menyambung laporan saya.
Kami ke Le Beo bertiga saja.
Sesunggguhnya tidak lucu karena
seharusnya kita diharapkan membawa
partner. Tetapi ndilalah ketiga istri kami
alergi dengan klab malam. Untunglah
kami dapat membujuk sang manager
bahwa kami hanya minum dan menemui
seseorang saja, itu pun hanya untuk
sebentar saja. Kami duduk. Minuman
sudah dipesan. Dan musik pun sedang
bermain dengan hangatnya. Musik disko
yang tidak gedobrakan diselingi cha-cha
dan kadang-kadang sekali waltz. Enak
juga. Kaki sudah mulai gatal-gatal
kepingin turun ke lantai. Eh, bukan
Narayana lagi. Tur tidak ada partner. Dan
targetnya kan mau ngomong, melobi
sang mantan jenderal, to? Jadi, ya cukup
jari-jari saja dijentik-jentikkan di meja.
Adik saya yang tidak dansa dan hanya
sekali-sekali saja ke klab malam hanya
untuk meng-entertain relasinya, ketawa
528
cekikikan melihat kombinasi ketegangan,
nostalgia dan kenikmatan terbayang di
wajah saya. Akhirnya, saya melihat pak
jenderal, eh mantan jenderal itu datang
dengan seorang wanita yang aduhai
cantiknya. Pastilah bukan ibu yang
satunya. Untuk itu terlalu manja dan
coquette sikapnya. Sikap yang belum
mapan, belum jelas anggaran
pengeluarannya. Paling-paling calon ibu
yang satunya lagi. Pak mantan jenderal
pun melambaikan tangan kepada saya.

“Rileks, ya? Nanti saya nggabung ke


situ. Mau pencak silat dulu di lantai.
Boleh, to? Boleh, to? Pensiunan, kok.”

Sambil tertawa terkekeh, mereka turun


ke lantai. Dan astaga! Kawan saya yang
mantan jenderal itu masih dengan gusto,
penuh gaya, berdansa dan berdansa. Dan
kami dengan penuh kegemasan dan
kecemasan, menunggu dan menunggu.
Sialan, pak mantan jenderal pada jam
529
sebelas malam, begitu saja mak glenes
pergi, lupa nggabung dengan meja kami.

“Begitulah, Mas Ngalimin. Berhasil


kontak tapi tidak sukses. Maafkan saya.
Saya telah gagal total.”

Mas Ngalimin diam. Mengambil


sebatang Gudang Garam. Menyalakan
korek, menyedot rokoknya dalam-dalam.
Sementara itu saya melirik ke pojok lobi,
saya lihat teman yang mau menraktir
teppan yaki sudah gelisah menunggu.
Teman saya itu adalah seorang sahabat
yang bonafid, jutawan nyaris milyarder
hasil dari keringat sendiri. Bukan putra
mahkota, bukan pejabat. Pengusaha,
titik. Karena itu, tidak tega untuk saya
perkenalkan kepada Mr. Ngalimin.

“Wah, ya sudah. Nggak apa-apa. You


did your utmost best. Saya masih ada
harapan lain. Kontak saya itu sudah saya
penuhi permintaannya. Seekor ikan
530
arwana dan sejodoh ikan mas koki
Taiwan. Katanya dia sudah melihat nama
saya masuk. Dan berkat lobi dia, saya
dapat pointer, angka yang tinggi.”

“Wah, syukurlah Mas. Saya ikut mendo


’akan.”

Dengan langkah tegas Mr. Ngalimin


menuju counter resepsionis. Entah mau
ngurus apa lagi dia. Saya pun
menggabung sahabat saya melenggang
ke Restoran Shima. Saya mulai
membayangkan sang koki, di depan saya,
di belakang meja persegi itu, meliuk-
liukkan tempat garam dan tempat merica,
merajang daging Kobe, menghancurkan
telur dengan elegan, menggoreng nasi
bagai seorang maestro. Memang betul
kata seorang kawan. Teppan yaki bukan
hanya seni memasak tetapi juga seni
pertunjukan. Satu performing art.

Catatan susulan :
531
Peristiwa di atas terjadi pada tanggal 18
Maret 1988. Saya mengetik kolom ini
pada tanggal 20 Maret 1988. Saya
kirimkan via pos kilat khusus siang hari
tanggal 20 Maret 1988. Pada tanggal 21
Maret 1988 Bapak Presiden akan
mengumumkan susunan kabinetnya.
Pada malam yang bersamaan itu saya
harus njagong resepsi perkawinan
seorang anggota keluarga besar kami
sampai jauh malam. Pasti pada malam
tanggal 21 itu saya belum akan tahu
apakah Mr. Ngalimin akhirnya berhenti
jadi Mr. Almost dan menjadi Mr. Minister.
Ketika kolom ini sampai di tangan
pembaca, Anda pasti sudah akan tahu
apakah Mr. Ngalimin masuk kabinet atau
belum lagi. Wong kolom ini jatuh pada
hari Selasa. Akan halnya dengan saya,
baru akan tahu tanggal 22 sore di
Padang, karena pada hari itu saya harus
terbang ke kota itu. Untuk apa? Ah …
untuk apa lagi kalau bukan untuk jual
532
abab di seminar ….

Mr. Ngalimin, I’ll pray for you …..

Yogyakarta, 22 Maret 1988

533
Mr. Rigen Menjangkau Langit

PULANG dari tugas ke luar negeri, saya


disambut oleh datangnya warga baru
dalam jagad istana saya. Beni Prakosa,
sesudah menunggu-nunggu hampir
empat tahun, akhirnya mendapat adik.
Laki-laki, blengah-blengah seperti bayi
Kakrasana.Mr. & Mrs. Rigen, yang pada
waktu kelahiran anak mereka yang
pertama dulu berharap agar anaknya di
kelak kemudian hari bisa menjadi jenderal
ABRI, apesnya ya kolonel, menamakan
anak itu Beni Prakosa, kali ini agak
keteter imajinasinya.Anak yang baru lahir
ini datang pada bulan September.Bulan
yang tidak merangsang imaji harapan
yang menggetarkan.Lain dengan Beni
dulu.Dia lahir pada tanggal 5 Oktober,
hari ABRI. Tetapi, September?

“Wah, repot, Pak. September itu rak


534
bulannya Gestapu to, Pak?”

“Ya, jangan kau ambil yang Gestapu,


Gen. Cari hari yang lebih mengandung
harapan cerah begitu.”

“Lha, pripun.Wong nyatanya peristiwa


yang dahsyat, medeni, banjir getih itu
dimulai tanggal 30 September itu.Saya
jadi judeg cari hari-hari lain yang lebih
menggembirakan di bulan September itu,
Pak.”

“Yang penting, kamu itu kepingin


anakmu yang ini jadi apa?”

“Ha inggih ABRI lagi to, Pak. Mau apa


lagi. Jadi ABRi sudah karuan.Pasti mantep
jalannya jadi priyayi.”

“Lho, tenan to, Gen?”

“Ha, buktinya semua sanak saudara


saya yang jadi ABRI itu sekarang mukti
semua kok, Pak.”
535
“Lho, sanak saudaramu itu pada jadi
jenderal begitu apa?”

“Lha, inggih mboten.Mosok semua ABRI


itu jenderal. Terus prajuritnya siapa?”

“Karena itu, kamu kok terus ambil


kesimpulan semua sanakmu yang ABRI
mukti semua.”

“Semua mukti saestu kok, Pak. Ada


yang jadi camat, ada yang jadi lurah, ada
yang priyagung kantoran.Pun to,
pokoknya enak semua.”

“Geen, Geen. Jadi yang kamu inginkan


itu anakmu itu akan jadi lurah atau
camat, to? Lha, kalau itu ngapain harus
jadi ABRI dulu?”

“Lho, Pak. Kalau tidak jadi ABRI dulu


apa bisa jadi camat atau priyayi dhuwur
di kantoran?”

“Oalahh, Le. Dak bilangin, ya. Yang


536
kamu katakan itu kan keadaan darurat.
ABRI membantu sipil.Nantinya ya tidak
harus begitu, to.Ya kalau mau jadi ABRI,
ABRI saja.Mau jadi lurah saja kok mesti
jalan-jalan dulu jadi ABRI.”

“Inggih, pun.Jadi ABRI saja.Thole Beni


nanti jadi jenderal. Adiknya ya jadi
jenderal.Kalau tidak nanti adiknya meri,
cemburu.Dikira orang tuanya membeda-
bedakan kesempatan.Rak inggih to, Pak?”

“Yo wis. Setuju aku. Terus namanya itu


lho, siapa?”

Kami berdua lantas terdiam. Berpikir


keras mencari nama. Betul juga
kegamangan Mr. Rigen melihat bulan
September sebagai bulan
berdarah.Tetapi, lho kok dia lupa. Kan
yang menang melawan Gestapu itu ABRI
sama rakyat. Jadi September itu, meski
bulan berdarah, menyedihkan, tapi ABRI
rak jaya.
537
“Gen, September itu bulan ABRI jaya,
lho.Jadi ya sudah cocok dengan
gegayuhanmu mau melihat anakmu jadi
ABRI nanti.”

“Oh, inggih ding. Pun begini saja. Anak


saya, saya namakan Septian Jaya.Pripun,
Pak?”

“Sep-ti-an Ja-ya. Yo wis, apik.”

Begitulah nama itu diturunkan kepda si


jabang bayi. Sekali saya takjub, terharu,
bangga dan tentu saja juga was-was
mendengar begitu menggebu-nggebunya
Mr. Rigen nggonto, meraih harapan, buat
anak-anaknya. Di hadapan saya duduk
nglesot seorang jebolan SD desa, mantan
anak petani yang cukup berada, tetapi
yang jadi korban revolusi hilang
kemungkinannya naik tangga sosial
dengan cepat. Tetapi, status yang dulu
pernah sekejap melintas di rumah Mr.
Rigen Senior nun di desa sana rupanya
538
belum padam dan hilang dari ingatan Mr.
Rigen. Kayaknya ada dendam kelas.
Awas, satu ketika saya akan bisa juga
mengejar kekalahan itu. Kalau bukan
saya, ya anak saya.Awas. Apakah dia
tahu bahwa persaingan itu akan lebih
ketat dan keras lagi untuk masuk
AKABRI? Dan sekolah prajurit, kopral,
sersan, letnan, kapten, mayor, kolonel
dan jenderal itu akan lebih berlapis-lapis
lagi dan lebih susah lagi? Pelajaran dan
ketrampilan yang dituntut akan lebih
canggih dan modern lagi? Kok dia masih
membayangkan jadi ABRI sebagai camat
atau lurah?

Dari jendela saya lihat Beni Prakosa


pulang sekolah dijemput sepupu
perempuannya yang kebetulan sedang
berada di kota. Beni dengan pakaian
seragam TK Indonesia Hebat dengan
enak dan nglaras roso duduk di
gendongan belakang sepupunya, sembari

539
makan bakmi kering krip-krip.

“Lho, katanya mau jadi ABRI di sekolah


Indonesia Hebat kok masih digendong?”

“Habis, capek Pak Ageng.


Panas.Digendong mBak Nimplek enak lho,
Pak Ageng.”

Tasnya dilempar ke amben dapur.Baju


seragamnya dilepaskan oleh Mrs.
Nansiyem dan sepupunya.Juga sepatunya
dijulurkannya kepada mereka untuk
dilepas.

“Madhaang, Buk. Madhang pake


endhog, oseng-oseng kacang pake
bakso.”

“Inggih, Den Bagus.”

Saya melihat pemandangan itu dengan


takjub.Saya melirik ke Mr. Rigen.Dia
tersenyum.

540
“Wong dia begitu itu yang ditiru, ya
anak-anak, adik-adik Pak Ageng.”

“Ah, mosok?”

“Atau putro-putro dosen di sekitar sini.”

“Ah, mosok?”

“Lha, terus niru siapa?”

“Lha, kalau begitu terus apa bisa jadi


jenderal dia nanti, Gen?”

“Ah, ya nanti dilihat saja Pak Ageng.


Dengan pangestu Pak dan Bu Ageng,
dengan pertolongan dan sumbangan dari
para priyagung mosok anak-anak saya
tidak akanslamet sempulur jalannya. Ya,
Le,ya? Sana makan yang enak dan
habiskan ya!”

Ya, dengan do’a restu, dengan


pertolongan dan sumbangan dari sana-
sini mosok tidak bisa anak-anak maju jadi
541
jenderal, jadi profesor, jadi menteri, jadi
…..

Yogyakarta, 20 September 1988.

542
Mister Blue Moon

”Blue moon … na-na-ni-na … na-noo


… na-na-ni-na … na-noo. Blue Moon …”
Dan orang itu terus mengencrung-
ngencrungkan ukulelenya. Kata yang
dinyanyikan cuma keluar blue moon,
sedang lain-lainnya ya cuma na-na-ni-na-
na-noo itu. Tetapi lagunya sampai selesai,
benar semua. Dan tidak ada pales-nya.
Bahkan nyaris merdu, dinyanyikan with
feeling, mawi roso.

Pengamen itu sudah setengah baya


umurnya, sekitar empat puluhan tahun.
Tinggi semampai, rambut berombak,
tampangnya agak ngganteng juga. Cuma
sayang, gusi giginya hitam keungu-
unguan, giginya banyak yang sudah
rontok. Mungkin dulu kebanyakan
merokok klembak menyan. Begitu selesai
dia akan berhenti sebentar melongok ke
543
ruang tamu. Kalau di ruang tamu tidak
ada orang, maka dia akan berkoar lebih
seru dari sebelumnya. “Blue emmooonnn
… na-na-ni-na … na-noo …” sampai
selesai lagi. Sampai kemudian Mr. Rigen
dengan diiringi Beni Prakosa memberinya
duit Rp. 200,-

Memang untuk pengamen honorarium,


Rp. 200,- adalah jumlah yang cukup
tinggi. Itu pun sudah lewat proses keras.
Mr. Rigen yang sebagai direktur kitchen
cabinet memang tidak bisa dan tidak
boleh punya perasaan seorang patron
atau maecenas seni. Bayangkan kalau
seorang direktur seperti itu punya jiwa
maecenas, jeneh pesinden-pesinden
seluruh P. Jawa senang semua …

“Lho, Pak. Mosok dua ratus, Pak?


Nyanyinya juga na-na-ni-na-na-noo
begitu, kok. Tidak tutuk lagi.”

“Hush, tutuk saja. Lagunya itu selesai


544
dinyanyikan. Bahkan bagus. Itu mesti
dihargai. Cuma dia nggak hafal kata-
katanya.”

“Yakk, Bapak pilih kasih. Wong biasanya


buat orang ngamen paling banyak
seratus, kadang malah cuma lima puluh,
ini kok rong atus. Apa karena lagunya
Inggris to, Pak?”

“Hush, ya tidak. Bukan soal cara


Inggris, Mister. Sebagai maecenas, ngerti
ora, ma-e se-nas, pengayom seni kudu
mempertimbangkan semua. Orang ini
menyanyi dengan perasaan, with feeling.
Lagunya utuh. Melodinya bagus.
Iramanya pas. Semua dalam struktur
keindahan yang good.”

“Wah, Bapak kalau sudah begini ini


saya merinding lho, Pak. Lha, kok
ngendika yang saya tidak mudheng
semua. Panjenengan itu tadi ngendika
apa?”
545
“Ya, pokoknya apik. Titik! Dan orang itu
tahu sopan santun. Kalau ngamen ke sini
bukan waktunya orang tidur. Dia cari
waktu kita sedang minum teh. Lha, itu
kalau bukan trahing, turunan priyayi,
mana tahu tata karma begitu, Gen. Jadi,
ya rong atus!”

Mr. Rigen geleng kepala sambil tertawa


njegeges.

“Lha, wong priyayi kok mbarang,


ngamen dari rumah ke rumah. Priyayi apa
itu, Pak? Priyayi itu ya kerja kantoran
seperti Bapak. Pakai baju kelabu atau
Korpri. Lha, ini. Cuma pakai kaos oblong.
Kumel lagi. Giginya mrotholi semua …”

“Eh, eh … kok kamu jadi sadis bin


beringas gitu? Ini priyayi yang sedang
jatuh, Gen. Kudu dikasihani. Uang rong
atus itu berapa sih, Gen?”

“Yakk … kok kayak Bapak tahu


546
riwayatnya saja. Saya nderek maunya
Bapak saja. Wong itu uang-uangnya
Bapak. Ning pada perasaan saya kok
kurang adil terhadap pengamen lainnya
yang cuma dapat satus, kadang malah
seket itu. Sama-sama ngamen kok
dibeda-bedakan, Pak?”

Sambil menghabiskan kata-katanya itu


Mr. Rigen dengan bersungut-sungut pergi.
Wah, naluri kerakyatan Mr. Rigen sedang
ngeper ini. Tetapi, yah, peduli apa.
Pokoknya saya kan yang didhapuk jadi
priyayi, toh? Uang itu uang saya sendiri,
toh? Maecenas di mana saja memberi
bantuan uang buat seniman yang
menurut roso dan krenteg-nya hati, dong.
Yang ini seket, yang itu satus dan yang
itu lagi rong atus …

Begitulah aturan permainan memberi


honorarium bagi para pengamen saya
terapkan. Dan Mr. Rigen sebagai direktur
kitchen cabinet pun sudah hafal
547
aturannya. Bahkan feeling-nya, roso-nya
sebagai maecenas pun sudah mulai jadi.
Dia mulai tahu dan mengembangkan
sendiri roso kapan mesti kasih seket,
satus atau rong atus. Bahkan agaknya dia
mulai bisa menghargai cengkok Mister
Blue Moon yang melankolis itu. Memang
bukan atau belum seperti Andi Williams,
tetapi untuk hiburan sore yang nani-nano
itu cukuplah. Sampai pada satu waktu
untuk beberapa minggu Mister Blue Moon
tidak mampir-mampir lagi.

“Wah, gek ke mana ya, Pak?”

“Lha, ya itu. Jangan-jangan ….”

“Lha, ya itu yang saya takutkan, Pak.


Waktu terakhir mampir ke sini itu
nyanyinya sudah diselingi cekoh-cekoh
itu, Pak. Jangan-jangan TBC, Pak.”

“Hush, … sak enakmu saja ngepal


penyakit orang. Belum tentu, Gen.
548
Mungkin dia ketemu saudaranya yang
mau nolong dia. Mungkin dia dikukup
bekas kantornya suruh ikut orkes
keroncong kantornya, mungkin …”

Mr. Rigen njegeges lagi.

“Lho, Bapak kok terus ngarang-ngarang


tentang Mister Belumun itu. Kok
bayangan Bapak begitu. Kalau menurut
saya mungkin malah sudah mati dia,
Pak.”

“Kamu itu makin lama kok makin sadis


to, Gen. Mbok ya kalau bayangin apa-apa
itu yang optimis to, Gen, Gen.”

“Klimis apa bukan klimis, wong


namanya nasib wong mbarang lho, Pak.
Mau sampai mana. Kalau nggak kuat ya
terus nggeletak to, Pak.”

Saya jadi merinding mendengar


pendapat Mr. Rigen yang begitu polos dan
keras itu. Mungkin dia benar. Tetapi, eh,
549
mbok ya agak halus dan tepo sliro sedikit.
Kemungkinan yang dia sediakan kok
begitu sedikit dan sempit, lho!

Saya menguap, tiba-tiba merasa


mengantuk sekali. Di kamar saya
merebahkan tubuh saya di tempat tidur.
Siyat-siyut mulai mengantuk. Tiba-tiba di
luar saya dengar, kencrung … kencrung
… kencrung. Suaranya pales dan ndesit
banget. Langsung saya teriak,

“Mr. Rigen, seket … seket waeee ….!”

Yogyakarta, 5 Januari 1988

550
Di Radio, Aku Dengar …

KEMARAU panjang yang aneh seperti


sekarang ini memang bisa mejengkelkan
betul. Bagaimana tidak. Resminya panas,
akan tetapi ya tidak sepenuhnya begitu.
Di sela kepanasan itu menyelip tusukan
dingin yang aneh, yang membuat misum
kemarau ini jadi musim panas-dingin.
Bagi para priyayi (termasuk saya) yang
menganggap siang, sesudah kerja rutin
yang tidak terlalu keras (tetapi mulia
karena untuk Negara) dan makan siang
dengan nasi menggunung di piring,
sebagai bagian yang terindah dari hari
karena saat itu adalah saat leyeh-leyeh
yang diteruskan dengan berlayar ke pulau
kapuk. Musim panas-dingin adalah musim
pengacau. Musim itu mengacaukan
jadwal rutin kenikmatan. Musim itu
merusak ritme. Musim itu tidak
menghargai peradaban. Lha, bagaimana,
551
sudah sebulan dua bulan ini saya susah
tidur siang. Dari semua previlese, hak-hak
istimewa yang satu demi satu telah
disebut baik oleh yang berwajib maupun
yang tidak, previlese boleh tidur siang
inilah yang tinggal dan yang saya elus-
elus dengan mesra. We lha, kok ya ikut
dicabut juga lho!

“Di ladioo aku kenal lagu


kesayanganmu … “

Saya yang lagi kegerahan di kamar jadi


tersentak mendengar suara Beni Prakosa
menyanyi, setidaknya semacam usaha
untuk bernyanyi.

“Eh, Mr. Rigen, sejak kapan anakmu kau


masukkan jadi kader Gombloh, he?”

Mr. Rigen yang lagi menyetrika dan Ms.


Nansiyem yang lagi ndhidhis rambutnya
sendiri tersentak, kemudian terbengong-
bengong.
552
“Maksud Bapak?”

“Lho, piye. Itu lho, anakmu kok begitu


cemerlang sudah bisa menyaingi
Gombloh nyanyi „Di Radioo …’ Dari
mana dia belajar? Kalian yang ngajari,
apa?”

“Ooo, itu to, Pak. Ya dia belajar sendiri,


Pak. Niru-niru yang di radio itu lho, Pak.
Dari Reco Buntung, Njeronimo dan lain-
lainnya itu.”

“Dari RRI juga, ya?”

“We, ya mboten. RRI kok nyetel


Gombloh. RRI itu yang bagus cuma
ketoprak.”

“Yakk, mosok to, Gen. Lainnya mosok


tidak ada yang bagus?”

“Ya, wayang kulit yang sebulan sekali


itu. Ning itu saja kalo dalange Hadisugito
saking Toyan itu lho, Pak.”
553
“Lho, kowe cah Pracimantoro kok jadi
seneng sama dalang Yukjo, to?!”

“Bapak jangan propokasi, lho. Yukjo,


Solo, itu sama bagusnya. Wong sama-
sama kerajaan.”

“Ee … sukur kalau kau begitu. Waktu


Suro kita ke Solo itu kayaknya bolehmu
ngecopros muji-muji Solo nggak entek-
entek.”

Mr. Rigen meringis sambil melipat hem


yang baru disetrika.

“Apa lagi, Gen, acara RRI yang menarik


kamu dan bojomu. Mosok Cuma yang itu
tadi. Lha, kalau uyon-uyon dari dalem
Ngabean dan yang adiluhung dari kraton
itu?”

“Wah, kalo boleh matur, Pak. Gamelan


Yukjo itu terlalu keras bolehnya mukul.
Cengklang, cengklang, serune ora jamak.”

554
“Huss, umuk Solomu itu, lho. Wong
namanya gaya, kok. Kamu harus
menikmatinya. Juga tidak semuanya
cengklang, cengklang. Lihat-lihat lagunya,
dong. Terus lainnya lagi mosok tidak
menarik. Berita yang macam-macam itu?
Siaran pedesaan?”

“Wah, trimo mboten, Pak. Dengar berita


kepala ngelu, pusing. Dengar siaran
pedesaan … he,he,he, lha wong saya ini
kan dari desa to, Pak. Kok harus dengar
cerita tentang desa. Pokoknya, nggih,
Pak. Radio itu penting, nanging buat
hiburan saja. Mangkin sedikit
ngomongnya mangkin bagus.”

Dari kamarnya, tiba-tiba saya dengar


Beni berteriak menirukan Gepeng
menjajakan balsem. Cespleng …!

“Nah itu, Gen, anakmu juga sudah ikut-


ikutan dodol balsem. Kalian kebanyakan
nyetel radio komersil, sih.”
555
“Lha, adpertensi di radio komersil itu
lucu-lucu, Pak. Lagu-lagunya bagus,
omongannya juga. Lumayan buat
momong anak.”

Wah saya jadi ingat komentar Leonard


Bernstein, dulu waktu dia masih
memimpin Philharmonic Orchestra di New
York. Dia mengeluh, kok yang sekarang
paling kreatif dan dengan beitu menarik
para pendengar remaja justru jingle
komersial yang menjajakan produk
industri.

Di Jakarta, musim panas-dingin terasa


lebih dramatis lagi. Lebih menyengat,
tusukan dinginnya lebih basah dan lebih
berdebu. Rasanya semangkin malas dan
wegah keluar rumah. Tetapi repot juga.
Di rumah panas dan sumuk-nya bukan
main, keluar panas-dingin berdebu. Mau
naik bus harus lari, harus berdiri, harus
bersedia dicopet. Mau naik taksi
mahalnya bukan main, kotor tur penguk
556
lagi!

Di rumah, si Gendut, kencana wingka,


sisa remaja keluarga kami, saya lihat
sedang nglaras di kamarnya. Pukulan
telak Sipenmaru*) rupanya sudah dapat
diatasinya. Di mejanya saya lihat ada
segelas es jeruk dan beberapa potong
siomay tergelatak di piring. Kemudian
berserakan bahan-bahan penataran P4,
majalah-majalah, di tangannya yang
sedang dibacanya majalah Gadis.
Kemudian radio yang disetel kencang-
kencang. Si Gendut, sama dengan remaja
lainnya, adalah juga generasi kuping
congekan …..

“Vina ya, nDut …?”

“He … he … he … Bokap! Tiap


penyanyi Vina. „Ntar suara Harvey
Malaiholo dibilangin Vina. Payah deh,
Bokap.”

557
“Lha, siapa dong?”

“Ini, Pak. Namanya Siila, tulisannya es-


ha-e-i-el-a, Siila Majid. Cakep „kan,
suaranya?”

“Ahh, Vina atau Sssyiila sama saja.


Suaranya sama, lagunya sama. Apa sih,
bedanya?”

“Idiihh … Bokap! Jelas lain dibilang


sama. Dengar „tuh. Ngucap Jakarta saja
sudah lain. Kalo Siila, Jeakareta. Mana
Vina bilang Jakarta begitu. Dan kalo
ngucap Anyer, Siila bilang Anye. Lain „kan,
Be, sama Vina.”

“Kalo nanti ada lagu „Dari ngGodean ke


mBantul’ bagaimana Sssyiila-mu itu
akan bilang?”

“Bokap mesti gitu, deh, norak!”

Si Gendut tertawa anyel, aku tertawa


cekakakan. Menggoda anak, tonik yang
558
sedap juga.

“Mbok coba sekali-sekali kau setel RRI.


Musiknya enak, halus, sopan, tidak jerit-
jerit gedobrakan.”

Si Gendut tersenyum, tetapi senyumnya


kok mengandung misteri. Tangannya
memutar-mutar kenop, mencari RRI.

“Nih, RRI nih.”

Dari radio itu keluar suara keroncong.


Lagunya “Jembatan Merah”, kencrung …
kencrung … kencrung … Suaranya di
siang yang hareudang begitu memang
kedengarannya lelah betul.

“Tuh, Be, musik RRI Babe. Tak


kencrung … tak kencrung … tak
kencrung … “

“Ehh, begitu-begitu musik asli kita, lho.”

“Asli. „Burung Camar’ juga asli.


559
Semuanya juga asli, Be.”

Wah, si Gendut mulai ngotot.

“Pokoknya, Be, kalo RRI lagunya gitu


terus nggak bakalan saya setel, deh.”

“Lho, „kan RRI punya FM juga. Lagunya


bagus-bagus.”

“Bagus-bagus buat generasi Bokap


sama Ibuk. Buat kita enggak, dong.”

“Lha, berita-berita bagaimana, nDut?


RRI „kan?”

“Aahh, bosen. Beritanya begitu melulu.


Mendingan nyetel tivi jam sembilan. Seru.
Banyak gambarnya yang menarik. Ini,
ngomooooong doang. Pokoknya, Be, RRI
sedikit aja ngomongnya kayak Warkop
waktu masih ngintelek dulu. Yang penting
yang canggih itu, Be.”

Wah, ini generasi canggih. Semua


560
maunya canggih.

“Canggih itu yang bagaimana, sih?”

“Yaaa, Babe. Canggih ya canggih.


Begitu saja kok ditanyakan.”

Satu brakotan siomay, dua tiga gelegak


es jeruk. Tangannya putar-putar kenop
meninggalkan RRI-ku yang malang. Saya
lihat mukanya yang bunder jerawatan,
rambutnya yang sedikit pangrok,
telinganya yang sebelah ditindik dua,
yang sebelah satu. Antingnya yang
sebelah bintang kecil merah dan biru,
yang sebelah bunder biasa. Anak
sekolahan yang begitu masa kini kok
sama lho tuntutannya sama anak tamatan
SD Pracimantoro. Radio jangan banyak
ngomong, musik saja …..

“Nah, ini musik kita bersama, Be …”

Di radiooooo … aku dengar, lagu

561
kesayanganmu …..

*) Sipenmaru : Seleksi Penerimaan


Mahasiswa Baru

Yogyakarta, 15 September 1987

562
Merdeka, Mr. Rigen

TUJUH BELAS Agustusan selalu


dirayakan Mr. Rigen & family di Kampung
Blunyah. Kampung itu tempat dulu
mereka mengontrak rumah. Agaknya
mereka senang dan kerasan juga tinggal
di kampung itu. Buktinya, setiap ada
ritual kampung, selalu saja mereka
diundang untuk datang. Selain itu,
Blunyah adalah juga kampung legendaris.
Setidaknya bagi penduduknya yang
mengalami zaman revolusi dulu. Dengan
bangga mereka akan selalu mengisahkan
pengalaman mereka sebagai salah satu
kampung yang menjadi persinggahan
sebagian pasukan janur kuning yang ikut
penyerbuan SO 1 Maret. Bisa dimengerti
jadi, kalau kampung itu merasa mendapat
beban historis untuk merayakan tujuh-
belasan itu dengan sehebat mungkin.
Daerah lewat SO, je!
563
“Kali ini kalian mau Agustusan di
Blunyah lagi?”

“Inggih, Pak. Wong saya sudah didapuk


jadi seksi hiburan, lha ibunya Beni jadi
seksi konsumsi.”

“Weh, seksi hiburan, tho? Apa saja


acara hiburannya?”

“Ndangdut, ketoprak dan kalau si Sis


dalang yang sekarang kerjo di Semarang
itu pulang, ya wayangan apa, Pak.”

“Wah, kok hebat lho, bekas


kampungmu itu, Mister. Lha, kalau
desamu di Praci sana apa ya hebat
Agustusannya?”

“Wah, pancen kampung itu hebat kok


persatuannya, Pak. Rukun. Lha, kalau
desa saya di Praci itu ramenya baris-baris,
sedekah, rebutan menek pokok jambe
yang dilumuri gajih, slametan dan
wayangan di kelurahan.”
564
“Terus kamu mau berangkat kapan?”

“Ya, kalau pareng kami semua


berangkat sore ini sehabis makan siang.”

“Wee, lha, cotho aku. Mangka, Boy sak


anak istrinya mau singgah di sini malam
ini. Kalau mau nyuguh-nyuguh mereka,
aku mesti bikin wedang sendiri, nih.”

“Lho, mas Boy mau rawuh, to? Wah,


kasian Bapak kalau mesti repot sendiri.
Lagi mas Boy sudah hampir lima tahun
tidak mampir sini, nggih Pak? Bapak
mesti nyuguh mereka, gitu. Apa
Nansiyem dan Beni biar di rumah saja,
Pak?”

Saya tersenyum. Untuk kesekian kalinya


kagum akan kelihaian yang dilapis tata
krama dari kepala staf saya itu. Hanya
orang yang sudah berkultur tinggi yang
bisa menerapkan teknik begitu. Tentu
saja saya akan tidak tega membiarkan

565
Nansiyem dan Beni bersedih di rumah
membayangkan keramaian Agustusan di
Blunyah. Edan apa?!

“Huss, yang benar saja. Nggak. Kalian


berangkat saja semua sore ini. Gampang,
nanti mas Boy, biar dak ajak makan di
luar saja.”

Beni Prakosa yang baru hampir tiga


tahun umurnya tetapi punya daya
tangkap konversi sama dengan orang
dewasa, tiba-tiba berjingkrak ke luar dari
balik pintu.

“Hole, hole. Kita naik jip ke Blunyah


sama Bapak, sama Ibuk.”

“Huss, ora-ora. Jip mau dipakai Pak


Ageng sendiri ..”

Sontoloyo!. Cilik-cilik sudah pinter pake


kesempatan dalam kesempitan, lho …

Yang namanya Boy itu anak teman


566
seperjuangan zaman ikut-ikut jadi TP
(Tentara Pelajar) dulu. Mas Koen,
demikian nama sahabatku itu, adalah
pahlawan pasukan kami. Beraninya nggak
ketulungan. Mosok siang hari bolong dia
berani masuk sendirian ke Pasar Ngasem
dan ngedrel satu jip Belanda yang lewat,
lho. Lha, kalau saya ini TP bagian tempe.
Belum-belum sudah dipanggil orang tua
untuk masuk kota membantu jualan di
Malioboro. Tetapi waktu perang selesai,
Yogya sudah kembali, saya ketemu Mas
Koen lagi di sekolah. Kami bersahabat.
Dan Mas Koen tetap Mas Koen. Tidak
sombong, tidak pernah membusungkan
dada sebagai hero. Dan yang lebih
penting bagi saya, tidak pernah ngenyek
saya sebagai tepe tempe. Wajar saja.
Juga di sekolah dan kemudian di
universitas, Mas Koen adalah tetap
seorang hero. Cemerlang dalam studi,
cemerlang dalam organisasi. Tidak
mengherankan bukan kalau dia kemudian
567
meniti kariernya dengan sukses sekali.
Kami masih berhubungan terus. Juga
sesudah kawin-mawin. Tetapi yang
namanya pekerjaan dan tempat tinggal
tidak pernah terlalu ramah dengan
pekerjaan kami. Kami semangkin jarang
ketemu. Dari jauh saya memantau
kesuksesannya dengan penuh
kekaguman. Tahu-tahu saya mendapat
kabar kalau Boy, anaknya yang dulu
sering dak gendong-gendong, sudah
punya keluarga, sudah menjadi
kontraktor yang sukses. Wah, anak
mosok ninggal lanjaran bapaknya …

Tiba-tiba saya melihat jip masuk rumah.


Lho, jip kok suaranya angler sekali. Eh,
Boy and family masuk dengan jip
Mercedes. Kami reriungan. Boy tampak
gagah, gede dhuwur, hensem,
bercambang lagi. Lha, istrinya, edaann,
ayuu tenan. Mungkin gabungan Andi
Meriem Matalatta dan Widyawati. Ayu lagi

568
anggun. Dan anaknya yang baru satu itu,
wahh, matanya bunder dan rambutnya
kluwer-kluwer.

“Om, usul ini, Om. Soalnya waktu kami


sedikit, mau lanjut ke Malang malam ini
juga. Mau ke rumah mertua.”

“Bagaimana sih, kamu itu. Baru ketemu


lima menit sudah bilang mau berangkat
lagi. Ya sudah. Mau usul apa?”

“Kita puter-puter sekarang lihat


Malioboro, lihat suasana Agustusan. Terus
kita makan malam di restoran Siauw Ang.
Itu kan restorannya Papi sama Om zaman
dulu mahasiswa, to? Kata Papi yang
istimewa nasi goreng dan pangsit
gorengnya. Iya, to, Om?”

“Lho, lha zaman kecilmu sering dibawa


Papimu ke situ kok lupa. Ya masih enak.
Lantas?”

Lantas ya puter-puter aja sampai capek.


569
Di restoran baru saya melihat jelas kalau
pasangan muda itu tidak hanya kelihatan
hensem dan ayu, tetapi juga mahal.
Bajunya, sepatunya, jam tangannya
bahkan baunya pun jelas mahal-mahal
semua.

“Dengan anggaran lesu begini apa


bisnismu bisa jalan terus, Boy?”

“Seharusnya tidak. Tapi ya untungnya


jadi anak pejabat, Om. Boy selalu
ditolong Papi lolos tender dan
pembayarannya juga berjalan mulus.
Tapi, kami selalu saklek, business like,
Om. Papi selalu dapat komisi dari kantor
kami.”

“Ah, masa Boy. Papimu terima komisi?


Dari kamu?”

“Lha, iya. Ini wajar-wajar saja dalam


bisnis, to, Om. Untuk sesuatu ada
sesuatu …”

570
Saya tidak terlalu jelas lagi mendengar
sambungannya. Yang terbayang adalah
Mas Koen yang gagah, cemerlang dan
bersih dulu. Bagaimana bisa? Saya baru
sadar kembali waktu saya mendengar Boy
menggerutu kepada pemilik restoran.

“Yaa, bagaimana restoran Yogya bisa


maju. Masak restoran beken begini tidak
mau terima credit card ..”

Di tangannya berenteng tiga atau


empat credit card. Si Ong cuma
terbengong-bengong mendengar
gerutuan orang muda itu. Dengan jengkel
Boy membongkar tas istrinya
mengeluarkan tumpukan uang puluhan
ribu. Dengan sekali sebat dihitungnya
beberapa puluhan ribu kemudian
dibayarkannya kepada engkoh yang
masih agak panik itu. Kepanikan itu
bertambah lagi waktu Boy membayar lagi
sepuluh ribu rupiah sebagai uang tip
kepada pemilik restoran yang malan itu.
571
Dengan gagah Boy berkata di mobil.

“Sekali-kali kita bayar tip buat Cina,


Om.”

Edann! Boy, Boy …

Di rumah, waktu jip Mercedes itu pergi,


aku masih ngungun. Di meja, jam Seiko
diplipit emas hadiah Agustusan dari Boy
saya biarkan terus tergeletak. Setidaknya
untuk sementara.

Keesokan harinya, pukul 8 pagi saya


dibangunkan oleh Beni Prakosa dari
jendela,

“Meldeka, Pak Ageng, Meldeka …”

Tangan anak kecil itu dilambai-


lambaikan, mukanya memancarkan
kegembiraan anak yang sehat. Dari
jendela juga saya melihat Mt. Rigen dan
Mrs. Mansiyem Rigen mengerek bendera
Merah Putih. Heran aku melihat mereka.
572
Begitulah kelihatan segar, gembira. Tidak
capek. Padahal semalam suntuk entah
apa saja yang mereka lakukan di
kampung Blunyah.

“Meldeka, Pak Ageng. Meldelaaa ….. “

Merdeka, Le. Merdeka Mr.Rigen,


Merdeka Mrs Nansiyem.

Yogyakarta, 8 Agustus 1987

573
Membina Budaya Wong Cilik

Kadang-kadang naluri priyayi feodal


saya, harus saya akui, memang masih
mengalir dengan derasnya di otot-otot
saya. Terutama naluri sadis saya terhadap
para kerabat wong cilik. Tentu bukan lagi
sadisme seperti pada zaman Amangkurat,
tetapi sadisme kecil-kecilan yang cukup
membuat Mr. Rigen dan family frustrasi
tidak karuan.

Ah, tentu saja juga bukan macam


sadisme kawan-kawan ndoromas zaman
kecil saya yang suka memberi tahu
goreng, yang diam-diam mereka penuhi
dengan lombok rawit, kepada abdi
mereka. Waktu para abdi itu pada
blingsatan kepedasan, kawan-kawan
ndoromas itu malah pada tertawa
cekakakan dengan nikmatnya. Air mata
mereka, para ndoromas itu, tidak kalah
574
deras mengalir dari mata mereka
dibanding yang keluar dari mata para
abdi mereka. Cuma yang satu air mata
kegembiraan, yang satu air mata
kepedihan. Wehh, air mata saja kok
ternyata bisa kontekstual, lho …..

Tidak. Sadisme saya terhadap para


anggota kitchen cabinet saya tentu lebih
canggih dan modern daripada para
ndoromas yang dekaden itu. Misalnya
pada Sabtu sore ini. Daripada melihat
ketoprak di teve, saya kumpulkan mereka
di ruang tengah untuk saya ajak main
cerdas tangkas. Tentu saja targetnya
mulia bin ideal. Supaya mereka menjadi
batur-batur yang kelak punya wawasan
intelektual yang luas. Misalnya, saya akan
bertanya,

“Siapakah Sir Isaac Newton itu?”

“Sinten, Pak?” tanya Mr. Rigen dengan


pandangan bengong.
575
“Ser Aisaak Nyuten, bento!”

“Wah, kita mboten kenal sama Sri Aisah


saking Nyutran itu, Pak.”

“Wee, gebleg tenan kowe. Saya


cegklong gajimu Rp. 100,- satu minggu!”

Muka keluarga itu mulai pucat. Mungkin


batin mereka mulai ngunandika, “Majikan
saya mulai kumat ini …”

Adapun saya tertawa terkekeh-kekeh.

“Saestu, lho Pak. Saya sama Bune ini


tidak punya sedulur dengan nama begitu
di Nyutran. Atau jangan-jangan Bune?”

“Ora ki Pakne.”

Dan Ms. Nansiyem pun menjawab


sauaminya dengan pandangan yang
benar-benar desperate. Habis, Rp. 100,-
seminggu. Kalau majikannya kumat
dengan cerdas tangkas sadis begini tiap
576
Sabtu sore, sambil mengorbankan
ketoprak, harus bayar berapa lagi nanti.
Ha … ha … ha … haaa. Saya pun
tertawa bagaikan Dursasana, satria dari
Banjurjungut itu.

“Ayo, satu pertanyaan lagi, Gen, Yem,


Ben. Kalau kali ini tidak bisa lagi,
cengklong Rp. 100,- satu minggu lagi.”

Mereka kelihatan tegang. Mata mereka


sedikit mendelik. Saya pun mencari-cari
pertanyaan yang muskil tetapi canggih.
Mau saya tanyakan urutan Pancasila dan
arti-artinya pasti mereka sudah
mengetahui. Meskipun mereka belum
lulus penataran P4 paket satu jam pun,
pastilah mereka sudah akan dapat
dengan tangkas menjawabnya. Wong
Pancasila kan asli berakar di bumi kita,
termasuk bumi Pracimantoro. Jadi, pasti
mereka sudah mengenalnya. Saya tidak
ikhlas kalau mereka dapat dengan enak
menjawab pertanyaan saya. Dan juga itu
577
tidak mendidik!

“Nah, sekarang Gen, Yem, Ben.


Perhatikan. Dengar baik-baik. Jangan
ngowoh. Apakah kalian setuju dengan
konsep konflik kelas dari Karl Marx?”

Mr. Rigen memang lantas ngowoh betul.


Kemudian rambutnya dicabuti.

“Woalahhh, Paak. Gek siapa lagi orang


ituuu. Nyerah, Pak. Nyerah aja Bune.
Nggak usah dijawab.”

“Heitt, … kalau nyerah cengklongan-


nya Rp. 200,- seminggu. Saya lebih
menghargai orang yang ngawur daripada
yang menyerah. Kalau ngawur itu masih
ada harapan jadi orang. Kalau belum-
belum sudah menyerah mau jadi apa
kowe? Cengklong Rp. 200,-”

“Mati kita Bune, Ben. Gek berapa


jumlah denda itu nanti. Habis gaji kita,
Pak. Padahal bulan depan kita mau
578
nyadran ke desa.”

“Husss, … jangan cengeng. Bagaimana


kamu bias jadi batur yang modern dan
canggih, kalau belum-belum sudah
cengeng begitu?”

Mereka duduk diam. Kekes, kecut hati


mereka. Mungkin mereka ngunandika
dalam hati, “Gek tadi malam pak Ageng
mimpi apaa kok jadi kumat begini?”

“Nah, sekarang pertanyaan satu lagi.


Dengar baik-baik. Siapakah Presiden
Reagan itu?”

Tiba-tiba dengan sigap Ms. Nansiyem


mengacungkan tangannya.

“Lha, nek niku ya Bapake thole, to Pak!”

“Dapurmu. Aku tanya Presiden Reagan,


bukan Rigen. Sontoloyo. Cengklong lagi!”

Ketiga makhluk batur itu sekarang


579
hanya bias menundukkan kepala mereka.

“Sekarang benar-benar pertanyaan


terakhir. Kalau sampai salah satu dari
kalian tidak bisa menjawab, ojo takon
dosa kalian!”

Mereka makin sigap lagi


mendengarkan. Penuh konsentrasi
dahsyat. Mata mereka kelap-kelip seperti
lampu gereja.

“Siapakah Dr. Huxtable itu *)? Hayo,


cepat jawab!”

Mr. Rigen nglokro. Ms. Nansiyem tidak


mampu lagi melolo matanya. Tiba-tiba si
setan, bedhes cilik, Beni Prakosa
mengacungkan tangannya.

“Saya tahu, Pak Ageng. Saya tahu … “

Saya kaget.

“Bener, kamu tahu, Le?”


580
“Iya, itu wong ileng di tipi. Ha … ha …
ha … “

Aha, jenius cilik. Akhirnya ada harapan


juga generasi muda kita. Cerdas tangkas
saya bubarkan. Cengklongan, tentu saja
tidak jadi diterapkan. Begitu besar hati
saya melihat kecerdasan Beni Prakosa.
Sejak itu, setiap hari, saya sediakan
setidaknya satu jam untuk mengedril dia
dengan macam-macam. Menghafal sajak-
sajak. Baris berbaris. Upacara bendera.
Sajak yang paling dia senangi,

Halo, matahali

Aku disini

Namaku Beni

Sajak yang paling saya senangi jika dia


deklamasi,

Halo, Pak Ageng

581
Engkau matahali

Matahali, matahali, ma – ta – ha – liii …


..

Yogyakarta, 17 Nopember 1987

582
Hidup Bagaikan …..

MESKIPUN saya adalah seorang


Pancasilais (buktinya saya sudah lulus P4
dengan gemilang dan mendapat vaandel
dari Kanjeng Gusti), harus saya akui
bahwa sisa-sisa gaya hidup feodal masih
sedikit lengket menempel di tubuh saya.
Mr. Rigen meski sudah saya panggil
Mister Rigen masih saya haruskan
berbahasa krama halus terhadap saya
dan anak kerabat saya. Dan saya tentu
saja cukup dengan ngoko saja
kepadanya, kepada istrinya, Mrs.
Nansiyem, dan anaknya Beni Prakosa.
Meskipun untuk standar gaji pembantu
wilayah DIY Mr. Rigen dan family
tergolong tinggi, mereka masih saya
perlakukan sebagai anggota keluarga
bagian belakang. Buktinya, kapan saja
dan di mana saja saya merasa kelelahan,
mereka masih siap sedia memijit tubuh
583
saya dan sekal-kali juga ngeroki sampai
belang-belonteng seluruh badan saya.
Pancasila memang mengisyaratkan sikap
egaliter bagi para pemeluknya, namun
menerapkan prinsip persamaan hak
ternyata kita harus luwes dan bijaksana.
Maksud saya luwes dan bijaksana yang
menguntungkan kita …..

“Gen! Mr. Rigen! Mis – terr Ri – gennn


…!”

Dari belakang kedengaran jauh,


“Doalemmmmm!”

Melhat saya sudah menggeletak dengan


sarung dan kaos oblong di tikar dekat
meja, Mr. Rigen langsung tanggap ing
sasmita. Bos-nya sedang lelah dan
membutuhkan pijitan. Radio transistor
didekatkan dan Mr. Rigen pun dengan
cekatan putar-putar mencari suara
gamelan di EMC atau Reco Buntung.
Sejak menemukan “Ojo Lamis” ciptaan Ki
584
Nartosabdo tangan Mr. Rigen langsung
menggerayangi kaki saya. Beni Prakosa
pun tidak ketinggalan ikut-ikutan
memegang kaki saya sambil terus
nyerocos bilang nyet-nyet-nyet. Mata saya
pejamkan, tangan ekspert dari Mr. Rigen
dengan penuh roso mengelus kempol
saya yang kaku. Suara pesinden yang
mengingatkan kita jangan suka bersikap
mis alias lip-service pun terdengar merdu
membelai, saya semangkin yakin bahwa
gaya hidup feodal punya hak didup di
alam demokrasi Pancasila. Dan lima,
enam menit pun berlalu. Suara nyet-nyet-
nyet Beni telah menghilang karena
anaknya sudah lari ke kamra ibunya.
Tetapi, suara Mr. Rigen, tumben betul
belum juga keluar. Biasanya saat-saat
seperti ini adalah saat di mana dia
melepas intrik-intrik ini dan itu. Tentang
ongkos hidup yang semangkin mahal,
tentang babu blok anu yang dihamili
tuannya, tentang hari depan Beni
585
Prakosa, tentang ….

“Kok diam aja, Gen?”

“Lha, cerita apa to, Pak?”

“Ayakk, pasti ada yang ngganjel


pikiranmu. Ya, to?”

Masih diam. Tangannya terus


menggerayangi kaki saya dengan
enaknya.

“Begini, lho, Pak. Ini bukannya saya


tidak tahu berterima kasih nderek Bapak.
Saya seneng-seneng saja di sini. Cuma
akhir-akhir ini saya mulai mikir apa ya
saya ini akan teruusss saja begini?”

Saya, mak njenggirat, membalikkan


badan terus duduk jegang di depannya.
Mr. Rigen, direktur kitchen cabinet yang
ahli dan berwibawa itu, jadi mengkeret
duduk bersila di depanku.

586
“Bukan, bukan itu, nDoro. Gaji dari
Bapak cukup memuaskan. Cuma saya
ingin ganti propesi.”

“Ganti apa?”

“Ganti kerjaan, nDoro. Kepingin jadi


sopir.”

Hatiku angles buat dua hal. Satu, Mr.


Rigen, kepala kabinetku kok memanggilku
“nDoro” lho.Mentang-mentang saya mulai
membentaknya. Kedua, dia kepingin jadi
sopir.

“Lha, kamu kan kadang-kadang sudah


nyopir jip saya to, Gen?”

“Tapi kan belum propesi.”

Uwahh, ini kata “propesi” rupanya


sudah merasuk benar di benaknya. Saya
pun mengalah. Mr. Rigen saya beri
kesempatan cari lowongan buat jadi sopir.
Setiap hari dibacanya iklan di koran.
587
Setiap ada lowongan sopir dicobanya
melamar. Begitu hingga satu, dua
minggu. Karena kesibukan saya mondar
mandir secara rutin Yogya-Jakarta saya
tidak sempat mengurusnya. Baru pada
kesempatan menggeletak untuk dipijit
lagi saya bisa berdialog lagi dengannya.
Kali ini sunyi. Tidak ada gamelan
“Condong Raos” atau nyet-nyet-nyet Beni.
Yang ada hanya pijitan yang kurang
antusias dan desah tarikan nafas yang
dalam dari Mr. Rigen.

“Bagaimana kamu berburu propesi,


Mister?”

“Wah, sudah lima kali gagal terus, Pak.


Saingannya berat-berat, Pak.”

“Mosok? Siapa saja?”

“Ada yang jebolan SMA, jebolan IKIP,


malah juga jebolan Gama.”

“Wah, kok jebolan melulu begitu. Kamu


588
sendiri jebolan apa?”

“Wah, saya tidak jebol apa-apa, Pak.


Saya hanya lulus SD Pracimantoro.”

“Jadi, apa rencanamu sekarang?”

Diam sebentar. Mendesah lagi.

“Ya, kalau pareng, untuk sementara


saya masih nderek Bapak.”

Mr. Rigen yang malang. Kalau kau ke


New York mungkin kau masih bisa
mupus, menghibur diri dengan well, life is
but a bowl of cherry. Hidup hanya
bagaikan semangkuk buah cherry.
Kadang-kadang nyeplus yang kecut,
kadang-kadang dapat yang manis.
Celakanya ini di Yogya! Di sini, life is but
sak kreneng salak Sleman. Kadang dapat
yang manis, kebanyakan sepet teruusss
…..

Cilaka. Mendengar keluhan Mr. Rigen itu


589
saya malah lega. Untuk waktu yang agak
lama saya masih akan menikmati
pijitannya.

Yogyakarta, 7 Juli 1987

590
Malam Suro Mr. Rigen

Tidak seperti Suro tahun lalu, tahun ini


Mr. Rigen tidak pergi ke Solo untuk
menyaksikan arak-arakan pusaka keraton
dan kebo bule. Biasanya dia minta izin
khusus untuk bermalam Suro di Solo
bersama teman-temannya dari desa
seasal, yaitu Desa Pracimantoro. Saya
pernah bertanya-tanya mengapa mereka
menganggap begitu penting peristiwa
Suro itu untuk dirayakan di Solo.

“Lha, Praci itu kan masuk bawahan Solo


to, Pak.”

“Lantas?”

“Ha, inggih. Sebagai kawulo Solo, kita


ya setahun sekali harus menyaksikan
Suro di Solo to, Pak.”

“Lho, kok aneh. Kamu kan sudah


591
beberapa tahun jadi kawulo
Ngayogyakarta, Mister. Kok masih ke Solo
saja?!”

“Lha, memang benar saya cari


makannya di Yukjo, Pak. Tapi, saya kan
masih tetap kawulo Solo to, Pak.”

“Elhoo, apa kamu tidak tahu kalau Solo


itu bukan kerajaan lagi?”

“Ha, inggih ngertos, Pak. Tapi, pusoko-


pusoko keraton itu kan masih tetap ada di
Solo to, Pak. Itu artinya roh keraton
masih ada di situ terus.”

“Lha, kamu itu ngawulo keraton, raja


atau pusaka to, Gen?”

“Ha, inggih semua, Pak.”

“Wee, lha. Repot ini. Lha terus kalau


sama republik, bagaimana kamu itu?”

“Ha, inggih jelas to, Pak. Saya, Bapak


592
dan semuanya rakyat Republik
Indonesia.”

“Ohh, begitu to, Gen. Jadi kalau sama


keraton, raja dan pusaka itu kamu
kawulo. Kalau sama republik kamu itu
rakyat.”

“Ha, inggih. Kalo sama roh itu kawulo.


Kalo sama badan wadah rakyat.”

Saya mengangguk-angguk bercampur


ngungun. Alangkah dahsyat pandangan
dunianya. Untung belum ada program
penataran P4 untuk para pembantu
rumah. Kalau sudah ada, apa tidak akan
babak belur para penatar itu menghadapi
filsuf, sosiolog, antropolog dan
sejarahwan seperti Mr. Rigen itu? Saya
berharap program penataran semacam
itu tidak akan ada. Tiwas bikin runyam
dan menghabiskan uang negara saja.
Lagi pula pandangan dan pikiran rakyat
yang sering aneh itu bukankah lebih baik
593
dan lucu untuk dibiarkan saja?

Begitulah. Setiap tahun Mr. Rigen


beserta teman-teman sekampungnya,
saya biarkan pergi menziarahi pusoko-
pusoko keraton beserta kebo bule-nya.

Sampai pada satu hari menjelang Suro,


Mr. Rigen tidak kelihatan tanda-tandanya
untuk memulai perjalanan pilgrimage
alias perjalanan ziarah ke Solo. Yang saya
lihat justru tanda-tanda lain. Beberapa
hari menjelang Suro itu saya lihat Mr.
Rigen anak-beranak justru sangat getol
bersih-bersih di halaman tanpa ada
instruksi dari bos. Dan bersih-bersihnya
itu benar-benar total, habis-habisan.
Gerumbul dan perdu-perdu tanpa kecuali
dipotong setengah gundul. Bahkan dua
pohon Sri Mahkota, pemberian teman
saya yang setengah dukun setengah
penjual batu akik, yang konon dapat
menolak dan menangkal segala macam
peluru kendali, tanpa ampun dibabat
594
tinggal separo oleh Mr. Rigen. Edyann, …
pikir saya. Kalau nanti ada rudal betulan
yang dikirim musuh-musuh saya,
bagaimana pohon-pohon itu bisa
berfungsi sebagai penangkal?

“Gen, kok kamu sekeluarga ngamuk


babat alas wanamarta tanpa ada instruksi
dan komando dari saya? Dan Sri Mahkota
kok juga kamu potong, itu bagaimana?”

“Lha, besok kan Suro, Pak. Saya


sekeluarga berniat bersih-bersih betul,
Pak. Tidak cuma pepohonan dan
halaman. Jangan khawatir, Pak. Juga
dalam rumah nanti akan kami bersihkan
juga.”

“Nanti meja, kursi dan seprei-seprei


kamu potongi juga kayak Sri Mahkota.
Ciloko aku!”

“Ayakk, Bapak. Ya tidak to, kalo sampai


begitu. Kalo Sri Mahkota meskipun tinggal
595
lima senti dari tanah, tetap akan nolak
rudal dari mana saja.”

“Kok kamu tahu?”

“Elhoo, Bapak. Dulu dukunnya kan


bilang kalo kekuatan Sri Mahkota ini
memancar berupa gelombang-gelombang
yang tidak kelihatan. Jadi selama masih
ada pohonnya ya masih akan kuat terus.”

“Yo wis. Aku percaya sama kamu. Cuma


kamu kok kayaknya tidak mau ke Solo
tahun ini. Betul ya, kamu tidak pergi kali
ini?”

Mr. Rigen diam sejenak. Kelihatan ambil


nafas sedikit. Kemudian,

“Betul, Pak. Bulan lalu pada malam


Anggara Kasih, saya mimpi dikunjungi
Simbah saya yang sudah tidak ada. Saya
diberi nasihat supaya Suro ini tidak usah
pergi ke Solo. Menurut Simbah, semua
tempat itu baik dan keramat serta penuh
596
pusoko, asal semua itu bersih. Yang
belum bersih ya dibersihkan. Jadi ya …
terus semua saya bersihkan, Pak.”

“Terus apa lagi pesan Simbahmu?”

“Saya harus puasa, melek semalam


suntuk dan cukup mengelilingi rumah ini
delapan kali. Pusoko itu ada di rumah ini,
Pak. Menurut Simbah, ya Bapak itu
pusoko-nya …”

Mak dhuer … dher …! Seketika suara


petir sambar-menyambar terdengar di
dalam telinga saya dan masuk mlorot ke
dalam rongga dada. Aku jadi pusoko,
sekarang. Ciloko tenan! Pasti sebentar
lagi pusoko ini harus siap menaikkan gaji

Begitulah. Pada sore hari itu menjelang


Suro, saya lihat Mr. Rigen anak-beranak
sudah tampak bersih rapi. Rumah saya
pun kelihatan istimewa bersihnya. Di
597
halaman rumput itu tidak kelihatan
sehelai daun nangka pun tergeletak.
Hijau, rata, sehijau dan serata lapangan
sepakbola Wembley. Juga lantai dan meja
kursi di dalam rumah. Semua kelihatan
mengkilap. Adapun Mr. Rigen memakai
hem putih lengan panjang. Belum pernah
saya melihat baju dan celananya sebersih
itu. Juga Mrs. Nansiyem kelihatan bersih,
bersinar dan kelihatan tambah cantik
dalam baju hamilnya itu. Sedang Beni
Prakosa tampil dalam seragam ABRI
lengkap. Ketiga orang itu datang
menghadap saya, tiba-tiba nglesot di
depan kursi goyang kerajaan saya.

“Welehh … ada apa ini? Idhul Fitri kan


masih lama lagi datang?”

“Nuwun, Pak Ageng. Malam ini malam


Suro. Malam suci. Malam bersih-bersih
jiwa. Kami sekeluarga menghadap
nyuwun sawab dan restu dari Pak Ageng.”

598
Waktu berbicara seperti itu, Mr. Rigen
dengan hormat dan khusuk
menundukkan kepalanya, begitu juga
dengan istrinya. Adapun Beni Prakosa
meski duduk rapi bersila, asyik mengelap-
ngelap rentetan bintang jasa imitasi yang
menempel di dadanya. Rupanya itu
penjabaran wangsit, pesan dari
Simbahnya dalam mimpi malam Anggara
Kasih itu. Wadhuh … saya harus tampil
sebagai pusoko atau kebo bule ini. Tetapi,
melihat keseriusan Mr. Rigen, perut Mrs.
Nansiyem yang semangkin besar dan
Beni Prakosa yang pringas-pringis
sembari pethitha-pethiti dengan bintang
jasa dan gerilyanya, tiba-tiba hati saya
jadi trenyuh. Beginikah rakyatku harus
menyembahku sebagai pusoko? Ganti
pusoko keraton dan kebo bule yang di
Solo itu? Edyann tenan!

“Wis … wis … Mr. Rigen, kau keluarkan


jip dari garasi. Kita pergi semua malam

599
ini!”

Saya melihat mata Beni Prakosa yang


bundar itu berputar mengeluarkan sinar
hijau.

“Ke restoran, Pak Ageng? Ke restoran?”

Ya. Malam itu kami serumah makan


malam di Kentucky Fried Chicken. Saya
lupa mengecek apakah Mr. Rigen jadi
puasa dan keliling rumah delapan kali
sesudah itu …

Yogyakarta, 16 Agustus 1988

600
Ngalap Berkah Di Malam Suro

Bagi Mr. Rigen, yang kelahiran


Pracimantoro itu, pastilah tidak ada kota
yang melebihi Solo perkara keindahan,
keelokan serta keorisinalan ide-idenya.
Tentu juga bagi istrinya, Ms. Nansiyem
yang kelahiran Jatisrana. Jalan
protokolnya sejak dari Purwosari hingga
Jl. Slamet Riyadi, lebar bukan main. Satu
arah lagi. Yogya tidak punya jalan seperti
itu, kata Mr. Rigen bangga. Makanan dan
kehidupan malam? Oh … Yogya bukan
apa-apa dibandingkan dengan Solo,
suami-istri Rigen itu terus nyerocos.

“Lha, bagaimana. Kehidupan malam


Malioboro itu kan baru saja, Pak.”

“Yakk, ya tidak to kalau baru saja. Dari


dulu ya sudah ada.”

“Ning kalah lama dengan Solo, Pak.


601
Wong orang Solo itu suka kehidupan
malam karena suka tirakat, kok, Pak.”

“Weh, elok. Betul apa, Gen?”

“Eh, lha inggih. Orang Solo itu suka


jalan malam untuk nglakoni. Sambil jalan
nenuwun kepada Sing Kuwaos. Jalan
membisu, merenung ka-elokan-nya urip.
Lha, kalo sudah capek jalan-jalan begitu
berhenti. Minum dulu, nyruput wedang.
Makan nasi liwet Baki.”

Kemudian sebagai layaknya orang Solo


pada umumnya, Mr. Rigen dengan disela
dukungan mantap dari istrinya akan
bercerita secara mendetil tentang riwayat
kehidupan malam di Solo beserta tempat-
tempat jajanannya.

“Sega liwet Malioboro itu kan tiruan


Solo. Itu pun tiruan yang jelek. Tidak
gurih, tanpa areh yang putih mumpluk di
taruh di atas sambel goreng jipang. Sing

602
asli itu ya sega liwet Baki itu, Pak. Lha,
kalo tindak Solo mau mencicipi itu di
Keprabon. Yang kondang itu mBok Lemu.
Makannya harus dari daun dipincuk. Atau
Bapak mau dhahar sate kambing gaya
Solo?”

“Eh, kok kayak kamu belum tahu saja,


Gen. Aku ini kan bludreg, mana bisa
makan sate kambing.”

“Wah, sayang Pak. Sate kambing Solo


itu elok-elok, lho. Ada sate buntel
Tambaksegaran. Ada sate warung Nyus
dari Pak Man. Wah, pokoknya Solo itu ….

Pokonya bagi Mr. Rigen & family, Solo


itu uber alles, di atas segalanya. Mungkin
kebanggaan itu tidak terlalu berlebihan.
Perdana Menteri Kruschev dari Uni Sovyet
pun pernah sangat terkesan melihat
kehidupan malam Solo. Komentarnya di
Jakarta sepulang dari Solo, “Wah, orang
603
Solo memang hebat. Kalau bekerja tidak
kenal lelah hingga jauh malam …. “

Pada waktu malam Suro datang saya


kena terbujuk oleh Mr.Rigen dan kawan-
kawan lain. Merayakan malam Suro itu ya
mesti di Solo, kata mereka. Melihat arak-
arakan pusoko Mangkunegaran dan
Kasunanan. Ikut mengarak kebo bule Kiai
Slamet. Melihat lautan manusia. Nyruput
wedang dongo dan mincuk, makan di
pincuk, sega liwet di Keprabon. Dan kalau
masih belum puas, wayang orang
Sriwedari malam Suro itu mau pentas
semalam suntuk. Opo ora elok?
Begitulah, dengan jip saya yang antik itu
berangkatlah kami ke Solo. Sejak dari
Tegalondo, yang masih kira-kira dua
puluh lima kilometer dari Solo, kami
sudah melihat iring-iringan manusia
berjalan menuju kota. Mr.Rigen yang
duduk di belakang setir bertindak sebagai
guide turis internasional yang profesional.

604
Tangannya menunjuk ke kiri dan kanan.
Persis seperti guide luar negeri yang
sebentar-sebentar bilang, “to your left, to
your right, you will see … “ Dan kepala
kita akan thingak-thinguk ke kiri dan
kanan bagaikan kunyuk Gembira Loka.

“Orang-orang yang beriringan itu,


bapak-bapak, adalah orang-orang desa
sekitar Tegalondo sini. Mereka jauh-jauh
berjalan ke kota mau ngalap berkah.”

“Lha, ngalap berkah dari siapa, Gen?”

“Ya … dari Kiai Slamet si kebo bule, dari


pusoko-pusoko kraton, dari Gusti Allah.
Malam ini malam suci. Kudu jalan terus,
tidak boleh ngantuk, nanti hilang
berkahnya.”

“Tidak boleh berhenti jajan wedang dan


nasi liwet?”

“Oh, ya boleh. Tapi kalo sudah keliling


kraton.”
605
Di Keprabon, waktu kami lesehan di
tempat mBok Lemu menggelar nasi liwet-
nya yang tersohor itu, suasana malam
Suro itu sudah tampil dengan hidupnya.
Di antara kami sekelompok turis bule
menglesot, mencoba mencicipi nasi liwet.
Manthuk-manthuk menyatakan nikmatnya
sega liwet mBok Lemu. Mungkin takut
dikatakan tidak punya roso canggih oleh
kawan bulenya yang lain yang sudah lebih
in dengan dunia Solo. Semua deretan
warung di jalan Keprabon itu penuh
dijejali orang jajan. Lautan manusia
berjalan memenuhi jalan rupanya baru
pulang dari mengikuti prosesi pusoko
keraton Mangkunegaran. Sambil
menunggu Kiai Slamet dan pusoko
keraton keluar dari keraton, orang
berjalan hilir mudik di sepanjang jalan
Slamet Riyadi. Prosesi itu baru akan
dimulai pada pukul dua belas malam, saat
masuknya tahun baru Suro. Sementara
itu mereka yang datang dari segenap
606
penjuru Surakarta akan menunggu
dengan sabar. Menarik juga. Menunggu
datangnya sesuatu yang dianggap
keramat dengan berjalan hilir mudik dan
jajan duduk lesehan mat-matan.

“Pusoko keraton yang dikeluarkan itu


apa saja, Gen?”

“Wah, … saya tidak tahu betul, Pak.


Yang jelas pusoko!”

“Lho, kamu itu pernah lihat malam Suro


begini apa belum sih?”

“Ya, sudah Pak. Cuma tidak pernah lihat


jelas pusoko itu. Lha wong, orang
berjubel, suk-sukan, begitu lho, Pak. Lagi
pula tidak penting.”

“Lho, tidak penting?” Saya kaget bukan


main mendengar pernyataan Mr. Rigen.

“Iya tidak penting. Tidak bisa lihat kebo


bule Kiai Slamet juga tidak penting. Kalo
607
bisa lihat ya syukur, kalo tidak ya tidak
apa-apa. Wong yang penting itu bukan
lihatnya itu, kok, Pak.”

“Lha apanya dong, yang penting. Sudah


jauh-jauh datang. Untel-untelan lagi.
Tidak penting lihat pusoko dan Kiai
Slamet!”

“Lha inggih, yang penting itu hadir kita


di sini ini. Di tengah-tengah ombyaking
rakyat, kawulo Surokarto.”

Di Sriwedari, kami menonton wayang


orang yang malam itu memainkan
Banjaran Srikandi, riwayat lengkap
Srikandi. Jam sudah menunjukkan
menjelang pukul empat subuh. Sarworini,
primadona veteran yang sudah berumur
62 tahun itu, ikut bermain lagi bersama
rekan-rekan sesepuh yang lain. Luar
biasa! Dengan penuh gusto, energi dan
seni akting yang cemerlang, Sarworini
memukau penonton waktu memainkan
608
episode “Srikandi Edan”. Begitu juga para
sesepuh yang lain. Sepertinya pada
malam itu mereka mendapat suntikan
kekuatan remaja yang baru. Ah … tentu
saja! Malam itu malam Suro. Mereka yang
sudah exit panggung pun mesti hadir
malam itu. Hadir itulah yang penting.
Maka bagi kami pun yang tidak sempat
lagi melihat prosesi Kiai Slamet dan
pusoko kraton, karena terpaku lagi di
dalam gedung wayang orang Sriwedari,
tidak menyesal karena tidak hadir di
dekat alun-alun. Kami sudah hadir
bersama Sarworini, Listiorini, Darsi,
Rusman dan Surono di dalam gedung
wayang orang itu. Mungkin kami sudah
ikut ngalap berkah juga dengan hadir
semalam suntuk mengikuti riwayat
Srikandi.

Tetapi, waktu akhirnya saya duduk di


dalam pesawat yang akan membawa saya
dari lapangan terbang Solo ke Jakarta

609
dan merasa mengantuk sekali, saya tidak
terlalu pasti lagi apakah berkah itu sudah
turun di pangkuanku.

Di dalam gedung, saya masih ingat saya


pernah jatuh lelap untuk beberapa kali.

Yogyakarta, 1 September 1987

610
Pedagogisch Kontekstual

Pada hari ulang tahunnya yang ke-3


beberapa waktu yang lalu, Beni Prakosa
menerima berbagai macam hadiah. Mobil-
mobilan, pesawat terbang 747, pestol-
pestolan dan sudah tentu segala macam
permen dan coklat. Mr. Rigen & spouse
mengundang semua P(erkumpulan)
D(jongos) D(jongos) –nama perkumpulan
itu masih memakai ejaan lama karena
katanya, konon, sudah eksis sebelum
ejaan yang disempurnakan lahir- dan
P(erkumpulan) B(abu) B(abu) dari
wilayah kami. Organisasi ini adalah
organisasi profesional, terdaftar pada
Kanwil Tenaga Kerja, mempunyai
anggaran dasar yang sangat canggih,
memiliki kas yang terdiri dari mata uang
rupiah dan dollar Amerika.

Salah satu ritual mereka yang penting


611
selain arisan bulanan dan rapat koperasi,
adalah juga merayakan hari ulang tahun
anak-anak mereka. Rupanya kebiasaan
merayakan hari ulang tahun itu dimulai
oleh seorang teknokrat yang ikut pada
keluarga Amerika di Sekip. Buktinya ritual
itu selalu menghadirkan kue taart dengan
ditancepi lilin dan ditulisi happy birthday.
Kadang-kadang juga ditambah dengan
ditancepi bendera Amerika Serikat, The
Stars and Stripes. Tetapi, di samping kue
itu juga masih disediakan satu tumpeng
besar nasi kuning komplit sak uba
rampene. Mungkin skenario ritual itu
bersemboyan : menuju modernitas tanpa
meninggalkan kepribadian tradisi kita.

Hari ulang tahun ke-3 dari putra


mahkota Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem,
asal Pracimantoro dan Jatisrono, berjalan
menurut skenario yang sudah mentradisi
di kawasan kami. Kue taart itu besar,
berwarna putih berkembang jambon dan

612
hijau mentah. Sebelum upacara dimulai
bunga-bunga jambon itu sudah pada
mretheli karena, ya dipretheli, oleh siapa
lagi kalau bukan sang Beni sendiri.
Peniupan lilin diksanakan oleh Beni
dengan tuntas. Dengan sekali sebul
matilah tiga lilin itu. Sesudah itu mereka
menyanyikan lagu “Panjang Umurnya”.
Hanya sang teknokrat profesor Amerika
itu yang rupanya ingin show of force
dengan menyanyi “Happy Birthday to
You”.

Sebelum berangkat dari Jakarta tempo


hari, kami serumah mengadakan sidang
darurat untuk menghadapi perayaan hari
ulang tahun Beni Prakosa. Kami berdebat
sengit tentang kado apa yang mesti
diberikan. Kami setuju bahwa kado itu
harus bias dipertanggung jawabkan.
Mentang-mentang jebolan Fakultit Sastra,
Pedagogik dan Filsafat, Universitit Gadjah
Mada, istri selalu menyebut kata

613
“pedagogisch” pada hampir setiap
kalimatnya.

“Pak, sebaiknya kita kasih Beni buku


gambar, puzzle dan blok rumah-
rumahan.”

“Kenapa?”

“Itu kado yang paling pedagogisch.


Mendidik dan merangsang daya imajinasi
dan daya pikirnya.”

“Ah, aku sudah menjanjikan dia sepur-


sepuran.”

“Lho, itu kan tidak pedagogisch, Pak.


Menurut Maria Montessori, si anak jangan
dibentuk fantasinya. Biarlah dia
membentuk sendiri fantasinya. Sepur
sudah terlalu jelas bentuknya, sepur!
Kalau blok kayu kan selain bisa dianggap
rumah bisa juga jadi sepur.”

“Lho, sepur yang saya beli ini sudah


614
komplit dengan rel, stasiun dan tanda-
tanda sinyalnya, Bu. Kalau kecil-kecil
sudah dilatih begini, kalau nanti dia kerja
di PJKA nggak mungkin tabrakan kayak di
Bintaro tempo hari.”

Si Gendut, kencana wingka saya,


tertawa berderai mendengar perdebatan
saya dengan ibunya. Mungkin bagi
telinganya kedengaran absurd sekali.

“Paaaakk, Bapak. Si Beni kerja di PJKA


saja belum tentu, kok sudah dibayangin
tidak akan nabrakkan lokomotif. Kapan
maunya bapak ibunya si Beni jadi
jenderal?”

“Pokoknya sepur itu sudah terlanjur


Bapak beli. Itu juga pedagogisch-lah.
Mengajar seluk beluk perkereta apian.
Mendidik berpikir canggih.

“Bapaaak, Bapak. Wong anak baru


umur 3 tahun kok bolehnya repot banget

615
kita mikirin apa, Pak? Peda … peda apa,
Pak?”

“Tanya ibumu, tuh.”

“Pe-da-go jangan go ngucapnya tapi


chochis. Lho, bukan cocis! Chochis.
Seperti mau nggereng gitu lho, nDut!”

“Ah, sudahlah. Tenggorokan Belanda


kesumbat kerikil kali.”

Saya pun akhirnya pulang ke Yogya


beberapa hari sesudah hari besar itu.
Cerita yang saya laporkan pada
permulaan kolom ini tentulah rekonstruksi
saja dari apa yang diceritakan Mr. Rigen
anak beranak. Dengan bangga mereka
saya kumpulkan untuk saya berikan oleh-
oleh dari Jakarta. Ritual begitu selalu saya
anggap penting dan khidmat karena
fungsinya adalah untuk membentuk roso
solider dan kohesif dengan majikannya.
Rasa terima kasih dari wong cilik
616
bukankah kudu dipupuk terus kalau ingin
mencegah kontadiksi-kontradiksi dalam
tubuh masyarakat?

“Rene, rene, Le, nyedhak. Ya, mendekat


sini, Ben.”

Beni yang biasanya spontan setiap saya


tawari kue, kali ini jadi tersipu-sipu
mendekati saya. Mungkin suasana ritual
yang menekan, mungkin rasa kagum,
overwhelmed, melihat bungkusan yang
apik mengkilat disodorkan di hadapannya.

“Yang ini dari mBak Gendhut. Buku


gambar supaya kamu pinter nggambar
dan mbaca. Yang ini dari Bu Ageng. Blok
untuk bikin rumah, mobil, sepur, kapal
terbang, apa saja. Ini lagi dari Bu Ageng,
puzzle. Ini kepingan karton bisa dikotak-
katik jadi macam-macam. Dan ini, yang
gedhiii banget ini, tentu saja dari Pak
Ageng. Sepur seperti di Stasiun Tugu itu.
Tuwit, tuwiitt, jes-jes-jes, jo jajan, jo
617
jajan ….”

Dan seharian itu saya bersama keluarga


Rigen geletakan di tikar main anaknya.
Beni dengan gembiranya melihat dan
mengawasi bapaknya dan Pak Ageng
memainkan sepur-sepuran, memasang
stasiun dan bermain puzzle dan melihat
ibunya dengan asyik melihat buku-buku
gambar.

Beberapa minggu berlalu. Seperti biasa


saya terbenam pekerjaan mondar-mandir
Yogya-Jakarta hingga tidak sadar bahwa
rumah saya lengang-lengang saja. Saya
selalu berharap hari-hari pasca kado itu
akan dibarengi dengan suara gaduh
sepur-sepuran, teriakan gembira Beni
mencoret-coret buku gambarnya dan
mengobrak-ngabrik kepingan puzzle-nya.
Tidak. Rumah keliwat tertib dan sepi.

“Lho, Gen. Mana Beni, kok tidak main


sepur-sepuran-nya. Atau gambar, kek.
618
Coba bikin puzzle, kek. Di mana dia?”

“Itu di luar, di pinggir jalan nyegati


bakul-bakul yang lewat untuk ditodongi
dengan pestolnya.”

Saya melongok ke jalan. Benar saja.


Beni sedang menodong nenek tua
pengemis langganan kami, “Angkat
tangan, angkat tangan …..!”

“Lho, kok dia tidak kamu ajak main


sepur atau nggambar. Itu mainan
pedagogisch, Mister!”

“Apa, Pak?”

“Pe-da-go-gisch. Pestol itu tidak


pedagogisch, Gen. Itu mendidik anak jadi
galak, lho. Kok sepur-nya tidak
dimainkan?”

“Anaknya malas masang relnya. Saya


juga malas ngajari terus, Pak.”

619
Dari luar Beni berlari ke dalam. Pestol-
nya diacungkan kepadaku.

“Dher,dher,dher!. Angkat tangan, Pak


Ageng. Angkat tangan, Pak Ageng. Banda
apa nyawa. Banda apa nyawa …!”

Saya melirik ke Mr. Rigen. Pasti itu


ajaran bapaknya. Banda apa nyawa.
Tetapi Mr. Rigen membuang mukanya,
pura-pura tidak tahu saya lirik.

Di Jakarta, di rumahku di Cipinang, saya


laporkan fenomena kultural itu kepada
istriku yang pedagogisch. Istriku hanya
geleng-geleng kepala mendengar
laporanku. Aku sendiri tiba-tiba saja
nyeletuk, “Mungkin benar juga Arief
Budiman dan Ariel Herianto. Kontekstual,
kontekstual, kontekstual. Semua itu
kontekstual. Juga mainan anak, dong.”

“Maksudmu karena Rigen kepingin


anaknya jadi jenderal, kecil-kecil sudah
620
diajari main pestol?”

Saya tidak menjawab pertanyaan yang


tendensius begitu. Saya hanya terbayang
Beni Prakosa menodongkan pestolnya
kepada nenek pengemis itu. Angkat
tangan, angkat tangan. Banda apa
nyawa, banda apa nyawa …..

Yogyakarta, 24 Nopember 1987

621
Suro Sakmadyaning Wono

Waktu saya pulang dari Jakarta untuk


tujuh belas agustusan bersama keluarga,
saya dapati seorang tua berbaju Jawa
lengkap dengan ikat kepala duduk di
lincak teras depan. Kumisnya yang
sporadis sudah pada memutih. Pastilah
rambut yang tersembunyi di dalam iket
juga pada memutih semua. Waktu dia
menyambut saya, tersenyum sedikit
meringis, giginya juga tidak mau kalah
sporadisnya dengan kumisnya. Tinggal
do, re, mi, fa, sol, blirik semua. Sikapnya
gagah, tidak merunduk-runduk, sebagai
layaknya wong cilik yang berhadapan
dengan seorang priyagung.

“Nuwun, Pak. Kenalkan kulo pun Suro


Sakmadyaning Wono. Suro itu berani,
sakmadyaning wono itu di tengah hutan.
Jadi berani di tengahnya hutan. Ueh …
622
eh … he … he …”

Sehabis melempar bunyi ketawa yang


seperti ringkik kuda itu, seketika
mulutnya tertutup kembali. Sikapnya
tegak, kedua tangannya ngapurancang,
siap menunggu reaksi saya.

“Ya, baiklah. Kenalkan juga, saya pun


Ageng tanpa sakmadyaning apa-apa.
Saya yang kebetulan tinggal di rumah ini.
Lha, sampeyan ini sesungguhnya siapa?”

“Ueh … eh … he … he … Saya ini


dongkol jagabaya Desa Wonojati,
Pracimantoro … “

Uwahh, jadi beliau ini mantan


pangkopkamtib mini lokal, to. Dan
mengingat bahwa desanya itu masuk
laladan Praci, pastilah dia masih mambu-
mambu, bau-bau, keluarga Mr. Rigen.

“Dulu, semua hutan, bukit, berikut

623
semua isinya itu di bawah lindungan saya.
Dan waktu zaman gegeran Londo dulu,
semua tentara dan para priyayi kota yang
mengungsi di desa kami juga saya yang
melindungi mereka semua. Ueh … eh …
he … he … “

Lagi ringkik kuda dan lagi diikuti oleh


katup mulut yang semi otomatis. Saya
pikir orang tua ini unik juga. Dalam dua
tiga kalimat dia sudah dapat memberikan
sedikit otobiografinya. Tanpa diminta lagi.
Tapi, apa betul dia itu masih sanak
keluarga dari Mr. Rigen? Kalau menilik
desanya, ya memper kalau masih saudara
direktur kitchen cabinet saya. Tetapi,
kalau ditilik dari polah tingkah lakunya,
kok begitu jauh dari Mr. Rigen yang,
meski pangkatnya sudah top dalam
jenjang birokrasi rumah tangga saya,
sangat rendah hati.

Tiba-tiba Mr. Rigen datang serentak


memboncengkan Beni Prakosa pulang
624
dari sekolah. Mukanya kelihatan gugup
serentak melihat saya berhadapan
dengan orang tua itu. Mungkin tidak
mengira saya pulang hari itu. Buru-buru
dia mendekati kami berdua. Dengan
malu-malu dia memperkenalkan orang
tua itu, yang ternyata masih paman jauh
darinya.

“Ini Pakdhe Surodimedjo, Pak Ageng.


Pakdhe saya dari pihak kakak kemenakan
bapak saya di Praci. Nuwun sewu, dia
sudah beberapa hari menginap di sini.
Besok sudah mau pulang ke Praci.”

Saya jadi kasihan melihat Mr. Rigen


yang begitu gugup menjelaskan itu
semua. Saya jadi heran, kok tumben
betul dia gugup begitu memperkenalkan
saudaranya. Biasanya, saudara-
saudaranya datang dan pergi, dia tenang-
tenang saja melapor. Eh, kali ini kok
tampak agak panik.

625
“Yo wis, gak apa-apa. Tapi, namanya
kok agak berbeda dengan yang dia
sebutkan sendiri, Gen. Namanya tadi
agak lebih panjang itu, Gen.”

“Lho, siapa lagi nama sampeyan,


Pakdhe?”

“Suro Sakmadyaning Wono. Ueh … eh


… he … he … “

“Lha, rak tenan! Sampeyan kan sudah


saya pesan wanti-wanti jangan clometan
sama Pak Ageng. Ini sampeyan rak sudah
bikin saya kewirangan, malu, sama Pak
Ageng, Pakdhe!”

“Wong nama saja kok bisa bikin malu


to, Le … Le …!”

“Betul Pakdhe-mu itu, Gen. Buat saya


sama baik dan sama kocaknya, apakah
Suro itu di meja atau Suro itu di tengah
hutan. Sudahlah, Pak Suro, yang enak

626
saja tinggal di sini.”

Tetapi, pada malam harinya, waktu saya


sedang membaca di kamar kerja, Mr.
Rigen datang dengan berjingkat masuk
kamar kerja saya.

“Pak, nuwun sewu mengganggu.


Soalnya saya masih belum enak saja kalo
saya belum mohon maaf kepada Bapak
tentang Pakdhe saya. Juga saya ingin
cerita riwayat dia yang sesungguhnya.”

“Yo wis. Tidak jadi apa, Gen. Tapi,


cerita dia itu bagaimana?”

“Begini, Pak Ageng. Dia itu, seperti


Bapak sudah lihat sendiri, kurang waras.”

Dan Mr. Rigen pun meletakkan jari


telunjuknya miring di bathuk-nya. Saya
lalu menggeser tempat dudukku agar
dapat mendengar cerita Mr. Rigen
tentang pakdhe-nya yang misterius itu.

627
Pak Surodimedjo atau Pak Suro
Sakmadyaning Wono atau Pak Suro siapa
lagi itu, dahulu tidak begitu. Dahulu dia
adalah seorang jagabaya desa yang
sangat penuh dedikasi dengan
pekerjaannya. Tugas menjaga keamanan
desa dan sekitarnya dia kerjakan dengan
baik. Entah sudah berapa maling, rampok
dan kecu kena diringkusnya. Selain itu
Pak Suro juga seorang petani yang boleh
dibilang kaya. Sawahnya luas, rumahnya
joglo, kebunnya juga tidak sedikit
penghasilannya. Pendek kata, Pak Suro
itu boleh dibilang juga seorang yang
populer di desanya.

Sebagai jagabaya efektif, mrantasi.


Sebagai manusia pun dia juga sangat
sosial. Banyak sekali bantuan yang sudah
dia berikan kepada desa. Masjid dan
langgar-langgar di desa dan sekitarnya,
dialah yang paling banyak menyumbang.
Dan pribadi-pribadi di desanya, oh …

628
tidak terhitung lagi yang berhutang budi
kepadanya.

Kemudian datanglah clash kedua.


Orang-orang kota tiba-tiba datang
menyerbu masuk ke desa-desa untuk
menyelamatkan diri. Para pegawai sipil
republik, para anggota berbagai kesatuan
militer dan semi militer, bergantian
datang dan pergi ke Desa Wonojati.
Rumah-rumah di desa dikerahkan untuk
menampung mereka dan sudah tentu
juga untuk mengurus makan mereka.
Dengan penuh semangat dan dedikasi,
penduduk desa bekerja sekuat tenaga
menampung dan mengusahakan agar
para priyagung sipil dan militer kota pada
kerasan dan aman tinggal di desa. Dan
Pak Suro sebagai jagabaya diperintahkan
oleh pak lurah agar mengatur keamanan
dan ketenteraman para pendatang dari
kota itu. Tugas itu diterima dan
dilaksanakan dengan gembira. Rumah

629
joglonya disediakan untuk menampung
satu peleton prajurit. Belum lagi satu, dua
keluarga sipil yang mengungsi di desa itu
juga ditampungnya. Milik pribadinya
disumbangkan untuk mengongkosi dapur
umum.

Sampai pada satu malam, datang


musibah yang di kemudian hari
mengubah sama sekali hidup Pak Suro.
Sumini, anak tunggal Pak Suro, dihamili
oleh salah seorang pendatang itu. Bukan
main kaget dan tergoncang keluarga Pak
Suro mendengar itu. Pak dan Bu Suro
yang agaknya tidak pernah menduga dan
bersiap untuk menyambut kedatangan
bala seperti itu, jadi terguncang benar
mental mereka. Bagaimana bisa?! Orang
yang sudah diterima dengan segala
keikhlasan dan diurus baik-baik bisa
begitu tega berbuat seperti itu.

Tetapi, waktu Sumini mengakui terus


terang bahwa dia juga mencintai bintara
630
muda itu dan keluarga Pak Suro dijamin
oleh teman-temannya bahwa segera
setelah mereka memenangkan
kemerdekaan semua akan beres,
keluarga Pak Suro pun jadi lega. Sumini
akan dijemput ke kota dan satu
kehidupan baru yang juga penuh
kebahagiaan dan keindahan akan
menunggu mereka di kota. Peleton itu
pun berangkat meninggalkan desa untuk
diganti oleh peleton yang lain. Dan
bintara muda, yang mengaku bernama
Mas Lesmana Mandrakumara dan tinggal
di Yogya, sekali lagi berjanji untuk
kembali menjemputnya kelak.

Bagai Jenderal Douglas MacArthur yang


mengatakan „I Shall Return’, Mas
Lesmana pun berangkat meninggalkan
desa. Sampai berbulan, bertahun bahkan
sampai jauh sesudah kemerdekaan itu
dimenangkan. Sumini jadi gila menunggu,
anaknya meninggal waktu dilahirkan, Bu

631
Suro pun tidak lama kemudian ikut juga
mati negenes. Pak Suro berupaya ke
sana-sini untuk mengobati Sumini. Entah
sudah berapa dukun dan para waskita
dimintai tolong, tidak berhasil. Dan
Sumini makin menjadi gilanya. Bahkan
jadi berbahaya bagi warga desa karena
mulai berteriak-teriak dan sering
mengamuk. Pak Suro juga mencoba
mencari Mas Lesmana Mandrakumara ke
berbagai kota, tidak berhasil. Akhirnya
Pak Suro memasung Sumini dalam
sebuah gubuk di dalam hutan.

“Jadi, Pak, kalo Pakdhe Suro kadang-


kadang ke kota itu untuk mencari Mas
Lesmana Mandrakumara itu.”

“Juga kali ini?”

“Juga kali ini. Cuma saya apusi kalo Mas


Lesmana Mandrakumara saya dengar
sekarang dinas di luar negeri. Harapan
saya Pakdhe akan berhenti mencari
632
Lesmana dan mau mengurus Sumini yang
dipasung.”

Saya jadi tercenung. Suro


Sakmadyaning Wono. Alangkah rapuh
dan mengejutkan kadang-kadang jalan
hidup seseorang. Alangkah kadang-
kadang terasa tidak asil perang
kemerdekaan memperlakukan orang. Dan
beberapa malam sebelum itu di kompleks
Cipinang, Jakarta, saya baru berceramah
tentang makna revolusi dan kemerdekaan
kita kepada anak-anak muda di kompleks
itu …

Esok paginya, Pak Suro Sakmadyaning


Wono pamit. Pagi itu dia masih memakai
baju Jawa komplet yang dikenakan
kemarin. Cuma kali ini dia memakai
lencana merah-putih di dada sebelah kiri.

“Nyuwun pamit, Pak. Matur suwun


sampun dipun paringi penginepan lan
tedha. Ueh .. eh … he … he … “
633
Saya melihat dia berjalan digandeng Mr.
Rigen semangkin menjauh.

Yogyakarta, 23 Agustus 1988

634
Martabak, Bukan Martabat

Agak rikuh juga sesungguhnya


persatuan para pembantu rumah tangga
di wilayah kami memakai kata-kata
“djongos” (pakai ejaan lama lagi!) dan
“babu”. Para majikan mereka saja, para
anggota elite birokrasi itu, sudah melebur
dan mengubur kata “priyayi” dan
mengubahnya menjadi Korpri. Masak
mereka, para pembantu itu, masih begitu
konservatif bin kolot menamakan
persatuan mereka PDD dan PBB. Konotasi
penamaan itu masih kolonial betul.
Djongos, babu …..

“Gen, mbok nama persatuan kalian itu


dirubah yang lebih progresif begitu to,
Gen!”

Mr. Rigen menghentikan pengepelannya


dan Beni Prakosa menghentikan juga

635
pemerasan lap pelnya.

“Pripun, Pak. Nama PDD dan PBB


diganti? Tak mungkin, tak mungkin!”

“Tak mungkin, tak mungkin ….” Beni


Prakosa ikut nyelonong membeo
bapaknya.

“Halahh, tak mungkin yo tak mungkin.


Tapi nggak usah sewot kayak almarhum
Johny Gudel begitu, to. Ini bedhes cilik
juga begitu. Ikut nyerocos saja. Kenapa
tak mungkin, Mister?”

“Lha, wong sudah dicoba ganti lewat


rapat bola-bali gagal terus kok, Pak.”

“Wong ngganti begitu saja kok susah


banget to, Gen. Kan kalau sudah sadar
kata “djongos” dan “babu” itu kolonial,
menghina martabat kemanusiaan kalian,
tinggal srett, nyoret kata itu to, Gen.
Ganti apa, kek. Wong martabat kalian itu
sama saja dengan kami priyayi, eh …
636
para anggota Korpri. Ini republik sudah
egaliter, Gen.”

“Lha, nyatanya ya sudah begitu kok


Pak, nyoret mak srett kata “djongos” dan
“babu” itu. Martabat ya martabat, ning
nyatanya banyak yang masih owel itu
Pak, ngganti kata-kata itu.”

“Martabat itu masalah prinsip, Gen … “

“Pak Ageng, Beni mau martabak.


Martabak ya, Pak Ageng … “

“Huss, … bedhes cilik ngikut saja! Ini


urusan martabat bukan martabak. Sana,
ikut mbok-mu sana, kalau mau ngurus
martabak!”

Sambil membik-membik mau nangis,


Beni lari ke pangkuan Ms. Nansiyem.
Saya meneruskan wejangan tentang hak
asasi dan martabat manusia merdeka
yang sudah dijamin dalam Pancasila dan

637
UUD 1945.

“Martabat kalian kudu tetap dijunjung


tinggi. Jangan takut. Nanti aku yang nge-
back jadi deking kalian.”

“Lho, Bapak ini. Wong sudah diaturi


tidak bisa kok nekat saja, lho. Begini lho,
Pak ceritanya …..”

PDD dan PBB itu ternyata memang


sudah mengadakan rapat pleno gabungan
beberapa kali untuk mengubah nama
mereka. Bukan hanya saya dan para
kolega, seperti Prof. Lemahamba, Dr.
Wismangrebda dan Ir. Mohammad
Ngelmu Saqhohah saja yang rikuh
melihat fenomena per-djongosan dan
perbabuan itu. Ternyata pemerintah pun
begitu. Kanwil Tenaga Kerja sudah
menghimbau mereka agar mengubah
nama persatuan mereka itu.

Dan mereka pun lantas mengadakan


638
rapat pleno gabungan itu. Berbagai nama
baru diajukan dan perdebatan pun jadi
sengit. Menurut Mr. Rigen ada yang usul
mengubah nama itu menjadi “Persatuan
Karyawan Wisma Pancasila”. Ditolak,
karena itu nanti dikira karyawan
guesthouse Wisma Pancasila. Kemudian
ada lagi yang mengusulkan “Serikat Kaum
Pekerja Rumah Tangga”. Ditolak lagi. Itu
terlalu mengingatkan mereka kepada
serikat buruh zaman PKI masih jaya dulu.
Kan sekarang sudah Pancasila, kata salah
seorang pemimpin mereka. Nama itu
mesti ada Pancasila-nya. Maka nama baru
pun diajukan lagi, “Korps Karyawan
Keluarga Wisma Yang Pancasila”
dipendekkan menjadi
“Korkarkelwisyapan”. Wah, terlalu
panjang. Lagi pula nanti dikira mau
menandingi Korpri. Mana mungkin. Kan
Korpri itu majikan-majikan kita, begitu
dalih mereka. Dan juga, kalau
kependekan yang panjang itu diucapkan
639
dengan memotong di tengah, Kokarkel-
wisyapan, kok kedengarannya kayak mau
pamit pergi saja. Gagal lagi. Akhirnya
seorang anggota wanita mengacungkan
tangannya. Mengusulkan, “Mbok … jadi
orang itu yang prasojo saja. Saya usul
nama itu diganti Kawula Bendera
Ngayogyakarta …” Usul itu memancing
kegegeran. Lho, lho, lho … kok pakai
“bendera” dan “kawula” segala. Kan kita
sudah merdhika, mbakyu! Dan menurut
Mr. Rigen, mbakyu itu sambil tertawa
bilang, “Merdhika? Merdhika mbel tut!”
Maka rapat pleno gabungan itu pun
segera bubar tanpa mengambil keputusan
apa-apa. Artinya mereka ya tetap
mempertahankan nama PDD dan PBB
saja.

“Begitu lho, Pak, ceritanya. Susah kan,


Pak, ngatur batur-batur?”

“Wah, kalian kok belum-belum sudah


minder dan keburu putus asa begitu.
640
Frappe, frappetoyours, Gen. Martabat,
Gen, martabat …. “

“Wah, Bapak kok terus tape, tape mak


nyuss. Martabak, martabak …. “

Seminggu sesudah itu ganti kami


pengurus Paguyuban Penghuni Wisma
Negara bersidang. Pengurusnya ya Cuma
empat orang. Prof. Lemahamba, Dr.
Wismangrebda, Ir. Mohammad Ngelmu
Saqhohah dan saya sendiri. Acara tunggal
membahas petisi dari PDD dan PBB.
Adapun isi petisi itu demikian ;

Hunjuk Beritahu,

Bahuasanya harga beras dan baju dan


jajan anak-anak naik. Muhun dengan
sangat :

a)Gajih dinaekkan mulai ini bulan

b)Dapat tunjangan lauk pauk dan uang


jajan
641
c)Selesai

d)Matur nuwun sangat

Tertanda atas nama sadaya anggota :

Sadimin H.P (ketua)

Riyadi H.S (sekeretaris)

Samijem B (bendahara)

Marsinem, mBok (sesepuh penasihat)

Kami memutar otak membaca petisi


tersebut. Jelas petisi itu tidak segalak
petisi 50, bukan pula susastra para
sastarawan Yogya, tetapi isinya tegas,
lempeng dan bias dimengerti. Kami
berembuk dan berembuk. Memutar otak
karena naluri kami sebagai akademisi dan
intelektual bukankah mesti memutar
otak. Juga untuk petisi yang begitu
lempeng dan jelas serta buat saya pribadi
642
agak mengharukan juga.

“Apa-apan ini!” seru Prof. Lemahamba


yang lemahnya amba dan losmennya
sukses.

“Kita sendiri sebagai abdi Negara belum


naik gaji. Kok mereka minta naik gaji.”

“Dihitung dengan rumus statistik apa


pun, kenaikan kebutuhan mereka
dibanding dengan kenaikan kebutuhan
dan tetapnya pendapatan kita tidak
signifikan, dus, permohonan mereka tidak
relevan.” Ir. Mohammad Ngelmu
Saqhohah menyampaikan pendapatnya
yang sangat ilmiah.

“Ini pasti ada unsur kiri, kalau tidak


malah PKI dalam tubuh PDD dan PBB.
Wong kita masih prihatin begini, kok.
Mereka itu mbok ya rada Pancasilais
sedikit begitu, lho!” Dr. Wismangrebda,
yang rumah-rumah pribadinya dikontrak

643
para kontraktor asing, menyampaikan
pendapatnya dengan penuh tepo sliro.
Akhirnya, kami memutuskan, untuk
sementara, belum bisa menerima petisi
itu.

Dan saya, yang katanya pemain film,


akan bisa berakting di depan pengurus
PBB dan PDD itu, dus saya yang harus
menyampaikan jawaban kami itu. Matik
aku! Aku yang tempo hari dengan penuh
gusto berpidato tentang martabat kepada
Mr. Rigen. Dan seperti itu belum cukup.
Pertemuan itu ditutup dengan masuknya
Ibu Lemahamba menyilakan suguhan.
“Monggo, monggo lho. Martabaknya
pumpung masih anget. Monggo, monggo
…. “

Dan martabak itu memang masih


anget. Mak nyusss ….!!

Yogyakarta, 8 Desember 1987

644
Badai Pun Sudah Berlalu

Kampanye pemilu datang dan pergi


bagaikan badai di kota ini. Sekali akan
datang berembus dahsyat membawa ekor
lesus berwarna hijau, kemudian ekor
puting beliung yang berwarna kuning,
kemudian lagi prahara berwarna merah.
Setiap ekor panjang berwarna dahsyat itu
mengeluarkan suara gemuruh, gemelegar
bagai guruh yang tidak mau berhenti.

Dahulu, zaman saya masih anak-anak,


gejala seperti itu akan ditanggapi sebagai
berbagai macam tanda atau sasmita.
Satu saat mungkin ekor lesus yang
berwarna hijau, kuning atau merah itu
akan ditanggapi sebagai segera
datangnya bala berupa pageblug, musim
penyakit menular, yang dahsyat. Pagi
sakit, sore sudah meninggal. Pagi cuma
mules, sore sudah mati kejang. Atau,
645
karena badai itu diikuti oleh suara
gemuruh, ditafsirkan akan datangnya
lampor, yakni konvoi “kendaraan magic”
dari kerajaan lelembut Nyai Roro Kidul
yang mengawal dan mengiringi ratu
lelembut yang konon berwajah cantik
tiada tara. Menurut para tua-tua
kampung pada waktu itu, Nyai berkenan
datang ke salah satu kota magic, Solo
atau Yogya, untuk show of force,
bertamasya atau mungkin menghadiri
konferensi meja bundar di keraton raja-
raja Jawa (harap jangan ditanyakan apa
agenda konferensi itu ….. ). Apa pun,
badai beserta suara gemuruhnya yang
berkepanjangan dan ekor panjang
berombak yang berwarna itu tidak akan
dibiarkan berlalu tanpa interpretasi
canggih dari penduduk. Semua melihat
gejala itu sebagai satu sistem tanda yang
cepat atau lambat diperkirakan akan
membawa konsekuensi perubahan yang
gawat buat negeri ini. (Para ahli semiotik,
646
makanya jangan kesusu kagum pada ahli
teori Barat dengan cas-cis-cus bilang
kalau di Amerika … di Australia …….
Sejak zaman dahulu orang Jawa sudah
tahu apa itu semiotik. Semua sudah
dilihat sebagai satu sistem tanda, lho!).

Mas Joyoboyo, penjaja ayam panggang


Klaten yang tiap hari Minggu setia
menggedor pintu rumah dan langsung
duduk nglesot di lantai dan dengan
keterampilan seorang pro membeber
paha-paha dan dada-dada yang coklat
kehitaman di depanku, pada suatu
Minggu pagi bercerita dengan penuh
semangat dan emosi. Tentu saja tentang
kampanye. Wong sedang musim
kampanye.

“Den, wah sudah to, kampanye itu jan


elok tenan!”

“Elok-nya?”

647
“Lho, wong kampanye kok ngangge
gontok-gontokan, ancam-ancaman
segala. Lha, dor … wonten sing mati!”

“Lho, itu khan namanya resiko pesta


demokrasi, Mas. Pesta ndangndut aja ada
resiko mati, je …”

Mas Joyoboyo terus aja dengan


laporannya. Mungkin kata resiko (yang
menurut saya kata kunci yang penting)
tidak digubrisnya, mungkin ya tidak
didengarnya karena “resiko” itu mungkin
ya bukan kata apa-apa. Tangannya terus
cak-cek menyambar dada, tepong dan
menthok dibungkusnya – dengan cekatan
– dalam daun pisang. Dan dengan
tangannya mengacung-acungkan paha
mulus kecoklatan, dia meneruskan
cerocosannya.

“Lha, pripun. Kampanye itu nggih,


mestinya ya apik-apikan mawon. Wong
Jowo itu „kan ya mestinya rukun saja.
648
Kampanye kok jor-joran. Kampanye itu
sing guyup gitu, lho. Baris-baris bareng,
nyanyi bareng, njoget bareng, saling muji
golongane dhewe-dhewe. Rak begitu?
Wong yang pisuh-pisuhan kampanye itu,
kalau habis pemilu ya bareng-bareng saya
lagi cuma dodolan ayam panggang atau
kuliah lagi sama-sama anak saya lho. Kok
sekarang itu bolehnya gawat, lho.
Pahanya Den, besar, empuk, ayu, coklat ..

“Sampeyan itu pripun, Mas. Ya, ini


demokrasi tenan. Kalau kampanye boleh
ndongeng program dan kehebatannya
sendiri-sendiri. Bebas. Wong demokrasi,
kok! Lho, sing pinter dodolan kampanye
nanti nek coblosan dapat suara
terbanyak. Terus dia nanti yang akan
„ngatur pemerintahan. Pesta demokrasi,
kok Mas …”

“Den, niki dadane dua, mentoke dua,


pahane papat. Lha, roti santen
649
tengkoweh loro. Semua delapan ribu dua
ratus empat puluh sen. Maringi duit pas,
ya Den!”

Mau apa lagi kecuali membayarnya?


Uang pas recehan itu saya pinjam dari
para pembantu di belakang. Suara rakyat
terus terdengar lagi. Penggeng eyem, …
penggeng eyem, … penggeng eyem …

Rigen adalah pembantu rumah yang


sudah ikut saya selama sepuluh tahun.
Pada hari ultah angkatan bersenjata dua
setengah tahun yang lalu, ia punya anak.
Dinamakan Beni Prakosa. Cita-cita orang
tuanya, minimal, … minimal, anaknya
kelak mesti jadi pati ABRI. Dia melihat
kelahiran pada hari keramat, begitu juga
dalam rangka sisten tanda.

Pada musim kampanye itu setiap sore


dia anak-beranak akan siap berdiri di
pinggir jalan nonton gelombang badai
kampanye lewat gemumruh di depan
650
hidungnya. Dasar anak calon jenius, si
Ben yang baru berumur dua setengah
tahun itu, sudah apal semua tanda
gambar.
“Gambar nomor satu apa, Le?”
“Srengenge!” Tangannya ngacung
jempol.
“Kalau gambar nomor duwa, Le?”
“Pohon jambuuu!” Tangannya ngacung
jari dua.
“Lha, kalau gambar nomor tiga, Le?”
“Kebo, kebo!” Tangannya ngacung jari
tiga.
Dasar calon jenius. Sampai sekarang,
jauh sesudah badai kampanye itu berlalu
dan kita menanti-nanti hasil ramalan Mas
Joyoboyo, si Ben masih terus
berkampanye. Mau makan; hidup …
hidup srengenge! Mau makan lagi; hidup
651
… hidup wit jambu! Mau makan lagi;
hidup kebo … hidup keboo! Dasar calon
jenius. Seharian kuping kita kudu sabar
dan senang mendengar excitement jenius
kita itu.
Hari Minggu pertama sesudah pemilu,
Mas Joyoboyo sudah nglesot di depan
pintu lagi. Sambil dengan terampilnya
membeber dada dan paha dia laporkan
dengan nada gembira.
“To, pripun, Den! Saya bilang apa!”
“Lho, lha bilang apa?”
“Bar kampanye dan coblosan semua,
„kan mulih ke kandange dhewe-dhewe!
Sing bakul seperti saya ya rukun jadi
bakul lagi. Sing cah mahasiswa ya
kembali sekolah lagi. Sing babu, hihiikkk,
ya jadi babu lagi. Apa? Wong tiyang Jowo
saja lho, Den!”
Saya tersinggung entah kena apa.
652
“Lho, wong Jowo, apa? Wong Jowo
kenapa …!”

“Niku wau dadane dua, pahane dua,


mentoke ….. “

Saya tidak mendengar lagi apa yang


diomongkan. Cepat-cepat saya rogoh
dompet. Saya bayar jreng. Dan dia pun
kabur sambil …. Penggeng eyem …
penggeng …

“Mister Rigen, kowe nyoblos apa,


hah?”
“DPR wit jambu, tingkat satu
srengenge, tingkat dua kebo.”
“Lho …?”

“Lha, nyoblos apa saja „kan saya tetap


jadi batur sampeyan, to, Pak ….. “

Yogyakarta, 12 Mei 1987

653
Status

Mister rigen, yang bukan hanya


berpangkat direktur jenderal dari kitchen
cabinet saya, tetapi juga komandan
satpam rumah dan sewaktu-waktu juga
sopir pribadi, pada suatu hari mengeluh
kepada saya.

“Wah, Pak, knalpot jip itu bocor lagi.


Suaranya nggegirisi seperti mobil balap
anak-anak muda.”

“Ya malah keren to, Gen.”

“Ayakk, Bapak ki. Jip sudah butut


begitu mbok diganti saja, Pak.”

“Huss, jipnya embahmu apa!


Seenaknya aja diganti. Itu jip negara.
Kalau ambrol baru boleh diganti, tahu!
Tur negaranya baru prihatin, tidak punya
duit.”
654
“Lhaa, ya negara. Maksud saya, Bapak
mundut ngredit mobil sendiri. Wong
bapak-bapak lain sudah pada ngredit
begitu, kok. Malah ada yang sudah jreng
apa, lho.”

“Yo ben, Gen. Wong saya ini tidak


mampu ngredit. Apa lagi jreng. Tangeh
lamun. Lha, yang mau dipakai ngredit
dan jreng itu apa to, Gen … Gen. Wong
kamu tahu gaji tuanmu ini berapa.”

“Lhaa, ya gaji. Sepakan seminar-


seminar. Bapak blebar-bleber ke mana-
mana itu mosok tidak cukup to, Pak?”

“Ohh, kowe tak sepak pisan! Blebar-


bleber. Kamu kira banyak to duit blebar-
bleber itu? Ora, kamu kok tiba-tiba begitu
getol mendesak saya ganti mobil baru itu
kenapa?”

“Ya, tidak apa-apa, Pak. Begitu saja


usul. Ee … kan ya saya ini ikut senang
655
dan mongkok, to Pak, kalau Bapak punya
mobil sendiri yang keren. Catnya mulus.
Suara mesinnya tidak kemrosak seperti
lampor. Pintunya halus kalau ditutup, mak
beupp, tidak glodakan seperti pintu bui.
Dan kalau ibu sama putri-putri rawuh dari
Jakarta mau ameng-ameng kan ya lebih
pantes, lebih grengseng kalau mobilnya
baru, to Pak.”

“Wis, .. wis, nyapu latar sana.


Omonganmu mulai manas ati.”

Mr. Rigen tersenyum klejingan pergi


menyambar sapu terus ke halaman
depan. Waktu suara sapunya kedengaran,
krek-krek, saya tersenyum sendirian.
Ngunandika. Lha, ya, wong namanya
wulu cumbu. Kalau tidak memasukkan
input pikiran yang cemerlang tetapi
gendeng bukan wulu cumbu namanya.

Seminggu kemudian waktu saya


sedang leyeh-leyeh di lincak bambu tutul,
656
Mr. Rigen datang bersama koleganya
anggota kitchen cabinet dari blok lain.
Menurut Mr. Rigen, majikan kawannya itu
sekarang sedang bingung mau melego
mobil kreditannya, yang baru berumur
satu bulan. Masih kinyis-kinyis, baru, kata
Mr. Rigen.

“Lha, Bapakmu kok mau melego


mobilnya kenapa, to?”

“Lhaa, ya itu, Pak. Bapak saya itu


sambat, mengeluh cicilan yang
dicengklong dari gaji tiga bulan itu, kok
terasa makin berat.”

“Lho, lha apa sebelumnya itu tidak


diperhitungkan, to?”

“Dulu, Bapak saya itu kan banyak


proyeknya. Kecil-kecil tapi renes, ada saja
proyek ini dan itu. Sekarang nggak tahu,
kok mak thel, Bapak tidak pernah blebar-
bleber terbang ke Jakarta, Medan,

657
Banjarmasin, Menado dan entah ke mana
lagi.”

Saya tersenyum, merasa mendapat


kawan sepenanggungan kena krisis
proyek. Memang negoro sekarang baru
sepi ing proyek rame ing utang ..

“Terus, kersane Bapakmu itu apa


sekarang?”

Mr. Rigen yang dari tadi diam saja


terus dengan sigap menyahut.

“Ya, Bapak ambil oper saja. Masih


bagus lho, Pak. Corolla DX warna endog
asin. Cukupan untuk keluarga kecil …”

“Eeisshh, gundulmu kayak endog asin.


Lha, terus Bapakmu itu mau melego ke
mana? Saya kan tidak punya duit.”

“Ya kalau bisa kepada bapak-bapak di


kompleks sini. Katanya teman sendiri, tur
tidak menyolok mata. Kalau dijual keluar
658
kompleks, wah … malu-maluin, kata
Bapak saya.”

“Wee, lha wong uang uangnya sendiri


kok malu.”

“Rupanya Bapak dan Ibu saya itu


sekarang sedang butuh betul, lho, Pak.
Soalnya Ibu itu sudah terlanjur janji mau
membelikan Den Rara orgen kalau
ketrima di ngGajah Modo.”

“Lha, apa sudah pasti Den Rara-mu itu


ketrima di Gama?”

“Ya, belum Pak. Tapi bolehnya


ngrengik, mendesak-desak Ibunya itu
sudah sejak tahun Dal.”

Dialog pagi itu saya tutup dengan


permintaan penyesalan yang sangat
kepada kolega di blok X karena tidak
dapat menolong ngoper mobil apalagi
mencarikan orgen …

659
Waktu pulang rutin ke Jakarta, rumah
di Cipinang itu terasa kosong dan sepi.
Saya bangga melihat rumah itu. Dengan
congkaknya saya berkata kepada
keluargaku yang pada nglesot di depan
televisi.

“Ini, lho, rumah intelektual sejati.


Kosong, sepi, nggak ada apa-apa. High
thinking plain living. Berpikir canggih,
hidup prasaja.”

Istri dan anak-anak saya, termasuk


menantu pada melongo melihat saya tiba-
tiba berkoar begitu.

“Nggak sari-sarinya, Babe pidato, lho.”


Si Gendut, si tukang meledek mulai
menembak.

“Huss, diam dulu kau. Ini penting


punya semboyan seperti itu. Gandhi yang
mulai dengan semboyan itu. Kan
sekarang sedang prihatin.”

660
Rupanya sore itu bukan sore yang
tepat buat pidato kesederhanaan. Si
Gendut, kencana wingka saya yang
wuragil, menuntut makan luar di hotel
karena sudah berbulan-bulan tapa brata
hidup di ujian tes ke ujian tes.

Dan tuntutan itu rupanya secara


aklamasi sudah disiapkan dan disetujui
oleh seluruh penghuni rumah. Hak veto
saya pun tidak mungkin mempan dalam
keadaan seperti itu. Maka tidak ada jalan
lain daripada ikut mereka. Untung di
kantong ada tambahan dua kali honor
kolom ini. Kalau tidak …

Di hotel Aryaduta, coffee shop itu baru


selesai dipugar. Interiornya jauh lebih
indah dan mewah dari sebelumnya. Musik
klasik ringan pelan mengalun. Bau uap
kopi Nescafe, keju lasagna lewat
membelai hidung dan wajah keluargaku
yang selalu hidup sederhana, kelihatan
gembira tetapi serius sekali melahap
661
pesanan mereka. French soup, lembang
salad dengan dressing thousand island,
lasagna, pizza, roast beef open sandwich,
beef steak medium rare …

Saya tersenyum ingat betul angka-


angka yang tertera di daftar menu. Tidak
mengherankan kalau suara yang
terdengar waktu saya mengunyah roast
beef-ku berbunyi, status, status, status,
status ….

Yogyakarta, 21 Juli 1987

662
Dollar Rush

SAHABAT saya, Prof. Dr. Lemahamba,


M.A, M.Sc, Ph.D, menasihati saya agar
dalam musim dollar rush alias demam
balapan membeli dolar seperti sekarang
ini saya tidak ketinggalan zaman. “Belilah
dolar sebanyak mungkin. Atau kalau mau
lebih sip, belilah Yen. Simpan rupiah
berabe. Nilainya merosot terus.”

Saya manggut-manggut
mendengarkan dengan penuh perhatian
penjelasan nasihatnya yang panjang
lebar. Penjelasannya ilmiah, tetapi tidak
ruwet, to the point, tetapi kalimatnya
canggih-canggih banget. Yang penting
jelas dan saya mudeng. Maklum kadang-
kadang para ilmuwan itu, karena
pendidikan dan bacaannya yang serba
luar negeri, sangat rumit bahasanya.
Tinggi, indah dan tidak memudengkan.
663
Tidak demikian dengan sahabatku yang
satu ini. Panjang, lebar, canggih, rumit,
teoritis dan praktis, penuh dengan
hitungan di kalkulatornya yang
digerakkan dengan tenaga matahari
tetapi kok ces-ces-ces pleng, jelas begitu,
lho! Maklum titelnya saja apes-nya satu,
dua, tiga, empat, lima lho! Doktor dalam
bidang matematika, M.A. di bidang
ekonomi dan M.Sc. di bidang arsitektur
pertamanan. Orangnya sibuk sekali. Jadi
konsultan sana dan konsultan sini.
Blebar-bleber Yogya-Jakarta-Singapura-
Tokyo-Ngawi enak saja nyengklak plin
Garuda, SIA, JAL kayak si Beni Prakosa
nyengklak rak piring teriak-teriak Solo-
Plambanan, lho!

Orangnya sosial dan idealis, patriotik


lagi. Buktinya nasihatnya itu demi
kuatnya ekonomi kita, dan untuk nasihat
itu, dia hanya nanti saja minta komisi
sedikit dari bank atau money changer

664
kalau saya mentransfer rupiah saya ke
dalam dolar. Mau minta komisi dari saya
rikuh. Wong sahabat, je! Lagi pula dia
sukses di bidang jual beli tanah. Di
samping kesibukan mengajar dan jadi
konsultan itu beliau ternyata juga
pedagang tanah. Lemah dalam bahasa
Jawa, maksud saya …

“Sudahlah. Lekas beli sana. Dolar atau


Yen. Nanti kalau beli langsung
dimasukkan lagi dengan rollover …”

Dan dia pun dengan jelasnya lagi


menerangkan apa itu sistem simpan
rollover di bank. Saya pun merasa sangat
berterima kasih dan bersyukur punya
sahabat yang begitu baik dan hebat.

Di rumah saya segera mengadakan


rapat kabinet darurat. Maklum ini mesti
di-tackle cepat demi keamanan posisi
keuangan rumah tangga saya. Karena
rapat ini rapat ekuin, sidang kabinet juga
665
sidang kabinet terbatas. Anggota kitchen
cabinet di bidang gerakan wanita (Mrs.
Nansiyem) dan di bidang pemuda dan
olah raga (Beni Prakosa) tidak perlu ikut.
Jadilah rapat itu rapat kabinet yang
terbatas betul. Wong cuma saya dan Mr.
Rigen yang di kitchen cabinet kira-kira
seperti menko di bidang ekuin dan
polkam. Inilah susahnya rumah tangga
duda-jejaka darurat, kabinet saja kecilnya
bukan main.

“Jadi, Bapak mau mendolarkan semua


rupiyah Bapak? Banyak, Pak, yang mau
didolarkan?”

“Huss, ya tidak. Sing perlu didolarkan.


Wong rupiyah memelas kayak gini ajinya.”

“Lha, memelas, memelas, kan uang


kita sendiri to, Pak. Terus nanti kalau
didolarkan semua, kalau belanja di Pasar
Demangan, bagaimana?”

666
“Ya, tidak didolarkan semua, bento!
Disisakan sedikit buat keprluan sehari-
hari.”

“We, lha, Pak. Rupiyah untuk


keperluan sehari-hari itu juga memang
sudah pas sampai akhir bulan. Mangka
bapak gajian baru paling cepat tanggal
tiga. Kan pakultas sastra kalau gajian …
..”

“Wis, wis, tidak usah ngece fakultasku.


Kalau tidak ada fakultas ini mau jadi apa
negeri ini …”

Pagi itu saya pergi ke bank. Saya mau


menguangkan cek dolar Hongkong saya
ke cash dolar Amerika atau Yen terus
saya rollover ke bank itu. Jumlah dolar
Hongkong saya itu tidak banyak. Itu pun
gresek-gresek nemu cek dari penerbit
kumpulan cerpen saya yang diterbitkan
dalam bahasa Inggris oleh Heinemann di
Hongkong. Jumlahnya $ 200,- Hongkong.
667
Sedikit memang. Pokoknya mulai hari itu
aku memang mau serius simpan dolar.
Lama-lama kan kuat juga ekonomiku.
Mosok jadi dosen kok kere terus. Untung
ada Prof. Lemahamba, lho!

Tapi ciloko! Cek itu cek Shanghai Bank.


Karena saya tidak punya simpanan di
bank itu, saya mesti mentransfer cek itu
ke bank account kantor saya. Itu pun
mesti dikirim teleks ke Hongkong dulu.
Sesudah dipotong ongkos teleks,
administrasi dan komisi kira-kira kalau
mau ditarik (sesudah ada surat
keterangan dengan cap universitas) untuk
dimasukkan ke program rollover, baru
kira-kira satu dua bulan lagi bisa
dilaksanakan. Dan jumlahnya itu, juga
tinggal sedikit sekali, kata nona bank
yang melirik kayak Meriam Belina. “Habis,
dolar Hongkong memang rendah betul
kursnya, Pak!” sekali lagi lirikan Meriam
Belina. Bersama itu angleslah hatiku.

668
Dengan gontai saya pelan-pelan keluar
bank. Cek dak remas-remas di tangan.
Saya ingat di kamus Inggris-Jowo Mr.
Rigen tempo hari arti rollover adalah
“ngglundung”. Wah, memang ngglundung
aku sekarang. Dan di luar aku papasan
dengan Prof. Lemahamba.

“So, my friend, dollar or yen? Dollar or


yen?”

Aku terkesima. Coro Inggris, lho, Mas


Profesor.

“Yen saja, lebih sip. Yen, yen, yen …. “

Oh, Allah, Mas Profesor, ratapku dalam


hati. Yen, yen, yen.

Yen ing tawang ono lintang …….

Yogyakarta, 23 Juni 1987

669

Anda mungkin juga menyukai