DAFTAR ISI
Pengantar GM ............................................. 1
Ditya Nguntal Arto Negoro ........................... 12
Rapor Beni Prakoso ..................................... 24
Si Gendut Sakit Gondongan .......................... 35
Mbandung, Mercedez dan Nasionalis Kiri ........ 44
Mas Prasodjo Legowo .................................. 55
Sang Pemimpin .......................................... 67
Ngarsadalem Sudah Seda, Hidup Ngarsadalem!
................................................................ 77
Koran Itu Dulu Seperti Air Bengawan Solo ...... 87
Mr. Rigen Menjangkau Langit ........................ 97
Halo-Halo & Prof. Surapon.......................... 106
Pasca Lebaran .......................................... 118
Di Republik Yang Egaliter Ini....................... 127
Senyum, Kekasihku Senyum ....................... 135
Mikul Dhuwur, Mendhem Jero ..................... 142
Tentang Gaya Hidup Jakarta, nJukja dan Ngawi
.............................................................. 152
Subur Kang Sarwo Tinandur ....................... 161
Air Dan Hidup Ngrekasa ............................. 170
Sukses Nggendhong Lali ............................ 176
Service .................................................... 184
Rapat Meja Bundar Menjelang Lebaran ........ 189
ii
Mr. Rigen Can Do No Wrong ....................... 197
Kami Bangsa Tempe .................................. 204
Senam Pagi Mrs. Nansiyem ........................ 211
Eman-Eman Wanita................................... 221
Pariwisata Dimana-Mana ............................ 231
Madam .................................................... 241
Tentang Main Sabun.................................. 251
Pada Suatu Senin Pagi Sesudah Lebaran ...... 258
Kami Bangsa Tempe .................................. 267
Jebule … ................................................. 274
Saudara Flu ............................................. 287
Haagen Dasz vs Es Tung-Tung .................... 298
Roti Dan Permainan .................................. 308
Nostalgia ................................................. 316
Gudeg, Kultur dan Kita .............................. 325
Menjelang Tahun Baru ............................... 338
Pariwisata Dimana-Mana ............................ 349
Mas Joyoboyo Dikejar Target ...................... 359
Kencana Wingka ....................................... 367
Never On Sunday...................................... 373
Melik Nggendhong Lali............................... 380
Sekaten Telah Lampau............................... 390
Musim Bal – Balan .................................... 399
Sore-Sore Tentang Gusti Allah..................... 408
Mudik Lebaran dan Rigenomics ................... 415
Sawang Sinawang Waktu Lebaran ............... 423
Sawang Sinawang Waktu Lebaran ............... 431
Air Dan Hidup Ngrekasa ............................. 439
iii
Raden Soemantio ..................................... 445
Pasca Lebaran .......................................... 455
Beni Prakosa Masuk Sekolah....................... 463
Semeleh .................................................. 473
Pak Ngalmus Alias Mister Almost ................. 479
Uber Alles ................................................ 489
Wahyu Cakraningrat .................................. 499
Taksi AC Jakarta ....................................... 508
Ketoprak dan Desa .................................... 514
Melaksanakan Nglobi Untuk Pak Ngalmus ..... 522
Mr. Rigen Menjangkau Langit ...................... 534
Mister Blue Moon ...................................... 543
Di Radio, Aku Dengar …............................. 551
Merdeka, Mr. Rigen ................................... 563
Membina Budaya Wong Cilik ....................... 574
Hidup Bagaikan ….. ................................... 583
Malam Suro Mr. Rigen................................ 591
Ngalap Berkah Di Malam Suro..................... 601
Pedagogisch Kontekstual ............................ 611
Suro Sakmadyaning Wono.......................... 622
Martabak, Bukan Martabat ......................... 635
Badai Pun Sudah Berlalu ............................ 645
Status ..................................................... 654
Dollar Rush .............................................. 663
iv
Pengantar GM
2
loncatan pikirannya, kombinasi kocak
metaphor dan pilihan katanya, juga nada
komentarnya yang seperti bergumam,
semua begitu meluncur seenaknya.
Semuanya menunjukkan bagaimana
eratnya hubungan yang diciptakannya
antara dia dan pembaca yang
dibayangkannya akan mengikuti
tulisannya.
4
“mengkhianati” sifat tanpa pretensi
tulisan-tulisan ini, saya ingin mengatakan,
bahwa Mangan Ora Mangan Kumpul
akhirnya adalah rekaman, juga komentar,
tentang masyarakat Jawa yang sedang
dalam peralihan.
6
dalam proses “the making of economic
society”. Inilah zaman ketika uang kian
menjadi penting, juga bagi dirinya sendiri
yang masih suka menikmati gaya hidup
yang santai dan “hedonistis” kecil-kecilan,
sementara memegang uang –
sebagaimana layaknya priyayi – bukanlah
kemahirannya. Anda akan melihat
bagaimana ia memecahkan, sering secara
ad hoc, dilema antara hidup pas-pasan
dan hidup dengan nyaman. Anda akan
melihat, sementara itu , khasanah
informasinya, pergaulannya dan
renungan-renungannya.
7
tentu saja tak selamanya dipakai – yang
menyebabkan kata kitchen cabinet ini
sekaligus sebuah parodi dan juga
plesedan, karena Mister Rigen pada
dasarnya adalah apa yang kini disebut
sebagai “pembantu”, dan dulu disebut
orang Jawa sebagai “batur” yang tentu
saja tinggal dan bekerja dekat dapur.
9
memberikan kearifan memandang hidup.
10
mencerminkan kedua-duanya. Namun
intinya tak spesial Jawa, bahkan universal
: intinya adalah moderation – suatu hal
yang bisa kita dapatkan pada hadist Rasul
ataupun filsuf Yunani, pada pemikiran
Camus ataupun pada nasihat
Wedhatama, agar kita tidak terlampau
jauh melangkah, agar kita tidak kadohan
panjangkah.
11
Ditya Nguntal Arto Negoro
“Pantês bagaimana?”
“Lantas?”
14
“Wah, lha bagaimana saya tahu ada
danyang buto segala. Tahu saya main
wayang ya main begitu saja, Gen. Terus
bagaimana?”
17
Kies Slamet, salah seorang penari
gagahan profesional terbaik sekarang ini,
dengan serius berhadapan dengan kami
gerombolan buto, raksasa, yang hanya
mau lebih serius untuk bidang-bidang
yang lain (yang lebih menguntungkan).
Sebagai Rama Bargawa yang mengerikan
itu, Kies Slamet membabat kami dengan
seriusnya. Dengan tidak kalah seriusnya
(setidaknya begitulah itikadnya)
gerombolan itu mênggêlundung satu
demi satu.
18
diperbolehkan ikut main dan masih
ditambah masuk liputan media massa.
20
orang yang masih tinggal? Mungkin tidak
lebih dari empat atau lima kelompok
wayang orang profesional yang masih
berdiri. Untuk memakai istilah Mr. Rigen
mungkin danyang-danyang wayang orang
itu sudah banyak yang pindah men-
danyangi pertunjukan lain yang lebih
punya gebyar dan, tentu saja, lebih
menguntungkan. Kalau betul kepercayaan
Mr. Rigen itu, maka danyang-danyang
buto yang mengirim tenaga dalam masuk
ke dalam kémpol-kémpol saya itu adalah
danyang yang satu ketika mesti dihadiahi
satya lencana kebudayaan.
21
“He, hee, heee … Pak Ageng buto!
Beni minta arto! Saiki, yooo. Kalau tidak
awas Pak Ageeeng …!”
22
Saya tersenyum memberi uang seratus
perak kepada wayang cilik itu. Saya
ngunandikå,
23
Rapor Beni Prakoso
“Gud, Pak.”
“G-g-gud, Pak.”
“Bagus, Pak.”
29
Di SD, SMP, SMA dan Universtas,
mereka akan terus disaring, disaring dan
disaring. Hingga akhirnya tinggal yang
paling hebat dan cemerlang yang bakal
mengatur negara. Di situlah, kata para
pemikir sistem pendidikan saringan itu,
republik ini akan tangguh dan hebat
dalam semua hal forever and ever, and
ever, and ewer, ewer, ewer.
30
orang-orang krépo?
31
“Mosok dia harus pontang-panting
terus, Gen. Kalau dia nanti tercecer
bagaimana lho, Gen?”
“Caranya?”
34
Si Gendut Sakit Gondongan
36
bawah. Kalau bengkaknya besar jadi
seperti nggémbol teko teh. Waktu saya
kena musibah itu, ya seperti nggémbol
teko teh itu. Dan kalau terpaksa harus
turun dari tempat tidur, wah jalan saya
benar-benar repot dan memalukan.
“Biar apa?”
43
Mbandung, Mercedez dan
Nasionalis Kiri
“Ya êmbuh!”
47
“Nggak pernah. Kenaikan gaji sênajan
sithik-sithik setiap inplasi, ya Bapak
berikan. Baju lorodan-lorodan, ya terus
mengalir. Senajan kaos yang diberikan itu
bolong-bolong di sana-sini.”
50
“Eh, Pak Ageng, Pak Ageng …
mBandung itu di mana to, Pak Ageng?”
“Penting pripun?”
54
Mas Prasodjo Legowo
56
dalam memahami ilmu yang untuk
banyak orang dianggap menentukan
hidup matinya peradaban dunia modern.
Mungkin di dalam hati Mas Prasodjo
heran juga kok akhirnya saya bisa lulus
juga dan akhirnya bisa jadi pengajar di
universitas terhormat yang selalu bangga
memiliki mahasiswa terbanyak di Asia
Tenggara.
57
cemerlang di fakultas tidak meyakinkan
saya bahwa kalau tidak ada fakultas
sastra, apa jadinya isi peradaban modern
itu. Hampa, kosong, nir budaya, nir
refleksi dan nir-nir lainnya lagi. Kalau
sudah begitu hati saya jadi mongkok lagi.
Dan Mas Prasodjo justru yang ikut
menambah ke-mongkok-an itu.
58
panjang dan anu, pastilah prosa lirik
Linus Ag. Suryadi itu akan diganyangnya
habis. Dan kalau saja sajak Darmanto Jt.
Tidak bercerita tentang suami yang
mencangkul dan membajak istrinya,
pastilah Mas Prasodjo akan juga dengan
mulus bisa menghafal semua sajak
Darmanto yang ajaib itu. Kata Mas
Prasodjo,
61
Saya pun lantas duduk makan siang
bersama mereka. Nikmatnya bukan main.
Semua yang mereka bawa licin tandas tak
tersisa. Saya bersyukur panggang ayam
Pak Joyoboyo yang saya beli tadi pagi
tidak saya perintahkan keluar dari lemari
makan. Khawatir akan me-rikuh-kan Mas
dan mBakyu Prasodjo. Takut kalau ayam
panggang itu keluar akan merusak selera
menu mereka.
65
diacungkan. Saya balas mengacungkan
jempol saya. Honda bebek itu berjalan,
jlèk-jlèk, jlèk-jlèk, pelan-pelan sêmangkin
menjauh ke pinggiran daerah Bangun
Tapan, ke rumah mereka yang sederhana
yang mereka bangun nyaris bata demi
bata. Begitu selesai rumah itu, mereka
tinggalkan rumah dinas mereka di Sekip.
Biar dosen lain bisa ganti menempati
rumah dinas itu, kata mereka.
66
Sang Pemimpin
68
“Weh … sang prabu, apa sudah selesai
menyantap kolak pisangnya?”
71
“Yakk, Bapak kii. Wong cêthå wålå-
wålå, jelas sekali kelihatan di sekitar kita
pemimpin sing apik tênan itu semangkin
langka, lho. Jadi, Ngarsådalêm itu benar-
benar istimewa nggih, Pak.”
76
Ngarsadalem Sudah Seda,
Hidup Ngarsadalem!
78
“Dengar apa?”
79
seda.”
81
Babu, toh? Eh, … tunggu dulu. Manungsa
tan kena kenira. Manusia tidak dapat
diduga. Mungkin bisa saja dialog di antara
mereka justru dapat mengangkat mereka
pada cakrawala-cakrawala yang luas tidak
bertepi.
84
yang lalu waktu kami segerombol
pengamat seni diundang ke istana kecil
beliau di Bogor. Seorang Hamengku
Buwono yang lain tampil pada sore hari
itu. Di istananya yang indah dan modern
tetapi masih berbau Yogya itu, beliau
dengan Ibu Norma, menerima dan meng-
entertain kami sebagai tuan dan nyonya
rumah yang sangat ramah dan luwes.
Dengan sangat kikuk, kami dan istri-istri
kami menerima keluwesan tuan dan
nyonya rumah kami itu. Saya mencatat
suatu suasana yang sangat rileks, ayem
dan happy pada pasangan itu. Tanpa satu
kompleks apapun beliau mengobrol dan
meladeni kami makan. Lagi, seperti dulu,
beliau memberikan pendapat dan saran
beliau dengan sangat terbuka dan
bijaksana.
85
memikat hati, tetapi juga memberi roso
tenang dan tenteram. Barangkali ini juga
yang sempat terasa pada orang-orang
seperti Mr. Rigen dan family. Orang-orang
yang kalau dihitung dari sudut jarak
meter begitu jauh berada dari istana Sri
Sultan. Tetapi, jika roso itu ternyata
memang telah berhasil menjamah mereka
dan sekian juta orang lagi, apakah
fenomena itu selain dari cahaya raja
namanya?Ngarsadalem sudah seda, hidup
Ngarsadalem!Le roi es mort. Vive le roi!
86
Koran Itu Dulu Seperti Air
Bengawan Solo
88
memperlakukan koran dan majalah yang
habis dibacanya. Begitu koran dan
majalah itu kena jamah sang jenius cilik,
media masa itu sudah pada terlipat-lipat,
sedikit kumal dan kadang-kadang juga
langsung berantakan.
89
“Ha, iya. Wong kertasnya saja kertas
merang. Warnanya semi coklat, semi
kuning. Kalau dicetak ya tintanya agak
terlalu keras teresap ke dalam kertas
yang kadang-kadang masih katutan
gabah. Kau bayangkan, Gen, bagaimana
sulitnya membaca koran jaman revolusi
itu. Sering kayak membaca teka-teki.”
90
“Ya sudah ada, Gen. Dan tentu burem
juga tanpa kecuali. Wong koran kiblik
kok, Gen.”
91
“Weh … weh … weh … elok dan
serem. Mosok begitu menyeramkan to
keadaan waktu itu, Pak?”
93
membayangkan wilayah republik kita kok
jadi semangkin ciut.
94
“Nyonya ayu siapa? Nyonya-nyonya
kiblik, meskipun ya ayu-ayu, ning ayunya
wong prihatin dan mlarat. Tidak ada
adpertensi dodolan waktu itu, Gen. Lha,
yang mau diadpertensi itu apa lho, Gen?
Wong ya dodolan rombengan baju-baju
kita sendiri. Mobil mewah? Walah …
mobil itu nyaris tidak ada, Gen. Rokok itu
Cuma rokok White House yang wanginya
bisa dicium berkilo-kilo meter dari sini.
Pokoke, Gen, koran waktu itu berjuang,
… berjuang, … berjuang … “
96
Mr. Rigen Menjangkau Langit
99
“Oalahh, Le. Dak bilangin, ya. Yang
kamu katakan itu kan keadaan darurat.
ABRI membantu sipil.Nantinya ya tidak
harus begitu, to.Ya kalau mau jadi ABRI,
ABRI saja.Mau jadi lurah saja kok mesti
jalan-jalan dulu jadi ABRI.”
101
pernah sekejap melintas di rumah Mr.
Rigen Senior nun di desa sana rupanya
belum padam dan hilang dari ingatan Mr.
Rigen. Kayaknya ada dendam kelas.
Awas, satu ketika saya akan bisa juga
mengejar kekalahan itu. Kalau bukan
saya, ya anak saya.Awas. Apakah dia
tahu bahwa persaingan itu akan lebih
ketat dan keras lagi untuk masuk
AKABRI? Dan sekolah prajurit, kopral,
sersan, letnan, kapten, mayor, kolonel
dan jenderal itu akan lebih berlapis-lapis
lagi dan lebih susah lagi? Pelajaran dan
ketrampilan yang dituntut akan lebih
canggih dan modern lagi? Kok dia masih
membayangkan jadi ABRI sebagai camat
atau lurah?
102
enak dan nglaras roso duduk di
gendongan belakang sepupunya, sembari
makan bakmi kering krip-krip.
“Ah, mosok?”
“Ah, mosok?”
105
Halo-Halo & Prof. Surapon
107
“Astaga! Tujuh belas macam? No
kidding?!”
111
maupun tentang pasarnya?”
113
“Ahh … Bangkok semangkin jadi kota
dagang. Semua dijadikan barang
dagangan. Semua orang jadi pedagang.
Lantas orang juga semangkin kaya.”
117
Pasca Lebaran
119
force biasa. Tetapi bagi brayat saya dari
Jakarta, pertunjukan itu adalah
pertunjukan yang mengagumkan. Si
Gendut yang ahli komentator spontan
memberikan kesannya yang pertama.
124
Joyoboyo itu seorang pakar ilmu sosial
tamatan luar negeri yang sedang
menyaru sebagai rakyat jelata dan ingin
ngece kaum kelas menengah yang
feodalnya nggak ketulungan, seperti saya.
Atau jangan-jangan malah teoritikus
Marxis! Habis, penjelasannya itu sering
kali begitu penuh dengan analisis kelas.
126
Di Republik Yang Egaliter Ini
128
“Penggeng eyem, Pak Ageng!
Penggeng eyem, Pak ….!”
129
“Yak, sampeyan kok ya lucu, lho, Mas
Joyo. Mosok kita priyayi? Kita ini buruh,
Mas. Buruh cilik.”
130
memutuskan untuk tidak bangun dulu
dari tempat tidur, melainkan cukup
dengan menggeser lempeng saya miring
ke kiri. Telinga saya pasang baik-baik.
131
„kan juga priyagung to, Mas Rigen?”
133
bikin republik yang egaliter. Weh, lha, kok
begitu lho, cara Mas Joyoboyo dan Mr.
Rigen menyawang, mamandang kita ..
134
Senyum, Kekasihku Senyum
136
“Pripun, Mas Joyo. Sampeyan punya
cerita-cerita baru apa yang menarik?”
“Terus?”
138
“Lha, niku, Pak. Kocapo adik ipar saya
itu meskipun polisi, rasa solider sama
masyarakat niku besar. Dia selalu ikut
siskamling. Waktu beberapa malam yang
lalu dia diampiri untuk siskamling, dia
mangkir karena soal istri dan gigi itu. Eh,
kok teman-teman kampung itu malah
nggrundel. Katanya adik ipar saya itu
solidernya mung lamis saja.”
“Terus, terus?”
140
mengangkat tenong-nya pergi. Weh …
rupanya hafalannya di SD dulu tentang
peribahasa masih lengket di kepalanya.
Lumayan.
141
Mikul Dhuwur, Mendhem Jero
143
sekali-sekali saya membaca berita-berita
tentang dia di surat kabar dan melihat
wajahnya di layar TV. Juga satu dua kali
pernah bertemu di resepsi ini dan itu di
Jakarta atau pesta perkawinan di Yogya.
Setiap bertemu yang sebentar-sebentar
begitu tentu kami bertukar salam akarab,
saling berjanji untuk saling mengunjungi
dengan keluarga kami, bahkan juga untuk
naik gunung ke rumah orang tuanya.
Tetapi, kerja dan karier memang bisa
kejam sekali. Mesin tempat kami bekerja
tidak pernah mengizinkan kemewahan-
kemewahan kecil, seperti berkunjung ke
rumah kawan berjalan sangat mulus.
Sayur lodeh,sambal terasi, jambu kaget,
duwet hitam adalah ornamen-ornamen
kecil yang agaknya tidak relevan dengan
efisiensi mesin. Maka, begitu saya
mendengar bahwa orang tua itu
meninggal, saya putuskan untuk melayat
ke desa bagaimanapun susah dan rumpil-
nya jalan ke sana.
144
Jip tua, reyot dan knalpotnya yang
gemuruh suaranya itu, dengan terengah-
engah mendaki tanjakan terakhir menuju
desa tersebut. Mr. Rigen yang sebentar-
sebentar mendesah dan melenguh karena
kondisi mesin dan knalpot jip yang rawan
itu, harus saya akui, adalah seorang sopir
amatir (karena menurut dia belum
“propesi”) yang cekaran dan tangkas.
Tikungan-tikungan jalan yang mendaki
dia lalap bagai sopir taksi di Beirut. Tiba-
tiba pada jarak satu kilometer dari desa
tujuan kami, jalan itu berubah menjadi
jalan yang beraspal mulus sekali. Ini
bukan kondisi jalan yang dulu beberapa
kali saya lewati. Kemudian kira-kira lima
ratus meter dari batas desa, kami melihat
mobil-mobil berplat AB, B, H, AD, L dan
entah apa lagi, berderet di pinggir jalan.
Mercedes, Volvo dan segala merk mobil
Jepang terwakili pada deretan itu. Juga
selain mobil jenazah yang super de lux,
saya melihat tiga bus Hino berderet
145
dengan megahnya.
147
bisa saya lakukan memuliakan orang tua
saya.”
“Siippp, Bos.”
“Dapurmu!”
151
Tentang Gaya Hidup Jakarta,
nJukja dan Ngawi
152
“Harvard” itu tidak ada dampaknya yang
berarti dalam hidupnya.
155
Saya jadi merasa tersinggung
dikatakan tidak tahu gya hidup Jakarta.
Jelek-jelek begini kan saya punya rumah
di Jakarta. Dan gaya hidup? Eh, sekali-
sekali saya kan singgah juga di Pizza Hut
melahap pizza yang sebesar nampan
dapur. Makan di Teppanyaki di Tokyo
Garden dan Shima. Makan sea food di
Yun Nyan atau Kingdom. Mendengarkan
jazz di Borobudur, Sahid Jaya atau
Mandarin, dan hahhh (!), juga es krim
Haagen Dasz yang dahsyat itu!
156
dengan gaya hidup Jakarta.
158
menyedot teh Sosro. Itu pun gantian
nyedotnya. Sekarang? Waahhh, apa iya
sampai di Gstaad dia main ski. Berenang-
renang dengan snorkel di Laut Karibia
yang biru itu. Berajojing di Crazy Horse
Paris? Waahh, berantakan semua
gambaran saya tentang Usman di benak
saya. Seperti kepingan-kepingan
kaleidoskop yang berwarna-warni. Ya,
semoga happy sajalah kau Usman. Tiba-
tiba mulutku mencong tersenyum sendiri.
Dapurmu! Lima belas juta, jee!
160
Subur Kang Sarwo Tinandur
163
“Ya, sak edan-edannya wong ndeso,
tidak mungkin ada simbah membunuh
cucunya sendiri. Bapak kan sering dolan
ke desa. Kan, Bapak pirsa sendiri
bagaimana simbah di desa itu sayangnya
sama putu habis-habisan. Kok ini diracun.
Pakai racun tikus lagi. Dan pemuda-
pemuda desa itu, Bapak pirsa juga kan?
Rukunnya mboten jamak, kok ini
diberitakan ugal-ugalan, menelanjangi,
terus mengaraknya keliling desa. Tak
mungkin, tak mungkin … “
164
almarhum Jhoni Gudel, menunjukkan itu
semua. Saya pun jadi miris. Itu suara
rakyat yang tidak trimo.
165
tenteram. Saya tidak tahu.
166
sama apa, nggih?”
168
“Diam apa tidak! Diam apa tidak!
Dibilangin nggak ada sate usus kok ribut!”
Astaga ……
169
Air Dan Hidup Ngrekasa
“Macan?”
175
Sukses Nggendhong Lali
180
“Lho, kan Bapak sendiri yang suka
ngendika begitu. Jadi orang itu jangan
suka minder, Gen! Lha, minder itu rasa
kurang harga diri.”
183
Service
186
seperti itu. Mr. Rigen tahu artinya service
atau pelayanan dan melaksanakannya
dengan baik dan ikhlas. Miss pramugari?
Edaann! Ya tahu dong arti service. Tetapi
ngelapi bayi muntah, nggodog kopi
secangkir buat penumpang? Tunggu dulu,
dong. Memangnya aku ini batur atau
babu penumpang apa? mBakyu saya dan
pakdhe saya di rumah saja tidak berani
mrintah-mrintah begitu. Kok ini ….
188
Rapat Meja Bundar Menjelang
Lebaran
“Lha, apalagi?”
196
Mr. Rigen Can Do No Wrong
200
jenius dari Beni. Apalah arti satu, dua
pintu dan beberapa bidang tembok yang
coreng-moreng dibanding dengan
pengorbanan mereka saat revolusi?
Tetapi, lho? Lama-lama kok mereka
semangkin ndadra motorik dan
kreativitasnya. Rumah saya sekarang
tinggal punya cangkir dua pasang, piring
tiga biji dan sendok porok tidak sampai
setengah lusin.
202
“Siap!” teriak Mr. Rigen. Seketika Beni
Prakosa berdiri tegak dan salam hormat.
“Sudah makan?”
“Siap, jenderal!”
“Dengan apa?”
203
Kami Bangsa Tempe
210
Senam Pagi Mrs. Nansiyem
212
“Gen, kamu itu kalau pagi uthuk-uthuk
begini kok sudah ribut sama istrimu itu,
gek yang kamu ributkan itu apa, sih?”
213
“Geenn, sini!”
215
sesungguhnya saya kepingin melihat
sendiri fenomena baru itu. Saya dan Mr.
Rigen sepakat untuk keesokan harinya,
uthuk-uthuk in the morning, untuk pergi
mengintip Mrs. Nansiyem di lapangan.
220
Eman-Eman Wanita
“Mrs. Nansiyem!”
“Dalem, Pak.”
“Apa, Pak?”
“E-man-si-pa-si wa-ni-ta.”
228
“Pripun kalau begini, Pak?”
230
Pariwisata Dimana-Mana
“Iyo, Le.”
“Canggihnya bagaimana?”
239
animal … “
240
Madam
242
yang tidak tahan dan kuat mengalami
pembinaannya. Dia adalah contoh
perfeksionis dan cerewetis sejati. Bagi
para babu dan jongos yang baru belajar
itu, rasanya ada saja yang belum beres
bagi sang pembina. Yang debu masih
melekat di pojok kaki kursi, sprei yang
masih terlipat-lipat di tempat tidur, ukuran
gula yang masih kurang tepat, bumbu
masakan yang msih cemplang dan entah
apa lagi.
243
saya lupa bahwa pada waktu dia dating
itu umurnya sudah sekitar lima puluh
tahun dan sudah mencapai puncak
prestasi serta prestisenya.
245
ditiadakan. Akan halnya Mr. Rigen, sang
Pembina itu menyukainya karena Mr.
Rigen orangnya penurut dan memang
ingin mengembangkan karier sebagai
seorang teknokrat yang terampil dan
berguna. Segera terasa dalam rumah
kami bahwa kekuasaan dan dinamika
rumah tangga berada di tangannya. Tidak
pelak lagi dialah Madam dalam rumah.
Saya dan Mr. Rigen hanyalah anak
wayang beliau saja. Untunglah Madam
sembodo orangnya. Rumah saya terkelola
dengan baik, makanan selalu enak dan
Mr. Rigen berkembang sebagai teknokrat
yang baik. Memang agak otoriter caranya
mengendalikan kami. Tetapi, bukankah
untuk sesuatu ada sesuatu? Untuk
keotoriterannya itu saya mendapat
imbalan hidup yang enak. Bahkan anak
istri yang kadang-kadang datang dari
Jakarta pun tidak luput dari wibawa
otoritas Madam. Tanpa satu kompleks
rendah diri Madam akan mengatur semua
246
jaringan keluarga saya yang datang di
Yogya. Dan anehnya (meski dengan
menggerutu di sana-sini) mereka
menerima juga kepimpinan Madam.
“Kenapa?”
250
Tentang Main Sabun
“Bisa-bisanya bagaimana?”
Saya mengangguk-angguk,
251
menyatakan setuju dengan jalan
pikirannya. Cara dia membangun logika,
memilih premis dan menarik kesimpulan
boleh juga.
252
“Ada apa kali ini, Mister? Kok bolehmu
gugup!”
“Terus?”
254
Sabun yang berenang-renang di ember
itu selalu mrucut menghindar tangkapan
anak itu. Mrs. Nansiyem tidak sabar lagi.
Tangannya dengan sebat menjewer
kedua telinga anaknya. Cengeerrrr …
sang Beni pun menangis menjempling-
jempling. Situasi pun menjadi tidak
terkendali lagi.
257
Pada Suatu Senin Pagi Sesudah
Lebaran
259
pastilah aroma di belakang nanti masih
akan sama dengan kemarin-kemarin
tanpa nuansa. Habis, lebaran memang
mendekritkan satu perintah tak tertulis
untuk hanya menyajikan menu yang itu-
itu saja. Bayangkan bila kita harus
mengunjungi 17 rumah, 1 syawalan di
kampung, 1 syawalan di kantor. Nuansa
yang bagaimana yang bisa diharapkan
dari guided menu seperti ini.
260
hari Lebaran kemarin. Waktu reriungan
dengan jaringan keluarga siapa yang
ingat bahwa bulan Juni belum mulai.
Bahwa pengeluaran-pengeluaran untuk
sebulan yang akan datang masih harus
dibayar. Bahwa masih harus menanggung
makan Mr. Rigen anak-beranak untuk tiga
puluh hari. Bahwa masih harus mondar-
mandir Yogya-Jakarta sedikitnya dua kali
dengan Garuda. (Padahal sejak tahun
anggaran ini tak ada lagi seminar,
lokakarya dan sebagainya itu. Kecuali
kalau seminar itu bisa konkret, langsung
menelorkan usul-usul yang segera dapat
dilaksanakan menaikkan ekspor non
migas atau mungkin bagaimana bisa
mencari jalan pintas untuk
mengembalikan rupiah yang diparkir di
luar negeri. Sminar kebudayaan?
Kesenian? Wah, gersang …!)
261
kedua datang “laksana malaikat
menyerbu dari langit …”. Seketika tubuh
itu jadi loyo, lemas. Bahwa-bahwa sialan!
Bisa betul you ruin my Monday morning!
Saya pun terduduk di kursi lupa kalau hari
itu hari ngantor. Ruangan itu semakin
terasa lengang sejak anak-anak dan ibu
mereka harus balik ke Betawi. Juga para
keponakan dan orang tua mereka, yang
sempat membuat horeg rumah, sudah
pada “cabut”, sowang-sowang pulang ke
kandang masing-masing. Kalau sendiri
begitu kok jadi semakin dramatis
membayangkan amplop gaji berwarna
cokelat dari fakultas itu. Amplop itu dari
sononya memang tidak pernah tebal.
Sesudah digerogoti hari-hari Lebaran
amplop itu semakin menipis. Pada hari
Senin pagi itu, amplop keramat bulanan
itu sudah menjadi konsep yang abstrak.
Bahkan sudah menjadi satu metafor.
Lambang bagi kerja sebulan sebagai
anggota Korpri. Tetapi menyusur jalan
262
panjang dan gersang dalam waktu
sebulan yang akan datang, alangkah
konkretnya itu!
263
sederhana, Pak? Di koran itu ….”
265
“Begini, lho, Mas Joyo. Bapak itu
sekarang sedang mau sederhana seperti
bapak-bapak di Pusat. Maunya cuma
dahar sayur sama tempe saja.”
266
Kami Bangsa Tempe
273
Jebule …
275
Dan ia pun terus saja mengitari kursi
goyangku, nggubel di dekatku.
Tampangnya yang lucu menjengkelkan itu
membuat saya gregetan dan
kerongkongan semakin kering lagi.
Akhirnya es tung-tung itu pun habis juga.
Mukanya sudah coreng-moreng seperti
badut sirkus, bajunya sudah berantakan
oleh lumuran es.
280
mBakyu kirim sekolah di Boston itu
berapa mBakyu sediakan tiap bulannya?”
“Malam, Oom!”
282
Mereka tertawa serempak. Mungkin
senang mendengar saya bicara dengan
lingo, bahasa, mereka.
“Bagaimana suasananya?”
“Menyenangkannya?”
285
Ahh, santapan kiriman syaiton untuk
meruntuhkan iman puasaku ….
286
Saudara Flu
291
sangat membosankannya. Daya
kreativitasnya di dapur terasa sangat
dihina oleh saudara flu itu. Masak cuma
mi tiap hari! Itu pun bukan mi telur tetapi
supermi biasa. Tetapi mau bagaimana lagi
kalau cita rasa boss kadang-kadang,
kadang kala, memang bukan cita rasa
kalangan intelektual.
293
pesan jelas untuk lebih mawas diri. Dulu
hal itu tidak pernah saya rasakan
295
40, usia sudah merayap mendekati yang
ke-60 ini pun janji-janji itu masih
berstatus gombal melulu. Nahhh, jadi
tahu kan keterbatasan kita? Itulah fungsi
spiritual flu! Ia berfungsi meng-edit,
menyunting janji-janji palsu kita. Dari
janji Mercedes Benz 220 pada usia yang
ke-40 menjadi Jeep kanvas plat merah.
Dari janji US $ 1.000,00 waktu naik-
dewasa menjadi slametan murah -tidak
begitu- meriah di antara sanak sedulur.
Dari janji baju seragam ABRI menjadi dua
biji kaos oblong bergambar Superman.
296
tidur, mereka menatap langit-langit,
mengingat-ingat janji-janji mereka.
Saudara flu, biarkan mereka.
297
Haagen Dasz vs Es Tung-Tung
300
glinding-glinding, bundel-bundel adalah
bunder-bunder dan ting-ting adalah suara
mangkuk yang dipukul sendok. Maka
tahulah kita yang dia gambarkan. Bakso!
Wah, setan cilik itu minta bakso pada
pukul empat sore. Dua jam sebelumnya
dia masih tidur pules. Dan setengah jam
sebelumnya dia masih makan siang
dengan sop cakar yang sangat bergizi.
Pada pukul empat sore tubuhnya sudah
membutuhkan jajan bunderan daging
kecil-kecil yang direkat dengan kanji
dalam jumlah yang sangat sporadis
berenang-renang di kolam larutan kaldu
yang mengagumkan cuwer-nya.
301
“Ginding-ginding tiga saja!”
302
airnya matang atau mentah, santannya
diperas di bekas kaos dalam penjajanya
atau dikalo bambu yang bersih, merasnya
pakai tangan kanan atau tangan kiri.
Pokoknya rasanya enak. Dan kami
serumah menikmati es tung-tung tanpa
beban apa pun. Mr. Rigen dan spouse
pun ikut menikmatinya tanpa
kekhawatiran anaknya mungkin akan
kambuh batuknya. Pokoknya enak.
“Terus?”
“Dalam rangka?”
303
“Dalam rangka nostalgia.”
“Yes?”
307
Roti Dan Permainan
308
“Wee, lha enggih. Tur tipi-nya
berwarna.”
“Bagaimana elok-nya?”
310
“Kalo begitu begini, Mas Rigen. Kita
totohan, taruhan dada mentok panggang
lima biji. Kalo Malaysia yang menang,
sampeyan kudu beli lima potong dada
mentok. Sebaliknya, kalo Indonesia yang
menang saya hadiahi dada mentok lima
biji, biar sampeyan sama mbakyune sama
den baguse Beni blokekan ayam
panggang.”
312
untuk permainan apa saja buat Mr. Rigen
dan Ms. Nansiyem. Dan Beni Prakosa
mulai dari mainan thowet-thowet sampai
mobil-mobilan dari jalan Solo ada semua.
Dan semua tontonan baik di Purna
Budaya maupun di alun-alun utara, mulai
ketoprak Gito-Gati sampai flipper dan
sirkus sekatenan adalah saluran
permainan mereka juga. Bisa dimengerti
kan kalau mereka tidak rewel dan hatinya
senang? Dan, eh, teve berwarna yang
baru bisa saya beli dua bulan yang lalu,
yang setiap hari dipamerkan Beni kepada
setiap tamu yang berkunjung ke rumah,
kok ya menyajikan SEA Games, lho.
Setiap pukul lima sore, sehabis mandi,
sang jenius kecil Beni Prakosa sudah
duduk manis dan rapi di depan teve,
berteriak menuntut, “Setel tipi, Pak
Ageng, sigim, sigim.” Ucapan Inggris
jenius cetakan Pracimantara memang
agak lain …
313
Sore itu, saya sudah mapan
tertelungkup di depan teve sejak pukul
tujuh sore. Mr. Rigen boleh full melihat
final sepak bola asal sembari mijit tubuh
saya. Wong kaisar, kok! Dan Mr. Rigen,
rakyatku yang setia, apakah ada pilihan
lain? Malam itu adalah malam taruhannya
yang terpenting dan terbesar. Lima dada
mentok panggang Klaten. Itu berarti
seperenam dari gajinya setiap bulan. Bisa
dimengerti kalau konsentrasi pijitannya
agak kacau malam itu. Nyet-nyet
tangannya yang khas terasa agak enteng
malam itu. Dan kalau Malaysia mulai
menggerebek gawang Mas Ponirin,
tangannya begitu saja dilepaskan dari
kaki saya karena dibutuhkan untuk
sedakep sendiri. Dan pada waktu pasukan
kita menggerebek gawang Malaysia
tanganya juga dilepas lagi. Kali ini
dibutuhkan untuk mengepal-ngepal
tinjunya. Dan kasihan nasib juga Beni
pada malam itu. Terus-menerus digusah
314
bapaknya ke belakang ke tempat ibunya.
315
Nostalgia
316
“Daging sekarang sudah Rp. 5.500,-
satu kilo, kacang lanjaran yang beberapa
waktu yang lalu satus rupiah tiga ikat,
sekarang seket rupiah satu ikat. How,
about that?”
“Maksudmu?”
“Kaget bagaimana?”
320
Sesudah Prof. Lemahamba pergi dan
Mr. Rigen mengundurkan cangkir-cangkir,
Mr. Rigen kembali ke ruang duduk nglesot
di dekat kursi malas. Saya sudah tahu,
dia pasti mau kasih komentar.
324
Gudeg, Kultur dan Kita
327
Yogya jekek yang sudah bergenerasi
tinggal dalam pelukan jas sogok upil dan
mondolan telur, tentulah gudeg itu
kelezatannya seklasik gamelan Sekaten.
Tetapi, bagi wong sabrang yang datang
ange-Jawa, gudeg itu terlalu manis,
baahh!
328
menggambar, kata beliau.
330
pangunandikanya secara vokal kepada
saya.
“Siap, Pak!”
332
pembagian honorarium. Mr. Rigen
biasanya tidak mau ikut makan, tetapi
cuma duduk di pojok lincak Bu Amat
sambil nyeruput wedang teh nasgitel.
Mungkin dari pojok begitu dia bisa
merasa aman mengamati polah tingkah
kami warga kelas menengah elite
birokrasi yang sedang piknik ke bawah
dengan para wong cilik. Saya lihat
sebentar-sebentar dia tersenyum sendiri.
Mungkin menertawakan absurditas ritual
makan gudeg kami.
336
“Ahh, dia kan Korpri juga. Jadi priyayi
juga to, nggih. Dari namanya saja
Rajagukguk. Pasti priyayi itu, wong raja
kok …”
337
Menjelang Tahun Baru
339
memijit dengan nikmatnya. Salah satu
bonus saya, bila kecapekan habis
melembur baik di Yogya maupun di
Jakarta, adalah menyerahkan tubuh
kepada Mr. Rigen di tikar depan teve.
“Rupamu!”
348
Pariwisata Dimana-Mana
“Iyo, Le.”
“Canggihnya bagaimana?”
357
animal … “
358
Mas Joyoboyo Dikejar Target
359
“Pun, pripun, Pak! Kalau sudah digelar
begini panjenengan tidak kersa mborong,
kebangetan tenan, Pak!”
361
atau apa itu. Pokoknya saya harus
menghabiskan ayam panggang sak
tenong ini. Kalau tidak habis saya kena
potong komisi saya. Pun cilaka apa tidak
itu?! Terus anak saya yang ragil, eh …
tahu-tahu kok ya sudah mau tamat SMA.
Pengeluaran lagi buat persiapan ujian.
Sampun to, wong cilik itu tidak hentinya
dirongrong pengeluaran.”
“Ayakk, Bapak.”
368
tan kendat mengucapkan “rahayu”,
mungkin akan topo ngrowot, hanya
makan ubi-ubian. Semuanya demi
suksesnya wingka-wingka kita. Tetapi,
pada waktu anak-anak kita datang
melapor dengan muka berkabut, kita tahu
ada sesuatu yang tidak benar.
372
Never On Sunday
374
puluhan sempat terkenal. Film itu
disutradarai oleh Jules Dassin dan
dibintangi oleh Merina Mercouri, aktris
Yunani yang konon sekarang menjadi
menteri kebudayaan di negerinya. Yang
penting bagi saya bulan filmnya karena
saya sudah banyak lupa adegan-adegan
ceritanya. Yang penting peristiwa
pemutaran film itu dengan saya. Lho?!
Bukan nyombong „nih ye. Saya nonton
film itu di New York dengan Bung Karno,
Pak Ali Sastroamidjojo, salah seorang
tokoh NU yang saya lupa namanya dan
D.N. Aidit. Pada waktu itu Bung Karno
datang dengan delegasi besar dan kami
para mahasiswa dikerahkan untuk
meladeni bapak-bapak itu. Pekerjaan con
amore alias gratisan (waktu itu kita belum
memasuki era honorarium …) tetapi yang
sangat membanggakan hati. Bayangkan
pada malam hari kita piket di Hotel
Waldorf Astoria. Dan bila Bung Karno
berkenan melihat film kita semua diajak.
375
Wah, mongkok-nya hati ini, lho!
Rombongan Indonesia itu datang
terlambat di gedung bioskop itu. Terpaksa
penonton bule-bule Amerika itu
menunggu kita. Dan waktu Bung Karno
tampil di balkon memberi salam kepada
semua penonton (hallo, … hallo …!)
kayak gedung itu di Gedung Kesenian
Pasar Baru jakarta dan penonton pada
bertepuk tangan, wah, banggaku!
Presidenku jan hebat tenan …!
379
Melik Nggendhong Lali
382
jaringan trah kawulo negeri yang jarang
menikmati kemewahan seperti itu,
tentulah kesempatan seperti itu welkom.
Lha, untuk anak-anak remaja putri
kesempatan arisan di rumah Mas Guh itu
juga merupakan kesempatan yang bagus
untuk menguras isi lemari pakaian anak-
anak remaja putri mereka. Entah
bagaimana, setiap arisan begitu kok
selalu saja ada lemari remaja putri yang
siap sedia untuk dikuras, lho. Mungkin
berhari-hari sebelumnya Mas Guh anak
beranak memang sudah membuat
inventaris pakaian anak-anaknya. Mana
yang dapat dilepas, mana yang tetap
tinggal di lemari. Sedang yang masih
baru, maksudnya baru dari Singapur atau
Hong Kong disimpan di lemari lain. (Ahh,
tetapi ini tentu imaji saya saja). Apa pun,
pokoknya, arisan di keluarga Mas Guh
adalah hari yang menyenangkan buat
kebanyakan anak-anak perempuan
keluarga trah. Tetapi juga buat ibu-ibu
383
anggota trah. Kalau ada arisan-arisan lain
kesempatan kumpul begitu dipakai untuk
saling menjajakan pakaian dan pinjam
meminjam uang, tidak pada arisan di
rumah Mas Guh. Di rumah itu, arisan itu
berfungsi sebagai Bank Dunia. Ibu-ibu
akan datang kepada Mas Guh beserta
ibu, yang akan dengan penuh simpati,
mendengarkan proposal pembangunan
yang canggih tapi tidak tertulis itu.
Biasanya setiap proposal itu gol,
diluluskan, tanpa bunga, tanpa batas
waktu. Bank Dunia mana yang bisa
murah hati seperti itu?!
386
belanjaan pasarmu sana dulu!”
387
lukisan kaca karya almarhum Pak Sastra
Gambar dari Muntilan. Gambar itu
menampilkan Petruk jadi raja, duduk di
kursi goyang, memangku seorang
perempuan, sedang tangan kanannya
memegang gelas berisi whiski. Gambar
itu bertuliskan huruf Jawa : Melik
Nggendhong Lali. Mendamba
menggendong alpa. Sayang lukisan itu
saya berikan kepada seorang sahabat di
Jakarta. Siapa tahu kalau dulu saya
hadiahkan ke Mas Guh, ada pengaruhnya.
Tetapi .. yahh, siapa nyana, siapa ngimpi
…..
388
senyumnya bagaikan senyum Robert
Redford yang aneh, yang bodynya sangat
mbody.
389
Sekaten Telah Lampau
393
dari desanya di Tepus nun jauh di selatan
sana. Orang yang seperti simbok, yang
jauh datang dari desanya Jatisrono di
kawasan Wonogiri. Apakah mereka
datang untuk sekadar menikmati
segarnya sirih yang akan membuat
mereka awet muda dan mendengarkan
Kiai dan Nyai Sekati supaya hati dan
pikiran jadi mak nyes seperti
digambarkan oleh Mr. Rigen? Ataukah itu
yang disebut daya tarik kolektif dari satu
tradisi?
398
Musim Bal – Balan
399
“Kamu itu pagi-pagi kok mendahului
sarapan saya dengan penggerundelan
bal-balan. Ada apa to, Gen? Kamu kalah
taruhan?”
403
memang tidak menjamin mutu bal-balan
otomatis naik. Akan tetapi, di lain pihak,
kesebelasan-kesebelasan terbaik Eropa
itu memang selamanya didukung oleh
grujukan dana yang banyak. Dan jumlah
penduduk yang banyak dari satu negara
memang juga tidak menjamin kualitas
tinggi dari negera tersebut. Tetapi jumlah
penduduk yang banyak, di lain pihak,
akan selalu lebih siap memberi cadangan
sumber daya manusia. Yang jelas dana
yang banyak memang bisa menjadi modal
yang menguntungkan. Kalau modal yang
menguntungkan itu tidak bisa
menggerakkan, mengembangkan dan
menaikkan kualitas ketrampilan dan
kecakapan manusia, lha mestinya
manusianya yang mesti menggerakkan.
404
Pracimantoro. Tapi dibilang pinter wong
nyatanya ya mutunya merosot terus.”
“Apa?”
408
Di Jakarta, istri baru pulang menjelang
maghrib dari rutin kerja kantor. Si
Gendut, mahasiswi metropolitan masa
kini, entah di mana sore-sore begitu.
Entah belum pulang dari ngobrol di
rumah temannya, jogging keliling
kompleks, pokoknya embuh di mana, dia
selalu punya acara sendiri. Suasana
kumpul itu baru datang di sekitar meja
makan pada malam hari. Sore memang
jarang hadir di rumah saya di Jakarta.
Kecuali pada hari Minggu dan hari libur.
409
memang zona yang akan aman untuk
menampung itu semua. Di luar negeri
pun tidak ada suasana sore-sore begitu.
Sore kadang lenyap begitu saja ditelan
malam pada musim dingin. Atau tidak
jelas batasnya pada hari-hari panjang di
musim panas. Pokoknya sore-sore milik
kota seperti Ngayogya inilah.
410
“Ya, sudah. Silakan pripun!”
“Jago apa?”
414
Mudik Lebaran dan Rigenomics
416
“Edann, kowe! Seminggu?! Jadi aku
kau suruh nyuci piring dan nDoro Kakung
ngangsu air, kasih makan dan ngguyang
si Bleki selama seminggu lamanya,
hahh?! Ora! Tiga hari saja!”
418
mau secara sukarela (dengan ancaman
sanksi secukupnya) melembur sambel
goreng ati (plus pete), opor ayam,
mendeplok bumbu kedele, merebus
ketupat. Pagi harinya, dengan mata
merah, tubuh loyo tetapi hati gembira,
mereka pun meninggalkan rumah saya
dengan meja makan sudah tertata rapi.
Ahh, menteri-menteriku yang setia …
Dan siang harinya, istri dan anak-anakku
pun datang dari Betawi lengkap dengan
oleh-oleh dunia metropolitan yang super
canggih. Dengan sigap pula mereka akan
mengambil alih semua administrasi dan
bidang pekerjaan umum rumah saya.
Ahh, anggota keluargaku yang efisien …
419
“Matur nuwun sanget, Pak.”
420
“Ahh, mosok? Wong iji royo-royo.
Gemah ripah.”
“Dapurmu!”
422
Sawang Sinawang Waktu
Lebaran
425
Ia, bangsa Jawa itu, telah menciptakan
alat penyelamat tersebut. Sawang-
sinawang, memandang-(dan)-dipandang.
Hidup itu hanya sekadar sawang-
sinawang kata para filsuf Jawa. Dan
karena saya bukan filsuf (untuk mata
kuliah yang angker itu saya hanya lulus
pas-pasan), saya membuat tafsiran
sendiri tentang sawang-sinawang itu.
Begini. Orang Jawa sudah terlanjur
menjebakkan diri dalam pegangan
“keselarasan apa pun bayarannya” dan
“emoh konfrontasi karena itu tidak edi
peni”. Padahal alangkah banyaknya
keindahan di dunia ini yang harus dilihat,
ditatap dan dinikmati. Maka mesti ada
akal, dong, untuk dapat keluar dari
dilema tersebut. Dengan strategi “dijupuk
iwake ojo nganti butek banyune”, diambil
ikannya (tetapi) jangan sampai keruh
airnya, digalilah dari akar budaya bangsa
Jawa sendiri, pandangan hidup sawang-
sinawang itu. Keselrasan harus tetap
426
dijaga, konfrontasi harus tetap dihindari,
tetapi nyawang, memandang dari satu
jarak tertentu, ya boleh, to? Nyawang dan
disawang (karena dalam jarak tertentu
yang tidak terlalu dekat) berada dalam
titik netral yang tidak mungkin
mengundang konfrontasi dan merusak
harmoni.
427
“Wah, hampir semua bapak-bapak
pake hem ikat sutera Troso. Kau sendiri
ketinggalan zaman, Pak.”
“Yo, ben.”
“Yo, ben!”
430
Sawang Sinawang Waktu
Lebaran
433
Ia, bangsa Jawa itu, telah menciptakan
alat penyelamat tersebut. Sawang-
sinawang, memandang-(dan)-dipandang.
Hidup itu hanya sekadar sawang-
sinawang kata para filsuf Jawa. Dan
karena saya bukan filsuf (untuk mata
kuliah yang angker itu saya hanya lulus
pas-pasan), saya membuat tafsiran
sendiri tentang sawang-sinawang itu.
Begini. Orang Jawa sudah terlanjur
menjebakkan diri dalam pegangan
“keselarasan apa pun bayarannya” dan
“emoh konfrontasi karena itu tidak edi
peni”. Padahal alangkah banyaknya
keindahan di dunia ini yang harus dilihat,
ditatap dan dinikmati. Maka mesti ada
akal, dong, untuk dapat keluar dari
dilema tersebut. Dengan strategi “dijupuk
iwake ojo nganti butek banyune”, diambil
ikannya (tetapi) jangan sampai keruh
airnya, digalilah dari akar budaya bangsa
Jawa sendiri, pandangan hidup sawang-
sinawang itu. Keselrasan harus tetap
434
dijaga, konfrontasi harus tetap dihindari,
tetapi nyawang, memandang dari satu
jarak tertentu, ya boleh, to? Nyawang dan
disawang (karena dalam jarak tertentu
yang tidak terlalu dekat) berada dalam
titik netral yang tidak mungkin
mengundang konfrontasi dan merusak
harmoni.
435
“Wah, hampir semua bapak-bapak
pake hem ikat sutera Troso. Kau sendiri
ketinggalan zaman, Pak.”
“Yo, ben.”
“Yo, ben!”
438
Air Dan Hidup Ngrekasa
“Macan?”
444
Raden Soemantio
“Siapa?”
447
Jakarta. Sangat luwes dan metodis.
448
Kalau mendengar basa-basi seperti itu,
heran sekali, saya kok masih senang saja.
Bahkan mongkok hatiku ….
451
beberapa puluh ribu rupiah itu. Saya jadi
malu sekali. Kok begitu saja ragu-ragu,
meski sebentar. Tidak. Uang tiga puluh
tiga ribu sekian itu saya ambil, saya
hitung dan srett … saya ulungkan kepada
Raden Soemantio. Raden Soemantio
gurawalan menerima uang itu. Uang itu
diangkatnya sebentar di dahinya,
kemudian mak srett … dimasukkan ke
dalam saku hem-nya. Juga dengan luwes
dan metodisnya. Saya pikir tatakrama,
unggah-ungguh Jawa, memang seni
terapan ilmu teater yang canggih.
454
Pasca Lebaran
461
menyaru sebagai rakyat jelata dan ingin
ngece kaum kelas menengah yang
feodalnya nggak ketulungan, seperti saya.
Atau jangan-jangan malah teoritikus
Marxis! Habis, penjelasannya itu sering
kali begitu penuh dengan analisis kelas.
“Wah, Pak Joyoboyo itu hebat tenan
lho, Pak. Dia itu bisa kita katakan sebagai
filsuf sosial alam, Pak.”
“Eh, betul, Bune. Ahli ilmu sosial dan
sekarang filsuf sosial.”
Kami berdua kemudian terdiam.
Mungkin kami sama-sama ingat hal yang
sama. Kasbon kami di kantor kami
masing-masing yang semangkin
menumpuk buat lebaran tahun ini. Yah,
kalau menurut Pak Joyoboyo, demi
menjaga fungsi reriungan lebaran kaum
kelas menengah, to?
Yogyakarta, 24 Mei 1988
462
Beni Prakosa Masuk Sekolah
466
“Welehh, hebatnya bagaimana, Mister,
menurut Pak Propesor Lemahamba?”
469
Bu. Hebat, hebat! Wah, anak itu nanti
akan jadi anak hebat betul, Bu. Baris,
bergitung, pidato. Baris, berhitung,
pidato. Baris, berhit ….”
472
Semeleh
478
Pak Ngalmus Alias Mister
Almost
486
ampuh mereka itu. Yang belum bekas,
yang masih aktif, biar saya sama teman-
teman lobi sendiri. Tugasmu yang bekas-
bekas. Oke!?”
“Oke.”
488
Uber Alles
“Yes, eh … inggih!”
“Dhapurmu! Rene!”
“Pak?”
491
“Huh …”
492
Wonogiri 27 kali terus masih ditambah
ngubengi, keliling, Gunung Gandul 10
kali. Inggih apa mboten?”
496
mati dibunuh DI/TII, rakyat Jawa Timur
yang mati dibunuh PKI, rakyat Sulawesi
Selatan yang dibunuh Westerling. Kok
mereka jadi terheran-heran mendengar
argumentasi “tumbal” itu?
498
Wahyu Cakraningrat
“Wahyu apa?”
“Pripun?”
“Inggih. Terus?”
505
Dan suara cempreng yang klasik itu pun
terdengar menjauh. Saya lihat Mr. Rigen
masih duduk thenger-thenger.
507
Taksi AC Jakarta
511
menghilangkan bau yang justru bikin
kepala pusing itu, jendela saya buka.
513
Ketoprak dan Desa
515
melihat dan mendengar dialog dan
gerakan-gerakan yang lekoh alias semi
porno, para ibu yang sedang meneteki
anak mereka tidak kurang pula gembira
dari para manula, manggut-manggut
sembari tangan mereka menahan
gronjalan tetek-tetek yang disadap bayi-
bayi mereka yang tidak peduli dengan
semua itu. Dan para remaja yang tentu
saja melupakan angka-angka sekolah
mereka kelihatan meremas-remas tangan
cewek-cewek di samping mereka.
521
Melaksanakan Nglobi Untuk Pak
Ngalmus
523
“Lho, sampeyan itu bagaimana, sih? Ya
sudah, to. Kan saya mesti nongkrongi
SIUM MPR sembari lobi ke sana ke sini.
Sampeyan bagaimana nglobi-nya? Oke,
to?”
“Eh … bagaimana?”
“Bagaimana, bagaimana?”
526
Ngomong begitu sambil berkedip-kedip
matanya. Waktu melihat wajah saya yang
kecewa bin gela, mas satpam itu
menyarankan saya untuk mencoba
malam-malam ke satu night club baru
yang kecil tapi indah, Le Beo. Bapak suka
dansa malam-malam di sana. Sekali lagi
satpam itu mengerdip-ngerdipkan
matanya.”
“Lantas, lantas?”
527
Saya lantas menyambung laporan saya.
Kami ke Le Beo bertiga saja.
Sesunggguhnya tidak lucu karena
seharusnya kita diharapkan membawa
partner. Tetapi ndilalah ketiga istri kami
alergi dengan klab malam. Untunglah
kami dapat membujuk sang manager
bahwa kami hanya minum dan menemui
seseorang saja, itu pun hanya untuk
sebentar saja. Kami duduk. Minuman
sudah dipesan. Dan musik pun sedang
bermain dengan hangatnya. Musik disko
yang tidak gedobrakan diselingi cha-cha
dan kadang-kadang sekali waltz. Enak
juga. Kaki sudah mulai gatal-gatal
kepingin turun ke lantai. Eh, bukan
Narayana lagi. Tur tidak ada partner. Dan
targetnya kan mau ngomong, melobi
sang mantan jenderal, to? Jadi, ya cukup
jari-jari saja dijentik-jentikkan di meja.
Adik saya yang tidak dansa dan hanya
sekali-sekali saja ke klab malam hanya
untuk meng-entertain relasinya, ketawa
528
cekikikan melihat kombinasi ketegangan,
nostalgia dan kenikmatan terbayang di
wajah saya. Akhirnya, saya melihat pak
jenderal, eh mantan jenderal itu datang
dengan seorang wanita yang aduhai
cantiknya. Pastilah bukan ibu yang
satunya. Untuk itu terlalu manja dan
coquette sikapnya. Sikap yang belum
mapan, belum jelas anggaran
pengeluarannya. Paling-paling calon ibu
yang satunya lagi. Pak mantan jenderal
pun melambaikan tangan kepada saya.
Catatan susulan :
531
Peristiwa di atas terjadi pada tanggal 18
Maret 1988. Saya mengetik kolom ini
pada tanggal 20 Maret 1988. Saya
kirimkan via pos kilat khusus siang hari
tanggal 20 Maret 1988. Pada tanggal 21
Maret 1988 Bapak Presiden akan
mengumumkan susunan kabinetnya.
Pada malam yang bersamaan itu saya
harus njagong resepsi perkawinan
seorang anggota keluarga besar kami
sampai jauh malam. Pasti pada malam
tanggal 21 itu saya belum akan tahu
apakah Mr. Ngalimin akhirnya berhenti
jadi Mr. Almost dan menjadi Mr. Minister.
Ketika kolom ini sampai di tangan
pembaca, Anda pasti sudah akan tahu
apakah Mr. Ngalimin masuk kabinet atau
belum lagi. Wong kolom ini jatuh pada
hari Selasa. Akan halnya dengan saya,
baru akan tahu tanggal 22 sore di
Padang, karena pada hari itu saya harus
terbang ke kota itu. Untuk apa? Ah …
untuk apa lagi kalau bukan untuk jual
532
abab di seminar ….
533
Mr. Rigen Menjangkau Langit
539
makan bakmi kering krip-krip.
540
“Wong dia begitu itu yang ditiru, ya
anak-anak, adik-adik Pak Ageng.”
“Ah, mosok?”
“Ah, mosok?”
542
Mister Blue Moon
550
Di Radio, Aku Dengar …
554
“Huss, umuk Solomu itu, lho. Wong
namanya gaya, kok. Kamu harus
menikmatinya. Juga tidak semuanya
cengklang, cengklang. Lihat-lihat lagunya,
dong. Terus lainnya lagi mosok tidak
menarik. Berita yang macam-macam itu?
Siaran pedesaan?”
557
“Lha, siapa dong?”
561
kesayanganmu …..
562
Merdeka, Mr. Rigen
565
Nansiyem dan Beni bersedih di rumah
membayangkan keramaian Agustusan di
Blunyah. Edan apa?!
568
anggun. Dan anaknya yang baru satu itu,
wahh, matanya bunder dan rambutnya
kluwer-kluwer.
570
Saya tidak terlalu jelas lagi mendengar
sambungannya. Yang terbayang adalah
Mas Koen yang gagah, cemerlang dan
bersih dulu. Bagaimana bisa? Saya baru
sadar kembali waktu saya mendengar Boy
menggerutu kepada pemilik restoran.
573
Membina Budaya Wong Cilik
“Ora ki Pakne.”
Saya kaget.
Halo, matahali
Aku disini
Namaku Beni
581
Engkau matahali
582
Hidup Bagaikan …..
586
“Bukan, bukan itu, nDoro. Gaji dari
Bapak cukup memuaskan. Cuma saya
ingin ganti propesi.”
“Ganti apa?”
590
Malam Suro Mr. Rigen
“Lantas?”
598
Waktu berbicara seperti itu, Mr. Rigen
dengan hormat dan khusuk
menundukkan kepalanya, begitu juga
dengan istrinya. Adapun Beni Prakosa
meski duduk rapi bersila, asyik mengelap-
ngelap rentetan bintang jasa imitasi yang
menempel di dadanya. Rupanya itu
penjabaran wangsit, pesan dari
Simbahnya dalam mimpi malam Anggara
Kasih itu. Wadhuh … saya harus tampil
sebagai pusoko atau kebo bule ini. Tetapi,
melihat keseriusan Mr. Rigen, perut Mrs.
Nansiyem yang semangkin besar dan
Beni Prakosa yang pringas-pringis
sembari pethitha-pethiti dengan bintang
jasa dan gerilyanya, tiba-tiba hati saya
jadi trenyuh. Beginikah rakyatku harus
menyembahku sebagai pusoko? Ganti
pusoko keraton dan kebo bule yang di
Solo itu? Edyann tenan!
599
ini!”
600
Ngalap Berkah Di Malam Suro
602
asli itu ya sega liwet Baki itu, Pak. Lha,
kalo tindak Solo mau mencicipi itu di
Keprabon. Yang kondang itu mBok Lemu.
Makannya harus dari daun dipincuk. Atau
Bapak mau dhahar sate kambing gaya
Solo?”
604
Tangannya menunjuk ke kiri dan kanan.
Persis seperti guide luar negeri yang
sebentar-sebentar bilang, “to your left, to
your right, you will see … “ Dan kepala
kita akan thingak-thinguk ke kiri dan
kanan bagaikan kunyuk Gembira Loka.
609
dan merasa mengantuk sekali, saya tidak
terlalu pasti lagi apakah berkah itu sudah
turun di pangkuanku.
610
Pedagogisch Kontekstual
612
hijau mentah. Sebelum upacara dimulai
bunga-bunga jambon itu sudah pada
mretheli karena, ya dipretheli, oleh siapa
lagi kalau bukan sang Beni sendiri.
Peniupan lilin diksanakan oleh Beni
dengan tuntas. Dengan sekali sebul
matilah tiga lilin itu. Sesudah itu mereka
menyanyikan lagu “Panjang Umurnya”.
Hanya sang teknokrat profesor Amerika
itu yang rupanya ingin show of force
dengan menyanyi “Happy Birthday to
You”.
613
“pedagogisch” pada hampir setiap
kalimatnya.
“Kenapa?”
615
kita mikirin apa, Pak? Peda … peda apa,
Pak?”
“Apa, Pak?”
619
Dari luar Beni berlari ke dalam. Pestol-
nya diacungkan kepadaku.
621
Suro Sakmadyaning Wono
623
semua isinya itu di bawah lindungan saya.
Dan waktu zaman gegeran Londo dulu,
semua tentara dan para priyayi kota yang
mengungsi di desa kami juga saya yang
melindungi mereka semua. Ueh … eh …
he … he … “
625
“Yo wis, gak apa-apa. Tapi, namanya
kok agak berbeda dengan yang dia
sebutkan sendiri, Gen. Namanya tadi
agak lebih panjang itu, Gen.”
626
saja tinggal di sini.”
627
Pak Surodimedjo atau Pak Suro
Sakmadyaning Wono atau Pak Suro siapa
lagi itu, dahulu tidak begitu. Dahulu dia
adalah seorang jagabaya desa yang
sangat penuh dedikasi dengan
pekerjaannya. Tugas menjaga keamanan
desa dan sekitarnya dia kerjakan dengan
baik. Entah sudah berapa maling, rampok
dan kecu kena diringkusnya. Selain itu
Pak Suro juga seorang petani yang boleh
dibilang kaya. Sawahnya luas, rumahnya
joglo, kebunnya juga tidak sedikit
penghasilannya. Pendek kata, Pak Suro
itu boleh dibilang juga seorang yang
populer di desanya.
628
tidak terhitung lagi yang berhutang budi
kepadanya.
629
joglonya disediakan untuk menampung
satu peleton prajurit. Belum lagi satu, dua
keluarga sipil yang mengungsi di desa itu
juga ditampungnya. Milik pribadinya
disumbangkan untuk mengongkosi dapur
umum.
631
Suro pun tidak lama kemudian ikut juga
mati negenes. Pak Suro berupaya ke
sana-sini untuk mengobati Sumini. Entah
sudah berapa dukun dan para waskita
dimintai tolong, tidak berhasil. Dan
Sumini makin menjadi gilanya. Bahkan
jadi berbahaya bagi warga desa karena
mulai berteriak-teriak dan sering
mengamuk. Pak Suro juga mencoba
mencari Mas Lesmana Mandrakumara ke
berbagai kota, tidak berhasil. Akhirnya
Pak Suro memasung Sumini dalam
sebuah gubuk di dalam hutan.
634
Martabak, Bukan Martabat
635
pemerasan lap pelnya.
637
UUD 1945.
Hunjuk Beritahu,
Samijem B (bendahara)
643
para kontraktor asing, menyampaikan
pendapatnya dengan penuh tepo sliro.
Akhirnya, kami memutuskan, untuk
sementara, belum bisa menerima petisi
itu.
644
Badai Pun Sudah Berlalu
“Elok-nya?”
647
“Lho, wong kampanye kok ngangge
gontok-gontokan, ancam-ancaman
segala. Lha, dor … wonten sing mati!”
653
Status
657
Banjarmasin, Menado dan entah ke mana
lagi.”
659
Waktu pulang rutin ke Jakarta, rumah
di Cipinang itu terasa kosong dan sepi.
Saya bangga melihat rumah itu. Dengan
congkaknya saya berkata kepada
keluargaku yang pada nglesot di depan
televisi.
660
Rupanya sore itu bukan sore yang
tepat buat pidato kesederhanaan. Si
Gendut, kencana wingka saya yang
wuragil, menuntut makan luar di hotel
karena sudah berbulan-bulan tapa brata
hidup di ujian tes ke ujian tes.
662
Dollar Rush
Saya manggut-manggut
mendengarkan dengan penuh perhatian
penjelasan nasihatnya yang panjang
lebar. Penjelasannya ilmiah, tetapi tidak
ruwet, to the point, tetapi kalimatnya
canggih-canggih banget. Yang penting
jelas dan saya mudeng. Maklum kadang-
kadang para ilmuwan itu, karena
pendidikan dan bacaannya yang serba
luar negeri, sangat rumit bahasanya.
Tinggi, indah dan tidak memudengkan.
663
Tidak demikian dengan sahabatku yang
satu ini. Panjang, lebar, canggih, rumit,
teoritis dan praktis, penuh dengan
hitungan di kalkulatornya yang
digerakkan dengan tenaga matahari
tetapi kok ces-ces-ces pleng, jelas begitu,
lho! Maklum titelnya saja apes-nya satu,
dua, tiga, empat, lima lho! Doktor dalam
bidang matematika, M.A. di bidang
ekonomi dan M.Sc. di bidang arsitektur
pertamanan. Orangnya sibuk sekali. Jadi
konsultan sana dan konsultan sini.
Blebar-bleber Yogya-Jakarta-Singapura-
Tokyo-Ngawi enak saja nyengklak plin
Garuda, SIA, JAL kayak si Beni Prakosa
nyengklak rak piring teriak-teriak Solo-
Plambanan, lho!
664
kalau saya mentransfer rupiah saya ke
dalam dolar. Mau minta komisi dari saya
rikuh. Wong sahabat, je! Lagi pula dia
sukses di bidang jual beli tanah. Di
samping kesibukan mengajar dan jadi
konsultan itu beliau ternyata juga
pedagang tanah. Lemah dalam bahasa
Jawa, maksud saya …
666
“Ya, tidak didolarkan semua, bento!
Disisakan sedikit buat keprluan sehari-
hari.”
668
Dengan gontai saya pelan-pelan keluar
bank. Cek dak remas-remas di tangan.
Saya ingat di kamus Inggris-Jowo Mr.
Rigen tempo hari arti rollover adalah
“ngglundung”. Wah, memang ngglundung
aku sekarang. Dan di luar aku papasan
dengan Prof. Lemahamba.
669