Anda di halaman 1dari 5

Case Manager: Profesi Baru di Rumah Sakit Indonesia

Rumah sakit yang sedang berproses untuk menyiapkan akreditasi mengenal


prinsip koordinasi pelayanan yang diterjemahkan dalam peran case manager.
Alangkah lebih baik jika kita mencari istilah bahasa Indonesia saja, yaitu pengelola
kasus. Pembimbing akreditasi menyukai definisi pengelola kasus
menurut American Case Management Association (AMCA) ialah:

Pengelolaan kasus di rumah sakit dan sistem pelayanan kesehatan adalah


model praktek kolaboratif yang mencakup pasien, perawat, pekerja sosial,
dokter, tenaga kesehatan lain, pemberi pelayanan, dan komunitas. Pengelolaan
kasus ini mencakup komunikasi dan memfasilitasi pelayanan menjadi satu
kontinuum melalui koordinasi sumber daya yang efektif. Tujuan pengelolaan
kasus mencakup pencapaian kesehatan yang optimal, akses ke pelayanan
kesehatan, dan utilisasi sumber daya yang tepat, seimbang dengan hak pasien
untuk menentukan nasibnya sendiri (1).

Di Indonesia, pengelolaan kasus mulai diperkenalkan pada program


pemberantasan penyakit menular seperti HIV/AIDS dan tuberkulosis. Berbagai
rumah sakit yang mengelola penyakit kronis maupun keganasan memperkenalkan
konsep integrasi perawatan dengan komunitas penyakit sejenis untuk memberikan
daya dukung bagi pasien. Contoh komunitas ini adalah komunitas penderita
kanker pada anak, komunitas lupus, klub diabetes melitus, komunitas stroke, dan
lain-lain.

Sebagian besar contoh yang disebutkan di atas melibatkan pelayanan di rawat jalan
dan sebagian rawat inap. Penekanan peran lebih pada koordinasi antar pelayanan
kesehatan dan komunitas. Dalam akreditasi, pengelola kasus memegang peran
penting dalam koordinasi antara dokter penanggung jawab pasien (DPJP),
profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya, pasien, keluarga, dan pihak lain yang
berkepentingan.

Pengelola kasus bisa berasal dari kalangan perawat senior, atau dokter, atau
profesi lain. Dengan pola pendidikan dan budaya sistem kesehatan Indonesia,
rasanya agak mustahil bila pengelola kasus ini non perawat atau non dokter.
Profesi lain akan sulit berkomunikasi dengan tenaga kesehatan di dalam rumah
sakit. Pengelola kasus bukan merupakan pemberi pelayanan langsung namun
mengetahui dan menguasi proses pelayanan pada pasien dan dapat menjadi orang
terdekat pasien selama perawatan di rumah sakit.

Lebih lanjut, ACMA menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pengelola


kasus mempunyai lima kategori dalam ruang lingkup pelayanannya, meliputi
pendidikan, koordinasi pelayanan, kepatuhan, pengelolaan transisi, dan
pengelolaan utilisasi. Sementara itu, standar pelayanan pengelola kasus menurut
ACMA adalah akuntabilitas, profesionalisme, kolaborasi, koordinasi pelayanan,
advokasi, pengelolaan sumber daya, dan sertifikasi.

Pertanyaan yang relevan diajukan di Indonesia adalah: apakah pengelolaan kasus


oleh pengelola kasus ini benar dapat meningkatkan mutu pelayanan? Jawabannya
belum bisa disimpulkan pada saat ini, karena pengelolaan kasus belum dilakukan
di sebagian besar rumah sakit Indonesia. Beberapa rumah sakit yang
melakukannya terbatas pada kriteria yang khusus, misalnya pasien BPJS PBI, pasien
kanker, dan pasien dengan kasus high risk, high cost, dan problem prone.

Beberapa studi pustaka memberikan variasi hasil pada penerapan pengelolaan


kasus di rumah sakit. Sebagai contoh, penelitian Chen et al. (2013) di Taiwan
menyimpulkan bahwa ada keuntungan melakukan pengelolaan kasus oleh perawat
dibandingkan pemberian pelayanan reguler seperti biasa pada pasien kanker.
Penelitian ini mengambil secara acak 600 pasien kanker yang dimasukkan ke
dalam program pengelolaan kasus, dibandingkan dengan 600 pasien kanker lain
dari register rawat inap yang diterapi dengan pelayanan reguler. Penelitian ini
mengukur efektivitas pelayanan termasuk tingkat pasien yang melanjutkan
pengobatan, tidak patuh pada pengobatan, perawatan inap yang panjang, readmisi
tanpa rencana, dan admisi terencana untuk pengobatan aktif. Pada penelitian ini,
proses pengeloaan kasus direduksi hanya pada faktor efektivitas saja.

Sebuah systematic review (3) yang dilakukan di Eropa beberapa tahun sebelumnya


memberikan hasil yang berbeda. Systematic review terhadap tujuh penelitian
berbasis pengelolaan kasus pada pasien-pasien kanker dan gagal menemukan
manfaat pengelolaan kasus. Target populasi yang sangat heterogen dan
metodologi penelitian yang sangat beragam dianggap sebagai kontributor
gagalnya pengambilan kesimpulan manfaat pengelolaan kasus pada pasien-pasien
kanker.
Tahun 2012 diwarnai dengan sebuah penelitian kualitatif menarik mengenai
pengaruh pengelolaan kasus pada populasi tunawisma berpenyakit kronis (4).
Wawancara mendalam dilakukan pada 14 tunawisma di Amerika Serikat.
Kesimpulan penelitian ini mencengangkan, karena ditulis dengan memanfaatkan
situasi emosional tunawisma yang bersyukur ada orang yang peduli pada mereka.
Para subjek yang diwawancarai mengatakan dengan mantap bahwa keberadaan
pengelola kasus yang mengelola penyakit kronis dan melakukan pendampingan
yang menyeluruh sungguh meningkatkan derajat kesehatan mereka.

Menarik untuk mendalami penelitian tersebut. Para tunawisma yang menjadi


subjek penelitian mengawali dengan menggambarkan keterasingan sebelum
mereka bertemu dengan para pengelola kasus. Keterasingan atau isolasi ini
ternyata bagi mereka membawa konsekuensi tingkat kesehatan yang lebih rendah.
Kesendirian, mereka asosiasikan dengan rasa nyeri, tekanan darah yang naik, dan
keluhan-keluhan lain.

Dua hal penting yang bisa dipelajari dari penelitian ini adalah keterikatan
hubungan interpersonal yang erat antara pasien dan pengelola kasus dan
bagaimana pengelola kasus dapat memfasilitasi peserta kepada pelayanan sosial
dan pelayanan medis. Para subjek menyampaikan proses mengakses pelayanan
kesehatan yang jauh lebih mudah dan tidak berbelit-belit ketika mereka
mempunyai pengelola kasus.

Dalam era sistem jaminan sosial nasional, peran pengelola kasus ini tetap penting.
Sistem rujukan berjenjang dan sistem rujukan balik mudah dipahami di kalangan
pemberi layanan kesehatan, namun sulit diterima para penerima layanan
kesehatan. Rujukan berjenjang dikeluhkan sebagai penyulit dalam mengakses
pelayanan medis spesialistik. Peran pengelola kasus mulai diimplementasikan
sehingga pasien setelah rawat inap lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan
dalam level yang tepat.

Fungsi inilah yang oleh ACMA digambarkan sebagai pengelolaan transisi dan
utilisasi. Pengelolaan transisi dimulai ketika pasien berada dalam fase post akut.
Dalam tahap ini, pengelola kasus mulai dapat berkontribusi untuk penempatan
pasien sesuai dengan level kebutuhan mereka. Setelah pasien keluar dari rawat
inap, pengelola kasus dapat berkomunikasi dengan komunitas dan masyarakat
termasuk keluarga pasien mengenai hal-hal penting terkait kebutuhan kesehatan
pasien. Koordinasi saat transisi ini juga dilengkapi dengan tindak lanjut, bila nanti
pasien membutuhkan readmisi (1).

Pengelolaan utilisasi menjadi pekerjaan yang lebih teknis dan administratif bagi
pengelola kasus. Pengelolaan ini mencakup cara pasien mengakses pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya, namun juga memastikan bahwa
pihak ketiga yang menanggung pembiayaan mengerti kebutuhan ini dan
memberikan pembiayaan yang perlu. Semua hal ini akan menjadi tanggung jawab
pengelola kasus, termasuk ketika pihak pembayar tidak dapat melaksanakan
fungsinya dan terpaksa memakai sistem lain untuk pembiayaan pasien tersebut.

Dengan berbagai fungsi ini, jelaslah bahwa pengelolaan kasus di rumah sakit dapat
berkontribusi pada keselamatan, efektivitas, dan efisiensi pelayanan. Dalam tugas
dan wewenangnya, dapat pula ditambahkan peran sebagai penjaga mutu dan
sebagai pengawas utilisasi layanan kesehatan. Tantangan yang dihadapi antara lain
sertifikasi dan pendidikan berkala. Berbeda dengan profesi lain yang telah
mempunyai asosiasi profesi, pengelola kasus sampai saat ini belum mempunyai
organisasi profesi sehingga belum ada kesepakatan mengenai pendidikan dan
sertifikasinya.

Daftar Pustaka
dr. Robertus Arian Datusanantyo
Wakil Ketua Tim Akreditasi RS Panti Rapih
Tulisan ini merupakan opini pribadi

Daftar Pustaka

1. ACMA. Standards of Practice & Scope of Services for Health Care Delivery
System Case Management and Transitions of Care (TOC) Professionals. Little
Rock, AR: American Case Management Association; 2013.
2. Chen Y-C, Chang Y-J, Tsou Y-C, Chen M-C, Pai Y-C. Effectiveness of nurse
case management compared with usual care in cancer patients at a single
medical center in Taiwan: a quasi-experimental study. BMC Health Serv Res
[Internet]. BMC Health Services Research; 2013 Jan [cited 2013 Nov
1];13(1):202. Available
from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3673875&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
3. Wulff CN, Thygesen M, Søndergaard J, Vedsted P. Case management used to
optimize cancer care pathways: a systematic review. BMC Health Serv Res
[Internet]. 2008 Jan [cited 2013 Nov 1];8:227. Available
from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=2596122&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
4. Davis E, Tamayo A, Fernandez A. "Because somebody cared about me. That's
how it changed things": homeless, chronically ill patients' perspectives on
case management. PLoS One [Internet]. 2012 Jan [cited 2013 Nov
1];7(9):e45980. Available
from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3461032&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 

Anda mungkin juga menyukai