Anda di halaman 1dari 13

TUGAS ANTROPOLOGI FORENSIK

PROTOKOL ANTROPOLOGI

Disusun oleh :
Dwi Susilowati (092014653008)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FORENSIK


FAKULTAS SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
PENDAHULUAN

Forensik antropologi merupakan aplikasi pengetahuan dan teknik antropologi


fisik untuk masalah signifikansi medikolegal. Dengan tujuan untuk membantu
mengidentifikasi jenazah dan membantu menentukan apa yang terjadi pada jenazah.
Biasanya, bahan yang sering di lakukan pemeriksaan terdiri dari sisa – sisa kerangka
yang sebagian besar atau seluruhnya, atau bukti kerangka yang telah dikeluarkan dari
sisa – sisa daging, yang tidak teridentifikasi penting untuk alasan hukum maupun
alasan kemanusiaan (Klepinger et al, 2006).
Upaya dalam mengidentifikasi kerangka (antropologi forensik) bertujuan
untuk membuktikan bahwa kerangka tersebut merupakan kerangka manusia, dan
dapat menentukan ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri – ciri khusus,
deformitas dan jika memungkinkan kerangka dapat dilakukan rekontruksi wajah,
dapat pula dilihat adanya tanda kekerasan pada tulang, memperkirakan waktu
kematian, akibat kematian, dan riwayat penyakit terdahulu atau luka saat masih hidup
yang menimbulkan bekas pada struktur tulang (Indriati, 2004).

PEMBAHASAN

1. Identifikasi Rangka
Dapat dilakukan identifikasi jika tulang yang telah ditemukan benar – benar
tulang manusia atau hewan. Dalam melakukan identifikasi langkah pertama yang
dilakukan adalah memisahkan objek yang di temukan tulang manusia, tulang
hewan, dan sisa artefak. Saat melakukan identifikasi di tahap ini, tulang – tulang
yang dapat gunakan dari sisa rangka manusia adalah tengkorak, tulang panjang,
tulang pipih, dang bagian truncus baik yang kondisinya masih utuh atupun sudah
terfragentasi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan mikroskop untuk dapat melihat
morfologi sel dan analisis elemental pada potongan material tersebut, sehingga
dapat dipastikan bahwa temuan tersebut merupakan tulang manusia (Blau and
Ubelaker, 2009).
Jika ditemukan tulang tengkorak, yang telah tercampur dengan tulang hewan
dapat di bedakan dengan mengenali anatomi tulang tengkorak manusia. Saat
pemeriksaan pada volume otak/rongga tengkorak manusia pada umumnya
>1500cc pada golongan primata lebih kecil. Pada manusia os frontalisnya lebih
1
menonjol, fragmen magnum lebih besar, tengkorak lebih tipis, dan cephalic index
lebih besar.
Setiap individu mempunyai 190 tulang, yang terdiri dari tulang panjang,
pendek, pipih dan tidak teratur. Selain morfologi bentuk dari elemen kerangka,
tekstur eksternal dan internal pada tulang sangat penting dalam mendiagnosis
tulang tersebut dan spesiesnya. Cara lain untuk dapat membedakan tengkorak
manusia dan hewan dapat melalui gigi taring dimana gigi taring hewan lebih
menonjol dan lebih panjang dari pada gigi taring manusia. (Diane L. France,2008)
2. Identifikasi Jumlah Individu dari Temuan Kerangka
Menentukan jumlah minimum individu yang ada (minimum nuber of
individuals MNI). rangka manusia yang ditemukan dapat dilakukan dengan
mengamankan dan mengumpulkan semua sisa – sisa kerangka yang telah
ditemuakan, kemudian dapat di identifikasi, dengan petunjuk yang begitu mudah
untuk dapat menentukan dua atau lebih kerangka adalah dengan menduplikasi
kerangka, contoh terdapat 2 tulang femur kiri sehingga bisa disimpulkan terdapat
dua individu dari kumpulan kerangka. Jika kerangka yang di dapatkan memiliki
perbedaan ukuran dan adanya perbedaan umur kerangka maka dapat dipastikan
bukan hanya satu individu (Burns, K. R. 2013).
3. Identifikasi Kapan Kematian Terjadi
Sangat sulit untuk melakukan identifikasi perkiraan waktu kematian dalam
pemeriksaan tulang, meskipun begitu dugaan-dugaan dapat dibuat dengan
memperhatikan adanya fraktur, aroma, dan kondisi jaringan lunak dan ligmen
yang melekat pada tulang. Pada kasus fraktur, dapat diperkirakan waktu kematian
dengan pemeriksan callus setelah dibedah secara longitudinal. Pada beberapa
kematian aroma yang dikeluarkan sangat khas dan menyengat (Blau dan
Ubelaker, 2009).
Adapun penentuan umur tulang dapat di lakukan dengan pemeriksaan seperti:
a. Tes Fisika
Tes Fisika yang lain adalah pengukuran kepadatan dan berat tulang,
pemanasan secara ultra sonik dan pengamatan terhadap sifat-sifat yang timbul
akibat pemanasan pada kondisi tertentu.

2
b. Tes Kimia
Metode yang digunakan pada tes kimia adalah mikro – Kjeld – hal dengan
melakukan pengukuran pengurangan jumlah protein dan nitrogen tulang. Jika
pada pemeriksaan tulang mengandung lebih dari 4 % Nitrogen, diperkirakan
bahwa lama kematian tidak lebih dari 100 tahun, tetapi jika tulang
mengandung kurang dari 2,4 %, diperkirakan tidak lebih dari 350 tahun.
Penulis lain menyatakan jika nitrogen lebih besar dari 3,5 gram percentimeter
berarti umur tulang saat kematian kurang dari 50 tahun, jika Nitrogen lebih
besar dari 2,5 per centimeter berarti umur tulang atau saat kematian kurang
dari 350 tahun.
c. Tes Serologi
Tes yang positif pada pemeriksaan hemoglobin yang dijumpai pada
pemeriksaan permukaan tulang ataupun pada serbuk tulang, mungkin akan
memberikan pernyataan yang berbeda tentang lamanya kematian tergantung
pada kepekaan dari tehnik yang dilakukan. Serbuk tulang yang diolesi dengan
amoniak yang konsentrasinnya rendah, mungkin akan memberi reaksi yang
positif dengan serum anti human seperti reagen coombs, lama kematian kira-
kira 5–10 tahun, dan ini dipengaruhi kondisi lingkungan.
Melekatnya sisa jaringan lunak pada tulang memiliki perbedaan
tergantung pada kondisi lingkungan, dimana tulang terletak. Kemungkinan
Mikroba telah merubah seluruh jaringan lunak dan tulang rawan. Jika mayat
dikubur pada tempat yang tertutup, jaringan yang kering dapat bertahan
beberapa tahun, jika mayat di letakan pada iklim yang panas dan terbuka
biasanya pada tahun pertama hanya tinggal rangka, walaupun tandon dan
periosteumnya mungkin masih bertahan sampai 5 tahun atau bahkan lebih.
Secara kasar kita dapat memperkirakan lamanya kematian yang dapat
dilihat dari keadaan tulang seperti :
1. Dari Bau Tulang
Jika masih dijumpai bau busuk dapat diperkirakan lamanya kematian <
5 bulan. Apabila tidak berbau busuk lagi diperkirakan kematian lebih
dari 5 bulan.
2. Warna Tulang

3
Bila warna tulang masih kekuningan masih dapat diperkirakan
kematian < 7 bulan. Jika warnanya sudah berubah agak keputihan
dapat diperkirakan kematian > 7 bulan.
3. Kelompok Kepadatan Tulang
Setelah semua jaringan lunak lenyap, tulang yang baru masih dapat
dibedakan dari tulang yang lama dengan melihat kepadatan dan
keadaan pada permukaan tulang. Jika tulang telah memunyai pori –
pori yang merata dan telah rapu diperkirakan kematian lebih dari 3
tahun.
Tulang yang masih baru memiliki ciri – ciri seperti : mempunyai sisa jaringan
lunak yang masih melekat pada tendon dan ligamen, terasa lebih berat, fluoresensi
menyeluruh pada penampang tulang yang berwarna perak kebiruan, mengandung
kira - kira 4,5% nitrogen atau 3,4 gram/cm, mengandung sekurang – kurangnya 7
jenis Asam amino, bila masih ada aktifitas biologi (Ritonga, Mistar,2004)
4. Identifikasi Usia
Identifikasi usia bisa dilihat pada panjang tulang, penyatuan tulang, serta
erupsi gigi (pada anak – anak), dan pertumbuhan tulang ephiphise. Usia dapat
diperkirakan dalam tujuh kelompok usia untuk mengklasifikasikan sisa rangka
manusia seperti janin (sebelum lahir), bayi 0-3 tahun, anak 3-12 tahun, remaja 12-
20 tahun, dewasa muda 20-35 tahun, dewasa tengah 35-50 tahun, dewasa tua 50
tahun.
Gigi bisa digunakan sebagai penentu usia dengan berdasarkan
pertumbuhannya. Gigi yang tahan terhadap panas adalah gigi geligi jika terbakar
pada suhu 4000C gigi tidak akan hancur.
Penentuan usia dari tulang yaitu :
Terbaik menggunakan gigi
Usia 0 – 5 tahun Fase gigi sulung, pola erupsi gigi
dewasa dapat diketahui.
Penyatuan epifisis
Usia 6 – 25 tahun Fusi epifisis bervariasi dengan jenis
kelamin dan biasanya selesai pada usia
25 tahun
Usia 25 – 40 tahun Sangat keras
Pada dasarnya terdapat kausan pada
Usia >40 tahun tulang, penyakit periodontal, arthritis,
kerusakan panggul.

4
Penentuan usia melalui penyatuan epifisis (garis epifisis) pada tulang panjang
yang terutama di gunakan pada anak – anak yang dalam pertumbuhan. Garis
epifisis pada tulang humerus bagian distal menutup pada umur 13 – 15 tahun pada
perempuan sedangkan umur 14 – 15 tahun pada laki – laki. Pada tulang radius
proksimal mnutup pada umur 13 – 14 tahun pada perempuan dan 14 – 15 tahun
pada laki – laki. Pada tulang ulna bagian distal pada umur 17 tahun pada
perempuan dan 18 tahun pada laki – laki. Pada tulang clavicula bagian medial
pada umur 20 tahun pada perempuan dan 22 tahun pada laki – laki. Penulangan
tulang rawan pada garis epifisis di perempuan terjadi lebih awal dari pada laki –
laki.
Memperkirakan usia berdasarkan jahitan tengkorak. Jahitan sagital teletak di
sepanjang bagian atas tengkorak yang membagi area kanan, kiri, dan membentang
dari atas ke tengah hingga belakang tengkorak, jahitan sagital dapat ditemukan di
eleton. Jahitan oronal berada di area temporal di satu sisi dari atas ke sisi lainnya.
Jahitan oronal terdapat pada bagian belakang tengkorak.
Jika jahitan pada bagian sagital benar-benar tertutup (tidak terlihat pada titik
manapun) :
Pria : individu berusia 26 tahun atau lebih
Wanita : individu berusia 29 tahun atau lebih
Jika jahitan pada bagian sagital benar-benar terbuka (terlihat disemua titik) :
Pria : individu lebuh muda dari 32 tahun
Wanita : individu lebih muda dari 35 tahun
5. Identifikasi Jenis Kelamin
Jika sudah jelas tulang belulang yang diperiksa adalah tulang manusia,
selanjutnya dapat ditentukan jenis kelamin. Adanya perbedaan tulang yang dapat
terlihat antara laki – laki dan perempuan saat sesudah pubertas. Umumnya tulang
pada perempuan lebih kecil, lebih ringan, dan lebih halus karena tonjolan sebagai
tempat perlekatan otot dan tendon tidak begitu menonjol pada prempuan.
Sedangkan tulang laki-laki cenderung memiliki area yang lebih luas untuk
perlekatan otot, sakrum wanita lebih lurus, pada laki-laki lebih melengkung.
Ruang tengah pada panggul lebih besar pada wanita untuk memudahkan
persalinan. Dalam menentukan jenis kelamin dapat dengan membedakannya
melalui pelvis, carnium dan juga femur. Dalam menentukan jenis kelamin sangat
penting saat menganalisis sisa – sisa kerangka manusia yang tidak dikenal. Os

5
pubis, os sacrum dan os ilium pelvis merupakan tulang yang mempunyai
perbedaan sangat jelas antara laki – laki dan perempuan (Budiyanto et al., 1999).

Penentuan jenis kelamin melalui Femur (Garvin et al., 2012).


Ciri – ciri Laki – laki Perempuan
Panjang Lebar panjang Lebar pendek
Tempat perlekatan otot prominent Kurang prominent
Diameter caput femur Lebih lebar Lebih kecil
Diameter caput humerus Lebih lebar Lebih kecil
Condylus humerus Permukaan luas, lebar Lebih kecil

Penentuan jenis kelamin melalui Pelvis


Karakter Tulang Laki - laki Perempuan
Lengkung Subpubic Bentuk V Lebih lebar, mendekati
bentuk U
Foramen Obturator Besar Keci, cenderung segitiga
Inlet Superior Bentuk Jantung Lebih bundar & lebih
besar
Ilium Tinggi, mengarah tegak Kecil, lebih mengarah
ke atas ke lateral
Acetabulum Besar, lebih mengarah Kecil, lebih mengarah
kedepan ke lateral
symphisis Tinggi, segitiga, biconvex Rendah segi empat,
arah anteroposterior Anterior konvex, dan
posterior datar

Penentuan jenis kelamin melalui tengkorak


Karakter Tulang Laki – laki Perempuan
Kranium dari wajah Secara umum lebih besar Secara umum lebih kecil
Kapasitas kranium Cenderung >1450cc Cenderung <1300cc
Rigi supraorbital Lebih menonjol Lebih halus / datar
Dahi / frontal Mengarah kebelakang Lebih tegak dan
membulat
Tulang zygomaticus Lebih besar, lebar, dan Kecil, ramping, dan
kasar halus
Dagu Cenderung segiempat, Lebih runcing
berproyeksi kedepan

6. Identifikasi Postmortem Interval


Interval postmortem merupakan salah satu masalah krusian ketika menangani
mayat yang ditemukan di TKP. Seorang antropologi forensik dapat memperkiraan
postmortem interval menggunakan teori kaulitatif yang memberikan gambaran
pada terjadinya pembusukan jaringan lunak saat awal pembusukan dengan

6
mengandalkan pengetahuan menganai lingkungan sekitar. Penentuan waktu
kematian merupakan salah satu masalah forensik yang paling kompleks adanya
berbagai faktor lingkungan dan endogen yang dapat mempengaruhi, bahkan
secara signifikan, dan proses pembusukan jenazah. Adapun metode yang dapat
memperkirakan postmortem interval berdasarkan faktor intrinsik adalah variabel
yang menyangkut mayat manusia itu sendiri, seperti penyebab kematian, luka
atau trauma, dan berat badan. Sedangkan pada faktor ekstrinsik adalah pengaruh
lingkungan seperti kelembapan udara, suhu lingkungan, tingkat oksigen, tngkat
paparan sinar matahari, cakupan tubuh, aktivitas serangga, dan parameter bawah
tanah.
7. Identifikasi Ras
Identifikasi ras dengan pemeriksaan kerangka masih begitu sulit, harus
memiliki pengalaman serta pengetahuan antropologi yang cukup. Dalam
pembagian ras dibedakan menjadi ras Eropa (Kaukasoid), Mongolo, dan Negro.
Rangaka yang dapat digunakan sebagai penentu ras adalah ciri tengkorak dan gigi
geligi. Tulang tengkorak dapat memberikan perbedaan ras hingga 85 – 95% kasus
(Byers, 2010).
Pemeriksaan ras dengan menggunakan tengkorak adalah ciri – ciri metrik dan
nonmetrik, seperti panjang dan lebar tengkorak, kekuatan tenkorak, bentuk
tengkorak dan keunikan spesifik pada bentuk gigi. Adapun perbedaan yang bisa
ditemukan pada ras mongoid dan negroid gigi serinya berbentuk sekop sedangkan
pada ras kaukasoid tidak. Perbedaan pada tulang pipi ras kaukasoid kurang lebar,
sedangkan negroid lebar datar dan mongoloid terletak di antaranya (indriati,
2004).
Perbedaan morfologi ras mongolloiid, nergroid dan kaukasoid dapat dilihat :
Kaukasoid memiliki lubang hidung yang panjang dan sempit, langit-langit
segitiga, orbit oval, lengkungan zygomatik sempit, dan pegangan tangan sempit.
Deskriptor untuk orang keturunan Eropa, Timur Tengah, dan India Timur.
Negroid memiliki lubang hidung lebar, langit-langit persegi panjang, orbit
persegi, dan lengkungan zygomatik yang terlihat lebih jelas. Tulang panjangnya
lebih panjang dan memiliki lebih sedikit kelengkungan dan kepadatan yang lebih
besar. Deskriptor untuk orang Afrika, Abrogin, dan keturunan Malanesia.

7
Mongoloid memiliki lubang hidung yang lebih bulat, langit-langit parabola, orbit
bulat, lengkungan zygomatik lebar, dan rahang yang lebih runcing. Deskriptor
untuk orang Asia, Amerika Asli, dan keturunan Polinesia
8. Identifikasi Perkiraan Tinggi Badan
Apabila bagian seluruh tubuh dapat ditemukan seluruhnya maka tidak begitu
sulit dalam menentukan tinggi badan seseorang, yaitu dengan cara menghimpun
kembali dan mungukur secara langsug tingg badanya. Tapi apabila yang
ditemukan hanya sebgaian tubuh atau sebagian kerangka saja, maka cara yang
dapat dilakukan adalah dengan mengukur panjang tulang humerus, radius, ulna,
femur, tibia, dan fibula dengan menggunakan suatu rumus.
Pada keadaan tubuh yang sudah tidak lagi utuh, dapat diperkirakan tinggi
badan seseorang secara kasar, yaitu dengan : (El Najjar M.Y. Forensic
Anthropology. New York: Publisher Illionis; 1978. p. 83– 105)
a. Perkiraan tinggi badan seorang wanita (sentimeter) :
H = Panjang Femur x 2,21 + 61,41
H = Panjang Tibia x 2,53 + 72,57
H = Panjang Humerus x 3,14 + 64,97
H = Panjang Radius x 3,87 +73,50
b. Perkiraan tinggi badan seorang laki – laki (sentimeter) :
H = Panjang Femur x 2,23 + 69,08
H = Panjang Tibia x 2,39 + 81,68
H = Panjang Humerus x 2,97 + 73,57
H = Panjang Radius x 3, 65 + 80,40
c. Mengukur jarak kedua ujung jari tengah kiri dan kanan pada saat direntangkan
secara maksimum, akan memberikan hasil adanya kesamaan dengan ukuran
tinggi badan seseorang.
d. Mengukur panjang mulai dari puncak kepala (Vertex) sampai symphisis pubis
dikali 2, atau dengan mengukur panjang dari symphisis pubis pinggang dan
kaki direngang serta tumit dijinjitkan.
e. Mengukur panjang salah satu lengan (diukur melalui salah satu ujung jari
tengah hngga ke acromion di klavicula pada sisi yang sama) di kali 2 (cm),
kemudian di tambah dengan 34 cm (yang terdiri 30 cm panjang 2 buah
klavicula dan 4 cm lebar dari manubrium sterni/sternum)

8
f. Mengukur panjang dari lekuk di bagian atas sternum (sternal notch) sampai
symphisis pubis lalu di kali 3,3
g. Mengukur panjang ujung jari tengah hingga ujung olecranon pada satu sisi
yang sama, lalu dikali 3,7
Dalam identifikasi perkraan tinggi badan dapat juga menggunaan rumus yang
dapat di pakai yaitu : (Idries, 1992; Curran et al.., 1980; El Najjar dan McWilliams,
1978)
1. Karl Pearson
2. Trotter dan Gleser
3. Dupertuis dan Hadden
4. Regresion Formula
5. Rumus Antropologi Ragawi UGM untuk pria dewasa
6. Rumus untuk populasi dewasa muda di Indonesia oleh Djaja S.A
9. Apakah kerangka tersebut menunjukan kelainan anatomi yang signifikan, tanda-
tanda penyakit lama dan sedera atau karakteristik lain dengan kombinasi tunggal
atau kombinasi, cukup unik untuk memberikan identifikasi positif dari orang
yang meninggal?
Faktor pada individualis yang bisa di lakukan identifikasi adalah kondisi
dimana patologis (abnormalitas) pada tulang. Dapat dilakukan identifikasi pada
salah satu tulang panjang baik dalam keadaan masih baik ataupun sudah menjadi
sisa-sisa tulang, terdapat tulang yang memiliki perbedaan pada morfologinya yang
dapat mengindikasikan adanya penyakit. Jenis penyakit yang dapat diperkirakan
adalah yaws atau sifilis, penyakit tersebut merupakan penyakit yang tergolong
infeksi. Kedua penyakit tersebut akan terlihat pada tulang femur dan tulang tibia.
Adapun yang dapat ditemukan selain penyakit infeksi adapula patologis yang
berkaitan dengan metabolisma tubuh yaitu anemia. Pola pada tulang tampak
seperti sarang semut yang terdapat pada dinding atas orbita, umumnya dikenal
sebagai cribra orbitalia. Selain pola lesi ada serupa yang dapat diamati pada kubah
tengkorak (porotic hyperostosis), dugaan adanya permaslaagan penyakit yang
bersifat degeneratif dapat ditemukan juga pada pola penipisan tengkorak. Hasil
yang didapat dari individualisasi juga kemungkinan dapat ditemukannya indikasi
trauma pada tulang antemortem yang mengalami penyembuhan dan berkalus.
Dengan adanya karakteristik khusus (individualisasi) pada temuan sisa rangka
manusia dapat memberikan informasi tentang bagaimana seseorang individu

9
dalam kehidupannya dan sejauh mana keadaan lingkunganya yang dapat
memberikan pengaruh pada kondisi biologisnya
10. Identifikasi Penyebab Kematian
Identifikasi pada penyebab kematian sangat sulit untuk diketahui jika hanya
melihat dari sisa-sisa tulang, kecuali jika didapati fraktur atau cedera, seperti
fraktur pada tulang tengkorak atau pada cervikal atas dan potongan dalam pada
tulang yang mengarah kepada penggunaan alat pemotong yang kuat. Penyakit-
penyakit pada tulang seperti karies atau nekrosis, ataupun cedera bakar.
- Tulang tanpa adanya jaringan lunak yang dikremasi/dibakar terdapat retakan
tulang yang akan muncul cracking, checking, dan splitting (pecah dan
terbelah-belah)
- Tulang dengan jaringan lunak yang dikremasi/dibakar akan muncul pola
patahan tulang tranvesal/melintang dan terbelah longitudina
- Trauma api yang menuju kematian akan muncul pada posisi khas karena
musculus pectoralis major mengkerut
- Pada permukaan tulang yang patah perlu dilihat ada tidaknya noda yang
terlihat fraktur/injury mendahului peristiwa tertentu, noda tersebut berupa
noda perdarahan, cairan badan yang meresap selama dekomposisi,
kontaminasi tanah, air kotor, serta noda dedaunan
- Injury wajah yang disebabkan pukulan benda tumpul akan menyebabkan
faktur os. Zygomaticus, os. Nasal, os. Orbita
- Tinjuan tangan akan menyebabkan fraktur os. Hyoid/Cartilago thyroid dan
cartilago cricoid, fraktur os. Vertebra cervicalis.
(Idries, 1992; Krogman dan Iscan, 1986; Klepinger, 2006)
11. Identifikasi Cara Kematian
Penentuan penyebab kematian merupakan langkah awal dalam menentukan
cara seseorang mengalami kematian, dengan mengetahui cara kematian dapat
empermudah identifikasi motif kejahatan yang telah dilakukan. Karena penyebab
dan cara kematian merupakan opini, ada berbagai interpretasi lokal mengenai kapan harus
menggunakan cara kematian tertentu dan bahkan tingkat kepastian yang diperlukan
(probabilitas versus tingkat kepastian yang wajar). Cara potensial kematian ada
beragam seperti kematian alamiah semata-mata atau hampir seluruhnya
dikarenakan penyakit atau adanya proses penuaan, pembunuhan adalah kematian
yang terjadi disebabkan oleh orang lain untuk menyebabkan ketakutan, bahaya,

10
atau kematian namun niat untuk menyebabkan kematian adalah elemen umum
tetapi tidak diperlukan untuk klasifikasi sebagai pembunuan. Kecelakan adalah
kematian yang ada atau tidak ada bukti bahwa cedera atau keracunan telah terjadi
dengan maksud untuk menyakiti atau menyebabkan kematian, intinya hasil yang
fatal tidak disengaja. Bunuh diri adalah kematian hasil dari cedera atau keracunan
sebagai akibat dari tindakan yang disengaja dan dilakukan untuk melukai diri
sendiri atau menyebabkan kematian pada diri sendiri (James R. Gill, Eloy Girela-
Lopez,2009).

DAFTAR PUSTAKA
Blau, Soren. Ubelaker, Douglas H. 2009. Handbook of forensic anthropology and
archeology, Left Coast Press, Inc, New York.
Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Atmaja, D. S. 1999.  Identifikasi  Identifikasi
Forensik  Forensik . Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Burns, K. R. 2013. Forensic Anthropology Training Manual. New Jersey: Prentice
Hall
Byers. 2010.  Introduction  Introduction to forensic forensic anthropology
anthropology fourth edition edition. Prentice Hall Publisher, Colorado.
Diane L. France - Human and Non-Human Bone Identification. A color atlas-CRC
Press (2008)
El Najjar M.Y. Forensic Anthropology. New York: Publisher Illionis; 1978. p. 83–
105.
El Najjar, M.Y., McWilliams, K.R. 1978.  Forensic  Forensic Anthropology
Anthropology. Illionis: Charles C. Thomas Publisher.
Garvin, M.H., Passalacqua, N.V., Natalie M., Gipson, D.R., Overbury, R.S., and
Cabo, L.L., 2012,  A Companion Companion to Forensic Forensic
Anthropology, Anthropology, First Edition Edition, Blackwell
Publishing Ltd.
Giampaolo Piga a, Assumpcio` Malgosa a , T.J.U. Thompson b , Stefano Enzo c,
Journal of Archaeological Science (A new calibration of the XRD
technique for the study of archaeological burned human remains) ·
August 2008
Idries A.M. 1992. Identifikasi.  Identifikasi. Dalam Pedoman Dalam Pedoman Ilmu
Kedokteran Ilmu Kedokteran Forensik  Forensik . Edisi Pertama. Jakarta:
Binarupa Aksara.

11
Indriati, Etty. Antropologi forensik: identifikasi rangka manusia, aplikasi
antropologi biologis dalam konteks hukum. Gadjah Mada University
Press, 2004.
James R. Gill, Raffaella A. Morotti, Vincent Tranchida, Jacquelyn
Morhaime, Hernando Mena Pediatric and Developmental Pathology, vol.
11, 1: pp. 39-45. , First Published September 1, 2009
Klepinger, L.L. 2006. Fundamentals of  Fundamentals of Forensic Anthropology
Forensic Anthropology. America: A John Wiley & Sons Inc Publication.
Ritonga M. Penentuan Lama Kematian Dilihat Dari Keadaan Tulang. Publikasi:
Digitized by USU digital library Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2004. (diunduh November
2013)

12

Anda mungkin juga menyukai