Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/282946295

Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: telaah peran


faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan

Conference Paper · November 2007


DOI: 10.13140/RG.2.1.2784.0727

CITATIONS READS

10 6,869

2 authors, including:

Salahuddin Husein
Universitas Gadjah Mada
98 PUBLICATIONS   76 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Geologi Cekungan Ombilin View project

stimation of S-wave Velocity Structure for Sedimentary Layered Media Using Microtremor Array Measurements in Palu City, Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Salahuddin Husein on 18 October 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah:
telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan
pegunungan.

Salahuddin Husein dan Srijono


Jurusan Teknik Geologi FT UGM

Sari

Pegunungan Selatan adalah satuan fisiografi regional di bagian selatan Pulau Jawa.
Wilayah agihannya mulai dari Teluk Ciletuh di Propinsi Jawa Barat hingga Semenanjung
Blambangan di ujung Jawa Timur. Pegunungan tersebut di bagian selatan Daerah Istimewa
Yogyakarta disebut sebagai Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat, daerah agihan
mulai dari Pantai Parangtritis, D.I. Yogyakarta sampai dengan Teluk Pacitan, Jawa Timur.
Secara fisiografi, Pegunungan Selatan mencerminkan sejarah proses endogenik dan
eksogenik yang kompleks.

Pembentukan fisiografi Pegunungan Selatan yang diduga mulai Pleistosen Tengah berupa
proses pengangkatan, menghasilkan lajur-lajur pegunungan dengan penyusun utama
batuan volkanik berumur Oligo-Miosen yang menjadi batas utara dan barat kawasan
tersebut terhadap Zona Depresi Solo dan Cekungan Yogyakarta. Di bagian selatan
Pegunungan Selatan, proses pengangkatan terhadap batuan karbonat berumur Mio-Pliosen
menghasilkan topografi kars Gunung Sewu yang memanjang BBL-TTg. Berbagai
kelurusan perbukitan dan undak pantai dijumpai di daerah Gunung Sewu dengan arah BL-
Tg di bagian utara dan BBL-TTg di bagian selatan. Adanya unsur morfologi undak
menunjukkan proses pengangkatan yang bersifat episodik, namun selain itu perbedaan
orientasi kelurusan tersebut menimbulkan dugaan adanya perubahan arah pengangkatan
Pegunungan Selatan. Di bagian tengah Pegunungan Selatan, proses pengangkatan tersebut
tampaknya diimbangi oleh penurunan yang membentuk zona depresi Cekungan Wonosari
dan Cekungan Baturetno. Kedua cekungan tersebut memiliki morfologi semi-sirkular
dengan arah memanjang BBL-TTg untuk Cekungan Wonosari dan arah memanjang UTL-
SBD untuk Cekungan Baturetno. Penurunan Cekungan Baturetno diduga menghasilkan
proses perompakan aliran sungai (stream piracy) Sungai Bengawan Solo Purba dan
merubah alirannya yang sebelumnya ke selatan menjadi ke utara. Kedua cekungan tersebut
dibatasi oleh Masif Panggung yang memiliki geometri semi-sirkular dan ciri morfologi
tubuh gunungapi komposit tererosi lanjut.

Kompleksitas geomorfologi tersebut menunjukkan kajian komprehensif terhadap unsur-


unsur fisiografi Pegunungan Selatan dapat membantu menafsirkan sejarah geologi
kawasan tersebut, terutama dari aspek geodinamikanya. Kajian untuk menguraikan
kompleksitas geomorfologi tersebut memerlukan pendekatan multidisiplin seperti geologi
struktur, tektonika, volkanologi, serta sedimentologi.

Pendahuluan

Pegunungan Selatan merupakan satuan fisiografi regional di bagian selatan Jawa yang
membentang dari Teluk Ciletuh di Jawa Barat hingga Semenanjung Blambangan di ujung
timur (eastern spur atau oosthoek) Jawa Timur (Pannekoek, 1949; Van Bemmelen, 1949).
Pegunungan Selatan tidak dijumpai di Jawa Tengah, yaitu dari Teluk Cilacap hingga
1
Yogyakarta, dimana dataran aluvial pantai menggantikannya. Kondisi tersebut
menyebabkan zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu Pegunungan
Selatan Jawa Barat yang terbentang dari Teluk Ciletuh hingga Nusakambangan dan
Pegunungan Selatan Jawa Timur yang melampar dari Yogyakarta hingga Semenanjung
Blambangan (Gambar 1).

Makalah ini membahas mengenai Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat, yaitu
yang terbentang dari Yogyakarta hingga Teluk Pacitan. Geomorfologi yang dibentuk oleh
bagian kecil dari Pegunungan Selatan ini telah menarik perhatian banyak peneliti yang
sebagian besar berkebangsaan Eropa di awal abad ke-20 (Bothé, 1929; Harloff, 1933;
Lehmann, 1936; Von Koenigswald, 1939; Movius, 1944; Pannekoek, 1949; Van
Bemmelen, 1949; Sartono, 1964). Sayangnya hasil kajian mereka tidak banyak dilanjutkan
oleh para peneliti geomorfologi berkebangsaan Indonesia. Keunikan geomorfologi
Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat tersebut tidak lepas dari kaitannya dengan
keberadaan perbukitan terisolasi di dataran Klaten dan berdampingan dengan Pegunungan
Selatan, yaitu Perbukitan Jiwo yang disusun oleh batuan berumur Pra- Tersier.

Secara fisiografis, Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat (untuk selanjutnya disebut
secara singkat sebagai Pegunungan Selatan, untuk alasan kepraktisan) dapat dibagi
menjadi tiga zona (Gambar 2). Bagian utara merupakan lajur-lajur pegunungan dengan
relief yang kuat. Lajur paling timur dibentuk oleh Lajur Kambengan dan Lajur Plopoh.
Kedua lajur tersebut dipisahkan oleh lembah Sungai Bengawan Solo. Lajur tengah dan
barat dibentuk oleh Lajur Baturagung. Bagian selatan dibentuk oleh topografi kars yang
ekstensif dan dicirikan oleh rangkaian perbukitan kerucut. Ciri terakhir ini membuat daerah
tersebut dikenal dengan nama Gunung Sewu yang menerus dari selatan Yogyakarta hingga
Teluk Pacitan. Di selatan Giritontro suatu lembah sungai kering membelah topografi kars
dengan arah UTL-SBD. Lajur pegunungan di utara dan topografi kars di selatan dipisahkan
oleh depresi topografi yang membentuk Cekungan Wonosari dan Cekungan Baturetno.
Kedua cekungan tersebut dipisahkan oleh Pegunungan Panggung (Panggung Massif).
Aliran air sungai permukaan berkembang dengan baik di kedua cekungan, dengan daerah
aliran sungai (DAS) Oyo yang berkembang di Cekungan Wonosari dan DAS Bengawan
Solo yang berkembang Cekungan Baturetno.

Makalah ini merangkum beberapa aspek geomorfologi kualitatif seperti pola relief dan
pola penyaluran serta hubungannya dengan faktor-faktor geologi terkait. Pemaparan
ditutup oleh diskusi morfogenesa yang pernah dipublikasikan oleh para peneliti terdahulu.

Geomorfologi Pegunungan Selatan

Geomorfologi suatu daerah merupakan ekspresi permukaan hasil proses eksogenik yang
dikendalikan oleh iklim (faktor luar), litologi dan struktur geologi (faktor dalam), yang
bekerja dalam suatu kurun waktu tertentu (Thornbury, 1969). Bagian makalah ini akan
memaparkan peran faktor-faktor pengontrol pola bentangalam di Pegunungan Selatan
tersebut. Peran waktu dalam interaksi antara proses endogenik dan eksogenik
(pengangkatan versus denudasional) akan didiskusikan pada bagian morfogenesa. Untuk
mempermudah pemaparan, sistematika penulisan disusun menurut pembagian fisiografi
Pegunungan Selatan, yaitu bagian utara, bagian selatan dan bagian tengah.

Bagian utara

2
Pembahasan mengenai Pegunungan Selatan tidak lengkap bila tidak menyertakan
Perbukitan Jiwo. Hal ini sangat beralasan karena perbukitan terisolasi yang terletak sekitar
2 km di sebelah utara Pegunungan Selatan dan muncul dari dataran rendah Klaten tersebut
disusun oleh batuan dasar Pegunungan Selatan, yaitu batuan malihan berumur Pra-Tersier
dan berbagai intrusi batuan beku menengah-basa berumur Eosen. Perbukitan Jiwo terbagi
menjadi dua oleh Sungai Dengkeng yang berorientasi UTL-SBD menjadi Perbukitan Jiwo
Barat dengan orientasi UTL-SBD dan Perbukitan Jiwo Timur dengan orientasi TTL-BBD.
Sungai Dengkeng diduga mengalir pada sesar tua di batuan dasar (Permana, 2007). Batuan
sedimen silisiklastik laut dangkal dari Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen
juga muncul setempat-setempat di Perbukitan Jiwo dengan kontak struktural terhadap
batuan dasar. Batuan dasar tersebut juga ditutupi secara tidak selaras oleh batuan karbonat
Formasi Oyo berumur Miosen Tengah, dimana sebagian membentuk beberapa perbukitan
terisolasi di sekitar Perbukitan Jiwo, seperti G. Jeto, G. Kampak dan G. Lanang. Adanya
hiatus yang sedemikian panjang tersebut membawa implikasi bahwa Perbukitan Jiwo telah
mengalami pengangkatan ke permukaan dan proses peneplainisasi semenjak akhir Eosen
sebelum batuan karbonat Miosen Tengah diendapkan (Pannekoek, 1949).

Lajur-lajur pegunungan yang membangun mandala morfologi bagian utara dan menjadi
batas fisiografi sebelah utara Pegunungan Selatan dengan Zona Depresi Solo berkembang
dengan pola yang kompleks (Van Bemmelen, 1949). Batuan penyusun lajur-lajur tersebut
adalah sekuen batuan beku dan volkaniklastik berumur Oligo-Miosen.

Lajur Kambengan dan Lajur Plopoh terletak paling timur dan memanjang dengan arah BL-
Tg. Kedua lajur tersebut terpisah di selatan Wonogiri oleh lembah aliran Sungai Bengawan
Solo yang berarah UTL-SBD. Gawir kedua lajur tersebut dianggap terbentuk akibat
pensesaran bongkah bersifat listrik dengan arah pergerakan blok turun menuju UTL. Van
Bemmelen (1949) mempergunakan istilah flexures untuk proses tektonik tersebut. Selain
indikasi kontrol struktur, pada Lajur Plopoh dijumpai gawir semi-sirkular yang juga
menghadap ke arah UTL dan diduga sebagai hasil runtuhan kaldera G. Gajahmungkur
(Hartono, 2000). Adanya bukti-bukti morfologi yang kuat terhadap kedua proses tersebut,
pensesaran listrik dan peruntuhan kaldera, mengindikasikan keduanya terjadi secara
simultan dan dalam kurun waktu yang relatif sama.

Lajur Plopoh terpisah dari Rangkaian Baturagung di sebelah baratnya oleh dataran rendah
Cawas yang memiliki orientasi BL-Tg. Kesamaan orientasi dataran rendah Cawas dengan
Lajur Plopoh mengindikasikan adanya depresi topografi paralel yang terbentuk akibat
pensesaran bongkah bersifat listrik. Interpretasi serupa dikemukakan oleh Van Bemmelen
(1949) untuk menjelaskan depresi topografi Wuryantoro-Tirtomoyo yang membatasi Lajur
Kambengan dengan rangkaian gunungapi Andesit Tua di utara Pacitan.

Lajur Baturagung memiliki pola pelamparan yang sangat kompleks. Bagian utara memiliki
orientasi timur-barat, sedangkan bagian selatan memiliki orientasi TTL-BBD di sebelah
timur untuk kemudian menjadi berarah TTg-BBL di sebelah barat. Perubahan orientasi
bagian selatan Lajur Baturagung tersebut terjadi di Sungai Ngalang yang berorientasi
UTL-SBD. Sungai Ngalang sendiri ditafsirkan mengalir pada zona sesar geser sinistral
(Surono dkk, 1992; Sudarno, 1997). Di ujung baratlaut Lajur Baturagung, Perbukitan
Prambanan (Prambanan Spur) mencuat melampar ke arah BL-Tg yang sekaligus menjadi
pembatas antara dataran rendah Klaten dan dataran rendah Yogyakarta. Dari Perbukitan
Prambanan, Lajur Baturagung berbelok melengkung ke arah baratdaya yang menjadi batas
fisiografi sebelah barat Pegunungan Selatan dengan dataran rendah Yogyakarta. Van
Bemmelen (1949) menafsirkan adanya genesa tektonik dari bentuk lengkung (arcuate)

3
Lajur Baturagung di bagian baratlaut tersebut, yaitu akibat adanya dorongan pelengseran
Cekungan Wonosari kearah baratlaut selama proses pensesaran listrik. Perbukitan terisolasi
banyak tersebar di dataran rendah Yogyakarta, tidak terlalu jauh dari gawir Lajur
Baturagung dan tersusun oleh batuan yang sama dengan penyusun Lajur Baturagung.
Gawir utara Lajur Baturagung yang menghadap kearah Perbukitan Jiwo dianggap sebagai
gawir erosional (Bothé, 1929; Pannekoek, 1949; Van Bemmelen, 1949). Namun gawir
barat Lajur Baturagung dianggap sebagai gawir sesar, dimana Sesar Opak sebagai patahan
utama yang membatasi Lajur Baturagung dengan dataran rendah Yogyakarta (Van
Bemmelen, 1949; Untung dkk., 1973; Rahardjo dkk., 1995; Ign. Sudarno, 1997).

Bagian selatan

Batuan-batuan karbonat Formasi Wonosari yang berumur Mio-Pliosen mendominasi


bagian selatan Pegunungan Selatan, membentuk topografi kars yang dikenal dengan nama
Gunung Sewu. Secara umum, perbukitan kars Gunung Sewu melampar dengan arah TTg-
BBL. Bagian selatan Gunung Sewu merupakan pesisir yang berbatasan langsung dengan
Samudera India oleh gawir-gawir erosi. Bagian utara Gunung Sewu memiliki batas yang
bervariasi dengan fisiografi di sekitarnya. Gunung Sewu dibatasi oleh kelurusan semi-
sirkuler dengan arah umum TTg-BBL dengan Cekungan Wonosari dan Cekungan
Baturetno. Selain itu, perbukitan kars tersebut menumpang secara tidak selaras terhadap
batuan beku dan volkaniklastik Oligo-Miosen yang telah tererosi pada ujung baratdaya
Lajur Baturagung, pada ujung selatan Masif Panggung, dan pada bagian timur Cekungan
Baturetno. Bidang ketidakselarasan tersebut sering disebut sebagai bidang peneplain
Pegunungan Selatan level pertama (Pannekoek, 1949). Penumpangan batugamping
Gunung Sewu tersebut menghasilkan suatu transisi morfologi yang bersifat gradual dari
perbukitan volkanik struktural di sebelah utara menjadi perbukitan kars di sebelah selatan.
Puncak-puncak perbukitan kerucut kars yang relatif horisontal sering disebut sebagai
bidang peneplain Pegunungan Selatan level kedua (Pannekoek, 1949). Di Pantai
Wediombo batuan karbonat Formasi Wonosari menumpang secara tidak selaras diatas
batuan beku Miosen. Selaras dengan konsep peneplainisasi pertama dari Pannekoek
(1949), Hartono (…) menginterpretasikan batuan beku tersebut sebagai sisa erosi dari
tubuh gunungapi.

Orientasi perbukitan dan lembah-lembah kars di Gunung Sewu bervariasi secara geografis.
Bagian utara didominasi oleh kelurusan berarah BL-Tg, sedangkan bagian selatan
didominasi oleh kelurusan berarah TTg-BBL yang relatif sejajar dengan garis pantai saat
ini. Pola kelurusan pertama dapat dengan jelas dilihat di selatan Masif Panggung dan
selatan Giritontro. Beberapa penelitian menunjukkan pola kelurusan yang kedua tersebut
dibentuk oleh undak-undak pantai purba yang kemungkinan disebabkan oleh pengangkatan
episodik Pegunungan Selatan (Sartono, 1964; Surono, 2005). Bila interpretasi ini
diterapkan pada pola kelurusan pertama di sebelah utara, maka implikasinya adalah adanya
perubahan pola pengangkatan Pegunungan Selatan. Bukti pengangkatan Pegunungan
Selatan yang bersifat episodik juga datang dari endapan teras sungai di utara Teluk Pacitan
(Harloff, 1933; Movius, 1944)

Bagian tengah

Batuan beku dan volkaniklastik Oligo-Miosen yang menyusun lajur pegunungan di bagian
utara Pegunungan Selatan juga muncul di bagian tengah Pegunungan Selatan sebagai
Masif Panggung (Panggung Massif) yang hadir sebagai pembatas antara Cekungan
Baturetno di sebelah timur dan Cekungan Wonosari di sebelah barat. Berbeda dengan

4
lajur-lajur Kambengan, Plopoh dan Baturagung, Masif Panggung tidak memiliki orientasi
pelamparan tertentu. Bentuknya yang semi-sirkuler mengindikasikan morfologi tubuh
gunungapi komposit yang relatif tidak terganggu oleh deformasi tektonik.

Cekungan Wonosari sendiri merupakan cekungan semi-sirkuler dengan arah memanjang


TTg-BBL dan tersusun oleh batuan karbonat, sedangkan Cekungan Baturetno merupakan
cekungan semi-sirkuler dengan arah memanjang UTL-SBD dan ditutupi oleh endapan
fluvio-lakustrin berumur Kuarter (Wijono, 1992). Kedua cekungan tersebut memiliki
dimensi longitudinal, yaitu jarak utara-selatan, yang relatif sama, yaitu sekitar 25 km.
Namun kedua cekungan tersebut memiliki perbedaan dimensi transversal, yaitu dalam
jarak barat-timur. Cekungan Wonosari memiliki arah memanjang sekitar 30 km sedangkan
Cekungan Baturetno hanya sekitar 10 km. Perbedaan itu kemungkinan disebabkan oleh
ruang tektonik yang tersedia, dimana faktor tersebut dikontrol oleh pelamparan batuan
dasar cekungan. Proses pensesaran bongkah yang bersifat listrik umumnya hanya berlaku
efektif pada batuan sedimen, terutama yang bersifat lunak. Kedua cekungan tersebut
dibatasi oleh patahan-patahan listrik yang terjadi pada batas batuan beku masif. Cekungan
Wonosari memiliki ruang yang lebih luas, dimana batas barat ditentukan oleh G. Sudimoro
dan batas timur ditentukan oleh Masif Panggung. Cekungan Baturetno tidak memiliki
ruang yang luas, bagian barat ditentukan oleh Masif Panggung sedangkan batas timur
ditentukan oleh kompleks gunungapi Andesit Tua di utara Pacitan.

Pada saat ini, Cekungan Wonosari merupakan cekungan aliran Sungai Oyo yang berhulu di
Lajur Plopoh dan Masif Panggung serta mengalir ke arah barat untuk bergabung dengan
Sungai Opak di kaki barat gawir Lajur Baturagung. Sebagai aliran batuan dasar (bedrock
stream), pola aliran Sungai Oyo sangat dikendalikan oleh struktur-struktur geologi yang
ada pada batuan dasarnya. Di daerah hulu, pola yang berkembang adalah sub-dendritik
dengan kelurusan anak-anak Sungai Oyo memiliki arah dominan BL-Tg dan UTL-SBD. Di
daerah hilir, semenjak pertemuan dengan Sungai Ngalang, pola aliran yang berkembang
adalah rektangular dengan arah kelurusan utara-selatan. Kelurusan utara-selatan ini cukup
unik pada Pegunungan Selatan karena hanya dijumpai di Cekungan Wonosari bagian barat.

Sebagian besar Cekungan Baturetno pada saat ini merupakan reservoar Waduk
Gajahmungkur yang membendung aliran Sungai Bengawan Solo. Fenomena geomorfologi
yang menarik di daerah ini adalah adanya lembah kering (dry valley) di sebelah selatan.
Lembah kering tersebut memanjang relatif UTL-SBD dengan beberapa pembelokan yang
dikontrol oleh kelurusan topografi kars BL-Tg dan TTg-BBL. Selama ini lembah tersebut
diduga sebagai bekas aliran sungai Bengawan Solo purba yang dulu mengalir ke arah
selatan dan menjadi kering karena adanya proses pembalikan aliran menjadi ke arah utara
akibat pengangkatan Pegunungan Selatan (Surono, 2005). Bila interpretasi tersebut betul,
maka proses pembalikan arah aliran tersebut bersifat unik dan hanya terjadi pada aliran
Sungai Bengawan Solo purba. Sungai-sungai di bagian selatan lainnya masih tetap
mempertahankan arah alirannya ke selatan, meski sebagian besar berupa sungai bawah
tanah. Sungai permukaan yang masih mengalir ke selatan adalah Sungai Baksoka,
meskipun diduga sungai ini dahulu merupakan sungai bawah tanah yang terekspose karena
runtuhnya gua tempat alirannya (Sartono, 1964). Pengamatan lebih detail melalui citra
satelit dan peta topografi terhadap morfologi lembah Sungai Bengawan Solo purba tersebut
menunjukkan adanya kemungkinan proses perompakan aliran (stream piracy atau stream
capture) oleh Cekungan Baturetno. Terbentuknya Cekungan Baturetno yang memotong
aliran Sungai Bengawan Solo purba menyebabkan aliran sungai tidak dapat melanjutkan
perjalanan ke selatan, bahkan air yang telah berada di tubuh sungai bagian selatan juga ikut
mengalir ke utara menuju Cekungan Baturetno dimana sebuah danau besar sedang

5
terbentuk (Wijono, 1992; Surono 2005). Hal ini dapat menjelaskan mengapa hanya Sungai
Bengawan Solo purba saja yang mengalami pembalikan, sedangkan sungai-sungai lainnya
masih tetap mengalir menuju ke selatan ketika pengangkatan Pegunungan Selatan terjadi.

Morfogenesa Pegunungan Selatan

Sejauh ini, Pegunungan Selatan dianggap sebagai sayap selatan suatu antiklin besar
(geantiklin) yang terbentuk pada Pleistosen Tengah (Lehmann, 1936). Sumbu dan puncak
geantiklin yang dianggap berada di Zona Solo, yang kini menjadi tempat munculnya
deretan gunungapi modern, diperkirakan telah runtuh dan meluncur ke arah utara.
Sebagian sayap selatan geantiklin yang masih bertahan diperkirakan juga ikut runtuh dan
mengalami pensesaran bongkah (block faulting) (Van Bemmelen, 1949). Sebagian dari
patahan tersebut berubah menjadi pensesaran listrik karena adanya perlapisan sedimen
Neogen yang bersifat lunak. Bongkah-bongkah patahan tersebut menjadi Lajur Plopoh dan
Lajur Kambengan, dimana keduanya dipisahkan dari Pegunungan selatan oleh Cekungan
Wuryantoro-Tirtomoyo. Pasca pengangkatan pertama tersebut, aliran sungai permukaan di
bagian selatan mengalir ke selatan dan topografi kars mulai terbentuk. Iklim saat itu
diperkirakan berupa rawa dan hutan tropis yang lembab, seperti diindikasikan oleh
penemuan fosil fauna Pleistosen Awal dari spesies Tapirus dan Rhinoceros (Von
Koenigswald, 1939). Tampaknya ketika kedua fauna tersebut hidup daerah Gunung Sewu
masih berupa dataran rendah dan topografi kars belum terbentuk karena aliran permukaan
masih mendominasi (Pannekoek, 1949).

Pegunungan Selatan kembali mengalami pengangkatan pada Pleistosen Akhir yang


mengakibatkan terbentuknya Cekungan Wonosari dan Cekungan Baturetno (Lehmann,
1936). Van Bemmelen (1949) menganggap pengangkatan kedua masih merupakan satu
proses menerus dari pengangkatan pertama yang membentuk geantiklin, tanpa ada jeda
waktu yang signifikan. Cekungan Wonosari terbentuk dalam proses pensesaran listrik yang
miring kearah utara (Lehmann, 1936). Kini jejak sesar listrik tersebut menjadi batas
topografi kars di selatan dengan dataran Wonosari di utara. Proses pembentukan Cekungan
Wonosari dengan pensesaran listrik tersebut menekan batuan penyusun Lajur Baturagung
di utara kepada batuan dasar yang muncul di Perbukitan Jiwo, yang mana kemudian
terbentuk struktur antiklin dengan sumbu memanjang relatif barat-timur dan terletak
diantara gawir Lajur Baturagung dan Perbukitan Jiwo. Sisa dari antiklin tersebut hanya
dijumpai di ujung timurnya, di Desa Jentir. Bothé (1929) menduga sayap utara antiklin
tersebut hilang karena erosi dan menyisakan sayap selatannya sebagai kuesta.
Pengangkatan Pleistosen Akhir tersebut mengakibatkan perompakan aliran Sungai
Bengawan Solo purba oleh Cekungan Baturetno. Selain itu pengangkatan tersebut juga
menyebabkan perubahan aliran sungai permukaan menjadi sungai bawah permukaan di
Gunung Sewu.

Sintesa

Meski proses pengangkatan Pegunungan Selatan menjadi sangat disederhanakan hanya


menjadi dua kali episode utama, yaitu Pleistosen Tengah dan Pleistosen Akhir, pola
kelurusan perbukitan dan undak pantai di Gunung Sewu mengindikasikan proses
pengangkatan yang lebih kompleks dan bersifat episodik. Studi citra satelit
mengindikasikan adanya pengangkatan pertama Pleistosen Tengah dengan arah
memanjang BL-Tg yang terjadi secara episodik dengan minimum 4 kali interval
pengangkatan. Kuatnya topografi undak di bagian timur mengindikasikan proses

6
pengangkatan yang dimulai dari bagian tersebut dan berlanjut secara simultan ke arah
barat. Kesesuaian pola kelurusan BL-Tg antara undak pantai purba di Gunung Sewu
dengan lajur-lajur Pegunungan di bagian utara kemungkinan menunjukkan proses
pengangkatan yang terjadi secara simultan antara bagian utara dan bagian selatan.

Pengangkatan kedua yang ditengarai bekerja pada Pleistosen Akhir dengan arah
memanjang BBL-TTg juga terjadi secara episodik. Pelamparan undak pantai
mengindikasikan setidaknya terjadi 3 kali interval pengangkatan. Kehadiran relief undak
yang kuat di bagian timur juga mengindikasikan proses pengangkatan yang lebih kuat di
bagian timur. Kesesuaian pola kelurusan undak dan dimensi transversal cekungan-
cekungan Wonosari dan Baturetno menunjukkan kemungkinan proses pengangkatan
Pleistosen Akhir ini memang bertanggungjawab terhadap terbentuknya kedua cekungan
tersebut.

Sebelum kedua pengangkatan tersebut diatas terjadi, tampaknya telah terjadi pula
pengangkatan bagian utara Pegunungan Selatan. Informasi hiatus pada tatanan stratigrafi
Perbukitan Jiwo serta tidak adanya batuan karbonat Miosen Tengah pada lajur-lajur
pegunungan di bagian utara Pegunungan Selatan mengindikasikan daerah tersebut telah
mengalami pengangkatan. Perbukitan Jiwo kemungkinan telah terangkat setelah Eosen
Akhir untuk kemudian tergenang kembali pada Miosen Tengah. Lajur-lajur Baturagung,
Plopoh, Kambengan dan Masif Panggung kemungkinan telah terangkat semenjak Miosen
Tengah dan tetap sebagai tinggian hingga kemudian mengalami pengangkatan kembali
pada Pleistosen Tengah dan Pleistosen Akhir. Adanya beberapa fase pengangkatan dan
lamanya masa eksposure tersebut dapat dihitung sebagai salah satu penyebab tingkat
denudasi yang sangat tinggi untuk lajur-lajur pegunungan tersebut, yang kemudian
meninggalkan bentukan morfologi yang kompleks.

Kesimpulan dan Penutup

Geomorfologi Pegunungan Selatan menunjukkan adanya peran faktor endogen dan faktor
eksogen secara kuat. Faktor endogenik berupa keragaman litologi dan struktur geologi
mengontrol pola-pola utama fisiografi Pegunungan Selatan. Zona fisiografi dibagi tiga,
bagian utara yang merupakan lajur pegunungan, bagian tengah yang merupakan depresi
topografi, dan bagian selatan yang merupakan topografi kars dengan beberapa pola undak
pantai, dimana ketiganya disusun oleh litologi dan pola struktur geologi yang berbeda.
Faktor eksogenik bekerja secara intensif membentuk gawir-gawir erosional dan topografi
kars.

Morfogenesa Pegunungan Selatan menunjukkan sedikitnya dua periode utama


pengangkatan yang ditengarai terjadi pada Pleistosen Tengah dan Pleistosen Akhir. Setiap
pengangkatan utama berlangsung secara episodik dengan beberapa interval pengangkatan
minor. Meskipun pemisahan kedua periode utama dalam interval waktu geologi yang
sempit tersebut tidak mudah, namun ada indikasi keduanya memiliki perbedaan arah
pengangkatan. Pengangkatan pertama mengangkat bagian utara dan selatan dengan arah
memanjang BL-Tg. Pengangkatan kedua mengangkat bagian selatan sekaligus
menyebabkan pelengseran bagian tengah dengan arah memanjang BBL-TTg. Bagian utara
Pegununga Selatan tampaknya telah mengalami pengangkatan sebelum Pleistosen, yang
menyebabkan proses denudasional bekerja sangat lama dan menghasilkan pola-pola gawir
yang kompleks.

7
Kompleksitas geomorfologi Pegunungan Selatan dan genesanya menantang para ahli
kebumian saat ini, terutama mengingat belum banyaknya kontribusi yang melengkapi
pekerjaan para peneliti berkebangsaan Eropa. Kajian geomorfologi untuk daerah
sekompleks Pegunungan Selatan tentulah memerlukan pendekatan multidisiplin seperti
geologi struktur, tektonika, volkanologi, serta sedimentologi.

Daftar Pustaka

Bothé, A.Ch.D (1929) Jiwo Hills and Southern Range Excursion Guide. IVth Pacific
Science Congress, Java, Bandung, pp. 1-14.
Harloff, Ch.E.A. (1933) Geologische kaart van Java. Toelichting bij blad 24.
Hartono, G. (2000) Studi gunung api Tersier: Sebaran pusat erupsi dan petrologi di
Pegunungan Selatan, Yogyakarta. Thesis Magister Teknik, Institut Teknologi
Bandung, Bandung, 168 p (tidak diterbitkan).
Lehmann, H. (1936) Morphologische Studien auf Java. Geographische Abhandlungen, 3
Reihe, Heft 9.
Movius, H.L. (1944) Early Man and Pleistocene Stratigraphy in Southern and Eastern
Asia. Mus. Am. Arch. & Ethn. Harv. Univ. XIX, no. 3.
Pannekoek, A.J. (1949) Outline of the Geomorphology of Java. Reprint from Tijdschrift
van Het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, vol. LXVI part 3,
E.J. Brill, Leiden, pp. 270-325.
Permana, A. (2007). Konfigurasi Dasar Cekungan dan Analisis Kondisi Geologi Dangkal
Berdasarkan Data Mikrotremor di Cekungan Jiwo, Provinsi Jawa Tengah. Tugas
Akhir Sarjana Teknik, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 83 p (tidak diterbitkan).
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, and H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sartono, S. (1964) Stratigraphy and Sedimentation of the Easternmost Part of Gunung
Sewu (East Djawa). Publikasi Teknik Seri Geologi Umum, no. 1, Direktorat Geologi,
Bandung, 95 p.
Sudarno, Ign. (1997) Petunjuk Adanya Reaktifasi Sesar di Sekitar Aliran Sungai Opak,
Perbukitan Jiwo dan Sisi Utara Kaki Pegunungan Selatan. Media Teknik, no. 1,
Tahun XIX.
Surono, B. Toha, dan Ign. Sudarno (1992) Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro,
Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Surono (2005) Sejarah Aliran Bengawan Solo: Hubungannya dengan Cekungan Baturetno
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Publikasi Ilmiah Pendidikan dan Pelatihan
Geologi Bandung, volume I no. 2, pp. 77-87.
Wijono, S. (1992) Stratigrafi dan Sedimentasi Endapan Kwarter di Daerah Eramoko,
Wonogiri. Proceedings Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia
XXI, Yogyakarta, pp. 437- 462.
Thornbury, W.D. (1969) Principles of Geomorphology, 2nd ed. John Wiley & Sons, New
York, 594 p.
Untung, M., K. Ujang, dan E. Ruswandi (1973) Penyelidikan Gaya Berat di Daerah
Yogyakarta – Wonosari, Jawa Tengah. Publikasi Teknik Seri Geofisika, no. 3,
Direktorat Geologi, Bandung.
Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology.
Martinus Nyhoff, The Hague.
Von Koenigswald, G.H.R. (1939) Das Pleistocän Javas. Quartär, no. 2.

8
Teluk
Ciletuh

Nusakambangan
Karangbolong
Teluk
Pacitan Nusabarung
Semenanjung
Blambangan

Pegunungan Selatan Pegunungan Selatan


Jawa Barat Jawa Timur
Gambar 1. Sebaran fisiografi Pegunungan Selatan (dari Pannekoek, 1949; Van Bemmelen, 1949; dengan
modifikasi). Secara umum Pegunungan Selatan dibagi menjadi dua, yaitu Pegunungan Selatan Jawa Barat
dan Pegunungan Selatan Jawa Timur.

Jiwo Hills

Wonogiri

Yogyakarta Baturagung Range Plopoh


Range
Kambengan
Panggung Range
Wonosari Plateau Massif
Baturetno
Wonosari
Depression

Karst Topography

Samudera Hindia
N
10 km

Gambar 2. Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat. Bagian utara didominasi oleh lajur-lajur
pegunungan, bagian tengah ditempati oleh depresi topografi, dan bagian selatan didominasi oleh topografi
kars.

9
Gambar 3. Peta Morfogenesa Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat (Van Bemmelen, 1949).

10

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai