Isi
Pada tahun 1929 1930 Norman L. Bowen melakukan penelitian dan menemukan bahwa mineral mineral terbentuk dari
magma yang mengkristal karena suhu magma yang menurun (kristalisasi fraksional). Kecepatan pendinginan dan suhu yang akan
menentukan ciri dan sifat mineral yang akan terbentuk. Dengan kecepatan pendinginan yang lambat, maka akan terbentuk mineral yang
bentuk dan ukuran kristalnya lebih besar dari pada mineral yang terbentuk dari magma yang mendingin secara cepat. Dengan penemuan
tersebut Norman L. Bowen membuat suatu deret reaksi pembentukan mineral yang dinamakan Deret Reaksi Bowen. Deret Reaksi Bowen
berisi tentang urut urutan pembentukan mineral yang terbentuk dari hasil pendinginan magma dan perbedaan kandungan magma, dengan
asumsi dasar bahwa semua magma berasal dari magma induk yang bersifat basa. Terbentuknya mineral ini biasanya terjadi pada batuan
beku. Hal ini terbentuk pada batuan beku karena batuan ini terbentuk dari hasil pembekuan magma secara langsung.
Di dalam magma tersebut mengandung beberapa material, ada yang bersifat mudah menguap (volatile) misalnya air, CO2,
chlorine, fluorine, iron, sulphur, dan lain-lain yang menyebabkan magma dapat bergerak, dan ada yang bersifat non-volatile atau non-gas
yang kedua material tersebut merupakan zat pembentuk mineral yang biasanya dijumpai dalam batuan beku.
Dari dalam deret Bowen ini ada informasi yang cukup penting dalam proses terbentuknya mineral. Yang pertama adalah suhu.
Ketika magma suhunya menurun karena perjalanannya ke permukaan bumi, maka mineral mineral pada saat itu akan terbentuk. Peristiwa
terbentuknya mineral mineral tersebut disebut dengan reaksi penghabluran. Yang kedua yaitu sifat mineral yang terbentuk. Mineral yang
terbentuk pertama kali merupakan mineral mineral yang bersifat basa (mafic), yang mengandung tersusun dari unsur unsur magnesium,
ferrum dan calcium. Misalnya olivine dan pyroxene. Kemudian setelah itu terbentuk mineral mineral yang bersifat intermediet, misalnya
hornblende dan biotite. Selanjutnya yang terbentuk terakhir merupakan mineral mineral yang bersifat asam (felsic), yang tersusun oleh
unsur unsur silica dan alumina, misalnya muskovite dan quartz.
Selanjutnya dari deret Bowen ini juga dapat memberi informasi bahwa semakin rendah suhu pembentukannya atau semakin ke
bawah dari deret reaksi ini maka mineral yang terbentuk memiliki resistensi yang semakin tinggi. Semua hal tersebut sebenarnya hanya
disebabkan karena perbedaan suhu pada saat terbentuknya mineral dari magma yang mendingin.
Deret ini terbagi menjadi 2 proses yaitu deret diskontinyu dan kontinyu. Dalam deret diskontinyu, mineral terbentuk dari satu
mineral yang berubah ke mineral yang lain dengan melakukan reaksi terhadap sisa larutan magma pada rentang suhu tertentu. Deret ini
dibangun dari mineral ferro magnesian sillicates. Diawali dengan pembentukan mineral olivine yang merupakan satu satunya mineral
yang stabil pada atau di bawah 1800 oC. Apabila olivine dilanjutkan bereaksi dengan larutan sisa magma maka akan membentuk pyroxene
pada suhu sekitar 1100oC. Jika suhu menurun lagi sekitar 900 oC maka kemudian akan terbentuk amphibole. Deret diskontinyu akan berakhir
jika biotite telah mengkristal yaitu pada suhu 600 oC. Hal ini terjadi karena semua ferrum dan magnesium dalam larutan magma telah habis
dipergunakan untuk membentuk mineral. Bila pendinginan yang terjadi terlalu cepat maka mineral yang telah ada tidak akan bereaksi
seluruhnya dengan sisa magma sehingga akan terbentuk rim (selubung) yang tersusun dari mineral yang terbentuk setelahnya, misal olivin
dengan rim pyroxene. Mineral yang terbetuk pada deret diskontinyu yaitu olivine, pyroxene, amphibole, dan biotite.
Dalam deret kontinyu, mineral yang terbentuk pertama kali akan berperan dalam pembentukan mineral selanjutnya. Deret ini
disusun dari mineral feldspar plagioclase. Misalnya plagioclase kaya calcium akan terbentuk terlebih dahulu, baru kemudian plagioclase
itu akan bereaksi dengan sisa larutan magma bersamaan dengan turunnya suhu berlanjut reaksi dengan peningkatan bertahap dalam
pembentukan natrium yang mengandung feldspar sampai titik kesetimbangan tercapai pada suhu sekitar 900oC. Saat magma mendingin dan
calcium kehabisan ion, feldspar didominasi oleh pembentukan sodium feldspar hingga suhu sekitar 6000C feldspar dengan hampir 100%
sodium terbentuk sehingga terbentuk plagioclase yang kaya sodium. Demikian seterusnya reaksi ini berlangsung sampai semua calcium dan
sodium habis bereaksi. Karena mineral awal bereaksi secara terus menerus maka plagioclase terus ikut bereaksi hingga akhirnya pun
habis. Oleh karena itu plagioclase yang kaya calcium sangat sulit di temukan di alam bebas. Akan tetapi jika pendinginan terlalu cepat,
maka plagioclase yang terbentuk akan banyak mengandung calcium yang dikelilingi plagioclase kaya sodium. Mineral yang terbentuk pada
deret ini yaitu anortite, bytownite, labradorite, andesine, oligoklas dan albite.
Jika kedua deret tersebut telah berakhir dan seluruh ferrum, magnesium, sodium dan calcium telah habis, maka yang tersisa
tinggal potassium, alumina dan silica. Semua unsur yang tersisa tersebut akan bergabung membentuk Othoclase Potassium Feldspar . Dan
akan terbentuk muscovite apabila tekanan air cukup tinggi. Sisanya, larutan magma yang sebagian besar mengandung silica dan oksigen
akan membentuk quartz.
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, baik proses maupun ciri pembentukan mineral pada deret reaksi Bowen,
kita dapat mengetahui bagaimana suatu mineral terbentuk dan bersifat apakah mineral itu. Sehingga setelah mempelajari dan memahami
deret tersebut kita dapat mengaplkasikanya dalam penentuan sifat dan material penyusun suatu batuan. Misalnya secara jelas kita dapat
mengetahui dari sifat fisik batuan yaitu dari warna batuan.
Dalam proses terbentuknya mineral penyusun suatu batuan, maka jenis batuan yang sangat jelas berhubungan dengan proses
deret reksi Bowen ini adalah batuan beku. Batuan ini tersbentuk dari pembekuan magma secara langsung seperti halnya pada pembentukan
mineral yang telah dibahas oleh Norman L. Bowen. Jika diliat dari warna batuan beku, apabila warna batuan tersebut cerah maka batuan
tersebut banyak mengandung mineral mineral felsic dan batuan tersebut tesusun dari mineral yang bersifat asam. Misalnya pada batu
granite dan diorite, batu ini tersusun dari mineral mineral asam yaitu quartz, plagioclase, orthoclase, dan biotite. Sebaliknya, jika suatu
batuan memiliki warna yang gelap maka batuan tersebut tersusun dari mineral mineral mafic dan jelas bahwa batuan tersebut tersusun dari
mineral yang bersifat basa. Misalnya pada gabbro dan basalt, yang tersusun dari olivine, pyroxene, Ca plagioclase dan hornblende. Akan
tetapi jika suatu batuan memiliki warna abu abu biasanya tersusun dari mineral yang bersifat intermedier, misalnya pada diorite dan
andesite.
Deret reaksi Bowen selain digunakan untuk pendiskripsian batuan beku, deret ini juga dapat digunakan dalam pendiskripsian
batuan sedimen maupun batuan metamorf. Meskipun dalam pendiskripsian batuan sedimen dan metamorf ini hanya sebagian saja dan juga
agak terlalu sulit.
Untuk batuan sedimen deret ini dapat digunakan untuk batuan sedimen yang berstekstur klastik saja, karena batuan sedimen yang
bertekstur klastik ini tersusun dari material material yang berbentuk butiran yang merupakan hasil pelapukan dari batuan yang sebelumnya
telah terbentuk. Jadi secara rasional kita dapat menarik kesimpulan bahwa mineral yang menyusun batuan sedimen klastik ini merupakan
mineral mineral sisa pelapukan yang telah tertransportasi ke daerah cekungan sedimen yang kemudian mengalami litifikasi membentuk
batuan sedimen klastik ini. Jadi batuan ini tersusun dari mineral yang memiliki resistensi tinggi. Dapat kita ketahui dari deret reaksi bowen
bahwa mineral yang memiliki resistensi tinggi merupakan mineral mineral yang terbentuk terakhir kali pada suhu yang relatif rendah atau
dalam deret bowen berada di bagian bawah. Mineral yang seperti ini contohnya adalah quartz. Contoh batuan sedimen klastik yaitu
batupasir. Batu ini terbentuk dari mineral quartz, yang merupakan mineral yang memiliki resistensi tinggi. Sehingga mineral ini tidak hancur
hingga berukuran lempung ataupun lanau. Yang kemudian terlitifikasi menjadi batupasir. Deret reaksi bowen ini tidak dapat berlaku jika
digunakan pada batuan sedimen non klastik. Hal ini disebabkan karena batuan sedimen non klastik ini terbentuk dari mineral mineral yang
terbentuk secara kimiawi maupun biologis bukan berasal dari magma yang membeku seperti yang dijelaskan oleh Norman L. Bowen.
Untuk batuan metamorf deret ini pun juga dapat digunakan dalam pendiskripsian batuan tersebut. Dari pengertian batuan
metamorf terlebih dahulu kita tahu bahwa batuan tersebut terbentuk dari hasil proses metamorfisme dari batuan yang telah ada sebelumnya.
Proses metamorfisme sendiri memiliki arti proses perubahan suatu jenis batuan ke jenis yang lain tanpa melalui fase cair atau berupa
magma karena adanya suhu dan tekanan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena proses tekanan dan suhu tersebut berlangsung tidak
menerus atau kontinyu sehingga ketika batuan berfase padat akan berubah ke fase cair proses tekanan dan suhu menghilang atau berkurang.
Jika kita hubungkan proses pembentukan batuan metamorf dengan deret reaksi yang telah di buat oleh bapak Bowen, maka aka
nada hubungannya. Yang pertama yaitu batuan metamorf yang terbentuk dari ubahan batuan beku. Padahal kita tahu batuan beku sangat
berhubungan dengan deret reaksi Bowen ini. Disinilah hubungannya. Secara jelas dan nyata kita dapat melihat sebuah sampel batuan
metamorf misalnya gneiss. Batu ini merupakan ubahan dari batuan beku yaitu granite, batu ini memiliki struktur foliasi gneissic. Batu ini
bisa memiliki struktur foliasi karena adanya tekanan yang tinggi pada saat proses metamorfisme pembentukannya. Jadi kita dapat dengan
mudah mendiskripsi batuan ini. Tinggal kita analogkan mineral penyusun batu granite dengan gneiss. Maka mineral penyusunnya pun
dapat kita ketahui.
Selanjutnya jika kita hubungkan batuan metamorf dengan batuan sedimen yang bertekstur klastik. Di atas telah dijelaskan
bagaimana terbentuknya batuan sedimen klastik dan bagaimana hubungan antara batuan sedimen klastik tersebut dengan penggunaan deret
reaksi Bowen. Untuk lebih jelasnya dapat kita ketahui pada batuan metamorf yang bertekstur non foliasi hornfelsic. Contohnya yaitu
quartzite. Batu ini terbentuk dari hasil ubahan batusedimen klastik yaitu batupasir yang telah mengalami metamorfisme. Kita telah
mengethui bahwa mineral penyusun batupasir merupakan mineral quartz, sehingga secara jelas kita dapat mengetahui mineral yang
menyusun batu metamorf tersebut dengan cara menganalogkannya. Maka batu quartzite merupakan batu yang mengandung mineral quartz.