Anda di halaman 1dari 51

TUGAS OT PADA GERIATRI

Working with Elderly Who Have Eating Impairment

KELOMPOK 11
Bahtiar Dwi Santoso P27228017 235
Hanum Ertyasari P27228017 247
Nabilla Dwi Elvira A P27228017 259
Sharofa Marwah P27228017 271

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN OKUPASI TERAPI


JURUSAN OKUPASI TERAPI
POLITEKNIK KEMENTRIAN KESEHATAN SURAKARTA
TAHUN 2019/202

1
0WORKING WITH ELDERLY WHO HAVE EATING
IMPAIRMENT

PENDAHULUAN

Geriatric adalah pelayanan kesehatan untuk lanjut usia yang mengobati


kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (setiati dkk, 2009).
Pembelajaran yang akan di pelajari pada geriatri antara lain sindroma geriatri,
aplikasi OT pada lansia, working with elderly who have eating imparment.
Dengan adanya modul ini kita berharap akan mempermudah pembelajaran para
pembaca dan bermanfaat bagi setiap pembaca supaya dapat mengerti dan
menjelaskan kembali tentang materi yang di buat kali ini.

Pada bab ini menyajikan pembahasan tentang “WORKING WITH


ELDERLY WHO HAVE EATING IMPAIRMENT”. Bab ini terdiri atas 4 (empat)
sub bab:
1. Lansia
2. Proses makan pada lansia
3. Gangguan Makan pada Lansia
4. Intervensi Okupasi Terapi
Setelah mempelajari bab ini diharapkan Anda dapat:
1. Memahami apa itu lansia, batasan usia dan masalah masalah yang dihadapi
para lansia.
2. Mengetahui serta memahami jenis- jenis gangguan peilaku makan pada
lansia
3. Mengetahui penyebab gangguan perilaku makan pada lansia
4. Mengetahui dampak dari gangguan perilaku makan pada lansia
5. Memberikan intervensi okupasi terapi pada lansia dengan gangguan
perilaku makan

1
Agar Anda dapat mencapai hasil belajar yang optimum, ikutilah semua
petunjuk dalam bab ini dengan cermat. Baca semua uraian materi ini secara
berulang, aplikasikan contoh yang ada ke dalam situasi lain, kerjakan latihan
dengan sungguh-sungguh, dan baca rangkuman sebelum mengerjakan tes
formatif!
Jika Anda melakukan disiplin yang tinggi dalam belajar, Anda pasti berhasil
dan secara berangsur-angsur akan menjadi mahasiswa yang mampu mandiri
dalam belajar.

2
KEGIATAN BELAJAR 1
Apa itu Lansia?
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang
telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada
manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok
yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging
Process atau proses penuaan.
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapantahapan
menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan,
pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring
meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel,
jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada
kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh
pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada
activity of daily living (Fatmah, 2010)
. Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. Menurut
World Health Organitation (WHO) lansia meliputi :
a. Usia 0 – 17 tahun: anak-anak di bawah umur
b. Usia 18 – 65 tahun: pemuda
c. Usia 66 – 79 tahun: setengah baya
d. Usia 80 – 99 tahun: orang tua/lansia
e. Usia 100 tahun ke atas: orang tua berusia panjang
Berbeda dengan WHO, menurut Departemen Kesehatan RI (2009)
pengelompokkan lansia menjadi :
a. Virilitas (prasenium) yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)
b. Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki
masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun)
c. Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit
degeneratif (usia >65 tahun)
Penuaan adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem

3
fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian.
Pada lanjut usia, individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang
pernah dimilikinya.
Proses penuaan biologis ini terjadi secara perlahan-lahan dan dibagi
menjadi beberapa tahapan, antara lain:
1. Tahap Subklinik (Usia 25 – 35 tahun)
Usia ini dianggap usia muda dan produktif, tetapi secara biologis mulai
terjadi penurunan kadar hormon di dalam tubuh, seperti growth hormone,
testosteron dan estrogen. Namun belum terjadi tanda-tanda penurunan fungsi-
fungsi fisiologis tubuh.
2. Tahap Transisi (Usia 35 – 45 tahun)
Tahap ini mulai terjadi gejala penuaan seperti tampilan fisik yang tidak
muda lagi, seperti penumpukan lemak di daerah sentral, rambut putih mulai
tumbuh, penyembuhan lebih lama, kulit mulai berkeriput, penurunan
kemampuan fisik dan dorongan seksual hingga berkurangnya gairah hidup.
Radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat bermanisfestasi pada
berbagai penyakit. Terjadi penurunan lebih jauh kadar hormonhormon tubuh
yang mencapai 25% dari kadar optimal.
3. Tahap Klinik (Usia 45 tahun ke atas)
Gejala dan tanda penuaan menjadi lebih nyata yang meliputi penurunan
semua fungsi sistem tubuh, antara lain sistem imun, metabolisme, endokrin,
seksual dan reproduksi, kardiovaskuler, gastrointestinal, otot dan saraf.
Penyakit degeneratif mulai terdiagnosis, aktivitas dan kualitas hidup
berkurang akibat ketidakmampuan baik fisik maupun psikis yang sangat
terganggu.
Terdapat empat teori utama yang menjelaskan terjadinya proses penuaan:
1) Teori Wear and Tear
Tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering digunakan
dan disalahgunakan. Organ tubuh, seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan
yang lain, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan,

4
konsumsi berlebihan lemak,gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar
ultraviolet, dan karena stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini
tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel. Hal ini
berarti walaupun seseorang tidak pernah merokok, minum alkohol, dan
hanya mengonsumsi makanan alami, dengan menggunakan organ tubuh
secara biasa saja, pada akhirnya terjadi kerusakan.
2) Teori Neuroendokrin
Teori ini menyangkut peranan berbagai hormon bagi fungsi organ
tubuh.Pada usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik
mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh. Karena itu pada masa muda
fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal, seperti kemampuan bereaksi
terhadap panas dan dingin, kemampuan motorik, fungsi seksual, dan
fungsi memori. Hormon bersifat vital untuk memperbaiki dan mengatur
fungsi tubuh. Ketika manusia menjadi tua, tubuh hanya mampu
memproduksi hormon lebih sedikit sehingga kadarnya menurun.
Akibatnya berbagai fungsi tubuh terganggu. Growth hormone yang
membantu pembentukan massa otot, Human Growth Hormon (HGH),
testosteron, dan hormon tiroid, akan menurun tajam ketika menjadi tua.
3) Teori Kontrol Genetika
Faktor genetik memiliki peran besar untuk menentukan kapan
menjadi tua dan umur harapan hidup, dapat dianalogikan individu lahir
seperti mesin yang telah diprogram sebelumnya untuk merusak diri
sendiri. Tiap individu memiliki jam biologi yang telah diatur waktunya
untuk dapat hidup dalam rentang waktu tertentu. Ketika jam biologi
tersebut berhenti, merupakan tanda individu tersebut mengalami proses
penuaan kemudian meninggal dunia, waktu dalam jam biologi sangat
bervariasi tergantung pada peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
individu tersebut dan pola hidupnya
4) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang mempunyai satu
atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dapat bereaksi

5
dengan molekul lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat destruktif.
Radikal bebas bersifat sangat reaktif. Radikal bebas akan merusak
membran sel, Deoxyribo Nucleic Acid (DNA), dan protein. Banyak studi
mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai kontribusi yang besar
pada terjadinya penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan seperti
kanker, penyakit jantung dan proses penuaan.
Faktor-faktor perubahan proses menua dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor eksternal:
1) Faktor internal
Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan
anatomik, fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua makin
besar, penurunan ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit
dimana batas antara penurunan tersebut dengan penyakit seringkali tidak
begitu nyata.19 Penurunan anatomik dan fisiologik dapat meliputi sistem
saraf pusat, kardiovaskuler, pernapasan, metabolisme, ekskresi,
musculoskeletal serta kondisi psikososial. Kondisi psikososial itu sendiri
meliputi perubahan kepribadian yang menjadi faktor predisposisi yaitu
gangguan memori, cemas, gangguan tidur, perasaan kurang percaya diri,
merasa diri menjadi beban orang lain, merasa rendah diri, putus asa dan
dukungan sosial yang kurang. Faktor sosial meliputi perceraian, kematian,
berkabung, kemiskinan, berkurangnya interaksi sosial dalam kelompok
lansia mempengaruhi terjadinya depresi. Respon perilaku seseorang
mempunyai hubungan dengan kontrol sosial yang berkaitan dengan
kesehatan.20 Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi dan
keterikatan sosial dapat mengurangi atau memperberat efek stress pada
hipotalamus dan sistim saraf pusat. Hubungan sosial ini dapat mengurangi
kerusakan otak dan efek penuaan. Makin banyaknya jumlah jaringan sosial
pada usia lanjut mempunyai hubungan dengan fungsi kognitif atau
mengurangi rata-rata penurunan kognitif 39%.
2) Faktor eksternal

6
Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua
antara lain gaya hidup, faktor lingkungan dan pekerjaan. Gaya hidup yang
mempercepat proses penuaan adalah jarang beraktifitas fisik, perokok,
kurang tidur dan nutrisi yang tidak teratur. Hal tersebut dapat diatasi
dengan strategi pencegahan yang diterapkan secara individual pada usia
lanjut yaitu dengan menghentikan merokok. Serta faktor lingkungan,
dimana lansia manjalani kehidupannya merupakan faktor yang secara
langsung dapat berpengaruh pada proses menua karena penurunan
kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat radikal bebas seperti
asap kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko penuaan dini, sinar
ultraviolet mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit
tampak lebih tua.
Masalah yang terjadi pada lansia
1. Kemunduran biologis

Secara umum, menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis yang terlihat
sebagai gejala-gejala kemuduran fisik, antara lain :
a. Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang
menetap
b. Rambut kepala mulai memutih atau beruban
c. Gigi mulai lepas (ompong)
d. Penglihatan dan pendengaran berkurang
e. Mudah lelah dan mudah jatuh
f. Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah

2. Kemunduran kognitif antara lain :

a. Suka lupa, ingatan tidak berfungsi dengan baik


b. Ingatan terhadap hal-hal di masa muda lebih baik daripada hal-hal yang
baru saja terjadi
c. Sering adanya disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang
d. Sulit menerima ide-ide baru.

7
3. Kemunduran fisik:
a. Immobility (kurang bergerak)

Keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih.


Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan
otot, ketidak seimbangan,masalah psikologis, depresi atau demensia.
Komplikasi yang timbul adalah luka di bagian yang mengalami penekanan
terus menerus timbul lecet bahkan infeksi, kelemahan otot,
kontraktur/kekakuan otot dan sendi, infeksi paru-paru dan saluran kemih,
konstipasi dan lain-lain. Penanganan : latihan fisik, perubahan posisi
secara teratur, menggunakan kasur anti dekubitus, monitor asupan cairan
dan makanan yang berserat.

b. Instability (Instabilitas dan Jatuh)

Penyebab jatuh misalnya kecelakaan seperti terpeleset,


sinkop/kehilangan kesadaran mendadak, dizzines/vertigo, hipotensi
orthostatik, proses penyakit dan lain-lain. Dipengaruhi oleh faktor intrinsik
(faktor risiko yang ada pada pasien misalnya kekakuan sendi, kelemahan
otot, gangguan pendengaran,penglihatan, gangguan keseimbangan,
penyakit misalnya hipertensi, DM, jantung,dll ) dan faktor risiko ekstrinsik
(faktor yang terdapat di lingkungan misalnya alas kaki tidak sesuai, lantai
licin, jalan tidak rata, penerangan kurang, benda-benda dilantai yang
membuat terpeleset dll). Akibat yang ditimbulkan akibat jatuh berupa
cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai patah tulang yang bisa
menimbulkan imobilisasi. Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan
masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah: mengobati berbagai kondisi
yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan
penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu
atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman
seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin.

8
c. Incontinence Urin dan Alvi (Beser BAB dan BAK)

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak


dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan
masalah sosial dan atau kesehatan. Inkontinensia urin akut terjadi secara
mendadak dapat diobati bila penyakit yang mendasarinya diatasi misalnya
infeksisaluran kemih, gangguan kesadaran, obat-obatan, masalah
psikologik dan skibala. Inkontinesia urin yang menetap di bedakan atas:
tipe urgensi yaitu keinginan berkemih yang tidak bisa ditahan penyebanya 
overaktifitas/kerja otot detrusor karena hilangnya kontrol neurologis,
terapi dengan obat-obatan antimuskarinik prognosis baik, tipe stres kerena
kegagalan mekanisme sfingter/katup saluran kencing untuk menutup
ketika ada peningkatan tekanan intra abdomen mendadak seperti bersin,
batuk, tertawa terapi dengan latihan otot dasar panggul prognosis baik, tipe
overflow yaitu menggelembungnya kandung kemih melebihi volume
normal, post void residu > 100 cc terapi tergantung penyebab misalnya
atasi sumbatan/retensi urin. Inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan
spontan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses
melalui anus, penyebab cedera panggul, operasi anus/rektum, prolaps
rektum, tumor dll. Pada inkontinensia urin ntuk menghindari sering
mengompol pasien sering mengurangi minum yang menyebabkan terjadi
dehidrasi..

d. Infection (infeksi)

Pada lanjut usia terdapat  beberapa penyakit sekaligus, menurunnya


daya tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasipada
lanjut usia sehingga sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda
infeksi secara dini. Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya
ditandai dengan meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak
dijumpai pada usia lanjut, malah suhu badan yang rendah lebih sering
dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupa

9
konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba,
badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi
pada pasien usia lanjut.

e. Immuno-defficiency(penurunan sistem kekebalan tubuh)

Daya tahan tubuh menurun bisa disebabkan oleh proses menua


disertai penurunan fungsi organ tubuh,  juga disebabkan penyakit yang
diderita, penggunaan obat-obatan,keadaan gizi yang menurun.

f. Impotence(Gangguan seksual)

Impotensi/ ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada usia


lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan
hormon, syaraf, dan pembuluh darah dan juga depresi

g. Impaction (sulit buang air besar)

Faktor yang mempengaruhi: kurangnya gerak fisik, makanan yang


kurang mengandung serat, kurang minum, akibat obat-obat tertentu dan
lain-lain. Akibatnya pengosongan usus menjadi sulit atau isi usus menjadi
tertahan, kotoran dalam usus menjadi keras dan kering dan pada keadaan
yang berat dapat terjadi penyumbatan didalam usus dan perut menjadi
sakit.

4. Kemunduran psikologis

Isolation (terisolasi) / depresi, penyebab utama depresi pada lanjut usia


adalah kehilangan seseorang yang disayangi, pasangan hidup, anak,
bahkan binatang peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri
dari lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi.
Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan
menyebabkan pasien akan merasa hidup sendiri dan menjadi depresi.

10
Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri akibat depresi yang
berkepajangan.

5. Kekurangan nutrisi

Inanition (malnutrisi), Asupan makanan berkurang  sekitar 25%


pada usia 40-70 tahun. Anoreksia dipengaruhi oleh faktor fisiologis
(perubahan rasa kecap, pembauan, sulit mengunyah, gangguan usus dll),
psikologis (depresi dan demensia) dan sosial (hidup dan makan sendiri)
yang berpengaruh pada nafsu makan dan asupan makanan.

6. Penurunan penghasilan

Impecunity (Tidak punya penghasilan) dengan semakin


bertambahnya usia maka kemampuan fisik dan mental akan berkurang
secara berlahan-lahan, yang menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam
mengerjakan atau menyelesaikan pekerjaan sehingga tidak dapat
memberikan penghasilan. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya
mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya. Selain masalah finansial,
pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti interaksi sosial pun
berkurang memudahkan seorang lansia mengalami depresi.

T E S F O R M AT I F 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

11
1. Dibawah ini yang termasuk merupakan batasan umur menurut World
Health Organitation (WHO) lansia KECUALI…..
a. Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun
b. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun
c. Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun
d. Usia perawalan (stature age) antara 10 sampai 17
2. Dibawah ini yang bukan termasuk masalah fisik pada lansia yaitu?
a. Mudah jatuh
b. Nyeri pinggul
c. Mudah sesak
d. Gangguan pendengaran
3. Salah satu masalah yang dialami lansia karena kemunduran kognitif?
a. Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang
menetap
b. Suka lupa, ingatan tidak berfungsi dengan baik
c. Rambut kepala mulai memutih atau beruban
d. Gigi mulai lepas (ompong)
4. Salah satu ciri kemunduran fisik pada lansia yaitu?
a. Suka lupa, ingatan tidak berfungsi dengan baik
b. Ingatan terhadap hal-hal di masa muda lebih baik daripada hal-hal
yang baru saja terjadi
c. Rambut kepala mulai memutih atau beruban
d. Sering adanya disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang
5. Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) kelompok yang mulai
memasuki masa usia lanjut dini yaitu…..
a. Usia 60-64 tahun d. Usia 60-80 tahun
b. Usia 60-65 tahun
c. Usia 60-70 tah
KEGIATAN BELAJAR 2
Bagaimana Proses Makan pada Lansia?

12
Feeding, eating, dan swallowing adalah okupasi yang dilakukan seumur
hidup masuk kedalam area aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL). Aktivitas
kehidupan sehari-hari (ADL) yang “mendasar untuk hidup di dunia sosial; ADL
memungkinkan kelangsungan hidup dan well-being ”(Christiansen &
Hammecker, 2001, hal. 156).
Feeding adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses
membawa makanan ke mulut, "kadang-kadang disebut self-feeding" (AOTA,
2014b, hal. S19). Eating didefinisikan sebagai “menyimpan dan memanipulasi
makanan atau cairan di mulut dan menelannya. Swallowing adalah memindahkan
makanan dari mulut ke perut ”(AOTA, 2014b, hal. S19).
Feeding dan eating, yang penting bagi fungsi manusia untuk memelihara
tubuh, adalah bentuk interaksi sosial dan dipengaruhi oleh budaya seseorang,
termasuk pilihan makanan, ritual seputar makan, dan makna sosial dari makan.
Proses makan (menelan) dibagi menjadi 4 fase yaitu:
1. Fase persiapan oral

Selama fase persiapan oral makanan dimanipulasi dan dikunyah.


Lidah memposisikan makanan. Selama mengunyah, lidah mencampur
makanan dengan saliva. Tekanan dalam otot bukal akan menutup sulkus
lateral dan mencegah makanan jatuh kearah lateral kedalam sulkus di
antara mandibula dan pipi.
2. Fase oral

Fase oral diawali saat lidah memulai pergerakan posterior dari


bolus makanan. Selama fase ini lidah mendorong bolus kearah posterior
sampai terjadi pemicuan fase faring. Reseptor sensorik pada faring dan
lidah sendiri terstimulus untuk mengirim informasi sensorik ke korteks
dan batang otak. Selanjutnya, pusat pengenalan sensorik pada medulla
dalam nucleus ambigus kemudian menginisi asifase faringeal.

3. Fasefaringeal
Pada fase ini terjadi beberapa aktifitas, antara lain:

13
1) Elevasi dan retraksi velum serta penutupan sempurna dari port
velopharyngeal untuk mencegah masuknya material kedalam
rongga hidung.
2) Elevasi dan pergerakan anterior dari hyoid dan laring
3) Penutupan laring oleh 3 sfingter.
Terbukannya sfingter kriko faringeal untuk memungkinkan
masuknya material dari faring ke esophagus.
4) Melandainya dasar lidah untuk membawa bolus ke faring. Faringeal
dipicu melewati cricopharyngealjuncture kedalam esofagus,
dengan nilai normal 0,35-0,48 detik, dan maksimum bisa sampai 1
detik.
4. Fase esophageal
waktu transit esophageal diukur dari saat bolus memasuki esafagus
pada UES, melewatinya, dan masuk kedalam lambung melalui LES,
dengan nilai normal bervariasi 8-20 detik. Gerakan peristaltic yang
dimulai pada puncak esafagus mendorong dengan pola berurutan
sepanjang esafagus sampai LES terbuka dan memungkinkan bolus
memasuki lambung.
Perubahan-Perubahan pada Sistem Pencernaan Lansia
Penuaan yang dialami oleh lansia memungkinkan terjadinya perubahan
fungsi anatomis maupun fisiologis diberbagai sistem tubuh, salah satunya adalah
sistem Gastrointestinal (GI). Sistem Gastrointestinal (GI) adalah jalur pemasokan
nutrisi untuk pertumbuhan dan perbaikan sel dengan melalui proses ingestion,
secretion, mixing and propulsion, digestion, dan absorption terhadap makanan
yang masuk (Derrickson & Tortora, 2015). Menurut Ebersole, dkk (2014), pada
lansia terdapat penurunan indra perasa atau sense of taste khususnya manis dan
asin serta penurunan sense of smell. Seseorang dapat merasakan makan dimulut
karena memiliki taste bund dan pada lansia taste bund mengalami penurunan
jumlah dan mengalami atropi (Meiner dan Lueckenotte, 2006). Sehingga lansia
mengalami  perubahan rasa (disgeusia), kemampuan untuk merasakan menurun
(hypogeusia) dan tidak dapat merasakan beberapa rasa (ageusia).

14
Mukosa mulut juga mengalami perubahan berupa kehilangan elastisitas,
atrofi sel epitel, dan suplai darah berkurang ke jaringan ikat (Miller, 2012).
Kehilangan atau penurunan indra perasa dapat mengakibatkan penurunan nafsu
makan dari lansia itu sendiri. Pada lansia mulut yang berfungsi mencerna
makanan menjadi bolus juga mengalami perubahan fisiologis. Perubahan-
perubahan tersebut seperti enamel gigi menjadi lebih keras dan rapuh, dentin
menjadi lebih berserabut, dan ruang saraf menjadi pendek dan sempit menyebab-
kan gigi menjadi mudah tanggal (Miller, 2012). Meiner dan Lueckenotte (2006)
menambahkan tanggalnya gigi disebabkan juga karena kerusakan jaringan
disekitar gigi, dan resorpsi dan deposisi tulang yang terjadi secara bersamaan.
Menurut Miller (2012), pada lansia juga mengalami penurunan sekresi
saliva. Saliva berfungsi mensekresikan enzim percernaan, mengatur flora mulut,
remineralisasi gigi, meningkatkan nafsu makan, sebagai pelumas jaringan lunak
dan membantu mencerna makanan. Namun, biasanya penurunan sekresi saliva
lebih banyak terjadi akibat kondisi patologis dan efek dari penggunaan obat
seperti analgesik dan antikolinergik.
Di dalam rongga mulut lansia juga mengalami perubahan neuromuskular
yaitu adanya  penurunan kemampuan mengunyah dan menelan yang berkaitan
dengan kekuatan otot berkurang dan mengurangi tekanan lidah (Ney, dkk., 2009
dalam Miller, 2012). Pada esophagus terdapat gelombang peristaltik yang
berfungsi memasukkan makanan ke dalam lambung. Menurut Miller (2012),
lansia mengalami penurunan gelombang peristaltik dan adanya peregangan pada
esophagus. Selain itu, lansia juga mengalami presbyphagia yaitu melambatnya
menelan atau bahkan disphagia yaitu susah menelan (Ebersole, dkk ,2014)
Lower esophageal sphingter mengalami penurunan untuk relaksasi
sehingga lansia rentan mengalami refluks makanan (Mitty, 2008). Hal ini
menyebabkan risiko tinggi terjadi aspirasi pada lansia yang dapat menyebabkan
lansia rentan mengalami penyakit saluran pernapasan seperti pneumonia. Setelah
makanan sampai di lambung, makanan akan mengalami pencernaan lebih
kompleks seperti motilitas, sekresi dan digesti.

15
Ebersole, dkk (2014) menyatakan bahwa lambung  pada lansia banyak
mengalami perubahan fisiologis berupa penurunan motalitas, volume dan
penurunan sekresi bikarbonat serta mukus lambung. Perubahan ini disebabkan
karena atropi lambung dan Hypochlorydria atau ketidakcukupan HCL. Penurunan
motilitas lambung menyebabkan makanan menjadi lama dicerna dilambung
sehingga terjadi peningkatan waktu  pengosongan lambung dan lansia menjadi
jarang makan.
Di usus halus, makanan telah berbentuk kimus yang siap dicerna
menggunakan enzim-enzim pencernaan dari usus kecil, hati, dan pankreas.
Penuaan yang terjadi pada lansia berpengaruh pada kekuatan otot di usus dalam
gerakan peristaltik. Selain itu, mukosa yang bertugas melicinkan permukaan juga
mengalami penurunan jumlah. Perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012)
adalah adanya atrofi otot, pengurangan jumlah folikel limfatik, pengurangan berat
usus kecil, serta memendek dan melebarnya vili.
Perubahan struktur ini memang tidak berdampak signifikan pada motilitas,
permeabilitas, atau waktu pencernaan. Tetapi yang  perlu diwaspadai adalah
perubahan ini dapat berdampak pada fungsi sistem imun dan absorpsi nutrien,
seperti folat, kalsium, vitamin B12 dan D (Ebersole,dkk, 2014).
Penuaan dapat mengakibatkan turunnya jumlah enzim laktase. Hal ini
mengakibatkan penguraian nutrien makanan pun lebih lama. Selain itu, lansia juga
berpotensi mudah kembung karena lebih mudah mengalami peningkatan jumlah
bakteri. Hal ini memungkinkan adanya sakit perut, perut terlihat besar karena
kembung. Bakteri dapat berbahaya jika berkembang terus-menerus karena akan
mengurangi absorpsi nutrisi tertentu seperti vitamin B12, zat besi, dan kalsium
(Ebersole, dkk, 2014). Hati berperan dalam metabolisme protein, lemak dan
karbohidrat, membunuh zat toksik, dan mensekresi empedu. Hati dan kandung
empedu sebagai organ aksesori sistem Gastrointestinal juga mengalami perubahan
seperti hati menjadi lebih kecil, berserat, terakumulasi lipofuscin (pigmen coklat),
dan menurunnya aliran darah (Miller, 2012). Hal ini menyebabkan makanan yang
masuk tidak di metabolisme dengan sempurna untuk menghasilkan ATP untuk

16
kerja sel tubuh serta zat toksik tidak dibunuh dengan optimal sehingga lansia
rentan terhadap penyakit.
Kandung empedu mensekresikan empedu setelah dirangsang oleh hati
yang berfungsi untuk mencerna lemak dalam tubuh. Namun semakin
bertambahkan usia terjadi  penurunan jumlah sekresi empedu, pelebaran saluran
empedu, peningkatan sekresi cholecys-tokinin (Miller, 2012). Hal tersebut
mengakitbatkan lemak tidak dimetabolisme dengan sem- purna, meningkatnya
risiko terjadi batu empedu, dan menurunnya nafsu makan (Miller, 2012). Menurut
Miller (2012), pankreas memiliki fungsi yang sangat esensial bagi pencernaan.
Sebagai kelenjar yang multifungsi, pankreas banyak memproduksi enzim-enzim
yang berperan dalam penetralan keasaman di kimus, pemecahan lemak, protein,
dan karbohidrat di usus halus. Peran yang tak kalah pentingnya yaitu fungsi
pankreas dalam pengaturan gula darah. Pankreas memproduksi hormon insulin
dan glikogen yang berfungsi sebagai pengatur kadar gula darah (Derrickson &
Tortora, 2015).
Penuaan berpengaruh pada pengurangan berat pankreas, hiper- plasia
kelenjar, fibrosis, dan pengurangan kecepatan respon sel B dalam pengaturan
glukosa. Perubahan ini tidak berdampak langsung dalam fungsi pencernaan.
Namun yang cukup berba-haya adalah penurunan kemampuan pengaturan
metabolisme glukosa. Hal ini mengakibatkan lebih rentannya lansia untuk terkena
diabetes tipe 2 (Miller, 2012). Penambahan umur juga mempengaruhi sekresi
eksokrin dari pankreas yang dapat mengakibatkan menurunnya aliran enzim dan
pengurangan produksi bikarbonat dan enzim. Setelah semua nutrien di absorpsi di
usus halus, kimus akan memasuki usus besar atau kolon. Menurut Miller (2012),
pada usus besar terjadilah proses absorpsi air dan elektrolit, serta  pembuangan zat
sisa atau sampah metabolisme pencernaan. Proses penuaan pada lansia
ber- pengaruh pada beberapa hal, seperti pengurangan sekresi mukus,
pengurangan elastisitas dind-ing rektum, dan pengurangan kemampuan
mempersepsikan distensi dinding rektum. Hal ini lah yang menjadi faktor
predisposisi
lansia mengalami konstipasi (Miller, 2012).

17
T E S F O R M AT I F 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1. Dibawah ini merupakan fase proses menelan, kecuali


a. Fase persiapan oral
b. Fase oral
c. Fase resiprokal
d. Fase esophageal
2. Sehubungan dengan proses menelan, lidah dibagi menjadi 2 yaitu
a. Bagian oral dan bagian faringeal
b. Bagian ujung dan tengah
c. Bagian bawah dan atas
d. Bagian kanan dan kiri
3. Waktu transit esophageal diukur dari saat bolus memasuki esafagus pada
UES, melewatinya, dan masuk kedalam lambung melalui LES, dengan
nilai normal bervariasi yaitu
a. 5-10 menit
b. 1-2 detik
c. 10-25 detik
d. 8-20 detik
4. Menyimpan dan memanipulasi makanan atau cairan di mulut dan
menelannya didefinisikan sebagai?
a. Self- Feeding
b. Eating
c. Feeding
d. Swallowing
5. Jika terjadi gangguan makan pada lansia maka area yang terganggu
adalah?
a. IADL c. Leisure
b. ADL d. Produktivity

18
KEGIATAN BELAJAR 3
Apa Saja Jenis Gangguan Perilaku Makan pada Lansia?
A. Gangguan Makan
Gangguan makan adalah penyakit medis yang kompleks dan kronis
yang ditandai dengan perilaku makan abnormal yang mengarah pada
morbiditas yang signifikan, atau bahkan kematian, jika tidak diobati
(Berkman et al., 2007). Walaupun biasanya merupakan kelainan pada orang
dewasa muda, kelainan makan kambuh di usia tua dan juga dapat terjadi
secara de novo di usia lanjut (Beck et al., 1996).
Prevalensi pasti gangguan makan pada orang tua tidak diketahui.
Satu studi dari 475 wanita lansia yang tinggal di komunitas berusia 60-70
tahun menemukan bahwa 3,8% memenuhi kriteria diagnostik untuk
gangguan makan. Sebuah penelitian terhadap wanita lansia Kanada
melaporkan bahwa gejala gangguan makan terjadi pada 2,6% wanita berusia
50-64 tahun, dan pada 1,8% wanita berusia 65 tahun atau lebih (Gadalla,
2008).
B. Perilaku Makan
Benarroch (2013) mendefinisikan perilaku makan sebagai
serangkaian tindakan yang membangun hubungan manusia dengan
makanan. Maknan yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan jumlah dan
jenis makanan, tetapi juga kebiasaan dan perasaan yang dibentuk
sehubungan dengan tindakan makan. Dari pengertian diatas perilaku makan
adalah respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi
kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap
makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi),
pengolahan makanan dan sebagainya.
Terdapat tiga dimensi perilaku makan Van Sterin (Elfhag& Morey,
2008), yaitu :
1. External Eating
External eating, adalah menanggapi rangsangan yang
berhubungan dengan makanan (dari segi bau, rasa, dan penampilan

19
makanan) tanpa keadaan internal lapar dan kenyang. Perilaku makan ini
berbentuk kebiasaan mencicipi makanan.
Sesuai dengan teori yang di kemukakan Schachter (1971), Teori
External Eating merupakan rangsangan yang terkait dengan makanan
seperti penglihatan, penciuman, dan indera perasa yang memberikan
pemicu rasa ingin tahu yang lebih kuat daripada keadaan internal (rasa
lapar atau kenyang).
2. Emotional Eating
Kaplan & Kaplan (Stroebe et al, 2008) Emotional Eating
menunjukkan mengkonsumsi makanan yang berlebih disebabkan
gangguan nafsu makan. Gangguan nafsu makan yang dimaksud adalah
kondisi seseorang yang mengalami perasaan takut, cemas, dan tidak
tenang sehingga menjadikan kondisi makan mereka menjadi tidak sehat
dan makan makanan secara berlebihan.
Bongers, Jansen, Havermans, Roefs & Nederkoom (2013)
menemukan bahwa emosional negative mengarah pada peningkatan
konsumsi makanan yang tinggi energi dan manis berlebih. Untuk
meningkatan mood dan motivasi juga terjadi peningkatan asupan makanan
dan jenis makanan, oleh karena itu ada hubungan positif antara
peningkatan mood dan jumlah kalori yang dikonsumsi.
3. Restrained Eating
Restrained Eating merupakan tingkat pembatasan makanan secara
sadar atau kognitif (mencoba untuk menahan diri dari makan dalam rangka
untuk menurunkan atau mempertahankan berat badan tertentu).
Menurut Herman & Mack (1975), seseorang yang Restrained
Eating adalah seseorang yang sedang melakukan diet kronis dan mencoba
untuk mengontrol secara kognitif apa yang mereka konsumsi,
dibandingkan dengan seseorang yang mengkonsumsi makanan secara
berlebih.
C. Jenis Jenis Gangguan Perilaku Makan pada Lansia

20
DSM-5 pada tahun 2014 (Manual of Mental Disorders. 5th ed.
2013). Membedakan empat kategori gangguan makan:
- anorexia nervosa of aging/ Anorexia Penuaan
- bulimia nervosa
- binge eating disorders
- Gangguan feeding dan eating tertentu lainnya.
1. Anorexia Penuaan
Dengan bertambahnya usia, ada penurunan konsumsi energi
(Wakimoto dan Block 2001; de Boer et al. 2013), yang menyebabkan
penurunan berat badan yang tergantung pada pengeluaran energi dan
keseimbangan energi. Ada dua mekanisme umum yang terlibat dalam
penurunan nafsu makan terkait usia: (1) berkurangnya dorongan untuk
makan (kelaparan) yang diakibatkan oleh kebutuhan energi yang lebih
rendah, dan (2) sinyal kenyang yang lebih cepat bekerja atau lebih kuat
dari sinyal rasa lapar. Selama penuaan, pengurangan kebutuhan energi dan
pengeluaran menyebabkan pengurangan fisiologis dari asupan energi.
Perubahan penuaan pada indera sangat umum dan hasil dari
hilangnya sel-sel sensorik, hilangnya kepekaan mereka, tetapi juga dari
kebersihan mulut yang buruk. Lebih dari 60% orang berusia 65 hingga 80
memiliki gangguan penciuman utama, dan setelah usia 80, lebih dari tiga
perempatnya menunjukkan penurunan berat (Doty et al. 1984). Tingginya
tingkat anosmia pada lansia diduga disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti perubahan epitel penciuman, berkurangnya sekresi lendir,
perubahan struktur jalan napas atau ketebalan epitel, dan berkurangnya
tingkat regenerasi pada reseptor penciuman (Welge-Lussen 2009) . Juga,
jumlah dan kepekaan rasa papilla berkurang dengan penuaan (Morley
1997).
Anoreksia penuaan didefinisikan sebagai pengurangan nafsu
makan dan asupan makanan yang berkaitan dengan usia yang faktor
fisiologis, patologis, dan sosialnya pertama kali dijelaskan oleh John
Morley pada tahun 1988 (Morley dan Silver 1988). Dimana sistem

21
kenyang diatur oleh sistem makan sentral, yang tergantung pada
neurotransmiter dan hormon perifer (opioid, noradrenalin, NPY, orexins,
galanin, ghrelin, faktor pelepas kortikotropin, cholecystokinin, insulin,
GLP-1, leptin). Namun beberapa sinyal umpan balik (mis.,
cholecystokinin, opioid) diubah pada individu lansia (pikun).
Faktor fisiologis yang mendasari penurunan asupan makanan
seiring bertambahnya usia adalah peningkatan ambang batas rasa dan bau
dan penurunan dalam pengosongan lambung. Peningkat rasa dan bau dapat
membalikkan penurunan kenikmatan makanan pada beberapa orang tua
(Essed et al. 2009).
Anorexia penuaan berkorelasi dengan sarkopenia (Kehilangan
jaringan otot) dan penurunan status fungsional, penurunan massa tulang,
defisiensi mikronutrien, penurunan kognitif fungsi, peningkatan masuk
rumah sakit, disfungsi kekebalan tubuh, penyembuhan luka yang buruk
dan bahkan kematian dini.
Beberapa studi telah melihat pengobatan Anorexia penuaan
menggunakan megestrol asetat, dronabinol atau cholecystokinin inhibitor.
Namun, belum ada pengobatan yang terbukti efektif.

2. Bulimia
Nervosa

Penelitian telah menunjukkan bahwa pentingnya citra tubuh dan


ketidakpuasan tidak berbeda antar kelompok umur, tetapi perubahannya

22
adalah apa dampak dari faktor-faktor ini pada harga diri. Harga diri yang
tinggi mungkin menjadi mekanisme perlindungan.
Bulimia nervosa adalah karakeristik makan sebanyak-banyaknya
dan tahap akhir dari proses makannya dengan memuntahkan apa yang
dimakan dan dapat menyebabkan komplikasi medis. Keinginan seorang
wanita untuk medapatkan tubuh yang awet muda dan langsing sering tidak
sesuai ekpstesi dari mereka dengan kata lain mereka merasa tidakpuas
tentang bagaimana tubuh mereka berubah. Mungkin juga dikaitkan dengan
hilangnya kontrol. Muntah setelah mengkonsumsi makanan dapat
memberi wanita perasaan mendapatkan kembali kendali.

3. Binge Eating Disorder (BED)

DMS-5 mendefinisikan BED sebagai episode berulang dari pesta


makan, yang pada gilirannya didefinisikan sebagai makan, dalam periode
waktu yang terpisah (misalnya, dalam periode 2 jam), jumlah makanan
yang lebih besar dari kebanyakan orang dalam periode waktu yang sama.
Episode pesta makan disertai dengan rasa kurang kontrol atas makanan
selama episode (misalnya, perasaan bahwa seseorang tidak bisa berhenti
makan atau mengendalikan apa atau berapa banyak seseorang sedang
makan). Pesta makan terjadi, rata-rata, setidaknya sekali seminggu selama
tiga bulan.
BED adalah bentuk gangguan perilaku makan yang paling umum,
dengan prevalensi seumur hidup antara 1% dan 3%. Ini juga merupakan
gangguan yang paling lazim di Indonesia usia yang lebih tua. Di antara
wanita berusia 45 atau lebih, prevalensinya telah diperkirakan 0,61%
(Hudson, 2007). Meskipun BED adalah kondisi yang relatif jarang pada
populasi yang lebih tua, episode pesta makan makan sangat umum. Dalam
sampel wanita antara usia 42 dan 55, 11% melaporkan pesta makan
setidaknya dua kali sebulan (Marcus, 2007). Dalam penelitian lain,
perilaku makan pesta setidaknya sekali per minggu dilaporkan oleh 7,1%

23
wanita berusia 50-54, oleh 2,5% wanita berusia 55-64 dan 0,9% wanita
berusia di atas 64 tahun lama. Data epidemiologis menunjukkan prevalensi
perimenopause yang lebih tinggi wanita dari pada wanita pascamenopause
(Marcus, 2007).
Latar belakang genetik sangat penting, karena memiliki
heritabilitas tinggi telah ditunjukkan untuk gangguan ini (Javaras dkk,
2008). Meskipun demikian, diperoleh faktor juga menjadi perhatian,
terutama sifat kejiwaan seperti kecemasan, depresi, dan rendah diri. Ciri-
ciri kepribadian seperti itu kepribadian impulsif atau batas juga dikenal
sebagai faktor risiko untuk BED (Linde dkk, 2004). Pencitraan fungsional
otak telah mengungkapkan hipoaktivitas di girus frontal inferior, korteks
prefrontal ventromedial dan insula, yang merupakan area otak yang
terlibat dalam pengaturan diri dan kontrol impuls (Balodis dkk, 2013).
Dampak BED pada kesehatan menjadi perhatian khusus pada lansia
populasi, karena gangguan metabolisme yang mempengaruhi
kardiovaskular sistem. BED menyebabkan obesitas, dislipidemia, insulin
resistensi dan hipertensi. Obesitas memperburuk kejiwaan gejala, terutama
depresi dan harga diri rendah, dan ini mengarah ke lingkaran setan, dengan
meningkatnya keparahan gejala BED (Marazziti dkk, 2013).

4. Gangguan Makan lainnya


Dysfagia
Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan
phagein yang artinya memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi
yang sering digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari
mulut ke dalam lambung.
Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik pada
semua kelompok usia dan sering berhubungan dengan multiple systemic
disorders (misalnya: diabetes melitus, hipertiroidisme, lupus eritema-tosus,
dermatomiositis, stroke, serta penyakit Parkinson dan Alzheimer).

24
Terdapatnya disfagia dapat mengakibatkan terjadinya malnutrisi,
dehidrasi, infeksi saluran napas, bertambahnya jumlah hari rawat inap, dan
bahkan kematian; oleh sebab itu, diagnosis dan penanganan dini terhadap
disfagia sangat penting dilakukan. Disfagia dapat terjadi pada satu atau
lebih fase menelan dan dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab.
Penderita dengan gangguan neurologik lebih sering sering mengalami
gangguan pada fase oral.
Dysphagia sering terlihat pada lansia dan mungkin memiliki
berbagai penyebab. Penyebab gangguan neurologis seperti; kecelakaan
serebrovaskular, tumor otak, dan cedera kepala, neuromuskular seperti;
penyakit parkinson, multiple sclerosis, dan amyotrophic lateral sclerosis,
demensia seperti; penyakit Alzheimer dan multiinfark, struktural seperti;
kanker, sistemik seperti; diabetes, rheumatoid arthritis, dan skleroderma.
Dysphagia dapat juga disebabkan oleh penyakit yang berkepanjangan atau
dari efek samping obat-obatan. Jika masalah menelan tidak diidentifikasi,
mereka dapat menyebabkan pneumonia aspirasi, malnutrisi, dehidrasi, dan
kematian (Cherney, 1994; Logeman, 1983 Nelson, 1995).
Adanya faktor psikologis seperti depresi, kecemasan, dan demensia
mempunyai kontribusi yang besar dalam menentukan asupan makan dan
zat gizi lansia (Fatimah-Muis & Puruhita, 2010).
Bebarapa dampak dari gangguan makan lainnya selain yang
disebutkan diatas adalah :
Gangguan menelan pada lansia dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas. Aspirasi (kesulitan bernafas), dehidrasi,
pneumonia, malnutrisi, penurunan fungsional dan pelembagaan sering
dijumpai pada lansia dengan disfagia.
Kematian dan Gangguan Menelan. Schmidt et al. menunjukkan
bahwa rasio kematian adalah 9,2 kali lebih besar pada mereka yang
mengkonsumsi cairan kental atau makanan dengan konsistensi yang lebih
padat dibandingkan dengan mereka yang hanya mengonsumsi cair.

25
Aspirasi (Kesulitan Nafas). Aspirasi adalah konidi dimana partikel
kecil seperti cairan atau serpihan makanan masuk ke dalam paru-paru.
Gejala aspirasi adalah batuk, tersedak dan demam intermiten, respons
batuk biasanya terlihat pada lansia yang mengalami disfagia.
Pneumonia. Adanya gangguan menelan yang menyebabkan
aspirasi meningkatkan kemungkinan pneumonia, terutama dengan bakteri
Gram-negatif.
Malnutrisi. Gangguan makan dan menelan dapat menyebabkan
kekurangan gizi dan ini membawa prognosis yang buruk. Konsekuensi
Lain dari Gangguan Menelan adalah dehidrasi, status mobilitas yang lebih
buruk.

T E S F O R M AT I F 3

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1. Gangguan menelaan pada lansia di kaitan dengan...

26
a. Moralitas & Morbiditas.
b. Mobilitas & moralitas.
c. Morbiditas & modalitas.
d. Motoritas & morbiditas
2. Dampak yang terjadi jika lansia mengalami gangguan makan
a. Asma
b. Pneumonia
c. Panas dalam
d. Sariawan

3. Gangguan perilaku makan lansia karena adanya peningkatan ambang batas


rasa dan bau dan penurunan dalam pengosongan lambung disebut?
a. Anorexia Nervosa
b. Aneroxia Nervosa of Aging
c. Bullimia Nervosa
d. Dysfagia.

4. Penyakit medis yang kompleks dan kronis yang ditandai dengan perilaku
makan abnormal yang mengarah pada morbiditas yang signifikan, atau
bahkan kematian (Berkman, 2007) disebut?
a. Gangguan Makan c. Perilaku Makan
b. Bullimia Nervosa d. Anorexia Nervosa

5. Perilaku makan yang membentuk kebiasaan mencicipi makanan


merupakan hasil dari teori dimensi?
a. External Eating c. Emotional Eating
b. Internal Eating d. Restrained Eating

KEGIATAN BELAJAR 4
Intervensi Okupasi Terapi

27
Berdasarkan buku Quick Reference to Occupational Therapy 2nd edition
(2001), Pendekatan terhadap perawatan dan manajemen pasien harus
disesuaikan dengan kebutuhan si pasien, tingkat penyakitnya, dan tingkat
kecacatannya. Fokus dari intervensi adalah pencegahan, pemulihan, adaptasi,
dukungan, kompensasi, dan pembelajaran. Model perawatan okupasi terapi
mencakup perilaku kerja, model pekerjaan manusia, dan model pekerjaan
manusia.

1) Self-Care
1. Mempertahankan atau meningkatkan kemampuan pasien untuk secara
mandiri melakukan kegiatan pribadi kehidupan sehari-hari seperti
makan.
2. Sediakan perlengkapan adaptif dan latihlah pasien dalam
penggunaannya, jika perlu.
3. Buat rekomendasi mengenai kebutuhan tempat duduk, meja makan dan
lainnya.
2) Produktivitas
1. Pertahankan peran atau keikut sertaan pasien dalam kegiatan-kegiatan
produktif selama mungkin, termasuk peran serta dalam pekerjaan.
2. Buat rekomendasi untuk modifikasi lingkungan untuk menyediakan
akses yang lebih mudah dan meningkatkan keselamatan
3. Latihlah kembali untuk melakukan tugas yang bisa dan biasa dilakukan.
3) Leisure

Menjelajahi minat rekreasi dan mendorong pengembangan atau perluasan


kegiatan rekreasi yang ada dalam kemampuan fisik dan psiko-sosial
pasien.
4) Sensorimotor
1. Bantu pasien untuk mempertahankan kekuatan fisik sebanyak mungkin
melalui pengaturan istirahat dan aktivitas.

28
2. Sediakan alat ortopedi, seperti splints dan dukungan posisi lain bila
diperlukan, untuk mengurangi cacat dan meningkatkan fungsi.
3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot melalui penggunaan
aktivitas
4. Jika terasa nyeri, bantulah orang tersebut mengurangi rasa sakitnya.
Penggunaan sentuhan terapeutik dapat meningkatkan relaksasi atau
meningkatkan rasa peduli memberikan rangsangan sensorik kepada
vestibular, indra peraba, pusat fungsi, dan indra visual untuk
memudahkan memelihara integrasi sensorimotor.
5) Kognitif
1. Ajarkan orang tersebut dan keluarga mengenai penyakit tersebut.
2. Sediakan pelatihan ulang kognitif dan persepsi, jika diperlukan.
3. Ajarkan tentang pola makan.
6) Psikososial
1. Mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup pasien, termasuk
gaya hidupnya saat ini, Pengalaman masa lalu, harapan untuk masa
depan, dan ambisi.
2. Sediakan pelatihan manajemen stres, termasuk pelatihan dalam teknik
relaksasi.
3. Melakukan kegiatan kerajinan dapat membantu seseorang menjaga
harga diri. Kerajinan tangan harus dipilih berdasarkan usia, tingkat
fungsi, tahap penyakit, dan tingkat kelumpuhan.
4. Mendengarkan musik dapat meningkatkan relaksasi atau gairah dengan
mengubah pernapasan, denyut nadi, atau tekanan darah.
5. Mempertahankan atau meningkatkan sistem penunjang sosial.
7) Lingkungan
1. Bantu keluarga memberikan bantuan, mengatasi masalah. Dan, tetapkan
tujuan yang realistis.
2. Berikan edukasi bagi mereka yang merawat.
3. Buat rekomendasi tentang modifikasi lingkungan hidup yang dapat
meningkatkan kemampuan untuk mandiri atau mempermudah orang

29
untuk merawat pasien, termasuk menyingkirkan hambatan arsitektur
dan membuat berbagai sarana keamanan. Contohnya adalah
memodifikasi alat makan seperti piring dan sendok agar mempermudah
pasien dapat melakukan aktifitas makan secara mandiri.

T E S F O R M AT I F 4

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

30
1. Dibawah ini merupakan intervensi okupasi terapi, kecuali...
A. kognitif
B. lingkungan
C. self-care
D. financial
2. Dibawah ini yang paling tepat tentang intervensi okupasi terapi pada
lingkungan adalah…
A. Sediakan pelatiha manajemen stress, termasuk pelatihan teknik relaksasi
B. sediakan pelatihan ulang kognitif
C. bantu keluarga memberikan bantuan, mengatasi masalah, dan terapkan
tujuan yang realistis
D. Ajarkan pasien dan keluarga tentang penyakit tersebut
3. Intervensi okupasi terapi yang paling tepat pada area
psikososial adalah…
A. Ajarkan orang tersebut dan keluarga mengenai penyakit tersebut
B. Mempertahankan atau meningkatkan penunjang sosial
C. Sediakan pelatihan ulang kognitif presepsi
D. Ajarkan tentang pola makan
4. Intervensi okupasi terapi yang paling tepat pada area self care adalah…
A. Ajarkan orang tersebut dan keluarga mengenai penyakit
tersebut
B. Mempertahankan atau meningkatkan penunjang sosial
C. Sediakan pelatihan ulang kognitif presepsi
D. Sediakan perlengkapan adaptif dan latihlah pasien dalam
penggunaannya, jika perlu
5. Intervensi okupasi terapi yang paling tepat pada area self care
adalah…
A. Menjelajahi minat rekreasi dan mendorong pengembangan atau perluasan
kegiatan rekreasi yang ada dalam kemampuan fisik dan psiko-sosial
pasien.
B. Mempertahankan atau meningkatkan penunjang sosial

31
C. Sediakan pelatihan ulang kognitif presepsi
D. Sediakan perlengkapan adaptif dan latihlah pasien dalam penggunaannya,
jika perlu

L AT I H A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai intervensi OT pada gangguan makan pada lansia,
kerjakanlah latihan berikut!

1. Apa itu lansia?


2. Sebutkan batasan usia dan masalah masalah yang dihadapi para lansia.
3. Apa saja jenis- jenis gangguan perilaku makan pada lansia

32
4. Apa penyebab gangguan perilaku makan pada lansia
5. Bagaimana dampak dari gangguan perilaku makan pada lansia
6. Apa intervensi okupasi terapi yang dapat dilakukan OT pada kasus yang
dibahas?

RANGKUMAN

Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan


tahapantahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan
semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat

33
menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh
darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya.
Factor perubahan proses menua dipengaruhi factor internal dan eksternal,
adapun masalah yang terjadi pada lansia yaitu kemunduran biologis, kemunduran
fisik, kemunduran psikologis, kekurangan nutrisi dan penurunan penghasilan
Proses makan pada lansia, feeding dan eating, yang penting bagi fungsi
manusia untuk memelihara tubuh, adalah bentuk interaksi sosial dan dipengaruhi
oleh budaya seseorang, termasuk pilihan makanan, ritual seputar makan, dan
makna sosial dari makan. Proses makan (menelan) dibagi menjadi 4 fase yaitu
fase persiapan oral, fase oral, fase faringeal, fase esophageal
Penuaan yang dialami oleh lansia memungkinkan terjadinya perubahan
fungsi anatomis maupun fisiologis diberbagai sistem tubuh, salah satunya adalah
sistem Gastrointestinal (GI), mukosa mulut, rongga mulut, lower esophageal
sphingter, serta mukus lambung. Adapun gangguan makan yang terjadi pada
lansia yang ditandai dengan perilaku makan abnormal yang mengarah pada
morbiditas yang signifikan, atau bahkan kematian, jika tidak diobati.
Tiga dimensi perilaku makan pada lansia yaitu External Eating, Emotional
Eating dan Restrained Eating. Selanjutnya ada jenis gangguan perilaku makan
yaitu anorexia nervosa of aging/ Anorexia Penuaan, bulimia nervosa, binge eating
disorder, dan gangguan feeding dan eating tertentu lainnya.
Model perawatan okupasi terapi mencakup perilaku kerja, model
pekerjaan manusia, dan model pekerjaan manusia. Intervensi yang dilakukan
okupasi terapis adalah self-Care, produktifitas leisure, sensorimotor, kognitif,
psikososial, lingkungan

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat
di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan
rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi
Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


 100%
Tingkat penguasaan = Jumlah Soal
34
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali
80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan
dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus
mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

Kunci Jawaban Tes Formatif

Isi kunci tes formatif 1 = D C B CA

Isi kunci tes formatif 2 = CADBB

35
Isi kunci tes formatif 3 = A B B AA

Isi kunci tes formatif 4 = DCBDA

DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 5th ed. 2013. Arlington, VA:American Psychiatric
Publishing.

36
Cherney L. Clinical management of dysphagia for adults
and children. Rockville, Md, 1994, Aspen.
I.M. Balodis, N.D. Molina, H. Kober, P.D. Worhunsky, M.A. White, Rajita Sinha,
C.M. Grilo, M.N. Potenza, Divergent neural substrates of inhibitory control in
binge eating disorder relative to other manifestations of obesity,
Obesity (Silver Spring) 21 (2013) 367–377.
J.A. Linde, R.W. Jeffery, R.L. Levy, N.E. Sherwood, J. Utter, N.P. Pronk, et al.
Binge eating disorder, weight control self-efficacy and depression in overweight
men and women. Int. J. Obes. Relat. Metab. Disord. 28 (2004) 418–
425.
K.N. Javaras, N.M. Laird, T. Reichborn-Kjennerud, C.M. Bulik, H.G. Pope Jr.,
J.I. Hudson. Familiality and heritability of binge eating disorder: results of a
casecontrol family study and a twin study. Int. J. Eat. Disord. 41 (2008)174–
179.
Matsuo, et al. (2008). Anatomy and Physiology of Feeding
and Swallowing – Normal and Abnormal. Physical
Medicine and Rehabilitation Clinics of North America,
19 (4), pp.691-707.
M.D. Marcus, J.T. Bromberger, H.L. Wei, C. Brown, H.M. Kravitz, Prev- alence
and selected correlates of eating disorder symptoms among a multiethnic
community sample of midlife women. Ann. Behav. Med. 3 (2007) 269–
277.
P.H. Rosenberger, L. Dorflinger. Psychosocial factors
associated with binge eating among overweight and
obese male veterans Eat. Behav. 14 (2013) 401–404.
Pandaleke, J. J., Sengkey, L. S., & Angliadi, E. (2014). Rehabilitasi Medik
pada Penderita Disfagia. JURNAL BIOMEDIK, 6(3)
Prawitasari, J. E. (1994). Aspek sosio-psikologis lansia di
Indonesia. Buletin Psikologi, 2(1), 27-34.

37
RESUME JURNAL
P27228017 235
JUDUL : Rehabilitasi Medik Pada Penderita Disfagia
PENULIS : Jenny J. C. Pandaleke, Lidwina S. Sengkey, Engeline Angliadi
TUJUAN PENELITIAN :

38
Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik, dan bisa diderita oleh
semua kelompok usia dan berhubungan dengan multiple systemic disorders,
antara lain diabetes melitus, hipertiroidisme, lupus eritematosus, dermatomiositis,
stroke, serta penyakit Parkinson dan Alzheimer. Diagnosis disfagia ditegakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan saat penderita
makan atau minum), dan pemeriksaan penunjang seperti videofluroskopi dan
fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES).Penanganan dalam bidang
rehabilitasi medik membutuhkan kerjasama tim yang terdiri dari seorang dokter
spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, ahli terapi bicara, ahli terapi okupasi,
perawat rehabilitasi, dan juga membutuhkan kerjasama dengan seorang ahli gizi
dan beberapa bidang spesialisasi yang lain. Disfagia sangat berhubungan dengan
terjadinya malnutrisi, infeksi saluran pernapasan, dehidrasi, bertambahnya jumlah
hari rawat, dan bahkan kematian. Oleh karena itu, diagnosis dan penanganan dini
sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan disfagia.

ISI :
Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan phagein
yang artinya memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi yang sering
digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke dalam
lambung. Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik pada semua kelompok
usia dan sering berhubungan dengan multiple systemic disorders (misalnya:
diabetes melitus, hipertiroidisme, lupus eritematosus, dermatomiositis, stroke,
serta penyakit Parkinson dan Alzheimer). Terdapatnya disfagia dapat
mengakibatkan terjadinya malnutrisi, dehidrasi, infeksi saluran napas,
bertambahnya jumlah hari rawat inap, dan bahkan kematian; oleh sebab itu,
diagnosis dan penanganan dini terhadap disfagia sangat penting dilakukan.
Area anatomi yang berhubungan dengan proses menelan meliputi rongga
mulut, faring, laring, dan esofagus. Struktur rongga mulut meliputi bibir anterior,
gigi, palatum durum, palatum mole, uvula, mandibula, dasar mulut, lidah, dan
arkus faringeus.

39
Lidah sebagian besar disusun oleh serat-serat otot rangka yang dapat bergerak ke
segala arah. Sehubungan dengan proses menelan, lidah dibagi menjadi bagian oral
dan bagian faringeal. Lidah bagian oral meliputi bagian ujung, depan, tengah, dan
belakang daun lidah. Lidah bagian oral aktif selama proses bicara dan proses
menelan pada fase oral, dan berada dibawah kontrol kortikal (volunter). Lidah
bagian faringeal atau dasar lidah dimulai dari papila sirkumvalata sampai tulang
hioid. Dasar lidah aktif selama fase faringeal dan berada dibawah kontrol
involunter dengan koordinasi batang otak, tetapi bisa juga berada dibawah kontrol
volunter. Atap mulut dibentuk oleh maksila (palatum durum), velum (palatum
mole), dan uvula.
Struktur faring yang berperan dalam proses menelan meliputi 3 otot
konstriktor faringeal, yaitu superior, medial, dan inferior, yang berorigo pada
kranium, tulang hioid, dan kartilago tiroid, serta berinsersio pada bagian posterior
median raphe. Otot krikofaringeal merupakan struktur faring yang paling inferior.
Kontraksi otot ini akan mencegah masuknya udara ke dalam esofagus saat
respirasi. Otot ini melekat pada kartilago krikoid dan bersama dengan lamina
krikoid membentuk valvula ke dalam esofagus yang dikenal dengan upper
esophageal sphincter (UES) atau pharyngoesophageal sphincter (PES). UES
berfungsi mengurangi risiko aliran balik makanan dari esofagus ke faring. Pada
waktu tertentu sfingter ini terbuka untuk mengijinkan bolus makanan masuk ke
dalam esofagus.
Esofagus merupakan lapisan otot berbentuk tabung dengan panjang sekitar
23-25 cm dan mempunyai sfingter pada kedua ujungnya, yaitu UES pada bagian
atas dan lower esophagal sphincter (LES) pada bagian bawah.
Fungsi menelan normal
Proses menelan dibagi menjadi 4 fase yaitu: 1) fase persiapan oral; 2) fase oral; 3)
fase faringeal; dan 4) fase esofageal.
Fase persiapan oral
Selama fase persiapan oral makanan dimanipulasi dan dikunyah. Proses
mengunyah sendiri merupakan suatu pola siklik berulang dari gerakan rotasi
lateral otototot labial dan mandibular. Lidah memosisikan makanan di atas gigi

40
saat gigi atas dan bawah bertemu dan menghancurkan material diatasnya.
Makanan akan jatuh ke arah medial menuju lidah dan lidah akan mengembalikan
material tersebut ke atas gigi pada saat mandibula dibuka. Selama mengunyah,
lidah mencampur makanandengan saliva. Tekanan dalam otot bukal akan menutup
sulkus lateral dan mencegah makanan jatuh ke arah lateral ke dalam sulkus di
antara mandibula dan pipi.

Fase oral
Fase oral diawali saat lidah memulai pergerakan posterior dari bolus
makanan. Selama fase ini lidah mendorong bolus ke arah posterior sampai terjadi
pemicuan fase
faring. Bagian tengah lidah secara berurutan menekan bolus ke arah posterior
melawan palatum durum. Suatu fase oral yang normal membutuhkan otot labial
yang
intak untuk memastikan penutupan bibir yang sempurna sehingga mencegah
makanan keluar dari rongga mulut; pergerakan lidah yang lengkap untuk
mendorong bolus ke posterior; otot bukalis yang intak untuk memastikan material
tidak jatuh ke dalam sulkus lateralis; dan otot palatum yang normal serta
kemampuan untuk bernapas secara normal melalui hidung. Oral transit time
adalah waktu yang dihitung sejak awal pergerakan lidah untuk memulai fase oral
sampai saat bolus head melewati titik antara arkus faringeus anterior dan titik
dimana batas bawah mandibula menyilang dasar lidah, dengan nilai normal sekitar
1-1,5 detik.
Pada saat lidah bergerak membawa bolus ke arah posterior, reseptor sensorik pada
orofaring dan lidah sendiri dirangsang untuk mengirimkan informasi sensorik ke
korteks dan batang otak. Selanjutnya, pusat pengenalan sensorik pada medula
dalam nukleus traktus solitaris mengidentifikasi stimulus menelan dan
mengirimkan infor masi ke nukleus ambigus yang kemudian menginisiasi fase
faringeal. Pada saat bolus head melewati setiap titik yang terletak antara arkus

41
faringeus bagian anterior dan daerah dimana dasar lidah melintasi tepi bawah
mandibula, fase oral berakhir dan fase faringeal dipicu.
Fase faringeal
Fase faringeal dimulai saat terjadi proses pemicuan. Pada fase ini terjadi
beberapa aktifitas: 1) elevasi dan retraksi velum serta penutupan sempurna dari
port velopharyngeal untuk mencegah masuknya material ke dalam rongga hidung;
2) elevasi dan pergerakan anterior dari hioid dan laring; 3) penutupan laring oleh 3
sfingter untuk mencegah masuknya material ke dalam jalan napas; 4) terbukanya
sfingter krikofaringeal untuk memungkinkan masuknya material dari faring ke
esofagus; 5) melandainya dasar lidah untuk membawa bolus ke faring diikuti
retraksi dasar lidah untuk menyentuh bagian anterior dari bulging posterior
dinding faring; dan 6) kontraksi dari atas ke bawah yang progresif dari otototot
konstriktor faringeal. Pharyngeal transit time adalah waktu yang dihitung sejak
bolus bergerak dari titik dimana fase faringeal dipicu melewati cricopharyngeal
juncture ke dalam esofagus,dengan nilai normal 0,35-0,48 detik, dan maksimum
bisa sampai 1 detik.
Fase esofageal
Waktu transit esofageal diukur dari saat bolus memasuki esofagus pada
UES, melewatinya, dan masuk ke dalam lambung melalui LES, dengan nilai
normal bervariasi 8-20 detik. Gerakan peristaltik yang dimulai pada puncak
esofagus mendorong bolus dengan pola berurutan ke arah kaudal sepanjang
esofagus sampai LES terbuka dan memungkinkan bolus memasuki lambung. Fase
esofageal ini tidak dapat diintervensi dengan terapi latihan atau teknik kompensasi
apapun; oleh sebab itu, bila ditemukan kecurigaan adanya gangguan pada fase
esofageal, penderita perlu dirujuk ke ahli gastroenterologi sehingga bisa dilakukan
pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.
Penyebab disfagia
Disfagia dapat terjadi pada satu atau lebih fase menelan dan dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyebab (Tabel 1). Penderita dengan gangguan
neurologik lebih sering mengalami gangguan pada fase oral.
Penilaian disfagia

42
Penilaian disfagia dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
KESIMPULAN :
Diagnosis dan penanganan dini penderita disfagia sangat diperlukan.
Penanganan disfagia dalam bidang rehabilitasi medik bertujuan untuk
mempertahankan asupan nutrisi yang adekuat dan memaksimalkan proteksi
terhadap jalan napas; dalam hal ini sangat diperlukan kerjasama tim rehabilitasi
dengan bidang spesialisasi lainnya.

P27228017 247
JUDUL JURNAL: Eating disorders in older women
NAMA PENULIS:
Agnieszka Podfigurna-Stopa, Adam Czyzyk, Krzysztof Katulski, Roman
Smolarczyk, Monika Grymowicz, Marzena Maciejewska-Jeske, Blazej
Meczekalski.

43
TUJUAN PENELITIAN:
Memastikan epidemiologi dan prognosis dari Eating Disorders pada wanita
yang lebih tua, dan untuk meninjau diagnosis mereka dan manajemen gangguan
makan pada wanita yang lebih tua.
RINGKASAN JURNAL :
Gangguan makan (ED) melibatkan gangguan serius dalam perilaku makan,
seperti pengurangan asupan makanan yang ekstre atau terlalu banyak makan, serta
perasaan tertekan atau kekhawatiran yang ekstrem tentang bentuk atau berat
badan.
Usia presentasi biasanya antara 16 dan 25 tahun, dengan usia rata-rata 17
tahun untuk anoreksia nervosa (AN) dan 18–25 tahun untuk bulimia nervosa
(BN). Namun, sejumlah besar orang paruh baya, terutama wanita, memiliki
gangguan ini. Kelompok wanita ini biasanya merupakan mereka yang tidak
pernah pulih dari gangguan makan di usia remaja dan makin berkembang untuk
pertama kalinya di Indonesia saat usia pertengahan. Data epidemiologis
menunjukkan bahwa kelompok sebelumnya adalah yang dominan (remaja-
dewasa). Wanita yang lebih tua tampaknya cenderung menunjukkan AN dan BN
lebih sedikit dan banyak menunjukkan gangguan pesta makan (BED) dan
gangguan makan lainnya. Mangweth-Matzek et al. Mempelajari sekelompok 715
wanita paruh baya dan menemukan 4,6% dari mereka melaporkan gejala
memenuhi kriteria DSM-IV untuk ED, tetapi hanya BN, BED dan gangguan
makan yang tidak ditentukan (EDNOS). 4,8% lainnya ditampilkan gangguan
makan subthreshold.
Studi Gender dan Tubuh AS (GABI) AS merekrut 1849 wanita berusia 50
tahun ke atas. Sekitar 13% dari sampel memiliki beberap bentuk gejala ED.
Insiden ED pada wanita yang lebih tua telah meningkat dalam beberapa dekade
terakhir. Selain itu, ED dapat sangat merusak kesehatan perempuan lansia.
Anorexia nervosa, bulimia nervosa, gangguan pesta makan dan gangguan
makan tertentu lainnya (mis. makan malam, pica) diklasifikasikan sebagai
penyakit mental; patogenesisnya melibatkan kompleks faktor genetik, biologis
dan lingkungan. Gangguan Makan adalah kelompok beragam gangguan kejiwaan

44
yang ditandai dengan pengurangan ekstrim asupan makanan atau makan
berlebihan; dalam kedua kasus tersebut akan ada komplikasi serius. Seringkali,
diyakini bahwa gangguan makan hanya menyangkut anak muda. Namun,
tampaknya masalahnya juga semakin meningkat berlaku untuk orang tua, dan
wanita pada khususnya. Gangguan Makan mengganggu kehidupan mental dan
sosial seseorang selama bertahun-tahun, dan memiliki konsekuensi parah.
Wanita menopause dan mereka yang menjalani pubertas berisiko lebih tinggi
mengalami gangguan makan karena kedua kelompok mengalami perubahan
hormon yang nyata. Belum ditetapkan apakah presentasi gangguan makan pada
wanita paruh baya dan lebih tua merupakan kelanjutan dari penyakit seumur hidup
atau onset penyakit yang terlambat. Namun Tampaknya anoreksia pada wanita
paruh baya dan lanjut usia adalah presentasi kronis dari onset sebelumnya.
Efek paling berbahaya dari gangguan makan adalah: menurun kepadatan
massa tulang, karena kejang resorpsi tulang yang berkaitan dengan perubahan
hormon, dan penurunan mobilitas. Butuh perhatian khusus pada potensi adanya
disregulasi sistem endokrin, disfungsi otak, komplikasi jantung, lambung dan
hematologi, dan juga kekurangan nutrisi sebagai komplikasi patofisiologis
kelaparan atau muntah berlebihan.
Pengobatan gangguan makan bergantung pada multidisiplin pendekatan,
termasuk medis, gizi, sosial dan komponen psikologis. Terapi perilaku kognitif
memainkan peran mendasar. Karakter kronis dan seumur hidup dari gangguan
makan dan kerentanan pasien terhadap aspek negatif pengobatan sering menjadi
sumber kegagalan terapi dan memburuknya penyakit. Sayangnya, kerumitan
faktor fisiologis dan lingkungan menyebabkan peningkatan morbiditas gangguan
makan.
Namun, gangguan makan pada lansia belum dipelajari secara luas.
Diperlukan penelitian tentang diagnosis yang tepat dan manajemen gangguan
makan pada wanita yang lebih tua. Perbaikan yang diperlukan adalah dalam hal
cara perawatan, dan khususnya dalam multidisiplin layanan kesehatan sekunder.
Karena banyak orang yang lebih tua memiliki beberapa penyakit parah. Seringkali
yang diabaikan oleh dokter kelainan makan pada kelompok ini, yang dapat

45
menyebabkan komplikasi serius. Apalagi, karena orang tua hanya mendapat
sedikit kompensasi mekanisme, berbagai masalah kesehatan sekunder akibat
gangguan makan muncul, yang paling umum adalah jantung, lambung, tulang dan
masalah metabolisme. Hal ini menjadi dasar pentingnya untuk membuat diagnosis
yang tepat dan segera memulai perawatan.

P27228017 259
JUDUL : Disorders of Eating in the Elderly
PENULIS : Elliot M. Berry dan Esther-Lee Marcus
TUJUAN PENELITIAN : Untuk menggambarkan pendekatan multidisiplin
untuk, dan pengelolaan, masalah yang melibatkan keterampilan medis,
keperawatan, dan nutrisi. Selain itu, kami membahas beberapa masalah etika dan
budaya yang kontroversial mengenai pendekatan terhadap pasien yang menolak
makanan.

46
ISI : Gangguan makan yang paling umum pada lansia baik di lingkungan
masyarakat maupun rumah sakit adalah gangguan makanan. Gangguan makan
yang parah dan gizi buruk terjadi dengan semua konsekuensi negatif pada
independensi dan fungsi. Penatalaksanaan gangguan makan pada lansia
merupakan tantangan diagnostik dan terapeutik, yang membutuhkan keterampilan
gabungan dari staf perawat dan perawatan medis. Penyebabnya seringkali
multifaktorial dan membutuhkan penilaian yang cermat dan berulang-ulang
terhadap riwayat sosial, psikologis, dan medis pasien. Pendekatan pengobatan
melibatkan faktor-faktor ini, serta pertimbangan etis dan budaya. Makan adalah
dorongan biologis yang paling mendasar dari semangat peremajaan. Dalam
kehidupan sosial, ada tambahan budaya dan sosial yang dapat mengesampingkan
naluri ini, seperti dalam kasus mogok makan untuk motif politik. Pada lansia,
makanan adalah salah satu sumber utama kesenangan yang mungkin dan
merupakan tantangan bagi penyedia layanan kesehatan untuk mencoba dan
memberikan kesenangan ini kepada pasien mereka selama mungkin.
Langkah-langkah dalam manajemen pasien lansia yang menolak makanan
dirangkum dalam Tabel II. Penilaian penyebab penolakan makanan harus
melibatkan tim multidisiplin. Di panti jompo, staf. Langkah-langkah dalam
Pendekatan dan Manajemen Penolakan untuk Makan 1. Mengevaluasi dan
mengobati penyebab yang mendasarinya bila memungkinkan Dysphagia
Dementia Depression Drugs Disease (organik) Keputusan (otonom - perilaku
merusak diri sendiri) 2. Modifikasi lingkungan dan perilaku 3. Stimulan nafsu
makan 4. Stimulan nafsu makan 4. Rehabilitasi gizi Makanan reguler Suplemen
cairan oral Pemberian makan tabung (sesuai pertimbangan medis, etika, dan
budaya) Gastrostomi Nasogastric
KESIMPULAN : Manajemen gangguan makan pada orang tua membutuhkan
keterampilan gabungan dari staf medis dan perawat. Penyebabnya seringkali
multifaktorial dan membutuhkan penilaian yang cermat dan berulang-ulang
terhadap riwayat sosial, psikologis, dan medis pasien. Approach treatment faktor
investasi, serta pertimbangan etis dan budaya. Makan adalah dorongan biologis
paling mendasar untuk bertahan hidup di alam. Dalam masyarakat manusia ada

47
aspek budaya dan sosial tambahan yang dapat mengesampingkan naluri ini,
seperti pada kasus pemancing yang menggunakan motif politis. Pada usia lanjut,
makanan adalah salah satu sumber utama kesenangan yang mungkin dan
merupakan tantangan bagi penyedia layanan kesehatan untuk mencoba dan
memberikan kesenangan ini kepada pasien mereka selama mungkin.

P27228017 271
JUDUL : Determinasi asupan makan pada usia lanjut
PENULIS : Yuli Amran, Riastuti Kusumawardani, Nita Supriyatiningsih
TUJUAN PENELITIAN : Mengetahui berbagai faktor yang berhubungan
dengan asupan makanan pada usia lanjut.
ISI : Makanan dan pola makan yang sehat dapat menjamin usia lanjut untuk
hidup lebih sehat, tetap aktif dalam waktu yang lama, membantu melindungi diri

48
dari penyakit, dan mempercepat penyembuhan bila terkena sakit. Faktor-faktor
yang mempengaruhi asupan makan pada lanjut usia :
Penyakit Penyerta
Peningkatan usia menyebabkan orang menjadi rentan terhadap serangan penyakit
sehingga menyebabkan keadaan gizi yang buruk. Berdasarkan hasil penelitian
diketahui sebagian besar usila dengan penyakit penyerta mempunyai asupan
makanan yang kurang. Pada proses penuaan terjadi penghilangan secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti fungsi normal
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang
diderita.7 Berbagai kondisi medis umum pada usila seperti penyakit
gastrointestinal, sindrom malabsorpsi, infeksi akut dan kronis, serta
hipermetabolisme sering menyebabkan anoreksia sehingga berpengaruh terhadap
asupan makanan.
Depresi
Berbagai persoalan hidup yang mendera usila sepanjang hayat seperti konflik
dengan keluarga atau anak dan tidak mempunyai keturunan yang dapat merawat
dapat memicu terjadinya depresi. Penelitian ini diketahui bahwa usila yang
mempunyai depresi berat sebagian besar mempunyai asupan makan kurang.
Selain itu pengaruh rasa sedih, khawatir, dan kesepian membuat mereka malas
untuk makan.
Gangguan Gigi
Tidak ada hubungan antara gangguan gigi dengan asupan makanan diasumsikan
dapat terjadi karena proses makan tidak hanya dipengaruhi oleh gangguan gigi
tetapi kondisi mulut juga berpengaruh terhadap proses makan. Mulut kering atau
sakit pada mulut juga berpengaruh pada proses makan yang berdampak pada
asupan makan usila.
Kunjungan
Kemauan makan dan nafsu makan sangat dipengaruhi oleh faktor social.
Penelitian ini menemukan bahwa asupan makanan kurang lebih banyak ditemui
pada usila yang tidak mendapat kunjungan. Penelitian ini menemukan bahwa
asupan makanan kurang lebih banyak ditemui pada usila yang tidak mendapat

49
kunjungan. Namun, banyak usila yang mendapatkan kunjungan dengan asupan
makanan yang kurang. Oleh sebab itu, hasil uji statistik menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara proporsi usila yang mengalami asupan makanan
kurang pada kelompok yang mendapat kunjungan dengan yang tidak mendapat
kunjungan.
Penggunaan Obat
Penggunaan berbagai macam obat juga termasuk factor yang memengaruhi status
gizi usila. Penggunaan berbagai macam obat mengakibatkan semakin besar
kemungkinan efek samping seperti kelemahan, pusing, diare, perubahan rasa dan
nafsu makan, mual, serta sembelit. Hasil penelitian terhadap penggunaan obat
dengan asupan makanan pada usila di Panti Sosial Tresna Werdha menunjukkan
bahwa sebagian besar responden tidak mengonsumsi obat. Hal ini
mengindikasikan bahwa usila yang tidak mengonsumsi obat juga mempunyai
selera makan yang sangat kurang.
Cita Rasa Makanan
cita rasa makanan merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan
asupan makanan usila setelah dikontrol dengan penyakit penyerta dan jumlah gigi.
Dengan demikian, peneliti mengasumsikan jika usila merasa bahwa makanan
yang disajikan pihak panti mempunyai cita rasa makanan yang tinggi maka akan
meningkatkan asupan makanan meskipun usila tersebut mempunyai penyakit
penyerta atau jumlah gigi yang sedikit. Cita rasa makanan yang rendah tidak
hanya dipengaruhi oleh kualitas makanan yang rendah, tetapi perlu
dipertimbangkan juga penurunan fungsi fisiologis indra usila. Terjadi perubahan-
perubahan pada usila termasuk adanya penurunan indra pengecap akan
memengaruhi selera makan.
KESIMPULAN :
Berbagai faktor yang berhubungan dengan asupan makanannusila adalah penyakit
penyerta, depresi, jumlah gigi,ndan cita rasa makanan. Hasil uji multivariat
menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan berhubungan dengan asupan
makanan usila secara berturut-turut adalah cita rasa makanan, penyakit penyerta,
dan jumlah gigi.

50

Anda mungkin juga menyukai