Anda di halaman 1dari 13

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

DEMOKRASI DI INDONESIA DARI MASA KE MASA


 
 
 
 
 
 
Disusun oleh:
Siti Nurul Hidayah
7311415032
         
 
 
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
 

Puji syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini
sebagai tugas untuk memenuhi nilai mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Makalah ini membahas tentang Demokrasi di Indonesia dari masa
ke masa.
Dalam penyusunan makalah ini, Penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena
itu, penulis terima kasih yang besar-besaran kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal
dari Allah Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat berharap untuk
menyempurnakan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
 

Semarang, Oktober 2015


 

 
Penulis
 

DAFTAR ISI
 

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………. saya


DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………………… .. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………………… 1
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Demokrasi …………………………………………………………………… 3
2.2 Pendidikan Demokrasi ………………………………………………………………… .. 4
2.3 Demokrasi dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Masa ke Masa 4
2.4 Prospek Demokrasi di Indonesia …………………………………………………… .. 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………………… .. 9
3.2 Saran ……………………………………………………………………………………………… 9
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………… .. 10
 

 
 

 
 
 
BAB I
PENDAHULUAN
 

 Latar Belakang
Demokrasi merupakan satu upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dimana rakyat
memegang kedaulatan pemerintahan dan diikutsertakan dalam suatu negara. Di
Indonesia, sistem demokrasi sendiri telah mengalami beberapa perubahan dari masa ke
masa. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tersebut masalah utama yang
sebenarnya berada di posisi yang tepat bagi bangsa Indonesia adalah bagaimana
mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial dan politik yang
demokratis di tengah masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya. Pada intinya
masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinan
cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dengan Partisipasi rakyat serta
menghindari timbulnya diktator, baik diktator yang bersifat perorangan, partai,
maupun militer.
Untuk memecahkan masalah ini, peran yang paling diharapkan adalah peran generasi
muda, terutama generasi baru yang mempunyai pengalaman politik yang berbeda, yang
mengalami sosialisai atau pendidikan politik, serta memiliki aspirasi dan politik yang
berbeda pula dari generasi sebelumnya.
 

 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan diatas, dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa demokrasi?
2. Bagaimana pengertian demokrasi menurut para ahli?
3. Apakah tujuan dari adanya pendidikan demokrasi?
4. Bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia dari masa ke masa?
5. Bagaimana prospek demokrasi di Indonesia?
 

 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk melihat dari demokrasi.
2. Untuk melihat demokrasi menurut para ahli.
3. Untuk melihat tujuan dari adanya pendidikan demokrasi.
4. Untuk melihat bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia dari masa ke
masa.
5. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
 

 
 

BAB II
PEMBAHASAN
 
 Pengertian Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat
dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi berarti pemerintahan rakyat,
atau suatu pemerintahan dimana rakyat memegang kedaulatan tertinggi atau
diikutsertakan dalam pemerintahan negara. Adalah Abraham Lincoln yang menyatakan
bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. [1]
Sedangkan pengertian demokrasi menurut para ahli adalah sebagai berikut:
 Abraham Lincoln , demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat.
 Kranemburg, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos dan
kratos. Demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jadi, demokrasi berarti cara
memerintah dari rakyat.
 Charles Costello, demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri
dengan kekuasaan-kekuasaan memerintah yang mengatur hukum dan kebiasaan
untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
 Koentjoro Poerbopranoto , demokrasi adalah negara yang pemerintahannya
dipegang oleh rakyat. Hal ini berarti suatu sistem dimana rakyat diikut sertakan
dalam pemerintahan negara.
 Harris Soche, demokrasi adalah pemerintahan rakyat karena itu kekuasaan
yang melekat pada rakyat.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat menunjukkan bahwa demokrasi adalah
pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilakukan oleh rakyat dan dipergunakan untuk
kepentingan rakyat.
 

 Pendidikan Demokrasi
Pendidikan demokrasi suatu upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat agar
mampu mendapatkan pemahaman yang memahami, menghayati, mengamalkan dan
mengembangkan konsep, prinsip dan nilai demokrasi sesuai dengan peran dan
statusnya dalam masyarakat. Pendidikan demokrasi dapat diperoleh melalui
pendidikan formal (di sekolah atau di perguruan tinggi), pendidikan non formal
(pendidikan di luar sekolah) dan pendidikan informal (pergaulan di rumah).
Tujuan dari adanya pendidikan demokrasi adalah mempersiapkan warga negara agar
berperilaku dan bertindak demokratis melalui aktivitas yang dilakukan dan
menanamkan pada generasi muda akan pengetahuan, kesadaran dan nilai-nilai
demokrasi. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk mewujudkan pendidikan
demokrasi adalah melalui Pendidikan Kewarganegaraan yang dijadikan sebagai mata
pelajaran di sekolah maupun mata kuliah di perguruan tinggi. Selain melalui
Pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan demokrasi di perguruan tinggi juga dapat
diperoleh melalui organisasi kemahasiswaan.
 Demokrasi dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
Masa ke Masa
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut dari masa ke
masa. Masalah utama yang berhubungan dengan bangsa Indonesia bagaimana
mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi dan kehidupan kehidupan sosial dan politik
yang demokratis di tengah masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya ini. Pada
intinya masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana
kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dengan
Partisipasi rakyat serta menghindari timbulnya diktator, baik diktator yang bersifat
perorangan, partai, maupun militer.
1. Masa Republik Indonesia I (1945-1959)
Demokrasi yang digunakan pada periode ini adalah demokrasi parlementer, karena
pada masa ini merupakan kejayaan dalam sejarah politik Indonesia. Demokrasi
parlementer ini mulai sebulan setelah kemerdekaan diproklamirkan dan masuk dalam
Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950. Undang-Undang Dasar 1950 menentukan
barlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif yang terdiri atas presiden
sebagai kepala negara dan menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik.
Penerapan demokrasi tersebut ternyata kurang cocok di Indonesia, meskipun dapat
dijalankan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain. Persatuan masyarakat
Indonesia melemah dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif
setelah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya demokrasi sistem parlementer
memberi peluang untuk didominasi oleh partai-partai politik dan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Disamping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak mendapat
saluran dan tempat yang realistis dalam kehidupan politik, padahal merupakan
kekuatan yang paling penting. Misalnya seorang presiden yang tidak mau bertindak
sebagai rubberstamp (presiden yang membubuhi capnya belaka) dan seorang tentara
yang lahir dalam revolusi bertanggung jawab untuk ikut serta menyelesaikan masalah-
masalah yang muncul oleh masyarakat Indoonesia pada umunya.
Faktor-faktor semacam inilah yang mendorong presiden Soekarno untuk mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar
1945 dan berakhirnya masa demokrasi parlementer.
1. Masa Republik Indonesia II (1959-1965)
Pada periode ini sistem demokrasi yang digunakan adalah demokrasi terpimpin, dengan
ciri-ciri didominasi oleh presiden, terbatasnya pengaruh partai politik, berkembangnya
pengaruh komunis, dan meluasnya peran ABRI sebagai unsur sosial-politik. [2]
Dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan
pernyataan kembali kepada UUD 1945 berdampak sangat besar dalam kehidupan
politik nasional. Mencari Google Artikel demokrasi terpimpin memungkinkan Soekarno
untuk review Menjadi shalat Satu agenda setter politik Indonesia, Yang akhirnya
MEMBUAT dia Menjadi Pemimpin Yang Sangat berkuasa Dan Menjadi Seorang
diktator. Politik pada masa demokrasi terpimpin diwarnai oleh tarik ulur yang sangat
kuat antara ketiga kekuatan politik yang utama pada waktu itu, yaitu Soekarno, PKI dan
Angkatan Darat.
Pada periode ini juga terjadi penyelewengan di bidang regulasi-undangan dimana
berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang
memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Kemudian mendirikan pula badan-
badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak
komunis sebagai arena kegiatan. Partai politik dan pers yang menyimpang dari rel
revolusi ditutup, tidak dibenarkan, sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan
luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi bertambah
suram. G 30S / PKI telah menghentikan periode ini dan membuka peluang untuk
dimulainya masa demokrasi Pancasila.
1. Masa Republik Indonesia III (1965-1998)
Landasan formal dari periode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta
ketetapan-ketetapan MPRS. Pada Periode ini menunjukkan peranan presiden yang
semakin besar, karena pemusatan kekuasaan berada di tangan presiden (Soeharto) yang
telah menjelma sebagai tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia,
tidak saja karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem presidensial, tetapi juga
karena pengaruhnya yang dominan dalam sistem elit politik Indonesia. Keberhasilan
memimpin penumpasan G 30S / PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan
menggunakan Surat Perintah 11 Maret (Super Semar) memberikan peluang yang besar
bagi Soeharto untuk menjadi tokoh yang paling berpengaruh di Indonesia
menggantikan Soekarno.
Masa Republik Indonesia III menunjukkan sikap dalam penyelenggaraan pemilu. Pada
periode ini telah dilaksanakan enam kali pemilu, yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, dan
1997. Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu
tersebut karena tidak ada kebebasan yang memilih bagi pemilih dan tidak ada
kesempatan yang sama bagi ketiga Organisasi Peserta Pemilu (OPP) untuk pemilu.
Pada periode ini, pembangunan ekonomi Indonesia sangat baik karena menjadikan
Indonesia swasembada beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an. Namun seiring
dengan pertumbuhan ekonomi, ternyata Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) juga
berkembang dengan pesat.
Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto telah menjadi presiden Soeharto menjadi
penguasa mutlak karena tidak ada satu lembaga pun yang dapat menjadi pengawasa
presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power). 
Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnya kelompok-kelompok yang
berkumpul Presiden Soeharto dan Orde Baru terutama dari kelompok mahasiswa dan
pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menguasai Gedung MPR / DPR di Senayan
pada bulan Mei 1998 merupakn langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan
tumbangnya orde baru. Presiden Soeharto merasa tidak mendapat dukungan dari
rakyat sehingga ia memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Presiden RI pada
tanggal 20 Mei 1998. Mundurnya Presiden Soeharto ini menjadi pertanda berakhirnya
masa Republik Indonesia III dan disusul dengan masa Republik Indonesia IV.
1. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang)
Pada periode ini Indonesia memasuki era baru yang biasa disebut dengan era reformasi
yaitu era yang menjadi babak baru dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Jika
masa sebelumnya demokrasi di Indonesia diwarnai oleh kekuasaan presiden yang
sangat dominan dan peran lembaga-lembaga lainnya, di era reformasi tampak peran
yang sangat proporsional di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kemudian jika di
masa kebebasan warga warga masyarakat yang menentukan partai politik yang sangat
mendasar, dengan dalih stabilitas nasional yang mantap, pada era reformasi warga
masyarakat memiliki kebebasan politik yang sangat besar untuk menentukan partai
politik.
Langkah terobosan yang dilakukan pada periode ini untuk melakukan perubahan
adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil pemilu 1999 serta
pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004. Dengan adanya
perubahan-perubahan tersebut, demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang
kuat untuk berkembang.
 Prospek Demokrasi di Indonesia
      Harold Crough mengungkapkan pesimisme yang kuat terhadap demokrasi
Indonesia, tetapi Afan Gaffar mempunyai keyakinan yang sebaliknya yaitu demokrasi
akan meningkatkan kualitas pelaksanaannya dengan alasan selama dua dasawarsa
terakhir ini, masyarakat Indonesia telah mengalami transformasi sosial yang sangat
fundamental. [3]
Proses transformasi sosial ini membawa hasil positif terhadap pembangunan nasional
Indonesia kesejahteraan masyarakat meskipun tingkat distribusi yang masih belum
baik. Selain itu hasil positif lainnya adalah peningkatan proporsi orang yang mengalami
peningkatan kemampuan politik. Hal ini dapat kita lihat dari besar jumlah pemilih yang
semakin bertambah pada setiap pemilu. Generasi muda adalah generasi baru yang
mempunyai pengalaman politik yang berbeda, yang memiliki pengalaman sosialisasi
atau pendidikan politik serta memiliki aspirasi politik yang berbeda pula dari generasi
sebelumnya.
 

BAB III
PENUTUP
 

3.1. Kesimpulan
Demokrasi merupakan salah satu upaya upaya sistematis untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat dimana rakyat yang memegang kedaulatan tertinggi dan ikut serta
dalam pemerintah suatu negara. Di Indonesia sistem demokrasi sendiri telah
mengalami beberapa perubahan dari masa ke masa, mulai dari demokrasi parlementer,
demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila era orde baru dan demokrasi pancasila era
reformasi. Masalah utama yang berhubungan dengan bangsa Indonesia dalam sistem
demokrasi adalah bagaimana mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi dan membina
suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis di tengah masyarakat yang
beraneka ragam pola budayanya.
 

3.2. Saran
Sebagai generasi muda, kita harus menciptakan generasi baru yang memiliki
pengalaman politik yang berbeda, yang mengalami sosialisai atau pendidikan politik
serta memiliki aspirasi dan pengetahuan politik yang berbeda pula dari generasi
sebelumnya. Satu hal lagi yang paling penting adalah kita harus menanamkan nilai-nilai
demokrasi pada diri kita dan kemudian kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
 

DAFTAR PUSTAKA
 

Sunarto, dkk. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi . Semarang:


Pusat Pengembangan MKU / MKDK-LP3 UNNES.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
 

[1] Drs. Sunarto, SH, M.Si., dkk., Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan


Tinggi (Semarang: Pusat Pengembangan MKU / MKDK-LP3 UNNES: 2015), hlm.48
[2]   Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama: 2008), hlm. 129
[3] Drs. Sunarto, SH, M.Si., dkk., Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi (Semarang: Pusat Pengembangan MKU / MKDK-LP3 UNNES: 2015), hlm. 53.
Karakteristik Demokrasi Periode Reformasi (1998-sekarang) Kompas.com - 13/02/2020, 16:00 WIB
BAGIKAN: Komentar Lihat Foto Pelantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI ke-3.(Kemdikbud) Cari
soal sekolah lainnya Penulis Arum Sutrisni Putri | Editor Arum Sutrisni Putri KOMPAS.com -
Pelaksanaan demokrasi di era reformasi (1998-sekarang) ditandai dengan lengsernya Soeharto
yang menjabat sebagai Presiden selama sekitar 32 tahun. Dikutip dari situs resmi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI, kepemimpinan nasional segera beralih dari Soeharto ke BJ Habibie
yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden. Beralihnya pemerintahan ke BJ Habibie
sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia dinilai sebagai jalan baru demi terbukanya proses
demokrasi di Indonesia. Demokrasi Indonesia periode reformasi Presiden BJ Habibie meletakkan
fondasi yang kuat bagi pelaksanaan demokrasi Indonesia pada masa selanjutnya. Dalam masa
pemerintahan Presiden BJ Habibie muncul beberapa indikator pelaksanaan demokrasi di Indonesia,
yaitu: Diberikan kebebasan pers Pada era reformasi diberikan ruang kebebasan pers sebagai ruang
publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan. Berlakunya sistem multipartai Di era
reformasi sistem multipartai diberlakukan terlihat pada Pemilihan Umum 1999. Habibie sebagai
Presiden RI membuka kesempatan pada rakyat untuk berserikat dan berkumpul sesuai ideologi dan
aspirasi politiknya. Baca juga: Bukti Normatif dan Empirik Indonesia Negara Demokrasi Karakteristik
demokrasi periode reformasi Demokrasi yang diterapkan di Indonesia pada era reformasi ini adalah
demokrasi Pancasila. Dengan karakteristik berbeda dari orde baru dan sedikit mirip dengan
demokrasi parlementer 1950-1959. Kondisi demokrasi Indonesia periode reformasi dinilai sedang
menuju sebuah kesempurnaan. Warga negara bertugas mengawal demokrasi agar dapat
teraplikasikan dalam aspek kehidupan. Berikut ini karakteristik demokrasi pada periode reformasi:
Pemilu lebih demokratis Rotasi kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah Pola rekrutmen
politik terbuka Hak-hak dasar warga negara terjamin Berikut ini penjelasannya: Baca juga:
Penyebab Kegagalan Demokrasi Parlementer Pemilu lebih demokratis Pemilu yang dilaksanakan
jauh lebih demokratis dari sebelumnya. Sistem Pemilu terus berkembang memberikan jalan bagi
rakyat untuk menggunakan hak politik dalam Pemilu. Puncaknya pada 2004 rakyat bisa langsung
memilih wakilnya di lembaga legislatif serta presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung.
Pada 2005 kepala daerah pun (gubernur dan bupati atau walikota) dipilih langsung oleh rakyat.
Rotasi kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah Rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai
pemerintahan pusat sampai pada tingkat desa. Pola rekrutmen politik terbuka Rekrutmen politik
untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka. Setiap warga negara yang mampu dan
memenuhi syarat dapat menduduki jabatan politik tanpa diskriminasi. Hak-hak dasar warga negara
terjamin Sebagian besar hak dasar rakyat bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan pers dan sebagainya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Karakteristik Demokrasi Periode Reformasi
(1998-sekarang)", Klik untuk
baca: https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/13/160000569/karakteristik-demokrasi-periode-
reformasi-1998-sekarang-?page=all.
Penulis : Arum Sutrisni Putri
Editor : Arum Sutrisni Putri

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:


Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Covid-19 dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Syarif Hidayat Peneliti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dosen Program Pascasarjana Universitas Nasional (Unas) |
Opini   MI/Tiyok DALAM kurun waktu dua bulan terakhir segenap komponen  bangsa
mulai resah. Selanjutnya, tercekam rasa takut, lantaran mulai merebaknya wabah corona
virus desease 2019 (covid-19).  Keresahan tersebut tentunya sangat manusiawi. Karena,
jika pandemi covid-19 tidak ditangani secara cepat dan tepat, akan berdampak fatal
terhadap kematian manusia, dan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, wacana publik
pun mulai dibanjiri diskursus tentang dua isu tersebut. Sementara itu, apa pelajaran yang
dapat dipetik dari musibah covid-19 terkait praktik demokrasi di Indonesia, pada khususnya,
dan tata kelola negara bangsa, pada umumnya, relatif belum mendapat perhatian secara
seimbang dari para akademisi. Karakteristik transisi demokrasi Kendati konsep transisi
demokrasi itu sendiri masih terus dalam perdebatan di kalangan para akademisi, secara
prinsipal dapat dikatakan bahwa sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada 1998,
Indonesia mulai memasuki periode transisi demokrasi. Terkait dengan hal ini, secara
teoretis dapat dikemukakan sedikitnya ada sepuluh karakteristik utama dari transisi
demokrasi. Pertama, relasi antara negara dan masyarakat, tidak lagi bersifat satu arah,
tetapi sudah bersifat dua arah. Walaupun dibukanya peluang partisipasi masyarakat
cenderung belum sepenuhnya didasarkan pada iktikad untuk memperkuat masyarakat sipil,
tetapi, lebih pada kewajiban memenuhi agenda reformasi. Kedua, relasi negara dan
masyarakat lebih berkarakterkan relasi antarelite, yaitu antara elite penguasa dan
elite masyarakat. Kondisi ini kemudian telah melahirkan praktik demokrasi elitis. Ketiga,
reformasi politik lebih dititikberatkan pada reformasi kelembagaan negara, namun minus
penguatan kapasitas. Kondisi itu berimplikasi pada terjadinya ‘pengekalan’ praktik
demokrasi prosedural. Keempat, telah terjadi perluasan arena kebebasan sipil, namun
minus kualitas. Realitas ini ditandai, antara lain, masih dominannya ekspresi kebebasan
sipil dengan cara-cara kekerasan, dan adanya tindakan ke kerasan, baik oleh pihak negara
maupun masyarakat, dalam meyikapi ekspresi kebebasan sipil. Kelima, pemilu
berkarakterkan vote minus voice. Maksudnya, pemilu secara rutin dilaksanakan sebagai
‘ritual politik’ untuk mendapat vote (suara masyarakat) guna melegitimasi kekuasaan para
elite. Namun, pada pascapemilu, sangat muskil memproduksi voice. Lebih buruk lagi, justru
yang dihasilkan adalah political noise. Keenam, munculnya oligarki partai politik. Kenyataan
ini ditunjukkan, antara lain, adanya sentralisasi kekuasaan dalam tubuh partai politik,
proses pengambilan keputusan dimonopoli segelintir elite partai. Lalu, promosi posisi
strategis tidak didasarkan pada sitem merit, dan proses kaderisasi nyaris tidak berjalan.
Ketujuh, maraknya praktik politik transaksionis, yaitu memperlakukan kekuasaan sebagai
komoditas yang dapat diperjualbelikan. Fenomena ini terjadi hampir pada semua arena
politik. Mulai dari praktik beli suara pada pemilu, sampai dengan beli jabatan untuk posisi-
posisi strategis pada lembaga internal partai politik, maupun pada lembaga negara.
Kedelapan, munculnya realitas dinasti politik, yakni monopoli kekuasaan berdasarkan
hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Tendensi ini terjadi, sangat erat terkait dengan
adanya praktik politik transaksionis dan oligarki partai politik sebagaimana dikemukakan di
atas. Kesembilan, maraknya praktik shadow state, yaitu hadirnya aktor di luar struktur
formal pemerintahan. Namun, dapat mengendalikan dan mengontrol para aktor
penyelenggara pemerintah formal, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
Kecenderungan ini terjadi, juga tidak terlepas dari adanya praktik politik transaksionis,
utamanya pada pemilu. Kesepuluh, hadirnya gerakan counter reform, yaitu suatu gerakan
‘reformasi tandingan’, yang sejatinya membawa spirit antireformasi, namun dikemas dalam
bungkus dan lebel proreformasi. Gerakan ini relatif sulit untuk dideteksi, namun sangat
membahayakan bagi masa depan demokrasi. Ujian dan bahaya Dengan merujuk pada
sepuluh karakteristik transisi demokrasi di atas, sedikitnya dapat diidentifikasi ada enam
tantangan demokrasi di Indonesia terkait dengan pandemik covid-19. Bila dibuat
kategorisasi, enam tantangan tersebut dapat dikelompok ke dalam tiga ujian dan tiga
bahaya demokrasi. Pertama, ujian bagi eksistensi dan komintmen terhadap prinsip-prinsip
negara kesatuan. Adanya pandemik covid-19 secara tidak langsung telah menguji apakah
prinsip-prinsip NKRI. Utamanya, terkait dengan relasi pusat-daerah, memang betul
teraktualisasi dan dipatuhi dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah virus
korona, atau hanya imajinasi. Bila betul ditaati, seharusnya tidak perlu terjadi perbedaan
sikap antara pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi kebijakan mengatasi
pandemik covid-19. Dikatakan demikian, karena dalam negara kesatuan, prinsip relasi
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah ialah berbagi kekuasaan, bukan
pemisahan kekuasaan seperti pada negara federal. Oleh karena itu, otonomi yang dimiliki
pemerintah daerah bukanlah otonomi penuh seperti pada negara federal. Jika pada
kenyataannya, pemerintah daerah terkesan merasa memiliki otonomi penuh, inilah yang
perlu dikoreksi untuk diluruskan. Namun, pada sisi lain, pemerintah pusat sebagai empunya
kewenangan, niscaya dituntut ketegasan dan kepastian dalam implementasi keputusan
yang telah diambil. Inilah sejatinya karakter dari strong state yang memang harus
diperlihatkan pemerintah pusat dalam mengatasi kondisi genting akibat wabah covid-19
yang mencekam saat ini. Kedua, ujian bagi kapabilitas dan kualitas kepemimpinan
pemerintah pusat dan daerah. Sejak tahun 2004 Indonesia telah menerapkan pilpres
langsung, dan mulai tahun 2005 melaksanakan pilkada langsung. Secara teoretis, pemilu
langsung diyakini akan menghasilkan pemimpin berkualitas, yang pada giliran akan
menghadirkan pemerintahan yang akuntabel dan responsif terhadap tuntutan kepentingan
masyarakat (Smith, 1985; Oyugi, 2000; dan Arghiros, 2001). Dalam mengikuti logika
teoretis ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran wabah covid-19 secara nyata
menyodorkan ujian bagi kapabilitas dan kualitas para pimpinan hasil pemilu langsung
tersebut. Ketiga, ujian kohesi sosial dan ‘kepatuhan’ terhadap state authority. Satu di antara
indikator penting dari eksisnya legitimasi otoritas negara adalah, adanya dukungan dan
kepatuhan warga negara terhadap berbagai kebijakan yang telah diambil pemerintah.
Dengan demikian, cukup beralasan jika dukungan dan kepatuhan terhadap kebijakan
pemerintah dalam mengatasi wabah covid-19 juga dapat diartikulasi sebagai bagian dari
ujian nyata terhadap eksistensi otoritas negara. Keempat, bahaya politisasi covid-19 untuk
pencitraan politik jelang Pilpres 2024. Tantangan demokrasi yang keempat ini terkesan
berlebihan, dan cenderung prematur. Namun, sebagai upaya antisipasi, ia layak
dipertimbangkan. Natur dari pemilu, termasuk pilpres, ialah kontestasi untuk mendapat
kekuasaan. Oleh karena itu, kata Machiavelli, segala cara pun akan dihalalkan, termasuk
politisasi musibah covid-19 untuk pencitraan politik. Kelima, bahaya politisasi kebijakan
pembatasan sosial (social distancing) untuk menekan hak menyampaikan aspirasi di ruang
publik. Seperti diketahui, kebijakan ini, antara lain, melarang warga masyarakat untuk
berkumpul di ruang publik dengan tujuan mencegah penularan covid-19. Dengan demikian
dapat dipastikan, selama periode pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial, tidak
dimungkin bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi di ruang publik. Oleh karena itu,
agar tidak terjadi ‘dusta di antara kita’, seharus pihak lembaga penyelenggara negara,
utamanya DPR RI, menunda sejumlah agenda pengambilan keputusan penting, yang
menghendaki pelibataan aspirasi publik, selama periode pemberlakuan kebijakan
pembatasan sosial tersebut. Keenam, bahaya politisasi program bantuan sosial covid-19
untuk mobilisasi dukungan jelang kontestasi Pilkada serentak 2020. Kekhawatiran ini cukup
beralasan, mengingat praktik politik uang dalam penyelenggaraan pilkada sudah menjadi
rahasia umum. Lebih jauh dari itu, bila disimak sejumlah kasus korupi kepala daerah,
utamanya yang ditangani KPK, juga mengindikasikan adanya keterkaitan dengan
penyalahgunaan anggaran negara. Khususnya, dana bantuan sosial, untuk kepentingan
pilkada. Oleh karena itu, bila tidak dikelola secara ketat dan tepat, tidak kecil kemungkinan
kecenderungan yang sama pun akan berlaku dalam pelaksanaan program bantuan sosial
covid-19. Akhirnya, penting untuk ditegaskan di sini, uraian singkat di atas bukan sama
sekali bermaksud untuk membangun perspektif pesimistik, tetapi justru sebaliknya. Dengan
adanya diskursus publik seperti ini, diharapkan akan merangsang sensitivitas dari pihak-
pihak terkait untuk melakukan refleksi atas konsep dan praktik demokrasi di Tanah Air
sejauh ini. Dengan demikian, komitmen ‘NKRI harga mati’ dan ‘daulat rakyat’ yang
diamanahkan melalui pilpres, pileg, dan pilkada, tidak hanya berhenti pada tingkat wacana,
tetapi terwujud dalam kenyataan.

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/305874-covid-19-dan-tantangan-
demokrasi-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai