Anda di halaman 1dari 10

RESUME NARASI RPJMN (BAB II)

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Regional
Dosen Pengampuh : Fahmi Wibawa, SE,MBA.

Oleh Kelompok 12:

M. Raihan Assyiraf 11180840000068


Ahmad Zulfikar 11180840000072
Rafi Rafsandjani 11180840000113

EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019
Pendahuluan

Pembangunan ekonomi dalam lima tahun ke depan diarahkan untuk meningkatkan ketahanan
ekonomi yang ditunjukkan oleh kemampuan dalam pengelolaan dan penggunaan sumber
daya ekonomi, dalam memproduksi barang dan jasa bernilai tambah tinggi untuk memenuhi
pasar dalam negeri dan ekspor. Hasilnya diharapkan mendorong pertumbuhan yang inklusif
dan berkualitas yang ditunjukkan dengan keberlanjutan daya dukung sumber daya ekonomi
bagi peningkatan kesejahteraan secara adil dan merata.

Pembangunan ekonomi dilaksanakan melalui dua pendekatan, yaitu: (1) pengelolaan sumber
daya ekonomi, dan (2) peningkatan nilai tambah ekonomi. Kedua pendekatan ini menjadi
landasan bagi sinergi dan keterpaduan kebijakan lintas sektor yang mencakup sektor pangan
dan pertanian, kemaritiman, perikanan dan kelautan, industri pengolahan, pariwisata,
ekonomi kreatif, dan ekonomi digital. Pelaksanaan kedua fokus tersebut didukung dengan
perbaikan data untuk menjadi rujukan pemantauan dan evaluasi capaian pembangunan, serta
perbaikan kualitas kebijakan.

Capaian Pembangunan Tahun 2015 – 2019

Ada beberapa capaian pembangunan yang terjadi pada periode 2015 – 2019 diantaranya :

1. Pengelolaan pangan menunjukkan capaian produksi yang meningkat. Surplus beras


sekitar 2,8 juta ton pada tahun 2018 dan rata-rata pertumbuhan produksi daging
sebesar 5,5% pertahun.
2. Angka kerawanan pangan menurun menjadi 7,9% pada tahun 2018. Hal ini terjadi
karena peningkatan dan produksi sumber pangan yang berdampak positif pada
membaiknya kualitas konsumsi dan gizi masyarakat seperti ditunjukkan dengan skor
Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 91,3/100 (AKE, 2000 kkal/kapita/hari).
3. Produksi ikan dan konsumsi ikan terus mengalami peningkatan, masing-masing
menjadi 14,1 juta ton dan 50,7 kg/kapita/tahun pada tahun 2018.
4. Rasio elektrifikasi mencapai 98,3% pada tahun 2018. Hal ini terjadi karena kualitas
kehidupan masyarakat yang meningkat dengan akses ke sumber energi yang lebih
baik. Capaian ini juga didukung dengan perluasan jaringan distribusi listrik, serta
pengembangan dan pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) termasuk
melalui pembangunan EBT skala kecil, penerapan smartgrid, dan pemanfaatan bahan
bakar nabati.
5. 8 Kawasan Industri / Kawasan Ekonomi Khusus sudah beroperasi. Yaitu KI/KEK Sei
Mangkei, KI Dumai, KEK Galang Bantang, KI Ketapang, KI Bantaeng, KI Konawe,
KI/KEK Palu, dan KI Morowali. Pengoperasian KI/KEK ini merupakan salah satu
upaya yang dilakukan untuk mengurangi ketergantungan impor dengan menarik
investasi untuk hilirisasi sumber daya alam di Kawasan Industri (KI) dan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) berbasis industri. Nilai investasi yang telah direalisasikan
sebesar Rp. 179,9 triliun dari 58 perusahaan PMA dan PMDN.
6. Peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara dari 9,4 juta orang pada tahun 2014
menjadi 15,8 juta orang, dengan penerimaan devisa sebesar USD 19,3 miliar pada
tahun 2018. Dan juga jumlah perjalanan wisatawan nusantara meningkat dari 251 juta
pada tahun 2014 menjadi 303 juta pada tahun 2018. Secara total, kontribusi sektor
pariwisata kepada perekonomian nasional diperkirakan meningkat dari 4,2 persen
pada tahun 2015 menjadi 4,8 persen pada tahun 2018.
7. Kontribusi eskpor ekonomi kreatif mencapai USD 19,8 miliar atau 11,8% dari total
ekspor Indonesia pada tahun 2017. Hal ini yang menjadi indikator kreativitas dalam
pemanfaatan dan pemanduan sumber daya ekonomi dan budaya yang mendorong
perkembangan aktivitas ekonomi kreatif. Pada sektor ini, jumlah tenaga kerja yang
diserap meningkat dari 15,5 juta orang pada tahun 2014 menjadi 17,7 juta orang pada
tahun 2017. Capaian ekspor dan tenaga kerja ekonomi kreatif telah melampaui target-
target dalam RPJMN 2015-2019.
8. Penciptaan lapangan kerja baru sekitar 11,88 juta (kumulatif tahun 2015 – 2019) dan
pengangguran terbuka menurun menjadi 5,28% pada tahun 2019. Pertumbuhan
ekonomi telah berhasil menciptakan lapangan kerja yang cukup tinggi. Selama
periode 2015-2019, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi rata-rata dapat
menciptakan sekitar 470.000 lapangan kerja. Hasilnya menunjukkan bahwa secara
total, jumlah lapangan kerja baru yang tercipta mencapai sekitar 11,9 juta dan
pengangguran terbuka menurun dari 6,2 persen (2015) menjadi 5,3 persen (2019).
Sektor jasa mampu menciptakan lapangan kerja tertinggi yaitu sekitar 12,6 juta orang
tenaga kerja, sedangkan sektor industri pengolahan hanya mampu menyerap sekitar
3,7 juta orang. Di sisi lain, tenaga kerja di sektor pertanian menurun sekitar 4,4 juta
orang. Proporsi pekerja formal juga meningkat dari 42,3 persen pada tahun 2015
menjadi 44,3 persen pada tahun 2019.
9. Peningkatan realisasi investasi dari Rp. 545,4 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp.
721,3 triliun pada tahun 2018. Hal ini terjadi karena merupakan hasil dari perbaikan
Ease of Doing Business (EoDB) dalam periode 2015 – 2018. Porsi Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) baru sebesar 45,6 persen, dan perlu terus ditingkatkan.
Sebaran investasi juga menjadi aspek yang perlu diperbaiki, mengingat realisasi
investasi masih terfokus di Jawa (56,2 persen). Percepatan pembangunan
infrastruktur, penyiapan tenaga kerja terampil, kepastian lahan, dan harmonisasi
peraturan menjadi kunci untuk penyebaran investasi ke luar Jawa. Aspek aspek
tersebut juga menjadi kunci sukses dari upaya percepatan pembangunan kawasan
industri dan kawasan pariwisata sebagai pusat pertumbuhan baru di luar Jawa.

Lingkungan dan Isu Strategis

 Keberlanjutan Sumber Daya Alam


Ketersediaan sumber daya alam (SDA) yang menjadi modal utama dalam
pembangunan makin berkurang. Hal itu terjadi karena adanya peningkatan
pemanfaatan SDA sebagai sumber bahan mentah bagi kebutuhan industri dalam
negeri, sekaligus juga menjadi sumber devisa. Terkait sumber daya energi, salah satu
tantangan yang dihadapi adalah menipisnya cadangan minyak dan gas.
Keberlanjutan pembangunan juga menghadapi tantangan degradasi dan deplesi SDA
lainnya seperti hutan, sumber daya air dan keanekaragaman hayati. Walaupun laju
deforestasi telah berkurang secara signifikan dibandingkan sebelum tahun 2000,
tutupan hutan diperkirakan tetap menurun dari 50 persen dari luas lahan total
Indonesia (188 juta ha) pada tahun 2017 menjadi sekitar 38 persen pada tahun 2045.
 Efektivitas Tata Kelola Sumber Daya Ekonomi
Pengelolaan sumber daya ekonomi menghadapi tantangan terkait daya dukung
lingkungan, ketersediaan lahan, keterbatasan infrastruktur, penataan ruang, serta
kesejahteraan petani-nelayan dan masyarakat yang bergantung penghidupannya pada
pemanfaatan sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya pangan dan pertanian
menghadapi isu semakin meningkatnya kebutuhan akan lahan dan air sebagai dampak
dari peningkatan aktivitas perekonomian. Kondisi ini menyebabkan peningkatan
persaingan dalam pemanfaatan lahan dan air, khususnya di antara sektor pertanian,
industri pengolahan, dan perumahan.
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah peningkatan kebutuhan pangan seiring
dengan peningkatan populasi penduduk sebesar 1,2 persen. Di sisi lain, produksi
pangan dipengaruhi oleh faktor musim, serta ketersediaan dan kehandalan sarana
prasarana produksi termasuk irigasi. Ketidakpastian produksi menyebabkan fluktuasi
harga pangan; sebagai contoh, fluktuasi harga beras rata-rata 0,6 persen per bulan.
Dari sisi produsen, produktivitas yang rendah dan fluktuasi harga menyebabkan daya
tawar petani (nilai tukar petani) yang rendah yaitu sebesar rata-rata 101,3 pada tahun
2017.
 Transformasi Struktural Berjalan Lambat
Transformasi struktural saat ini juga masih berjalan lambat. Rata-rata pertumbuhan
ekonomi potensial Indonesia terus turun dari sebelumnya mencapai 6,0 persen pada
periode 1990-2000 hingga menjadi rata-rata sekitar 5,0 persen pada periode 2000-
2015. Kontribusi PDB industri pengolahan terus menurun menjadi 19,9 persen pada
tahun 2018. Di sisi lain, pada tahun yang sama kontribusi PDB sektor jasa terus
meningkat menjadi sekitar 59,2 persen dan kontribusi PDB sektor primer sebesar 20,9
persen.
Lambatnya transformasi struktural di Indonesia juga berkaitan dengan rendahnya
ekspor. Rasio nilai ekspor/PDB Indonesia baru mencapai 19,0 persen, atau jauh di
bawah Thailand (69,0 persen), Vietnam (93,0 persen) dan Singapura (172,0 persen).
Keunggulan sumber daya alam yang ada di Indonesia juga belum banyak diolah
menjadi produk bernilai tambah tinggi, seperti ditunjukkan dengan ekpor produk
Indonesia yang didominasi oleh komoditas (lebih dari 50 persen), terutama olahan
CPO, logam dasar, karet dan makanan.
Rasio ekspor yang rendah dan dominasi ekspor komoditas menggambarkan tiga isu
dalam struktur industri nasional yang perlu ditangani ke depan. Pertama, adanya
disharmoni antara sektor hulu dan hilir menyebabkan kerentanan dalam rantai
pasok/nilai industri nasional sehingga daya saing industri nasional rendah. Kedua,
kapasitas inovasi di Indonesia rendah seperti yang ditunjukkan ekspor produk industri
berkandungan teknologi tinggi asal Indonesia yang lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara yang setara.

Ketiga, kualitas investasi diakatakan rendah jika investasi belum sepenuhnya berorientasi
ekspor, khususnya dalam PMA. transfer teknologi dan pengetahuan dari masuknya PMA yg
dapat mendorong inovasi pada ekspor belum sepenuhnya terwujud. Sebagian besar investasi
masih menyasar pasar dalam negeri dan belum banyak yang mengekspor. Investasi juga
bergeser dari sektor sekunder ke tersier dalam dau tahun terakhir.

Peningkatan kualitas investasi sering dihadapkan tantangan pengelolaan persaingan usaha.


Data Global Competitiveness Index (2019) menunjukan tingkat konsentrasi industri di
Indonesia yaitu 4.0. Angka ini menunjukan bahawa industri di Indonesia hanya didominasi
oleh beberapa pelaku usaha saja.

Transformasi structural yang berjalan lambat juga ditunjukkan oleh dominasi usaha skala
mikro. Kondisi ini menunjukan adanya hollow middle yang menjadikan kapasitas dunia usaha
untuk membangun ketekaitan hulu – hilir menjadi terbatas.

Upaya untuk meningkatkan skala UMKM saat ini belum menunjukan hasil yang optimal.
Upaya ini masih menghadapi tantangan kapasitas koperasi unutkk menjadi usaha yang
modern dan professional. Baru sekitar 7% UMKm yang menjalin kemitraan dengan
perusahaan lain.

Tapi, dalam tren perbaikan terdapat pada sisi kewirausahaan yang sudah mencapai 3,3% pada
tahun 2019. Kondisi ini disebabkan karena banyaknya masyarakat yang berwirausaha. Data
Global Entrepreneurship Monitor (2017) menunjukan peningkatan kepercayaan diri,
kapasitas dan partisipasi masyarakat Indonesia untuk berwirausaha. Tren ini sejalan dengan
perkembangan ekonomi global yang membuka banyak kesempatan berusaha.

Namun, dengan banyaknya masyarakat yang berwirausaha tidak didasarkan pada pemahaman
tentang model bisnis, pasar dan inovasi. Masih banyak masyarakat yang berwirausaha
merupakan usaha yang mencontoh, ini adalah tantangan berat untuk menjamin keberlanjutan
wirausaha.

Revolusi Industri 4.0 dan Ekonomi Digital

Pada tahun 2018, Pemerintah meluncurkan gerakan Making Indonesia 4.0. Gerakan ini
sejalan dengan era digitalisasi untuk tujuan peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kualitas
layanan. Pemanfaatan ekonomi digital ke depan memiliki potensi yag besar untuk tujuan
peningkatan nilai tambah ekonomi.

Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam era digitalisasi juga cukup besar. Dari sisi
kesiapan inovasi untuk menghadapi revolusi digital. Indonesia memiliki keunggulan dalam
harga, tapi jauh tertinggal dalam infrastruktur dan pemanfaatan oleh masyarakat.
Kesiapan Indonesia dalam menghadapi tantangan di era digitalisasi yang mampu mendorong
inovasi dalam pemerintahan, model usaha, dan pola hidup masyarakat juga kurang. Cara
beradaptasi, pendidikan dan pelatihan, ekosistem teknologi dan itegrasi informasi teknologi
menjadi isu-isu yang perliu ditangani agar segera memanfaatkan kemajuan teknologi digital.

Tantangan lain yang dihadapi berkaitan dengan pengembangan SDM dan persaingan
usaha.Era digitalisasi membawa dampak padapola bekerja yang Membuat pekerjaan menjadi
lebih sederhana dan repetitif. Pola perdagangan dan penyediaan layanan daring serta
penggunaan pembayaran nontunai menjadikan banyak usaha tidak lahi relevan. Kondisi ini
mengharuskan adanya kebijakan dan pola adaptasi menyeluruh dalam pemanfaatan
transformasi digital.

Sasaran, Indikator, dan Target

Dalam lima tahun mendatang, sasaran yang akan diwujudkan dalam rangka memperkuat
ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas adalah sebagai berikut :

1. Meningkatnya daya dukung dan kualitas sumber daya ekonomi sebagai modalitas
bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; dan
2. Meningkatnya nilai tambah, lapangan kerja, investasi, ekspor dan daya saing
perekonomian.

Target-target yang akan diwujudkan adalah sebagai berikut:

A. Meningkatnya daya dukung dan kualitas sumber daya ekonomi sebagai modalitas
bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
1. Pemenuhan kebutuhan energi dengan mengutamakan peningkatan energi baru
terbarukan (EBT)
2. Peningkatan kuantitas/ketahanan air untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
3. Peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan
4. Peningkatan pengelolaan kemaritiman, perikanan, dan kelautan
B. Meningkatnya nilai tambah, lapangan kerja, investasi, ekspor dan daya saing
perekonomian
1. Penguatan kewirausahaan dan UMKM, dan koperasi
2. Peningkatan nilai tambah, lapangan kerja, dan investasi di sektor riil, dan
industrialisasi
3. Peningkatan ekspor bernilai tambah tinggi dan penguatan Tingkat Komponen
Dalam Negeri (TKDN)
4. Penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi

Target-target diatas diharapkan dapat diwujudkan dalam lima tahun mendatang yaitu tahun
2024. Dengan adanya target-target tersebut Pemerinah diharapkan bisa lebih memfokuskan
anggaran serta kebijakan yang mengarah pada target-target tersebut.

Arah Kebijakan dan Strategi

Di dalam subbab ini terdapat dua poin utama yang didalamnya terbagi dalam beberapa poin
lagi, poin yang pertama yaitu pengelolaan sumber daya ekonomi dan poin yang kedua yaitu
peningkatan nilai tambah ekonomi.

1. Pengelolaan Sumber Daya Ekonomi

Di dalam poin ini berisi arah kebijakan dalam rangka pengelolaan sumber daya ekonomi pada
tahun 2020-2024.

Kebijakan yang pertama yaitu pemenuhan kebutuhan energi dengan mengutamakan


peningkatan energi baru terbarukan (EBT), untuk melaksanakan kebijakan ini maka dibuat
beberapa strategi antara lain; mempercepat pengembangan pembangkit energi baru dan
terbarukan dengan cara peningkatan industri pengolahan batubara menjadi gas untuk
kebutuhan bahan baku industri dalam negeri ; meningkatkan pasokan bahan bakar nabati,
melalui produksi biodiesel dan greenfuel dan bahan bakar nabati berbasis sawit melalui
pemberdayaan perkebunan sawit rakyat; meningkatkan pelaksanaan konservasi dan efisiensi
energi; meningkatkan pemenuhan energi bagi industri ( khususnya Sumatera bagian utara,
Sumatera bagian selatan, Jawa, Kalimantan bagian utara, Sulawesi bagian utara dan selatan,
Maluku Utara dan Papua Barat; Mengembangkan industri pendukung EBT.

Kebikajakan yang kedua yaitu peningkatan kuantitas/ketahanan air untuk mendukung


pertumbuhan ekonomi, untuk menjalankan kebijakan ini pemerintah akan berfokus kepada
penyedian infratruktur. Infrastruktur ini di klasifikasi menjadi 3 tipe yaitu untuk penyebaran
air bersih, infrastruktur dengan nilai ekonomi tinggi (bendungan & PLTA), dan untuk
maintenance ( pemulihan & pemeliharaan danau).
Kebijakan yang ketiga yaitu peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan,
di dalam kebijakan ini pemerintah berfokus kepada sisi produksi, baik itu cara/sistem
produksi seperti pengelolaan limbah pangan (food waste) ataupun pelaku produksinya
(produsen) seperti meningkatkan kesejahteraan SDM pertanian dan perikanan.

Kebijakan yang keempat yaitu peningkatan pengelolaan kemaritiman, perikanan dan


kelautan, di dalam kebijakan ini pemerintah memperhatikan semua aspek yang berkaitan
dengan kelautan seperti aspek kewilayahan (Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)), lalu
aspek sumber daya manusia seperti nelayan dan para pelaku usaha, dan yang paling
terpenting adalah aspek lingkungan sebagaimana diatur di dalam sustainable development
goals (SDGS) nomor 14 yang di dalamnya sangat mengutamakan kebersihan dan kualitas
lingkungan sehingga semua kebijakan dan aktivitas yang berkaitan dengan kelautan harus
berpedoman terhadap SDGS nomor 14 (life below water).

2. Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi

Di dalam poin ini berisi arah kebijakan dalam rangka peningkatan nilai tambah ekonomi pada
tahun 2020-2024.

Kebijakan yang pertama yaitu penguatan kewirausahaan, usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) dan koperasi. Di tahun 2019 kontribusi UMKM terhadap PDB meningkat 5%
sehingga total kontribusinya adalah 65% maka dari itu pemerintah mempunyai beberapa
strategi seperti meningkatkan kemitraan usaha antara usaha mikro kecil dan usaha menengah
besar; meningkatkan kapasitas usaha dan akses pembiayaan bagi wirausaha; meningkatkan
kapasitas, jangkauan, dan inovasi koperasi; meningkatkan penciptaan peluang usaha dan
start-up; serta meningkatkan nilai tambah usaha sosial.

Kebijakan yang kedua yaitu peningkatan nilai tambah, lapangan kerja, dan investasi di sektor
riil, dan industrialisasi di dalam kebijakan ini pemerintah berfokus kepada peningkatan
akselerasi dan kualitas industrialisasi baik pertanian maupun non pertanian yang secara
umum dapat dilakukan dengan cara peningkatan produktivitas; penguatan rantai pasok atau
nilai melalui harmonisasi kebijakan yang mempengaruhi efisiensi alur input-proses-output-
distribusi; diversifikasi dan peningkatan kualitas produk industri hulu, antara dan hilir untuk
penyediaan bahan baku, bahan antara/penolong dan barang jadi; perluasan pengembangan
permesinan; penguatan infrastruktur pendukung industri; penguatan circular economy sebagai
sumber efisiensi dan nilai tambah; dan penyediaan insentif melalui pembiayaan industri.
Semua strategi ini bertujuan untuk memperbaiki iklim usaha dan meningkatkan investasi,
termasuk reformasi ketenagakerjaan.

Kebijakan yang ketiga yaitu peningkatan ekspor bernilai tambah tinggi dan penguatan
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), kebijakan ini mempunyai hubungan yang erat
dengan kedua kebijakan sebelumnya yaitu UMKM dan industrialisasi dimana jika kedua
kebijakan tersebut berjalan dengan lancar maka target selanjutnya yaitu ekspor,salah satu
target yang ingin dicapai yaitu peningkatan ekspor produk industri yang lebih kompleks yang
berteknologi menengah dan tinggi. Indonesia juga memiliki potensi yang cukup besar jika
dapat memanfaatkan nation branding dengan cara Peningkatan citra dan diversifikasi
pemasaran pariwisata difokuskan pada inovasi dan keterpaduan pemasaran yang juga
melibatkan kekayaan budaya, termasuk kekayaan kuliner Indonesia.

Kebijakan yang keempat yaitu penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi, di
dalam kebijakan ini yang menjadi fokus pemerintah yaitu mengoptimalkan pemanfaatan
teknologi digital dan industri 4.0, industri 4.0 dilaksanakan secara bertahap pada lima
subsektor yaitu makanan-minuman, tekstil dan pakaian jadi, otomotif, elektronik, dan kimia
termasuk farmasi. Penerapannya diperluas untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan
daya saing di sektor pertanian, perikanan dan kemaritiman, kehutanan, energi, pariwisata,
ekonomi kreatif, transportasi, perdagangan, dan jasa keuangan. Pada kebijakan ini pemerintah
juga berpedoman terhadap sustainable development goals (SDGS) lebih tepatnya SDGS 12
(Responsible consumption and production) yang dalam pelaksanaannya akan dilakukan
penerapan Standar Industri Hijau oleh industri pengolahan untuk pengelolaan risiko
lingkungan, serta sertifikasi praktik pariwisata berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai