Anda di halaman 1dari 72

I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai pusat segitiga karang dunia merupakan kawasan

dengan tingkat keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dengan lebih dari

500 spesies karang, 18% terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia.

Keanekaragaman hayati laut lainnya antara lain 2.500 jenis ikan, 2.500 jenis

moluska, 1.500 jenis terumbu karang (Kementrian Kelautan & Perikanan

Indonesia, 2012).

Kawasan Mandeh merupakan salah satu daerah yang memiliki

keanekaragaman hayati di Provinsi Sumatera Barat. Kawasan ini terletak di

Kecamatan Koto XI Tarusan yang berbatasan langsung dengan Kota Padang.

Kawasan ini hanya berjarak 56 km dari Padang dengan luas ± 18.000 Ha. Bentuk

suatu ekosistem dapat mendukung keanekaragaman hayati biota laut yang terdapat

di wilayah pesisir. Keanekaragaman hayati yang tinggi di kawasan Mandeh

memiliki ekosistem pesisir yang cukup komplek, dimana ditemukan tiga

ekosistem utama wilayah pesisir, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem padang

lamun dan ekosistem terumbu karang yang memiliki luas ± 521.57 Ha (Dinas

Lingkungan Hidup Kabupaten Pesisir Selatan, 2016).

Keanekaragaman hayati laut ini memberi peluang untuk memanfaatkan

biota laut sebagai pencarian senyawa bioaktif yang baru, dimana biota laut

mempunyai keanekaragaman molekul yang sangat tinggi (Belarbi et al., 2003).

Berbagai penelitian menunjukan biota laut memiliki potensi yang sangat besar

1
dalam menghasilkan senyawa-senyawa aktif yang dapat digunakan untuk berbagai

bahan baku obat. Beberapa biota laut yang diketahui dapat menghasilkan senyawa

aktif antara lain adalah karang lunak, spon, moluska, bryozoa, tunikata dan lain-

lain (Ismet, 2007). Spon adalah hewan sederhana yang dicirikan sebagai

penyimpan filter aktif sessile dan menghasilkan berbagai metabolit. Spon

merupakan salah satu invertebrata filum Porifera yang menghasilkan senyawa

aktif dengan berbagai variasi struktur dan salah satu aktivitas biologinya adalah

sebagai antimikroba (Yulianti et al., 2011).

Spon mampu membentuk asosisasi dengan berbagai mikroba dan spon

merupakan sumber yang kaya metabolit sekunder (Taylor et al., 2007).

Kandungan metabolit sekunder dari spon diketahui mampu menangkal dan

menghambat bakteri patogen pengganggunya. Hal ini membuat spon menjadi

salah satu hewan laut yang menarik untuk diteliti karena berpotensi besar untuk

dikembangkan dalam bidang pengobatan yaitu sebagai antibakteri (Abubakar et

al., 2011).

Salah satu spon yang dapat menghasilkan berbagai senyawa metabolit

sekunder adalah Aplysina aerophoba. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

Majdi (2008) membuktikan bahwa senyawa metabolit sekunder yang terkandung

dalam Aplysina aerophoba adalah Aeroplysinin yang merupakan golongan

alkaloid.

Vilas et al., (2015) telah membuktikan bahwa Aeroplysinin yang terdapat

pada spon Ianthella ardis dan Aplysina aerophoba memiliki efek antibiotik dan

antiinflamasi yang kuat pada bakteri gram positif. Ismet et al., (2016) juga telah

2
meneliti 7 spon yang berpontensi sebagai antibakteri terhadap Escherichia coli

dan Stapylococcus aureus yaitu Clathria sp, Iotrochota sp, Sprastela sp,

Agelasidae, Haliclona spp, Aplysina aeorophoba, dan Agelas conifera.

Selain itu penelitian Amade et al., (1987) menunjukan bahwa ekstrak

etanol dari spon Aplysina dapat menghambat 5 bakteri gram positif dan bakteri

gram negatif diantaranya yaitu Stapylococcus epidermidis, Stapylococcus aureus,

Sarcina lutea, Bacillus subtilus, Micrococcus luteus, Escherichia coli, Serratia

marcescens, Enterobacter sp, Proteus morgani, Proteus mirabilis.

Berdasarkan riset kesehatan dasar, diare merupakan penyakit menular

penyebab kematian terbesar di Indonesia (Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, 2013). Helicobacter pylory merupakan salah satu jenis bakteri yang

dapat menyebabkan penyakit diare. Diare merupakan suatu penyakit yang banyak

terjadi khususnya di negara berkembang dimana sebagian besar komplikasi terjadi

hingga tiga juta kematian pertahun. Infeksi yang paling banyak terjadi pada anak

anak dan orang dewasa (Monajemzadeh et al., 2014). Selain itu bakteri yang dapat

menyebabkan diare adalah Shigella dysentriae dimana bakteri ini menyebabkan

penyakit diare akut yang ditandai dengan tinja cair yang bercampur dengan darah

dan lendir dikarenakan bakteri penyebab disentri telah menembus dinding kolon

sehingga tinja yang melewati usus besar akan berjalan sangat cepat tanpa diikuti

proses absorbsi air (Tickell et al., 2017).

Penelitian mengenai aktivitas antibakteri ekstrak spon Aplysina aerophoba

terhadap bakteri Shigella dysentriae dan Helicobacter pylori sejauh ini belum

ditemukan. Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian yang

3
menunjukan bahwa spon Aplysina aerophoba memiiki aktivitas terhadap Shigella

dysentriae dan Helicobacter pylori.

I.2 Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba memiliki

aktivitas antibakteri terhadap Shigella dysentriae dan Helicobacter pylori?

2. Apakah peningkatan konsentrasi ekstrak etil asetat spon Aplysina

aerophoba dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri Shigella dysentriae

dan Helicobacter pylori?

3. Apa kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada spon Aplysina

aerophoba ?

I.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba memiliki

aktivitas antibakteri terhadap Shigella dysentriae dan Helicobacter pylori.

2. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi ekstrak etil asetat

spon Aplysina aerophoba terhadap pertumbuhan bakteri Shigella

dysentriae dan Helicobacter pylori

3. Untuk mengetahui jenis metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etil

asetat spon Aplysina aerophoba

I.4 Hipotesis Penelitian

1. Ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba memiliki aktivitas antibakteri

terhadap Shigella dysentriae dan Helicobacter pylori.

4
2. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba

maka semakin baik dalam menghambat pertumbuhan Shigella dysentriae

dan Helicobacter pylori.

3. Ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba mengandung metabolit

sekunder golongan alkaloid.

I.5 Manfaat Penelitian

1. Dengan adanya penelitian ini kita dapat mengetahui dan membuktikan

secara ilmiah daya hambat dari spon Aplysina aerophoba sebagai

antibiotik.

2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang biota laut yang

mempunyai efek sebagai antibiotik.

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Spons

Spon adalah hewan bentos yang mempunyai nilai ekonomis penting karena

senyawa bioaktif yang dimilikinya. Indonesia yang terletak di daerah tropis

mempunyai biodiversitas spon yang tinggi dan tersebar di seluruh perairan (Hadi,

2011).

Menurut Hausmann et al., (2006) spon (Porifera) merupakan hewan

sederhana yang dicirikan sebagai penyimpan filter aktif sessile, mereka mewakili

filum Metazoan tertua. Seluruh jaringan spon adalah khusus untuk penyaringan,

Spon makan dengan cara mengekstraksi atau melarutkan makanan dari air di

sekitarnya, dengan menggunakan flagellated sel, choanocytes. Partikel-partikel

makanan seperti bakteri, mikroalga dan deritus dibawa oleh aliran air ini (Amir,

1996). Habitat spon yang melekat pada pasir dan bebatuan menyebabkan hewan

ini sulit untuk bergerak. Untuk mempertahankan diri dari predator dan infeksi

bakteri patogen spon mengembangkan sistem biodefense yaitu dengan

menghasilkan zat racun dari dalam tubuhnya, zat ini umumnya dapat

dimanfaatkan sebagai bahan farmasi (Motomasa, 1998).

Spon disebut juga invertebrata laut yang merupakan salah satu sumber

potensial penghasil komponen bioaktif, Spon merupakan tempat hidup untuk

berbagai mikroorganisme yang bersimbiosis dengannya (Lee et al., 2001).

Mikroorganisme yang bersimbiosis dengan spon dapat menjadi sumber untuk

berbagai produk alam dari laut. Metabolit yang terkandung dalam spon sangat

6
terkait dengan metabolit yang disintesis oleh mikroorganisme simbionnya (Thakur

& Muller, 2004). Berbagai jenis mikroorganisme telah berhasil ditemukan dalam

spon, diantaranya adalah archaea, bakteri heterotrofik, cyanobakteria, fungi, alga

hijau, alga merah, cryptophyta, dinoflagellata, dan diatom. Satu individu inang

spon dapat memiliki bermacam-macam simbion didalamnya. Sebagai contoh,

pada tubuh marine sponge Aplysina terdapat bakteri yang heterogen seperti:

Bacillus sp., Micrococcus sp., Vibrio sp., dan Arthrobacter sp (Hentschel et al.,

2001).

Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan akan bermanfaat bagi biota

tersebut untuk mempertahankan hidupnya yaitu sebagai perisai untuk melindungi

diri dari musuh. Senyawa metabolit sekunder umumnya bermanfaat bagi manusia

sebagai senyawa bioaktif yang bernilai tinggi (Nursid et al., 2005). Metabolit

sekunder yang dihasilkan oleh spon adalah golongan senyawa kimia antara lain

alkaloid, terpenoid, fenol, peptida, steroid dan poliketida (Thakur & Muller,

2004).

Spon mengandung komponen bioaktif seperti antibakteri, antioksidan,

antifungi, antiinflamasi, dan aktivitas sitotoksik. Berbagai kandungan bioaktif

yang dimiliki spon laut dapat menghasilkan produk obat baru yang lebih aman

dan efektif karena diisolasi langsung dari alam. Seperti aktivitas terhadap

antibakteri yang dapat menghasilkan antibiotik baru ditengah banyaknya bakteri

yang sudah resisten terhadap antibiotik yang sekarang tersedia. Senyawa

antioksidan sangat diperlukan tubuh untuk menangkal radikal bebas yang akan

memicu pembelahan sel abnormal, sebagai regenerasi sel sehingga

7
menghindarkan dari penuaan dini. Aktivitas antitoksik terutama juga sangat

penting, ditengah semakin berkembangnya berbagai jenis kanker yang sudah tidak

lagi disebabkan oleh faktor genetik tapi lebih disebabkan oleh gaya hidup yang

tidak sehat, pengembangan dan penemuan-penemuan senyawa baru yang

memiliki aktivitas sitotoksik ini akan sangat membantu dunia kesehatan dalam

pengobatan berbagai jenis kanker yang bermunculan, juga dapat membantu pasien

dalam memilih obat yang lebih aman dan efektif (Lee et al., 2001).

2.2 Aplysina aerophoba

2.2.1 Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Parazoa

Filum : Porifera

Kelas : Demopongiae

Ordo : Verongida

Famili : Aplysinidae

Genus : Aplysina

Spesies : Aplysina aerophoba (Barea-Azcon et al., 2008)

2.2.2 Morfologi

Aplysina aerophoba memiliki konsistensi seperti daging, berbentuk tabung

menyerupai menara yang tingginya mencapai 3-4 cm dan diameter 1-2 cm,

bermasa tidak teratur dengan benjolan besar (Barea-Azcon et al., 2008).

Morfologi Aplysina aerophoba dapat dilihat pada Gambar 1.

8
Gambar 1. Aplysina aerophoba (Barea-Azcon et al., 2008)

2.2.3 Kadungan Kimia

Penelitian yang telah dilakukan oleh Majdi (2008) membuktikan adanya

senyawa yang terdapat pada Aplysina aerophoba yaitu Aeroplysinin yang

merupakan golongan dari alkaloid.

2.2.4 Tinjauan Farmakologi

Spon Aplysina aerophoba berkhasiat sebagai antibiotik, antiinflamasi,

antiangiogenik dan antitumor yang menjanjikan. Senyawa metabolit sekunder

pada Aplysina aerophoba yaitu Aeroplysinin yang memiliki berbagai potensi

penggunaan farmakologis karena pengaruhnya terhadap target yang sangat

berbeda (Vilas et al., 2015).

9
2.3 Mikroorganisme Uji

2.3.1 Shigella dysentri

Menurut Radji (2010) Shigella dysentriae merupakan bakteri gram-negatif

berukuran 0,5-0,7 µm x 2-3 µm. Bentuk morfologinya adalah batang pendek atau

basil tunggal, tidak berspora, tidak berflagel sehingga tidak bergerak, dan dapat

memiliki kapsul. Bentuk morfologi Shigella dysentriae sangat mirip dengan

Salmonella, tetapi Shigella dysentriae dapat dibedakan berdasarkan reaksi

fermentasi dan uji serologi. Shigella dysentriae tidak membentuk gas pada reaksi

fermentasi dan lebih rentan terhadap berbagai bahan kimia jika dibandingkan

dengan Salmonella dalam media pembenihan.

Shigella dysentriae membentuk koloni yang halus dan mengkilap. Shigella

dysentriae merupakan bakteri yang hidup dalam suasana anaerob atau fakultatif

anaerob. Suhu optimium pertumbuhan bakteri ini adalah 37°C dan pH optimum

6,4-7,8. Shigella dysentriae dapat memfermentasi berbagai macam karbohidrat.

Kecuali laktosa, menghasilkan asam tanpa gas. Berdasarkan reaksi fermentasi,

Shigella dysentriae dapat dibedakan dari spesies Shigella lain karena memberikan

hasil negatif pada fermentasi manitol. Shigella dysentriae memiliki daya tahan

yang rendah terhadap berbagai zat kimia, mati pada suhu 55°C dan bertahan

hidup dalam fenol 0,5% selama 5 jam dan dalam fenol 1% selama 1 jam. Akan

tetapi, bakteri ini tahan terhadap suhu dan kelembapan rendah, yakni bertahan

hidup di dalam es selama 2 bulan. Di alam bebas bakteri ini dapat bertahan hidup

di laut selama 2-5 bulan (Radji, 2010).

10
2.3.2 Helicobacter pylori

Menurut Jawetz (2007), Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif

yang berbentuk spiral, bersifat oksidase positif dan katalase positif. Bakteri ini

mempunyai morfologi yang khas, motil, dan penghasil urease yang kuat.

Helicobacter pylori berhubungan dengan gastritis antral, penyakit ulkus (peptic)

duodenum, ulkus gaster dan karsinoma lambung Helicobacter pylori tumbuh

optimal pada pH 6,0-7,0 dan akan mati atau tidak tumbuh pada pH dalam lumen

lambung. Lendir lambung tidak permeabel terhadap asam dan mempunyai

kapasitas dapar yang kuat. Pada sisi lumen lupus, pHnya rendah (1,0-2,0)

sementara sisi epitel pHnya sekitar 7,4 Helicobacter pylori ditemukan dalam

lapisan mukosa dekat permukaan epitel tempat terdapat ph fisiologi. Helicobacter

pylori menghasilkan proteaceae yang memodifikasi lendir dilambung, dan

kemudian menurunkan kemampuan asam untuk berdifusi melewati lendir.

Helicobacter pylori menghasilkan aktifitas urease yang poten, yang menghasilkan

produksi ammonia dan kemudian mendapar asam.

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Sampel yang

diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak

dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang

tedapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak

atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan

mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap

11
pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Dengan

diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah

pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Departemen kesehatan Republik

Indonesia, 2000).

2.5 Metode Ekstraksi

Pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik untuk

senyawa aktif atau berkhasiat. Dengan demikian senyawa tersebut dapat

terpisahkan dari bahan dan senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya

mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Dalam ekstrak total maka cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir

semua metabolit sekunder yang terkandung. Faktor utama untuk pertimbangan

pada pemilihan pelarut diantaranya adalah selektivitas, kemudahan bekerja dan

proses dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan, dan keamanan

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

2.5.1 Ekstraksi Dengan Menggunakan Pelarut

1. Ekstraksi Cara Dingin

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000), ada beberapa

cara ekstraksi cara dingin, yaitu:

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang

12
(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian

konsentrasi pada keseimbangan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna, yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri

dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh

ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

2. Ekstraksi Cara Panas

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000), ada beberapa

cara ekstraksi panas, yaitu:

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan dengan pengulangan proses pada

residu pertama sampai 3 atau 5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi

sempurna.

b. Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

13
c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu dilakukan

pada temperatur 40-50ºC.

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup ke dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98

°C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur

sampai titik didih air.

2.6 Metode Pengujian Aktivitas Antibakteri

Menurut Pratiwi (2008), metode pengujian aktivitas antibakteri dibedakan

atas 3 cara, yaitu:

a. Metode difusi

Metode difusi untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang

berisi antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami

mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih

mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen

antimikroba pada permukaan media agar.

b. Metode dilusi

Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan

dilusi padat (solid dilution).

14
1. Metode dilusi cair

Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau kadar

hambat minimum, KHM) dan MBC (Minimum Baktericidal Concentration) atau

kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri

pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan

mikroba uji. Larutan uji antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa

adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang

ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair

tanpa penambahan mikroba uji ataupun antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24

jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai

KBM.

2. Metode dilusi padat

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media

padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba

yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.

c. Metode Bioautografi

Metode bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak

pada kromatogram hasil KLT (kromatografi lapis tipis) yang memiliki aktivitas

antibakteri, antifungi, dan antivirus, sehingga mendekatkan metode separasi

dengan uji biologis.

Keuntungan metode ini adalah sifatnya yang efisien untuk mendeteksi

adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun

berada dalam campuran yang kompleks sehingga memungkinkan untuk

15
mengisolasi senyawa aktif tersebut. Kerugiannya adalah metode ini tidak dapat

digunakan untuk menentukan KHM dan KBM.

Ada dua macam metode bioautografi, yaitu:

1) Bioautografi langsung

Dengan menyemprot plat KLT dengan suspensi mikroorganisme ataupun

dengan menyentuhkan plat KLT pada permukaan agar yang telah ditanami

mikroorganisme. Setelah inkubasi pada waktu tertentu, letak senyawa aktif

tampak sebagai area jernih dengan latar belakang keruh.

2) Bioautografi overlay

Dengan menuangkan media agar yang telah dicampur dengan

mikroorganisme diatas permukaan plat KLT, media ditunggu hingga padat,

kemudian diinkubasi. Area hambatan dilihat dengan penyemprotan menggunakan

tetrazolium klorida. Senyawa yang aktif sebagai antimikroba akan tampak sebagai

area jernih dengan latar belakang ungu.

2.7 Kloramfenikol

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat

ini terikat pada ribosom subunit 50S dan menghambat enzim peptidil transferase

sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis obat. Kloramfenikol

umumnya bersifat bakteriostatik pada kosentrasi tinggi kloramfenikol kadang-

kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum antibakteri

kloramfenikol meliputi Shigella dysentriae, Salmonella typhi, Escherichia coli,

16
Bacillus spp, Listeria, Boronella, Chlamydia dan Mycoplasma (Wewengkang et

al., 2014).

Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis protein mikroba

dengan cara berikatan pada ribosom sehingga menghambat pembentukan rantai

peptida (Sukandar et al., 2008).

2.8 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada

tahun 1938. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan seragam

pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium

atau plat plastik. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan

bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara

menaik atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun.

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah

(Gandjar & Rohman, 2012). Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari

beberapa pelarut dengan perbandingan tertentu. Pendeteksian bercak hasil

pemisahan dapat dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet gelombang

pendek (UV 254 nm) atau gelombang panjang (UV 366 nm) (Harborne, 1987).

17
III. PELAKSANAAN PENELITIAN

III.1 Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2017 sampai Desember

2017 di Laboratorium Kimia Organik Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM)

dan Laboratorium Mikrobiologi Kopertis Wilayah X Padang.

III.2 Alat dan bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pinset, pipet mikro,

jarum ose, kertas saring, tabung reaksi (Pyrex), rak tabung reaksi, cawan petri

(Iwaki), batang pengaduk, timbangan analitik (Metler pm 200), lampu bunsen,

gelas ukur (Pyrex), vial, botol, Erlenmeyer (Pyrex), hot plate (velpscientifica),

beaker glass (Pyrex), inkubator (Memmert), rotary evaporator (Hahnvapors

model HS-2361N5), laminar air flow (model VL 150), autoklaf (Wiseclave),

vortex (Vortex Mixer model VM-1000), jangka sorong (Advantec).

3.2.2 Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampel spon

Aplysina aerophoba, air suling (PT Bratacem), spiritus, asam klorida (Merck),

ferri klorida (Merck), asam asetat (Merck), etil asetat (PT Bratacem), asam sulfat

(Merck), etanol 70% (PT Bratacem), kertas cakram (whatman), kertas cakram

kloramfenikol (Oxoid), kertas perkamen, barium klorida (Merck), metanol (PT

Bratacem), natrium klorida 0.9% (Otsuka), aquadest, dimetilsulfoksida (Merck),

Nutrien Agar (Merck), kain kasa (Promedik), benang, alumunium foil, bakteri

18
Shigella dysentri dan Helicobacter pylori yang di peroleh dari Laboratorium

Mikrobilogi Universitas Indonesia.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel

Sampel spons diambil di Perairan Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan

Kanagarian Ampang Pulai, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sampel

spons diambil sebanyak 1 Kg dan langsung dibersihkan.

3.3.2 Determinasi Spons

Determinasi spons dilakukan di Laboratorium Ekologi Hewan, Jurusan

Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

3.3.3 Pembuatan ekstrak etil asetat

Spon sebanyak 1 Kg dipotong-potong kecil dan diekstraksi secara

maserasi dengan etil asetat selama 3x24 jam. Kemudian disaring dan

dikumpulkan dalam wadah, untuk selanjutnya disebut filtrat I. Ampas sisa

penyaringan diekstraksi seperti cara di atas hingga 3 kali (warna bening).

Dikumpulkan filtrat I s/d III kemudian diuapkan dengan rotary evaporator hingga

diperoleh ekstak kental etil asetat (Yulianty et al., 2011).

3.3.4 Sterilisasi alat

Alat-alat yang digunakan terlebih dahulu dicuci bersih dan dikeringkan.

Cawan petri dan beaker glass dibungkus dengan perkamen, tabung reaksi,

erlenmeyer, gelas ukur, ditutup mulutnya dengan kapas yang dibalut dengan kain

kasa, kemudian dibungkus dengan kertas perkamen, lalu disterilkan didalam

19
autoklaf pada suhu 121 °C dan tekanan 15 lbs selama 15 menit. Pinset dan jarum

ose disterilkan dengan cara pemijaran di atas nyala api selama beberapa detik.

Laminar Air Flow (LAF) dibersihkan dari debu lalu disemprotkan dengan etanol

70% dibiarkan selama 15 menit dan disterilkan dengan menyalakan lampu UV

selama 5 menit sebelum digunakan. Semua pengerjaan dilakukan dengan teknik

aseptis (Dwidjoseputro, 1987).

3.3.5 Pembuatan Media

Sebanyak 5 gram nutrient agar dilarutkan dengan 250 mL aquadest dalam

erlemeyer dan dipanaskan diatas hot plate menggunakan batang pengaduk sampai

terbentuk larutan jernih. Kemudian disterilkan didalam autoklaf pada suhu 121°C

tekanan 2 atm selama 15 menit. Nutrient agar kemudian dimasukkan ke dalam

beberapa tabung reaksi dengan jumlah yang telah ditentukan, tabung yang telah

berisi agar diletakkan pada kemiringan 30-45o. Dibiarkan agar menjadi dingin dan

keras (Lay, 1994).

3.3.6 Peremajaan bakteri

Diambil satu koloni dari masing masing bakteri Shigella dysentri

Helicobacter pylori dengan menggunakan jarum ose steril lalu ditanamkan pada

media agar miring dengan cara digoreskan setelah itu diinkubasi pada inkubator

pada suhu 37oC selama 24 jam (Rusdi, 2010).

3.3.7 Pembuatan larutan uji

Larutan induk dibuat dengan cara menimbang ekstrak sebanyak 7 g,

kemudian dimasukkan dalam labu ukur dan dilarutkan dengan 100 mL

Dimetilsulfoksida (DMSO). Dari larutan induk dibuat pengenceran untuk

20
konsentrasi 5% diambil 7,1 mL sampai 10 ml DMSO, Konsentrasi 3% diambil 6

mL dari konsentrasi 5% sampai 10 mL DMSO, konsentrasi 1% diambil 3,3 mL

dari konsentrasi 3% sampai 10 mL DMSO.

3.3.8 Pembuatan larutan Mc. Forland

Larutan H2SO4 sebanyak 99,5 mL dicampurkan dengan larutan BaCl2

1,175 % sebanyak 0,5 mL dalam erlemeyer. Kemudian dikocok sampai terbentuk

larutan yang keruh. Kekeruhan ini dipakai sebagai standar kekeruhan suspensi

bakteri uji (Perilla et al., 2003).

3.3.9 Pembuatan Suspensi Bakteri

Biakan bakteri yang berumur 24 jam diambil dari agar miring sebanyak 2

ose koloni bakteri uji disuspensikan kedalam 10 ml NaCl 0,9 % steril dalam

tabung reaksi steril. Kemudian dihomogenkan dengan vortex, kekeruhan

dibandingkan dengan Mc Farland (Perilla et al., 2003).

3.3.10 Uji Aktivitas Antibakteri

Sebanyak 15 mL nutrien agar (NA) dimasukkan kedalam cawan petri

steril, kemudian ditambahkan suspensi bakteri 100 µL . Kemudian dihomogenkan

dengan cara mengoyang-goyangkan cawan petri yang berisi media tersebut.

Media kemudian dibiarkan memadat . Kertas cakram steril direndam pada larutan

uji ektrak etil asetat dengan konsentrasi 7%, 5%, 3%, dan 1% kemudian

ditempelkan ke permukaan agar. Sebagai kontrol negatif digunakan DMSO dan

kontrol positif digunakan cakram kloramfenikol. Perlakuan ini diulang sebanyak 3

kali. Kemudian cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada suhu

21
24-27oC. Aktivitas antibakteri ditetapkan dengan mengukur diameter daerah

hambat yang terbentuk dengan menggunakan jangka sorong (Fakhri et al., 2013).

Menurut Davis & Stout (1971) ketentuan kekuatan daerah hambat tersebut

adalah sebagai berikut: Daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat,

daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm (sedang) dan

daerah hambatan 5 mm (kurang), dikatakan tidak berefek.

Kriteria aktivitas antibakteri (Powell et al,2016) :

1. Kehadiran atau tidak adanya daerah penghambatan di sekitar disk

mengidentifikasi kepekaan bakteri terhadap obat tersebut

2. Jika organisme dibunuh atau dihambat oleh konsentrasi antibiotik, tidak

akan ada pertumbuhan di daerah sekitar disk: Ini disebut zona

penghambatan.

3. Ukuran zona dicari pada bagan standar untuk memberikan hasil sensitif,

resisten, atau menengah.

3.3.11 Pemeriksaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis dilakukan bertujuan untuk mengetahui pola

kromatogram yang dihasilkan dari pemisahan senyawa yang terdapat pada

sampel.

A. Penjenuhan Bejana

Kertas saring ditempatkan dalam bejana kromatografi. Tinggi kertas saring

7 cm dan lebarnya sama dengan lebar bejana. Masukkan larutan pengembang ke

dalam bejana kromatografi, hingga tingginya 0,5 sampai 1 cm dari dasar bejana.

22
Tutup kedap dan biarkan hingga kertas saring basah seluruhnya. Kertas saring

harus selalu tercelup ke dalam larutan pengembang pada dasar bejana. Kecuali

dinyatakan lain pada masing-masing monografi, prosedur KLT dilakukan dalam

bejana jenuh (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

B. Larutan Uji KLT

Timbang 1 g ekstrak lalu rendam sambil dikocok diatas penangas air

dengan 10 mL pelarut yang sesuai selama 10 menit. Masukan filtrat ke dalam labu

ukur 10 mL tambahkan pelarut sampai tanda batas untuk mendapatkan larutan uji

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

C. Kromatografi lapis tipis

Fase diam yang digunakan silika gel 60 F254 dan fase gerak yang

digunakan merupakan kombinasi dari n-heksan dan etil asetat pelarut dengan

perbandingan 2:1, dan telah dijenuhkan terlebih dahulu (Setyowati et al., 2007).

Kemudian lempeng diamati dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm (Harborne,

1987).

D. Uji Kromatografi Lapis Tipis

Totolkan larutan uji dan larutan pembanding menurut cara yang tertera

pada masing-masing monografi dengan jarak 1,5 - 2 cm dari tepi bawah lempeng

dan biarkan mengering. Tempatkan lempeng pada rak penyangga, hingga tempat

penotolan terletak di sebelah bawah, dan masukkan rak ke dalam bejana

kromatografi. Larutan pengembang dalam bejana harus mencapai tepi bawah

lapisan penyerap, totolan jangan sampai terendam. Letakkan tutup bejana pada

tempatnya dan biarkan sistem hingga fase gerak merambat sampai batas jarak

23
rambat. Keluarkan lempeng dan keringkan di udara, amati bercak dengan sinar

tampak ultraviolet gelombang panjang 366 nm dan 254 nm.

3.3.12 Identifikasi Kandungan Metabolit Sekunder

1. Uji Alkaloid

Ekstrak dilarutkan dalam 2 mL asam klorida, dipanaskan 5 menit dan

disaring. Filtrat yang diperoleh ditambah 2-3 tetes pereaksi dragendorf. Adanya

senyawa alkaloid ditunjukkan dengan endapan jingga (Ningsih et al., 2016).

2. Uji Steroid dan Terpenoid

Sebanyak 2 mL sampel ditambah dengan pereaksi Lieberman-Burchard 1

mL. Adanya senyawa steroid ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tua

atau hijau kehitaman dan terpenoid terbentuknya warna ungu (Ningsih et al.,

2016).

3. Uji Fenolik

Sebanyak 2 mL sampel dilarutkan dengan aquades 10 mL, dipanaskan 5

menit dan disaring. Filtrat yang terbentuk ditambahkan 4-5 tetes FeCl3. Adanya

fenol ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tua atau hijau kehitaman

(Ningsih et al., 2016).

24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dari penelitian uji aktivitas antibakteri ektrak etil asetat spon Aplysina

aerophoba pada Shigella dysentriae dan Helicobacter pylori diperoleh hasil

sebagai berikut :

1. Hasil determinasi sampel yang diambil dari Perairan Mandeh, Kecamatan

Koto XI Tarusan Kenagarian Ampang Pulai, Kabupaten Pesisir Selatan,

Sumatera Barat, menunjukkan bahwa sampel yang didapatkan adalah

Aplysina aerophoba dari famili Aplysinidae (Lampiran 1, Gambar 2).

2. Ekstrak etil asetat yang didapatkan dari 1 Kg spon Aplysina aerophoba

adalah 13,6 g (Lampiran 3, Gambar 8).

3. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba

terhadap bakteri Helicobacter pylori dengan konsentrasi 7%, 5%, 3%, 1%,

menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dengan terbentuknya rata-rata

diameter hambat pada masing-masing konsentrasi sebesar 10,60 mm, 9,44

mm; 8,3 mm; 5,641 mm, dan kontrol positif (kloramfenikol) sebesar 16,33

mm (Lampiran 1, Tabel 1). Selanjutnya untuk bakteri Shigella dysentriae

dengan konsentrasi 7%, 5%, 3%, 1% terbentuk rata-rata diameter hambat

sebesar 10,05 mm; 9,63 mm; 6 mm; 4,583 mm dengan kontrol positif

(kloramfenikol) sebesar 16,46 mm. Sedangkan untuk kontrol negatif

(DMSO) tidak menghasilkan diameter hambat sama sekali (Lampiran 1,

Tabel 2).

25
4. Uji metabolit sekunder ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba mengandung

alkaloid dan fenolik (Lampiran 1, Tabel 3).

5. Ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba yang dianalisis dengan kromatografi

lapis tipis (KLT) dengan menggunakan perbandingan eluen n- hexan:etil

asetat (2:1) didapatkan nilai Rf sebesar 0,83 (Lampiran 1, Gambar 6).

4.2 Pembahasan

Hasil dari determinasi sampel menunjukkan bahwa sampel yang

digunakan adalah spon Aplysina aerophoba dari famili Aplysinidae (Lampiran 1,

Gambar 2). Aplysina aerophoba diambil di Perairan Mandeh Kecamatan Koto XI

Tarusan Kenagarian Ampang Pulai, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat ,

karena lokasi tersebut merupakan daerah teluk yang dikelilingi oleh pulau-pulau

yang belum tercemar dan wilayah kepulauan ini dahulunya masih belum banyak

diketahui sehingga biota lautnya masih terjaga (Dinas Lingkungan Hidup

Kabupaten Pesisir Selatan, 2016).

Aplysina aerophoba dibersihkan dengan menggunakan air laut yang

telah disaring kemudian dibilas dengan etanol 70% untuk menghilangkan mikroba

lain yang terbawa saat pengambilan sampel, lalu Aplysina aerophoba digerus

untuk memperbesar luas permukaan dan mempermudah proses ekstraksi.

Selanjutnya dilakukan proses ekstraksi dengan menggunakan metode maserasi.

Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar).

Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian

konsentrasi pada keseimbangan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

26
2000). Aplysina aerophoba dimaserasi dengan menggunakan pelarut etil asetat

selama 3x24 jam. Ekstrak etil asetat yang diperoleh kemudian diuapkan

pelarutnya secara in vacue dengan rotary evaporator.

Berat ekstrak etil asetat yang diperoleh dari 1 Kg Aplysina aerophoba

adalah 13,6 g (Lampiran 3, Gambar 9). Kemudian ekstrak etil asetat tersebut diuji

aktivitas antibakterinya dengan menggunakan bakteri Shigella dysentriae dan

Helicobacter pylori sebagai mikroba uji. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan

dengan metode difusi kertas cakram. Metode difusi dipilih karena metode ini

memiliki kesederhanaan, kemudahan uji antibakteri, dan kemampuan untuk lebih

mudah menghambat pertumbuhan bakteri (Biemer, 1973). Diameter hambat

pertumbuhan bakteri ini ditandai dengan adanya zona bening disekitar cakram,

terbentuknya zona bening disekitar cakram disebabkan karena pada daerah

tersebut pertumbuhan bakteri yang dihambat oleh sampel uji (Perilla et al., 2003).

Pelarut yang digunakan untuk pengenceran ekstrak kental etil asetat spon

Aplysina aerophoba adalah DMSO. Pelarut DMSO memiliki keunggulan

diantaranya dapat melarutkan senyawa baik polar maupun non polar, selain

digunakan sebagai pelarut, DMSO juga digunakan sebagai kontrol negatif.

Menurut Jacob & Wood (1967) DMSO dilaporkan relatif tidak berpengaruh

terhadap proliferasi sel sehingga tidak menggangu hasil pengamatan pengujian

aktivitas antibakteri dengan metoda difusi agar. Antibiotik pembanding yang

digunakan adalah kloramfenikol (Lampiran 3, Gambar 9). Kloramfenikol

digunakan sebagai kontrol positif karena menurut Jawetz et al., (2007)

27
kloramfenikol ini efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif

dan gram negatif.

Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat Aplysina

aerophoba pada bakteri Helicobacter pylori dengan konsentrasi 7%, 5%, 3%, 1%

menunjukan nilai rata-rata diameter hambat secara berurutan adalah sebesar 10,60

mm; 9,44 mm; 8,3 mm; 5,641 mm dengan kontrol positif (kloramfenikol) 16,33

mm (Lampiran 1, Tabel 1). Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat

Aplysina aerophoba pada bakteri Shigella dysentriae dengan konsentrasi 7% , 5%,

3%, 1% menunjukan nilai rata-rata diameter hambat secara berurutan adalah

sebesar 10,05 mm; 9,63 mm; 6 mm; 4,583 mm, dengan kontrol positif

(kloramfenikol ) 16,46 mm (Lampiran 1, Tabel). Sedangkan untuk kontrol negatif

pada kedua bakteri uji dengan menggunakan DMSO tidak menghasilkan diameter

hambat sama sekali.

Dari grafik (Lampiran 1, Gambar 5) dapat diketahui bahwa ekstrak etil

asetat pada berbagai konsentrasi yang diujikan pada bakteri Helicobacter pylori

dan Shigella dysentriae memiliki rata-rata diameter hambat yang lebih kecil

dibandingkan dengan kontrol positif (kloramfenikol). Menurut Katzung (2004),

kloramfenikol merupakan antibiotik bakteriostatik berspektrum luas yang

mekanisme kerjanya menghambat sintesis protein, mencegah perpanjangan rantai

protein dengan menghambat aktivitas transferase peptidil dari ribosom bakteri,

menghambat pembentukan dinding serta permeabilitas membran sel bakteri.

Selain itu dari grafik juga diketahui bahwa dari rata-rata diameter hambat berbagai

28
konsentrasi ekstrak etil asetat yang diujikan pada bakteri Helicobacter pylori lebih

besar dibandingkan dengan Shigella dysentriae.

Menurut Davis & Stout (1971) klasifikasi kekuatan daya hambat dapat

dikelompokan menjadi beberapa kategori yaitu kategori sangat kuat diameter

hambat ≥ 20 mm, kuat 10-20 mm, sedang 5-10 mm, dan lemah ≤ 5 mm. Hasil

penelitian menunjukan bahwa ekstrak etil asetat pada spon Aplysina aerophoba

pada konsentrasi 7% memiliki daya hambat yang kuat terhadap Helicobacter

pylori dan Shigella dysentriae. Ekstrak etil asetat pada konsentrasi 5%, 3% dan

1% memiliki daya hambat sedang terhadap Helicobacter pylori, sedangkan

ekstrak etil asetat pada konsentrasi 5% dan 3% memiliki daya hambat sedang

terhadap Shigella dysentriae. Daya hambat lemah ditunjukan oleh ekstrak etil

asetat pada konsentrasi 1% terhadap bakteri Shigella dysentriae. Menurut Davis &

Stout (1971), konsentrasi yang digunakan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi besar kecilnya zona hambat yang terbentuk disekitar cakram.

Semakin lebar diameter zona bening yang terbentuk membuktikan kuatnya

senyawa bioaktif itu menghambat pertumbuhan bakteri.

Hasil uji fitokimia menunjukan bahwa ektrak etil asetat spon Aplysina

aerophoba yang diuji dengan pereaksi dragendorff menunjukan positif alkaloid,

ditandai dengan terbentuknya endapan jingga. Selain itu, ekstrak etil asetat spon

Aplysina aerophoba yang diujikan dengan FeCl3 menunjukan positif fenolik,

ditandai dengan terbentuknya endapan hijau kehitaman. Menurut Ningsih (2016),

terbentuknya endapan jingga menunjukan bahwa ekstrak tersebut positif alkaloid,

dan adanya fenolik ditandai dengan terbentuknya endapan hijau kehitaman.

29
Kandungan kimia ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba juga diuji dengan

menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

Menurut Marlina (2005) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) bertujuan untuk

lebih menegaskan hasil yang didapat dari uji fitokimia, karena berfungsi sebagai

penegasan dan melihat pola pemisahan senyawa yang terkandung dalam ekstrak

berdasarkan kelarutannya. Pemisahan senyawa dari ekstrak Aplysina aerophoba

dilakukan dengan menggunakan silika gel 60 F254 sebagai fase diamnya.

Berdasarkan pemeriksaan KLT, ekstrak etil asetat dengan eluen etil asetat : n-

heksan (2:1) yang dilihat di bawah lampu UV 254 nm dan 366 nm (Lampiran 1,

Gambar 6) diperoleh nilai Rf untuk ekstrak Aplysina aerophoba adalah 0,83. Hal

ini menunjukan bahwa ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba memiliki

kandungan alkaloid. Berdasarkan penelitian Nadeau (1956) menunjukan alkaloid

memiliki nilai Rf dalam rentang 0,43 sampai 0,90. Sejalan dengan penelitian

Amade (1987), yang menyatakan bahwa Aplysina aerophoba memiliki senyawa

alkaloid yaitu aeroplysinin yang bersifat antibiotik. Menurut Vilas et al., 2015 &

Katzung, 2004 mekanisme kerja alkaloid adalah menghambat pertumbuhan

bakteri dengan cara menghambat aktivitas sintesis RNA, merusak dinding sel

bakteri, dan mengendap protein.

Mekanisme kerja alkaloid sebagai antibakteri adalah dengan cara

mengganggu komponen penyusun peptidoglikon pada sel bakteri sehingga lapisan

dinding sel tidak terbentuk secara utuh (Cowan, 1999). Menurut Robinson (1991)

alkaloid memiliki aktivitas antibakteri melalui mekanisme yang diduga adalah

dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri,

30
sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan

kematian sel tersebut.

Menurut Siswandono & Soekardjo (2000), mekanisme fenol dapat

menyebabkan denaturasi protein melalui proses adsorbsi yang melibatkan ikatan

hidrogen. Pada kadar rendah, terbentuk kompleks protein-fenol dengan ikatan

lemah dan segera mengalami penguraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan

menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi, fenol

menyebabkan koagulasi protein dan membran sel mengalami lisis, mengubah

permeabilitas membran bakteri. Fakhri (2013), juga menyatakan bahwa

mekanisme senyawa fenol sebagai antimikroba adalah dengan cara meracuni

protoplasma, merusak dinding sel serta mengendapkan protein sel mikroba.

31
V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Dari penelitian uji aktivitas antibakteri ekstrak spon Aplysina aerophoba

pada bakteri Shigella dysentriae dan Helicobacter pylori dapat disimpulkan

bahwa:

1. Aplysina aerophoba memiliki aktivitas antibakteri terhadap Shigella

dysentriae dan Helicobacter pylori.

2. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba maka

semakin besar dalam menghambat pertumbuhan Shigella dysentriae dan

Helicobacter pylori dimana daya hambat paling besar terdapat pada

konsentrasi 7%.

3. Kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etil asetat dengan

spon Aplysina aerophoba alkaloid dan fenolik.

5.2 Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melakukan uji aktivitas spon

Aplysina aerophoba ke bakteri lainnya yang belum pernah di uji.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, H., Wahyudi, A. T., & Yuhana, M. (2011). Skrining bakteri yang
berasosiasi dengan spons Jaspis sp sebagai penghasil senyawa antimikroba.
Jurnal dari ilmu kelautan, 16, (1), 35-40.
Amade, P., Charrroin, C., Baby and Vacelet, J. (1987). Antimicrobial activities of
marine sponges from the Mediterranean sea. Journal of marine biologi, 94,
271-275.
Amir, I. & Budiyanto, A. (1996). Mengenal spon laut (Demospongiae) secara
umum. Oseana, 21, (2), 15-31.
Barea-Azcon, J. M., Ballesteros, D. E & Moreno, D. (2008). Red book of the
invertebrates of Andalusia, (I.S.B.N 978-84-96776-38-8). Sevilla:
Departemen of the environment.

Belarbi, E. H., Gómez, A. C., Chisti, Y., Camacho, F. G., & Grima, E. M. (2003).
Producing drugs from marine sponges. Journal of Biotechnol. Adv, 21,(7),
585-598.

Biemer, J. J. M. D. (1973). Antimicrobial susceptibility testing by the kirby-Bauer


disc diffusion method. Journal of clinical laboratory science. 2, (3), 135-
140.

Cowan, M. M (1999). Plant products as antimikrobial agents. Jurnal of


Microbiology. 12, (8). 564-582.
Dahuri, R. (2003). Keanekaragaman hayati laut, aset pembangunan berkelanjutan
Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Davis, W. W., & Stout, T. R. (1971). Disc plate method of microbiological
antibiotic assay II. Journal Of Microbiology, 22, (4), 666-670.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Materia medika Indonesia.
(Jilid 6). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Parameter standar umum
ekstrak tumbuhan obat. (Edisi 1). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan
Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pesisir Selatan. (2016). Dokumen informasi


kinerja pengelolaan lingkungan hidup daerah Kabupaten Pesisir Selatan.
Pesisir Selatan. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pesisir Selatan.
Dwidjoseputra, D. (1987). Dasar-dasar mikrobiologi. Malang: Djambatan.

33
Elliot, T., Worthington, T., Osman, H., & Gill, M. (2013). Mikrobiologi
kedokteran dan infeksi. (Edisi 4). Penerjemah: Pendit, B. U. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Fakhri, M., Hariati, A. M., Prajitno A. (2013). In vitro antibacterial activity of


sponge Acanthella cavernosa against Vibrio harveyi. Journal of Applied
Environmental and Biological Sciences. 3, 1-5.

Gandjar, I. G. & Rohman, A. (2012). Kimia farmasi analisis. (Edisi 9).


Yogyakarta: Pustaka belajar.

Hadi, T. A. (2011). Keragaman jenis spons pada ekosistem terumbu karang


digugus pulau Pari. Kepulauan seribu. Jurnal Oseanologi dan limologi di
Indonesia, 37, (3), 383-396.
Harborne, J. B. (1987). Phytochemical methods a guide to modern techniques of
plant analysis. London: Chapman and Hall.

Hausmann. R., Vitello, M. P., Leitermann, F., & Syldatk, C. (2006). Advances in
the production of sponge biomas Aplysina aerophoba a model sponge for ex
situ sponge biomas production. Journal of biotecnology, 124, 117-127.
Hentschel, U., Michael, S., Michael, W., Lars, F., Chirstine, G., & Jorg, H. (2001).
Isolation and phylogenetic analysis of bacteria with antimicrobial activities
from the Mediterranean sponges Aplysina aerophoba and Aplysina
cavernicola. Journal of FEMS Microbiology Ecology, 35, 305-312.
Ismet, M. S., Bengen, D. G. , Radjasa, O. K., & Kawaroe, M. (2016). Komposisi
dan aktifitas antibakteri spons laut dari ekosistem lamun yang berbeda
diperairan kepulauan seribu. Jurnal ilmu dan teknologi kelautan tropis, 8,
(2), 729-745.
Ismet, M. S. (2007). Penepisan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos dan
Petrosia sp. dari lokasi berbeda. (Tesis). Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Jacob, S. W., & Wood, C. (1967). Dimethyl Sulfoxide (DMSO) Toksicology,
pharmacology and Clinicsl experience . journal of surgery. 114, 414-425.
Jardetzky, O. (1963). Studies on the Mechanism of action of cloramphenicol.
Journal of Biological chemistry. 238, (7), 2498-2506.

Jawetz., Melnick., & Adelberg. (1996). Mikrobiologi kedokteran, (Edisi 20).


Penerjemah: Nugroho, E., Maulany, R. F. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Jawetz., Melnick., & Adelberg. (2007). Mikrobiologi kedokteran, (Edisi 23).
Penerjemah : Hartanto, H., Rachman, C., Dimanti., dan Diani, A. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

34
Katzung, B. G. (2004). Farmakologi: Dasar dan klinik. Ed 1. Jakarta: Salemba
medika.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset kesehatan dasar.
Jakarta. Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan.
Kementrian kelautan & perikanan Indonesia. (2012). Keanekaragaman hayati
laut untuk pengembangan kawasan konservasi perairan di Indonesia.
Jakarta: Kementrian kelautan & perikanan Indonesia.
Lay, B. W & Hastowo, S. (1994). Analisis mikroba di laboratorium. (edisi 1).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Lee, Y. K., Lee, J. H., & Lee, K. H. (2001). Microbial symbiosis in marine
sponge. The journal of microbiology, 29, (4), 254-264.
Majdi, N. (2008). Expression of secondary metabolites by the Mediterranean
sponges Aplysina aerophoba and Aplysina cavernicola (College Board Rep.
No. 2). Perpignan: University of Perpignan Via Domitia.
Monajemzadeh, M., Abbasi, A., Tanzifi, P., Vakili, S. T. T., Irani, H., and Khasi,
L. (2014). The Relation Between Helicobacter pylori Infection and Acute
Bacterial Diarrhea in Children. Journal of pediatrics. 46, 191,195.

Motomasa, K. (1998). Search for biologically active substances from marine


sponges. Jurnal Marine Sponges. 46-58.
Nadeu, G. (1956). Note on the indentification of alkaloid us by paper
chromatography. Journal of clinical chemistry, 5, (2), 347-352.
Ningsih, R. D., Zusfahair & Kartika, D. (2016). Identifikasi senyawa metabolit
sekunder serta uji aktivitas ekstrak daun sirsak sebagai antibakteri. Molekul.
2 (1), 101-111.
Nursid, M., Munifah, I., & Januar, H. I. (2005). Skrining senyawa bioaktif ekstrak
metanol dari karang lunak Alcyonidae. J. Penel. Perik. Indon. 11, (4), 33-38.
Perilla, M. J., Gloria. A., & John. E. (2003). Manual for the Laboratory
Identification and Antimicrobial Susceptibility Testing of Bacterial
Pathogens of Public Health Importance in the Developing World. Genava :
World Health Organization.
Pratiwi, S. T. (2008). Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Erlangga.

Radji, M. (2010). Mikrobiologi panduan mahasiswa farmasi & kedokteran.


Jakarta: EGC.

35
Reynold, J. (2011). Kirby-bauer test for antibiotic susceptibility. Texas : richland
college.
Rusdi, N. K., Sediarso., & Fadila, S. H. (2010). Uji aktivitas antibakteri fraksi
etanol 70% dari ekstrak daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (sceff)
Boerl.) terhadap bakteri Streptococcus mutans. Jurnal farmasains, 1, (2),
89-94.

Robinson, T. (1995). Kandungan organik tumbuhan tinggi. Penerjemah: K.


Padmawati. Bandung: penerbit ITB.

Setyowati, E. P., Jenie, U. A., Sudarsono., Kardono, B., Rahmat, R., & Melyanto,
E. (2007). Isolasi senyawa sitotoksik spons Kaliapsis. Majalah farmasi
Indonesia, 18, (4), 183-189.

Siswandono & Soekardjo, B. (2000). Kimia Medisinal. (Edisi II). Surabaya:


Universitas Erlangga.

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P., &
Kusnandar. (2008). Iso farmakoterapi buku 1. Jakarta: PT Isfi Penerbitan.

Taylor, M. W., Radax, R., Steger, D., & Wagner, M. (2007). Sponge-associated
microorganism; evolution, ecology, and biotechnological potential.
American Society for Microbiology, 71, (2), 295-347.

Thakur, N. L., & Muller, W.E. G. (2004). Biotechnological potential of Marine


Sponges. Current Science, 86, (11), 1506-1512.

Thoms, C., Wolff. M., Padmakumar, K., Ebela, R., & Proksch, P. (2004).
Chemical defense of mediterranean sponges Aplysina cavernicola and
Aplysina aerophoba. Aquatic Biology and Fisheries, 59, 113-122.

Tickell, K. D., Brander, R. L., Atlas, H. E., Pernica, J. M., Walson, J. L., &
Pavlinac, P. B. (2017). Identification and management of Shigella
infection in children with diarrhoea: a systematic review and meta-
analysis. Journal of Global Health. 5, 1325-1248.

Vilas, J. A. G, Poveda, B. M., Quesada, A. R. & Medina, M. A. (2015).


Aeroplysinin -1, a sponge derived multi targeted bioaktive marine drug.
Jurnal of marine drug, 14, (1), 2-12.

36
Wewengkang, D. S, Sumilat, D.A. & Rotinsulu, H. (2014). Karakterisasi dan
bioaktif antibakteri senyawa spons Haliclona sp dari teluk Manado. Jurnal
LPPM bidang Sains dan teknologi 1, (1), 71-85.

Wirasantoso, S. & Pranowo., W. S. (2015). Karakteristik sumberdaya laut dan


pesisir. Jakarta: pusat penelitian dan pengembangan sumberdaya laut dan
pesisir.

Yulianty, R., Rante, H., Alam, G., & Tahir, A. (2011). Skrining dan analisis
KLT- Biografi senyawa antimikroba beberapa ekstrak spons asal perairan
laut pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Jurnal majalah obat
tradisional, 16, (2), 88-94.

37
Lampiran 1. Data hasil penelitian

Gambar 2. Hasil identifikasi spon Aplysina aerophobaa

38
Lampiran 1 (lanjutan)

Gambar 3. Surat Keterangan Pengambilan bakteri uji Shigella dysentri

39
Lampiran 1 (lanjutan)

Gambar 4. Sertifikat Antibiotik Kloramfenikol

40
Lampiran 1 (lanjutan)

Tabel I. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak spon Aplysina aerophoba dan
kloramfenikol terhadap bakteri Helicobacter pylori

Konsentra Diameter daya hambat (mm) Rata –


Sampel si (%) rata
(mm)
Pengulangan Pengulangan Pengulangan
I II III
Ekstrak 7% 7,25 14,3 10,275 10,60
Aplysina 5% 7,325 11,55 9,45 9,44
aeropho 3% 7,25 10,25 7,4 8,3
ba 1% 3,575 7,825 5,525 5,641
Kontrol 30 µL 19,925 14,725 14,35 16,33
positif
(Kloramf
enikol)
Kontrol - - - - -
negatif
(DMSO)

41
Lampiran 1 (lanjutan)

3%

7%

1%
5%
5%
K-- 5%
K+
K+

K-
3%
1%
7%

42
a
b

K+
5%
7%

K- 3%
1%

Gambar 5. Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Etil asetat Spon Aplysina aerophoba
Terhadap Bakteri Helicobacter pylori, a; Pengulangan 1, b;
Pengulangan 2, c; Pengulangan 3

Keterangan:
7 % = konsentrasi ekstrak etil asetat 7 %
5 % = konsentrasi ekstrak etil asetat 5 %
3 % = konsentrasi ekstrak etil asetat 3 %
1 % = konsentrasi ekstrak etil asetat 1 %
K (-) = kontrol negatif (DMSO)
K (+) = kontrol positif (Cakram Kloramfenikol)

Lampiran 1 (lanjutan)

Tabel II. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak spon Aplysina aerophoba dan
kloramfenikol terhadap bakteri Shigella dysentriae

Konsen Diameter daya hambat (mm) Rata –


Sampel trasi rata
Pengulangan Pengulangan Pengulangan
(%) (mm)
I II III
Ekstrak 7% 15,825 13,25 1,1 10,05
Aplysina 5% 10,8 7,8 10,3 9,63
aerophoba 3% 8,22 4,65 5,15 6
1% 6,85 3,425 3,475 4,583
Kontrol 30 µL 16,9 17,835 17,275 16,46
positif

43
(Kloramfe
nikol)
Kontrol - - - - -
negatif
(DMSO)

Keterangan :

Diameter hambat ≥ 20 mm : Digolongkan sangat kuat


Diameter hambat 10-20 mm : Digolongkan kuat
Diameter hambat 5-10 : Digolongkan sedang
Diameter hambat ≤ 5 mm : Digolongkan lemah (Davis & Stout, 1971)

Lampiran 1 (lanjutan)

1%
3% K-

1%

5% 7%
K+

K-
K- 3%

5%
7%

44
a b

5%

K+

7%
3%

K-
1%

Gambar 6. Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Etil asetat Spon Aplysina aerophoba
terhadap Bakteri Shigella dysentriae, a; Pengulangan 1,
b; Pengulangan 2, c; Pengulangan 3

Keterangan:
7% = konsentrasi ekstrak etil asetat 7 %
5% = konsentrasi ekstrak etil asetat 5 %
3% = konsentrasi ekstrak etil asetat 3 %
1% = konsentrasi ekstrak etil asetat 1 %
K (-) = kontrol negatif (DMSO)
K (+) = kontrol positif (Cakram Kloramfenikol)

Lampiran 1 (lanjutan)

45
18
16
14
12
10
8 Dimeter daya hambat
6 Shigella disentrie (mm)
Diameter daya hambat
4
Helicobacter pylori (mm)
2
0
f % % % % tif
o siti si7 si5 si3 si1 ega
lp ra ra ra ra ln
tro ent ent ent ent tro
n n s ns ns ns n
ko Ko Ko Ko Ko ko

Gambar 7. Grafik hasil uji aktivitas ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba
dan kloramfenikol terhadap bakteri Shigella dysentriae dan
Helicobacter pylori.

Lampiran 1 (lanjutan)

46
Noda Noda

a b

Gambar 8. Hasil KLT ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba dengan


perbandingan eluen n-hexan: etil asetat (2:1) dengan nilai R f 0,83, a:
dibawah sinar UV 254 nm b: dibawah sinar UV 366 nm.

Lampiran 1 (lanjutan)

47
Tabel III. Hasil uji identifikasi kandungan metabolit sekunder spon Aplysina
aerophoba

Pengujian Pereaksi Keterangan Hasil


Fenolik 2 mL + air suling 10 mL, Terbentuk hijau +
dipanaskan 5 menit dan tua atau hijau
disaring. Filtrat yang kehitaman
terbentuk + 4–5 tetes
FeCl3.
Terpenoid dan 2 mL sampel + pereaksi Tidak terbentuk -
steroid Lieberman-Burchard 1 warna biru tua
mL. adanya seyawa steroid atau hijau
ditunjukkan dengan kehitaman untuk
terbentuknya steroid dan tidak
terbentuknya
warna ungu untuk
terpenoid.
Alkaloid 2 mL HCl dipanaskan 5 Terbentuknya +
menit dan disaring. Filtrat endapan jingga
yang diperoleh + 2–3 tetes
pereaksi dragendorf.

Lampiran 2. Perhitungan

48
1. Perhitungan rendemen ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba

Ekstrak yang didapat


% Rendemen¿ × 100 %
Berat simplisia

13,6 g
¿ ×100 %
1000 g

¿ 1,36 %

2. Perhitungan Rf
Jarak yang ditempuh zat
Rf =
Jarak yang ditempuh larutan
5
Rf = =0,83
6

3. Perhitungan penyiapan Larutan induk (kosentrasi 7 %)

7g
7%¿
100mL

4. Pengenceran ekstrak etil asetat (kosentrasi 1 %, 3 %, 5 %)

Rumus:

V 1 × C1 = V 2 × C2

1. Konsentrasi 5 %

V 1 × C1 = V 2 × C2

V1 × 7 % = 10 mL × 5 %

V1 = 7,1 mL

2. Konsentrasi 3 %

49
V 1 × C1 = V 2 × C2

V1 × 5 % = 10 mL × 3 %

V1 = 6 mL

3. Konsentrasi 1 %

V 1 × C1 = V 2 × C2

V1 × 3 % = 10 mL ×1 %

V1 = 3,3 mL

 Perhitungan diameter zona hambat ekstrak spon Aplysina aerophoba


terhadap bakteri Helicobacter pylori

a. Konsentrasi 1 %

 Pengulangan 1

Dv = 9 + ( 14 × 0,05 )

= 9,7 mm

Dh = 9 + ( 9 × 0,05 )

= 9,45 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 9,7−6 ) +( 9,45−6)
=
2

7,15
=
2

= 3,575 mm

 Pengulangan 2

Dv = 12 + ( 8 × 0,05 )

= 12,4 mm

50
Dh = 15+ ( 5 × 0,05 )

= 15,25 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 12,4−6 ) +(15−6)
=
2

15,65
=
2

=7,825 mm

 Pengulangan 3

Dv = 11 + ( 12 × 0,05 )

= 11,6 mm

Dh = 11 + ( 9 × 0,05 )

= 11,45 mm

( Dv−Dc )+( Dh−Dc)


L =
2

( 11,6−6 ) +(11,45−6)
=
2

11,05
=
2

= 5,525 mm

3,575 mm+ 7,825 mm+5,525 mm


Rata-rata L =
3

16,925mm
=
3

=5,641 mm

b. Konsentrasi 3 %

 Pengulangan 1

51
Dv = 13 + ( 6 × 0,05 )

= 13,3 mm

Dh = 13 + ( 4 × 0,05 )

= 13,2 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 13,3−6 )+(13,2−6)
=
2

14,5
=
2

= 7,25 mm

 Pengulangan 2

Dv = 15 + ( 9 × 0,05 )

= 15,45mm

Dh = 17 + ( 1 × 0,05 )

= 17,05 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L =
2

( 15,45−6 )+(17,05−6)
=
2

20,5
=
2

= 10,25 mm

 Pengulangan 3

Dv = 13 + ( 6 × 0,05 )

= 13,3

Dh = 13 + ( 10 × 0,05 )

52
= 13,5 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 13,3−6 )+(13,5−6)
=
2

14,8
=
2

= 7,4 mm

7,25 mm+ 10,25 mm+7,4 mm


Rata-rata L =
3

24,9 mm
=
3

=8,3 mm

c. Konsentrasi 5 %

 Pengulangan 1

Dv = 13 + ( 8 × 0,05 )

= 13,4 mm

Dh = 13 + ( 5 × 0,05 )

= 13,25 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 13,4−6 ) +(13,25−6)
=
2

14,65
=
2

= 7,325 mm

 Pengulangan 2

53
Dv = 15 + ( 12 × 0,05 )

= 15,6 mm

Dh = 19 + ( 4 × 0,05 )

= 19,2 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 15,6−6 )+(19,2−6)
=
2

23,1
=
2

= 11,55 mm

 Pengulangan 3

Dv = 15 + ( 7 × 0,05 )

= 15,35 mm

Dh = 15 + ( 11 × 0,05 )

= 15,55 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 15,35−6 )+(15−55)
=
2

18,9
=
2

= 9,45 mm

7,325mm+ 11,55 mm+9,45 mm


Rata-rata L =
3

28,325 mm
=
3

=9,44 mm

54
d. Konsentrasi 7 %

 Pengulangan 1

Dv = 13 + ( 9 × 0,05 )

= 13,45mm

Dh = 13 + ( 1 × 0,05 )

= 13,05 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 13,45−6 )+(13,05−6)
=
2

14,5
=
2

= 7,25 mm

 Pengulangan 2

Dv = 19 + ( 3 × 0,05 )

= 19,15 mm

Dh = 21 + ( 2 × 0,05 )

= 21,1 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 19,15−6 )+(21,1−6)
=
2

28,6
=
2

= 14,3 mm

 Pengulangan 3

55
Dv = 16 + ( 2 × 0,05 )

= 16,1 mm

Dh = 16 + ( 9 × 0,05 )

= 16,45 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 16,1−6 ) +(16,45−6)
=
2

20,55
=
2

= 10,275 mm

7,25 mm+ 14,3 mm+10,275 mm


Rata-rata L =
3

31,825 mm
=
3

=10,60 mm

 Perhitungan diameter zona hambat ekstrak spon Aplysina aerophoba


terhadap bakteri Shigella dysentri

a. Konsentrasi 1 %

 Pengulangan 1

Dv = 12 + ( 6 × 0,05 )

= 12,3 mm

Dh = 13 + ( 8 × 0,05 )

= 13,4 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

56
( 12,3−6 )+(13,4−6)
=
2

13,7
=
2

= 6,85 mm

 Pengulangan 2

Dv = 9 + ( 5 × 0,05 )
= 9,25 mm
Dh = 9 + ( 12 × 0,05 )
= 9,6 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 9,25−6 ) +(9,6−6)
=
2

6,85
=
2

= 3,425 mm

 Pengulangan 3

Dv = 9 + ( 7 × 0,05 )

= 9,35 mm

Dh = 9 + ( 12 × 0,05 )

= 9,6 mm

( Dv−Dc )+( Dh−Dc)


L=
2

( 9,35−6 ) +(9,6−6)
=
2

6,95
=
2

57
= 3,475 mm

6,85 mm+3,425 mm+3,475 mm


Rata-rata L =
3

13,75mm
=
3

= 4,583 mm

b. Konsentrasi 3 %

 Pengulangan 1

Dv = 14 + ( 7 × 0,05 )

= 14,35 mm

Dh = 14 + ( 2 × 0,05 )

= 14,1 cm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 14,35−6 )+(14,1−6)
=
2

16,45
=
2

= 8,22 mm

 Pengulangan 2

Dv = 10 + ( 13 × 0,05 )

= 10,65 mm

Dh = 10 + ( 13× 0,05 )

= 10,65 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 10,65−6 )+(10,65−6)
=
2

58
9,3
=
2

= 4,65 mm

 Pengulangan 3

Dv = 11 + ( 2 × 0,05 )

= 11,1 mm

Dh = 11 + ( 4 × 0,05 )

= 11,2 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 11,1−6 )+(11,2−6)
=
2

10,3
=
2

= 5,15 mm

8,22 mm+ 4,65 mm+5,15 mm


Rata-rata L =
3

18,02mm
=
3

= 6 mm

c. Konsentrasi 5 %

 Pengulangan 1

Dv = 16 + ( 19 × 0,05 )

= 16,95 mm

Dh = 16 + ( 13 × 0,05 )

= 21,65 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

59
( 16,95−6 )+(21,65−6)
=
2

21,6
=
2

= 10,8 mm

 Pengulangan 2

Dv = 13 + ( 7 × 0,05 )

= 13,35 mm

Dh = 14 + ( 5 × 0,05 )

= 14,25 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 13,35−6 )+(14,25−6)
=
2

15,6
=
2

= 7,8 mm

 Pengulangan 3

Dv = 15 + ( 9 × 0,05 )

= 15,45 mm

Dh = 17 + ( 3 × 0,05 )

= 17,15 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 15,45−6 )+(17,15−6)
=
2

20,6
=
2

60
= 10,3 mm

10,8 mm+8 mm+10,3 mm


Rata-rata L =
3

9,8 mm
=
3

=9,63 mm

d. Konsentrasi 7 %

 Pengulangan 1

Dv = 23 + ( 9 × 0,05 )

= 23,45 mm

Dh = 20 + ( 4 × 0,05 )

= 20,2 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 23,45−6 )+(20,2−6)
=
2

31,65
=
2

= 15,825 mm

 Pengulangan 2

Dv = 17 + ( 6 × 0,05 )

= 17,3 mm

Dh = 21 + ( 4 × 0,05 )

= 21,2 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

61
( 17,3−6 )+(21,2−6)
=
2

26,5
=
2

= 13,25 mm

 Pengulangan 3

Dv = 7 + ( 2 × 0,05 )

= 7,1 mm

Dh = 7 + ( 2 × 0,05 )

= 7,1 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 7,1−6 ) +(7,1−6)
=
2

2,2
=
2

= 1,1 mm

15,825mm+ 13,25 mm+ 1,1mm


Rata-rata L =
3

30,175 mm
=
3

=10,05 mm

• Perhitungan zona hambat menggunakan antibiotik kloramfenikol dengan


Helicobacter pylori

 Pengulangan 1

Dv = 25 + ( 12 × 0,05 )

= 25,6 mm

Dh = 26 + ( 5 × 0,05 )

62
= 26,25 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 25,6−6 )+(26,25−6)
=
2

39,85
=
2

= 19,925 mm

 Pengulangan 2

Dv = 21 + ( 6 × 0,05 )

= 21,3 mm

Dh = 20 + ( 3 × 0,05 )

= 20,15 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 21,3−6 )+(20,15−6)
=
2

29,45
=
2

= 14,725 mm

 Pengulangan 3

Dv = 21 + ( 6 × 0,05 )

= 21,3 mm

Dh = 19 + ( 8 × 0,05 )

= 19,4 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

63
( 21,3−6 )+(19,4−6)
=
2

28,7
=
2

= 14,35 mm

19,925mm+ 14,725mm+ 14,35 mm


Rata-rata L =
3

49,36 mm
=
3

= 16,33 mm

 Perhitungan zona hambat menggunakan antibiotik kloramfenikol


dengan Shigella dysentri

 Pengulangan 1

Dv = 24 + ( 7 × 0,05 )

= 24,35 mm

Dh = 21 + ( 9 × 0,05 )

= 21,45 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 24,35−6 )+(21,45−6)
=
2

33,8
=
2

= 16,9 mm

 Pengulangan 2

Dv = 23 + ( 7 × 0,05 )

= 23,35 mm

Dh = 24 + ( 2 × 0,05 )

64
= 24,1 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 23,35−6 )+(24,1−6)
=
2

35,67
=
2

= 17,835 mm

 Pengulangan 3

Dv = 24 + ( 7 × 0,05 )

= 24,35 mm

Dh = 22 + ( 4 × 0,05 )

= 22,2 mm

( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2

( 24,35−6 )+(22,2−6)
=
2

34,55
=
2

= 17,275 mm

16,9mm+ 17,835mm+ 17,275 mm


Rata-rata L =
3

52,01mm
=
3

= 17,33 mm

65
Lampiran 3. Gambar Penelitian

Gambar 9. Sampel spon Aplysina aerophoba

66
Gambar 10. Ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba

Gambar 11. Cakram kloramfenikol

67
Gambar 12. Laminar Air Flow (LAF) (Model VL 150)

Gambar 13. Autoklaf (Wiseclave)

68
Gambar 14. Jangka sorong

Gambar 15. Hot plate (Velpscientifica)

69
Lampiran 4. Skema kerja

Sampel spons laut (Aplysina aerophoba}

- Cuci air laut


- Bilas dengan alkohol 70
%
- Gerus kasar masukan ke
dalam botol gelap
- Rendam dalam etil asetat
3X24 jam
- Saring

Ekstrak Ampas
Etil asetat

Pekatkan dengan rotary evaporator (hasil ditimbang)

Ekstrak Kental
Etil Asetat 70
Uji aktivitas bakteri

Uji metabolit
sekunder

Kromatografi Triterpenoid
Fenolik Alkaloid
Lapis Tipis dan Steroid

Gambar 16. Skema kerja penyiapan sampel uji

lampiran 4 (lanjutan)

Ekstrak etil asetat Aplysina


aerophoba

Konsentrasi 7 % Konsentrasi 5 % Konsentrasi 3 % Konsentrasi 1 %

- 100 µL suspensi bakteri uji


disebarkan pada media steril
- Sebanyak 6 kertas cakram
ditotolkan pada media berisi
suspensi bakteri uji

71
- Empat kertas cakram
dicelupkan pada suspensi
larutan uji berbagai konsentrasi,
dan dua lainnya sebagai kontrol
negatif dan kontrol positif
- Kontrol positif dengan
menggunakan kloramfenikol
- Kontrol negatif dengan
menggunakan DMSO

Ukur diameter hambat terhadap bakteri uji

Gambar 17. Skema uji antibakteri ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba

72

Anda mungkin juga menyukai