PENDAHULUAN
dengan tingkat keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dengan lebih dari
500 spesies karang, 18% terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia.
Keanekaragaman hayati laut lainnya antara lain 2.500 jenis ikan, 2.500 jenis
Indonesia, 2012).
Kawasan ini hanya berjarak 56 km dari Padang dengan luas ± 18.000 Ha. Bentuk
suatu ekosistem dapat mendukung keanekaragaman hayati biota laut yang terdapat
lamun dan ekosistem terumbu karang yang memiliki luas ± 521.57 Ha (Dinas
biota laut sebagai pencarian senyawa bioaktif yang baru, dimana biota laut
Berbagai penelitian menunjukan biota laut memiliki potensi yang sangat besar
1
dalam menghasilkan senyawa-senyawa aktif yang dapat digunakan untuk berbagai
bahan baku obat. Beberapa biota laut yang diketahui dapat menghasilkan senyawa
aktif antara lain adalah karang lunak, spon, moluska, bryozoa, tunikata dan lain-
lain (Ismet, 2007). Spon adalah hewan sederhana yang dicirikan sebagai
aktif dengan berbagai variasi struktur dan salah satu aktivitas biologinya adalah
salah satu hewan laut yang menarik untuk diteliti karena berpotensi besar untuk
al., 2011).
sekunder adalah Aplysina aerophoba. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
alkaloid.
pada spon Ianthella ardis dan Aplysina aerophoba memiliki efek antibiotik dan
antiinflamasi yang kuat pada bakteri gram positif. Ismet et al., (2016) juga telah
2
meneliti 7 spon yang berpontensi sebagai antibakteri terhadap Escherichia coli
dan Stapylococcus aureus yaitu Clathria sp, Iotrochota sp, Sprastela sp,
etanol dari spon Aplysina dapat menghambat 5 bakteri gram positif dan bakteri
Indonesia, 2013). Helicobacter pylory merupakan salah satu jenis bakteri yang
dapat menyebabkan penyakit diare. Diare merupakan suatu penyakit yang banyak
hingga tiga juta kematian pertahun. Infeksi yang paling banyak terjadi pada anak
anak dan orang dewasa (Monajemzadeh et al., 2014). Selain itu bakteri yang dapat
penyakit diare akut yang ditandai dengan tinja cair yang bercampur dengan darah
dan lendir dikarenakan bakteri penyebab disentri telah menembus dinding kolon
sehingga tinja yang melewati usus besar akan berjalan sangat cepat tanpa diikuti
terhadap bakteri Shigella dysentriae dan Helicobacter pylori sejauh ini belum
3
menunjukan bahwa spon Aplysina aerophoba memiiki aktivitas terhadap Shigella
aerophoba ?
3. Untuk mengetahui jenis metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etil
4
2. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba
antibiotik.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
Spon adalah hewan bentos yang mempunyai nilai ekonomis penting karena
mempunyai biodiversitas spon yang tinggi dan tersebar di seluruh perairan (Hadi,
2011).
sederhana yang dicirikan sebagai penyimpan filter aktif sessile, mereka mewakili
filum Metazoan tertua. Seluruh jaringan spon adalah khusus untuk penyaringan,
Spon makan dengan cara mengekstraksi atau melarutkan makanan dari air di
makanan seperti bakteri, mikroalga dan deritus dibawa oleh aliran air ini (Amir,
1996). Habitat spon yang melekat pada pasir dan bebatuan menyebabkan hewan
ini sulit untuk bergerak. Untuk mempertahankan diri dari predator dan infeksi
menghasilkan zat racun dari dalam tubuhnya, zat ini umumnya dapat
Spon disebut juga invertebrata laut yang merupakan salah satu sumber
berbagai produk alam dari laut. Metabolit yang terkandung dalam spon sangat
6
terkait dengan metabolit yang disintesis oleh mikroorganisme simbionnya (Thakur
& Muller, 2004). Berbagai jenis mikroorganisme telah berhasil ditemukan dalam
hijau, alga merah, cryptophyta, dinoflagellata, dan diatom. Satu individu inang
pada tubuh marine sponge Aplysina terdapat bakteri yang heterogen seperti:
Bacillus sp., Micrococcus sp., Vibrio sp., dan Arthrobacter sp (Hentschel et al.,
2001).
diri dari musuh. Senyawa metabolit sekunder umumnya bermanfaat bagi manusia
sebagai senyawa bioaktif yang bernilai tinggi (Nursid et al., 2005). Metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh spon adalah golongan senyawa kimia antara lain
alkaloid, terpenoid, fenol, peptida, steroid dan poliketida (Thakur & Muller,
2004).
yang dimiliki spon laut dapat menghasilkan produk obat baru yang lebih aman
dan efektif karena diisolasi langsung dari alam. Seperti aktivitas terhadap
antioksidan sangat diperlukan tubuh untuk menangkal radikal bebas yang akan
7
menghindarkan dari penuaan dini. Aktivitas antitoksik terutama juga sangat
penting, ditengah semakin berkembangnya berbagai jenis kanker yang sudah tidak
lagi disebabkan oleh faktor genetik tapi lebih disebabkan oleh gaya hidup yang
memiliki aktivitas sitotoksik ini akan sangat membantu dunia kesehatan dalam
pengobatan berbagai jenis kanker yang bermunculan, juga dapat membantu pasien
dalam memilih obat yang lebih aman dan efektif (Lee et al., 2001).
2.2.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Parazoa
Filum : Porifera
Kelas : Demopongiae
Ordo : Verongida
Famili : Aplysinidae
Genus : Aplysina
2.2.2 Morfologi
menyerupai menara yang tingginya mencapai 3-4 cm dan diameter 1-2 cm,
8
Gambar 1. Aplysina aerophoba (Barea-Azcon et al., 2008)
9
2.3 Mikroorganisme Uji
berukuran 0,5-0,7 µm x 2-3 µm. Bentuk morfologinya adalah batang pendek atau
basil tunggal, tidak berspora, tidak berflagel sehingga tidak bergerak, dan dapat
fermentasi dan uji serologi. Shigella dysentriae tidak membentuk gas pada reaksi
fermentasi dan lebih rentan terhadap berbagai bahan kimia jika dibandingkan
dysentriae merupakan bakteri yang hidup dalam suasana anaerob atau fakultatif
anaerob. Suhu optimium pertumbuhan bakteri ini adalah 37°C dan pH optimum
Shigella dysentriae dapat dibedakan dari spesies Shigella lain karena memberikan
hasil negatif pada fermentasi manitol. Shigella dysentriae memiliki daya tahan
yang rendah terhadap berbagai zat kimia, mati pada suhu 55°C dan bertahan
hidup dalam fenol 0,5% selama 5 jam dan dalam fenol 1% selama 1 jam. Akan
tetapi, bakteri ini tahan terhadap suhu dan kelembapan rendah, yakni bertahan
hidup di dalam es selama 2 bulan. Di alam bebas bakteri ini dapat bertahan hidup
10
2.3.2 Helicobacter pylori
yang berbentuk spiral, bersifat oksidase positif dan katalase positif. Bakteri ini
mempunyai morfologi yang khas, motil, dan penghasil urease yang kuat.
optimal pada pH 6,0-7,0 dan akan mati atau tidak tumbuh pada pH dalam lumen
kapasitas dapar yang kuat. Pada sisi lumen lupus, pHnya rendah (1,0-2,0)
sementara sisi epitel pHnya sekitar 7,4 Helicobacter pylori ditemukan dalam
2.4 Ekstraksi
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Sampel yang
diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak
dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang
atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan
11
pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Dengan
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Departemen kesehatan Republik
Indonesia, 2000).
Pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik untuk
terpisahkan dari bahan dan senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya
Dalam ekstrak total maka cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir
a. Maserasi
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang
12
(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian
b. Perkolasi
sempurna, yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri
a. Refluks
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
residu pertama sampai 3 atau 5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi
sempurna.
b. Soxhlet
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
13
c. Digesti
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu dilakukan
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup ke dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur
a. Metode difusi
mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
b. Metode dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan
14
1. Metode dilusi cair
kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri
mikroba uji. Larutan uji antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa
ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair
tanpa penambahan mikroba uji ataupun antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24
jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai
KBM.
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba
c. Metode Bioautografi
pada kromatogram hasil KLT (kromatografi lapis tipis) yang memiliki aktivitas
15
mengisolasi senyawa aktif tersebut. Kerugiannya adalah metode ini tidak dapat
1) Bioautografi langsung
dengan menyentuhkan plat KLT pada permukaan agar yang telah ditanami
2) Bioautografi overlay
tetrazolium klorida. Senyawa yang aktif sebagai antimikroba akan tampak sebagai
2.7 Kloramfenikol
ini terikat pada ribosom subunit 50S dan menghambat enzim peptidil transferase
sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis obat. Kloramfenikol
16
Bacillus spp, Listeria, Boronella, Chlamydia dan Mycoplasma (Wewengkang et
al., 2014).
tahun 1938. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan seragam
pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium
atau plat plastik. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan
bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah
(Gandjar & Rohman, 2012). Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari
pendek (UV 254 nm) atau gelombang panjang (UV 366 nm) (Harborne, 1987).
17
III. PELAKSANAAN PENELITIAN
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pinset, pipet mikro,
jarum ose, kertas saring, tabung reaksi (Pyrex), rak tabung reaksi, cawan petri
gelas ukur (Pyrex), vial, botol, Erlenmeyer (Pyrex), hot plate (velpscientifica),
3.2.2 Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampel spon
Aplysina aerophoba, air suling (PT Bratacem), spiritus, asam klorida (Merck),
ferri klorida (Merck), asam asetat (Merck), etil asetat (PT Bratacem), asam sulfat
(Merck), etanol 70% (PT Bratacem), kertas cakram (whatman), kertas cakram
Nutrien Agar (Merck), kain kasa (Promedik), benang, alumunium foil, bakteri
18
Shigella dysentri dan Helicobacter pylori yang di peroleh dari Laboratorium
maserasi dengan etil asetat selama 3x24 jam. Kemudian disaring dan
Dikumpulkan filtrat I s/d III kemudian diuapkan dengan rotary evaporator hingga
Cawan petri dan beaker glass dibungkus dengan perkamen, tabung reaksi,
erlenmeyer, gelas ukur, ditutup mulutnya dengan kapas yang dibalut dengan kain
19
autoklaf pada suhu 121 °C dan tekanan 15 lbs selama 15 menit. Pinset dan jarum
ose disterilkan dengan cara pemijaran di atas nyala api selama beberapa detik.
Laminar Air Flow (LAF) dibersihkan dari debu lalu disemprotkan dengan etanol
erlemeyer dan dipanaskan diatas hot plate menggunakan batang pengaduk sampai
terbentuk larutan jernih. Kemudian disterilkan didalam autoklaf pada suhu 121°C
beberapa tabung reaksi dengan jumlah yang telah ditentukan, tabung yang telah
berisi agar diletakkan pada kemiringan 30-45o. Dibiarkan agar menjadi dingin dan
Helicobacter pylori dengan menggunakan jarum ose steril lalu ditanamkan pada
media agar miring dengan cara digoreskan setelah itu diinkubasi pada inkubator
20
konsentrasi 5% diambil 7,1 mL sampai 10 ml DMSO, Konsentrasi 3% diambil 6
larutan yang keruh. Kekeruhan ini dipakai sebagai standar kekeruhan suspensi
Biakan bakteri yang berumur 24 jam diambil dari agar miring sebanyak 2
ose koloni bakteri uji disuspensikan kedalam 10 ml NaCl 0,9 % steril dalam
Media kemudian dibiarkan memadat . Kertas cakram steril direndam pada larutan
uji ektrak etil asetat dengan konsentrasi 7%, 5%, 3%, dan 1% kemudian
kali. Kemudian cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada suhu
21
24-27oC. Aktivitas antibakteri ditetapkan dengan mengukur diameter daerah
hambat yang terbentuk dengan menggunakan jangka sorong (Fakhri et al., 2013).
Menurut Davis & Stout (1971) ketentuan kekuatan daerah hambat tersebut
adalah sebagai berikut: Daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat,
penghambatan.
3. Ukuran zona dicari pada bagan standar untuk memberikan hasil sensitif,
sampel.
A. Penjenuhan Bejana
dalam bejana kromatografi, hingga tingginya 0,5 sampai 1 cm dari dasar bejana.
22
Tutup kedap dan biarkan hingga kertas saring basah seluruhnya. Kertas saring
harus selalu tercelup ke dalam larutan pengembang pada dasar bejana. Kecuali
dengan 10 mL pelarut yang sesuai selama 10 menit. Masukan filtrat ke dalam labu
ukur 10 mL tambahkan pelarut sampai tanda batas untuk mendapatkan larutan uji
Fase diam yang digunakan silika gel 60 F254 dan fase gerak yang
digunakan merupakan kombinasi dari n-heksan dan etil asetat pelarut dengan
perbandingan 2:1, dan telah dijenuhkan terlebih dahulu (Setyowati et al., 2007).
1987).
Totolkan larutan uji dan larutan pembanding menurut cara yang tertera
pada masing-masing monografi dengan jarak 1,5 - 2 cm dari tepi bawah lempeng
dan biarkan mengering. Tempatkan lempeng pada rak penyangga, hingga tempat
lapisan penyerap, totolan jangan sampai terendam. Letakkan tutup bejana pada
tempatnya dan biarkan sistem hingga fase gerak merambat sampai batas jarak
23
rambat. Keluarkan lempeng dan keringkan di udara, amati bercak dengan sinar
1. Uji Alkaloid
disaring. Filtrat yang diperoleh ditambah 2-3 tetes pereaksi dragendorf. Adanya
mL. Adanya senyawa steroid ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tua
atau hijau kehitaman dan terpenoid terbentuknya warna ungu (Ningsih et al.,
2016).
3. Uji Fenolik
menit dan disaring. Filtrat yang terbentuk ditambahkan 4-5 tetes FeCl3. Adanya
fenol ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tua atau hijau kehitaman
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Dari penelitian uji aktivitas antibakteri ektrak etil asetat spon Aplysina
sebagai berikut :
terhadap bakteri Helicobacter pylori dengan konsentrasi 7%, 5%, 3%, 1%,
mm; 8,3 mm; 5,641 mm, dan kontrol positif (kloramfenikol) sebesar 16,33
sebesar 10,05 mm; 9,63 mm; 6 mm; 4,583 mm dengan kontrol positif
Tabel 2).
25
4. Uji metabolit sekunder ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba mengandung
4.2 Pembahasan
karena lokasi tersebut merupakan daerah teluk yang dikelilingi oleh pulau-pulau
yang belum tercemar dan wilayah kepulauan ini dahulunya masih belum banyak
telah disaring kemudian dibilas dengan etanol 70% untuk menghilangkan mikroba
lain yang terbawa saat pengambilan sampel, lalu Aplysina aerophoba digerus
26
2000). Aplysina aerophoba dimaserasi dengan menggunakan pelarut etil asetat
selama 3x24 jam. Ekstrak etil asetat yang diperoleh kemudian diuapkan
adalah 13,6 g (Lampiran 3, Gambar 9). Kemudian ekstrak etil asetat tersebut diuji
dengan metode difusi kertas cakram. Metode difusi dipilih karena metode ini
pertumbuhan bakteri ini ditandai dengan adanya zona bening disekitar cakram,
tersebut pertumbuhan bakteri yang dihambat oleh sampel uji (Perilla et al., 2003).
Pelarut yang digunakan untuk pengenceran ekstrak kental etil asetat spon
diantaranya dapat melarutkan senyawa baik polar maupun non polar, selain
Menurut Jacob & Wood (1967) DMSO dilaporkan relatif tidak berpengaruh
27
kloramfenikol ini efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif
aerophoba pada bakteri Helicobacter pylori dengan konsentrasi 7%, 5%, 3%, 1%
menunjukan nilai rata-rata diameter hambat secara berurutan adalah sebesar 10,60
mm; 9,44 mm; 8,3 mm; 5,641 mm dengan kontrol positif (kloramfenikol) 16,33
sebesar 10,05 mm; 9,63 mm; 6 mm; 4,583 mm, dengan kontrol positif
pada kedua bakteri uji dengan menggunakan DMSO tidak menghasilkan diameter
asetat pada berbagai konsentrasi yang diujikan pada bakteri Helicobacter pylori
dan Shigella dysentriae memiliki rata-rata diameter hambat yang lebih kecil
Selain itu dari grafik juga diketahui bahwa dari rata-rata diameter hambat berbagai
28
konsentrasi ekstrak etil asetat yang diujikan pada bakteri Helicobacter pylori lebih
Menurut Davis & Stout (1971) klasifikasi kekuatan daya hambat dapat
hambat ≥ 20 mm, kuat 10-20 mm, sedang 5-10 mm, dan lemah ≤ 5 mm. Hasil
penelitian menunjukan bahwa ekstrak etil asetat pada spon Aplysina aerophoba
pylori dan Shigella dysentriae. Ekstrak etil asetat pada konsentrasi 5%, 3% dan
ekstrak etil asetat pada konsentrasi 5% dan 3% memiliki daya hambat sedang
terhadap Shigella dysentriae. Daya hambat lemah ditunjukan oleh ekstrak etil
asetat pada konsentrasi 1% terhadap bakteri Shigella dysentriae. Menurut Davis &
Stout (1971), konsentrasi yang digunakan merupakan salah satu faktor yang
Hasil uji fitokimia menunjukan bahwa ektrak etil asetat spon Aplysina
ditandai dengan terbentuknya endapan jingga. Selain itu, ekstrak etil asetat spon
29
Kandungan kimia ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba juga diuji dengan
lebih menegaskan hasil yang didapat dari uji fitokimia, karena berfungsi sebagai
penegasan dan melihat pola pemisahan senyawa yang terkandung dalam ekstrak
Berdasarkan pemeriksaan KLT, ekstrak etil asetat dengan eluen etil asetat : n-
heksan (2:1) yang dilihat di bawah lampu UV 254 nm dan 366 nm (Lampiran 1,
Gambar 6) diperoleh nilai Rf untuk ekstrak Aplysina aerophoba adalah 0,83. Hal
memiliki nilai Rf dalam rentang 0,43 sampai 0,90. Sejalan dengan penelitian
alkaloid yaitu aeroplysinin yang bersifat antibiotik. Menurut Vilas et al., 2015 &
bakteri dengan cara menghambat aktivitas sintesis RNA, merusak dinding sel
dinding sel tidak terbentuk secara utuh (Cowan, 1999). Menurut Robinson (1991)
30
sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan
lemah dan segera mengalami penguraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan
31
V. KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
bahwa:
2. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba maka
konsentrasi 7%.
3. Kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etil asetat dengan
5.2 Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, H., Wahyudi, A. T., & Yuhana, M. (2011). Skrining bakteri yang
berasosiasi dengan spons Jaspis sp sebagai penghasil senyawa antimikroba.
Jurnal dari ilmu kelautan, 16, (1), 35-40.
Amade, P., Charrroin, C., Baby and Vacelet, J. (1987). Antimicrobial activities of
marine sponges from the Mediterranean sea. Journal of marine biologi, 94,
271-275.
Amir, I. & Budiyanto, A. (1996). Mengenal spon laut (Demospongiae) secara
umum. Oseana, 21, (2), 15-31.
Barea-Azcon, J. M., Ballesteros, D. E & Moreno, D. (2008). Red book of the
invertebrates of Andalusia, (I.S.B.N 978-84-96776-38-8). Sevilla:
Departemen of the environment.
Belarbi, E. H., Gómez, A. C., Chisti, Y., Camacho, F. G., & Grima, E. M. (2003).
Producing drugs from marine sponges. Journal of Biotechnol. Adv, 21,(7),
585-598.
33
Elliot, T., Worthington, T., Osman, H., & Gill, M. (2013). Mikrobiologi
kedokteran dan infeksi. (Edisi 4). Penerjemah: Pendit, B. U. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hausmann. R., Vitello, M. P., Leitermann, F., & Syldatk, C. (2006). Advances in
the production of sponge biomas Aplysina aerophoba a model sponge for ex
situ sponge biomas production. Journal of biotecnology, 124, 117-127.
Hentschel, U., Michael, S., Michael, W., Lars, F., Chirstine, G., & Jorg, H. (2001).
Isolation and phylogenetic analysis of bacteria with antimicrobial activities
from the Mediterranean sponges Aplysina aerophoba and Aplysina
cavernicola. Journal of FEMS Microbiology Ecology, 35, 305-312.
Ismet, M. S., Bengen, D. G. , Radjasa, O. K., & Kawaroe, M. (2016). Komposisi
dan aktifitas antibakteri spons laut dari ekosistem lamun yang berbeda
diperairan kepulauan seribu. Jurnal ilmu dan teknologi kelautan tropis, 8,
(2), 729-745.
Ismet, M. S. (2007). Penepisan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos dan
Petrosia sp. dari lokasi berbeda. (Tesis). Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Jacob, S. W., & Wood, C. (1967). Dimethyl Sulfoxide (DMSO) Toksicology,
pharmacology and Clinicsl experience . journal of surgery. 114, 414-425.
Jardetzky, O. (1963). Studies on the Mechanism of action of cloramphenicol.
Journal of Biological chemistry. 238, (7), 2498-2506.
34
Katzung, B. G. (2004). Farmakologi: Dasar dan klinik. Ed 1. Jakarta: Salemba
medika.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset kesehatan dasar.
Jakarta. Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan.
Kementrian kelautan & perikanan Indonesia. (2012). Keanekaragaman hayati
laut untuk pengembangan kawasan konservasi perairan di Indonesia.
Jakarta: Kementrian kelautan & perikanan Indonesia.
Lay, B. W & Hastowo, S. (1994). Analisis mikroba di laboratorium. (edisi 1).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Lee, Y. K., Lee, J. H., & Lee, K. H. (2001). Microbial symbiosis in marine
sponge. The journal of microbiology, 29, (4), 254-264.
Majdi, N. (2008). Expression of secondary metabolites by the Mediterranean
sponges Aplysina aerophoba and Aplysina cavernicola (College Board Rep.
No. 2). Perpignan: University of Perpignan Via Domitia.
Monajemzadeh, M., Abbasi, A., Tanzifi, P., Vakili, S. T. T., Irani, H., and Khasi,
L. (2014). The Relation Between Helicobacter pylori Infection and Acute
Bacterial Diarrhea in Children. Journal of pediatrics. 46, 191,195.
35
Reynold, J. (2011). Kirby-bauer test for antibiotic susceptibility. Texas : richland
college.
Rusdi, N. K., Sediarso., & Fadila, S. H. (2010). Uji aktivitas antibakteri fraksi
etanol 70% dari ekstrak daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (sceff)
Boerl.) terhadap bakteri Streptococcus mutans. Jurnal farmasains, 1, (2),
89-94.
Setyowati, E. P., Jenie, U. A., Sudarsono., Kardono, B., Rahmat, R., & Melyanto,
E. (2007). Isolasi senyawa sitotoksik spons Kaliapsis. Majalah farmasi
Indonesia, 18, (4), 183-189.
Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P., &
Kusnandar. (2008). Iso farmakoterapi buku 1. Jakarta: PT Isfi Penerbitan.
Taylor, M. W., Radax, R., Steger, D., & Wagner, M. (2007). Sponge-associated
microorganism; evolution, ecology, and biotechnological potential.
American Society for Microbiology, 71, (2), 295-347.
Thoms, C., Wolff. M., Padmakumar, K., Ebela, R., & Proksch, P. (2004).
Chemical defense of mediterranean sponges Aplysina cavernicola and
Aplysina aerophoba. Aquatic Biology and Fisheries, 59, 113-122.
Tickell, K. D., Brander, R. L., Atlas, H. E., Pernica, J. M., Walson, J. L., &
Pavlinac, P. B. (2017). Identification and management of Shigella
infection in children with diarrhoea: a systematic review and meta-
analysis. Journal of Global Health. 5, 1325-1248.
36
Wewengkang, D. S, Sumilat, D.A. & Rotinsulu, H. (2014). Karakterisasi dan
bioaktif antibakteri senyawa spons Haliclona sp dari teluk Manado. Jurnal
LPPM bidang Sains dan teknologi 1, (1), 71-85.
Yulianty, R., Rante, H., Alam, G., & Tahir, A. (2011). Skrining dan analisis
KLT- Biografi senyawa antimikroba beberapa ekstrak spons asal perairan
laut pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Jurnal majalah obat
tradisional, 16, (2), 88-94.
37
Lampiran 1. Data hasil penelitian
38
Lampiran 1 (lanjutan)
39
Lampiran 1 (lanjutan)
40
Lampiran 1 (lanjutan)
Tabel I. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak spon Aplysina aerophoba dan
kloramfenikol terhadap bakteri Helicobacter pylori
41
Lampiran 1 (lanjutan)
3%
7%
1%
5%
5%
K-- 5%
K+
K+
K-
3%
1%
7%
42
a
b
K+
5%
7%
K- 3%
1%
Gambar 5. Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Etil asetat Spon Aplysina aerophoba
Terhadap Bakteri Helicobacter pylori, a; Pengulangan 1, b;
Pengulangan 2, c; Pengulangan 3
Keterangan:
7 % = konsentrasi ekstrak etil asetat 7 %
5 % = konsentrasi ekstrak etil asetat 5 %
3 % = konsentrasi ekstrak etil asetat 3 %
1 % = konsentrasi ekstrak etil asetat 1 %
K (-) = kontrol negatif (DMSO)
K (+) = kontrol positif (Cakram Kloramfenikol)
Lampiran 1 (lanjutan)
Tabel II. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak spon Aplysina aerophoba dan
kloramfenikol terhadap bakteri Shigella dysentriae
43
(Kloramfe
nikol)
Kontrol - - - - -
negatif
(DMSO)
Keterangan :
Lampiran 1 (lanjutan)
1%
3% K-
1%
5% 7%
K+
K-
K- 3%
5%
7%
44
a b
5%
K+
7%
3%
K-
1%
Gambar 6. Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Etil asetat Spon Aplysina aerophoba
terhadap Bakteri Shigella dysentriae, a; Pengulangan 1,
b; Pengulangan 2, c; Pengulangan 3
Keterangan:
7% = konsentrasi ekstrak etil asetat 7 %
5% = konsentrasi ekstrak etil asetat 5 %
3% = konsentrasi ekstrak etil asetat 3 %
1% = konsentrasi ekstrak etil asetat 1 %
K (-) = kontrol negatif (DMSO)
K (+) = kontrol positif (Cakram Kloramfenikol)
Lampiran 1 (lanjutan)
45
18
16
14
12
10
8 Dimeter daya hambat
6 Shigella disentrie (mm)
Diameter daya hambat
4
Helicobacter pylori (mm)
2
0
f % % % % tif
o siti si7 si5 si3 si1 ega
lp ra ra ra ra ln
tro ent ent ent ent tro
n n s ns ns ns n
ko Ko Ko Ko Ko ko
Gambar 7. Grafik hasil uji aktivitas ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba
dan kloramfenikol terhadap bakteri Shigella dysentriae dan
Helicobacter pylori.
Lampiran 1 (lanjutan)
46
Noda Noda
a b
Lampiran 1 (lanjutan)
47
Tabel III. Hasil uji identifikasi kandungan metabolit sekunder spon Aplysina
aerophoba
Lampiran 2. Perhitungan
48
1. Perhitungan rendemen ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba
13,6 g
¿ ×100 %
1000 g
¿ 1,36 %
2. Perhitungan Rf
Jarak yang ditempuh zat
Rf =
Jarak yang ditempuh larutan
5
Rf = =0,83
6
7g
7%¿
100mL
Rumus:
V 1 × C1 = V 2 × C2
1. Konsentrasi 5 %
V 1 × C1 = V 2 × C2
V1 × 7 % = 10 mL × 5 %
V1 = 7,1 mL
2. Konsentrasi 3 %
49
V 1 × C1 = V 2 × C2
V1 × 5 % = 10 mL × 3 %
V1 = 6 mL
3. Konsentrasi 1 %
V 1 × C1 = V 2 × C2
V1 × 3 % = 10 mL ×1 %
V1 = 3,3 mL
a. Konsentrasi 1 %
Pengulangan 1
Dv = 9 + ( 14 × 0,05 )
= 9,7 mm
Dh = 9 + ( 9 × 0,05 )
= 9,45 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 9,7−6 ) +( 9,45−6)
=
2
7,15
=
2
= 3,575 mm
Pengulangan 2
Dv = 12 + ( 8 × 0,05 )
= 12,4 mm
50
Dh = 15+ ( 5 × 0,05 )
= 15,25 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 12,4−6 ) +(15−6)
=
2
15,65
=
2
=7,825 mm
Pengulangan 3
Dv = 11 + ( 12 × 0,05 )
= 11,6 mm
Dh = 11 + ( 9 × 0,05 )
= 11,45 mm
( 11,6−6 ) +(11,45−6)
=
2
11,05
=
2
= 5,525 mm
16,925mm
=
3
=5,641 mm
b. Konsentrasi 3 %
Pengulangan 1
51
Dv = 13 + ( 6 × 0,05 )
= 13,3 mm
Dh = 13 + ( 4 × 0,05 )
= 13,2 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 13,3−6 )+(13,2−6)
=
2
14,5
=
2
= 7,25 mm
Pengulangan 2
Dv = 15 + ( 9 × 0,05 )
= 15,45mm
Dh = 17 + ( 1 × 0,05 )
= 17,05 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L =
2
( 15,45−6 )+(17,05−6)
=
2
20,5
=
2
= 10,25 mm
Pengulangan 3
Dv = 13 + ( 6 × 0,05 )
= 13,3
Dh = 13 + ( 10 × 0,05 )
52
= 13,5 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 13,3−6 )+(13,5−6)
=
2
14,8
=
2
= 7,4 mm
24,9 mm
=
3
=8,3 mm
c. Konsentrasi 5 %
Pengulangan 1
Dv = 13 + ( 8 × 0,05 )
= 13,4 mm
Dh = 13 + ( 5 × 0,05 )
= 13,25 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 13,4−6 ) +(13,25−6)
=
2
14,65
=
2
= 7,325 mm
Pengulangan 2
53
Dv = 15 + ( 12 × 0,05 )
= 15,6 mm
Dh = 19 + ( 4 × 0,05 )
= 19,2 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 15,6−6 )+(19,2−6)
=
2
23,1
=
2
= 11,55 mm
Pengulangan 3
Dv = 15 + ( 7 × 0,05 )
= 15,35 mm
Dh = 15 + ( 11 × 0,05 )
= 15,55 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 15,35−6 )+(15−55)
=
2
18,9
=
2
= 9,45 mm
28,325 mm
=
3
=9,44 mm
54
d. Konsentrasi 7 %
Pengulangan 1
Dv = 13 + ( 9 × 0,05 )
= 13,45mm
Dh = 13 + ( 1 × 0,05 )
= 13,05 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 13,45−6 )+(13,05−6)
=
2
14,5
=
2
= 7,25 mm
Pengulangan 2
Dv = 19 + ( 3 × 0,05 )
= 19,15 mm
Dh = 21 + ( 2 × 0,05 )
= 21,1 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 19,15−6 )+(21,1−6)
=
2
28,6
=
2
= 14,3 mm
Pengulangan 3
55
Dv = 16 + ( 2 × 0,05 )
= 16,1 mm
Dh = 16 + ( 9 × 0,05 )
= 16,45 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 16,1−6 ) +(16,45−6)
=
2
20,55
=
2
= 10,275 mm
31,825 mm
=
3
=10,60 mm
a. Konsentrasi 1 %
Pengulangan 1
Dv = 12 + ( 6 × 0,05 )
= 12,3 mm
Dh = 13 + ( 8 × 0,05 )
= 13,4 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
56
( 12,3−6 )+(13,4−6)
=
2
13,7
=
2
= 6,85 mm
Pengulangan 2
Dv = 9 + ( 5 × 0,05 )
= 9,25 mm
Dh = 9 + ( 12 × 0,05 )
= 9,6 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 9,25−6 ) +(9,6−6)
=
2
6,85
=
2
= 3,425 mm
Pengulangan 3
Dv = 9 + ( 7 × 0,05 )
= 9,35 mm
Dh = 9 + ( 12 × 0,05 )
= 9,6 mm
( 9,35−6 ) +(9,6−6)
=
2
6,95
=
2
57
= 3,475 mm
13,75mm
=
3
= 4,583 mm
b. Konsentrasi 3 %
Pengulangan 1
Dv = 14 + ( 7 × 0,05 )
= 14,35 mm
Dh = 14 + ( 2 × 0,05 )
= 14,1 cm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 14,35−6 )+(14,1−6)
=
2
16,45
=
2
= 8,22 mm
Pengulangan 2
Dv = 10 + ( 13 × 0,05 )
= 10,65 mm
Dh = 10 + ( 13× 0,05 )
= 10,65 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 10,65−6 )+(10,65−6)
=
2
58
9,3
=
2
= 4,65 mm
Pengulangan 3
Dv = 11 + ( 2 × 0,05 )
= 11,1 mm
Dh = 11 + ( 4 × 0,05 )
= 11,2 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 11,1−6 )+(11,2−6)
=
2
10,3
=
2
= 5,15 mm
18,02mm
=
3
= 6 mm
c. Konsentrasi 5 %
Pengulangan 1
Dv = 16 + ( 19 × 0,05 )
= 16,95 mm
Dh = 16 + ( 13 × 0,05 )
= 21,65 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
59
( 16,95−6 )+(21,65−6)
=
2
21,6
=
2
= 10,8 mm
Pengulangan 2
Dv = 13 + ( 7 × 0,05 )
= 13,35 mm
Dh = 14 + ( 5 × 0,05 )
= 14,25 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 13,35−6 )+(14,25−6)
=
2
15,6
=
2
= 7,8 mm
Pengulangan 3
Dv = 15 + ( 9 × 0,05 )
= 15,45 mm
Dh = 17 + ( 3 × 0,05 )
= 17,15 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 15,45−6 )+(17,15−6)
=
2
20,6
=
2
60
= 10,3 mm
9,8 mm
=
3
=9,63 mm
d. Konsentrasi 7 %
Pengulangan 1
Dv = 23 + ( 9 × 0,05 )
= 23,45 mm
Dh = 20 + ( 4 × 0,05 )
= 20,2 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 23,45−6 )+(20,2−6)
=
2
31,65
=
2
= 15,825 mm
Pengulangan 2
Dv = 17 + ( 6 × 0,05 )
= 17,3 mm
Dh = 21 + ( 4 × 0,05 )
= 21,2 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
61
( 17,3−6 )+(21,2−6)
=
2
26,5
=
2
= 13,25 mm
Pengulangan 3
Dv = 7 + ( 2 × 0,05 )
= 7,1 mm
Dh = 7 + ( 2 × 0,05 )
= 7,1 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 7,1−6 ) +(7,1−6)
=
2
2,2
=
2
= 1,1 mm
30,175 mm
=
3
=10,05 mm
Pengulangan 1
Dv = 25 + ( 12 × 0,05 )
= 25,6 mm
Dh = 26 + ( 5 × 0,05 )
62
= 26,25 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 25,6−6 )+(26,25−6)
=
2
39,85
=
2
= 19,925 mm
Pengulangan 2
Dv = 21 + ( 6 × 0,05 )
= 21,3 mm
Dh = 20 + ( 3 × 0,05 )
= 20,15 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 21,3−6 )+(20,15−6)
=
2
29,45
=
2
= 14,725 mm
Pengulangan 3
Dv = 21 + ( 6 × 0,05 )
= 21,3 mm
Dh = 19 + ( 8 × 0,05 )
= 19,4 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
63
( 21,3−6 )+(19,4−6)
=
2
28,7
=
2
= 14,35 mm
49,36 mm
=
3
= 16,33 mm
Pengulangan 1
Dv = 24 + ( 7 × 0,05 )
= 24,35 mm
Dh = 21 + ( 9 × 0,05 )
= 21,45 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 24,35−6 )+(21,45−6)
=
2
33,8
=
2
= 16,9 mm
Pengulangan 2
Dv = 23 + ( 7 × 0,05 )
= 23,35 mm
Dh = 24 + ( 2 × 0,05 )
64
= 24,1 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 23,35−6 )+(24,1−6)
=
2
35,67
=
2
= 17,835 mm
Pengulangan 3
Dv = 24 + ( 7 × 0,05 )
= 24,35 mm
Dh = 22 + ( 4 × 0,05 )
= 22,2 mm
( Dv−Dc )+(Dh−Dc)
L=
2
( 24,35−6 )+(22,2−6)
=
2
34,55
=
2
= 17,275 mm
52,01mm
=
3
= 17,33 mm
65
Lampiran 3. Gambar Penelitian
66
Gambar 10. Ekstrak etil asetat Aplysina aerophoba
67
Gambar 12. Laminar Air Flow (LAF) (Model VL 150)
68
Gambar 14. Jangka sorong
69
Lampiran 4. Skema kerja
Ekstrak Ampas
Etil asetat
Ekstrak Kental
Etil Asetat 70
Uji aktivitas bakteri
Uji metabolit
sekunder
Kromatografi Triterpenoid
Fenolik Alkaloid
Lapis Tipis dan Steroid
lampiran 4 (lanjutan)
71
- Empat kertas cakram
dicelupkan pada suspensi
larutan uji berbagai konsentrasi,
dan dua lainnya sebagai kontrol
negatif dan kontrol positif
- Kontrol positif dengan
menggunakan kloramfenikol
- Kontrol negatif dengan
menggunakan DMSO
Gambar 17. Skema uji antibakteri ekstrak etil asetat spon Aplysina aerophoba
72