Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan

(mencret), dan merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau

gangguan lainnya (Tjay & Rahardja, 2010). Diare adalah penyebab kematian

utama kedua pada anak umur dibawah 5 tahun. Setiap tahunnya sekitar

760.000 anak pada umur dibawah 5 tahun meninggal karena diare (WHO,

2013). Diare merupakan kondisi dimana terjadi peningkatan frekuensi buang

air besar dan penurunan konsistensi feses yang dikeluarkan dibandingkan

dengan pola usus individu normal (Wells, et al., 2009). Peningkatan motilitas

usus juga dapat menyebabkan diare. Iritasi pada usus akan merangsang

peningkatan motilitas usus, yang akan mempercepat waktu lintas khim dalam

usus. Keadaan ini akan memperpendek waktu sentuhan khim dengan selaput

lendir usus, sehingga penyerapan air dan elektrolit akan mengalami gangguan

(Shiferie & Shibeshi, 2013). Kondisi diare ditandai dengan perubahan

konsistensi feses yang menjadi lebih cair dan meningkatnya frekuensi defekasi

akibat peningkatan dari motilitas usus.

Di Indonesia, penyakit diare masih merupakan masalah di bidang

kesehatan terutama di daerah pedesaan. Penyakit diare pada dasarnya

menyerang siapa saja tanpa memandang umur penderita. Penyakit diare

termasuk dalam 10 penyakit yang sering menimbulkan kejadian luar biasa.

Berdasarkan laporan Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data KLB (STP

1
2

KLB) tahun 2010, diare menempati urutan ke-6 frekuensi KLB terbanyak

setelah DBD, chikungunya, keracunan makanan, difteri dan campak. Keadaan

ini tidak berbeda jauh dengan tahun 2009. Menurut data STP KLB 2009, diare

merupakan penyakit ke-7 terbanyak yang menimbulkan KLB (Anonim, 2010).

Penanganan diare secara konvensional adalah melalui penggunaan

dedaunan sebagai obat tradisional seperti daun jambu biji, dan gambir.

Penggunaan dedaunan tersebut adalah dengan cara diseduh atau direbus dan

air rebusan tersebut diminum, tanpa pengobatan. Di pendesaan, diare diobati

secara turun temurun menggunakan minuman dari tumbuh-tumbuhan alami

yang diseduh, seperti daun jambu biji, gambir dan lainnya.

Selain daun-daun tanaman seperti jambu biji dan lain-lain, salah satu

tanaman hutan tropis yang berpotensi sebagai sumber bahan-bahan

antimikroba, adalah tanaman atung (Parinarium glaberrimum Hassk.) yang

banyak tumbuh di Kawasan Timur Indonesia terutama di Daerah Maluku.

Atung adalah tanaman yang termasuk ke dalam genus Parinarium yang

diperkirakan meliputi 50 spesies, sebagian besar termasuk tanaman tropis,

tumbuh di daerah tropis dari daerah dataran rendah sampai ketinggian 300 m

di atas permukaan laut (Heyne, 2012).

Tanaman atung merupakan jenis tumbuhan liar yang termasuk dalam

suku Rosaceae, merupakan salah satu jenis yang bersifat megatherm dan

sangat terbatas di daerah tropis (Monk, 2000). Di Maluku, atung dikonsumsi

sebagai bahan tambahan pada pembuatan masakan berbahan dasar ikan

mentah dan juga pada campuran rujak. Penggunaan atung ini disebabkan

karena pengalaman masyarakat bahwa atung dapat mencegah penyakit diare


3

atau sakit perut jika mengkonsumsi makanan seperti ikan mentah atau rujak

tersebut.

Banyak peneliti yang telah melakukan kajian terhadap sifat

antimikroba dari biji atung (Parinarium glaberrimum Hassk.) dalam rangka

pengawetan pangan. Sarastani et al. (1997) telah meneliti komponen aktif biji

buah atung yang berperan sebagai antioksidan. Ekstrak heksana, ekstrak

heksana-etanol maupun ekstrak etanol memperlihatkan adanya aktivitas

antioksidan yang tinggi dari biji buah atung. Moniharapon et al. (1997)

mendapatkan bahwa seluruh bagian buah atung (biji maupun daging buah)

mengandung zat anti mikroba, namun bagian biji lebih kuat dari daging buah.

Moniharapon dan Hashinaga (2004) telah meneliti ekstrak etil asetat biji buah

atung ternyata efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba.

Moniharapon, et al. (2004) mendapatkan bahwa hasil purifikasi yang

dilanjutkan dengan identifikasi komponen antibakteri dari biji atung, ternyata

komponen bioaktif biji atung adalah asam azelaik. Berdasarkan hasil nilai

minimum inhibitory concentration (MIC) didapati bahwa isolasi antibakteri

asam aselaik dalam biji buah atung efektif melawan bakteri patogen dan spora

dalam pangan (Moniharapon et al, 2005). Asam azelaik merupakan asam

dikarboksilat jenuh dengan 9 atom karbon, yang diperoleh dari oksidasi asam

oleat dengan asam nitrat. Asam azelaik tidak bersifat toksisitas akut atau

kronis serta tidak teratogenik dan mutagenik (Mingrone et al, 1983;

Moniharapon et al. 2005; Passi, 1993; Topert et al; 1989).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul potensi ekstrak etanol biji buah atung (parinarium
glaberrimum hassk.) terhadap diare mencit(Mucus musculus) yang terpapar
E.coli
4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, rumusan masalah penelitian

adalah.

1. Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etanol biji buah atung (parinarium
glaberrimum hassk.) terhadap diare mencit (Mucus musculus) yang terpapar
E.coli.

2. Konsentrasi manakah yang efektif terhadap ekstrak etanol biji buah atung

(parinarium glaberrimum hassk.) terhadap diare mencit (Mucus musculus)

yang terpapar E.coli

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan, tujuan dilakukan penelitian ini

untuk mengetahui.

1. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol biji buah atung

(parinarium glaberrimum hassk.) terhadap diare mencit (Mucus musculus)

yang terpapar E.coli.

2. Mengetahui konsentrasi yang efektif terhadap ekstrak etanol biji buah

atung (parinarium glaberrimum hassk.) terhadap diare mencit (Mucus

musculus) yang terpapar E.coli.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dicapai Penelitian ini adalah :

1. Ilmu Pengetahuan

Meningkatkan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan

adanya daya aktivitas antidiare dalam suatu tumbuhan.


5

2. Masyarakat

Menambah pengetahuan Masyarakat tentang manfaat tanaman atung

(Parinarium glaberrimum hassk.) bagi kehidupan.

3. Pelayanan Pertanian

Memberi informasi tentang manfaat tanaman biji buah Atung (Parinarium

glaberrimum hassk.) sebagai antidiare.

4. Bagi Mahasiswa

Bahan pembelajaran bagi mahasiswa sebagai subtitusi bahan antidiare,

khususnya bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi dalam Mata

Kuliah Zoologi Vertebrata dan Biokimia.

E. Ruang lingkup penilitian dan batasan penilitian

1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terfokus pada variabel bebas konsentrasi ekstrak etanol

biji buah Atung (Parinarium glaberium) dengan Variabel terikatnya adalah

diare mencit (Mucus musculus) yang terpapar E.coli

2. Keterbatasan Penelitian

Atas dasar pemfokusan penelitian ini maka keterbatasan yang

ditemui dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Bagian tumbuhan Atung (Parinarium glaberium) yang digunakan

sebagai pencegah penyakit diare yaitu biji.

b. Hewan uji coba yang digunakan adalah mencit (Mucus musculus)


6

F. Penjelasan Istilah

Beberapa definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tanin merupakan astrigen yang dapat berikatan dengan membran mukosa,

kulit dan jaringan lain sehinggga dapat berkaitan dengan protein yang

dapat membentuk pembatas (barrier) yang resisten terhadap reaksi

inflamasi dan mikroba, sehingga CT dapat digunakan untuk pengobatan

diare, karena mengurangi jumlah cairan yang hilang dari saluran cerna

Eilif, 2007; Rehman, 2010; dan Herva, 2002).

2. Ekstraksi adalah metode penyarian menggunakan pelarut penyari yang

sesuai. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi

zat aktif dari simplisia nabati dan simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai (Nuri, 2009).

3. Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan (mencret), dan

merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lainnya

(Tjay & Rahardja, 2010).


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Tanaman Atung (Parinarium glaberimum Hassk.)

Atung (Parinarium glaberimum Hassk) merupakan tanaman hutan

yang bijinya sejak lama telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat

Maluku untuk mengawetkan ikan tangkapan sebelum es balok dikenal, dimana

hasil tangkapan tersebut tidak cepat rusak dan tahan beberapa hari sampai

kapal mendarat untuk dipasarkan (Moniharapon, 1991). Penggunaan biji buah

atung (Parinarium glaberimum, Hassk) telah terbukti sebagai bahan pengawet

pangan karena mengandung fraksi komponen bioaktif yang dapat membunuh

beberapa jenis bakteri pathogen dan perusak pangan.

Menurut Heyne (1950), buah atung diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Sub kelas : Dialypetaceae

Ordo : Rosales

Famili : Rosaceae

Genus : parinarium

Spesies : Parinarium glaberimum

7
8

B. Botanis Tanaman Atung (Parinarium glaberimum Hassk.)

Tanaman atung umumnya berbuah sepanjang tahun, pohonnya dapat

mencapai ketinggian lebih dari 10 m dan diameter mencapai 40 cm dengan

ciri-ciri kulit kayu berwarna coklat gelap dan bagian dalam coklat terang atau

kemerahan (Koorders dan Valeton, 1913). Tanaman atung terdapat hampir di

semua tempat di Propinsi Maluku, terutama di daerah Maluku Tengah

(Moniharapon, 1991). Tanaman ini juga dikenal di beberapa daerah di

Indonesia dengan nama daerah yang berbeda-beda, diantaranya Pele Kambing

(Aceh), Lomo (Makasar), Samaka (Bugis), dan Saya (Ternate).

Buah atung umumnya berbentuk bulat lonjong dengan berat antara

31.3 - 48.7 g. Kulit buah berwarna coklat tua agak pudar dan keras. Di bagian

bawah kulit terdapat mesokarp tebal yang memiliki struktur berserat dengan

arah vertikal. Bagian kulit dan mesokarpnya merupakan bagian yang terbesar

dari buah atung (68%) utuh (Adawiyah, 1998). Biji buah atung agak keriput,

berwarna coklat tua dan dilapisi selaput tipis putih serta teksturnya keras.

Proporsi biji terhadap buah atung utuH rata-rata 31.8% dengan berat berkisar

antara 6.4 - 21.3 gram (Adawiyah, 1998).

Tanaman atung mempunyai akar yang menyebar kira-kira 3-6 m dari

tanamannya. Pada keadaan kekurangan O2, akar tanaman ini hanya tahan

selama 7 hari, memiliki akar cabang dan akar tunggang. Hal ini karena habitat

Atung umumnya pada daerah yang banyak mendapat angin laut dan jenis

tanah regosol karena dominan bertektur berpasir (Fifteen Aprila Fajrin. 2012)

Tumbuhan atung adalah tumbuhan monopodial, dengan batang

berbentuk silindris. Warna batang abu-abu sampai putih kecoklatan dengan


9

kulit batang yang kasar. Tebal kulit antara 0.2-0.4 mm dengan warna putih

kekuning-kuningan. Tumbuhan Atung memiliki banyak percabangan dan

umumnya percabangan muncul pada tinggi 2-3 m dari permukaan tanah. (Dini

Paramita Defrin, 2010)

Daun berbentuk lonjong dan berwarna hijau muda, tetapi daun-daun

yang ternaungi umumnya berwarna hijau tua. Permukaan daun licin dengan

tepi daun rata dan ujung daun tumpul. Tangkai daun pendek kira-kira 0,30-

0,50 cm. Ukuran panjang daun 15-25 cm dan lebar 6-9 cm. Tulang daun

nampak jelas, tulang daun duduk berselang seling atau berhadapan pada ibu

tulang daun. Jumlah tulang daun berkisar antar 11-16 pasang.

Tangkai bunga muncul dari ketiak daun. Bunga berukuran kecil

bergerombol. Kelopak bunga berjumlah 4-6 helai dengan warna hijau muda

kekuningan. Mahkota bunga berwarna putih dengan jumlah 4-6 helai. Bunga

berumah satu (putik dan benang sari sama-sama dalam satu kuntum bunga).

Benang sari berwarna ungu dengan ukuran panjang 0,75-1,0 cm. Jumlah

benang sari 20-30 tangkai dengan posisi kotak sari pada ujung benang sari.

Putik bunga tertanam pada dasar bunga dan kepala putik berwarna putih.

Pembungaan biasanya pada Oktober dan November, namun dilapangan masih

dijumpai waktu pembungaan yang tidak seragam sehingga pada Januari juga

masih terdapat pembungaan.

Bentuk buah menyerupai dan sebesar telur bebek. Buah atung terdiri

atas daging buah yang keras, tebal 3-4 cm dengan permukaan kulit buah agak

kasar dan daging buah berwarna coklat bata, dan biji tunggal di tengah

sebesar telur ayam. Berdiameter 4-7 cm dengan panjang 7-12 cm. Buah yang
10

disimpan lama bijinya berwarna keabu-abuan sampai coklat tua, sedangkan

yang baru berwarna coklat permukaannya dan putih bergaris-garis coklat di

dalamnya. Setelah kering buah atung akan keras. Biji atung berwarna coklat,

berbentuk lonjong dan berukuran diameter 2-4 cm dan panjang 4-6 cm.

Gambar 2.1 Morfologi Buah Atung

C. Habitat

Tanaman atung umumnya tumbuh pada tanah yang mengandung cukup

unsur hara dengan pH tanah antara 6.0-6.5. Jenis tanah yang dominan bagi

pertumbuhan tanaman atung adalah regosol, kambisol dan rendzina dengan

tekstur tanah adalah lempung berpasir atau pasir berlempung dan liat

berlempung. Tanah umumnya berstruktur lepas atau gembur. Kondisi drainase

tanah harus baik dan tidak tergenang lebih dari 7 hari. Tanaman atung tumbuh

pada ketinggian yang berkisar dari 0-300 m dari permukaan laut. Namun

secara umum tanaman ini tumbuh pada dataran rendah. Rata-rata curah hujan

tahunan yang sesuai bagi tanaman ini adalah 1500-3500 mm. Sementara

temperatur tahunan berkisar antara 21-30oC dengan kelembapan relatif antara

80-90 %. Tanaman atung merupakan tanaman yang sangat butuh cahaya untuk
11

pertumbuhannya, karena itu tanaman atung yang tumbuh dibawah tegakan

lain, pertumbuhannya jelek dan kurang menghasilkan buah.

D. Manfaat Tanaman Atung (Parinarium glaberimum Hassk.)

Tanaman atung dapat bermanfaat untuk mencegah diare, pendarahan

ataupun keputihan pada wanita hamil. Buah atung yang dicampur dengan

makanan dapat digunakan untuk obat urus-urus atau untuk menghilangkan

gatal-gatal akibat mengkonsumsi ikan. Bubuk biji atung juga dapat digunakan

untuk pembuatan kohu-kohu didaerah Maluku, yaitu suatu makanan berupa

cincangan ikan mentah atau goring yang dicampur bumbu dan biji buah atung.

Kanehira (1933) dalam Moniharapon, (1998) mengatakan bahwa sari biji

atung dapat dibuat cat anti korosif. Biji yang setengah masak dicampur air dan

dibuat bubur untuk dioleskan pada bangunan rumah atau kapal sehingga

terbebas dari serangan bubuk atau cacing (Heyne, 1987). Adonan buah atung

juga digunakan untuk melapisi dan mengawetkan kayu pada kapal

(Moniharapon, et al., 1993). Hasil penelitian terhadap daya antibakteri biji

atung, menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dari biji atung tua tapi masih

segar ataupun yang telah disimpan 3 bulan pada suhu ruang memiliki aktivitas

antibakteri yang relatif tinggi (Moniharapon, 1998 dan Adawiyah, 1998 dalam

Dewi Sarastani et al., 2002).

Daya antibakteri ekstrak etil asetat biji atung umumnya memiliki

spektrum yang luas dan kuat terutama terhadap tujuh jenis bakteri, yaitu:

Staphylococcus aureus, Salmonella enteritidis, Escherichia coli, Bacillus

subtilis, Enterococcus faecalis, Micrococcus luteus dan Pseudomonas


12

aeruginosa (Moniharapon, 1998). Dari ketujuh bakteri tersebut, S. aureus

merupakan bakteri yang relatif paling sensitif terhadap senyawa-senyawa

antibakteri di dalam biji atung. Daya pengawet buah atung telah diteliti untuk

mengawetkan udang segar (Moniharapon et al., 1993) dan ternyata buah atung

mampu meningkatkan umur kesegaran udang windu dari 3 jam menjadi 17

jam, sehingga cukup leluasa untuk transportasi dan pemasaran. Perlakuan

buah atung juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan mengurangi

susut bobot udang selama penyimpanan.

Soeherrnan (1997) dalam Dewi Sarastani et al., (2002) meneliti

kegunaan biji buah atung untuk meningkatkan umur simpan pindang ikan

mujair, dan diperoleh hasil baik dengan bubuk biji atung maupun ekstrak biji

atung dapat menghambat pertumbuhan mikroba sehingga mampu

mernperpanjang umur simpan pindang dari satu hari rnenjadi ernpat hari.

Selain itu, dapat pula rnemperbaiki tekstur daging ikan rnenjadi lebih padat.

Biji buah atung juga dapat mencegah infestasi lalat selama pengolahan ikan

jambal roti (Saragih, 1998 dalam Dewi Sarastani et al., 2002). Berdasarkan

hasil penelitian yang dilakukan Adawiyah (1998) dalam Dewi Sarastani et al.,

(2002), bahwa ekstrak biji buah atung mempunyai senyawa antimikroba yang

memiliki aktivitas tertinggi dengan pelarut heksana dan pelarut etil asetat.

Senyawa antimikroba ini bersifat semi polar dan memiliki aktivitas

bakterisidal.

Biji atung mengandung zat antimikroba lebih kuat dari daging buah

sehingga membuat biji atung mempunyai daya antimikroba yang jauh lebih

kuat dari daging buah. Hal ini karena bagian biji buah atung mengandung
13

mengandung sel atau jaringan tempat penyimpanan atau penimbunan senyawa

metabolit sekunder tertentu. Biji atung yang masih segar mempunyai daya

antimikroba yang lebih kuat dari biji atung yang telah mengalami masa

simpan, meskipun baru beberapa hari disimpan (Moniharapon, 1998). Hal ini

disebabkan karena biji atung yang telah mengalami proses penyimpanan

terjadi perubahan kimia tertentu. Ekstrak buah atung mengandung zat

antimikroba yang efektif terhadap bakteri yang mewakili kelompok patogen,

pembusuk dan indikator sanitasi, bakteri gram negatif, bakteri gram positif,

bakteri berspora dan tidak berspora, serta bakteri bentuk sel batang dan kokus.

Ini menunjukkan bahwa ekstrak biji buah atung mempunyai spektrum

antibakteri yang cukup luas, dan tidak bersifat selektif terhadap bakteri yang

dihambat.

Dengan demikian ekstrak buah atung dapat secara efektif digunakan

sebagai bahan pengawet pangan khususnya terhadap bakteri. Berdasarkan

Moniharapon (1998) mengatakan bahwa seluruh bagian buah atung

mengandung zat antimikroba yang cukup efektif. Namun, daya antimikroba

dari ekstrak biji atung jauh lebih kuat dari daging buahnya. Biji atung lebih

cepat dan mudah untuk di ekstraksi daripada daging buah, sehingga dapat

dikatakan bahwa biji atung lebih praktis digunakan untuk bahan dasar

daripada buah yang keras dan berserat. Ekstrak dari biji atung tua

mengandung zat antimikroba yang lebih kuat daripada ekstrak dari biji muda.

Biji tua umumnya jatuh sendiri tanpa perlu dipetik. Buah atung yang telah tua

dan masih baru jatuh atau belum mengalami masa penyimpanan mempunyai
14

daya antimikroba yang lebih besar dibandingkan dengan buah tua yang telah

mengalami masa simpan.

E. Metode ekstrasi

Ekstraksi adalah metode penyarian menggunakan pelarut penyari yang

sesuai. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati dan simplisia hewani menggunakan pelarut yang

sesuai (Nuri, 2009). Dasar dari metode ekstraksi adalah adanya perbedaan

kelarutan Prinsip kerja ekstraksi adalah melarutkan zat yang terdapat dalam

simplisia dengan pelarut organik.

Simplisia diekstraksi dengan pelarut yang cocok dalam suatu

ekstraktor pada suhu kamar, kemudian pelarut diuapkan (Nuri, 2009).

Umumnya ekstraksi dikerjakan untuk simplisia yang mengandung zat

berkhasiat atau zat-zat lain untuk keperluan tertentu. Zat-zat berkhasiat

tersebut antara lain alkaloid, glukosa, tannin, flavonoid, terpenoid, resin,

minyak atsiri, lemak dan lain-lain. Tujuan utama ekstraksi ialah mendapatkan

zat-zat berkhasiat sebanyak mungkin dari simplisia dan sedikit mungkin zat

pengotor (Nuri, 2009).

Metode ekstraksi yang digunakan adalah perkolasi. Perkolasi adalah

cara penyarian dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia

yang telah dibasahi (Nuri, 2009). Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan

cara serbuk simplisia dimaserasi selama 2 jam, kemudian simplisia

dipindahkan ke dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat

berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui simplisia tersebut,
15

cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui

sampai keadan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh karena gravitasi,

kohesi dan berat cairan di atas dikurangi gaya kapiler yang menahan gerakan

ke bawah. Perkolat yang diperoleh dikumpulkan, lalu dipekatkan. Cairan

penyari yang digunakan akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat-zat aktif, zat aktif akan larut dan karena

adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dengan yang

di luar sel maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut

berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel

dan di dalam sel (Nuri, 2009).

F. Deskriptif Diare

Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan derajat

kesakitan dan kematian yang tinggi di berbagai negara terutama di negara

berkembang, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka

kesakitan dan kematian anak di dunia.Menurut data United Nations Children's

Fund (UNICEF) pada tahun 2009, diare merupakan penyebab kematian nomor

2 pada balita di dunia, nomor 3 pada bayi, dan nomor 5 bagi segala umur.

Setiap tahunnya 1,5 juta anak meninggal dunia karena diare.

Diare akan menjadi lebih serius pada orang yang mengalami kurang

gizi, sebab diare dapat menyebabkan kurang gizi dan dapat memperburuk

keadaan kurang gizi yang sudah ada, karena selama diare tersebut dapat terjadi

zat gizi hilang dari tubuh, membuat orang tidak lapar. Di dalam kelompok

masyarakat Indonesia yang paling peka terhadap gizi adalah balita yaitu usia 0
16

sampai dengan 5 tahun karena pada usia tersebut sangat rentan terhadap

penyakit seperti penyakit menular dan penyakit infeksi salah satunya adalah

diare. Diare sering terjadi pada anak, terutama pada usia 0 sampai dengan 2

tahun yang biasanya minum susu dan makan makanan formula. Diare

berbahaya karena dapat menyebabkan kurang gizi bahkan sampai pada

kematian. (Sriyanto,2004).

G. Klasifikasi Diare

Berdasarkan klasifikasinya, diare dibagi kedalam tiga kelompok yaitu:

a. Berdasarkan adanya infeksi, dibagi atas:

1. Diare infeksi eternal, yaitu diare karena infeksi di usus misalnya

infeksi bakteri (Vibrio cholera, Eschericia coli, Salmonella dan

shigella, infeksi virus (Rotavirus dan Enterovirus) dan infeksi parasit

(Cacing, Protozoa dan Jamur) (Sriyanto,2004).

2. Diare infeksi parenteral, yaitu diare karena infeksi di luar usus

misalnya infeksi saluran pernapasan (Sriyanto,2004).

b. Berdasarkan lamanya diare, dibagi atas yaitu:

1. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak yang segera

berangsur sembuh pada seseorang yang sebelumnya sehat. Diare akut

biasanya berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu

(Sriyanto,2004).

2. Diare kronis, yaitu diare yang timbul perlahan-lahan berlangsung 2

minggu atau lebih, baik menetap atau bertambah hebat

(Sriyanto,2004).
17

c. Berdasarkan penyebab terjadinya diare, terbagi atas:

1. Diare spesifik, yaitu diare yang disebabkan oleh adanya infeksi misalnya

infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan enterotoksin.

2. Diare non spesifik, yaitu diare yang tidak di sebabkan oleh adanya infeksi

misalnya alergi makanan atau minuman (intoleransi) gangguan gizi,

kekurangan enzim dan efek samping obat (Tan, 2002).

H. Penyebab Diare

Diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus, sehingga

pelintasan Chymus dipercepat dan masih banyak mengandung air pada saat

meninggalkan tubuh sebagai tinja. Selain itu, diare disebabkan karena

bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya keseimbangan asorbsi dan

sekresi. Tterjadinya gangguan keseimbangan ini, terjadinya keseimbangan ini,

sering terjadi pada keadaan radang lambung-usus yang disebabkan oleh

kuman atau toksinnya (Tan, 2002)

Factor-faktor yang menyebabkan diare:

a. Virus

Misalnya Influenza perut dan travellers diarrhea yang disebabkan

oleh rotavirus dan adenovirus. virus melekat pada sel-sel mukosa usus, yang

menjadi rusak sehingga kapasitas absorpsi menurun dan sekresi dan dan

eletrolit memegang peranan. Diare yang terjadi bertahan terus sampai

beberapa hari sampai virus lenyap dengan sendirinya, biasanya dalam 3-6 hari

(Tan, 2002)

b. Bakteri
18

Diare yang disebabkkan oleh bakteri mulai berkurang terjadi karena

meninngkatnya higiene masyarakat. Bakteri-bakteri tetentu pada keadaan

tertentu,, misalnya bahan makanan yang terinfeksi oleh banyak kuman

menjadi Invasif dan menyerang kedalam mukosa. Di sini, bakteri-bakteri

tersebut memperbanyak diri dan membentuk toksin-toksin yang dapat

direabsorbsi kedalam darah dan menimbulkan gejala-gejala, seperti demam

tinggi, nyeri kepala dan kejang-kejang, disamping mencret berdarah dan

berlendir. Penyebab utama dari jenis diare ini adalah bakteri Salmonella,

Shigela, dan jenis Coli tertentu (Tan, 2002).

c. Parasit

Parasit yang sering menyebabkan diare seperti protozoa Entamoeba,

histolytica, Giardia lambia, Cyptospordium, dan Cyclospora, yang terutama

terjadi di daerah tropis atau sub tropis. Gejala ini dapat berupa nyeri perut,

demam, anorexia, muntah-muntah dan rasa nyeri (malaise) (Tan, 2002).

d. Enterotoksin

Diare jenis ini lebih jarang terjadi, tetapi lebih dari 50% dari

wisatawan di Negara-negara berkembang dihinggapi diare ini. Penyebabnya

adalah kuman-kuman yang membentuk enterotoksin, yang terpenting adalah

E.coli dan Vibrio cholera, dan sebagian kecil Shigella, Compylobacter dan

Entamoeba histlotyca. Toksin melekat pada sel-sel mukosa dan merusaknya.

Diare jenis ini juga bersifat selflimiting artinya akan sembuh dengan

sendirinya. Tanpa pengobatan dalam lebih kurang 5 hari, setelah sel-sel

mukosa yang rusak diganti dengan sel-sel mukosa yang baru (Tan, 2002).

e. Penyakit
19

Sejumlah penyakit ada yang menyebabkan diare sebagai salah satu

gejalanya, seperti kanker usus besar dan beberapa penyakit cacing (misalnya

penyakit cacing gelang dan cacing pita) (Tan, 2002).

f. Obat-obatan

Obat-obatan dapat menimbulkan diare karena efek sampingnya,

misalnya antibiotic berspektrum luas (golongan ampisilin dan tertasiklin),

sitostatik, dan penyinaran dengan sinar-X (radioterapi) (Tan, 2002).

g. Makanan

Makanan yang sulit diserap oleh usus akan mengakibatkan tekanan

osmotic usus meningkat sehingga menghalangi absorbi air dan elektrolit dan

menimbulkan diare. Alergi makanan, makanan dan minuman yang telah

terkontaminasi dengan toksi bakteri dan makanan yang tercemar logam berat

juga dapat menyebabkan diare (Tan, 2002).

h. Pengaruh psikis

Keluhan dalam diare dapat timbul sebagai salah satu gejala penyakit

atau sebagai akibat kelainan jiwa atau psikologis, misalnya ketegangan jiwa,

emosi, stress dan lain-lain. Diare karena penyebab ini dikenal dengan istilah

diare psikogenik. Seseorang yang mengalami gangguan psikologis cendrung

menyebabkan hidupnya tidak teratur. Sering kali disertai dengan keadaan jiwa

yang tidak tenang, tidur tidak nyenyak, makan yang tidak teratur dan lain

sebagainya. Dalam keadaan seperti ini terjadi rangsangan berlebihan pada

saraf-saraf terutama pada daerah hipotalamus yang dapat menimbulkan

hiperperistaltik. Karena meningkatnya peristaltic maka absorbsi air dan

elektrolit akan terganggu dan terjadilah diare (Tan, 2002).


20

i. Penyebab lain.

Penyebab lain diare seperti terjadinya gangguan gizi dan kekurangan

enzim-enzim tertentu (Tan, 2002).

I. Kerangka Berpikir Penelitian

Menurut Winarno dan Sundari (1996) tanin dapat menciutkan

permukaan usus (adstringensia) dan dapat melindungi mukosa usus. Flavonoid

mempunyai kemampuan dalam menghambat motilitas usus dan sekresi air dan

elektrolit (Venkatesan et al., 2005).

Diare merupakan penyebab kematian ke-13 dari 22 penyebab kematian di


Indonesia. Pengobatan diare pada umumnya adalah Oral Rehidration
Solution (ORS), makanan rendah serat, suplemen zinc, probiotik dan
pemberian obat antidiare. Terdapat beberapa alternatif pengobatan diare.
Salah satu alternatif adalah pemberian obat tradisional.

Beberapa tanaman obat yang terbukti mempunyai efek


antidiare

Tanin Flavanoid

Memiliki kemampuan Berfungsi menurunkan


astrigen lebih besar peristaltik
terhadap diare akibat
iritasi

Diare akan terhenti

Gambar 2.2. Kerangka berfikir penelitian


21

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen sungguhan

(true-eksperimental research).

B. Alat dan Bahan

a. Alat

Cawan petri, spektrofotometer Spektronik Bausch & Lomb, kuvet, alat

suntik, jarum oral mencit, seperangkat alat bedah, dan kandang metabolisme

hewan.

b. Bahan

Ekstrak biji buah atung, nutrien agar (Difco), NaCl 0,9 % b/v, cakram

kertas, kapas berlemak, kertas alumunium, suspensi 5 % norit dalam gom

acacia 50 %, loperamid BPFI (Baku Pembanding Farmakope Indonesia),

tetrasiklin BPFI (Baku Pembanding Farmakope Indonesia), mencit jantan

yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 25-35 g, dan bakteri penginfeksi

penyebab diare: Escherichia coli.

C. Waktu dan Tempat Penelitian

a. Tempat Penelitian

Penelitian ini berlangsung di Laboratorium Zoologi Fakultas MIPA

Universitas Pattimura, Ambon.

3
22

b. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah proposal ini diseminarkan.

D. Variabel Penelitian

Dalam penentuan variabel penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu:

a. Variabel bebas: Ekstrak etanol biji buah atung (Parinarium glaberimum

Hassk.)

b. Variabel terikat: Diare mencit (Mucus musculus) yang terpapar E.coli

E. Prosedur Kerja

a. Ekstrasi biji Atung

Biji buah atung yang diperoleh dari Desa Booi Kecamatan Saparua

Kabupaten Maluku Tengah. Sampel Biji buah atung dicuci hingga bersih,

kemudian diparut hingga halus beberapa jam dan dikeringkan dalam oven

pada suhu 500C sampai berat kering konstan. Setelah itu di ekstrasi dengan

pelarut non polar heksana secara prosedur soxhlet untuk menghilangkan

lemaknya. Kemudian residunya diekstrasi dengan pelarut polar etanol 96%

menggunakan Reflux selama 2 jam.

b. Pembuatan media untuk bakteri

Media nutrient agar dibuat dengan cara mencampur 23 g nutrient agar

dengan 1000 ml air dan dididihkan sampai melarut sempurna, dimasukkan ke

dalam botol untuk disterilisasi dengan autoklaf.


23

c. Pembuatan suspensi bakteri

Suspensi bakteri dalam media cair setelah diinkubasi selama 18-24 jam

pada suhu 37C dikocok menggunakan pengocok vortex, kepekatan suspensi

bakteri diatur sehingga jika diukur dengan menggunakan spektrofotometer

Spektronik pada panjang gelombang 530 nm memberikan transmitansi sebesar

25%

d. Pengujian aktivitas antibakteri

Aktivitas antibakteri diuji dengan metode difusi agar menggunakan

cakram kertas dan metode pengenceran agar.

a. Metode difusi agar dilakukan dengan cara mencampur sebanyak 50 l

masing-masing suspensi bakteri ke dalam 15 ml media agar yang telah

dicairkan dalam cawan petri steril dan kemudian dibiarkan menjadi padat.

Cakram kertas dengan diameter 6 mm diletakkan pada permukaan media

padat. Pada cakram diteteskan 20 l masing-masing zat uji kemudian dibarkan

selama 30 menit pada suhu kamar sebelum dimasukkan ke inkubator 37 C.

Pengujian dengan metode pengenceran agar dilakukan dengan cara

meletakkan 0,5 ml ekstrak uji pada cawan petri ditambah 14,5 ml media agar

hangat yang masih cair, dibiarkan mendingin, lalu digoreskan suspensi bakteri

uji ke atas permukaan agar

e. Pengujian efek anti diare

Dosis ekstrak biji atung ditentukan berdasarkan orientasi pada hewan

percobaan terhadap paremeternya. Parameter yang diamati yaitu pada saat

mulai terjadinya diare, konsistensi feses, frekuensi diare dan lamanya terjadi
24

diare. Dosis yang digunakan yaitu dosis 20, 40, dan 80 mg/kg bb. Hasil

orientasi dipilih variasi dosis sebanyak tiga dosis. Dosis I 20 mg/kg bb, dosis

II 40 mg/kg bb, dosis III 80 mg/kg bb. ( Enda, 2010) .

Urutan penelitian sebagai berikut:

a. Mencit diadaptasikan dengan lingkungan penelitian selama satu minggu.

b. Tiga puluh menit sebelum pemberian ekstrak, mencit dipuasakan,

selanjutnya dikelompokan menjadi 5 kelompok masing-masing kelompok I

terdiri dari 3 mencit sebagai control (-) tanpa perlakuan, kelompok II sebagai

control (+) terdiri dari 3 mencit, kelompok III terdiri dari 3 mencit yang akan

diberikan ekstrak 20mg/bb, Kelompok IV terdiri dari 3 mencit yang akan

diberikan ekstrak 40mg/bb, dan kelompok V terdiri dari 3 menct yang akan

diberikan ekstrak 80 mg/bb.

c. Semua mencit diberikan makan agar yang telah diolesi bakteri E.coli

sebagai penyebab diare secara oral.

d. Tiga puluh menit setelah pemberian agar yang telah diolesi bakteri E.coli,

masing-masing kelompok diberi perlakuan, yaitu

- kelompok I sebagai control (-) / tanpa perlakuan

- kelompok II sebagai control (+) yaitu perlakuan tetapi tidak diberi ekstrak.

- kelompok III diberikan supsensi Ekstrak biji buah atung dosis 20mg/bb

semua perlakuan diberikan secara oral.

- kelompok IV diberikan supsensi Ekstrak biji buah atung dosis 40mg/bb

semua perlakuan diberikan secara oral.

- kelompok V diberikan supsensi Ekstrak biji buah atung dosis 80mg/bb

semua perlakuan diberikan secara oral.


25

e. Dilakukan pengamatan setiap 30 menit selama 8 jam meliputi saat mulai

terjadinya diare, konsistensi feses (berlendir/berair, lembek, dan normal),

diameter serapan air, berat feses, frekuensi diare dan lamanya terjadi diare.

Cara pengamatan parameter

a. Diare ditandai dengan buang air besar dimana frekuensinya meningkat dari

keadaan normal dan konsistensi feses yang lebih lembek atau cair.

b. Saat mulai terjadinya diare, caranya dengan mencatat waktu mula-mula

terjadinya diare (dalam menit) setelah pemberian agar yang telah diolesi

dengan bakteri E.coli

c. Konsistensi feses, caranya dengan melihat feses mencit apakah berdarah,

berlendir, lembek dan normal.

d. Diameter serapan air, caranya dengan meletakan feses diatas kertas saring

setiap 30 menit setelah pemberian agar yang diolesi bakteri E.coli, lalu

dibiarkan selama 15 menit dan diukur diameter serapan air pada kertas saring

(dalam cm).

e. Berat feses, caranya dengan menimbang berat feses (dalam gram) setiap

30 menit setelah pemberian agar yang diolesi bakteri E.coli.

f. Frekuensi diare, caranya dengan menghitung berapa kali terjadi diare

selama pengamatan.

g. Lama terjadinya diare, caranya dengan mencatat selisih waktu terakhir

terjadinya diare (saat konsistensi feses kembali normal) dengan waktu mula-

mula terjadinya diare (saat konsistensi berair atau berlendir) dalam menit.
26

f. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini

adalah

1. Observasi yaitu melakukan pengamatan langsung di lokasi

penelitian.

2. Kepustakaan Yaitu dilakukan dengan cara mencari informasi yang

berkaitan dengan penelitian ini dan menggunakan buku yang relevan.

g. Rancangan Penelitian

Rancangan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial,

menggunakan desain pe rcobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian

ini ada 3 masing-masing perlakuan terdapat 3 kali ulangan.

Tabel 3.1. Rancangan Penelitian


Pengulangan (P)
Perlakuan
1 2 3
Kontrol (K) K1 K2 K3
P1 P 1.1 P 1.2 P 1.3
P2 P 2.1 P 2.2 P 2.3
P3 P 3.1 P 3.2 P 3.3
P4 P 4.1 P 4.2 P 4.3
P5 P 5.1 P 5.2 P 5.3

Keterangan:

K (Kontrol) : (-)

P1 : control (-) tanpa perlakuan

P2 : control (+) perlakuan tetapi tidak diberikan ekstrak

P3 : Dosis ekstrak 20mg/bb

P4 : Dosis ekstrak 40mg/bb

P5 : Dosis ekstrak 80mg/bb


27

h. Analisis Data

Data hasil pengamatan konsistensi feses dianalisis secara statistic

dengan metode Anava (analisis variansi) pada tingkat kepercayaan 95%,

dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan nyata antar kelompok

perlakuan

Analisis statistik ini menggunakan program SPSS versi 16.

Anda mungkin juga menyukai