Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak lama manusia menggunakan tumbuhan dan bahan alam lain sebagai

obat untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit tertentu yang dikenal dengan

sebutan obat tradisional yang merupakan warisan turun temurun dari nenek

moyang dari generasi kegenerasi berikutnya (Kris dan Cahaya, 2009).

Selain murah dan mudah didapat, obat tradisional yang berasal dari

tumbuhan memiliki efek samping yang jauh lebih rendah tingkat bahayanya

dibandingkan dengan obat-obatan kimia (Muhlisah. F, 1995). Sehingga

penggunaan obat tradisional telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai salah

satu upaya kesehatan yang mengalami perkembangan dari masa ke masa. Hasil

dan manfaatnya telah dirasakan secara langsung sehingga penggunaan obat

tradisional cenderung semakin meningkat dan dorongan kembali kealam semakin

menguasai masyarakat (Kris dan Cahaya, 2009). Salah satu tumbuhan yang

berkhasiat obat adalah daun alpukat. selain menjadi buah yang dapat

mengenyangkan perut, menghasilkan tenaga, ternyata alpukat juga berkhasiat

sebagai obat (El-Kabumaini. N, dan Ranuatmaja, T. S. dkk. 2008).

Alpukat (Persea americana Mill) merupakan tanaman hutan yang

tingginya mencapai 20 m. Pohonnya berkayu, umumnya percabangan jarang, dan

arahnya horizontal (Sunarjono, H, 1998). Daunnya berwarna hijau-tua, berbentuk

1
2

runcing sampai agak melebar, sepanjang 10 cm – 20 cm, daun-daun muda

berwarna agak kemerah-merahan atau merah anggur. Bunganya berjenis kelamin

dua, tumbuh tersusun dalam malai pada tunas pucuk atau tunas terminal. Buahnya

berukuran kecil sampai besar, beratnya bervariasi antara 100 gr – 2.300 gr,

berbentuk beragam, ada yang bulat, bulat lonjong, bulat agak meruncing, pada

tangkai, atau bulat seperti bolam (Kanisius, 1997).

Alpukat kaya akan berbagai macam kandungan kimia. Buah dan daunnya

mengandung saponin alkaloida dan flaponoid, selain itu daunnya juga

mengandung polifenol, quersetin, dan gula alkohol persit. Sementara daging

buahnya mengandung tanin (Permadi. A, 2008). Kulit ranting mengandung

methyilchavicol, alphapinene, dan tanin (Hariana. A, 2005). Alpukat juga

mengandung betakaroten, klorofil, vitamin E, dan vitamin B-kompleks yang

berlimpah (Kumalaningsih. S, 2006).

Efek farmakologis daun alpukat adalah peluruh kencing (diuretik) dan

astringen. Selain daun, kulit ranting memiliki efek farmakologis, seperti peluruh

kentut (karminatif), penyembuh batuk, pelancar menstruasi, dan emollient

(Hariana. A, 2005). Penyakit-penyakit lain yang dapat disembuhkan dengan

memakan bagian dari tanaman alpukat adalah sariawan, melembabkan kulit

kering, kencing batu, sakit kepala, darah tinggi (Hipertensi), nyeri saraf

(neuralgia), nyeri lambung, saluran nafas membengkak (bronchial swellings),

sakit gigi, dan kencing manis (diabetes mellitus) (El-Kabumaini, N, dan

Ranuatmaja, T, S, dkk. 2008).


3

Alpukat juga mampu menurunkan risiko stroke dan serangan jantung,

karena alpukat merupakan satu-satunya buah yang kaya lemak, bahkan kadarnya

lebih dari dua kali kandungan lemak dalam durian. Alpukat juga kaya mineral

kalium, tapi rendah kandungan natriumnya. Perbandingan ini mendorong suasana

basa di dalam tubuh kita. Berkurangnya keasaman tubuh (darah dan jaringan)

akan menekan munculnya penyakit akibat kondisi tubuh terlalu asam, seperti

alergi, pusing, panik, gangguan pernafasan, dan gangguan pencernaan (Hariana.

A, 2005).

Selain itu karena pada daun alpukat mengandung rasa pahit, kelat, dan

bersifat antibakteri. Sehingga Sifat tersebut dapat menghambat pertumbuhan

beberapa spesies bakteri Staphylococcus sp., Pseudomonas sp., Escherichia sp.,

dan Bacillus sp (Permadi. A, 2008).

Escherichia coli merupakan kuman yang banyak di temukan di dalam usus

besar manusia sebagai flora normal, berbentuk batang pendek (kokobasil), negatif

gram, tidak berspora, ukuran 0,4-0,7 µm x 1,4 µm, sebagian besar gerak positif

dan beberapa strain mempunyai kapsul (Syarurachman, A., dkk, 1994). Bakteri ini

dapat menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare pada anak, selain itu

juga dapat menimbulkan infeksi pada jaringan tubuh lain di luar usus yaitu infeksi

saluran kemih, pneumonia, meningitis pada bayi baru lahir, dan infeksi pada luka

(Jawetz, dkk, 2005).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti

bagaimana pengaruh daya hambat infusa daun alpukat terhadap pertumbuhan


4

bakteri Escherichia coli. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui

konsentrasi minimum infusa daun alpukat terhadap pertumbuhan bakteri tersebut,

sehingga dapat memberikan informasi mengenai penggunaan daun alpukat yang

tepat sebagai obat alternatif terhadap infeksi bakteri Escherichia coli.

1.2 Rumusan Masalah

Belum diketahui konsentrasi infusa daun alpukat (Persea americana Mill)

yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli secara in-vitro.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas daya hambat infusa daun alpukat terhadap

pertumbuhan bakteri Escherichia coli.

1.3.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui konsentrasi daya hambat infusa daun alpukat terhadap

pertumbuhan bakteri secara minimum.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi peneliti

Menambah pengetahuan khususnya di bidang mikrobiologi yang diperoleh

selama mengikuti perkuliahan dan sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan

di Akademi Analis Kesehatan Pemerintah Provinsi Jambi.


5

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Karya tulis ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan literatur dan

kepustakaan di Akademi Analis Kesehatan Pemerintah Provinsi Jambi khususnya

dalam disiplin ilmu mikrobiologi.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat atau

khasiat daun alpukat sebagai alternatif pengobatan penyakit yang disebabkan oleh

Escherichia coli.

1.5 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah hanya pada daya hambat

infusa daun alpukat terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun juga yang merupakan bahan yang telah

dikeringkan berupa simplisia nabati, hewani dan pelikan atau mineral. Simplisia

nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh , bagian tanaman atau ekstrak

tumbuhan adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel

yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau senywa nabati lainnya

yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa

senyawa kimia murni (Dirjen POM, 2000).

2.2 Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi

simplisia nabati dengan air pada suhu 90O C selama 15 menit. Pembuatannya

dapat dilakukan dengan cara mencampur simplisia dengan derajat halus yang

sesuai dalam panci dengan air secukupnya, panaskan di atas penangas air selama

15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90o C sambil sekali-kali diaduk. Serkai

dengan kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga

diperoleh volume infus yang dikehendaki. Infusa daun sena dan infusa simplisia

yang mengandung minyak atsiri, diserkai setelah dingin infusa daun sena, infusa
7

asam jawa dan infusa simplisia lain yang mengandung lendir tidak boleh diperas

(Farmakope, 1995).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses yang diperoleh dengan cara penyarian

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewan dengan menggunakan

perlarut yang sesuai. Kemudian semua taua hampir semua pelarut diuapkan dan

massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku

yang telah ditetapkan (Dirjen POM, 2000).

2.3.1 Metode ekstraksi

Ekstraksi komponen senyawa kimia yang terdapat dalam tumbuhan dapat

dilakukan dengan cara :

1. Maserasi

Maserasi merupakan proses penyarian simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan.

2. Perkolasi

Perkolasi merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur

ruangan.

3. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetic (dengan pengadukan kontinu) dengan

menggunakan pemanasan pada suhu 400 C-500C.

4. Sokletasi
8

Sokletasi merupakan ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus, sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan sejumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik

(Dirjen POM, 2000).

5. Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati

dengan air pada suhu 900C selama 15 menit, serkai selagi panas

menggunakan kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas

sehingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Farmakope, 1995).

6. Dekokta

Dekokta adalah suatu proses penyarian yang hampir sama dengan infus,

perbedaannya pada dekokta waktu yang digunakan lebih lama (≥30 menit)

dihitung mulai suhu mencapai 900C (Dirjen POM, 2000).

Banyak faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak, salah satunya adalah

pelarut yang digunakan dalam ekstraksi. Pemilihan pelarut juga harus

mempertimbangkan hal-hal seperti,kemudahan bekerja dan proses dengan cairan

tersebut, ekonomis, selektivitas, ramah lingkungan, keamanan. Sampai saat ini

pelarut yang diperbolehkan adalah air, alkohol (etanol) serta campurannya. Jenis

pelarut lain seperti, methanol, kloroform, aseton. Khusus methanol dihindari

penggunaannya karena sifatnya yang toksik dan kronik (Dirjen POM, 2000).

2.4 Tanaman alpukat (Persea americana Mill)

Tanaman alpukat merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tengah,

yaitu Meksiko, peru, sampai Venezuela dan kini telah menyebar ke seluruh dunia
9

sampai Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Filipina (Sunarjono. H. H, 1998).

Buah alpukat ini masuk ke Indonesia sekitar abad ke-18 dan sampai sekarang

berbagai jenis alpukat hasil persilangan tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia

dengan nama yang berbeda sesuai dengan nama bahasa setempat yaitu di Jawa

Barat disebut alpuket atau alpukat, Jawa Timur atau Jawa Tengah (alpokat), Batak

(boah pokat, jamboo pokat), dan Lampung (advokat, jamboo mentega, jamboo

pooan, pookat) (Indriani. H. Y dan Suminarsih. E, 1997).

Pada umumnya, di Indonesia tanaman alpukat tersebar di dataran rendah

sampai dataran tinggi. Tanaman alpukat menyukai tumbuh di daerah beriklim

tropis basah dengan curah hujan 1500 – 3000 mm pertahun. Di daerah yang tipe

iklimnya agak kering alpukat masih dapat di tanam, asalkan permukaan air

tanahnya antara 50 – 200 cm. Tanaman alpukat dapat tumbuh di sembarang tipe

tanah, tetapi tidak baik di daerah tandus dan tidak tahan terhadap genangan air

yang terus-menerus, karena tidak baik untuk penembangan pertumbuhan dan

terserang penyakit bsuk akar (Sunaryono. H, H, 1990).

2.4.1 Klasifikasi tanaman alpukat

Klasifikasi tanaman alpukat (Persea americana Mill) adalah sebagai

berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Laurales
10

Famili : Lauraceae

Genus : Persea

Spesies : Persea americana Mill (Kanisius, 1997)

2.4.2 Ciri-ciri tanaman alpukat

Tanaman alpukat terdiri dari beberapa bagian (Indriani. H. Y dan

Suminarsih. E, 1997), yaitu :

a. Akar

Tanaman alpukat mempunyai akar tunggang yang cepat sekali

pertumbuhannya. Akar tunggang mempunyai akar pokok yang tumbuh lurus

kedalam tanah, tumbuh cabang akar. Cabanag akar ini akan bercabang-cabang

lagi dan cabang yang paling akhir umumnya lembut dan tipis sehingga biasa

disebut rambut akar dan pada umumnya mempunyai cabang akar yang

panjangnya 3 – 4 meter, bahkan apabila tanaman tumbuh subur dapat mencapai 6

meter. Berbeda dengan tanaman pada umumnya yang mempunyai rambut akar,

alpukat tidak memiliki rambut akar dan cabang akarnya hanya sedikit.

b. Batang

Batang alpukat yang tua mempunyai ciri khas, yaitu batangnya mengalami

keretakan sehingga terlihat seperti beralur. Sedangkan batang yang muda lebih

licin, terlebih pada cabang-cabang muda. Batang yang masih muda berwarna hijau

tua dan warna ini akan berangsur-angsur menjadi coklat tua. Apabila batang

dikupas, kulit batangnya akan terlihat kambium yang berwarna hijau dan terasa

licin bila diraba. Adanya kambium ini menyebabkan diameter batang dapat
11

membesar ke samping, sehingga ada tanaman alpukat yang berdiameter sampai 35

cm dan besar diameter batang untuk tiap jenis berbeda.

c. Daun

Tanaman alpukat mempunyai daun yang panjang (lonjong) berbentuk

tunggal tersusun seperti pilin denan ukuran sepanjang 12 cm – 25 cm. Daun

alpukat disebut daun tidak lengkap, karena hanya terdiri dari tangkai dan helaian

saja, tanpa upih atau pelepah daun. Bagian tanaman yang berfungsi sebagai alat

pengambilan dan pengolahan zat-zat makanan serta alat penguapan air dan

pernafasan ini berwarna hijau tua dengan pucuk hijau muda sampai agak

kemerahan.

c. Bunga

Tanaman alpukat tergolong tanaman yang berbunga banyak. Bunganya

tersusun dalam satu malai (panicula) pada tunas pucuk atau tunas terminal. Malai

terdiri atas satu tangkai utama yang pajang dan bercabang-cabang, berwarna hijau

kekuningan, berbulu halus, dan di tumbuhi banyak bunga bertangkai pendek atau

panjang. Bunganya tergolong kecil, berdiameter 0,5 – 1,5 cm, harum bila mekar,

memiliki benang sari (stamen), dan putik (pistillum), merupakan bunga sempurna,

bunga berjenis kelamin dua (bisexualis) atau hermaprodit (hermaphroditus).

Mahkota bunga (perianthium) licin, berwarna hijau-kekuningan atau kuning-

muda.Bunga memiliki dua belas benang sari dan sebuah putik. Benang sarinya

tersusun dalam empat lingkaran, masing-masing lingkaran dengan tiga benang

sari (Kanisius, 1997).

d. Buah
12

Adanya persilangan dan penyerbukan sendiri menyebabkan munculnya

berbagai jenis buah alpukat. Bentuk buahnya ada yang panjang, ada yang bulat.

Kulitnya bermacam-macam, dari yang tipis dan halus sampai yang kasar, tebal,

keras dan berwarna hijau tua hingga ungu kecoklatan. Daging buah berwarna

hijau muda dekat kulit dan kuning muda dekat biji dengan tekstur lembut.

e. Biji

Buah alpukat mempunyai biji yang berkeping dua, sehingga termasuk

dalam kelas Dicotyledoneae dan Bentuk biji berbeda-beda untuk setiap jenis.

Walaupun demikian, semua biji alpukat mempunyai kesamaan, yaitu bagian

bawahnya agak rata dan kemudian membulat atau melonjong. Ukuran biji tiap

jenis alpukat tidak terlalu berbeda, sekitar 5,5 cm x 4 cm dengan diameter 4 cm.

2.4.3 Kandungan kimia

Tumbuhan alpukat, terutama pada bagian daun, memiliki rasa pahit dan

kelat. Daunnya mengandung saponin, alkaloida, dan flavonoid, selain itu juga

mengandung polifenol, quersetin, gula d-parseit, dan senyawa sterin. Buahnya

mengandung tanin (Permadi, A, 2008).

2.4.4 Efek farmakologis

Daun alpukat mempunyai efek farmakologis sebagai peluruh kencing

(diuretik), astringen, selain itu daun dan kulit ranting memiliki efek farmakologis

seperti peluruh kentut (karminatif), penyembuh batuk, pelancar menstruasi, dan

antibakteri (Hariana, A, 2005).


13

2.5 Bakteri Escherichia coli

Escherichia coli merupakan flora normal yang sebagian besar merupakan

penghuni yang tidak berbahaya di dalam usus manusia. Escherichia coli

diklasifikasikan berdasarkan tipe-tipe patogenitas dan karakteristik sifat

virulensinya. Escherichia coli menghasilkan tes positif terhadap indole. Pada

media EMB akan menunjukkan warna kemilau “metallic sheen” (Jawetz, dkk,

2005).

2.5.1 Klasifikasi Escherichia coli

Sistematika dari Escherchia coli adalah sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli (Jawetz, dkk, 2005).

2.5.2 Morfologi

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif batang yang pendek,

tidak berspora, tidak berkapsul. Ukuran 0,4-0,7 µm. Identifikasi patogenesis

bakteri Escherichia coli pada media selektif endo agar, koloni Escherichia coli

mempunyai ciri khas berwarna merah kilat logam, bentuk koloni bulat, cembung,

dan rata (jawetz, dkk, 2005).


14

Gambar 2. Escherchia coli

2.5.3 Sifat fisiologi

Escherichia coli tumbuh sebagai koloni yang meragi laktosa, Escherichia

coli bersifat mikroaerofilik (Syarurachman, A., dkk, 1994). Beberapa tes biokimia

yang dipakai untuk diagnostik bakteri Escherichia coli memfermentasi glukosa,

laktosa, manitol, maltosa, sukrosa dan semua membentuk (+) gas. Tes SIM, sulfur

negatif, indol positif, dan motil aktif. Methylred tes positif dan Vogesproskauer

tes negatif. Tidak memecah simon citrat. Tes TSIA lereng berwarna kuning, dasar

kuning dan gas positif (Soemarno, 2000).

2.5.4 Struktur antigen

Escherichia coli mempunyai antigen O, H dan K. Pada saat ini telah

ditemukan 150 tipe antigen O, 90 tipe antigen K dan 50 antigen H. Antigen K

dibedakan lagi berdasarkan sifat-sifat fisiknya menjadi 3 tipe yaitu L, A dan B

(Syarurachman, A., dkk, 1994).

2.5.5 Patogenitas dan gejala klinik

Escherichia coli ini diklasifikasikan berdasarkan sifat karakteristik dari

virulensinya dan setiap kelompok menyebabkan penyakit dengan mekanisme

berbeda. Enterophatogenic Escherichia coli (EPEC) merupakan penyebab penting

diare pada bayi, khususnya di negara berkembang. Enterotoxicgenic Escherichia

coli (ETEC) merupakan penyebab umum diare pada wisatawan.


15

Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) menimbulkan diare yang berat.

Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC) menyebabkan penyakit anak di negara

berkembang. Enteroagregative Escherichia coli (EAEC) menyebabkan diare yang

akut dan kronis. Escherichia coli juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih,

sepsis dan meningitis (Jawetz, dkk, 2004).

Manisfetasi klinis infeksi Escherichia coli dengan bakteri enterik lain

tergantung pada tempat infeksi dan tidak dapat dibedakan dengan gejala atau

tanda dari proses-proses yang disebabkan oleh bakteri lain (Jawetz, dkk, 2007).

2.5.6 Diagnosa laboratorium

Bahan pemeriksaan darah, faeces, urine, pus, secret uretra, secret vagina,

makanan, minuman dan air (Soemarno, 2000). Untuk isolasi dan identifikasi

kuman Escherichia coli dari bahan pemeriksaan klinik dipakai metode dan media

sesuai dengan metode untuk kuman enteric lain (Syarurachman, A., dkk, 1994).

2.5.7 Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti

sulfonamide, ampisilin, aminoglikosida, cepha- losporij dan fluoroquinolon yang

mempunyai efek antibakteria terhadap bakteri (jawetz, dkk. 2005).

2.6 Uji aktivitas antimikroba

Uji aktivitas antimikroba merupakan pengukuran kemampuan obat

antibiotika atau obat kimia dalam menghambat atau membunuh pertumbuhan

bakteri secara in-vitro (Soemarno, 2000). Pada uji ini diukur respon pertumbuhan

mikroorganisme terhadap antimikroba (Pratiwi, S.T., 2008).


16

2.6.1 Metode difusi

Metode ini sering digunakan dalam menentukan uji aktivitas mikroba.

Media yang digunakan adalah media agar, terdapat beberapa cara yang dapat

digunakan dalam metode ini, yaitu :

1. Metode disc diffusion (tes Kirby Bauer)

Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah

ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area

jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh

agen antimikroba pada permukaan media agar.

2. Cup-plate technique

Metode ini serupa dengan disc diffusion, dimana dibuat sumur pada media

agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut

diberi agen antimikroba yang akan diuji. Area jernih mengindikasikan adanya

hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada

permukaan media agar (Pratiwi. S.T., 2008).

3. Gradient-plate technique

Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar secara teoritis

bervariasi dari nol sampai maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji

ditambahkan. Campuran kemudian dituangkan kedalam cawan petri dan

diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituangkan

diatasnya. Kemudian plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan

agen antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji

(maksimal enam macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi
17

ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan

mikroorganisme maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang

pertumbuhan hasil goresan.

2.6.2 Metode dilusi

1. Dilusi cair (broth dilution)

Sejumlah zat antimikroba dimasukkan ke dalam medium padat atau cair

(Jawetz, dkk. 2007). Metode dilusi cair digunakan untuk mengukur KHM

(Kadar Hambat Minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri

pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan

mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar yang terkecil yang

terlihat jernih tanpa ada pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM.

Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang

pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan

diinkubasikan selama 18-28 jam. Media cair yang tetap jernih setelah

diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.

2. E-test

Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitory

Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum), yaitu konsentrasi

minimal suatu suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastic yang mengandung

agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada

permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan

dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar


18

agen antimikroba yang menghambat prtumbuhan mikroorganisme pada media

agar.

2. Dilusi padat (solit dilution)

Cakram kertas filter yang mengandung sejumlah tertentu obat ditempatkan di

atas permukaan medium padat yang telah diinokulasi pada permukaan dengan

organisme uji (Jawetz, dkk. 2007). Metode ini sama dengan metode dilusi cair

hanya menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu

konsentrasi antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa

mikroba uji (Pratiwi, S.T., 2008).

2.6.3 Mekanisme kerja zat antimikroba

1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel

Bakteri mempunyai lapisan luar yang kaku yakni dinding sel. Dinding sel

mempertahankan bentuk mikroorganisme dan pelindung sel bakteri yang

mempunyai tekanan osmotik yang tinggi. Trauma pada dinding sel atau

penghambatan pembentukannya, menimbulkan lisis pada sel (Jawetz, dkk,

2005).

2. Antibiotik yang merusak membran plasma

Sitoplasma semua sel yang hidup diikat oleh membrane sitoplasma, yang

bekerja sebagai permeabilitas selektif, berfungsi sebagai transfor aktif,

sehingga mengontrol komposisi intrasel (Jawetz, dkk. 2007). Membran plasma

bersifat semipermeabel dan mengendalikan transport berbagai metabolit ke

dalam dan ke luar sel. Adanya gangguan atau kerusakan struktur pada

membrane plasma dapat menghambat atau merusak kemampuan membrane


19

plasma sebagai penghalang osmosis dan mengganggu sejumlah proses

biosintesis yang diperlukan dalam membran. Antibiotik yang bersifat merusak

membran plasma umum terdapat pada antibiotic golongan polipeptida yang

bekerja dengan mengubah permeabilitas membrane plasma sel bakteri.

3. Perubahan molekul protein dan asam nukleat

Hidupnya sel bergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan

asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Suatu kondisi atau subtansi yang

mengubah keadaan ini, yaitu mendenaturasikan protein dan asam-asam

nukleat dapat merusak sel tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu tinggi dan

konsentrasi pekat zat kimia dapat mengakibatkan denaturasi komponel-

komponen sel.

4. Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial

Penghambatan terhadap sintesis metabolit esensial antara lain dengan adanya

competitor berupa antimetabolit, yaitu substansi yang secara kompetitif

menghambat metabolit mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip

dengan substrat normal bagi enzim metabolisme (Pratiwi, S.T., 2008).

2.6.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi zona hambat

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi ukuran diameter zona hambat

diantaranya :

b. Kekeruhan suspensi bakteri

Kekeruhan suspensi bakteri menunjukkan jumlah bakteri, jika kurang keruh

maka zona hambat akan lebih lebar, jika lebih keruh maka zona hambat nya

akan semakin sempit.


20

c. Temperatur inkubasi

Untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal, inkubasi dilakukan pada suhu

350C. kurang dari 350C menyebabkan diameter zona hambatan lebih besar.

d. Waktu inkubasi

Hampir semua cara menggunakan waktu inkubasi 16-18 jam. Kurang dari 16

jam maka pertumbuhan bakteri belum sempurna, sehingga sulit dibaca atau

diameter zona hambatan lebih besar. Jika lebih dari 18 jam maka pertumbuhan

lebih sempurna sehingga diameter zona hambatan akan semakin sempit.

e. Ketebalan agar

Ketebalan agar-agar sekitar 4 mm. jika kurang dari itu maka difusi obat akan

lebih cepat, lebih dari itu difusi obat akan lebih lambat.

f. Jarak antar disc obat

Yang dianjurkan minimal 15 mm, untuk menghindari terjadinya zona hambat

yang tumpang tindih.

g. Potensi disc obat

Tiap jenis obat mempunyai diameter disc yang sama, tetapi potensi nya

berbeda.

h. Komposisi media

Komposisi media sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan bakteri,

difusi obat, aktifitas obat, dan sebagainya (Soemarno, 2000).


21

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Konsentrasi infusa Daya hambat pertumbuhan

daun alpukat bakteri Escherichia coli

3.2 Definisi operasional

- Konsentrasi daun alpukat adalah kandungan daun alpukat yang di peroleh

dari perendaman simplisia dengan larutan dalam penangas pada suhu 90 0 C

selama 5 menit dan dibuat dalam berbagai tingkatan konsentrasi (100%

sampai 10%).

- Daya hambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli kemampuan infusa daun

alpukat sebagai inhibitor pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang

dilakukan dengan cara difusi sumuran pada media MHA dan hasilnya

dilaporkan dalam skala ordinal yaitu menghambat atau tidak menghambat.

3.3 Metode penelitian

Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode eksperimen laboratorium.

3.4 Sampel penelitian


22

Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah Infusa daun alpukat

(Persea americana Mill) dan strain bakteri Escherichia coli yang diperoleh dari

laboratorium Mikrobiologi Akademi Analis Kesehatan Provinsi Jambi.

3.5 Tekhnik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan atas dasar hasil pengamatan terhadap

kemampuan bermacam-macam konsentrasi (100% - 10%) dari infusa daun

alpukat dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli.

3.6 Tempat dan waktu penelitian

3.6.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dilaboratorium Mikrobiologi Akademi Analis

Kesehatan Provinsi Jambi.

3.6.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 16 Mei s/d 29 Juni 2013.

3.7 Instrumen penelitian

3.7.1 Peralatan yang digunakan

- Neraca analitik

- Erlenmeyer 500 ml

- Gelas ukur 100 ml

- Becker glass 250 ml


23

- Alumunium foil

- Kompor listrik

- Lampu spiritus

- Petridish

- Autoclave

- Lumpang

- Corong pisah

- Waterbath

- Tissue

- Spidol

- Kertas whatman no.2

- Alat pelubang kertas

- Oven

- Pelubang kertas

- Sendok

- Pipet ukur

- Hotplate
24

- Swab kapas steril

- Pinset

- Inkubator

- Beacker plastik

- Kertas saring

3.7.2 Bahan

- Infusa daun alpukat dengan pengenceran 10%-100%.

3.7.3 Spesimen

- Strain murni Escherichia coli, yang berumur 1 X 24 jam.

3.7.4 Reagensia

- Aquadest steril

- Alkohol 70%

3.8 Prosedur pembuatan simplisia daun alpukat

3.8.1 Pengambilan sampel

a. Disiapkan kantong plastik putih jernih untuk wadah daun sirih merah.

b. Diambil bagian daun alpukat yang segar dan muda.

c. Daun alpukat merah dicuci bersih dengan air mengalir, setelah itu

ditiriskan hingga air pada daun kering kemudian dirajang.

3.8.2 Pembuatan infusa daun alpukat


25

a. Disiapkan alat dan bahan.

b. Diberi etiket pada erlenmeyer secara berurutan pada erlenmeyer pertama

100% erlenmeyer kedua 90%, erlenmeyer ketiga 80%, erlenmeyer

keempat 70%, dan seterunya sampai konsentrasi 10%.

c. Erlenmeyer beretiket 100%, ditimbang sebanyak 100 gr daun alpukat lalu

ditambahkan 100 ml aquadest, kemudian ditutup rapat dengan

menggunakan alumunium foil.

d. Erlenmeyer beretiket 90%, ditimbang sebanyak 90 gr daun alpukat lalu

ditambahkan 100 ml aquadest, kemudian ditutup rapat dengan

menggunakan alumunium foil.

e. Erlenmeyer beretiket 80%, ditimbang sebanyak 80 gr daun alpukat lalu

ditambahkan 100 ml aquadest, kemudian ditutup rapat dengan

menggunakan alumunium foil.

f. Erlenmeyer beretiket 70%, ditimbang sebanyak 70 gr daun alpukat lalu

ditambahkan 100 ml aquadest, kemudian ditutup rapat dengan

menggunakan alumunium foil dan seterusnya sampai pengeceran 10%.

g. Dipanaskan di atas waterbath selama 15 menit terhitung sejak suhu

mencapai 900 Setelah 15 menit diangkat lalu saring dengan meggunakan

kain flannel (Farmakope Indonesia edisi V.,1995).


26

Konsentrasi infusa daun alpukat

No Infusa daun Volume aquadest Hasil pengenceran

alpukat ( gr ) ( ml ) ( v/v )

1 100 100 100%

2 90 100 90%

3 80 100 80%

4 70 100 70%

5 60 100 60%

6 50 100 50%

7 40 100 40%

8 30 100 30%

9 20 100 20%

10 10 100 10%

3.8.3 Prosedur pembuatan suspensi bakteri Escherichia coli

1. Diambil tiga ose koloni bakteri dari media subkultur, lalu disuspensikan

didalam media BHIB.

2. Suspensi tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 2 jam hingga

diperkirakan bakteri telah mencapai fase log pertumbuhannya.

3. Kekeruhan dari suspensi selanjutnya dibandingkan sengan standar

kekeruhan Mac-Farland hingga diperoleh derajat kekeruhan yang sama.


27

4. Jika suspensinya lebih encer, koloni suspensi bakteri ditambahkan lagi

dan diulang inkubasinya, sedangkan jika lebih keruh dapat diencerkan

dengan penambahan BHIB.

3.8.4 Prosedur pemeriksaan daya hambat (metode difusi)

1. Dimasukkan suspensi bakteri Escherechia coli 100µl kedalam masing-

masing cawan petri.

2. Kemudian ditambahkan ±20 ml MHA, homogenkan dan didinginkan

pada suhu kamar hingga beku.

3. Setelah beku dibuat lubang (sumur) sebanyak empat lubang pada setiap

cawan petri.

4. Diberi tanda konsentrasi pada setiap lubang.

5. Dipipet 100µl infusa daun alpukat ke dalam masing-masing lubang pada

semua cawan perti sesuai dengan konsentrasi infusa, kemudian

diinkubasi selama 16-18 jam pada suhu 37ºC.

6. Dua cawan petri digunakan sebagai kontrol,cawan petri pertama sebagai

kontrol positif yang berisi anti bakteri dan cawan yang kedua sebagai

kontrol negatif yang tidak berisi anti bakteri.

3.8.5 Cara pembuatan kontrol

1. Kontrol negatif : media Muller Hilton Agar (MHA) yang telah

ditanam dengan biakan bakteri Escherichia coli ditempelkan pada

permukaan media dengan aquadest steril.

2. Kontrol positif : media Muller Hilton Agar (MHA) yang telah

ditanam dengan biakan bakteri Escherichia coli ditempelkan pada


28

permukaan media dish antibiotik ampicilin, hasil dibandingkan

terhadap media kontrol positif dan kemudian diukur diameter zona

hambat.

3.8.6 Interpretasi hasil

1. Tidak terdapat zona jernih disekitar sumur.

2. Ada terdapat zona jernih disekitar sumur.

3.9 Analisa data

Hasil penelitian dianalisis dengan melihat zona hambat pada media

Mueller Hinton Agar (MHA), untuk melihat daya hambat infusa daun alpukat

terhadap bakteri Escherichia coli dan ditampilkan dalam bentuk tabel.


29

DAFTAR PUSTAKA

El-Kabumaini, N. dan Ranuatmaja, T. S. 2008. Alpukat Si Raja Jus, Penebar

Swadaya. Bandung.

Farmakope Indonesia Edisi ke IV. 1997. Departemen Kesehatan Indonesia.


Jakarta.

Hariana, A. 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya., Penebar Swadaya. Jakarta.


Indriani, Y. H. dan Suminarsih, E. 1997. Alpukat, Penebar Swadaya. Jakarta.
Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-23,
ECG Buku Kedokteran. Jakarta.
Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Pertama,
Salemba Medika. Jakarta.
Kanisius. 1997. Budi Daya Alpukat. Yogyakarta.

Kris, dan Tim Cahaya. 2009. Kumpulan Obat Tradisional Nusantara. Rama
Edukasitama. Jakarta.

Kumalaningsih, S. 2006. Oksidan Alami, Trubus Agrisarana. Surabaya.

Muhlisah, F. 1996. Tanaman Obat Keluarga, Penebar Swadaya. Jakarta.

Permadi, A. 2008. Tanaman Obat Pelancar Air Seni, Penebar Swadaya. Jakarta.

Pratiwi. S.T., 2008. Mikrobiologi Farmasi. Erlangga. Yogyakarta.

Soemarno. 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik. Akademi Analis


Yogyakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Yogyakarta

Sunarjono, H. H. 1990. Ilmu Produksi Tanaman Buah-buahan, Sinar Baru.


Bandung.

Sunarjono, H. H. 1998. Prospek Berkebun Buah, Penebar Swadaya. Jakarta.

Syahrurachman,A.,dkk. 1994. Mikrobiolagi Kedokteran. Binarupa Aksara.


Jakarta.

............2000. Teknologi Panduan Ekstrak. Direktorat Jendral Pengawasan Obat


dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai