Anda di halaman 1dari 36

1

RENCANA PENELITIAN
JUDUL PENELITIAN

: UJI DAYA ANTIINFLAMASI SEDIAAN GEL


EKSTRAK DAUN PAKU HATA (Lygodium
scandens L. Sw.) TERHADAP VOLUME
UDEMA BUATAN

PADA MENCIT (Mus

musculus)
NAMA MAHASISWA

: FITRIANI HUSIN

NOMOR MAHASISWA : 11.01.201.058


PEMBIMBING UTAMA : RUSMIN, S.Si., M.Si.,Apt
PEMBIMBING KEDUA : SYAFARUDDIN, S.Farm.,M.Kes.

BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki


beribu-ribu pulau dengan luas kawasan hutan mencapai 130,78 juta
hektar. Jumlah tanaman obat di Indonesia merupakan 90% dari jumlah
tanaman obat yang ada di kawasan Asia (Nugroho, 2010). Gaya hidup
kembali ke alam (back to nature) menjadi trend saat ini sehingga
masyarakat kembali memanfaatkan bahan alam, termasuk tumbuhan obat
(herbal) digunakan sebagai pengobatan. Pengetahuan tentang tanaman
obat ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman
yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh generasi terdahulu
kepada generasi berikutnya sampai saat ini (Wijayakusuma, 1996).

1
1

Salah satu tumbuhan obat adalah paku Hata (Lygodium scandens


L. Sw.). Paku Hata merupakan tumbuhan liar di pinggir-pinggir jalan,
semak belukar atau di hutan-hutan, sering memanjat di pohon. Bagian
yang digunakan dari tumbuhan paku hata adalah daun, atau seluruh
bagian tanaman dalam keadaan segar atau setelah dikeringkan. Paku
Hata mengandung senyawa saponin, kardeloin, dan tannin. Paku Hata
berkhasiat sebagai peluru seni, obat sakit kuning, dan antiradang
(antiinflamasi) (Widyaningrum, H., dkk. 2011).
Inflamasi atau radang merupakan proses respon tubuh terhadap
rangsangan merugikan yang ditimbulkan oleh berbagai agen berbahaya
seperti infeksi, antibodi ataupun luka fisik (Goodman, G., 2006).
Pengobatan pasien dengan inflamasi pada umumnya untuk
memperlambat atau membatasi proses kerusakan jaringan yang terjadi
pada daerah inflamasi. Obat modern yang biasa digunakan ialah obat
antiinflamasi non steroid (AINS) yang memiliki efek samping merugikan
tubuh seperti tukak lambung (Tjay, dkk., 2007). Obat antiinflamasi dapat
digunakan secara oral atau secara topikal di tempat radang. Meskipun
demikian, jika lokasi infeksi pada permukaan luar tubuh, penggunaan
topikal pada umumnya lebih aman dari pada penggunaan oral, dan oleh
karena itu dibuat sediaan topikal berupa gel yang mengandung ekstrak.
Evaluasi

antiradang

dilakukan

dengan

cara

mengamati

inhibisi

pemerahan, berat dan tebal (Dwidjo, 2007). Oleh karena itu pemanfaatan
tumbuhan obat dengan khasiat antiinflamasi perlu dilakukan untuk

menemukan alternatif pengobatan dengan efek samping yang relatif lebih


kecil.
Gel pada umumnya digunakan untuk terapi lokal. Gel penutup
dan gel pelindung dipakai untuk melindungi kulit dari pengaruh yang
merusak. Pada sediaan semacam itu, diharapkan adanya penetrasi
kedalam lapisan kulit teratas agar dapat memberikan efek penyembuhan
(Voigt, R., 1995).

Sekarang ini telah banyak pengembangan sediaan gel

yang berasal dari alam. Umumnya gel merupakan sediaan semi padat
yang jernih dan tembus cahaya yang mengandung zat-zat aktif dalam
keadaan terlarut (Lachman dkk, 1994).
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah sediaan gel
ekstrak daun paku Hata

(Lygodium scandens L.Sw) dapat berefek

sebagai antiinflamasi pada hewan uji mencit (Mus musculus)?


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
sediaan gel ekstrak daun paku Hata (Lygodium scandens L.Sw) terhadap
volume udema pada kaki hewan uji mencit (Mus musculus)
Manfaat

Penelitian ini dapat dijadikan acuan atau bahan

pertimbangan bagi industri obat tradisional dalam pembuatan sediaan gel


dengan menggunakan zat aktif, bahan alam, dan diharapkan penelitan ini
dapat menambah informasi dan data ilmiah tentang ekstrak daun paku
Hata sebagai salah satu tumbuhan yang berkahasiat sebagai obat
tradisional

sehingga

kehidupan sehari-hari.

dapat

dimanfaatkan

oleh

masyarakat

dalam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuhan Paku Kawat


1. Klasifikasi Paku Hata (Tjitrosoepomo, G., 2005)
Regnum

: Plantae

Divisi

: Pterydophyta

Kelas

: Filicinae / filicopsida

Ordo

: Filices / leptosporangiatae

Family

: Lygodiaceae

Genus

: Lygodium

Spesies

: Lygodium scandens (L.) Sw

2. Nama daerah
Paku hata, paku hata beyas, paku hata leuntik (Sunda).
3. Morfologi
Akar rimpang merayap, tumbuh-tumbuhan memanjat yang
cukup besar panjang 1-10 m. Batang bulat kaku hijau kecoklatan
Daun menyirip, dengan sirip majemuk ibu tangkai daun serupa
batang, membelit kekiri, setiap kali diatas tangkai yang pendek
terdapat dua sirip yang berhadapan dengan panjang 1-4 cm, anak
tangkai pada ujungnya menebal semacam bongkol dan beruas.
Paku hata merupakan tumbuhan yang tumbuh dihutan
ditempat basah, hutan semak, liar di pinggir-pinggir jalan, semak
belukar atau di hutan-hutan, sering memanjat di pohon. Tumbuh
dari dataran rendah sampai pegunungan dari ketinggian 100m
sampai 2.000 m di atas permukaan laut ( Steenis, 2006).

4. Kandungan kimia
Seluruh bagian tanaman paku Hata mengandung saponin,
kardeloin, dan tannin (Widyaningrum, H., dkk. 2011).
5. Manfaat dan kegunaan
Paku Hata berkhasiat sebagai obat antiradang, peluru air
seni dan obat sakit kuning (Widyaningrum, H., dkk. 2011).
B. Ekstrak
1. Pengertian ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Ditjen POM RI, 1995).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang
dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut
dengan menggunakan suatu pelarut cair. Simplisia yang diekstraksi
mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang
tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain
(Ditjen POM RI, 2000).
2. Pembagian Metode Ekstraksi

Pembagian metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000),


yaitu :
a. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia
dengan

menggunakan

pelarut

dengan

beberapa

kali

pengadukan atau pengocokan pada temperatur ruangan


(kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan
masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang
akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan
terpekat akan terdesak keluar. Keuntungan dari maserasi
adalah hasil ekstraksi yang diperoleh banyak serta dapat
menghindarkan dari perubahan kimia terhadap senyawasenyawa tertentu oleh karena pemanasan, namun demikian
proses maserasi membutuhkan waktu yang relatif lama.
Walaupun demikian, maserasi merupakan proses ekstraksi
yang masih umum digunakan karena cara pengerjaan dan
peralatannya sederhana dan mudah.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu
baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada

temperatur ruangan (kamar). Proses ini terdiri dari tahapan


pengembangan, tahap maserasi antara tahap perkolasi
sebenarnya

terus

menerus

sampai

diperoleh

ekstrak

(perkolat). Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan


cara maserasi karena :
a) Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian
larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya
lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan
konsentrasi.
b) Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk
saluran tempat mengalir cairan penyari. Karena kecilnya
saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup
untuk

mengurangi

lapisan

batas,

sehingga

dapat

meningkatkan perbedaan konsentrasi.


b. Cara Panas
1. Refluks
Refluks

adalah

ekstraksi

dengan

pelarut

pada

temperature titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah


pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik. Prinsip kerja pada metode refluks yaitu
penarikan komponen kimia yang dilakukan denga cara
sampel dimasukkan kedalam labu alas bulat bersama-sama

dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan


penyari

terkondensasi

pada

kondensor

bola

menjadi

molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali


menuju labu alas bulat dan menyari sampel. Proses ini
berlangsung secara berkesinambungan sampai penyarian
sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali
setiap 3-4 jam.
2. Soxhletasi
Soxhletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan
pelarut yang selalu baru dan yang umumnya dilakukan
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.

Prinsip

kerja

metode

ini

berlangsung

secara

berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga


menguap,

uap

cairan

penyari

terkondensasi

menjadi

molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun kembali


menyari simplisia dalam selongsong dan selanjutnya masuk
kembali kedalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon.
Proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif sempurna
yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang melalui
pipa sifon.
3. Infundasi

10

Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya


dilakukan untuk menyari zat aktif yang larut dalam air dari
bahan-bahan nabati. Proses ini dilakukan pada suhu 90 0C
selama 15 menit.
4. Dekokta
Dekokta adalah proses penyarian yang umumnya
dilakukan untuk menyari zat aktif yang larut dalam air dari
bahan-bahan nabati. Proses ini dilakukan pada suhu 90-100
0

C selama 30 menit.

3. Uraian cairan penyari


Etanol dipertimbangkan sebagai cairan penyari karena
selektif, tidak beracun, netral, absorpsinya baik, tidak

mudah

ditumbuhi mikroba, dapat dicampur dengan air pada segala


perbandingan dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih
sedikit. Etanol dapat melarutkan alkaloida, minyak menguap,
glikosida, kurkumin antarakinin, flavanoid, steroid, damar dan
klorofil (Ditjen POM RI, 1986).
C. Gel
1. Defenisi gel
Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang
terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik

11

yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi
cairan (Ansel, 1989).
Gel kadang-kadang disebut jeli, merupakan sistem semi padat
terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil
atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika
massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel
digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium
Hidroksida). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase
terdispersi relatif besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan
sebagai magma (misalnya Magma Bentonit). Baik gel maupun
magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat jika
dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus dikocok
dahulu sebelum digunakan untuk menjamin homogenitas dan hal ini
tertera pada etiket. Jika massanya banyak mengandung air, gel itu
disebut jelly. Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang
tersebar serba sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak
terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang terdispersi dan
cairan (Ditjen POM, RI., 1995).
Hidrogel mengandung bahan yang terdispersi sebagai koloid
atau larut dalam air, seperti bentonit, veegum, silica, alumina, pectin,
tragacanth,

sodium

alginate,

methylcellulose,

sodium

carboxymethylcellulose, dan pluronic F-127. Sedangkan organogel

12

meliputi

hidrokarbon,

lemak

hewan/tumbuhan,

basis

sabun

berlemak, dan hydrofilik organogel (carbowax) (Allen, 2002).


2. Pembagian tipe gel
Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah,
gel digolongkan menjadi sistem dua fase, (misalnya gel alumunium
hidroksida). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase
terdispersi relatif besar, massa gel kadangkadang dinyatakan
sebagai magma (misalnya magma bentonit). Baik gel maupun
magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semi padat jika
dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus di
kocok dahulu sebelum digunakan untuk menjamin homogenitas dan
hal ini tertera pada etiket.
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang yang
tersebar serba sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak
terlihat adanya ikatan antara molekul makro terdispersi dan cairan
(Ditjen, POM RI., 1995).
3. Indikasi atau penggunaan tipe gel
Kegunaan sediaan gel secara garis besar dibagi menjadi tiga
seperti :
a. Gel merupakan suatu sistem yang dapat diterima untuk
pemberian oral, dalam bentuk sediaan yang tepat, atau
sebagai kulit kapsul yang dibuat dari gelatin dan untuk
bentuk sediaan obat long-acting yang diinjeksikan secara
intramuskular.

13

b. Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara


topikal (non steril) atau dimasukkan kedalam lubang
tubuh atau mata (gel steril).
c. Untuk kosmetik gel telah digunakan dalam berbagai
prodak kosmetik, termasuk pada shampo, parfum, pasta
gigi, kulit dan sediaan perawat rambut (Lachman,1994).
4. Keutungan sediaan gel
a. Waktu kontak lama
Kulit mempunyai barrier yang cukup tebal, sehingga
dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk zat aktif dapat
berpenetrasi
b. Kadar air dalam gel tinggi
Jumlah air yang banyak dalam gel akan menghidrasi
stratum corneum sehingga terjadi perubahan permeabilitas
stratum corneum menjadi lebih permeabel terhadap zat aktif yang
dapat meningkatkan permeasi zat aktif.
c. Resiko timbulnya peradangan ditekan
Kandungan air yang banyak pada gel dapat mengurangi
resiko peradangan lebih lanjut akibat menumpuknya lipida pada
pori-pori (Lieberman, 1997).
5. Kerugian sediaan gel
d. Untuk hidrogel harus menggunakan zat aktif yang larut
didalam air sehingga diperlukan penggunaan peningkat
kelarutan seperti surfaktan agar gel tetap jernih pada
berbagai perubahan temperatur, tetapi gel tersebut
sangat mudah dicuci atau hilang ketika berkeringat,

14

kandungan surfaktan yang tinggi dapat menyebapkan


iritasi dan harga lebih mahal (Lachman,1994).
D. Inflamasi
1. Pengertian inflamasi
Istilah inflamasi berasal dari
bahasa latin inflammare yang berarti membakar. Inflamasi disebut
juga dengan peradangan,merupakan respon biologis berupa reaksi
vaskuler dengan manifestasi berupa pengiriman cairan,senyawa
terlarut maupun sel-sel dari sirkulasi darah menuju ke jaringan
interstisial pada daerah luka.Reaksi tersebut terkoordinasi dengan
baik,bersifat

dinamis

dan

kontinyu.

Peradangan

tersebut

merupakan respon tubuh terhadap adanya kerusakan sel atau


jaringan yang disebabkan karena bahan kimia,ultraviolet,panas
atau

adanya

rangsangan

agen

berbahaya

misalnya

virus,bakteri,antigen.istilah inflamasi tidak identik dengan infeksi.


Inflamasi salah satunya disebabkan karena infeksi. Infeksi sendiri
disebabkan

karena

invasi

mikroorganisme

patogen

yang

mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan.(Nugroho,2012).


2. Penyebap terjadinya inflamasi
Inflamasi atau peradangan terjadi karena adanya kerusakan
sel atau jaringan yang disebapkan karena bahan kimia, ultraviolet,
panas, atau adanya rangsangan agen berbahaya misalnya virus,
bakteri, antigen.
3. Patogenesis inflamasi

15

Radang

merupakan

mekanisme

pertahanan

tubuh

disebabkan adanya respons jaringan terhadap pengaruh-pengaruh


merusak baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh.
Pengaruh-pengaruh merusak (noksi) dapat berupa noksi fisika,
kimia, bakteri, parasit dan sebagainya. Reaksi radang dapat diamati
dari gejala-gejala klinis disekitar jaringan seperti adanya panas
(kalor), timbul warnakemerah-merahan (rubor) dan pembengkakan
(tumor). Kemungkinan disusul perubahan struktur jaringan yang
dapat menimbulkan kehilangan fungsi. Kerusakan sel akibat
adanya niksi akan membebaskan berbagai mediator atau substansi
radang

antara

lain

histamin,

bradikinin

kalidin,

serotonin,

prostaglandin, leukotrien (Mansjoer, 1999)


4. Tanda dan gejala inflamasi
a. Rubor (Kemerahan)
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama
yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu
reaksi peradangan mulai timbul makaa artriol yang mensuplai
darah ke daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih
banyak darah mengalir kedalam mikrosirkular lokal. Kapilerkapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang
dengan

cepat

dan

terisi

penuh

dengan

darah

yang

menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut.


Timbulnya kemerahan pada permulaan peradangan diatur oleh

16

tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui


pengeluaran zat seperti histamin.
b. Kalor (Panas)
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan.
Panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi
pada permukaan tubuh yakni kulit. Daerah peradangan pada
kulit menjadi lebih panassss dari sekelilingnya, sebab darah
dengan suhu 37 C yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah
yang terkena lebih banyak dari pada yang disalurkan kedaerah
normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerahdaerah yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena
jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37 OC.
c. Dolor (Rasa sakit)
Dolor atau rasa sakit dari reaksi peradangan dapat
dihasilkan dengan berbagai cara.adanya regangan dan distorsi
jaringan akibat edema mengakibatkan peningkatan tekanan
lokal yang juga dapat menimbulkan rasa sakit. Pengeluaran zat
kimia tertentu seperti bradikinin, prostaglandin, histamin atau
zat kimia bioaktif lainnya diketahui juga dapat mengakibatkan
rasa sakit karena dapat merangsang syaraf.
d. Tumor (Pembengkakan)
Gejala yang paling menyolok dari peradangan akut adalah
tumor atau pembangkakan. Hal ini terjadi akibat adanya

17

peningkatan permeabilitas dinding kapiler serta pengiriman


cairan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang cedera. Pada
peradangan, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel
dan lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama
albumin, yang diikuti oleh molekul yang lebih besar sehingga
plasma jaringan mengandung lebih banyak protein dari p ada
biasanya yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk ke
dalam

jaringan

sehingga

menyebabkan

jaringan

menjadi

bengkak.
e. Funsio laesa (Gangguan fungsi)
Gangguan fungsi yang diketahui merupakan konsekuensi
dari suatu proses radang. Gerakan yang terjadi pada daerah
radang, baik yang dilakukan secarasadar ataupun secara reflak
akan mengalami hambatan oleh rasa sakit, pembengkakan yang
hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerakjaringan.
(Price, dkk., 1995)
E. Mekanisme Terjadinya Inflamasi
Terjadinya Inflamasi adalah reaksi setempat dari jaringan atau
terhadap suatu rangsang atau cedera. Setiap ada cedera, terjadi
rangsangan untuk dilepaskannya zat kimia tertentu yang akan
menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang
tersebut, diantaranya adalah histamin, serotonin, bradikinin, leukotrien
dan prostaglandin. Histamin bertanggung jawab pada perubahan yang
paling awal yaitu menyebabkan vasodilatasi pada arteriol yang

18

didahului dengan vasokontiksi awal dan peningkatan permeabilitas


kapiler, hal ini menyebabkan perubahan distribusi sel darah merah.
Oleh karena aliran darah yang lambat, sel darah merah akan
menggumpal, akibatnya sel darah putih terdesak ke pinggir, makin
lambat aliran darah maka sel darah putih akan menempel pada
dinding pembuluh darah makin lama makin banyak. Perubahan
permeabilitas yang terjadi menyebabkan cairan keluar dari pembuluh
darah dan berkumpul dalam jaringan. Bradikinin dan kalidin bereaksi
lokal

menimbulkan

rasa

sakit,

vasodilatasi,

meningkatkan

permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab radang, prostaglandin


berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator lainnya (Mansjor,
1999).
Asam arakidonat merupakan prekursor dari sejumlah besar
mediator inflamasi. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid
seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas berada dalam
fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh
suatu rangsangan maka enzim fosfolipase diaktivasi untuk mengubah
fosfolipid tersebut menjadi asam arakidonat, kemudian sebagian
diubah oleh enzim siklooksigenase atau COX dan seterusnya menjadi
prostaglandin, prostasiklin dan tromboksan. Bagian lain dari asam
arakidonat diubah oleh enzim lipooksigenase menjadi leuketrien.
Siklooksigenase terdiri dari dua iso enzim, COX 1 dan COX 2.
Isoenzim COX 1 terdapat dikebanyakan jaringan seperti di ginjal,

19

paru-paru, platelet dan saluran cerna sedangkan COX 2 tidak terdapat


di jaringan, tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel
radang. Leuketrien yang dibentuk melalui alur lipooksigenase yaitu
LTA4 yang tidak stabil kemudian oleh hidrolase diubah menjadi LTB4
atau LTC4, yang terakhir bisa diubah lagi menjadi LTD4 dan LTE4,
selain pada rema, leukotrien juga berperan pada proses peradangan
dan alergi pada asma. Leukotrien dibentuk di granulosit eosinofil dan
berkhasiat sebagai vasokontriksi di bronkhus dan mukosa lambung
(Tjay, 2002).
F. Obat-obat Antiinflamasi
Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki
aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat
dicapai melalui berbagai cara, yaitu menghambat pembentukan
mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit
ke daerah radang, menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel
tempat pembentukannya.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi
dibagi menjadi dua golongan utama yaitu :
1. Obat-obat Antiinflamasi Golongan Steroid (Glukokortikoid)
Bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin
dari sel- sel sumbernya. Efek glukokortikoid berhubungan dengan
kemampuannya untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin
yang dapat menghambat kerja enzimatik fosfolifase, suatu enzim

20

yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat dan


metebolitnya seperti prostaglandin (PG), leukotrien (LT), prostasiklin
dan

tromboksan.

glukokortikoid

dapat

memblok

jalur

siklooksigenase dan lipooksigenase, sedangkan NSAID (nonsteroid

antinflammatory

drugs)

hanya

membolok

jalur

siklooksigenase (Katzung, 2002).


Contoh obat-obat Steroid : (Neal,2006)
a) Hidrokortison : digunakan secara oral untuk terapi pergantian,
secara intravena pada syok dan status asma tikus, dan secara
topikal (misalnya salep pada eksema, enema pada kolitis
ulseratif).
b) Prednisolon : merupakan obat yang paling banyak digunakan
secara oral pada inflamasi dan penyakit alergi.
c) Betanetason dan Deksametason : sangat poten dan tida
mempuyai efek menahan garam. Hal ini membuat betametason
dan deksametason berguna khususnya untuk terapi dosis tinggi
pada kondisi seperti edema serebri, dimana retensi air bisa
menjadi penyulit.
d) Beklometason dan Budenosit : menembus membran dengan
buruk dan lebih aktif secara topikal daripada bila diberikan oral.
e) Triamsinolon : digunakan pada asma berat dan dengan injeksi
intra artikular untuk inflamasi sandi lokal
5. Obat-obat Antiinflamasi Golongan Non Steroid (OAINS)
Bekerja

melalui

mekanisme

lain

seperti

inhibisi

siklooksigenase yang berperan pada biosintesis prostaglandin.


OAINS merupakan obat-obat seperti aspirin yang menghambat

21

sintesa prostaglandin. Pada inflamasi prostaglandin berperan


dalam menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler. Akan tetapi, inhibisi sintesis prostaglandin oleh OAINS
mengurangi inflamasi daripada menghilangkannya karena obat ini
tidak menghambat mediator inflamasi lainnya. Meskipun demikian,
pada sebagian besar pasien dengan artritis reumatoid, efek
antiinflamasi OAINS yang relatif ringan mengurangi nyeri, kekakuan
dan pembengkakan. Namun OAINS tidak mengubah perjalanan
penyakit (Neal, 2006).
Obat-obat antiinflamasi

golongan NSAIDadalah sebagai

berikut: (Ganiswara, 1995).


a. Derivat Asam fenilasetat contoh: diklofenak, fenklofenak
b. Derivat Asam asetat-Inden/Indol contoh: indometasin, sulindak
b. Derivat Asam salisilat contoh: aspirin, salsalat, diflunisal
c. Derivat Asam propionat contoh: ibuofen, ketoprofen, naproksen
d. Derivat Asam fenamat contoh: asam mefenamat
e. Derivat Pirazolon contoh: fenilbutazon, oksifenbutazon
f. Derivat Oksikam contoh: piroksikam, tenoksikam
g. Derivat Para-aminofenol contoh: asetaminofen
G. Metode pengujian Antiinflamasi
Metode pengujian aktivitas antiinflamasi suatu bahan calon
obat dilakukan akan berdasarkan kemampuan obat uji mengurangi
atau menekan derajat udema yang diinduksi pada hewan percobaan.
Sekitar 12 tehnik pengujian telah diperkenalkan untuk mengevaluasi

22

antiinflamasi ini. Perbedaan diantara metode-metode pengujian


tersebut terletak pada cara menginduksi udema pada hewan
percobaan, yaitu induksi secara kimia (menggunakan berbagai bahan
kimia

dan

berbagai

cara

pemberian

induktor),

secara

fisika

(penyinaran radiasi ultraviolet), secara mekanik dan induksi oleh


mikroba (Ajuvan Freund). Umumnya hewan perobaan yang digunakan
adalah tikus, walaupun demikian terdapat juga beberapa metode yang
menggunakan mencit atau marmut sebagai hewan percobaan
(Penapisan farmakologi,1993).
H. Uraian Hewan uji
1. Klasifikasi Mencit ( Mus musculus)
Kigdom
: Animalia
Pilum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Subclass
: Theria
Ordo
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Mus
Species
: Mus musculus
2. Karakteristik Hewan Uji Mencit
Masa tumbuh
: 6 bulan
Lama hidup
: 2 sampai 3 tahun
Tekanan darah
: 147/106 MmHg
Suhu tubuh
: 37,50C sampai 39,5 0C
Laju respirasi
: 136 sampai 217 /menit
Volume darah
: 7,3% Berat Badan
Masa puberitas
: 35 hari
Masa hamil
: 19 sampai 20 hari
Masa laktasi
: 21 hari
Jumlah 1 kali hamil : 4 sampai 12 ekor
Frekuensi hamil
: 4 kali tiap tahun
Masa beranak
: sepanjang tahun
Berat badan
: 13,47 gram
Denyut jantung
: 36 kali per menit (Malole, 1989)

23

3. Morfologi
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan pengerak yang
dapat berkembang biak dengan cepat, mudah dipelihara dalam
jumlah banyak, variasi genetika yang cukup besar, dapat hidup
dalam berbagai iklim, bersifat penakut fotofobik, cenderung
berkumpul dengan sesamanya, sembunyi dan aktif pada malam
I.

hari (Malole, 1989).


Uraian Bahan
1. Aquadest (Ditjen POM RI, 1979)
Nama resmi

: AQUA DESTILLATA

Nama lain

: Air suling, aquadest

Berat molekul

: 18,02

Rumus molekul

: H2O

Pemerian

: Cairan jernih, tidak berwarna, tidak


berbau, dan tidak mempunyai rasa

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan

: Pelarut

2. Carbopol (Rowe, 2009)


Nama Resmi

: CARBOMER

Nama Lain

: Acrypol, Acritamer, Carbopol, Carboxy


polymethylene,

Polyacrylic

acid,

Pemulen, Acrylic
Pemerian

: Putih, serbuk halus, bersifat asam,


higroskopik, dengan sedikit karakteristik
bau.

24

Kelarutan

: Larut di dalam air, di dalam etanol


(95%) dan gliserin, dapat terdispersi di
dalam air untuk membentuk larutan
koloidal bersifat asam.

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik.

Kegunaan

: Bahan

pengental

viskositasnya

yang

baik,

tinggi, menghasilkan

gel yang bening.


Range

: 0,5 % - 2,0 %

3. Gliserin (Ditjen POM RI, 1979)


Nama resmi

: GLYCEROLUM

Nama lain

: Gliserin

Rumus bangun

: C3H8O3

Pemerian

: Cairan

seperti

sirop,

jernih,

tidak

berwarna, tidak berbau, manis diikuti


rasa

hangat.

Higroskopik

disimpan

beberapa lama pada suhu rendah


memadat membentuk massa hablur
tidak berwarna yang tidak melebur
hingga suhu mencapai lebih kurang
20oC.
Kelarutan

: Dapat

bercampur

dengan

air

dan

dengan etanol (95%) P; praktis tidak

25

larut alam kloroform P dan dalam eter P


dan dalam minyak lemak.
Kegunaan

: Humektan (pelembab)

Range

: 5,0% 15% (Rowe, 2009)

4. Metil Paraben (Ditjen POM RI, 1979)


Metil paraben banyak digunakan sebagai antimikroba
dalam kosmetik, prodak makanan dan formulasi farmasi dan baik
digunakan dalam kombinasi dengan antimikroba lain. Namun metil
paraben dapat menurunkan kelarutan terhadap air sehingga metil
paraben sering dicampur dengan bahan tambahan yang berfungsi
meningkatkan kelarutan. Kemampuan pengawet metil paraben
ditingkatkan dengan penambahan propilenglikol (Rowe.,dkk, 2006).
Nama Resmi
: METHYLIS PARABENUM
Nama Lain
: Nipagin
Pemerian
: Serbuk hablur halus putih, hampir tidak
berbau,

tidak

mempunyai

rasa,

kemudian agak membakar diikuti rasa


Kelarutan

tebal
: Larut dalam 500 bagian air, dalam 20
bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian
etanol (95%)p, dan dalam 3 bagian
aseton P, mudah larut dalam eter P dan
dalam larutan alkali hidroksida, larut
dalam 60 bagian gliserol P panas dan
dalam 40 bagian minyak lemak nabati
panas.

26

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan

: Sebagai zat pengawet

Range

: 0.02% - 0,3% (Rowe, 2009)

5. Trietanolamin (Rowe, 2006)


Nama resmi

: TRIETHANOLAMIN

Nama lain

: Trolamin

Pemerian

: Tidak berwarna atau kuning pucat,


sedikit berbau ammonia

Kelarutan

: Tidak larut dalam air dan alkohol, larut


dalam kloroform, sedikit larut dalam
eter atau benzene

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan

: Pengemulsi dan pensuspensi

Range

: 2% - 4% (Rowe, 2006)

27

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen
yang merupakan penelitian laboratorium dengan menggunakan
rancangan eksperimental sederhana, yaitu untuk mengetahui efek
antiinflamasi

ekstrak daun paku Hata (Lygodium scandens L.Sw)

terhadap volume udem buatan pada mencit ( Mus musculus )


B. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April 2015 di
Laboratorium

Fitokimia,

Laboratorium

Teknologi

Farmasi

dan

Biofarmaseutika Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Timur.


C. Alat dan Bahan
1.

Alat-alat yang digunakan; Alat suntik, alat maserasi,

batang pengaduk, blender, cawan porselin, corong, erlemeyer 100


ml, 250 ml (pyrex), gelas ukur 50 ml, 100 ml, gegep kayu, gunting,
kain kasa, kandang hewan, labu ukur 100 ml (pyrex), pipet volume,
pletysmomerter, pipet tete, routavavor, stopwatch, thermometer,
timbangan analitik, dan timbangan kasar.
2.
Bahan yang digunakan; aluminium foil, aquadest,
carbopol , ekstrak daun paku hata (Lygodium scandens L.Sw),
etanol 70%, Gliserin, putih telur, metil paraben, dan Trietanolamin
(TEA), hewan uji mencit (Mus musculus)
D. Cara Kerja
1. Pengambilan sampel
28

28

Sampel yang digunakan adalah daun paku Hata (Lygodium


scandens L.Sw) yang diperoleh dari Kota Ternate
2. Pengolahan sampel
Sampel berupa daun paku Hata

(Lygodium

scandens L.Sw) diambil lalu dicuci bersih setelah itu dikeringkan


dengan cara diangin-angin tanpa terkena sinar matahari langsung
lalu dipotong kecil-kecil.
3. Pembuatan ekstrak daun paku Hata (Lygodium scandens L.Sw)
secara maserasi
Daun paku Hata (Lygodium scandens L.Sw)
yang telah diolah menjadi simplisia ditimbang sebanyak 500 gram,
kemudian dimasukkan ke dalam alat maserasi dan ditekan dengan
batang pengaduk hingga rata permukaannya, dimasukkan cairan
penyari etanol 70% sebanyak 2000 ml, hingga simplisia tersebut
terendam seluruhnya dalam cairan penyari, bejana ditutup.
Kemudian disimpan selama 5 hari pada tempat yang terlindung dari
cahaya sambil sesekali diaduk. Ekstrak cair yang diperoleh dari
proses maserasi ini kemudian diuapkan dengan rotavapor sampai
diperoleh ekstrak kental.
4. Rancangan formula dan pembuatan gel
a. Rancangan formula sediaan gel antiinflamasi ekstrak daun
Paku Hata (Lygodium scandens L.Sw)
F1 %
F2 %
F3 %
F4 %
Bahan
Ekstrak daun paku hata
Carbopol
TEA
Gliserin
Metil Paraben
Aquadest

ad

(b/v)
0

(b/v)
2

(b/v)
4

(b/v)
6

1
2
20
0,2

1
2
20
0,2

1
2
20
0,2

1
2
20
0,2

100 ml

100 ml

100 ml

100 ml

29

(Handbook of Pharmaceutical Excipient press, 2009 )


Keterangan : F1 = formula kontrol
F2 = formula konsentrasi 2 %
F3 = formula konsentrasi 4 %
F4 = formula konsentrasi 6 %
b. Pembuatan gel
Formula 1 Disiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan.

Ditimbang semua bahan yang digunakan. Metil

paraben dilarutkan dalam air panas kemudian didinginkan.


Dimasukkan Carbopol dalam larutan metil paraben kemudian
didiamkan selama 1x24 jam. Setelah 1x 24 jam dihomogenkan.
Ditambahkan trietanolamin, gliserin, diaduk hingga homogen.
Formula 2 Disiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan.

Ditimbang semua bahan yang digunakan. Metil

paraben dilarutkan dalam air panas kemudian didinginkan.


Carbopol dimasukkan kedalam larutan metil paraben kemudian
didiamkan selama 1x24 jam. Setelah 1x 24 jam dihomogenkan.
Ditambahkan trietanolamin, gliserin, kemudian diaduk hingga
homogen. Dimasukan ekstrak daun Paku Hata 2% kedalam
lumpang, ditambahkan etanol kemudian digerus sampai
homogen, dimasukan basis gel kedalam lumpang kemudian,
digerus hingga homogen. Diulangi perlakuan yang sama untuk
ekstrak daun Paku Hata 4%, dan 6%.
5. Evaluasi Sediaan Gel Ekstrak Paku Hata
a. Organoleptis

30

Pengamatan organoleptik meliputi bentuk, warna, bau


dari sediaan (Anief, 2007).
b. Pengujian Daya sebar
Sebanyak 1 gram sediaan gel diletakkan dengan hatihati diatas kaca berukuran 20x20. Selanjutnya ditutup
dengan kertas mika dan diberikan pemberat diatasnya
hingga bobot mencapai 125 gram, kemudian diukur
diameter yang terbentuk setelah 1 menit (Misal et al, 2012).
c. Pengujian Homogenitas
Gel diambil secukupnya kemudian dioleskan pada plat
kaca,

digosokkan

dan

diratakan.

Massa

gel

harus

menunjukan susunan homogen tidak terlihat adanya bahan


padat pada kaca (Hapsari, 2014).
d. Pengujian pH
Pengujian pH larutan dalam hal ini menggunakan pH
meter (Depkes RI, 1995).
e. Pengujian Viskositas
20 gram gel dimasukkan kedalam cup, kemudian
dipasang spindel dan rotor dijalankan. Setelah viskometer
menunjukan angka yang stabil maka hasil dicatat (Hapsari,
2014).
6. Pembuatan Albumin
Diambil putih telur sebanyak 1 ml, kemudian dilarutkan
dalam 100 ml aqua pro injeksi, kemudian dikocok hingga
homogen.
7. Uji aktivitas sediaan gel
1. Penyedian hewan uji
Hewan uji yang digunakan yaitu mencit (Mus
musculus) yang berbadan sehat dengan bobot badan 20-30

31

g, kemudian diadaptasikan dengan lingkungan sekitarnya


selama 1-2 minggu
2. Perlakuan terhadap mencit
Mencit digunakan sebanyak 15 ekor, dibagi atas 2
kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan,
kelompok perlakuan terbagi menjadi 3 kelompok. Tiap
kelompok terdiri dari 3 ekor mencit. Kemudian diukur volume
awal kaki mencit dalam pletysnometer dicatat volume yang
terjadi sebagai volume awal telapak kaki mencit selanjutnya
disuntikkan putih telur 0,1 ml secara subkutan kemudian
diukur kembali volume udema dengan pletysnometer.
Pada kelompok I diberi gel tanpa ekstrak sebagai
kontrol negatif dan kelompok perlakuan yaitu, kelompok II, III
dan IV diberi sediaan gel ekstrak daun Paku Hata dengan
konsentrasi masing-masing 2%, 4%, 6% dan kelompok V
diberi voltaren gel sebagai pembanding
dioleskan

pada

bagian

yang

dengan cara

bengkak.

Kemudian

pengamatan dan pengambilan data pada interval waktu 30


menit, 60 menit, 90 menit dan 120 menit
D. Pengumpulan data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dikumpulkan
kemudian dilakukan pengolahan data.
E. Analisis data
Data yang telah dikumpulkan dari hasil pengamatan
ditabulasi dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan
metode Analisis Varian (ANAVA)

32

33

DAFTAR PUSTAKA
Allen, dkk., 2002. The Art, Science and Technology of Pharmaceutical
Compounding, Second Edition, America Pharmaceutical
Association, Washington D.C.
Ansel H.C, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi IV,
Penerbit Universitas Indonesia.
Ditjen POM RI, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. :Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Hal. 1, 10-11
Ditjen POM RI, 1977. Meteri Medika Indonesia Jilid I. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta
Ditjen POM RI., 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta
Ditjen POM RI., 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta
Ditjen POM RI., 1986. Sediaan galenika, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Dwidjo. 2007. Penelitian Antibakteri dan Antiinflamasi Babandotan dan
Jahe. http//www.kbigemari.com
Ganiswara, S. G., 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Bagian
Farmakologi FK UI, Jakarta
Goodman G., 2006. The Pharmacological Basis of Therapeutics Eleventh
Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc: USA.
Kelompok Kerja Ilmiah Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto
Medica, 1993, Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan
Pengujian Klinik, Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam
Phyto Madica, Jakarta.
Katzung, B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku II. Edisi VIII.
Jakarta. Penerbit Salemba Medika. Hal. 449 - 454
Lachman, L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi Kedua. Jilid
Kedua. UI Press. Jakarta. Hal. 1098, 1105.

34

Lieberman, dkk., 1997. Pharmaceutical Dosage Form: Disperse Sytems,


Vol. 1. Marcell Dekker Inc. New York: Hal. 315-319.
Mansjoer, S. 1999. Mekanisme Kerja Obat Antiradang. Media Farmasi.
Malole, M.B.M,. dkk.,1989, Penggunaan Hewan-Hewan Uji Laboratorium,
Penelaah Maduki, Departemen Pendidikan Tinggi Pusat Antara
Universitas Bioteknologi, IPB, Bogor
Neal, M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Penerbit
Erlangga. Jakarta. Hal. 70 -73
Nugroho dkk., 2010. Lokakarya Nasional Tanaman Obat Indonesia Edisi
2. Asia Pacific Forest Genetic Resources Programme.
Price, S. A. dkk., 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 4. cetakan Pertama. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal. 35-50
Rowe, R.C., dkk., 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients Fifth
Edition. Lexi-Comp: American Pharmaceutical Association, Inc.
Steenis, dkk., 2006. Flora.Penerbit PT, Pradnya Paramita, jakarta
Tjay HT., dkk., 2007. Obat-Obat Penting, Penerbit PT,Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.
Tjitrosoepomo, G., 2005. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. Hal. 104
Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Cetakan II.
Penerjemah : Soedani Noerono S. UGM Press. Yogyakarta.
Wibowo, dkk., 2001. Farmakoterapi Dalam Neurologi , Edisi Pertama,
Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Widyaningrum, H., dkk. 2011. Kitab Tanaman Obat Nusantara. MedPress
(Anggota IKAPI). Jakarta. Hal 946-947.
Wijayakusuma, H. M. 1996. Tanaman Berkhasiat Obat Di Indonesia. Jilid
IV. Cetakan II. Jakarta: Pustaka Kartini. Hal. 7

35

Daun Paku Hata

Mencit 15 ekor

Maserasi
Pemeliharaan
Pembuatan sediaan
Gel ekstrak daun Paku Hata

Ditimbang

Dikelompokkan

Carbopol , TEA, Gliserin, metil paraben, Aquadest, ekstrak

Pengukuran volume awal kaki mencit

Penyuntikkan putih telur 0,1 ml

Diikur kembali volume kaki mencit

Sediaan gel ekstrak daun Paku Hata 2%, 4%, da

Perlakuan

Kelompok II sediaan gel


Kelompok
ekstrak daun
III sediaan
Paku Hata
gel
Kelompok
ekstrak
2% b/vIV
daun
sediaan
paku gel
Hataekstrak
Kelompok
4% b/vdaun
V gel
paku
Voltaren
Hata 6%
se
Kelompok I kontrol tanpa ekstrak

Pengambilan data pada interval waktu (30,60,90dan 120)

Pengumpulan data

Pembahasan dan kesimpulan

36

Gambar 2: Skema kerja uji daya antiinflamasi sediaan gel ekstrak daun
paku Hata (Lygodium scandens L. Sw.) terhadap volume
udema buatan pada mencit (Mus musculus)

Anda mungkin juga menyukai