Anda di halaman 1dari 30

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Sawo
a. Taksonomi

Klasifikasi sawo adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tanaman)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)

Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)

Divisio : Magnoliophyta (berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Subkelas : Dilleniidae

Ordo : Ebenales

Familia : Sapotaceae

Genus : Manilkara Adans. Manilkara

Species : Manilkara zapota (L.) van Royen - Sapodilla

(National Tropical Botanical Garden, 2014).


commit to user

5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

b. Distribusi

Manilkara zapota L. adalah tanaman asli Amerika Tengah

terutama daerah Meksiko yang tersebar hingga Amerika Selatan

(National Tropical Botanical Garden, 2014). Secara umum juga dapat

tumbuh di daerah yang beriklim tropis, daerah Karibia, Asia Tenggara

hingga Australia. Di Indonesia, tanaman ini disebut sebagai pohon sawo

dan dibawa oleh bangsa Spanyol dari tempat asalnya. Ditempat asalnya,

tanaman ini disebut sebagai zapotilo dari bahasa Spanyol (Orwa et al,

2009).

c. Morfologi

Manilkara zapota L. merupakan tanaman berkayu. Bagian batang

pohon sawo memiliki getah berwarna putih. Proses pertumbuhannya

lambat, namun dapat berumur panjang (perenial). Pertumbuhanya dapat

mencapai tinggi 18 meter pada proses budidaya dan mencapai hingga

30 meter pada alam terbuka. Daunnya tumbuh sangat rimbun dan

terletak di tiap ujung ranting dengan formasi spiral serta tampilan

berwarna hijau yang tampak mengkilap. Didukung dengan sistem akar

yang kuat serta dapat mengakar jauh, menjadikan pohon sawo

merupakan tanaman yang kuat. Batangnya yang mengandung getah

putih tersusun secara piramidal dimana cabang muda akan tersusun

secara horisontal (National Tropical Botanical Garden, 2014).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

Gambar 2.1. Tanaman Sawo (National Tropical Botanical Garden, 2014).

d. Khasiat dan Penggunaan

Secara umum, beberapa bagian dari tanaman sawo telah terbukti

secara ilmiah dalam penelitian untuk dikembangkan dalam dunia

pengobatan. Penggunaan secara empiris dari tanaman sawo telah

digunakan pada beberapa jenis penyakit. Secara umum, hampir semua

bagian tanaman sawo dapat digunakan untuk pengobatan. Tanaman

sawo dengan kandungan tanin pada buahnya dapat dimanfaatkan untuk

menghentikan diare, terutama rebusan buah muda. Kombinasi dari buah

muda dengan bunga tanaman sawo dimanfaatkan untuk keluhan-

keluhan penyakit pernafasan. Selain itu, bagian daun yang telah tua

dengan warna kekuningan dimanfaatkan untuk penyembuhan batuk,

demam, dan diare. Kulit dari batang kayu tanaman sawo dapat direbus

dan dijadikan penurun suhu pada keluhan demam dan menghentikan

commit to user
diare dan disentri. Sedangkan bagian biji buah yang dihaluskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

memiliki efek diuretik dan berpengaruh pada pengeluaran batu ginjal

(National Tropical Botanical Garden, 2014). Pada penelitian yang

dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, secara khusus buah sawo

telah digunakan dalam praktik pengobatan tradisional dengan

menggunakan perasan air dari parutan buah sawo untuk mengatasi

keluhan diare (Rochmah et al, 2013)

Penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan berbagai

bagian dari tanaman sawo telah cukup banyak dilakukan. Efek anti

diare ditemukan dalam pemberian ekstrak kulit kayu tanaman sawo

pada tikus yang disuntik dengan dosis.bahan ekstrak sebesar 500 mg/kg

dengan penghambatan induksi akumulasi cairan dalam saluran

intestinal. Selain itu, dalam penelitian yang sama juga didapatkan hasil

antinociceptive dengan mekanisme penghambatan cyclooxygenase atau

lipooxygenase (Hossain et al, 2012). Efek analgesik juga ditemukan

pada bagian daun tanaman sawo. Dengan mekanisme penghambatan

yang sama melalui penghambatan cyclooxygenase dan lipooxygenase

yang berasal dari kandungan flavanoid dan alkaloid pada daun tanaman

sawo (Yegash et al, 2011). Bagian daun dari tanaman sawo juga diteliti

untuk mengetahui kandungan antioxidant dan antimikroba dengan

berbagai pelarut dan memiliki hasil yang signifikan dalam pelarut

acetone (Mital et al, 2012). Efek dari ekstrak daun sawo terhadap

aktivitas antiinflamasi dan antipiretik pada tikus putih juga

menunjukkan hasil yang berpengaruh pada proses edema dan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

penurunan suhu tubuh dari hewan coba (Amlan et al, 2013). Penelitian

berkembang dengan penggunaan biji dari tanaman sawo sebagai agen

antihelmintik dengan hasil yang cukup signifikan melalui mekanisme

yang hampir sama dengan efek yang didapatkan pada obat standar

piperazine (Hoskeri et al, 2012). Pada bagian akar tanaman sawo juga

terdapat efek antibakteri yang diteliti pada bakteri E. Coli dan

Staphylococcus aureus yang dibandingkan dengan tetrasiklin dan

menunjukkan aktivitas antibakteri mendekati hasil obat pembanding

(Sakala et al, 2013). Bagian bunga tanaman sawo juga telah diteliti

dengan menggunakan analisis fitokimia untuk mengetahui kandungan

yang didapat dari ekstrak methanol maupun air. Hasilnya didapatkan

kandungan flavonoid, tanin, alkaloid saponin dan quinon yang

berinteraksi secara bersamaan terhadap aktivitas antimikroba dan

antioxidant secara in vivo (Priya et al, 2014).

Secara khusus, penelitian terhadap buah dari tanaman sawo lebih

banyak dilakukan untuk mengetahui kandungan antioksidan yang

terkandung di dalamnya untuk dapat diketahui manfaat dari konsumsi

buah sawo yang umum dilakukan oleh masyarakat sebagai salah satu

bahan makanan yang cukup mudah didapatkan. Ekstrak buah sawo

mengandung kadar antioksidan yang tinggi melalui jumlah kadar Total

Phenolic Contenct (TPC) dan Antioxydant Activity (AA) pada proses

ektraksi dengan menggunakan etanol 80% selama 2 jam pada suhu 40-
0
C (Woo et al, 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

e. Kandungan Kimia

Kandungan kimia suatu tanaman didapatkan dari hasil analisis

fitokimia melalui proses ekstraksi. Kandungan kimia yang didapatkan

dapat berbeda-beda dan tergantung dari pelarut yang digunakan dalam

proses ekstraksi. Proses ekstraksi buah tanaman sawo pada umumnya

menggunakan pelarut air dan methanol. Indikator proses ekstraksi

tersebut adalah untuk mendapatkan 9 bahan kimia yang umumnya

terdapat dalam tanaman pada penelitian kandungan antioksidan. Bahan

kimia yang menjadi indikator kandungan kimia tanaman sawo adalah

karbohidrat, protein, asam amino, steroid, glikosida, saponin, alkaloid,

flavonoid, dan tanin (Jamuna et al, 2011)

Kandungan bahan kimia tersebut merupakan metabolit dari

tanaman yang dihasilkan sebagai metabolit primer dan sekunder.

Metabolit primer seperti karbohidrat, protein dan asam amino

merupakan bahan kimia yang berperan penting dalam kehidupan dan

pertumbuhan tanaman itu sendiri seperti dalam proses fotosintetis.

Sementara, metabolit sekunder merupakan bahan kimia yang menjadi

bahan tambahan dan hasil produksi tanaman dalam melindungi diri dari

serangan bakteri, jamur, dan virus, proses interaksi antar tanaman, serta

menjaga tanaman dari tanaman pengganggu Meskipun jumlah metabolit

sekunder dalam suatu tanaman hanya sekitar 25 % dari total bagian

tanaman tersebut, fungsi dari metabolit sekunder yang terdapat dalam


commit to user
tanaman sangat potensial untuk dimanfaatkan sesuai fungsi bahan kimia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

yang terkandung bagian-bagian tanaman maupun tanaman tersebut.

Kandungan metabolit sekunder dari tanaman dan tanaman dapat

bermanfaat bagi tubuh manusia maupun dapat mengganggu fungsi tubuh

manusia dengan zat yang dapat memiliki efek racun bagi tubuh (Alan et al,

2006).

Kandungan kimia yang berperan dalam proses penyembuhan luka

terkandung dalam Manilkara zapota antara lain :

1) Flavonoid

Flavonoid merupakan metabolit sekunder tanaman yang

termasuk ke dalam golongan fenolik. Flavonoid merupakan

bentuk fenolik terbesar dan golongan fenolik yang paling banyak

ditemukan dalam tanaman. Flavonoid ditemukan dalam jumlah

besar pada lapisan epidermis daun dan kulit buah. Fungsi dari

flavonoid dalam pertumbuhan tanaman adalah dalam melindungi

pengaruh sinar ultraviolet pada tanaman, pigmentasi tanaman, dan

stimulasi nitrogen dalam proses daya tahan terhadap penyakit

pada tanaman (Alan et al, 2006)

Dalam berbagai penelitian, ektstrak tanaman yang

mengandung flavonoid terbukti memiliki pengaruh dalam proses

penyembuhan luka. Dalam penelitian yang lebih luas terhadap

penggunaan klinis, fungsi dan manfaat flavonoid sangat beragam

commit topengobatan.
dalam berbagai aplikasi user Flavonoid memiliki efek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

sebagai antisklerotik, antiinflamasi, antitrombogenik, antitumor,

antiosteoporosis, antibakteri dan antivirus (Nijveldt et al, 2001).

Dengan efek sebagai antiinflamasi, flavonoid dapat

mengatur aliran limfatik yang menyebabkan pembengkakan

berkurang disekitar luka. Flavonoid melalui efek antitrombogenik

akan menghambat proses terbentuknya trombus dalam pembuluh

darah yang berperan dalam kelancaran proses aliran sel darah

merah dan sel darah putih yang segar ke daerah luka untuk

mempercepat penyembuhan luka. Flavonoid dapat mempercepat

proses penyembuhan luka dengan efek antibakteri, sehingga pada

proses penyembuhan luka tidak terganggu oleh proses infeksi

yang dapat menghambat (Hasanoglu et al, 2001)

Dalam proses terjadinya luka akan diikuti oleh proses

inflamasi di sekitar daerah luka. Proses inflamasi ini dipicu

produksi mediator inflamasi oleh prostaglandin, hasil dari

biosintetis nitrit oksida dan siklooksigenase-2 (COX-2). Hasil dari

pemberian flavonoid berpengaruh pada proses sintesis

prostaglandin yang berperan besar pada proses inflamasi

(Hasanoglu et al, 2001; Zeid et al, 2007). Lebih jauh, efek dari

flavonoid sendiri sudah berlangsung saat terjadi jalur asam

arakidonat yang membentuk siklooksigenase (COX) dan

lipooksigenase (LOX). Penghambatan jalur tersebut akan memicu

penghambatan flavonoid terhadap sintesis prostaglandin yang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

dapat menekan produksi sel T. Sel imun ini bekerja dengan

interaksi kimia sitokin yang diatur oleh flavonoid. Dengan

memicu sintesis interferon (IFN), flavonoid berperan dalam

proses imun dalam mencegah proses infeksi dari patogen

(Bimlesh et al, 2011)

Aktifitas flavonoid dalam proses penyembuhan luka adalah

dengan meningkatkan aktifitas kontraksi dan epitelisasi serta

meningkatkan pembentukan jaringan granuloma. Peningkatan

pembentukan jaringan granuloma pada daerah luka berkaitan

dengan peningkatan maturasi kolagen dan peningkatan

kandungan protein dalam proses angiogenesis di daerah luka.

Proses ini merupakan indikator dari pembentukan jaringan baru

yang membuktikan efek flavonoid terhadap proses regenerasi

jaringan. Penggunaan flavonoid secara topikal pada luka akan

mempercepat kontraksi daerah luka dan mengurangi waktu proses

epitelisasi pada hewan coba. Efek flavonoid dalam kontraksi

daerah luka dan proses epitelisasi menunjukkan peningkatan

migrasi dan proliferasi sel-sel epitelial seperti pembentukan,

migrasi dan aktifitas dari fibroblast (Avula et al, 2013).

2) Saponin

Saponin merupakan metabolit sekunder dari tanaman yang

termasuk dalam golongan terpenoid dan dalam klasifikasi jenis


commit to user
triterpenoid. Saponin merupakan suatu senyawa dalam bagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

tanaman yang memberikan rasa pahit jika dikonsumsi. Saponin

secara umum merupakan bentuk dari triterpenoid jenis

dammarenyl yang memiliki sifat dapat berbusa jika masuk ke

dalam larutan cair. Dari sifat tersebut, saponin dapat mengganggu

keutuhan membran sel, seperti membran sel darah merah pada

manusia sehingga bersifat racun jika diberikan secara injeksi

(Alan et al, 2006). Walau dapat bersifat racun, efek dari saponin

telah banyak ditemukan seperti sebagai antitumor, antiinflamasi,

antioksidan, dan membantu proses penyembuhan luka. Efek lain

dari saponin juga dapat menurunkan kadar kolesterol serta

meningkatkan imunitas tubuh (Astuti et al, 2011). Khusus pada

proses penyembuhan luka, saponin memiliki fungsi untuk

meningkatkan sintesis fibronektin oleh fibroblas dan mengontrol

pembembentukan matriks ekstra seluler melalui proses modifikasi

gen TGF-β (Kanzaki et al, 1998)

Secara kuantitatif, pemberian saponin berpengaruh terhadap

jumlah fibronektin yang terlihat dan berubah sesuai dengan besar

dosis yang diberikan. Peningkatan jumlah fibronektin terjadi

pada pemberian saponin dengan dosis sebesar 1-10 µg ml-1

namun penurunan jumlah fibronektin akan terjadi pada pemberian

saponin dengan dosis sebesar 100-500 µg ml-1. Dari efek

peningkatan jumlah fibronektin yang dihasilkan oleh saponin,

terdapat beberapa teori yang menjelaskan efek saponin terjadi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

pada jalur pengaktifan TGF-β. Pada jalur pengaktifan TGF-β,

saponin dapat merangsang pembentukan, sekresi, dan aktivasi

TGF-β1 pada fibroblast. Efek saponin juga dapat mengubah

ekspresi reseptor TGF-β dan system transduksi sinyal post-

receptor (Kanzaki et al, 1998).

3) Tanin

Tanin adalah suatu zat fitokimia yang merupakan metabolit

sekunder tanaman dalam klasifikasi yang dapat dibagi menjadi 3

jenis yaitu, condensed tannin, hydrolysable tannin, dan

pseudotannin. Tanin dalam bentuk condensed tannin adalah jenis

tanin yang termasuk dalam klasifikasi flavonoid dengan sub-tipe

flavan-3-ols yang merupakan sub-tipe terbesar dari flavonoid.

Tanin jenis ini sesuai namanya adalah tanin dengan konsentrasi

tinggi atau kental. Untuk jenis tanin dalam bentuk hydrolysable

tannin merupakan jenis tanin yang termasuk dalam klasifikasi

non-flavonoid yang sesuai namanya dapat terhidrolisis (Alan et

al, 2006). Sementara untuk jenis tanin pseudotannin merupakan

jenis tanin yang dapat banyak ditemukan dalam alga coklat.

Secara klasifikasi umum, tanin juga termasuk dalam golongan

polifenol yang terbagi menjadi kelompok flavonoid dan non-

flavonoid sesuai dengan sifatnya. Secara umum, tanin dalam

tanaman memiliki rasa yang pahit maupun hambar yang dapat


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

dirasakan melalui konsumsi teh, anggur, dan buah-buahan yang

tidak terkupas dan menyebabkan sensasi kering pada mulut.

Tanin memiliki warna coklat yang dapat ditemukan dalam

beberapa bagian tanaman. Tanin sebagai zat tanaman memiliki

sifat sebagai zat astringent yang dapat menyebabkan kontraksi

pada jaringan tubuh dan berpengaruh terhadap bentuk dan ukuran

protein yang dapat menghambat kerja protein (Ashok et al, 2012).

Dengan efek tersebut, tanin dapat berpengaruh dalam proses

penyembuhan luka seperti sebagai antibakteri dan berperan dalam

proses kontraksi luka. Selain itu, fungsi tanin dapat memacu

pertumbuhan fibroblast serta pembentukan pembuluh darah baru

(Li et al, 2011)

Efek antibakteri dari tanin dapat dilihat dari penelitian yang

membuktikan fungsi tanin sebagai antibakteri terhadap

Staphylococus aureus dan Klebsiela pneumonia. Secara umum,

bakteri Staphylococus aureus dan Klebsiela pneumonia

merupakan bakteri yang dapat menghambat proses penyembuhan

luka dan telah resisten terhadap banyak antibiotik yang

disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang kurang tepat

terhadap proses penyembuhan luka. Mekanisme tannin dalam

fungsinya sebagai antibakteri adalah dengan merusak dinding sel

dari kedua bakteri tersebut sehingga dengan rusaknya dinding sel

bakeri tersebut akan menghambat proses pertumbuhan kedua


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

bakteri tersebut. Pada proses kontraksi luka, sifat astringent dalam

tanin yang dapat berfungsi sebagai zat perekat antar jaringan akan

membuat aktifitas kontraksi luka meningkat dan mempersingkat

proses penyembuhan luka (Li et al, 2011).

Kemampuan tanin dalam memicu pertumbuhan fibroblast

sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka. Mekanisme

tanin dalam memicu pertumbuhan fibroblast adalah dengan

mempengaruhi lingkungan sekitar luka agar terjaga dalam kondisi

optimal untuk pertumbuhan fibroblast melalui penghambatan

kerja enzim proteolitik. Proliferasi fibroblast berhubungan erat

dengan kadar kolagen di lingkungan sekitar luka. Kadar kolagen

yang cukup pada lingkungan luka, akan membantu proses yang

dipengaruhi oleh faktor-faktor pertumbuhan sehingga dalam

proses penyembuhan luka dapat berjalan dengan baik. Pada

proses penyembuhan luka, kolagen akan diproduksi oleh

fibroblast untuk mendukung proses proliferasi fibroblast itu

sendiri. Selama proses penyembuhan luka, pada daerah luka juga

akan diproduksi enzim-enzim proteolitik yang berperan dalam

fase remodeling. Enzim-enzim proteolitik seperti elastase, xantin

oksidase, kolagenase, dan hyaluronidase justru dapat mengganggu

produksi dari kolagen dan merusak kolagen yang baru terbentuk.

Efek dari tanin yang dapat menghambat fungsi enzim proteolitik

berperan selama proses produksi kolagen agar tidak dirusak dan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

proliferasi fibroblast dapat berjalan dengan optimal selama proses

penyembuhan luka (Shrivastava, 2011).

Tabel 2.1. Zat Aktif Pada Buah Sawo (Manilkara zapota)

No Zat Aktif Manfaat

1 Flavonoid Antiinflamasi dan antibakteri

2 Saponin Memacu proses pengeluaran fibronektin dan

memodifikasi ekspresi TGF-β

3 Tanin Antibakteri, meningkatkan proliferasi fibroblast,

meningkatkan proses angiogenesis, meningkatkan

kontraksi luka

(Jamuna et al, 2011)

2. Anatomi Kulit

Kulit merupakan bagian terluar dari tubuh manusia yang menjadi

bagian tubuh paling luas dari keseluruhan organ yang dimiliki manusia.

Dengan luas permukaan kulit yang mencapai 1,2 hingga 2,3 m2 pada tubuh

manusia dewasa, berat kulit dapat mencapai 16% dari berat total tubuh

manusia. Kulit sebagai organ terluar dan berfungsi sebagai salah satu

pelindung tubuh, memiliki 3 lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis,

dan lapisan subkutan atau hipodermis. Setiap lapisan memiliki fungsi dan

anatomi yang berbeda-beda. Pada lapisan epidermis tersusun atas epitel pipih

berlapis pada bagian terluar, kemudian pada lapisan dermis terdiri dari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

jaringan pengikat dan pada lapisan subkutan atau hipodermis terdiri dari

jaringan adipose (Eroschenko, 2010).

a. Epidermis

Lapisan epidermis memiliki ketebalan rata-rata sebesar 75 sampai

100 mikrometer pada kulit tipis dan 400 hingga 600 mikrometer pada

kulit tebal. Lapisan epidermis yang tersusun atas epitel pipih berlapis

terdiri dari beberapa lapisan keratinosit. Lapisan keratinosit ini tersusun

sesuai dengan fungsi masing-masing tersusun sistematis dari lapisan

terluar ke lapisan terdalam adalah stratum korneum, stratum lusidum,

stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basalis. Lapisan

keratinosit pada lapisan epidermis mulai terbentuk pada lapisan basalis

yang kemudian akan mengalami perubahan fungsi dan lapisan yang

semakin tua akan mendekati lapisan terluar pada akhir siklus pergantian

sel yang kemudian akan terkelupas sebagai lapisan paling luar dari

kulit. Mekanisme ini membuat kulit terkelupasnya kulit dan pergantian

lapisan secara berkala berfungsi sebagai mekanisme perlindungan pada

lapisan-lapisan dibawahnya dari iritasi mekanis maupun kimia

(Eroschenko, 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

b. Dermis

Bagian dermis terdiri dari jaringan pengikat yang dibagi menjadi

dua bagian berdasarkan jenis jaringan pengikatnya , yaitu:

1) Stratum papilare dermis

Stratum papilare dermis secara mikroskopis akan terlihat

memiliki bentuk papil-papil yang menjorok kearah epidermis.

Stratum papilare dermis akan melekat pada lapisan epidermis dan

diperkuat oleh adanya anchoring fiber. Lapisan stratum papilare

dermis tersusun dari jaringan ikat longgar ireguler. Pada bagian

ini ditemukan reseptor taktil, corpusculum meisner (Eroschenko,

2010).

2) Stratum retikulare

Stratum retikulare berbentuk tidak teratur dan terdiri dari

jaringan pengikat yan lebih padat. Kepadatan jaringan pengikat id

lapisan retikulare disebabkan padatnya konsentrasi serat kolagen,

elastis, dan retikuler yang menyusun lapisan tersebut. Serat-serat

protein yang tersusun akan memberikan lapisan ini kekuatan dan

elastisitas. pada lapisan ini juga terdapat akar rambut, kelenjar

sebasea, kelenjar keringat, dan pembuluh darah. Jumlah sel yang

terdapat pada lapisan ini lebih sedikit dibandingkan lapisan

lainnya. Kolagen tipe 1 adalah jenis kolagen yang menyusun

lapisan matriks ekstraseluler. Antara stratum papilare dengan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

stratum retikulare tidak memiliki batas yang jelas dan pada bagian

bawah stratum retukulare akan langsung menyatu dengan lapisan

hipodermis (Eroschenko, 2010).

3) Hipodermis

Hipodermis terletak setelah dermis dan berfungsi untuk

melekatkan lapisan kulit ke lapisan otot yang mendasarinya serta

menyuplai pembuluh darah dan lapisan sarafa pada lapisan

atasnya. Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat longgar untuk dapat

mengikat kulit ke organ di bawahnya. Lapisan hipodermis

tersusun atas fasia superfisialis dan panikulus adiposus yang lebih

tebal. Pada panikulus adiposus merupakan tempat sel-sel adiposa

dengan jumlah dan ukuran sel yang berbeda-beda tergantung

lokasi dan status gizi tubuh (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Gambar 2.2. Penampang Histologi Kulit (The University of Western Australia,


commit to user
2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

3. Luka

Trauma mekanik merupakan jenis trauma yang paling sering mengenai

kulit manusia dan menjadi penyebab paling sering terjadinya luka pada kulit.

Kulit dan organ lunak lainnya akan bereaksi terhadap gaya mekanis dengan

berbagai jenis cedera yang dapat terjadi. Dari trauma mekanis dapat

mengakibatkan jenis luka pada kulit seperti abrasi, kontusio, laserasi, luka

insisi, dan luka tusuk (Kumar dkk, 2007). Khusus pada kulit, luka insisi

merupakan jenis luka yang paling sering terjadi. Luka insisi atau luka sayat

pada kulit sering terjadi karena proses terjadinya luka yang cukup cepat. Luka

insisi yang disengaja dapat dicontohkan pada saat tindakan operasi medis

(Pusponegoro, 2005). Sementara, luka insisi yang tidak sengaja terjadi

didapatkan melalui aktifitas sehari-hari manusia di lingkungannya (Kumar et

al, 2007).

Apabila luka pada kulit ini dibiarkan, akan menjadi area terbuka yang

dapat menjadi pintu masuk berbagai gangguan maupun penyakit. Insidensi

dari infeksi terhadap luka pada kulit yang diakibatkan oleh luka insisi Secara

fisiologis, tubuh memiliki mekanisme untuk proses menutup luka yang

bertahap untuk mencegahnya (Kumar et al, 2007).

4. Proses Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka adalah suatu proses perbaikan jaringan yang

melibatkan berbagai mediator, sitokin, dan sel yang berbeda-beda fungsi yang

saling mempengaruhi dalam proses yang bertahap (Diegelmann dan Evans,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

2004). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi 2 yaitu, penyembuhan

primer dan penyembuhan sekunder. Penyembuhan primer adalah proses

penyembuhan melalui pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan

fungsional yang sama dengan jaringan awal. Sedangkan penyembuhan

sekunder adalah proses penyembuhan dengan pergantian jaringan yang diisi

jaringan pengisi nonfungsional atau fibrosis. Penyembuhan sekunder akan

lebih dominan terjadi apabila terdapat gangguan dalam proses penyembuhan

sehingga menyebabkan fibrosis atau proses infeksi jika gangguan tersebut

menghambat penutupan luka (Mann et al, 2011).

Jika suatu jaringan mengalami perlukaan, proses penyembuhan akan

diawali fase inflamasi yang berfungsi merespon masuknya antigen ke dalam

jaringan. Selanjutnya, akan terjadi peningkatan aliran darah ke area yang

mengalami perlukaan melalui pelepasan zat vasoaktif (zat yang mengatur

peredaran darah) dan faktor kemotaktik. Fase homeostasis dimulai sejak

terjadinya pelepasan zat vasoaktif tersebut dan membuat peningkatan

permeabilitas kapiler, sehingga memungkinkan peningkatan fluida yang

menembus kapiler untuk pembentukan bekuan darah, serta memicu proses

pengeluaran fibroblast, neutrofil, dan monosit (Kuby et al, 2006).

Secara singkat, proses penyembuhan luka telah dimulai segera setelah

terjadi perlukaan dengan peran penting dari komponen darah yang mengalir

ke daerah perlukaan. Komponen darah akan memicu produksi faktor

pembekuan darah segera setelah terjadi kontak dengan kolagen dan elemen

dalam matriks ekstraseluler (Diegelmann dan Evans, 2004).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

Dalam rentang waktu 24 jam pertama setelah perlukaan (fase

inflamasi), kemudian terjadi fase homeostasis dengan adanya peningkatan

aliran darah yang menyebabkan pembentukan bekuan darah dan disusul

penumpukan neutrofil di sekitar luka. Dalam rentang waktu singkat fase

proliferasi juga telah dimulai dengan mitosis sel-sel epidermis dan migrasi sel

epitel ditepi luka sekaligus berproliferasi sepanjang dermis (Kumar et al,

2007)

Pada hari ke-3 setelah terjadi perlukaan, monosit (makrofag) dan

jaringan granulasi akan menggantikan fungsi neutrofil dengan mulai mengisi

luka. Jaringan granulasi sendiri tersusun atas fibroblast yang berproliferasi

dan kapiler baru yang terletak di matriks ekstra sel longgar. Fungsi dari

Jaringan granulasi adalah untuk mengumpulkan matriks jaringan ikat dan

memfasilitasi angiogenesis pada luka (Kumar et al, 2007)

Pada hari ke-5, serabut kolagen akan nampak jelas disertai diferensiasi

epidermis secara normal (Kumar et al, 2007). Pada akhir minggu pertama

merupakan permulaan fase maturasi dan remodeling yang terus berlanjut

hingga bertahun-tahun agar terbentuk bekas luka yang menyerupai jaringan

awal. Proses maturasi sendiri terdiri atas penyerapan kembali jaringan yang

berlebih, pengerutan di daerah sekitar luka, dam penyempurnaan jaringan

luka dengan jaringan sekitar (Pusponegoro, 2005)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

Gambar 2.3. Proses Penyembuhan Luka (Diegelmann dan Evans, 2004).

Tabel 2.2. Fase-Fase Penyembuhan Luka

Fase Hari Keterangan


Homeostasis Awal luka Proses pembekuan darah dimulai, growth factor mulai

banyak dihasilkan.

Inflamasi Awal luka – 3 hari Pengeluaran mediator-mediator inflamasi, neutrofil

dan fibroblast mulai tampak.

Proliferasi 1 hari – 5 hari Epidermis bermitosis, sel-sel epitel bermigrasi,

makrofag menggantikan neutrofil, jaringan granulasi

terbentuk, ECM terbentuk.

Maturasi 5 hari - seterusnya Penutupan luka, epidermis menjadi normal, kolagen

terbentuk dan terdegradasi secara seimbang,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

5. Fibroblast

Fibroblast adalah salah satu komponen penting dalam proses

penyembuhan luka. Fibroblast merupakan sel berbentuk serat yang telah

berdiferensiasi dan berasal dari jaringan pengikat. Fibroblast merupakan sel

terbanyak dan paling stabil di dalam jaringan pengikat. Fungsi fibroblast

adalah mengsekresi komponen matriks ekstra sel berupa menyintesis kolagen,

glycosaminoglycans, serat elastis dan retikuler serta glycoprotein (Mazyala,

2008).

Proliferasi fibroblast dipengaruhi oleh beberapa faktor pertumbuhan

seperti PDGF (Platelet Derivate Growth Factor), bFGF (Basic Fibroblast

Growth Factor), dan TGF-β (Transforming Growth Factor) yang diproduksi

oleh platelet, makrofag, dan neutrofil (Diegelmann dan Evans, 2004).

Mekanisme ikatan faktor pertumbuhan dengan reseptor di dinding sel

fibroblast akan merangsang proses proliferasi fibroblast. Laju proliferasi

fibroblast akan meningkat dengan semakin banyaknya ikatan faktor

pertumbuhan di reseptor. Namun, proses ini akan dihambat jika telah

melampaui kebutuhan yang sesuai dengan proses proliferasi fibroblast oleh

reseptor. sifat reseptor yang dapat memacu atau menghambat aktivasi sel

sesuai dosis rangsang yang didapat disebut sifat bifasik (Kanzaki et al, 1998).

Proliferasi fibroblast yang optimal dipengaruhi oleh faktor-faktor

pertumbuhan yang cukup dalam lingkungan yang sesuai. Faktor-faktor

pertumbuhan seperti PDGF, bFGF, dan TGF-β dipengaruhi oleh makrofag

dan platelet. Lingkungan yang optimal untuk proliferasi fibroblast adalah


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

lingkungan yang cukup lembab dan cukup kolagen. Produksi kolagen oleh

fibroblast akan dirusak oleh protease-protease yang berada di sekitar luka.

Protease bekerja pada fase maturasi proses penyembuhan luka dengan

mendestruksi kolagen. Namun, keberadaan protease yang berlebih pada awal

proses penyembuhan luka justru akan merusak kolagen terbentuk dan masih

berjumlah sedikit, keadaan ini akan membuat lingkungan luka menjadi

kering. Kondisi lingkungan luka yang kering dengan jumlah kolagen yang

sedikit ini berakibat proliferasi fibroblast terhambat pada awal fase proliferasi

proses penyembuhan luka (Shrivastava, 2011).

6. Faktor-faktor yang Menghambat Penyembuhan Luka

Dalam proses penyembuhan luka, gangguan baik dari dalam maupun

luar tubuh dapat menjadi penghambat dalam proses penyembuhan luka.

Faktor-faktor penghambat penyembuhan luka dibagi menjadi faktor intrinsik

dan faktor ekstrinsik (Clarke et al, 2000).

Faktor intrinsik adalah kondisi yang merugikan ditempat luka dan

kondisi medis tertentu yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka.

Kondisi yang merugikan di sekitar tempat luka adalah hipoksia, dehidrasi,

jaringan nekrotik, terdapat eksudat yang berlebihan, krusta yang berlebihan,

keberadaan benda asing, dan terjadinya trauma berulang. Sementara, kondisi

medis tertentu yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka adalah

keadaan malnutrisi dan terdapat penurunan daya tahan terhadap infeksi

(Clarke et al, 2000).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

Faktor ekstrinsik adalah kondisi yang berkaitan dengan penatalaksanaan

luka yang kurang tepat. Hal ini meliputi kesalahan yang terjadi dalam

melakukan penanganan pada luka maupun penggunaan terapi yang

mengganggu dan merugikan proses penyembuhan luka seperti penggunaan

obat-obat sitotoksik, terapi steroid jangka panjang, dan radio terapi (Clarke et

al, 2000).

Kondisi hipoksia di sekitar luka mengakibatkan kurangmya suplai

darah ke daerah luka. Suplai darah sendiri mengangkut faktor-faktor

pertumbuhan yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka. Jika

suplai darah ke daerah luka kurang, maka akan menghambat proses

penyembuhan luka sejak awal (Clarke et al, 2000).

Keadaan tubuh yang mengalami dehidrasi berpengaruh terhadap

keseimbangan cairan dalam tubuh. Hal ini akan mempengaruhi proses

proliferasi dan migrasi sel untuk penyembuhan luka yang terjadi dalam

keadaan lembab dan kebutuhan cairan yang sesuai. (Morison, 2004).

Timbulnya eksudat akan menyebabkan rangsangan yang berlebih pada

pembuangan eksudat pada kondisi normal. Eksudat yang terbentuk di sekitar

luka akan dibuang oleh jaringan dalam proses penyembuhan luka. Namun,

jika jumlah eksudat yang tertimbun berlebih, menyebabkan jaringan semakin

kuat mengeluarkan eksudat dan dapat membuat jaringan-jaringan baru pada

luka ikut terkelupas sehingga fase inflamasi menjadi lebih panjang (Morison,

2004).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

Pada daerah luka, keberadaan jaringan nekrotik, krusta yang berlebih,

serta benda asing dapat menjadi sumber infeksi . Proses terjadinya infeksi di

daerah luka akan memperberat proses penyembuhan luka (Harris dan Freaser,

2004).

Dengan proses penyembuhan luka yang sedang berlangsung, maka akan

terjadi pembentukan pembuluh darah baru di daerah luka untuk mendukung

proses tersebut. Jika terjadi trauma berulang pada luka dapat merusak

pembuluh darah baru yang terbentuk. Kondisi ini akan fase inflamasi kembali

terjadi di daerah luka sehingga proses penyembuhan luka juga menjadi

memanjang (Harris dan Freaser, 2004).

Status gizi seseorang juga berpengaruh terhadap proses penyembuhan

luka karena terkait dengan pembentukan sel dan faktor pertumbuhan.

Keadaan malnutrisi dapat menghambat proses penyembuhan luka karena

kurangnya berbagai zat gizi yang diperlukan, seperti protein dan vitamin.

Kebutuhan protein dan kalori pada orang dengan luka akan lebih tinggi dari

pada orang yang sehat. Kebutuhan protein sangat diperlukan dalam

pembentukan protein-protein struktural seperti kolagen serta menjaga fungsi

imunitas tubuh. Asupan protein yang kurang akan menyebabkan proses

penyembuhan luka dengan daya regang yang kecil dan menyebabkan luka

tersebut akan mudah untuk terbuka kembali oleh trauma ringan yang

seharusnya tidak menyebabkan luka (Harris dan Freaser, 2004).

Terjadinya penurunan daya tahan terhadap infeksi pada pasien-pasien

dengan penyakit diabetes, imunodefisiensi, maupun infeksi kronis


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

menyebabkan proses penyembuhan luka menjadi lebih lama karena kerja

sistem imun menjadi tidak efisien. Proses infeksi yang terjadi dalam luka

akan menyebabkan proses katabolisme protein-protein yang digunakan dalam

proses penyembuhan luka dan memicu timbulnya infeksi endogen pada luka

(Morison, 2004).

Proses penyembuhan luka juga sangat dipengaruhi oleh tatalaksana

yang diberikan dalam penanganan luka sejak awal proses hingga akhir proses

penyembuhan luka. Tatalaksana penyembuhan luka meliputi kajian dan

penilaian terhadap luka yang terjadi, proses pembalutan luka, penggunaan

produk dan bahan dalam perawatan luka, serta evaluasi berkala terhadap

efektifitas program perawatan. Jika tatalaksana tersebut mengalami

hambatan dan tidak sesuai maka akan menghambat proses penyembuhan luka

serta dapat menimbulkan komplikasi (Morison, 2004).

Penggunaan produk obat-obatan dan jenis terapi dalam tatalaksana

penyembuhan luka juga dapat mengganggu proses penyembuhan luka. Hal

tersebut meliputi penggunaan obat-obat sitotoksik, penggunaan terapi steroid

jangka panjang, dan penerapan radio terapi. Jenis obat-obat sitotoksik dapat

mengganggu proliferasi sel. Pemberian terapi steroid jangka panjang dapat

menekan fungsi fibroblast, kolagen, dan sistem imun yang berpengaruh

dalam semua tahapan proses penyembuhan luka. Sementara penerapan radio

terapi dalam tatalaksana penyembuhan luka dapat menyebabkan kelemahan

jaringan dalam jangka panjang dan menghambat angiogenesis (Morison,

2004).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

7. Ekstraksi
Proses pembuatan ekstraksi dari buah sawo adalah melalui proses

maserasi. Maserasi adalah proses perendaman sampel menggunakan pelarut

organik pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam

isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tanaman akan

terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara

di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam

sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan

sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan

pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi

dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut tersebut.

Secara umum pelarut metanol merupakan pelarut yang banyak digunakan

dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan

seluruh golongan metabolit sekunder (Astuti, 2012).

8. Tikus Putih

Penggunaan tikus putih dalam aplikasi percobaan dan penelitian telah

banyak digunakan dalam berbagai penelitian. Agar dapat memudahkan

pengamatan dalam jumlah banyak maka penggunaan sampel tikus putih

sangat membantu dalam proses pengamatan selama penelitian (Sugiyanto,

1995).

Dengan semakin majunya perkembangan penelitian juga diketahui

bahwa banyak gen tikus relatif mirip dengan manusia. Tikus putih sebagai
commit to user
binatang menyusui (mamalia) juga dijadikan salah satu indikator alasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

penggunaan media tikus yang diharapkan dapat sesuai dengan kondisi

manusia. Dengan kemampuan berkembangbiak tikus sangat tinggi, relatif

cocok untuk digunakan dalam eksperimen massal. Selain itu tipe bentuk

badan tikus kecil, mudah dipelihara dan obat yang digunakan di badannya

dapat relatif cepat termanifestasi (Widiartini et al, 2012).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

B. Kerangka Pemikiran
Luka Sayat
Ekstrak Buah
(Menggunakan Pisau Bedah) Sawo

Fase Inflamasi

Pelepasan Mediator Inflamasi


 Prostaglandin Flavonoid
 iNOS
 COX-2

Antibakteri
Fase Homeostasis

Fase Proliferasi

 Meningkatan Proliferasi
Fibroblast TGF β Saponin
 Meningkatan Migrasi
Fibroblast Proteolitik
 Meningkatan Jumlah
Fibroblast
 Mempercepat Kolagenasi Angiotensin Tanin
 Mempercepat Angiogenesis

Mempercepat Fase Maturasi Astringent

Mempercepat Penutupan Luka

Fase Remodeling
Menghambat
Perbaikan Jaringan
Memacu

Gambar 2.4. Skema Kerangka Pemikiran


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

C. Hipotesis

Pemberian ekstrak buah sawo (Manilkara zapota) secara topikal berpengaruh

dalam peningkatan proliferasi dan jumlah sel fibroblast pada proses penyembuhan

luka sayat tikus putih (Rattus norvegicus) strain Wistar.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai