Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL PENELITIAN

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT DI DESA LASSA-LASSA


KEC. BONTOLEMPANGAN KAB. GOWA TENTANG BUAH SAWO
MENTAH (Manilkara zapota) SEBAGAI OBAT TIPES

Diusulkan oleh:

RUNI INDRIANI

PO.71.3251.17.1.042

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

JURUSAN FARMASI

PRODI-D3 FARMASI

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia menyimpan keragaman tumbuhan yang
mengandung zat aktif sehingga tumbuhan tersebut dapat digunakan
sebagai obat (Putra, 2015). Tumbuhan merupakan keragaman hayati
yang selalu ada di sekitar kita baik itu yang tumbuh secara liar
maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak zaman dahulu, tumbuhan
sudah digunakan sebagai tanaman obat walaupun penggunaannya
disebarkan secara turun-temurun maupun dari mulut ke mulut.
Tumbuhan secara fungsional tidak lagi dipandang sebagai bahan
konsumsi maupun penghias saja tetapi juga sebagai tumbuhan obat
yang multifungsi (Widyaningrum, 2011). Salah satu tumbuhan obat
yang sering digunakan adalah sawo manila (Mustary, dkk., 2011).

Tumbuhan sawo merupakan tumbuhan endemis di kawasan


tropis benua Amerika, tepatnya di Meksiko hingga Guatemala,
Salvador dan Honduras Utara. Dewasa ini tanaman sawo sudah
menyebar luas di seluruh kawasan tropis. Sentra produksi buah sawo
yang terkenal di Indonesia antara lain di Ciamis, Bekasi, Wonogiri,
Boyolali, Banyuwangi, Trenggalek, Blitar, Bantul, Sleman, Buleleng
dan Jembrana. Sebagian jenis yang dibudidayakan adalah sawo apel
dan sawo manila (Ashari, 2006). Sawo manila (Manilkara zapota (L.)
P. Royen) termasuk dalam famili Sapotaceae. Sinonimnya adalah
Achras zapota L. (Duke, 1929) Kandungan yang terdapat dalam buah
sawo meliputi flavonoid, saponin dan tanin. Ketiga senyawa tersebut
memiliki sifat antibakteri. Buah sawo yang masih muda rasanya kelat
dan pahit disebabkan tingginya kandungan tanin, sehingga daya
antibakteri buah sawo yang masih muda lebih tinggi dari pada buah
sawo yang sudah tua. Tanin mempunyai rasa sepat pada tumbuhan
dan berfungsi sebagai pelindung bagi tanaman. Sawo merupakan salah
satu jenis tanaman buah yang sudah lama dikenal dan ditanam di
Indonesia.

Sawo dijadikan sebagai alternatif obat-obatan herbal.


Berdasarkan wawancara dengan salah satu penduduk Kabupaten
Natuna, didapatkan informasi bahwa masyarakat tersebut telah
menggunakan buah sawo manila muda sebagai alternatif pengobatan
dalam kehidupan sehari-hari karena mereka lebih memilih pengobatan
secara alami. Masyarakat kota Pontianak juga menggunakan buah
sawo manila muda sebagai obat sakit perut dikarenakan diare
(Ningrum, dkk., 2012). Buah sawo juga dapat digunakan sebagai obat
penyakit tipus (Mustary, dkk., 2011). Buah sawo manila muda
digunakan untuk mengobati diare dengan meminum sarinya yaitu
dengan cara direbus maupun dengan cara diiris, ditumbuk, diperas
kemudian disaring dan di ambil sarinya (Ningrum, dkk., 2012).

B. Rumusan Masalah
Apa sajakah efek farmakologi dari buah sawo mentah (Manilkara
zapota)?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui efek-efek farmakologi dari buah sawo mentah
(Manilkara zapota) untuk mengobati penyakit tipes.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti
lain yang hendak melakukan penelitian dibidang yang serupa
2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan
masyarakat mengenai penggunaan obat tradisional.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sawo Manila (Manilkara zapota)


1. Uraian Tanaman
Sawo manila merupakan buah yang sangat populer di kawasan
Asia Tenggara. Wilayah ini merupakan produsen dan juga sekaligus
konsumen utama buah sawo di dunia (Astawan, 2008). Kebanyakan buah
sawo manila dikonsumsi dalam keadaan segar (Orwa dkk., 2009). Sawo
yang siap untuk dikonsumsi adalah sawo yang sudah matang. Sawo yang
memiliki kualitas baik adalah sawo yang empuk dan berwarna cokelat tua
(Astawan, 2010).

Gambar: Buah Manilkara zapota (L.) P. Royen (Hartati et al, 2013)

2. Klasifikasi Tanaman
Samini (2008) menyatakan bahwa kedudukan taksonomi tanaman
sawo manila (Manilkara zapota L. Van Royen) adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Ebenales
Suku : Sapotaceae
Marga : Manilkara
Jenis : Manilkara zapota

3. Nama Daerah
Sawo manila sendiri memiliki beberapa nama seperti di negara
Inggirs, tanaman ini memiliki lebih dari 1 macam nama yaitu chickle
gum, common naseberry, sapodilla, chicle tree, naseberry. Kemudian
di negara Jerman, sawo 7 manila juga memiliki banyak nama yaitu
Breiapfelßaum, Sapodilla, Kaugummißaum. Di Indonesia sendiri,
sawo manila dikenal dengan nama sawo londo, ciku dan sawo manila.
Namun, suku jawa lebih sering menyebut sawo manila dengan sebutan
sawo londo (Orwa et al, 2009).
4. Morfologi Tanaman
Sawo adalah pohon buah yang memiliki umur panjang. Pohon dan
buahnya dikenal dengan beberapa nama seperti sawo, sauh atau sauh
manila. Pohonnya besar dan rindang, dapat tumbuh hingga ketinggian
30-40 m, memiliki cabang rendah, sawo memiliki batang yang kasar
dan berwarna abu-abu kehitaman sampai coklat tua. Seluruh bagian
tanaman mengandung getah berwarna putih susu yang kental. Daun
tunggal terletak berseling, sering mengumpul pada ujung ranting.
Daunnya bertepi rata dan sedikit berbulu, berwarna hijau tua
mengkilap, bentuk bundar telur jorong sampai agak lanset 1,5x 3,5-15
cm, pangkal dan ujungnya bentuk baji, bertangkai 1-3, 5 cm, tulang
daun utama menonjol disisi sebelah bawah (Dalimartha, S, 2006).
5. Ekologi dan Penyebaran
Menurut BAPPENAS (2005), sawo adalah tanaman buah yang berasal
dari Guatemala (Amerika Tengah), Meksiko dan Hindia Barat.
Tanaman sawo di Indonesia telah lama dikenal dan banyak ditanam
mulai dari dataran rendah sampai tempat dengan ketinggian 1200 m di
atas permukaan laut, seperti di Jawa dan Madura. Manilkara zapota L.
adalah pohon yang hidup di daerah tropis dan pertumbuhannya sangat
cepat yang dimiliki oleh keluarga Sapotaceae (genus Manilkara)
(Singh et al., 2011) dan biasanya dibudidayakan untuk diambil
buahnya (Ahmed et al., 2011) . Sawo manila dapat ditemukan di
seluruh wilayah tropis di seluruh dunia. Buah ini berasal dari Amerika
Tengah dan Selatan, di mana populasi terbesar pohon asli masih ada di
Semenanjung Yucatan Meksiko sampai ke Kosta Rika (Ganjyal et al.,
2004).
6. Manfaat dan Aktifitas Biologi
Didalam buah sawo yang matang terdapat banyak kandungan zat
lemak, gula, garam fosfat, vitamin B1, dan vitamin C yang
mengandung antioksidan yang berkhasiat untuk penderita Diabetes
Melitus (Afifah, 2015). Selain itu, bagian 8 getah, buah, buah muda
dan daunnya bisa digunakan sebagai obat diare, pada bagian daun dan
batang sawo mengandung flavonoid (Sebayang, 2010). Secara
empiris, buah sawo manila sudah banyak digunakan oleh masyarakat
untuk pengobatan demam tipoid. Karena penggunaan yang sederhana
dan bahannya pun mudah didapat sehingga relatif terjangkau di
kalangan masyarakat (Fatimah et al., 2013). Penelitian yang telah
dilakukan Gricilda et al. (2014) menunjukkan bahwa ekstrak bunga
Manilkara zapota memiliki aktivitas anti kanker dengan nilai IC50
sebesar 12,5 µg/mL. Selain itu, penelitian yang telah dilakukan oleh
Kulkarni et al. (2006) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya jus
buah sawo memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 sebesar
87,53 µm/mL.
7. Kandungan kimia Tanaman
Terdapat banyak kandungan senyawa kimia di dalam buah sawo,
diantaranya flavonoid, saponin, dan tannin (Sukandar et al., 2012).
Bagian daun Manilkara zapota juga mengandung senyawa flavonoid,
alkaloid, saponin, tannin, dan glikosida (Rahman et al., 2014). Bagian
bijinya mengandung sapotin, saponin, achras saponin, alkaloid, fixed-
oil (16-23%), dan sapotinine (0,08%). Selain itu, biji Manilkara zapota
juga mengandung asam hidrosianat (Peiris, 2007).Selain itu, sawo
diketahui merupakan salah satu sumber yang baik dari asam askorbat,
karetenoid, dan fenolik yang dilaporkan memiliki banyak manfaat
untuk kesehatan (Kulkarni et al., 2006).
B. Tinjauan tentang tipes
Tipes atau thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus
dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh Bakteri
Salmonella typhosa atau Salmonella paratyphi A, B dan C, selain ini
dapat juga menyebabkan gastroenteritis (radang lambung). Dalam
masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau thypus, tetapi
dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau Thypus
abdominalis karena berhubungan dengan usus di dalam perut
(Widoyono, 2002).
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1
minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (Sudoyo,
2009).
1. Etiologi
Penyakit tipes Thypus abdominalis merupakan penyakit yang
ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri
Salmonella typhosa, (food and water borne disease). Seseorang yang
sering menderita penyakit tifus menandakan bahwa dia
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri
ini. Salmonella thyposa sebagai suatu spesies, termasuk dalam
kingdom Bakteria, Phylum Proteobakteria, Classis Gamma
proteobakteria, Ordo Enterobakteriales, Familia Enterobakteriakceae,
Genus Salmonella. Salmonella thyposa adalah bakteri gram negative
yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai
sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu: antigen 0 (somatik,
terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan
antigen V1 (hyalin, protein membrane). Dalam serum penderita
terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam anigen tersebut
(Zulkhoni, 2011).
2. Manifestasi klinis
Masa tunas demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat,
dari asimtomatik hingga gambaran penakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klnis
penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut pada umumnya yaitu : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari (Widodo
Joko, 2006)
3. Patofisiologi
Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Yang paling menojol yaitu
lewat mulut manusia yang baru terinfeksi selanjutnya menuju
lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi lolos masuk ke usus halus bagian distal (usus bisa terjadi
iritasi) dan mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan darah
mengandung bakteri (bakterimia) primer, selanjutnya melalui aliran
darah dan jaringan limpoid plaque menuju limfa dan hati. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran
darahsehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa
usus. Tukak dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus.
Perdarahan menimbulkan panas dan suhu tubuh dengan demikian
akan meningkat.sehingga beresiko kekurangan cairan tubuh.Jika
kondisi tubuh dijaga tetap baik, akan terbentuk zat kekebalan atau
antibodi. Dalam keadaan seperti ini, kuman typhus akan mati dan
penderita berangsurangsur sembuh (Zulkoni.2011)
4. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap pertama proses keperawatan yang meliputi
pengumpulan data secara sistematis dan cermat untuk menentukan
status kesehatan klien saat ini dan riwayat kesehatan masa lalu, serta
menentukan status fungsional serta mengevaluasi pola koping klien
saat ini dan masa lalu. Pengumpulan data diperoleh dengan cara
wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, peninjauan catatan dan
laporan diagnostik, kolaborasi dengan rekan sejawat (Capernito,
2007).
Data dasar pengkajian pasien dengan typhoid abdominal menurut
Joko Widodo (2006) adalah:
1. Aktivitas atau istirahat Gejala yang ditemukan pada kasus typhoid
abdominal antara lain kelemahan, malaise, kelelahan, merasa gelisah
dan ansietas, cepat lelah dan insomnia
2. Sirkulasi Tanda takikardi, kemerahan, tekanan darah hipotensi, kulit
membrane mukosa kotor, turgor buruk, kering dan lidah pecah-pecah
akan ditemukan pada pasien febris typhoid.
3. Integritas ego Gejala seperti ansietas, emosi, kesal dan faktor stress
serta tanda seperti menolak dan depresi juga akan ditemukan dalam
pengkajian integrits ego pasien.
4. Eliminasi Pengkajian eiminasi akan menemukan gejala tekstur feses
yang bervariasi dari lunak sampai bau atau berair, perdarahan per
rectal dan riwayat batu ginjal dengan tanda menurunnya bising usus,
tidak ada peristaltik dan ada haemoroid.
5. Makanan dan cairan Pasien akan mengalami anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan dan tidak toleran terhadap diet. Dan tanda yang
ditemukan berupa penurunan lemak sub kutan, kelemahan hingga
inflamasi rongga mulut.
6. Hygiene Pasien akan mengalami ketidakmampuan mempertahankan
perawatan diri dan bau badan.
7. Nyeri atau ketidaknyamanan Nyeri tekan pada kuadran kiri bawah
akan dialami pasien dengan titik nyeri yang dapat berpindah
8. Keamanan Pasien mengalami anemia hemolitik, vaskulotis, arthritis
dan pen
9. ingkatan suhu tubuh dengan kemungkinan muncul lesi kulit.
Pola fungsional menurut Gordon :
a. Pola persepsi dan manajemen kesehatan. Kebersihan
lingkungan dan makanan yang kurang terjaga.
b. Pola nutrisi Diawali dengan mual, muntah, anoreksia,
menyebabkan penurunan berat badan pasien.
c. Pola eliminasi. Pola eliminasi akan mengalami perubahan
yaitu BAB 1x sehari, BAK 4x sehari.
d. Pola istirahat tidur Akan terganggu karena adanya distensi
abdomen yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
e. Pola aktivitas. Akan terganggu kondisi tubuh yang lemah.
f. Pola nilai dan kepercayaan. Kegiatan ibadah terganggu karena
sering pusing dan lemas.
g. Pola hubungan dan peran pasien. Hubungan terganggu jika
pasien sering pusing dan lemas.
h. Pola konsep diri. Merupakan gambaran, peran, identitias,
harga, ideal diri pasien selama sakit.
i. Pola seksual dan reproduksi. Menunjukkan status dan pola
reproduksi pasien.
j. Pola koping dan toleransi stress Adalah cara individu dalam
menghadapi suatu masalah.
k. Pola kognitif Menunjukkan tingkat pengetahuan klien tentang
penyakit.
C. Wilayah
Di Desa Lassa-Lassa Kecamatan Bontolempangan Kabupaten Gowa
sebagian besar masyarakatnya berpendidikan tingkat sekolah dasar (SD)
sampai sekolah menengah atas (SMA). Mata pencaharian masyarakatnya
rata-rata adalah sebagai petani dan sebagian kecil sebagai pedagang.
Masyarakat di desa tersebut menggunakan buah sawo mentah yang
dipercayai dapat mengobati penyakit tipes.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah deskriptif dengan
membagikan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data.
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Lassa-Lassa kec.
Bontolempangan Kab. Gowa.
3. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat yang ada didesa
Lassa-Lassa kec. Bontolempangan Kab. Gowa yang pernah atau
sedang menggunakan buah sawo mentah.
4. Sampel
Sampel dari populasi masyarakat desa menggunakan teknik purposive
sampling, berdasarkan kriteria:
a. Pernah menggunakan atau sedang menggunakan buah sawo mentah
b. Pasien berumur 18 tahun keatas.
c. Bisa berkomunikasi.
B. Skema kerja
1. Surat pengantar dari jur. Farmasi Poltekkes Kemenkes Makassar
2. Kantor desa Lassa-Lassa kec. Bontolempangan Kab. Gowa.
3. Pengambilan data menggunakan kuesioner
4. Pengolahan data dan analisis data
5. Pembahasan
6. Kesimpulan
Dalam penelitian ini digunakan alat ukur berupa angket
(questionnare). Angket yang berisi pertanyaan yang dijawab
langsung oleh responden tanpa diwakilkan oleh orang lain. Angket
tersebut berisi daftar pertanyaan yang disusun peneliti.
Berdasarkan indikator yang telah ditetapkan oleh peneliti yakni
pengetahuan, penggunaan, dan cara menggunakan buah sawo mentah
sebagai obat tipes. Responden tinggal memberikan jawaban atas
pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dengan pilihan jawaban “Ya” dan
“Tidak” lalu apabila memilih jawaban “Ya” maka harus memberikan
alasan atas pilihan jawaban tersebut
Peneliti menggunakan teknik analisa presentase, setelah dilakukan
pengumpulan data lalu disajikan dalam bentuk tabel. Adapun rumus
persentase yang merupakan proporsi pada hitungan 100% berdasarkan
Sibagariang (2010) dalam bukunya yaitu metode penelitian
mengemukakan :

Keterangan :

P =Persentase

F =Frekuensi

N =Responden
100% = Pengali Tetap

Pengukuran pengetahuan responden didasarkan pada jawaban responden


dari semua pertanyaan yang diberikan .

1. Kategori baik, apabila responden mendapat nilai > 75%


2. Kategori cukup, apabila responden mendapat nilai 40-75%
3. Kategori kurang, apabila responden mendapat nilai < 40%

Anda mungkin juga menyukai