Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian Terdahulu bertujuan untuk mendapatkan bahan perbandingan dan acuan.

Selain itu, untuk menghindari anggapan kesamaan dengan penelitian ini maka alam kajian

pustaka ini peneliti mencantumkan hasil-hasil penelitian terdahulu sebagai berikut:

1. Berdasarkan Penelitian dari Reddy Gautama H. Pangabean (2011) dalam Tugas Akhir

Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Institut Teknologi Bandung. Penelitian ini berjudul Optimasi Pemilihan Bit Pada

Pengeboran Sumur Geotermal “LMB-2” Lapangan Geotermal “LMB”. Penelitian ini

bertujuan untuk mengoptimasi ataupun mengelompokkan mata bor yang digunakan

pada pengeboran sumur geotermal sesuai dengan karakteristik batuan penutup

sehingga dapat mempercepat produksi dan dapat mencegah terjadi nya aus pada mata

bor yang digunakan. Pada penelitian ini akan disajikan hasil data pemboran yang

dilakukan pada sumur geotermal dengan kedalaman tertentu menggunakan 2 bit

dengan IADC dan diameter sama namun berbeda merk. Hasil perhitungan 2 bit ini

dengan metode CPF akan dibandingkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi

dari bit yang dipakai pada sumur geotermal yang memiliki karakteristik mirip. Ada

beberapa metode yang dipakai untuk mengetahui kapan sebaik nya bit diganti yang

popular adalah dengan menggunakan metode yang menggunakan pendekatan

ekonomi yaitu metode Cost Per Foot (CPF). Kesimpulan dari penelitian ini adalah

drillability formasi yang ditembus kedua bit relatif sama. Sehingga pengaruh formasi
terhadap perbedaan footage tiap bit ditiadakan. Dan juga metode Cost Per Feet

menunjukkan bahwa bit Reed ekonomis jika pengeboran dengan bit Reed diatas 68

meter.

2. Berdasarkan Penelitan dari Liza Despika Susanti (2019) dalam Tugas Akhir Program

Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Universitas Islam Riau. Penelitian ini

berjudul analisis performance bit menggunakan diamond bit dan roller cone dengan

metode specific energy pada lapangan LD sumur D12 dan D19. Penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis performance bit dengan menggunakan metode specific

energy dan juga untuk membandingkan perhitungan antara diamond bit dan roller

cone bit. Setiap formasi memiliki tingkat kekerasan yang berbeda, sesuai formasi

yang akan di tembus. Dari indikasi tersebut, maka akan dianalisis kinerja mata bor

yang telah digunakan dilapangan LD yaitu pada sumur D12 dan D19. Pengumpulan

data pada penelitian ini berupa data drilling report dan juga data bit. Metode yang

digunakan adalah penelitian terhadap parameter pemboran untuk mendapatkan

keausan gigi bit, dan specific energy. Dalam penelitian ini menggunakan data

sekunder, dimana informasi yang diperoleh berdasarkan teori dan jurnal – jurnal

penelitian serta data – data perusahan yang berkaitan dengan judul penelitian.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah dari hasil perhitungan diamond bit dan roller

cona bit dapat di bandingkan bahwa untuk kondisi sumur dangkal lebih cocok

menggunakan roller cone bit yang nilainya lebih ekonomis, karena roller cone hanya

mampu menembus formasi lunak sampai sedang. Sementara penggunaan diamond bit

lebih cocok untuk sumur yang lebih dalam karena kelebihan dari diamond bit ialah
bias menembus formasi dari yang soft, sedang sampai keras, dan harganya lebih

mahal diamond bit.

3. Berdasarkan penelitian dari Dmitriy Belozerov (2015) dalam Tugas Akhir Jurusan

Teknik Perminyakan dan Pengeboran Fakultas Teknik Universitas Stavanger

Norwegia. Penelitian ini berjudul Pengoptimalan Mata Bor di Lapisan Batuan

Penutup Eldvisk. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan cara mengoptimalkan

kinerja mata bor pada lapisan batuan penutup Eldfisk dengan memperkenalkan solusi

mata bor yang lebih baik atau praktik pengeboran yang lebih baik. Kinerja bit PDC

tidak dapat dengan mudah dimodelkan untuk formasi yang sangat berpotongan seperti

lapisan batuan penutup Eldfisk. Berdasarkan data mud-logging dari sumur referensi,

maka pada penelitian ini kami akan mencoba membuat model ROP empiris

menggunakan analisis regresi berganda (MRA). Kesimpulan dari penelitian ini adalah

Analisis getaran menunjukkan bahwa bit stabil dalam formasi heterogen yang

menantang dan jatuh dari kisaran getaran yang dapat diterima hanya selama 6,6 menit

dari total 67,2 jam pengeboran di dasar (0,16%). Efisiensi pengeboran dari bit run ini

adalah sekitar 66% sebagaimana disimpulkan dari perbandingan DSE dan CCS. Fitur

bit khusus, seperti pemotong tahan benturan tipe baru CT404, pemotong pencatat di

kerucut, MLFB telah diakui sebagai alat yang efisien dalam aplikasi saat ini.

4. Berdasarkan penelitian dari Jurnal, pada tahun 2019 dari Mustafa Kumral dalam

jurnal yang berjudul Optimalisasi Waktu Penggantian Mata Bor di Tamabang

Batubara Cor Terbuka. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu penggantian

mata bor yang optimal sehingga membantu mencapai tingkat penetrasi yang

diinginkan, dan juga dapat meningkatkan efisiensi dan kinerja pengeboran sehingga
berpotensi menghasilkan penghematan. Metode yang digunakan pada penelitian ini

dilakukan dalam tiga tahap yaitu analisis data kehidupan (Weibull) bor, minimalisasi

biaya berdasarkan waktu penggantian yang optimal, dan juga analisis resiko

berdasarkan perbedaan antara biaya penggantian yang diprediksi. Data yang diperoleh

pada penelitian ini adalah data kegagalan mata bor dan biaya perawatan penggantian

pada mata bor. Kesimpulan pada penelitian ini adalah peningkatan waktu operasi

mata bor sebesar 8% dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap total

biaya penggantian suatu operasi pengeboran. Dan juga peningkatan biaya penggantian

kegagalan berdampak negatif terhadap total biaya penggantian yang diharapkan per

unit waktu dan lamanya siklus yang diprediksi (waktu penggantian yang optimal).

Dengan kata lain, ketika biaya penggantian kegagalan meningkat, interval waktu

optimal untuk menggunakan mata bor berkurang.

5. Berdasarkan penelitian dari Piotr Boryczko (2012) dalam Tugas Akhir Jurusan

Teknik Perminyakan dan Pengeboran Fakultas Teknik Universitas Stavenger

Norwegia. Judul penelitian ini adalah Pemilihan dan Pengoptimalan Mata Bor di

Sumur Eksplorasi 6507 / 6-4A di Nordland Ridge Area. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis dan mengoptimalkan mata bor yang digunakan untuk mengebor sumur

eksplorasi lepas pantai di Norwegian Continental Shelf (NCS). Bagian pertama dari

penelitian ini mengulas tentang mata bor dan desain yang tersedia, termasuk yang

digunakan dalam proyek. Bagian kedua akan membahas tentang simulasi

pengoptimalan mata bor untuk sumur 6507 / 6-4A di Nordland Ridge Area. Simulasi

dibangun berdasarkan geologi dan konstruksi sumur, data drill operasional dari

sumur. Pada sumur 6507 / 6-4A, dua bagian target disimulasikan menggunakan
DROPS Drilling Simulator, Sesam 12 ¼ dan sesam 8 ½. Kesimpulan dari penelitian

ini adalah Baik parameter pengeboran yang tepat dan pemilihan jenis serta jumlah

mata bor yang benar, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap biaya dan durasi

pengeboran. Itulah sebabnya penulis telah melakukan banyak simulasi yang rumit.

Hasil yang diperoleh bisa lebih akurat dan lebih sesuai dengan kondisi nyata, jika

digunakan simulator DROPS akan memperhitungkan bit Kymera Hybrid dan

beberapa formasi geologi (batulempung, napal, anhidrit). Untuk alasan ini, penting

untuk mengambil asumsi yang tepat untuk melakukan simulasi yang lebih tepat.

Namun, perolehan hasil yang akurat bukanlah tujuan utamanya, tetapi untuk

mengamati korelasi antara jenis formasi geologi, jenis alat pengeboran, parameter

operasi dan hasil yang diperoleh, seperti ROP, durasi dan biaya. Penulis menemukan

perangkat lunak ini sangat berguna dan alat yang mudah didekati bahkan untuk

pengguna yang kurang berpengalaman. Pekerjaan ini tentunya dapat menjadi bahan

pendukung untuk meningkatkan simulator pengeboran DROPS.

2.2 Profil Perusahaan


PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan tambang terbesar di Indonesia dengan luas
wilayah Kontrak Karya seluas 10.000 hektar. PT. Freeport Indonesia terletak di pegunungan Jaya
Wijaya, Kecamatan Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, dan berada pada posisi
geografis 04º 06' – 04º 012' Lintang Selatan (South Latitude) dan 137º 06' – 137º 12' Bujur Timur
(East Longitude).
Lokasi PT. Freeport Indonesia dapat dicapai melalui dua jalur yaitu jalur laut melalui
pelabuhan laut Amamapare (Portsite) dan jalur udara dengan menggunakan pelabuhan udara
Mozes Kilangin - Timika. Jalan utama dibangun, dengan lebar 12 meter untuk menghubungkan
Portsite dengan pabrik pengolahan di mile 74 yang berjarak 125 km dari pelabuhan laut dengan
melalui Timika Airport, Kuala Kencana, Tembagapura, dan Ridge Camp. Perjalanan dari Timika
ke kota Tembagapura (mile 68) dapat ditempuh sekitar tiga jam bila melalui jalan darat atau
dengan menggunakan jalan udara dengan helikopter selama 15 menit. Seperti yang terlihat di
peta lokasi PT. Freeport Indonesia pada Gambar 2.1.
Selanjutnya, perjalanan dapat dilanjutkan dari tembagapura (mile 68) menuju tempat
penelitian menggunakan bis atau lv dapat ditempuh sekitar 45 menit hingga tiba di DMLZ Uper
Fixed Facility (UFF)
Secara garis besar area kontrak karya PT. Freeport Indonesia dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu :

a. Lowland, daerah dataran rendah dengan elevasi antara 10 m sampai 2.000 mdpal, yang
termasuk dalam daerah ini adalah pelabuhan Amamapare (port site), Kuala Kencana,
pelabuhan udara, pelabuhan laut, daerah penimbunan kargo, dan pompa bahan bakar.
b. Highland, daerah dataran tinggi dengan elevasi antara 2.000 sampai 4.200 mdpal, yang
termasuk dalam daerah ini adalah perumahan karyawan di Hidden Valley (mile post 66),
kantor administrasi dan perumahan karyawan di Tembagapura (mile post 68), Ridge Camp
(mile post 72), Underground Big Gossan, pabrik pengolahan bijih (mile post 74), Mill
Level Adit (MLA) portal, Amole portal, Deep Ore Zone (DOZ), Kucing Liar, Intermediate
Ore Zone (IOZ), GBT, Grasberg Block Caving (GBC), dan tambang terbuka Grasberg.

Gambar 2. 1 Peta Lokasi PT. Freeport Indonesia


(Sumber : UG Mine Geology Dept. PTFI)
2.2.1 Keadaan Iklim dan Curah Hujan
Di daerah penambangan PT Freeport Indonesia suhu udara cukup dingin berkisar antara
30C sampai 200C berbeda dengan daerah penambangan lainnya di Indonesia yang rata-rata cukup
panas. Daerah penambangan juga terkadang berkabut, sering turun hujan dan bahkan pernah juga
turun hujan es. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi daerah Lowland (Portsite, Timika, dan
Kuala Kencana) yang mempunyai suhu yang cukup panas yaitu berkisar 19º C sampai 38º C.
Curah hujan tahunan pada daerah kontrak karya PT. Freeport Indonesia umumnya tinggi, yaitu
antara 2.636 sampai 11.037 mm per tahun dengan tingkat kelembaban yang tinggi.

2.2.2 Topografi
Topografi pada daerah kontrak karya PT. Freeport Indonesia sangat bervariasi karena
terletak mulai dari daerah pantai dan rawa sampai daerah rawa dengan ketinggian 4200 Mdpl
seperti ditunjukan pada Gambar 2.2. Dimulai dari dataran rendah (Lowland) yang relatif datar
dengan ketinggian antara 10 - 2000 Mdpl yang meliputi daerah pelabuhan Amamapare, Kuala
Kencana dan PLTU. Daerah dataran tinggi (Highland) sampai area pengolahan, tambang bawah
tanah, dan tambang terbuka Grasberg merupakan daerah yang tidak rata, curam dan bergunung-
gunung dengan air terjun besar maupun kecil yang masuk didaerah pegunungan Sudirman yang
menjulang tinggi pada ketinggian antara 2000 - 4200 Mdpl. Memasuki areal penambangan
dengan ketinggian sekitar 2800 - 4000 Mdpl, pada permukaan tanah hampir tidak ditemui adanya
pohon melainkan hanya tanaman perdu, rumput dan lumut, hal ini diakibatkan oleh cuaca yang
sangat dingin dan kadang diselimuti salju.
Gambar 2. 2 Kondisi Geografis PT. Freeport Indonesia
Sumber : UG Mine Geology Dept. PT Freeport

2.2.3 Morfologi
Secara garis besar daerah penambangan sangat variatif, dimana pada daerah pelabuhan
(Portsite) merupakan daerah rawa dan pantai yang sekelilingnya merupakan hutan bakau.
Meninggalkan daerah pelabuhan ketinggian semakin besar dan rawa bakau sedikit demi sedikit
menjadi rawa nipa atau sagu. Pada jarak sekitar 40 km memasuki area pedalaman terdapat
dataran dengan ketinggian 350 – 500 Mdpl yang ditumbuhi oleh hutan lebat. Pada daerah ini
mulai terdapat pegunungan dengan bentuk jurang yang terjal.
Mendekati daerah Tembagapura dengan ketinggian sekitar 2000 Mdpl terdapat banyak
jurang, dinding batuan yang terjal, dan juga bentuk air terjun yang besar maupun yang kecil serta
lembah-lembah yang curam. Jika memasuki daerah penambangan dengan ketinggian sekitar
2800 - 4000 Mdpl, kondisi pegunungan membentuk lipatan - lipatan dan patahan yang curam
dan terjal.

2.2.4 Stratigrafi
Stratigrafi atau bentuk perlapisan batuan di sekitar daerah penelitian dibagi dalam empat
kelompok besar, yang terdiri dari kelompok Kembelangan, kelompok New Guinea Limestone,
kelompok Glacial Till, dan kelompok Batuan Intrusi yang dapat diamati pada Gambar 2.3.
Masing-masing kelompok batuan tersebut dipaparkan sebagai berikut:
1. Kelompok Kembelangan
Ahli Geologi PT. Freeport Indonesia telah membagi kelompok Kembelangan ini dalam
empat formasi, yang terdiri dari :
a. Formasi Kopai (Jkk) yang berumur jurrasic serta memiliki ketebalan
sekitar 770 m, tersusun atas sandstone, siltstone, dan black limestone.
b. Formasi Woniwagi (Jkkw) yang berumur cretaceous dengan total
ketebalan sekitar 980 m, tersusun atas batu pasir kwarsa yang berlapis selang-seling
dengan mudstone.
c. Formasi Piniya (Kkp) yang berumur cretaceous dengan ketebalan sekitar
600 m, dan tersusun atas siltstone dan shale.
d. Formasi Ekmai yang berumur cretaceous dengan ketebalan mencapai 700 m. Batuan
penyusun formasi ini dibagi menjadi 3 sub kelompok yang terdiri dari :
1) Lapisan paling bawah dengan tebal 600 m merupakan unit glauconite
sandstone (Kke).
2) Lapisan tengah dengan tebal sekitar 100 m merupakan lapisan calcareous
shale (Kkel).
3) Lapisan paling atas merupakan lapisan yang tipis dengan ketebalan hanya
4 m merupakan lapisan penciri berupa black calcareous shale (Kkeh).

2. Kelompok New Guinea Limestone


Kelompok New Guinea Limestone terdiri dari empat formasi yang memiliki urutan dari
yang paling tua ke muda adalah sebagai berikut :
a. Formasi Waripi (Tw), berumur paleocene dengan ketebalan mencapai
300m yang merupakan lapisan Mg – dolomite dengan sisipan silt dan sand.
b. Formasi Faumai (Tf), berumur eocene dengan ketebalan antara 120 – 150
m dan terdiri dari lapisan massive limestone.
c. Formasi Sirga (Ts), berumur oligocene dengan ketebalan antara 30 – 50 m
yang tersusun oleh quartz zone sandstone dengan semen berupa calcite, siltstone, elat
limestone.
d. Formasi Kais (Tk), berumur oligocene – pliocene dengan ketebalan
mencapai 1.100 m yang terdiri dari empat bagian, yaitu:
1) Bagian tertua dengan ketebalan 300 – 350 m merupakan lapisan Mg – limestone
(Tk1), 30 – 50 m dari bagian lapisan ini merupakan lapisan yang sangat penting
untuk penentuan unit hidrostratigrafi.
2) Bagian kedua (Tk2) merupakan lapisan limestone, shale dan perulangan sandstone
dengan ketebalan total lapisan mencapai 80 m.
3) Bagian ketiga (Tk3) dengan ketebalan kurang lebih 200 m merupakan occasional
imbedded sandstone.
4) Bagian paling muda dari formasi ini (Tk4) dengan ketebalan sekitar 500 m
merupakan lapisan limestone dengan sisipan interbedded carbonaceous shale.

Gambar 2. 3 Stratigrafi Daerah Penelitian


(Sumber : UG Mine Geology Dept. PTFI)

3. Kelompok Glaciatill, Peat, Alluvium


Kelompok Glaciatill, Peat, Alluvium merupakan kelompok batuan yang tidak
terkonsolidasi. Kelompok ini biasanya hadir pada lapisan teratas dan menutupi sebagian besar
permukaan perbukitan. Endapan glaciatill paling besar terdapat di Cartenszewide. Di daerah ini
juga diketahui tebalnya endapan alluvial sekitar 100 m. Adanya sinkholes pada daerah ini
mencirikan bahwa daerah Cartenszewide merupakan bagian dari karst alpine. Ketebalan alluvial
di daerah Cartenszewide juga dapat dipakai sebagai acuan untuk memperkirakan ketebalan
alluvial di Tsinga Valley.

4. Kelompok Batuan Intrusi


Ditinjau dari komposisi batuannya, kelompok batuan intrusi ini merupakan batuan jenis
diorite sampai quartz diorite yang berumur di daerah sekitar pada litologi karbonat. Dua buah
intrusi primer yang ada di sekitar lokasi penelitian adalah Grassberg Intrusive Complex dan
Ertsberg diorite, pada empat lokasi yaitu Wanagon, South Wanagon, Idenberg, dan Lembah
Tembaga (subsurface). Juga akan ditemukan tubuh batuan beku yang ukurannya lebih kecil
dibandingkan dengan batuan intrusi primer.
Intrusi Ertsberg yang terjadi 3,5 juta tahun yang lalu menciptakan endapan-endapan
mineral Ertsberg dan Gunung Bijih Timur di kompleks Intermediate Ore Zone, Deep Ore Zone,
dan D.O.M dan posisi mineral terhadap tambang dalam Gunung Bijih Timur, Deep Ore Zone,
dan Intermediate Ore Zone. Batuan sedimen tertua didaerah ini adalah anggota teratas kelompok
Kambelengan dengan kisaran umur jura sampai kapur. Batuan yang berdiri terutama terutama
selang seling kuarsit dan Batu pasir dan pada keadaan setempat berubah menjadi Hornfels yang
terjadi karena metamorfose sebagai akibat adanya intrusi. Anggota Kelompok Kambelengan
tertutup secara selaras oleh Formasi Foumau yang berumur eosen yaitu besar dari kelompok batu
Gamping Papua. Formasi ini terutama terdiri dari berbagai jenis batu Gamping Bioklastik.

2.2.5 Geologi Struktur


Geologi struktur atau arsitektur kerak bumi dalam pembentukannya pada pulau New
Guinea terbentuk dari pertemuan dua lempeng antara Lempeng Australia (Australian Plate) dan
lempeng Indopasifik. Lempeng Australia bergerak ke utara dan menyelinap di bawah Lempeng
Indopasifik yang bergerak ke arah barat daya dan kemudian mendorong ke dalam selaput magma
cair, proses ini disebut subduksi. Secara geologi dibagi dalam tiga daerah geoteknik di Papua,
yaitu hamparan tanah (Southern Plains), jalur Papua yang bergerak (New Guinea Mobile Belt) di
bagian tengah dan ujung Lempeng pasifik (Pasifik Plate Margin) di sebelah utara.
Gambar 2. 4 Penampang Geologi
(Sumber : UG Mine Geology Dept. PTFI)

Proses terjadinya penerobosan magma dalam bentuk batuan beku terhadap batuan sedimen
yang sebelumnya sudah mengalami patahan dan perlipatan, yang kemudian hasil dari
penerobosan tersebut mengubah batuan sedimen lalu termineralisasi dengan tembaga yang
berasosiasi dengan emas dan perak. Penyusupan lempeng yang terjadi mengakibatkan
pengangkatan batuan sedimen (carbonatan), kemudian di intrusi oleh magma pada batas tepi
lempeng.
Intrusi magma tersebut menghasilkan batuan beku kompleks yang berkomposisi
intermediate (dioritic). Pada akhirnya, proses geologi ini menghasilkan mineralisasi komplek
(skarn) dalam bentuk zona-zona disepanjang batas zona intrusi seperti yang terlihat pada Gambar
2.4.
Gambar 2.5 Zona - Zona Tambang PT. Freeport Indonesia (3D)
(Sumber : UG Mine Geology Dept. PTFI)

Adapun zona – zona ataupun wilayah yang ada di PT. Freeport Indonesia, seperti yang
terlihat pada Gambar 2.5. Wilayah - wilayah tersebut meliputi :
1. Zona Grassberg
Zona ini berupa tubuh intrusi dengan bijih berupa Cu-Au Porphiry dan beberapa Au-Skarn
2. Zona Ertsberg
Zona Ertsberg terbentuk dalam tubuh skarn dengan komposisi mineral Ca-Mg (kalsium –
magnesium) silikat.
3. Zona Gunung Bijih
a. Zona GBT (Gunung Bijih Timur)
b. Zona Mineralisasi bijih dalam atau deep ore mineralizes
c. Zona bijih IOZ (Intermediete Ore Zone)
d. Zona bijih DOZ (Deep Ore Zone)
e. Zona bijih BG (Big Gossan)
2.3 Mata bor atau Bit
Menurut Panggabean (2011), mata bor adalah sebuah alat pemotong yang mana
fungsinya untuk membuat kerusakan yang berbentuk lubang. Formasi batuan yang ditembus
mata bor hendak berbeda - beda mulai dari tipe batuan hingga tingkatan kekerasan yang ada pada
formasi batuan. Pemilihan mata bor wajib dicoba supaya penembusan formasi tersebut berjalan
dengan baik. Pemilihan mata bor juga dapat dilihat dari beberapa faktor antar lain : kekerasan
formasi, compressive strength, serta feature yang terdapat di mata bor tersebut.

Pemakaian mata bor pada proses pemboran dicoba hingga batasan efisiensi pemboran
entah itu dari segi ekonomi ataupun kebutuhan tenaga. Terdapat dua cara yang digunakan ialah
CPF (Cost Per Foot) serta SE (Specific Energy). Tidak hanya itu bisa pula dicoba dengan cara
melihat bentuk fisik dari mata bor tersebut. Untuk seorang drilling engineer sangat diwajibkan
mampu memastikan kapan waktu yang tepat untuk mengganti mata bor.

Hasil produksi mata bor dari perusahaan yang berbeda pada mata bor yang memiliki tipe
sama belum tentu menunjukan kinerja yang sama. Hal ini akan ditinjau lebih lanjut pada
penelitian ini. Penelitian ini membahas bagaimana mengoptimalisasikan jenis mata bor
berdasarkan karakteristik batuan untuk mengurangi biaya pemboran dan juga menghemat waktu.

2.4 Jenis – Jenis Mata Bor (Bit)


Jenis – jenis mata bor atau (bit) pada umumnya dibagi menjadi 3 yaitu :

 Drag bit
 diamond bit
 Rolling cutter bit
2.4.1 Drag Bit

Gambar 2.6 Drag Bit


Sumber : Anjas (2021)

Menurut Chuanliu Wang (2020), Drag bit adalah mata bor yang digunakan untuk
pemboran dangkal dan tidak memiliki bagian yang bergerak. Proses pembuatan lubang dilakukan
dengan memotong batuan. Drag Bit bekerja dengan cara memotong batuan. Mata bor ini tidak
memiliki bagian yang berputar. Hal ini menyebabkan tidak diperlukannya bantalan (bearing)
yang kuat dan bersih. Mata bor ini dapat dibuat seutuhnya dari satu potong logam yang dapat
mengurangi kemungkinan terdapatnya pecahan dari mata bor yang akan meninggalkan kotoran
(junk) pada formasi batuan. Bentuk dari jenis mata bor ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Jenis mata bor ini cocok digunakan untuk formasi-formasi yang tidak terkonsolidasi dan
lunak secara homogen. Semakin keras formasi akan mengurangi laju penurunan yang disebabkan
oleh cepatnya kenaikan tingkat keausan mata bor (rate bit wear). Namun pada formasi lunak
yang bersifat gummy akan menyebabkan pemotongan – pemotongan hasil pemboran menempel
pada mata bor dan menurunkan performanya.

Terdapat varian Drag bit yang menggunakan intan sebagai cutternya dibandingkan
dengan drag bit biasa yang hanya menggunakan pemotong baja (steel cutter). Mata bor ini
dikenal dengan istilah Diamond Bit.
2.4.2 Rolling Cone Bit

Gambar 2. 7 Inserts Tooth Bit and Steel tooth Bit


Sumber : (2012)

Roller cone bit mempunyai kerucut - kerucut yang dapat berputar sehingga bisa
menghancurkan batuan yang ditembus. Keuntungan yang di dapat dari penggunaan jenis mata
bor ini dibandingkan menggunakan dragbit, adalah : Torsi yang terjadi lebih kecil, sebuk bor
yang dihasilkan lebih kecil, dan juga lubang bor yang dihasilkan tidak cepat mengecil. Jenis
roller cone bit mempunyai kerucut (cone) yang dapat berputar untuk menghancurkan batuan.
Pada cone terdapat gigi yang apabila dilihat dari cara pemasangannya dapat dibedakan menjadi
dua, seperti yang ada pada Gambar 2.7, yaitu :

1. Insert tooth bit, yaitu jenis mata bor dimana gigi yang dari mata bor dipasang pada
kerucut (cone).
2. Steel tooth bit, yaitu gigi dari mata bor yang sudah langsung menjadi satu dengan kerucut
(cone).

Dalam prakteknya, untuk membor formasi yang lunak digunakan mata bor dengan gigi
yang panjang, sedangkan untuk membor formasi yang keras digunakan gigi pendek dan tumpul.
2.4.3 Diamond Bit

Gambar 2.8 Diamond Bit


Sumber : Dhimas Haryo Priyoko, Faisal E. Yazid, Abdul Hamid (2015)

Mata bor berlian (Diamond bit) adalah mata bor yang paling mahal harganya karena
memasang butir – butir intan sebagai pengeruk pada matrik besi atau carbide dan tidak memiliki
bagian yang bergerak seperti yang terlihat pada Gambar 2.8. Mata bor ini digunakan untuk
formasi yang keras dan abrasive yang tidak dapat lagi dilakukan oleh mata bor batu (rockbit).
Mata bor berlian ini disesuaikan dengan kekerasan formasi yang akan ditembus. Pemotong pada
mata bor berlian terdiri dari lapisan berlian (diamond) yang di pasang pada substraksi tungsten
carbide untuk menghasilkan pemotong (cutter) seutuhnya. (Reddy. G. H. P, 2016)

Mata bor berlian ini juga digunakan ketika laju (rate) pengeboran sebelumnya kurang
dari 10 ft per jam. Namun, mata bor berlian pada umumnya digunakan untuk coring dimana
menghasilkan inti (core) yang lebih baik terutama pada formasi limestone, dolomite, dan
sandstone yang keras. Pemotong pada mata bor ini tersusun atas lapisan berlian sintetis tipis
yang dibuat dengan tekanan dan temperature yang tinggi, lalu dilekatkan pada badan mata bor
dan substrat (Tungsten Carbide). Berlian sintetis tersebut memiliki daya tahan yang sangat kuat
dan memiliki tingkat penetrasi yang tinggi sehingga memiliki ketahanan maksimum dalam
pemakaiannya dan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Tugsten carbide mempunyai
fungsi untuk menguatkan lapisan berlian. (Dimas Haryo Priyoko, 2015)
Walaupun memiliki harga yang sangat mahal, mata bor berlian tetap masih memiliki
keunggulan dari segi ekonomis dan masih menguntungkan. Mata bor ini memiliki daya tahan
yang paling lama dari mata bor yang lain, maka memberikan keuntungan lebih dari pada operasi
drilling. Ia memerlukan round trip yang lebih sedikit (footage lebih besar) untuk pergantian mata
bor dan mampu membor lubang sumur lebih banyak. Untuk menjaga agar mata bor ini tetap bisa
digunakan secara maksimum, maka lubang bor benar – benar bersih dari kotoran.

Sebab dipilih nya berlian sebagai mata bor dikarenakan berlian dikenal sebagai mineral
yang paling keras (memiliki nilai 10 dalam klasifikasi kekerasan mineral Mohs). Disamping itu
konduktifitas thermal dari berlian juga yang paling tinggi dari pada mineral lain yang
memungkinkan untuk menghilangkan panas yang timbul dengan cepat. Ukuran berlian yang
digunakan sebagai mata bor berbeda untuk masing – masing batuan. Ukuran berlian yang lebih
besar digunakan untuk membor batuan yang lunak, karena pada batuan ini mata bor lebih muda
penetrasi. Sedangkan untuk batuan yang lebih keras digunakan berlian yang berukuran kecil
karena keterbatasan penetrasi pada batuan. Untuk mata bor berlian yang digunakan untuk
keperluan coring, di bagian tengahnya memiliki lubang dengan ukuran berdasarkan ukuran
coring yang akan diambil.

Mata bor berlian (Diamond bit) sendiri juga termasuk ke dalam golongan drag bit. Mata
bor berlian dipakai terutama pada formasi yang sifatnya tidak getas (non-brittle). Permukaan
atau (crown) dari bit terdiri atas banyak intan yang ditanam pada badan bit yang terbuat dari
tungsten carbide. (Rubiandini, 2010)

2.5 Metode Pengeboran Yang Digunakan Untuk Penghancuran Batuan


Ada beberapa macam metode penghancuran batuan yg berkaitan dengan tipe mata bor
atau (bit) yaitu perkusi (percussion), putar (roller), dan juga potong (cut). Jadi, untuk
pengeboran lubang panjang (longhole drilling) itu pengaplikasiannya lebih ke top hammer bit
untuk tipe percussive.

2.5.1 Bor Putar dan Tumbuk (Rotary and Percussion Drill)


Pemboran sistem rotary – percussion adalah pemboran yang aksi penumbukannya
dilakukan oleh mata bor yang dikombinasikan dengan aksi putaran, sehingga terjadi proses
peremukan dan penggerusan permukaan batuan dalam waktu bersamaan. Metode ini dapat
digunakan pada bermacam – macam jenis batuan. Metode pengeboran rotary – percussion
terbagi menjadi dua yaitu :

 Down The Hole Hammer Drilling

Metode ini menggunakan tenaga udara kompresi dalam percussive drilling lebih
efisien dari pneumatic top hammer drill biasa. Kecepatan penetrasi hampir konstan tidak
dipengaruhi oleh kedalaman lubang dan ketepatan pemborannya baik. Udara keluar dari
hammer biasanya bekerja sebagai media flushing dan udara dialirkan melalui mata bor.
pada lapisan berlumpur atau lembab, hal ini akan memperbaiki sistem flushing dalam
lubang. Down The Hole hammer biasanya mempunyai katup pengontrol di bagian ujung,
yang menutup selama pemboran berhenti akan membentuk kantong udara di dalam
hammer, hal tersebut akan menghindarkan air dan cutting masuk ke dalam alat bor.

 Top Hammer Drilling

Metode pemboran top hammer drilling adalah metode pemboran yang terdiri dari
dua kegiatan dasar yaitu putaran dan tumbukan, dua kegiatan ini diperoleh dari gear dan
piston yang kemudian ditransmisikan melalui shank adaptor dan batang bor menuju mata
bor. Top hammer drilling biasanya digunakan pemboran dalam formasi batuan yang
lunak sampe keras, diameter dari 22 mm sampai dengan 254 mm. Top hammer drilling
tergantung dari media transmisi energi yang digunakan. Jenis mata bor yang digunakan
pada top hammer drilling terbagi menjadi dua yaitu button bits dan insert bits.

2.5.1.1 Button Bits


Jenis mata bor ini memiliki kancing (button) dan sisipan (insert) silinder dari tungsten
karbida yang didistribusikan dalam berbagai pola di permukaan seperti ditunjukan pada gambar
2.9. Button bit ini diproduksi dengan diameter yang berkisar dari 50 mm hingga 251 mm. Button
bit ini lebih baik disesuaikan dengan pengeboran putar karena memperoleh kecepatan yang lebih
tinggi di atas bit sisipan (insert). Jenis mata bor ini juga lebih tahan aus, bukan hanya karena
bentuk button nya tetapi juga karena pemasangan button yang lebih efektif ke baja, sehingga bisa
menyusut dan menekan dingin.
Gambar 2.9 Button Bits
Sumber : Chuanliu Wang, (2020)

2.5.1.2 Insert Bits


Insert bits ini memiliki dua konfigurasi desain : bit silang dan X – bit dapat dilihat pada
Gambar 2.10. Bit ini juga pertama kali terdiri dari empat sisipan (insert) tungsten karbida pada
sudut siku-siku satu sama lain, sedangkan bit-X memiliki empat sisipan pada sudut 75⁰ dan 10⁰
satu sama lain. Mata bor ini dibuat dari diameter 35 mm ke atas, normal nya untuk mencapai 57
mm dalam bit melintang dan menggunakan bit-X dari 64 ke atas karena lebih cepat dan
menghindari kecenderungan yang lain untuk membuka lubang ledakan berdiameter besar dengan
penampang pentagonal.

Gambar 2.10 Bit Silang Dan Bit - X


Sumber : Lisa Despika Susanti, (2019)
2.6 Penerapan Mekanika Penghancuran Batuan Dalam Operasi Pemboran
Operasi pemboran merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
minyak dan gas bumi. Dengan adanya perbedaan kedalaman batuan cadangan untuk suatu
tempat dengan tempat lainnya, maka lapisan – lapisan batuan yang dibor akan bervariasi pula.

Para ahli mekanika batuan telah mencoba menerapkan konsep – konsep penghancuran
batuan dengan proses pemboran putar. Penerapan ini dikembangkan dengan memahami sifat
fisik dan mekanika batuan yang mengenai gaya mekanik, seperti halnya pada proses pemboran.
Adanya fluida pemboran dan fluida formasi juga dipertimbangkan sebagai gaya yang bekerja
pada batuan tersebut. (Rubiandini, 2009)

2.6.1 Karakteristik Formasi Batuan

Karakteristik formasi adalah keadaan batuan yang ditembus mata bor selama pemboran
berlangsung. Karakteristik formasi mempengaruhi laju penembusan dan umur mata bor. Dengan
berbedanya kedalaman dari suatu tempat ke tempat lain, maka laju pemborannya akan bervariasi
untuk setiap batuan yang dibor karakteristik formasi yang ditembus mata bor (bit) antara lain
kekerasan batuan dan keabrasifan batuan. (Ma’aruf, 2009)

2.6.2 Kekerasan Batuan

Kekerasan batuan merupakan ketahanan mineral penyusun batuan terhadap goresan.


Untuk menetukan kekerasan relative batuan (H) dapat diperoleh dari skala Mohs, Seperti yang
terlihat dalam Tabel 2.1 selanjutnya batuan dikelompokkan menjadi tiga yaitu (Ma’aruf, 1999) :

 Batuan lunak (H kecil dari 4) meliputi serpih, lempung lunak, garam dan gamping lunak (
gamping renggang atau tak terkonsolidasi)
 Batuan sedang (4 kecil dari H kecil dari 7) meliputi gamping medium, serpih berpasir dan
renggang, garam dan anhidrit.
 Batuan keras (H besar dari 7) meliputi dolomite, gamping kertas, rinjang dan kuarsit.
JENIS MINERAL SKALA MOHS JENIS BATUAN
Talc 1 Lunak
Gypsum 2 Lunak
Calsite 3 Lunak
Florite 4 Sedang
Apatie 5 Sedang
Orthoclas 6 Sedang
Quartz 7 Sedang
Topaz 8 Keras
Corundum 9 Keras
Diamond 10 Keras

Tabel 2. 1 Kekerasan Relatif Batuan Menurut Skala Mohs


Sumber : Ma’aruf, 1999

2.6.3 Keabrasifan

Keabrasifan batuan adalah sifat menggores dan mengikis dari batuan yang dapat
menyebabkan keausan pada gigi mata bor dan diameter mata bor. Setiap batuan mempunyai
keabrasifan yang berbeda. Pada umumya batuan beku mempunyai tingkat abrasif sedang sampai
tinggi, maka mata bor yang digunakan sebaiknya memiliki gigi lebih pendek dan kuat.

2.8 Pemilihan Mata Bor Dan Evaluasi


Mata bor memiliki banyak tipe dan masing-masing tipe memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Sampai saat ini, pemilihan tipe mata bor sebenarnya menggunakan metode trial
& error. Kriteria yang paling tepat dan paling sering digunakan untuk membandingkan kinerja
dari suatu mata bor menggunakan metode CPF (Cost Per Foot). Perbandingan yang dilakukan
pun hanya sebatas pada mata bor dengan tipe yang sama dan menembus formasi yang sama.
Setelah itu didapatkan suatu korelasi sehingga ketika nanti akan mengebor sumur baru akan
langsung dapat menggunakan mata bor yang tepat.

Saat melakukan pemboran, drilling engineer harus mengetahui karakteristik dari formasi
batuan. Dalam hal ini, karakteristik formasi dibagi menjadi dua yaitu kemampuan untuk di bor
(drillability) dan sifat abrasif (abrasiveness). Formation drillability adalah ukuran kemudahan
penembusan formasi dalam selang kedalaman tertentu untuk dibor. Secara garis besar,
drillability adalah fungsi invers dari compressive strength batuan. Drillability cenderung untuk
turun dengan naiknya kedalaman suatu area. Abrasiveness adalah ukuran berapa cepatnya gigi
suatu milled tooth bit akan aus ketika membor suatu formasi. Biasanya abrasiveness cenderung
untuk naik dengan berkurangnya drillability.

2.10 Metode Analisa Biaya Pemboran


Adapun beberapa metode yang biasa digunakan sebagai acuan untuk menganalisa biaya
pemboran yakni :

2.10.1 Metode CPF (Cost Per Foot)

Cost per foot adalah suatu metode perhitungan pembiayaan pemboran berdasarkan
kedalaman yang ditembus, yang biasa digunakan dalam menganalisis pemakaian mata bor.
Dengan mengetahui cost per foot dari mata bor yang telah digunakan, dan parameter yang
mempengaruhi lainnya. Maka dapat mengetahui mata bor yang efisien dan ekonomis untuk
digunakan pada pemboran selanjutnya. (Amjad, 2015)

Biaya pemboran perkedalaman merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam
operasi pemboran. Oleh karena itu, metode ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan utama
dalam memilih mata bor yang akan digunakan dalam sebuah operasi pemboran. Metode ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah harga mata bor, biaya sewa rig, waktu rotasi,
waktu trip serta kedalaman yang dapat ditembus oleh mata bor. (M.Ebrahimi, 2010)

Waktu trip selalu berubah untuk setiap jenis pemboran tergantung dari berbagai macam
keperluan antara lain untuk penyambungan pipa bor, pencabutan mata bor untuk penyemenan,
dan penanggulangan masalah pemboran. Perhitungan waktu trip terutama dilakukan saat
pencabutan sangat mempengaruhi round trip. Melaksanakan trip, yaitu melakukan proses
penarikan atau pencabutan rangkaian pipa dari dalam sumur untuk mengganti mata bor atau
kombinasi peralatan bawah permukaan ( bottom hole assembly) dan kemudian menurunkannya
kembali ke dalam sumur. (Richa Melysa, 2014)

Kriteria pemilihan mata bor yang didasarkan pada metode cost per foot dihitung dengan
menggunakan persamaan :

B+ Rt (Tt +tr)
, $ /foot ………………………………………………. (2.2)
F
Dimana :

B = Harga pahat, $
Rt = Biaya sewa rig per jam, $/jam
Tt = Waktu trip, jam
tr = Waktu rotasi ( umur pahat ), jam
F = Footage ( kedalaman yang ditembus oleh satu kali run pahat ), ft.

Waktu trip (Tt) biasanya tidak mudah ditentukan meskipun proses keluar (POH) dan
masuknya (RIH) drillstring dilakukan. Tt adalah penjumlahan dari waktu POH dan RIH. Jika
mata bor diangkat keluar untuk waktu yang terlalu lama, jika dijumlahkan akan mempengaruhi
waktu total trip yang pada gilirannya akan menaikkan harga cost per foot. Oleh karena itu,
kinerja mata bor dapat dirubah oleh beberapa faktor yang berubah-ubah, sehingga dalam hal ini
waktu rotasi berbanding langsung dengan cost per foot dengan asumsi variabel-variabel lain
konstan.

Kriteria pemilihan mata bor berdasarkan cost per foot adalah memilih mata bor yang
tetap menghasilkan nilai cost per foot yang terendah pada formasi atau bagian lubang yang telah
ditentukan.

Kelemahan penggunaan metoda cost per foot adalah :

1. Diperlukan data pengukuran dan peramalan F, t, dan T yang akurat.


2. Cost per foot dapat naik secara tiba-tiba yang disebabkan karena pemboran menembus
formasi yang keras dan dapat turun secara tiba-tiba jika kembali melewati lapisan yang
lunak.

2.10.2 Metoda Minimum Cost Drilling

Menurut Joko Susilo (2019), Metode ini didasarkan pada faktor-faktor laju pengeboran
yang optimum. beberapa faktor mempengaruhi laju suatu pemboran yakni :

 Tipe Bit
 Weight On Bit (WOB)
 Rotary Speed(RPM)
 Bottom-Hole Cleaning (Fluid Hydraulics)

Kenaikan dalam WOB (weight on bit) dan RPM (rotary speed) umumnya akan
menaikkan laju pemboran. Namun kenaikan ini juga akan mempercepat keausan pada mata bor.
Gambar 2 menunjukkan kenaikan laju pemboran terhadap WOB sebaliknya Gambar 3
menunjukkan kenaikan laju pemboran terhadap rotary speed, rpm dimana kekerasan formasi juga
berpengaruh terhadap optimasi ROP pada metode ini. Baik untuk optimasi pada WOB dan RPM,
kekerasan formasi menjadi parameter tambahan yang berpengaruh pada perhitungan metode ini.

Metode Minimum Cost Drilling sudah diaplikasikan di dunia pengeboran sekitar tahun
1960. Tetapi penggunaannya sangat jarang karena kompleksitasnya yang relatif tinggi. Dimana
asumsi yang digunakan relatif lebih banyak dibandingkan CPF (Cost Per Foot). Dimana CPF
tidak memperhitungkan pengaruh WOB, RPM, dan hidrolika lumpur sebagai parameter yang
berpengaruh terhadap laju penetrasi pengeboran. Selain itu pemrogramannya tidak sesederhana
CPF akibat banyaknya parameter yang diperhitungkan pada metode ini. Metoda Minimum Cost
Drilling didasarkan atas pemilihan WOB dan rotary speed yang optimum sehingga
menghasilkan harga pemboran yang paling minimum. Kenaikan laju pemboran karena kenaikan
WOB atau rotary speed kemudian dikombinasikan dengan menurunnya umur mata bor
digunakan untuk memprediksi batas operasi suatu bit.

Menurut Reddy Pangabean (2016), Laju pemboran untuk suatu tipe rolling cutter bit
dapat dituliskan sebagai :

KWN a
ROP= ' …………………………………………………………....(2.3)
1+ K (D)

K = Konstanta drillability
W = WOB
N = Rotary Speed
K’ = Konstantan drillability fungsi keausan bit
D = Normalized tooth wear
Sedangkan hubungan antara umur mata bor dengan umur bantalan (bearing) dinyatakan dalam L
K''
L= …………………………………………………………………....(2.4)
NW b

L = Umur bit dalam jam


K’’ = Konstanta tipe fluida pemboran
W = WOB
N = Rotarry speed
B = Eksponen yang merupakan fungsi abrasive dari tipe fluida yang kontak dengan bearing

Harga b biasanya ditentukan dengan membuat suatu plot logaritmik dari umur mata bor
dengan WOB untuk suatu mata bor tertentu. Harga b biasanya bervariasi antara 1.0 hingga 3.0.

Dengan diketahuinya laju pemboran yang dapat diperoleh dari suatu mata bor maka dapat
diperkirakan footage yang dapat dibor oleh suatu mata bor sehingga biaya (cost) suatu pemboran
yang minimum dapat diperoleh dengan melakukan seleksi suatu mata bor. Kelemahan metode ini
menggunakan sistem literatif dengan banyak parameter yang harus dicari satu persatu. Untuk
melihat parameter mana yang paling berpengaruh terhadap ROP dan durabilitas mata bor itu
sendiri. Untuk menentukan optimum WOB yang digunakan dalam menentukan ROP optimum
suatu mata bor dapat dilakukan dengan menggunakan korelasi pada gambar 4 yang menjelaskan
pengaruh berat mata bor dengan umurnya. Dimana semakin berat suatu mata bor makin mudah
aus umur gigi atau bearing nya. Jadi makin berat WOB yang diberikan ada batas dimana
drillstring akan mengalami buckling akibat tinggi WOB. Stela Dinescu, Mariora Vesa (2018)

2.10.3 Metode perhitungan optimasi WOB-RPM Galle Woods

Salah satu factor yang mempengaruhi laju pemboran dan biaya nya adalah RPM – WOB.
Teori yang membahas optimasi WOB – RPM adalah Galle dan Woods. M. Arief Fauzan (2015)

Metode ini tidak memasukkan parameter hidrolika dalam perhitungannya seperti pada
metode minimum cost, tujuan dari perhitungan menggunakan teori ini yaitu menentukan
kombinasi dari WOB dan RPM agar menghasilkan laju pemboran optimum dan biaya yang
ekonomis. asumsi yang dipakai dalam teori ini adalah faktor selain WOB dan RPM yang
mempengaruhi laju pemboran dianggap minimum. dengan optimasi WOB dan RPM diharapkan
Rate Of penetration naik dan laju keausan mata bor berkurang sehingga footage yang di dapat
menghasilkan biaya pemboran yang lebih ekonomis. Selain itu konstanta drillability batuan
dapat menjadi parameter perbandingan mata bor yang satu dengan mata bor lainnya.

Beberapa faktor yang mempengaruhi perhitungan optimasi WOB-RPM disini yaitu :

 ROP (rate of penetration)


 Ketumpulan gigi mata bor (bit)
 Keausan bantalan pada mata bor (bearing bit)

2.10.3.1 Faktor Laju Pemboran (ROP)


Menurut Dhimas Haryo Priyoko (2015), ROP (Rate of Penetration) atau laju pemboran
merupakan parameter yang penting. Semakin cepat laju pemboran maka waktu untuk mencapai
kedalaman target menjadi lebih cepat sehingga mampu menghemat biaya sewa rig berikut awak-
awaknya Galle-Woods membuat korelasi bagaimana parameter WOB dan RPM berpengaruh
terhadap ROP dengan persamaan berikut:

Cf W k Nr
ROP= …………………………………………………………….. (2.5)
ap

Dimana :

ROP = Laju pemboran, ft/jam


Cf = Konstanta drillability formasi
k = Eksponen yang menghubungkan pengaruh WOB pada ROP
N = Putaran meja putar, rpm
r = Eksponen yang mempengaruhi pengaruh ROP
ap = Efek keausan gigi mata bor terhadap ROP

Dari persamaan diatas, ROP dipengaruhi langsung oleh kemampuan mata bor dan
keausan gigi pada mata bor. Konstanta kemampuan batuan untuk dibor dapat ditentukan dari
persamaan sebagai berikut :

F .i
Cf = ……………………………………………………………... (2.6)
ḿW k N r Z
Dimana :

F = Selang hasil pemboran, ft


i = Fungsi yang menghubungkan pengaruh RPM terhadap laju keausan gigi mata bor. Dapat
dilihat pada table 2
m = Fungsi yang menghubungkan pengaruh RPM terhadap laju keausan gigi mata bor. Dapat
dilihat pada table 1
z = Parameter yang menyatakan hubungan antara ketumpulan gigi mata bor dengan umur mata
bor
N = Putaran meja putar, rpm

2.10.3.2 Faktor Laju Ketumpulan Gigi Mata Bor


Laju ketumpulan gigi mata bor (D) dapat ditentukan secara matematis dengan persamaan :

1 T r .i
D=
( )
A f a . ḿ
……………………………………………………………. (2.7)

Dimana :

Af = Konstanta abrasiveness formasi


a = Faktor ketumpulan gigi mata bor 0,928125 D2 + 6D + 1
m = Fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju keausan gigi mata bor

2.10.3.3 Faktor Laju Keausan Bantalan Mata Bor


Laju keausan bantalan mata bor (Bx) dapat ditentukan dengan persamaan :

Tr.N Tr.N
Bx = = …………………………………………………………... (2.8)
S . L Bf . L

Dimana :

S = Parameter fluida pemboran

L = Fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju keausan bantalan mata bor, dari
table 1

Bf = Faktor keusan bantalan mata bor, dimana harganya dapat ditentukan dengan persamaaan :
TrN
Bf = …………………………………………………………………… (2.9)
BxL

Dimana :

Tr = Waktu rotasi, jam


Bx = Kondisi bantalan ( kerusakan bearing )
Dari persamaan yang terdapat di atas, kemudian ditentukan variabel-variabel berikut
sebagai pertimbangan optimasi WOB dan RPM. Variabel tersebut adalah :

a) Waktu rotasi
b) Selang yang dibor (footage)
c) Biaya pemboran per kaki

Dari persamaan yang terdapat di atas, kemudian ditentukan variabel-variabel berikut


sebagai pertimbangan optimasi WOB dan RPM. Variabel tersebut adalah:

a) Waktu rotasi
b) Selang yang dibor (footage)
c) Biaya pemboran per kaki

2.10.4 Perhitungan Specific Energy

Metode specific energy merupakan cara yang mudah dan praktis dalam memilih bit yang
tepat. Specific energy adalah energi yang diperlukan untuk mengeliminasi suatu unit volum dari
buatan yang dibor dengan kemungkinan mengambil bagian yang homogen. SE merupakan
pengukuran langsung kinerja mata bor pada formasi dan memberikan indikasi interaksi antara
mata bor dan batuan.

Penentuan besar kecilnya harga SE tidak didasarkan pada sifat batuan saja, tetapi sangat
tergantung dari jenis dan desain bit. Untuk formasi yang diketahui kekuatannya, maka bit yang
digunakan pada formasi lunak akan menghasilkan nilai SE yang berbeda dari yang dihasilkan
oleh bit pada formasi keras. Bit yang mempunyai harga SE terendah adalah pahat yang
ekonomis. (Reedy Gautama, 2016)
Specific Energy didefinisikan sebagai besarnya energi yang dibutuhkan untuk
memindahkan satu unit volume batuan. Persamaan specific energy dapat diperoleh dengan
menganggap energi mekanik (Em) yang dikeluarkan oleh pahat dalam satu menit-nya adalah :

WN ¿−lb
SE=20 , ……………………………………………………….. (2.10)
dROP ¿3

Dimana :

W = Weight on bit, lb
N = Kecepatan putar, rpm
d = Diameter pahat, in
ROP = Rate of penetration (ft/hr)
Penentuan besar kecilnya harga SE tidak didasarkan pada sifat batuan saja, tetapi sangat
tergantung dari jenis dan desain bit. Untuk formasi yang diketahui kekuatannya, maka bit yang
digunakan pada formasi lunak akan menghasilkan nilai SE yang berbeda dari yang dihasilkan
oleh bit pada formasi keras. Bit yang mempunyai harga SE terendah adalah pahat yang
ekonomis.

Anda mungkin juga menyukai