Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH KAJIAN IPA 1

RESPON TUMBUHAN
TERHADAP PERUBAHAN INTERNAL DAN EKSTERNAL

Oleh :

Milda (NIM : 20070795021)


Siti Mahmudah (NIM: 20070795024)
Moh. Shohib (NIM: 20070795026)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
2021

1
A. JALUR TRANSDUKSI SINYAL
Berdasarkan pada percobaan Tim Sutherland, dimana tim ini melakukan
penyelidikan bagaimana hormon epinefrin merangsang penguraian glikogen
didalam sel hati dan sel otot rangka. Penguarain glikogen melepaskan glukosa
1-pospat diubah menjadi glukosa 6-pospat. Sel hati kemudian menggunakan
senyawa ini dalam proses glikolisis untuk menghasilkan energi. Alternatif
lainnya, senyawa ini dibuang pospatnya dan dilepaskan oleh sel hati ke dalam
darah dalam bentuk glukosa, sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar
dalam metabolisme sel.
Hormon epinefrin bekerja dengan cara mengaktifkan enzim didalam
sitosol (glikogen fosporilase). Tim Sutherland menemukan bahwa jika
hormon epinefrin ditambahkan pada tabung reaksi yang berisi enzin dengan
subtratnya utuh ternyata penguraian tidak terjadi, akan tetapi jika hormon
epinefrin ditambahkan kedalam tabung reaksi yang berisi sel utuh, ternyata
hormon eponefrin dapat mengaktifasi glikogen. Berdasarkan hal tersebut Tim
Sutherland menyimpulkan bahwa hormon epinefrin tidak berinteraksi secara
langsung dengan enzim ketika melakukan aktivasi dan membran plasma
dalam sel yang terlibat dalam transmisi sinyal hormon epinefrin.

(Chambel, 2008:410)
Gambar 1: Jalur transduksi sinyal

2
Penelitian awal dari Tim Sutherland, mengisyaratkan bahwa jalur transduksi
sinyal berlangsung melalui 3 tahapan, yatitu penerimaan (Reception),
transduksi (Transduction)¸dan respon (Response).
1. Tahap Penerimaan / Reception
Tahap ini terjadi ketika sel target mendeteksi molekul sinyal yang berasal
dari luar sel. Sinyal kimiawi tersebut terdeteksi ketika molekul sinyal
berikatan dengan protein reseptor yag terdapat pada permukaan membran
sel.
2. Tahap Transduksi / Transduction
Pengikatan molekul sinyal oleh protein reseptor akan mengubahnya
menjadi proses ransduksi. Tahap transduksi ini mengubah sinyal menjadi
suatu bentuk yang dapat menimbulkan respon seluler tertentu.
Transduksi sinyal meliputi aktifitas sebagai berikut:
a. Pengenalan berbagai sinyal dari luar terhadap reseptor spesifik yang
terdapat pada permukaan membran sel.
b. Penghantaran sinyal melalui membran sel ke dalam sitoplasma.
c. Penghantaran sinyal kepada molekul efektor spesifik pada bagian
membran sel atau efektor spesifik dalam sitoplasma.
3. Tahap Respon / Response
Hantaran sinyal ini kemudian akan menimbulkan respon tertentu terhadap
sinyal tersebut. Respon yang timbul tergantung pada jenis sinyal yang
diterima. Respon dapat berupa peningkatan atau penurunan aktifitas
enzim-enzim metabolik, rekonfigurasi sitoskeleton, perubahan
permeabilitas membran sel, aktifasi sintesa DNA, perubahan ekspresi
genetik atupun program apoptosis.
Secara singkat, langkah-langkah transduksi sinyal dimulai dengan sintesis
molekul sinyal oleh sel yang memberi sinyal, lalu dilanjutkan dengan
pelepasan molekul sinyal oleh sel yang memberi sinyal sehingga terjadi
transpor sinyal oleh sel target. Kemudian akan terjadi pengikatan sinyal oleh
reseptor spesifik yang menyebabkan aktivasi reseptor tersebut, lalu terjadi
inisiasi satu atau lebih jalur transduksi sinyal intrasel, hal ini akan

3
mengakibatkan perubahan spesifik fungsi, metabolisme, atau perkembangan
sel sebagai bentuk respon yang diberikan.
Kadangkalanya dalam proses transduksi sinyal melibatkan pembawa pesan
kedua (Second Messenger) yang merupakan jalur persinyalan yang melibatkan
molekul atau ion kecil nonprotein yang terlarut-air. Sedangkan molekul sinyal
ekstraseluler yang mengikat reseptor membrane merupakan pembawa pesan
pertama jalur. Karena pembawa pesan kedua itu kecil dan terlarut dalam air,
maka pesan ini segera menyebar ke seluruh sel dengan berdifusi. Pembawa
pesan kedua berperan serta dalam jalur yang diinisiasi reseptor terkait protein-
G maupun reseptor tirosin-kinase. Pembawa pesan kedua (Second Messenger)
yang paling banyak digunakan, yaitu AMP siklik (cAMP) dan Ion kalsium (ion
Ca2+)
Respon Etiolasi dan Respon De-etiolasi Pada Tumbuhan
Semua organisme menerima sinyal tertentu dan merespon sinyal
tersebutdengan cara-cara yang meningkatkan kesintasan dan keberjasilan
reproduksinya, (Champbell, 2008). Sebagai contoh, leba memiliki fotoreseptor
snsitif UV dimatanya,sehingga dapat melihat pola-pola pemandu nektar pada
petal bunya, yang mana kemampuan ini tidak dimilikioleh manusia. Tumbuhan
juga memiliki reseptor seluler yang digunakan untuk mendeteksi perubahan-
perubahan penting yang terjadi di lingkungan internal maupun ekternalnya.
Misalnya, perubahan konsentrasi hormon pertumbuhan, atau banyak dan
sedikitnya intensitas cahaya di lingkngan.
Agar suatu stimulus dapat memicu respon, maka setiap organisme harus
memiliki sel-sel dengan reseptor yang sesuai. Jika lentang yang berada ditempat
yang gelap, maka kentang tersebut akan memiliki batang yang sangat pucat dan
daun tidak berkembang serta akar yang pendek dan membentuk bonggol. Selain
itu, kentang yang berada ditempat yang gelap akan sedikit kehilangan air
sehingga kentang tersebut akan melakukan penyerapan air dalam jumlah yang
sedikit untuk menjaga kadar air didalam tubuhnya (osmoregulasi). Pada kentang
yang berada pada kondisi seperti ini, seluruh energi yang digunakan untuk
membuat klorofil pada daun digunakan untuk memanjangkan batangnya,

4
(Campbell,2008). Seluruh kondisi morfolgi pada kentang yang berada di tempat
gelap ini disebut etiolasi (etiolation). Respon etiolasi merupakan salah satu
contoh bagaimana morfologi dan fisiologi tumbuhan disesuaikan dengan
lingkungan melalui interaksi antara sinyal lingkngan dengan kondisi internal.
Ketika tunas yang tumbuh, mulai mendapatkan sinar matahari, maka tumbhan
tersebut akan mengalami perubahan-perubahan besar, yang secara kolektif
disebut dengan de-etiloasi ( secara informal dikenal dengan “penghijauan” atau
greening). Perubahan-perubahan tersebut antara lain, pemanjangan batang akan
melambat, daun akan mengembang, akar akan memanjang dan tunas
menghasilkan klorofil, (Champbell,2008).
Proses tranduksi sinyal karena adaya respon cahaya (de-etiolasi) ini
tergambarkan pada gambar berikut.

(Champbel,2008:411)
Gambar 2: Transduksi sinyal pada tumbuhan : peran fitokrom dalam respon
de-etiolasi

Tahap transduksi sinyal pada tumbuhan karena stimulus cahaya sehingga


menimbulkan respon de-etiolasi atau penghijauan, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Tahap Penerimaan Sinyal
Molekul sinyal pertama kali dideteksi oleh protein reseptor yang
mengalami perubahan karena merespon stimulus cahaya. Protein reseptor
yang terlibat dalam peristiwa ini sejenis fitokrom yang dikenal dengan

5
fotoreseptor. Protein reseptor yang terlibat dalam peristiwa ini terletak
didalam sitoplasma.
2. Tahap Transduksi
Respon de-etiolasi ini dipicu oleh tingkat cahaya yang rendah, lalu
diperkuat dengan adanya pembawa pesan kedua (second messengger).
Pembawa pesan kedua yang ertindak dalam peristiwa ini adalah GMP
siklik (cGMP) dan ion Ca2+.
Cahaya yang diterima oleh fitikrom akan mengakibatkan peingkatan kada
cGMP dan ion Ca2+. GMP siklis akan mengaktivasi protein kinase yang
kemudian akan mempengaruhi aktivasi protein lainnya melalui fosforilasi,
yaitu modifikasi dan melekatkan gugus pospat ke protein pada tempat
tertentu. Prubahan kadar ion Ca2+ didalam sitolos juga memiliki peran
dalam transduksi sinyal. Konsentrasi ion Ca2+ biasanya berapa dalam
keadaan rendah, namun dengan adanya aktivasi fitokrom ini saluran-
saluran ion Ca2+ akan membuka sehingga akan mengakibatkan
peningkatan sementara kadar ion Ca2+ didlam sitosol. Peningkatan kadar
ion Ca2+ akan mengkativasi protein lain melalui fosforilasi.
3. Tahap Respon
Jalur transduksi sinyal akan menyebabkan regulasi satu atau lebih
aktivitas seluler dan respon yang diberikan akan melibatkan peningkatan
aktivitas enzim-enzim tertentu. Regulasi aktivitas seluler pada peristiwa
ini ada 2, yaitu regulasi traskipsi dan modifikasi protein pasca translasi.
Protein-protein yang diaktivasi pada peristiwa de-etiolasi ini antara lain:
enzim yang berfungsi dalam peristiwa fotosintesis, enzim yag berperan
dalam pembuatan klorofil, protein yang mempengaruhi kadar hormon
tumbuhan yang meregulasi pertumbuhan seperti hormon auksin dan
brasinosteroid.

6
B. HORMON TUMBUHAN
Thimann (1948) menyarankan penggunaan istilah 'phytohormones' untuk
merujuk hormon tanaman yang membedakannya dari hormon hewani. Dia
mendefinisikan phytohormon sebagai senyawa organik yang diproduksi
secara alami pada tanaman tingkat tinggi, yang mengendalikan pertumbuhan
atau fungsi fisiologis lainnya di bagian yang berbeda dari tempat asal
produksinya, serta aktif dalam jumlah kecil. Definisi ini mencakup berbagai
senyawa, termasuk yang bertanggung jawab atas pertumbuhan melengkung
pada organ seperti Avena coleoptile. Termasuk juga hormon yang
menyebabkan pembungaan, penyembuhan luka dan juga vitamin yang
berperan sebagai faktor pertumbuhan.
Definisi hormon tanaman dengan lingkup yang lebih luas disampaikan
oleh Johannes van Overbeek (1950). Hormon tanaman didefinisikan sebagai
senyawa organik yang mengatur proses fisiologis tanaman yang terlepas dari
apakah senyawa ini terjadi secara alami dan-atau sintetis; merangsang dan-
atau menghambat; aktivator lokal atau zat yang bertindak pada jarak dari
tempat mereka terbentuk. Sedangakan Meirion Thomas (1956) yang
menyatakan bahwa semua hormon adalah zat berkorelasi yang bermigrasi
atau penghubung yang memainkan peran penting dalam integrasi perilaku
tanaman.
Hormon tanaman didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi
yang aktif dalam jumlah kecil (10-6 – 10-5 mM) yang disintetiskan pada
bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lainnya
di mana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan
morfologis. Selain dalam tubuh tanaman, hormon dapat diproduksi luar tubuh
tanaman dan dikenal sebagai hormon sintetis.
Hormon atau biasa disebut zat pengatur tumbuh tanaman (ZPT) adalah
senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit (1 mM) dapat
merangsang, menghambat dan mempengaruhi pola pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Wattimena, 2000). Hormon sangat diperlukan
sebagai komponen medium bagi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Tanpa

7
hormon pertumbuhan tanaman akan terhambat, bahkan mungkin tidak
tumbuh sama sekali. Berdasarkan definisi sebelumnya, hormon tanaman
harus memenuhi syarat berikut:
1. Senyawa organik
2. Harus dapat ditranslokasikan
3. Aktif dalam konsentrasi rendah
4. Mempengaruhi pertumbuhan tanaman
5. Tempat sintetis dan kerja berbeda
Hormon tanaman yang dikenal antara lain Auksin, Sitokinin, Giberelin,
Brasinosteroid, Asam abisat dan etilen, (Champbell, 2008).
1. Auksin
Kogl dan Haagen-Smit (1931) mengenalkan istilah 'auksin' (auxein dari
asal kata Yunani yang berarti tumbuh atau meningkat) untuk menentukan
hormon tanaman yang secara khusus berkaitan dengan pembesaran sel
atau pertumbuhan tunas. Oleh karena itu auksin dapat didefinisikan
sebagai Zat organik yang mendorong pertumbuhan (yaitu peningkatan
pertumbuhan yang ireversibel) sepanjang sumbu longitudinal bila
diterapkan dalam konsentrasi rendah pada tunas tanaman, dan dapat
ditranslokasikan dari organ pembentuknya, (Thimann, 1948).
Peran auksin telah ditunjukan dengan jelas pada selubung daun atau
koleoptil tanaman gandum (Avena sativa). Koleoptil (Gambar 3) adalah
struktur tubular dengan bagian atas kerucut dan membungkus daun yang
pertama terbentuk di dalamnya. Penampang melintang koleoptil
menunjukkan bahwa itu terdiri dari lapisan epidermis dan beberapa sel
parenkim dengan dua bundel vaskular yang membentang secara
longitudinal.

8
Gambar 3: Bagian Koleoptil Avena

Konsentrasi auksin terbesar biasanya ditemukan pada apeks (ujung


daun) tumbuh tanaman, yaitu di ujung koleoptil, pada kuncup dan ujung
daun dan akar yang tumbuh. Namun, auksin banyak ditemukan di seluruh
tubuh tanaman. Secara umum, dapat dikatakan bahwa dimana terjadi
pertumbuhan aktif, ada produksi auksin. Pembentukan auksin oleh organ
dewasa seperti daun, bagaimanapun, menunjukkan bahwa pertumbuhan
mungkin bukan prasyarat untuk produksi auksin.

Gambar 4: Distribusi auksin pada bibit koleoptil dan akar

9
Thimann (1934) mempelajari distribusi auksin, secara rinci, dalam
kultivar Avena ter-etiolasi. (Gambar 4). Dia menemukan bahwa
konsentrasi auksin turun saat tumbuhan berkembang dari ujung koleoptil
ke dasarnya; konsentrasi tertinggi berada di ujung dan terendah di
pangkalnya. Jika berkembang lebih jauh dari dasar koleoptil di sepanjang
akar, ada peningkatan yang stabil pada kandungan auksin sampai
maksimum tercapai di ujung akar. Dari dua nilai maksimal tersebut, maka
untuk ujung batangnya jauh lebih tinggi dari pada ujung akar. Thimann
dan Skoog (1934) ketika bekerja dengan Vicia faba menanam benih dalam
kondisi terang, ditemukan konsentrasi auksin di berbagai organ dalam
urutan menurun berikut ini:
Tunas pucuk > Daun muda > Daun dewasa.
Jumlah auksin yang mudah larut untuk organ tanaman ini ditemukan kira-
kira dalam perbandingan 12: 2: 1.
Hormon auksin berperan dalam merangsang pemanjangan
koleoptil. Hormon auksin ditransfer menuruni batang dari pucuk tunas
pada kecepatan sekitar 10 mm/jam. Di tunas auksin hanya bergerak dari
ujung ke dasar dan tidak bergerak dari arah sebaliknya. Transport seperti
ini disebut dengan transport polar. Transport polar tidak dipengaruhi oleh
gaya grafitasi, melainkan disebabkan oleh distribusi polar protein transport
auksin di dalam sel. Tranposter-transporter auksin yang terkonsentrasi
pada ujung basa sel akan menggerakkan hormon tersebut keluar sel.
Hormon auksin kemudian dapat memasuki ujung apikal sel tetangga.
Hormon auksin ini memiliki beberapa pengaruh pada tumbuhan, yaitu
pemanjangan sel dan pembentukan akar lateral, (Champbell, 2008).
Auksin merangsang pemanjangan sel di dalam tunas-tunas muda
yang sedang bekembang. Hormon auksin hanya merangsang pertumbuhan
pada kisaran tertentu (10-8-10-4 M), jika berada pada konsentrasi yang lebih
tinggi, hormon auksin ini justru dapat menghambat pemajangan sel.

10
Pada proses pemanjangan sel, pada daerah pemanjangan tunas,
auksin akan merangsang pompa proton (H+) di membran plasma.
Pemompaan ini mengakibatkan peningkatan voltase di kedua sisi
membran dan penurunan PH di dalam sel.
Penurunan PH di dalam sel akan mengakibatkan aktivasi enzim-enzim
yang mematahkan tautan silang antara mikrofibil dengan dinding sel.
Peningkatan potensial membran akan menambah pengambilan ion ke
dalam sel, yang menyebabkan pengambilan osmosis air dan peningkatan
turgor. Turgor dan plastisitas dinding sel yang meningkat akan
mengakibatkan sel memanjang.

(Champbell, 2008)
Gambar 5: Pemanjangan sel sebagai respon terhadap auksin

Auksin juga berpengaruh terhadap pertumbuhan batang.


Tumbuhan yang terkena cahaya dari suatu arah akan melengkung ke arah
cahaya tersebut (fototropisme). Membengkoknya batang tumbuhan
tersebut disebabkan adanya perbedaan konsentrasi hormon auksin. Pada
daerah gelap, konsentrasi hromon auksin lebih tinggi bila dibandingkan
dengan daerah yang lebih terang. Hal ini mengakibatkan pemanjangan
batang di daerah gelap lebih cepat bila dibandingkan dengan di daerah

11
terang. Pemanjangan yang tidak seimbang ini, mengakibatkan batang
menjadi bengkok.

2. Sitokinin
Van Overbeek et al (1941) menemukan santan sebagai stimulan
aktif pembelahan sel. Kemudian, pada tahun 1955 Carlos Miller dkk
mengisolasi sebuah faktor pembentuk stimulasi sel dari DNA ragi. Zat ini
dinamakan sebagai kinetin karena kekuatannya yang luar biasa untuk
merangsang pembelahan sel (sitokinesis) dengan adanya auksin.
Selanjutnya banyak senyawa lain yang mempromosikan pembelahan sel
telah disintesis. Miller dan rekan-rekannya (1956) telah mengelompokkan
semua senyawa tersebut termasuk kinetin dengan nama generik kinin. D.S.
Leetham (1963) dari Selandia Baru mengusulkan istilah sitokinin untuk
zat semacam itu.
Skoog, Strong dan Miller (1965) telah mendefinisikan sitokinin
sebagai bahan kimia yang terlepas dari aktivitasnya, mempromosikan
sitokinesis (pembelahan sel) pada sel berbagai organ tanaman. Fox (1969)
telah mendefinisikan sitokinin sebagai bahan kimia yang tersusun dari satu
kelompok adenin hidrofilik dengan spesifisitas tinggi dan satu kelompok
lipofilik tanpa spesifisitas.
Meskipun kinetin tidak terjadi di alam tetapi kinin lainnya
ditemukan terbentuk secara luas pada tumbuhan. Pembentukan kinin alami
tidak terjadi bebas di alam tetapi biasanya terikat pada gula pentosa, ribosa
dan kadang-kadang ke fosfat anorganik, ribonukleotida. Buah dan
endosperma adalah sumber terbanyak dari kinin. Santan kelapa dan
endosperm jagung memiliki zat aktif kinin. Zat yang mirip dengan
aktivitas sitokinin juga telah ditemukan dalam jus tomat, dalam ekstrak
bunga apel dan pir dan juga pada jaringan tanaman kambial tertentu. Zat
mirip kinetin juga hadir dalam embrio persik (Powell dan Pratt, 1964) dan
exudate akar bunga matahari (Kende, 1964). Diphenylurea dan banyak
turunannya memiliki aktivitas sitokinin. Beberapa sitokinin sintetis

12
tersedia. Ini termasuk benzimidazol dan 6- benziladenin. Adenine juga
memiliki beberapa aktivitas sitokinin.
Pada tanaman angiosperma, sitokinin disintesis sebagian besar di akar
dan mungkin berasal dari ujung akar. Apakah tunas juga mensintesis
sitokinin atau menerima kebutuhan sitokinin dari akar tidak pasti.
Bertentangan dengan apa yang pertama diyakini, sitokinin bukanlah
produk pemecahan DNA. Sebaliknya, mereka dibuat melalui jalur
mevalonate, jalur yang sama digunakan untuk membuat gibberelin. Seperti
gibberelin, sitokinin bergerak secara nonpolar dalam sel xilem, floem, dan
parenkim.
Sitokinin dihasilkan pada jaringan yang sedang aktif tumbuh,
terutama dibagian akar, embro dan buah, (Champbell, 2008). Sitokinin
akan bekerja sama dengan hormon auksin untuk merangsang pembelahan
sel dan mempengaruhi jalur deferensiasi. Pada sebuah percobaan ketika
sepotong jaringan parenkin dari batang di kultur tanpa keberadaan
sitokinin, sel-sel tersebut tumbuh sangat besar namun tidak terjadi
pembelahan. Namun jika sitokinin ditambahkan bersama dengan auksin,
maka sel-sel tersbut akan mebelah. Rasio penabahan sitokinin dan auksin
ternyata mempengaruhi diferensiasi sel. Jika rasio antara sitokinin dan
auksin sama, maka yang terjadi masa sel mengalami pertumbuhan namun
tetap membentuk gugusan sel tak terdeferensiasi (kalus). Namun jika rasio
sitokinin lebih banyak dari auksin akan menyebabkan pemanjangan tunas
dan daun, sebaliknya ketika sitokinin rendah terhadap rasio auksin ternyata
akan menyebabkan pembentukan akar.
Hormon sitokinin dan auksin juga mengontrol dominasi apikal, yaitu
kemampuan kuncup apikal untuk menekan kuncup akasilaris. Sampai saat
ini, hipotesa yang berkembang adalah hormon sitokinin dan auksin bekerja
secara antagonis dalam meregulasi pertumbuhan kuncup aksilaris.

13
(Champbell,2018)
Gambar 6: Dominasi apikal
Menurut pandangan ini, auksin akan menghabat pertumbuhan
kuncup aksilaris secara langsung dan menyebabkan tunas memanjang
namun percabangan lateral tidak terjadi. Sementara itu, sitokinin
memasuki tunas akan melawan kerja auksin dengan memberi sinyal
kepada kuncup aksilaris agar mulai tumbuh. Jika kuncup apikal dibuang,
maka tumbuhan akan menjadi semakin rimbun.
Efek lain dari sitokinin adalah dapat memperlambat penuaan
organ-organ tumbuhan tertentu dengan menghambat pemecahan protein,
merangsang sintesa RNA dan protein serta memobilisasi nutrien dari
jaringan-jaringan disekitarnya.

3. Geberelin
Para gibberelin ditemukan dengan cara yang menarik dan
insidental. Pada awal abad ke-20, petani Jepang mencatat bahwa beberapa
tanaman di sawah lebih tinggi, lebih tipis dan lebih pucat daripada
tanaman normal; memiliki daun yang lebih panjang dan sempit yang
tumbuh berlebih berbeda secara mencolok dengan tanaman lainnya yang
tidak terpengaruh; dan terkadang juga tidak memiliki buah. Mereka
menamai penyakit ini sebagai "bakanae", artinya bibit yang rusak.
Sawada (1912) mengemukakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh 'zat'
yang disekresikan oleh parasit sebagai jamur komersil, Gibberella
fujikuroi (bentuk sempurna, kadang-kadang terjadi; bentuk yang tidak

14
sempurna adalah Fusarium moniliforme), dalam menginfeksi tanaman
berpenyakit. Saran ini didukung secara eksperimental oleh Ewiti
Kurosawa (1926) yang menunjukkan bahwa jamur filtrat steril dapat
memulai gejala penyakit bakanae pada bibit padi sehat. Kemudian pada
tahun 1939, Yabuta dan Hayashi mengisolasi zat pendukung pertumbuhan
ini dalam bentuk kristal dan menamainya sebagai gibberellin A, yang
sekarang telah ditunjukkan sebagai campuran dari banyak promotor
pertumbuhan, yang secara kolektif dikenal sebagai gibberelin.
Pada tahun 1950-an, para peneliti menemukan bahwa tumbuhan
juga menghasilkan giberelin (GA). Sejak saat itu para saintis telah
mengidentifikasilebih dari 100 geberelin berbeda yang terdapat secara
alamiah pada tumbuhan. Geberelin memiliki beberapa pengaruh terhadap
pertumbuhan tumbuhan, antara lain seperti pemanjangan batang,
pertumbuhan buah, dan germinasi biji.
Tempat utama pembuatan geberelin adalah pada akar dan daun
muda. Giberelin merangsang pertumbuhan batang dan daun, dan sedikit
memiliki efek terhadap akar. Pada batang, giberelin merangsang
pemanjangan sel dan pembelahan sel. Geberelin mengaktivasi enzim-
enzim yang melonggarkan dinding-dinding sel, sehingga memfasilitasi
masuknya protein-protein ekspansin. Dengan demikian geberelin bekerja
bersama dengan hormon auksin untuk mendorong pemanjangan batang.
Pada beberapa tumbuhan, hormon auksin dan hormon giberelin
harus ada pada tumbuhan tersebut ada buah dapat berkembang. Contoh
yang paling nyata adalah penyemprotan hormon giberelin pada buah
anggur Thompson. Hormon ini menjadikan buah anggur tumbuh lebih
besar. Selain itu, giberelin juga menyebabkan internodus anggur
memanjang.
Embrio adalah bagian tumbuhan yang banyak mengandung
giberelin. Setelah air diimbibisi, pelepasan giberelin dari embrio akan
memberi sinyal bagi biji untuk mengkahiri dormansi dan memulai
bergerminasi.

15
(Champbell, 2008)
Gambar 7: mobilisasi nutrien oleh giberelin.
Setelah biji mengimbibisi air, embrio melepaskan geberelin (GA),
yang mengirikan sinyal ke aleuron (lapisan luar endosperma yang tipis).
Alueron merespon GA dngan mensintesis dan mengsekresikan enzim-
enzim digestif yang menghidrolisis nutrien yang tersimpan dalam
endosperma, salah satunya adalah α-amilase. Gula dan nutrien lain yang
diserap dari endosperma oleh kotiledon akan dikonsumsi selama
pertumbuhan embrio.
4. Brasinosteroid
Brasinosteroid adalah sejenis steroid yang secara kimiawi
menyerupai kolesterol dan hormon-hormon seks pada hewan. Hormon ini
mengnduksi pemajangan dan pembelahan sel pada segmen-segmen
batang dan semaian pada konsentrasi serenda 10-12 M. Hormon ini juga
menghambat absisi daun (penguguran daun) dan mendorong diferensiasi
xilem.
5. Asam Absisat
Asam absisat (abscisic acid) atau ABA memiliki peran tidak sama
dengan hormon-hormon pertumbuhan lainya (auksin, giberelin, sitokinin).
Hormon ABA memiliki peran memperlambat pertumbuhan. ABA
seringkail bekerja secara antagonis terhadap hormon-hormon
pertumbuhan yang lain, dan rsio ABA terhadap satu atau lebih hormon

16
yang lain akan menentukan hasil fisiologis akhir. Peran hormon ini pada
tumbuhan adalah pada dormansi biji dan toleransi terhadap kekeringan.
Dormansi biji meningkatkan kecenderungan bahwa biji akan
bergerminasi ketika hanya ada cukup cahaya, suhu dan kelembapan.
Kadar ABA dapat meningkat 100 kali lipat selama pematangan biji.
Kadar ABA yang tinggi dalam biji yang sedang mengalami proses
pematangan menghambat germinasi dan menginduksi produksi protein
tertentu yang membantu biji bertahan dari dehidrasi selama proses
pematangan. Kebanyakan biji-biji yang dorman bergerminasi ketika ABA
di inaktivasi. Biji tumbuhan gurun akan mengkahiri dormansi pada musim
hujan ketika ABA terbilas dari biji tersebut. Beberapa biji yang
lainmemerlukan cahaya untuk menginaktivasi ABA. Seringkali, rasio
antara geberelin dan ABA menentukan apakah biji tersebut akan tetap
dormansi atau bergerminasi. ABA dalam kadar yang rendah atau tidak di
inkativasi akan mengakibatkan germinasi dini.

(Champbell, 2008)
Gambar 8: Germinasi dini pada bakau dan jagung
ABA adalah molekul prsinyalan internal utama yang menyebabkan
tumbuhan mampu menahan kekeringan. Ketika tumbuhan mulai layu,
ABA akan terakumulasi di bagian daun dan menyebabkan stomata
menutup dengan cepat, sehingga akan mengurangi transpirasi dan
mencegah kehilangan air lebih banyak lagi.

17
6. Etilen
Etilen adalah hidrokarbon sederhana yang dihasilkan dalam jumlah
sedikit oleh sebagian besar tumbuhan dan berfungsi sebagai hormon
pertumbuhan. Hormon ini dihasilkan oleh buah yang sudah tua dan
berfungsi dalam pematangan buah atau biji. Etilen juga menyebabkan
pertumbuhan batang menjadi tebal dan kokoh. Etilen merupakan senyawa
unik dan hanya dijumpai dalam bentuk gas (C2H4). Tanaman sering
meningkatkan produksi etilen sebagai respons terhadap stress dan
sebelum mati. Konsentrasi etilen fluktuasi terhadap musim untuk
mengatur kapan mematangkan buah.
Tumbuhan menghasilkan etilen sebagai respon terhadap berbagai
stres seperti kekeringan, kebanjiran, tekanan mekanis, cedera dan infeksi.
Etilen juga dihasilkan selama pematangan buah dan kematian sel serta
sebagai respon terhadap auksin yang diberikan secara eksternal dalam
kadar tinggi.
Ketika sebuah semaian ercis yang mendorong keatas melalui tanah,
namn terbentur oleh batu. Saat mendorong melawan rintangan tersebut,
stres pada ujungnya akan menghasilkan hormon etilen. Hormon tersebut
kemudian akan memicu pertumbuhan yang disebut dengan respon
rangkap tiga. Ketiga bagian respon tersebut adalah perlambatan
pemanjangan batang, penebalan batang dan penekukan batang yang
mengakibatkan batang tumbuh mendatar. Etilen-lah yang menginduksi
batang tumbuh mendatar bukan halangan fisik itu sendiri. Ketika etilen
diberikan pada semaian normal yang tumbuh tanpa halangan fisik,
semaian tersebut tetap memberikan respon rangkap tiga.

Gambar 9: Respon rangkap tiga yang diinduksi oleh etilen

18
C. RESPON TUMBUHAN TERHADAP CAHAYA
Respons terhadap cahaya sangat penting bagi keberhasilan tumbuhan
Cahaya adalah factor lingkungan yang sangat penting dalam kehidupan
tumbuhan. Selain diperlukan untuk fotosintesis, cahaya member petunjuk
bagi banyak peristiwa kunci dalam pertumbuhan dan perkembangan
tumbuhan. Efek-efek cahaya pada morfologi tumbuhan disebut
fotomorfologenesis (photomorphogenesis) oleh para ahli biologi tumbuhan.
Penerimaan cahaya juga memungkinkan tumbuhan mengukur berlalunya hari
dan musim.
Cahaya adalah faktor yang paling penting yang mempengaruhi tumbuhan.
Panjang gelombang cahaya berkisar dari UV-A sampai cahaya merah-jauh
yang dirasakan oleh beberapa fotoreseptor untuk mengenali lingkungan
cahaya. Cahaya biru menginduksi berbagai perkembangan dan tanggapan
gerakan, termasuk pertumbuhan melengkung fototrofik, pembukaan
kotiledon, fotoperiodik pembungaan, daun merata, etiolasi, pembukaan
stomata, gerakan kloroplas, akumulasi antosianin, ekspresi gen, dan
penghambatan perpanjangan hipokoti.
Tumbuhan dapat mendeteksi tidak hanya keberadaan cahaya, namun juga
arah, intensitas, dan panjang gelombang (warna) cahaya. Suatu grafik yang
disebut spectrum aksi (action spectrum) menggambarkan keefektifan relative
panjang gelombang radiasi yang berbeda-beda dalam mendorong proses
tertentu. Misalnya, spectrum aksi untuk fotosintesis memiliki dua puncak,
satu pada cahaya merah dan satu lagi pada cahaya biru. Ini disebabkan kaena
klorofil mengabsorbsi cahaya terutama pada bagian merah dan biru dari
spectrum cahaya tampak. Spectrum-spektrum aksi berguna dalam
mempelajari proses apapun yang bergantung pada cahaya, seperti
fototropisme. Dengan membandingkan spektrum-spektrum aksi berguna
dalam mempelajari proses apapun yang bergantung pada cahaya, seperti
fototropisme. Dengan membandingkan spectrum-spektrum aksi berbagai
respons-respons tumbuhan, para peneliti menentukan respons-respons mana
yang diperantarai oleh fotoreseptor (pigmen) yang sama. Mereka juga

19
membandingkan spektrum absorspi pigmen; kesesuaian yang dekat pada
pigmen tertentu menunjukkan bahwa pigmen tersebut adalah fotoreseptor
yang memerantai respons. Spektrum aksi mengungkapkan bahwa cahaya
merah dan biru merupakan warna –warna terpenting dalam meregulasi
fotomorfogenesis tumbuhan. Pengamatan-pengamatan ini mengarahkan para
peneliti pada dua kelas utama reseptor cahaya: fotoreseptor cahaya-biru (blue-
light photoreceptors) dan fitokrom (phytochrome), fotoreseptor yang
sebagian besar mengabsorpsi cahaya merah.
Foto reseptor Cahaya Biru
Cahaya biru memucu berbagai respons pada tumbuhan, termasuk
fototropisme, pembukaan stomata yang diinduksi oleh cahaya dan
perlambatan pemanjangan hipokotil yang diinduksi oleh cahaya yang terjadi
ketika suatu semaian menembus tanah. Identitas biokimiawi fotoreseptor
cahaya-biru sedemikian sulit untuk dipahami sehingga pada tahun 1970-an,
para ahli fisiologi tumbuhan mulai menyebut reseptor misterius ini sebagai
„kriptokrom‟‟ (cryptochrome, dari kata yunani kryptos , tersembunyi , dan
chrom , pigmen). Pada tahun 1990-an , para ahli biologi molekular yang
menganalisis mutan-mutan Arabidopsis menentukan bahwa tumbuhan
menggunakan setidaknya tiga tipe pigmen yang berbeda untuk mendeteksi
cahaya biru. kriptokrom , kerabat molekular enzim-enzim perbaikan DNA,
terlibat di dalam penghambatan pemanjangan batang yang diinduksi oleh
cahaya biru yang terjadi, misalnya, ketika semaian muncul pertama kali dari
tanah. Fototropin (fototropin) adalah suatu protein kinase yang terlibat dalam
pemerantaraan penekukan fototropik, seperti yang dipelajari pada semaian
rumput oleh bapak-anak Darwin, dan dalam pergerakan kloroplas sebagai
respons terhadap cahaya . saat ini ada banyak perdebatan apakah fototropin
atau fotoreseptor berbasis-karotenoid yang dinamakan zeaxantin (zeaxanthin)
yang merupakan fotoreseptor cahaya-biru utama yang terlihat dalam
pembukaan stomata yang diperantarai oleh cahaya biru.

20
Pada tumbuhan ada tiga reseptor utama yaitu sebagai berikut:
1. Fitokrom
Fitokrom sebagai fotoreseptor, pengaturan pertumbuhan tumbuhan oleh
sinyal cahaya diketahui melibatkan tiga famili utama dari informasi
pentransduksi fotoreseptor, cahaya merah (R) dan cahaya merah0jauh (FR)
merupakan cahaya yang diserap fitokrom dan cahaya UV-A/ cahaya biru
merupakan cahaya yang diserap kriptokrom dan fototropin.
Pengaturan pertumbuhan tanaman oleh sinyal cahaya diketahui melibatkan
tiga famili utama dari informasipentransduksi fotoreseptor, cahaya merah (R)
dan cahaya merah-jauh (FR) merupakan cahaya yang diserap fitokrom dan
cahaya UV-A/cahaya biru merupakan cahaya yang diserap kriptokrom dan
fototropin. Fitokrom (phy) merupakan fotoreseptor Photochromicbili proteins
yang reversibel, sebagai dimer dengan masing-masing monomer yang terdiri
dari suatu apoprotein kovalen yang melekat padacahaya-menyerap linier
tetrapyrrole kromofor, phytochromobilin. Fitokrom disintesis dalam gelap
yang secara biologi dalam bentuk R-absorbsi inaktif (Pr). Aktivitas secara
biologis terjadi pada fotokonversi serapan cahaya dalam bentuk merah-jauh
(Pfr) pada panjang gelombang merah. Fotokonversi dari Pfr kembali ke bentuk
Pr dioptimalkan pada panjang gelombang FR, menghasilkan photoequilibrium
dinamis dari Pr dan Pfr dalam kondisi cahaya alami (Franklin dan Quail, 2009).

Gambar 10. A. Perkembangan arah pertumbuhan hipokotil (kontrol). B.


Perkembangan hipokotil yang diberi cahaya merah. C. Pertumbuhan axis

21
hipokotil yang diberi cahaya merah. D. Perubahan arah pertumbuhan
hipokotil yang mengalami etiolasi menuju cahaya merah. Sumber :
Schepens et al., 2008.

Selain menyebabkan perubahan arah tumbuh pada hipokotil Arabidopsis


sebagai respon terhadap cahaya merah, fitokrom juga dapat menyebabkan
perubahan posisi daun.Dalam hal ini, fitokrom yang berperan adalah PKS1
yang merupakan elemen sinyal phot1 selama fototropisme, dan
berinteraksi dengan elemen sinyal nonphototropic hypocotyls 3 (NPH3).

Fitokrom dan Germinasi Biji


Penelitia-penelitian tentang germinasi biji menghasilkan penemuan
fitokrom-fitokrom. Karena jumlah simpanan nutrien yang terbatas,
kebanyakan jenis biji, terutama yang berukuran kecil, bergeminasi hanya
saat lingkungan cahaya dan kondisi- kondisi yang lain hampir optimal.
Biji-biji semacam itu seringkali tetap dorman selama bertahun-tahun
hingga kondisi-kondisi cahaya berubah. Sebagai contoh, kematian pohon
yang menaungi tumbuhan lain atau pembajakan ladang dapat
menciptakan lingkungan cahaya yang sesuai.
Pada tahun 1930-an, para saintis di departemen pertanian AS menentukan
spektrum aksi untuk germinasi biji selada yang diinduksi oleh cahaya.
mereka memaparkan biji yang menggelembung karena air selama
beberapa menit ke cahaya monokromatik (berwarna tunggal ) dari
berbagai panjang gelombang dan kemudian menyimpam biji-biji tersebut
dalam kegelapan . setelah dua hari, para peneliti menghitung jumlah biji
yang telah bergeminasi setelah diberi setiap perlakuan cahaya . mereka
menemukan bahwa cahaya merah dengan panjang gelombang 660 nm
meningkatkan presentase germinasi biji selada secara maksimal, sementara
cahaya merah-jauh yaitu, cahaya dengan panjang gelombang di dekat
batas teratas dari penglihatan manusia (730 nm )- menghabat germinasi
dibandingkan dengan kontrol gelap. Apa yang terjadi ketika biji selada

22
diberi perlakuan kilatan cahaya merah , lalu diikutin oleh kilatan cahaya
merah- jauh diikutin oleh kilatan cahaya merah? Kilatan cahaya terakhir-
lah yang menentukan respons biji. Dengan kata lain, efek cahaya merah
dan cahaya merah-jauh bersifat dapat-balik.
fotoreseptor yang bertanggung jawab terhadap efek-efek yang berlawanan
dari cahaya merah dan merah-jauh adalah fitokrom memiliki dua subunit
yang identik, masing-masing terdiri dari sebuah komponen polipeptida
yang berikatan secara kovalen dengan sebuah komponen nonpolipeptida
kromofor (khromophore), bagian subunit yang menyerap cahaya. sejauh
ini , para peneliti mengidentifikasi lima jenis fitokrom pada Arabidopsis,
masing- masing dengan komponen polipeptida yang sedikit berbeda.
Kromofor dari sebuah fitokrom bersifat fotoreversibel, bergonta-ganti
bentuk antara kedua bentuk isomerik, bergantung pada warna cahaya yang
diberikan. Dalam bentuk isomer Pr-nya , sebuah fitokrom mengabsorpsi
cahaya merah (red, r) secara maksimal, sementara dalam bentuk isomer pfr,
fitokrom mengabsorpsi cahaya merah-jauh (far-red, fr):

Gambar 11. Fitokrom: mekanisme saklar molekular. Absorbsi cahaya


merah menyebarkan Pr berubah menjadi Pfr, cahaya merah-jauh membalik
perubahan ini. Pada sebagian besar kasus, bentuk Pfr dari pigmenlah yang
menyalakan respons fisiologis dann respons perkembangan di dalam
tumbuhan
Interkonversi Pr <=> Pfr, ini merupakan suatu mekanisme saklar yang
mengontrol berbagai peristiwa yang diinduksi oleh cahaya dalam
kehidupan tumbuhan. Pfr adalah bentuk fitokrom yang memicu banyak

23
respons perkembangan tumbuhan terhadap cahaya. Misainya Pr dalam biji
selada yang terpapar cahaya merah akan diubah menjadi Pfr sehingga
merangsang respons-respons selular yang menyebabkan germinasi. Ketika
biji-biji yang diterangi oleh cahaya merah kemudian dipaparkan ke cahaya
merah-jauh Pfr diubah lagi menjadi Pr, sehingga menghambat respons
germinasi.
Bagaimana saklar fitokrom menjelaskan germinasi yang diinduksi-cahaya
di alam? Tumbuhan menyintesis fitokrom sebagai Pr, dan jika biji
disimpan dalam kegelapan, pigmen tersebut hampir seluruhnya terdapat
dalam bentuk Pr. Cahaya matahari mengandung cahaya merah dan cahaya
merah-jauh, namun pengubahan menjadi P lebih cepat daripada
pengubahan menjadi Pr. Oleh karena itu, rasio Pfr terhadap Pr, meningkat
dalam pancaran cahaya matahari. Ketika biji terpapar oleh cahaya
matahari dalam jumlah yang cukup, produksi dan akumulasi Pfr akan
memicu germinasi biji.
Fitokrom dan Penghindaran Naungan
Sistem fitokrom juga menyediakan informasi bagi tumbuhan tentang
kualitas cahaya. Karena cahaya matahari mencakup radiasi merah maupun
merah- jauh, selama siang hari interkonversi Pr <=> Pfr mencapai
kesetimbangan dinamis, dengan rasio dari kedua bentuk fitokrom yang
mengindikasikan jumlah relatif cahaya merah dan merah-jauh. Mekanisme
pengindra ini memungkinkan tumbuhan-tumbuhan beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan kondisi cahaya. Sebagai contoh, Perhatikan respons
'penghindaran naungan' dari suatu pohon yang memerlukan intensitas
cahaya yang relatif tinggi. Jika pohon-pohon yang lain di hutan menaungi
pohon ini, rasio fitokromnya akan bergeser ke Pr karena kanopi hutan lebih
banyak menyaring cahaya merah daripada cahaya merah-jauh. Ini
disebabkan karena pigmen-pigmen klorofil di dalam dedaunan kanopi
mengabsorpsi cahaya merah dan melewatkan cahaya merah-jauh.
Pergeseran rasio cahaya merah terhadap cahaya merah-jauh menginduksi
pohon tersebut untuk mengalokasikan lebih banyak sumber dayanya agar

24
bisa tumbuh lebih tinggi. Sebaliknya, cahaya matahari langsung akan
meningkatkan proporsi Pfr yang merangsang percabangan dan
menghambat pertumbuhan vertikal. Selain membantu tumbuhan
mendeteksi cahaya, fitokrom membantu tumbuhan mengikuti berlalunya
hari dan musim.
2. Fototropin
Fototropin adalah fotoreseptor cahaya biru untuk tanggapan tropik, relokasi
kloroplas, dan pembukaan stomata pada tumbuhan. Fototropin memiliki dua
domain bernama kromoforik lightoxygenvoltage-sensing (LOV) 1 dan 2 di N-
terminal half, serta serine/threonine (Ser/Thr) protein kinase motif di
Cterminal half. Mengenai aktivitas kinase dari fototropin, hanya
autofosforilasi yang telah terdeteksi sejauh ini. Namun, ditemukan bahwa
fototropin dapat memfosforilasi protein lain selain fototropin itu sendiri
(Matsuoka dan Tokutomi, 2005). Peran fototropin sebagai fotoreseptor pada
tropisme tanaman antara lain adalah:
a. Pergerakan Daun

Gambar 12. Pergerakan daun kacang merah sebagai respon terhadap


cahaya biru. Tanaman disimpan dalam gelap selama 10 jam (bagian kiri
dalam A-D) dan kemudian diiradiasi dengan cahaya biru terus menerus

25
dengan memancarkan fotodioda 100 μmol M-2 S -1 selama 120 menit dari
atas (kanan bagian dalam A dan B) dan dari sisi (bagian tepat di C dan D).
Foto-foto diambil dari sisi tanaman (A dan C) dan dari atas (B dan D). E,
Waktu jalannya gerakan daun di bawah cahaya biru secara kontinyu dari
atas. Gerakan daun itu dipantau dengan mengambil gambar pada waktu
yang ditunjukkan, dan sudut daun ditentukan antara tangkai daun dan vena
utama (ϴ, Gambar. 2F). Rata-rata delapan pengukuran disajikan dengan
SEs. F, Perbesaran laminar pulvinus. Tanda panah berwarna putih
menunjukkan pulvinus tersebut. Tanda panah warna biru (A dan D) adalah
arah cahaya biru. Bar putih di bagian bawah menunjukkan 1 cm.
b. Pergerakan Inflorescence Batang dan Petiolus

Gambar 13. Berurutan foto respon fototropik dari inflorescence batang A.


thaliana. (a) Waktu jadwal pra-kultur, cahaya iradiasi dan observasi.
Tanaman yang tumbuh di bawah kondisi cahaya 16L/8D ditetapkan di
bawah sistem pencatatan antara 18:00 dan19:00. Pengamatan di bawah
sinar infra merah dimulai sebelum 19:00 dan dilanjutkan sampai
setidaknya 18:00 hari berikutnya selama 23 jam. Cahaya biru diberikan
secara sepihak atau sebagian 7:00-13:00. (b) gambar berurutan dari
fototropisme dari inflorescence batang. Ketika batang diiradiasi dari sisi

26
kanan dengan cahaya biru (5 µmol/m 2 /s) terus-menerus selama 6 jam,
batang membengkok ke arah sumber cahaya. Bar = 2 mm. UB: cahaya
biru sepihak
3. Kriptokrom
Pada tumbuhan, kriptokrom memperantarai fototropisme, atau
pertumbuhan menuju sumber cahaya sebagai respon terhadap cahaya biru.
Tanggapan ini sekarang dikenal sebagai fotoreseptor. Tidak seperti
fitokrom dan fototropin, kriptokrom tidak bersifat kinase. Flavin kromofor
berkurang oleh cahaya dan diangkut ke dalam inti sel, di mana hal itu
mempengaruhi tekanan turgor dan menyebabkan pemanjangan batang
berikutnya. Secara khusus, Cry2 bertanggung jawab untuk memperantarai
cahaya biru pada perkembangan kotiledon dan perluasan daun. Cry2
berlebih pada tanaman transgenik meningkatkan cahaya biru yang
mendorong perkembangan kotiledon, menghasilkan banyak daun lebar dan
tidak ada bunga, daripada daun utama dengan beberapa bunga.
Fitokrom dan kriptokrom berfungsi secara paralel, sehingga dalam
mempengaruhi fototropisme pada tanaman juga melalui cara yang sama.
Ada kemungkinan bahwa pengaturan HY5, sebuah transkripsi aktivator,
terutama dikaitkan dengan foto morfogenesis oleh fitokrom dan
kriptokrom dalam mendorong fototropisme karena hy5 mutan
menampilkan fototropik lambat secara signifikan terhadap respon
perlakuan cahaya yang sangat rendah.

27
Gambar 14. A. Diagram menunjukkan strategi kloning terminus C
BnCRY1 yang dimodifikasi pCAMBIA2301 vektor untuk antisense.B.
Western-blot analisis untuk kuantisasiCRY1 pada tipe liar dan lima
transgenik antisense yang berbedabaris (T2) B. juncea (AsCRY1-1 untuk
As-CRY1-5). C. Perbandingan panjang hipokotil antara AsCRY1 umur 8
hari dan bibit tipe liartumbuh di gelap atau diiradiasi dengan putih, biru,
merah, atau cahaya merah-jauh. Fenotip umur 45hari AsCRY1 dan tipe
liar dewasa tumbuh di bawah kondisi lapanganselama musim dingin
yangditampilkan di bagian kanan atas. AsCRY1, Antisense-
CRY1bibit/tanaman
Jam Biologis dan Ritme Sirkadia
Kebanyakan proses tumbuhan, seperti transpirasi dan sintesis
enzim-enzim tertentu, naik-turun sepanjang hari. Beberapa dari variasi-
variasi siklis ini merupakan respons terhadap perubahan kadar cahaya.
suhu, dan kelembapan relatif yang mengiringi siklus 24-jam sehari
semalam. Kita dapat mengontrol faktor-faktor eksternal ini dengan
menumbuhkan tanaman di dalam ruang pertumbuhan dalam kondisi
cahaya, suhu, dan kelembapan yang dijaga ketat. Bahkan dalam kondisi-
kondisi yang konstan secara artifisial, kebanyakan proses fisiologis dalam
tumbuhan. seperti pembukaan dan penutupan stomata serta produksi
enzim-enzim fotosintetik, terus-menerus naik-turun dengan frekuensi

28
sekitar 24 jam. Misalnya, kebanyakan polong-polongan menurunkan
daunnya pada malam hari dan mengangkat daunnya pada pagi hari (Peraga
39.20). Tanaman kacang terus-menerus melakukan gerakan tidur bahkan
jika dijaga dalam pencahayaan yang konstan atau kegelapan yang konstan;
dedaunan bukan hanya merespons matahari terbit dan terbenam. Siklus
semacam itu, dengan frekuensi sekitar 24 jam dan tidak dikontrol secara
langsung oleh variabel lingkungan yang telah diketahui, disebut ritme
sirkadia (circadian rhythm, dari kata Latin circa, kira-kira, dan dies, hari),
dan ritme sirkadia umum terdapat pada semua organisme eukariotik.
Denyut nadi, tekanan darah, suhu, laju pembelahan sel, jumlah sel darah,
kewaspadaan, komposisi urin, laju metabolik, dorongan seks, dan respons
terhadap obat-obatan di dalam tubuh Anda berfluktuasi menurut ritme
sirkadia.
Penelitian masa kini mengindikasikan bahwa 'roda gigi molekular
jam sirkadia bersifat internal, bukan merupakan respons harian terhadap
siklus lingkungan yang samar namun berpengaruh kuat, seperti
geomagnetisme atau radiasi kosmik. Organisme, termasuk tumbuhan dan
manusia, melanjutkan ritmenya bahkan ketika ditempatkan di dalam
terowongan tambang bawah tanah yang dalam atau ketika diorbitkan di
dalam satelit, kondisi-kondisi yang mengubah periodisitas geofisika yang
samar tersebut. Akan tetapi, sinyal-sinyal harian dari lingkungan dapat
menyetel jam sirkadia ke periode tepat 24 jam.

Gambar 15. Gerakan-gerakan tidur pada kacang merah (Phaseoulus


vulgaris). Gerakan-gerakan ini disebabkan oleh perubahan dapat-balik

29
didalam tekanan turgor sel-sel yang terletak di sisi yang berlawanan dari
pulvini, organ-organ pergerakan daun.
Jika suatu organisme dijaga dalam lingkungan yang konstan, ritme
sirkadianya menyimpang dari perio 24-jam (periode adalah durasi dari
satu siklus). Perin periode free-running ini, demikian sebutannya, bervari
antara 21 hingga 27 jam, bergantung s pada tertentu. Gerakan tidur
tanaman kacang, m periode 26 jam ketika tumbuhan dalam kondisi free-
running dari kegelapan yang konstan ritmie memiliki Penyimpangan fre
running dari tepat 24 jam bukan berarti bahwa jarn biologis bergeser
secara kacau periode Jam free-running tetap berdetak dengan sempurna,
namun tidak tersinkronisasi dengan dunia luar. Bagaimana jam biologis
bekerja? Untuk mencoba menjawab pertanyaan ini, kita harus
membedakan antara jam dan proses-prases ritmis yang dikontrolnya.
Sebaga contoh, daun-daun dari tanaman kacang pada Peraga 39 20 adalah
jarum' jam namun bukanlah esensi dari jam itu sendiri. Jika daun-daun
kacang ditahan selama beberapa jam dan kemudian dilepaskan, daun daun
tersebut akan kembali mengambil posisi yang sesuai dengan waktu saat
itu. Kita dapat mencampuri ritme biologis, namun mekanisme jam yang
mendasarinya terus berlanjut. P'ara peneliti menelusuri jam tersebut ke
mekanisme molekular yang mungkin dimilikl oleh semua eukariota. Salah
satu hipotesis yang terkemuk menyatakan bahwa penjagaan waktu biologis
bisa bergantung pada sintesis suatu protein yang meregulasi produksinya
sendiri melalui kontrol umpan-balik. Protein ini mungkin merupakan suatu
faktor transkripsi yang menghambat transkripsi gen yang mengodekan
faktor transkripsi itu sendiri. Konsentrasi faktor transkripsi ini bisa
meningkat selama paruh pertama siklus sirkadia dan kemudian menurun
selama paruh kedua akibat penghambatan produksinya sendiri.
Para peneliti baru-baru ini menggunakan teknik baru untuk
mengidentifikasi mutan-mutan jam Arabidopsis. Salah satu ritme sirkadia
utama di dalam tumbuhan adalah produksi harian dari protein-protein
terkait- fotosintesis tertentu. Para ahli biologi molekular melacak

30
penyebab ritme ini hingga ke promotor yang mengawali transkripsi gen-
gen untuk protein-protein fotosintesis ini. Untuk mengidentifikasi mutan-
mutan jam, para saintis menyisipkan gen untuk suatu enzim yang
bertanggung jawab terhadap bioluminesen pada kunang-kunang, disebut
lusiferase (luciferase), ke promotor. Ketika jam biologis menyalakan
promotor di dalam genom Arabidopsis, jam tersebut juga menyalakan
produksi Jusiferase. Tumbuhan-tumbuhan mulai berpendar seiring
periodisitas sirkadia. Mutan-mutan jam kemudian diisolasi dengan
menyeleksi spesimen-spesimen yang berpendar untuk waktu yang lebih
lama atau lebih pendek daripada normal. Gen-gen yang diubah dalam
beberapa mutan ini memengaruhi protein-protein yang secara normal
mengikat fotoreseptor-fotoreseptor. Mutasi-mutasi ini mungkin
mengacaukan mekanisme bergantung-cahaya yang menyetel jam biologis.
Efek Cahaya pada Jam Biologis
Periode free-running dari ritme sirkadia gerakan daun kacang
adalah 26 Jam Bayangkan suatu tanaman kacang yang ditempatkan saat
dalam kabinet gelap selama 72 jam: Daun-daunnya dak akan terangkat lagi
sampai 2 jam setelah fajar alamiah pada hari kedua, 4 jam setelah fajar
alamiah pada hari ketiga, dan demikian seterusnya. Karena terputus dari
petunjuk-petunjuk tingkungan, tumbuhan menjadi terdesinkronisasi.
Desinkronisasi terjadi pada manusia ketika kita melintasi beberapa zona
waktu dalam pesawat terbang, ketika kita mencapai tujuan, jam di dinding
tidak tersinkronisasi dengan jam internal kita. Semua eukarlota mungkin
rawan mengalami jet lag.
Faktor yang menyetel jam biologis hingga tepat 24 jam setiap hari
adalah cahaya. Fitokrom maupun fotoreseptor cahaya-biru dapat menyetel
ritme sirkadia di dalam tumbuhan, namun pemahaman kita tentang cara
itokrom melakukan hal ini lebih komplet. Mekanisme ini melibatkan
penyalaan dan pemadaman respons-respons selular dari saklar Pr, <=> Pfr.
Dalam kegelapan, rasio fitokrom perlahan- lahan bergeser ke
bentuk P, sebagian akibat dari pergantian di dalam seluruh lungkang

31
fitokrom. Pigmen tersebut disintesis di dalam bentuk Pr dan enzim-enzim
menghancurkan lebih banyak Pfr, daripada Pr. Pada beberapa spesies
tumbuhan, Pfr, yang terdapat saat matahari terbenam perlahan-lahan
berubah menjadi Pr Dalam kegelapan, tidak ada cara bagi Pr, untuk diubah
kembali menjadi Pfr namun dengan pencahayaan, kadar Pfr mendadak
meningkat kembali seiring Pr yang diubahnya dengan cepat. Peningkatan
Pfr setiap hari saat fajar ini menyetel kembali jam biologis: Daun kacang
mencapai posisi malam yang paling ekstrem 16 jam setelah fajar.
Di alam, interaksi antara fitokrom dan jam biologis menyebabkan
tumbuhan mampu mengukur berlalunya malam dan siang. Akan tetapi,
panjang relatif malam dan siang berubah sepanjang tahun (kecuali di
khatulistiwa). Tumbuhan memanfaatkan perubahan ini untuk
menyesuaikan aktivitas agar sinkron dengan musim.
Fotoperiodisme dan Respons terhadap Musim
Suatu tumbuhan menghasilkan bunga-bunga pada saat tidak ada
penyerbuk atau jika sebatang pohon yang meranggas menghasilkan daun-
daun pada pertengahan musim dingin. Peristiwa-peristiwa musiman sangat
penting di dalam siklus hidup kebanyakan tumbuhan. Germinasi biji,
perbungaan, serta awal dan akhir dormansi kuncup merupakan tahap-tahap
yang biasanya terjadi pada waktu- waktu yang spesifik dalam setahun.
Stimulus lingkungan yang paling sering digunakan oleh tumbuhan-
tumbuhan untuk mendeteksi waktu dalam setahun adalah fotoperiode,
yaitu panjang relatif dari malam dan siang Respons fisiologis terhadap
fotoperiode, seperti përbungaan, disebut sebagai fotoperiodisme
(photoperiodism).
a. Fotoperiodisme dan Kontrol Perbungaan
Suatu petunjuk awal tentang cara tumbuhan mendeteksi musim berasal
dari varietas mutan tembakau, Maryland Mammoth. yang tumbuh tinggi
namun gagal berbunga selama musim panas. Varietas tersebut pada
akhirnya mekar dalam rumah kaca pada Desember. Setelah mencoba
menginduksi perbungaan lebih awal dengan suhu, kelembapan, dan nutrisi

32
mineral yang bervariasi, para peneliti mempelajari bahwa pemendekan
hari di musim dingin merangsang varietas ini untuk berbunga. Jika
tumbuhan tersebut disimpan di dalam kotak kedap-cahaya sehingga lampu
dapat digunakan untuk memanipulasi siang' dan 'malam. perbungaan
hanya terjadi jika panjang harinya 14 jam atau lebih pendek. Turmbuhan
tersebut tidak berbunga selama musim panas karena pada letak lintang
Maryland, hari-hari musim panas terlalu panjang.
Para peneliti menamakan Maryland Mammoth sebagai tumbuhan hari-
pendek (short-day plant) karena tumbuhan tersebut tampaknya
memerlukan periode cahaya yang lebih pendek daripada panjang kritis
untuk berbunga. Krisantemum, poinsetia, dan beberapa varietas kedelai
juga merupakan tumbuhan hari-pendek, yang umumnya berbunga di
pengujung musim panas, musim gugur, atau musim dingin. Kelompok
tumbuhan yang lain berbunga hanya jika periode cahaya lebih panjang
daripada beberapa jam tertentu. Tumbuhan hari-panjang (long-day plant)
ini umumnya berbunga pada pengujung musim semi atau awal musim
panas. Bayam, misalnya, berbunga jika siang hari berlangsung selama 14
jam atau lebih. Lobak, selada, iris, dan kebanyakan varietas sereal juga
merupakan tumbuhan hari-panjang. Tumbulhan hari-netral (neutral-day
plant), misalnya tomat, padi, dan dandelion, tidak terpengaruh oleh
fotoperiode dan berbunga ketika mereka mencapai tahap kemnatangan
tertentu, tidak peduli seberapa panjang siang hari.
b. Panjang Malam Kritis
Pada tahun 1940-an, para peneliti mempelajari bahwa perbungaan dan
respons- respons lain terhadap fotoperiode sebenarnya dikontrol oleh
panjang malam, bukan panjang siang. Kebanyakan di antara para saintis
ini meneliti cocklebur (Xanthium stumarium), tumbuhan hari-pendek yang
berbunga hanya jika siang hari berlangsung selama 16 jam atau lebih
pendek lagi (dan malam hari berlangsung setidaknya 8 jarn). Para peneliti
Ini menemukan bahwa jika bagian siang hari dari fotoperiode diputus oleh
pemaparan sejenak terhadap kegelapan, maka hal itu tidak berpengaruh

33
pada perbungaan. Akan tetapi, jika bagian malam hari dari fotoperiode
disela bahkan oleh cahaya remang-remang beberapa menit saja, cocklebur
tidak akan berbunga, dan ini ternyata berlaku pula bagi tumbuhan hari-
pendek yang lain (Peraga 39.21a). Cocklebur tidak responsif terhadap
panjang siang hari, namun ia memerlukan setidaknya 8 jam kegelapan
terus-menerus agar berbunga. Tumbuhan han-pendek sebenarnya
merupakan tumbulhan malam- panjang namun istalah yang pertama telah
tertanam sedemikian erat dalam jargon fisiologi tumbuhan. Serupa dengan
itu, tumbulsan hari-panijang sebenarnya merupakan humbuhan malam
pendek Tumbuhan hari-panjang yang ditumbubkan dalam fotoperiode
malam-malam panjang akan yang normalnya tidak menginduksi
perbungaan periode kegelapan terus-menerus disela oleh cahaya beberapa
menit.
Perhatikan bahwa kita membedakan tumbuhan hari-panjang dari malam
berbunga jika tutribuhan hari-pendek bukan berdasarkan panjang mutiak,
namun berdasarkan apakah panjang malam kritis (tumbuhan hari-panjang)
atau minimam (numbuhan hari-pendek) jam kegelapan rang dibutuhkan
untuk perbungaan. Pada kedua kasus tersebut. jumlah jam yang
sebenarnya dalam panjang menetapkan jumlah maksimum tumbuhan.
Cahaya merah adalah warna yarig paling efektif menyela bagian
malam hari dari fotoperiode. Berbagai spektrum aksi dan percobaan
fotoreversibilitas menunjukkan bahwa fitokrom adalah pigmen yang
mendeteksi cahaya merah. Misalnya, jika kilatan cahaya merah (R) selama
periode gelap diikuti oleh kilatan cahaya merah-jauh (FR), maka
tumbuhan mendeteksi tidak ada interupsi pada panjang malam. Seperti
pada kasus germinasi biji yang diperantarai fitckrom, terjadilah
fotoreversibilitas merah/merah-jauh.
Tumbuhan mendeteksi panjang malam dengan sangat tepati
beberapa tumbuhan hari-pendek tidak akan berbunga jika malam hari
berlanguung lebih pendek semenit daripada panjang kritis. Beberapa
spesies tumbuhun berbunga pada hari yang sama setiap talun. Tumbuhan

34
tampaknya menggunakan jam blologisnya, yang di aleh panjang malam
dengan bantuan fitokrom. mengetahui musim. Industri florikultur (perkebu
bunga) menerapkan pengetahuan ini untuk menghasilkan bunga di luar
musimnya. Bunga krisan. misalnya, ada tumbuhan hari-pendek yang
biasanya mekar pada mun gugur, namun perbungaannya dapat ditunda
hingga Hari Ibu pada Mei dengan menyela setiap malam panjang dengan
kilatan cahaya, sehingga mengubah satu malam panjang menjadi dua
malam pendek Beberapa tumbuhan berbunga setelah satu pemaparan
terhadap fotoperiode yang dibutuhkan untuk perbungaan Spesies yang lain
memerlukan fotoperiode yang sesa selama beberapa hari berturut-turut.
Tumbuhan yang lain merespons fotoperiode hanya jika sebelumnya
dipaparkan. ke stimulus lingkungan yang lain, misalnya periode suhu
dingin. Gandum musim dingin, misalnya, tidak akan berbunga jika belum
dipaparkan ke suhu di bawah 10C selama beberapa minggu Penggunaan
praperlakuan dengan suhu dingin untuk menginduksi perbungan disebut
vernalisasi (vernalization, dari kata Latin yang berarti 'musim serni').
Beberapa minggu setelah gandum musim dingin divernalisasi, fotoperiode
dengan hari yang panjang (malam yang pendek) menginduksi perbungan.
Transisi Meristem dan Perbungaan
Kombinasi apa pun antara petunjuk lingkungan (seperti
fotoperiode atau vernalisasi) dan molekul-molekul persinyalan internal
(seperti protein FT) diperlukan untuk perbungaan, hasilnya adalah transisi
meristem kuncup dari tahap vegetatif ke tahap perbungaan. Transisi ini
memerlukan perubahan dalam ekspresi gen-gen yang meregulasi
pembentukan pola. Meristem yang mengidentifikasi gen-gen yang
menginduksi kuncup untuk membentuk bunga, dan bukannya tunas
vegetatif, harus terlebih dahulu diaktifkan. Organ yang mengidentifikasi
gen-gen yang memerinci organisasi spasial organ-organ bunga-sepal,
petal, stamen, dan karpel, kemudian diaktivasi dalam daerah-daerah
meristem yang sesuai. Penelitian tentang perkembangan bunga telah
berkembang pesat, dan salah satu tujuannya adalah mengidentifikasi jalur-

35
jalur transduksi sinyal yang menautkan petunjuk-petunjuk seperti
fotoperiode dan perubahan hormon dengan ekspresi gen yang diperlukan
untuk perbungaan.

D. RESPON TUMBUHA TERHADAP STIMULUS SELAIN CAHAYA


Tumbuhan tidak dapat berpindah mendekati lubang air ketika air menjadi
langka atau berlindung dari angin biji yang mendarat terbalik diatas tanah
tidak dapat bermanover sendiri keposisi tegak. Karna tidak mampu berpindah
tempat, tumbuhan harus menyesuaikan diri terhadap berbagai macam kondisi
lingkungan melalui mekanisme-mekanisme perkembangan dan fisiologis, dan
seleksi alam telah mengasah respon-respon ini. Dibagian ini kita akan
mengulas respon-respon trhadap beberapa stimulus lingkungan lain yang biasa
diahadapi oleh tumbuhan. Diantaranya :

1. Gravitasi
Tumbuhan akan menyesuaikan pertumbuhannya agar tunas menekuk ke
atas dan akar menekuk kebawah. Dalam merespon gravitasi, atau
gravitropisme, akar menunjukan gravitropisme positif dan tunas menunjukkan
gravitropisme negatif. Gravitropisme terjadi segera setelah biji bergerminasi
memastikan bahwa akar tumbuh kedalam tanah dan tunas tumbuh kearah
cahaya matahari tidak peduli cara biji di orientasi ketika mendarat. Auksin
memainkan peran kunci dalam gravitropisme.
Tumbuhan bisa mendeteksi gravitasi dengan mengumpulkan statolit
(statolith), plastida-plastida terspesialisasi yang mengandung butir-butir pati
padat, kebagian bawah sel-sel. Diakar statolit terletak di dalam sel-sel tertentu
pada tudung akar. Berdasarkan salah satu hipotesis, kumpulan statolit pada
titik-titik rendah dari se-sel ini mendistribusi kembali kalsium, yang
menyebabkan transpor lateral auksin di dalam akar. Kalsium dan auksin
terakumulasi di sisi bawah zona pemanjangan akar. Karna zat-zat kmia ini
terlarut, zat-zat tersebut tidak merespont gravitasi namun harus di transport

36
secara aktif ke salah satu sisi akar. Pada konsentrasi yang tinggi auksin
menghambat pemanjangan sel, efek yang memperlambat pertumbuhan di sisi
bawah akar titik pemanjangan sel-sel yang lebih cepat di sebelah atas
menyebabkan akar menekuk saat ia tumbuh. Tropisme ini berlanjut hingga
akar tumbuh lurus kebawah.

Gambar 16 : gravitropisme positif pada akar : hipotesis statolit.


(Sumber:Chambellet al, 2012)
Para ahli fisiologi tumbuhan memepertajam hipotesis statolit yang jatuh
untuk menjelaskan gravitropisme akar, berdasarkan pada percobaan-
percobaan baru.sebagai contoh, muatan-muatan Arabidopsis dan tembakau
yang tidak memiliki statolit masih tetap mampu melakukan gravitropisme,
walaupun responnya lebih lambat dari pada tumbuhan wild/type. Keseluruhan
sel mungkin membantu akar mengindra gravitasi dengan menarik secara
mekanis protein-protein yang melekat dan protoplas kedinding sel, sehingga
merentangkan protein-protein tersebut disisi atas dan menekan protein-protein
di sisi bawah sel-sel akar. organil-organil padat, selain granula pati, juga turut
berperan dalam mendistorsi sitoskeleton sehingga tertarik oleh gravitasi.
Statolit, karena kepadatannya, bisa meningkatkan pengindraan gravitasi
melalui mekanisme yang bekerja lebih lambatjika tidak ada statolit.
2. Stimulus mekanis
Sebatang pohon yang tumbuh di tepi pegunungan yang berangin biasanya
memiliki batang yang lebih pendek dari pada pohon dari spesies yang sama
namun tumbuh di lokasi yang lebih terlindung. Keuntungan dari morfologi
yang bantat ini adalah bahwa morfologi tersebut memungkinkan tumbuhan
untuk menahan tiupan angin kencang. Istilah tigmomorfogenesis
(thigmomorphogenesis, dari kata yunani thigma, sentuhan) mengacu pada

37
perubahan-perubahanbentuk yang di akibatkan oleh porturbasi. Tumbuhan
sangat sensitive terhadap stres mekanis: bahkan aktivitas mengukur panjang
daun dengan penggaris akan mengubah pertumbuhan berikutnya. Mengosok-
gosok batang dari tumbuhan muda beberapa kali sehari akan
menghasilkantumbuhan yang lebih pendek dari pada yang didiamkan.
rangsangan mekanis mengaktivasi sebuah jalur tranduksi sinyal yang
melibatkan peningkatan Ca2+ sitosol yang memerantarai aktivasi gen-gen
spesifik, yang beberapa di antaranya mengodekan protein-protein yang
memengaruhi sifat-sifat dinding sel.

Gambar 17: Mengubah ekspresi gen dengan sentuhan


(Sumber:Chambellet al, 2008)
Beberapa spesies tumbuhan telah menjadi spesialis sentuhan; selama
menjalani evoluasinya. Respons yang kuat terhadap stimulus mekanis
merupakan bagian integral dari „strategi kehidupan‟ tumbuhan-tumbuhan ini.
Sebagian besar anggur dan tumbuhan pemanjat yang lain memiliki sulur yang
menggulung dengan cepat di sekitar penopang. organ-organ pemeluk ini
biasanya tumbuh lurus hungga menyentuh sesuatu; sentuhan tersebut
merangsang renpons menggulung yang di sebabkan oleh pertumbuhan
deferensial sel-sel pada sisi sulur yang berlawanan. Pertumbuhan terarah
sebagai respons terhadap sentuhan disebut tigmotropisme (thigmotropism),
dan ini memungkinkan anggur untuk memetik manfaat dari penopang mekanis
apa saja yang ditemuinya saat memanjat ke atas menuju kenopi hutan.

38
Contoh lain dari spesialis sentuhan adalah tumbuhan yang mengalami
pergerakan cepat daun sebagai respons terhadap rangsangan mekanis.
Misalnya, ketika daun majemuk putri malu (mimosa pudica) disentuh, daun
majemuk itu akan mengatup dan anak daunnya melipat secara bersama-sama.
Respon ini, yang hanya memakan waktu 1 atau 2 detik, dihasilkan dari
hilangnya turgor secara cepat pada sel-sel di pulvini, organ-organ gerak
terspesialisasi yang terletak di buku-buku daun. Sel-sel ini mendadak menjadi
lembek setelah perangsangan karena mereka kehilangan kalium, yang
menyebabkan air meninggalkan sel-sel melalui osmosis. Diperlukan sekitar 10
menit agar sel-sel tersebut memperoleh kembali turgornya dan
mengembalikan bentuk daun sebelum diberi rangsangan. Fungsi perilaku putri
malu masih mengundang tanda tanya. Mungkin dengan melipat daunnya dan
mengurangi area permukaan ketika dihantam oleh angin yang kuat, tumbuhan
tersebut bisa menghemat air. Atau mungkin karena daun yang mengatur
menyebabkan duri pada batang terbuka, respons putri malu yang cepat
menurunkan nafsu makan Herbivora.

Gambar 18: gerakan-gerakan turgor secara cepat oleh putri malu (mimosa pudica)
(Sumber:Chambellet al, 2008)
Ciri yang luar biasa dari pergerakan daun yang cepat adalah mode
transmisi dari stimulus melalui tumbuhan. Jika 1 anak daun pada putri malu
disentuh, pertama-tama anak daun itu akan merespon kemudian anak daun di
sebelahnya juga akan merespon dan demikian seterusnya hingga semua
pasangan anak daun telah terlipat bersama bersama. Sejak dari perangsangan
sinyal yang menghasilkan respons ini berpindah dengan kecepatan sekitar 1
cm/s. Impuls listrik yang bergerak dengan laju yang sama dapat dideteksi

39
dengan mendekatkan elektroda ke daun. Impuls-impuls ini disebut potensial
(action potensials), menyerupai impuls-impuls saraf pada hewan, walaupun
potensial aksi tumbuhan ribuan kali lebih lambat. Potensial aksi yang telah
ditemukan pada banyak spesies alga dan tumbuhan mungkin digunakan secara
luas sebagai bentuk komunikasi internal. Misalnya pada perangkap Venus
(Dion aca muscipula) potensial aksi ditransmisikan dari rambut pengindra
dalam perangkap ke sel-sel yang merespons dengan mengatupkan perangkap.
Pada kasus mimosa pudica, stimulus yang lebih keras misalnya menyentuh
daun dengan jarum panas, menyebabkan semua daun dan anak daun pada
tumbuhan mengatup, namun respon sistematik ini melibatkan penyebaran
molekul persinyalan yang dilepaskan dari daerah terluka ke bagian-bagian lain
dari tunas.
3. Stress lingkungan
Terkadang faktor-faktor tertentu di lingkungan berubah cukup drastis
sehingga dapat mendatangkan efek yang merugikan bagi kesintasan,
pertumbuhan dan reproduksi tumbuhan. Berbagai stress lingkungan misalnya
banjir, keringanan, atau suhu ekstrem, dapat menghancurkan hasil panen
tanaman pangan. Dalam ekosistem alami, tumbuhan yang tidak bisa
menoleransi stress lingkungan akan mati atau kalah bersaing dengan
tumbuhan lain dan tumbuhan itu pun akan punah secara lokal. Dengan
demikian, stress stress lingkungan merupakan faktor yang paling penting
dalam menentukan kisaran geographic tumbuhan. Disini, kita akan mengkaji
beberapa stress abiotik (abiotic, tidak hidup) yang dihadapi oleh tumbuhan.
a) Kekeringan
Di hari yang cerah, hangat, dan kering, tumbuhan mungkin mengalami
stress akibat defisiensi air karena daun kehilangan air melalui transpirasi lebih
cepat daripada yang bisa digantikan melalui pengambilan dari tanah.
Kekeringan yang lama dapat menyebabkan stress pada tanaman pangan dan
tumbuhan di ekosistem alami selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Defisit air yang parah tentu saja akan membunuh tumbuhan, seperti yang anda
tahu dari pengalaman melihat tanaman pot yang diabaikan. Akan tetapi

40
tumbuhan memiliki sistem sistem kendali yang memungkinkan tumbuhan
mengatasi defisit air yang tidak begitu ekstrem.
Kebanyakan respon tumbuhan terhadap defisit air adalah membantu
tumbuhan menghemat air dengan mengurangi laju transpirasi. Defisit air di
daun menyebabkan sel-sel penjaga kehilangan turgor mekanisme kontrol
sederhana yang memperlambat transpirasi dengan menutup stomata. Defisit air
juga merangsang peningkatan sintesis dan pelepasan asam absisat di daun;
hormon ini membantu menjaga stomata agar tetap tertutup dengan bekerja pada
membran sel penjaga. Daun merespons defisit air dengan beberapa cara lain.
Karena ekspansi sel merupakan proses yang bergantung titik turgor, defisit air
menghambat pertumbuhan daun muda, demikian pula dengan akumulasi asam
absisat. Ini meminimalkan kehilangan air melalui transpirasi dengan
memperlambat perluasan permukaan daun. Ketika daun-daun pada banyak
rerumputan dan tumbuhan lain layu akibat defisit air, daun-daun tersebut
menggulung menjadi bentuk yang mengurangi transpirasi dengan memaparkan
lebih sedikit permukaan daun ke udara kering dan angin walaupun menghemat
air, respon-respon daun ini mengurangi fotosintesis, yang merupakan salah satu
alasan mengapa kekeringan mengurangi hasil panen.
Pertumbuhan akar juga merespon defisit air. Selama kekeringan, tanah
biasanya mengering dari permukaan ke bawah. ini menghambat pertumbuhan
akar dangkal, sebagian karena sel-sel tidak dapat mempertahankan turgor yang
dibutuhkan untuk pemanjangan sel. Akar yang lebih dalam dikelilingi oleh
tanah yang masih cukup basah, sehingga akar bisa terus tumbuh titik Dengan
demikian, sistem akar memperbanyak diri dengan cara yang memaksimalkan
pemaparan terhadap air tanah.

41
Gambar 19 : respon perkembangan akar jagung terhadap banjir dan
kekurangan oksigen.
(Sumber:Chambellet al, 2008)
b) Banjir
Terlalu banyak air juga merupakan masalah bagi tumbuhan tanaman
pot yang terlalu banyak disiram bisa tercekik, sebab tanah kekurangan
rongga udara yang menyediakan oksigen bagi respirasi seluler di dalam
akar. Beberapa tumbuhan beradaptasi secara struktural terhadap habitat
yang sangat basah. Misalnya, akar bakau yang terendam air, yang menghuni
pantai berpaya paya, tersambung dengan akar udara yang terpapar ke
oksigen. Akan tetapi bagaimana tumbuhan yang tidak terspesialisasi itu
mengatasi kekurangan oksigen di dalam tanah yang terendam air?
Kekurangan oksigen merangsang produksi etilen, yang menyebabkan
beberapa sel di korteks akar mengalami apoptosis. Penghancuran sel-sel ini
menciptakan tabung udara yang berfungsi sebagai snorkel, menyediakan
oksigen bagi akar yang terendam.
4. Stress garam
Kelebihan natrium klorida atau garam-garam yang lain di tanah
mengancam tumbuhan-tumbuhan karena dua alasan. Pertama, dengan
menurunkan potensial air dalam larutan tanah, garam dapat menyebabkan
defisit air pada tumbuhan walaupun tanah mengandung banyak air. Saat
potensial air dari larutan tanah menjadi lebih negatif, gradien potensial air
dari tanah ke akar menurun, sehingga mengurangi pengambilan air. Masalah
kedua dengan tanah yang bersalinitas tinggi adalah bahwa natrium dan
beberapa macam ion yang lain bersifat toksik bagi tumbuhan ketika
konsentrasinya relatif tinggi. Membran permeabel selektif sel-sel akar

42
menghalangi pengambilan ion-ion yang paling berbahaya, namun ini hanya
menambah masalah pengambilan air dari tanah yang kaya zat terlarut.
Kebanyakan tumbuhan dapat merespon salinitas tanah yang sedang dengan
menghasilkan zat terlarut yang ditoleransi dengan baik pada konsentrasi
tinggi: senyawa-senyawa yang sebagian besar organik ini menjaga agar
potensial air sel lebih negatif dari pada larutan tanah tanpa memasukkan
garam dalam jumlah yang beracun. Akan tetapi, sebagian besar tumbuhan
tidak dapat sintas dari stres garam terlalu lama. Pengecualiannya adalah
haloVita, tumbuhan toleran garam yang memiliki adaptasi adaptasi seperti
kelenjar-kelenjar garam yang memompa garam keluar melalui epidermis
daun.
5. Stres panas
Seperti semua organisme yang lain, panas yang berlebihan
membahayakan dan bahkan membunuh tumbuhan dengan mendenaturasi
enzim enzimnya dan merusak metabolismenya. Salah satu fungsi transpirasi
adalah pendinginan evaporatif. Pada hari yang hangat misalnya suhu daun
mungkin mencapai 3 sampai 10 derajat Celcius dibawah suhu udara
lingkungan. Cuaca yang panas dan kering juga cenderung mendehidrasi
banyak tumbuhan; penutupan stomata sebagai respon terhadap stress ini
menghemat air namun mengorbankan pendinginan evaporatif. Dilema ini
merupakan salah satu alasan mengapa hari-hari yang sangat panas dan kering
dapat mematikan sebagian besar tumbuhan.
Sebagian besar tumbuhan memiliki respon mendukung yang
memungkinkan tumbuhan sintas dari stress panas. Di atas suhu tertentu
sekitar 40'C bagi sebagian besar tumbuhan di wilayah beriklim sedang sel-sel
tumbuhan mulai menyintesis protein kejut panas (heat-shock proteins), yang
membantu melindungi protein-protein lain dari stress panas. Respon ini juga
terjadi pada hewan dan mikroorganisme yang mengalami stress panas.
Beberapa protein kejut panas merupakan protein chaperone (chaperonin),
yang berfungsi pada sel-sel yang tidak mengalami stress sebagai perancang
sementara yang membantu protein-protein lain melipat menjadi bentuk

43
fungsionalnya. Dalam perannya sebagai protein kejut panas, molekul-molekul
ini mungkin berikatan ke protein lain dan membantu mencegah denaturasi.
6. Stress dingin
Salah satu masalah yang dihadapi oleh tumbuhan ketika suhu lingkungan
turun adalah perubahan fluiditas membran sel. Membran biologis merupakan
mosaic cair, dengan protein dan lipid yang bergerak secara lateral di dalam
bidang membran. Jika membran mendingin dibawah titik kritis, fluiditasnya
hilang karena lipid terkunci menjadi struktur struktur kristal. Ini mengubah
transpor zat terlarut menyeberangi membran dan juga memberi pengaruh
buruk pada fungsi-fungsi protein membran. Tumbuhan merespon stress
dingin dengan mengubah komposisi lipid membran. Sebagai contoh, lipid-
lipid membran meningkatkan proporsi asam lemak tak jenuhnya, yang
memiliki bentuk yang membantu menjaga membran tetap cair pada suhu
rendah dengan mengalami pembentukan kristal. Modifikasi membran
semacam itu memerlukan waktu beberapa jam hingga beberapa hari, yang
merupakan salah satu alasan mengapa suhu yang luar biasa dingin sebelum
musimnya biasanya lebih mengakibatkan stress bagi tumbuhan daripada
penurunan suhu udara secara perlahan-lahan menurut musim.
Kebekuan merupakan versi yang lebih parah dari stres dingin. Pada suhu
dibawah titik beku, es terbentuk di dalam bidang sel dan ruang antar sel dari
sebagian besar tumbuhan. Sitosol umumnya tidak membeku pada laju
pendinginan yang terjadi dialam, karena sitosol mengandung lebih banyak zat
terlarut daripada larutan yang sangat encer pada dinding sel, dan zat-zat
terlarut menurunkan titik beku larutan. Pengurangan air cair pada dinding sel
akibat pembentukan sel menurunkan potensial air ekstraseluler, sehingga air
meninggalkan sitoplasma. Akibat peningkatan konsentrasi ion-ion di dalam
sitoplasma dapat berbahaya dan menyebabkan kematian sel. Sintesis atau
tidaknya sel sangat tergantung pada seberapa baik sel melawan dehidrasi. Di
wilayah-wilayah dengan musim dingin yang lebih dingin, tumbuhan asli
teradaptasi untuk mengatasi stres kebekuan. Misalnya, sebelum musim dingin
tiba, sel-sel pada kebanyakan spesies yang toleran beku meningkatkan kadar

44
sitoplasma dari zat terlarut spesifik, seperti gula,yang ditoleransi dengan baik
pada konsentrasi yang tinggi dan yang membantu mengurangi kehilangan air
dari sel selama pembekuan ekstraseluler. Ketidakjenuhan lipid membran juga
meningkat, sehingga mempertahankan fluiditas membran pada tingkat yang
layak.

E. RESPON TUMBUHAN TERHADAP SERANGAN HEBIVORA DAN


PATOGEN
Tumbuhan merespon serangan herbivore dan patogen tumbuhan tidak
hidup sendirian melainkan berinteraksi dengan banyak spesies yang lain
dalam komunitasnya. Beberapa interaksi antar spesies misalnya, asosiasi
antara tumbuhan dengan fungsi mekoriza atau dengan penyerbuk saling
menguntungkan. Akan tetapi, sebagian besar interaksi tumbuhan dengan
organisme yang lain tidak menguntungkan tumbuhan. Sebagai produsen
utama, tumbuhan berada di dasar sebagian besar jaring-jaring makanan
sehingga menjadi subjek yang di serang oleh berbagai macam hewan
pemakan tumbuhan (herbivore). Tumbuhan juga rentan terinfeksi oleh
beraneka ragam virus, bakteri, dan fungsi yang dapat merusak jaringan atau
bahkan membunuh tumbuhan. Tumbuhan menghadapi ancaman-ancaman ini
dengan berbagai system pertahanan yang menghalangi herbivore dan
mencegah infeksi atau melawan patogen yang menginfeksi tumbuhan.

1) Pertahanan melawan herbivore


Herbivora tindakan hewan hewan memakan tumbuhan merupakan stres
yang harus dihadapi oleh tumbuhan dalam ekosistem apapun. Tumbuhan
mencegah Herbivora berlebihan dengan menggunakan pertahanan fisik,
misalnya duri, maupun pertahanan kimiawi, misalnya produksi senyawa yang
tidak enak atau beracun. Sebagai contoh, beberapa tumbuhan menghasilkan
sejenis asam amino tak lazim yang disebut kanavanin (canavanine), yang
dinamai sesuai dengan salah satu sumbernya, Jack Bean (canavalia
ensiformis). Kanavanin menyerupai arginin, salah satu dari 20 asam amino

45
yang digabungkan oleh organisme ke dalam protein-proteinnya. Jika seekor
serangga memakan tumbuhan yang mengandung kanavanin molekul itu
digabungkan ke dalam protein protein serangga sebagai pengganti arginin.
Karena kanavanin cukup berbeda dari arginin sehingga memberikan efek
negatif pada bentuk dan fungsi protein maka serangga pun mati.
Beberapa jenis tumbuhan merekrut hewan predator yang membantu
mempertahankan tumbuhan melawan herbivora spesifik. Sebagai contoh,
serangga yang disebut tawon parasitoid menyuntikkan telur telurnya ke dalam
mangsa, termasuk ulat ulat yang memakan tumbuhan titik telur-telur menetas
di dalam tubuh ulat dan larva memakan wadah organiknya itu dari dalam
keluar. Tumbuhan, yang memperoleh manfaat dari hancurnya ulat-ulat
herbivora memiliki peran aktif di dalam drama ini. Daun yang yang dirusak
oleh ulat ulat melepaskan senyawa volatil atau mudah menguap yang
memikat tawon tawon parasitoid. Stimulus bagi respon ini merupakan
kombinasi kerusakan fisik daun yang disebabkan oleh ulat pengunyah dan
senyawa spesifik di dalam ludah ulat.

Gambar 20 : Daun jagung merekrut tawon parasitoid sebagai respons


terhadap ulat armyworm, sejenis herbivore.
Molekul-molekul volatil yang dilepaskan oleh tumbuhan sebagai respon
terhadap kerusakan akibat herbivora juga dapat berfungsi sebagai sistem
peringatan dini bagi tumbuhan disekitarnya yang berasal dari spesies yang
sama. Misalnya, tanaman kacang koro yang terjangkit tungau laba-laba

46
melepaskan campuran zat-zat kimia volatil, termasuk asam metilyasmonat
(methylyasmonanic Acid), yang menyiarkan serangan itu ke tanaman kacang
tetangga yang belum terinfeksi. Sebagai respon terhadap zat-zat kimia ini
daun kacang koro yang belum terinfeksi ekspresikan gen-gen pertahanan.
Zat-zat kimia volatil yang dilepaskan dari daun yang dilukai secara
mekanisme dalam percobaan tidak memiliki efek yang sama. Sebagai akibat
dari aktivasi gen-gen spesifik oleh zat-zat kimia volatil ini, tanaman tetangga
yang belum terinfeksi menjadi tidak terlalu rentan terhadap serangan tungau
laba-laba dan lebih menarik bagi spesies tungau lain yang yang memangsa
tungau laba-laba.
2) Pertahanan melawan patogen
Garis pertahanan pertama tumbuhan melawan infeksi adalah penghalang
fisik yang dihadirkan oleh epidermis dari tubuh primer tumbuhan yang
periderm dari tubuh sekunder tumbuhan.akan tetapi sistem pertahanan
pertama ini jelas masih bisa ditembus. Virus, bakteri, serta spora dan hifa
fungsi tetap dapat memasuki tumbuhan melalui luka atau bukan alami di
dalam epidermis misalnya stomata. Begitu patogen menyerang, tumbuhan
melancarkan serangan kimia sebagai garis pertahanan kedua yang
menghancurkan patogen patogen dan mencegah penyebarannya dari tempat
terjadinya infeksi. Sistem pertahanan kedua ini diperkuat oleh kemampuan
tumbuhan untuk mengenali patogen patogen tertentu.
Tumbuhan dapat mengenali patogen yang menyerang dan bertahan
melawan patogen tersebut. Patogen yang berhasil akan menyebabkan
penyakit karena mereka menghindari pengenalan atau penekanan mekanisme
pertahanan inang. patogen yang melawan suatu tumbuhan yang memiliki
sedikit pertahanan spesifik disebut sebagai patogen virulen (virulent). Mereka
merupakan pengecualian, sebab jika bukan, maka inang dan patogen akan
segera musnah secara bersama-sama. Jenis kompromi telah di evolusikan
antara tumbuhan dan sebagian besar patogennya. Pada kasus-kasus semacam
itu, patogen memperoleh cukup akses ke inangnya sehingga mampu
memperbanyak diri tanpa menyebabkan kerusakan parah atau membunuh

47
tumbuhan. Galur-galur patogen yang hanya sedikit berbahaya namun tidak
membunuh tumbuhan inang disebut patogen avirulen (avirulent).
Pengenalan gen untuk gen (gene for gene recognition) adalah suatu
bentuk resistensi terhadap penyakit yang dimiliki oleh tumbuhan yang
melibatkan pengenalan molekul-molekul yang berasal dari patogen oleh
produk-produk protein dari gen-gen resistan (R) penyakit tumbuhan yang
spesifik. Ada berbagai macam patogen, dan tumbuhan memiliki banyak gen
R-arabidopsis setidaknya memiliki beberapa ratus gen. Protein r biasanya
mengenali hanya satu molekul patogen yang berkesesuaian yang dikodekan
oleh salah satu gen a virulensi patogen (avr). Terlepas dari namanya, protein-
protein avr berbahaya bagi tumbuhan; protein-protein tersebut diduga
mengarahkan ulang metabolisme inang untuk menguntungkan patogen.
Pengenalan molekul-molekul yang berasal dari patogen dan disebut sebagai
elisitor (elicitor) oleh protein-protein r memicu jalur-jalur transduksi sinyal
yang menyebabkan aktivasi gudang amunisi dari respon pertahanan. Respon-
respon ini mencakup respons hipersensitif (hypersensitive response) kematian
yang terprogram secara genetis pada sel-sel yang terinfeksi serta penguatan
jaringan dan produksi antibiotik pada tempat terjadinya infeksi titik serangan
patogen juga dapat memicu resistensi sistematik yang diperoleh (systemic
acquired resistance), respon sistemik jangka panjang yang memancing
tumbuhan untuk melawan berbagai macam patogen. Respon-respon lokal dan
sistemik terhadap patogen memerlukan pemrograman ulang genetis yang
ekstensif dan komitmen sumber daya seluler. Oleh karena itu, tumbuhan
mengaktivasi pertahanan pertahanan ini hanya setelah mendeteksi patogen
yang menyerang.

48
Gambar 21: Respon-respon pertahanan melawan patogen avirulen.

Respons hipersensitif

Respons hipersensitif adalah respon pertahanan yang menyebabkan


kematian sel dan jaringan di dekat situs infeksi, sehingga membatasi
penyebaran patogen. Setelah sel-sel di tempat infeksi melancarkan pertahanan
kimiawi dan menyegel wilayah tersebut, mereka menghancurkan dirinya
sendiri. Respon hipersensitif dimulai ketika elisitor elisitor patogen berikatan
dengan protein protein r, sehingga mengubah permeabilitas selektif membran
plasma dan merangsang produksi fitoaleksin (phytoalexin), yang merupakan
senyawa senyawa toksik dengan sifat-sifat fungisidal dan bakterisidal yang
umum. Respon hipersensitif juga menginduksi produksi protein
PR(pathogenesis related protein), yang banyak di antaranya merupakan
enzim-enzim yang menghidrolisis komponen-komponen di dalam dinding
dinding sel patogen. Infeksi juga merangsang pertautan silang molekul-
molekul di dalam dinding sel dan penumpukan Lignin, respon-respon yang
mendirikan penghalang lokal yang memperlambat penyebaran patogen ke
bagian-bagian lain dari tumbuhan.

Resistensi sistemik yang diperoleh

Respon hipersensitif bersifat terlokalisasi dan spesifik suatu respon yang


mengurung infeksi berdasarkan pengenalan gen untuk gen (R-avr) antara
inang dan patogen. Akan tetapi seperti yang di singgung sebelumnya, serbuan
patogen juga dapat menghasilkan molekul-molekul sinyal yang

49
menyembunyikan alarm infeksi di seluruh tubuh tumbuhan. Resistensi
sistemik diperoleh yang dihasilkan, yang diasosiasikan dengan ekspresi
sistemik gen-gen pertahanan, bersifat non spesifik, menyediakan
perlindungan melawan beraneka macam patogen yang bertahan selama
berhari-hari. Pencarian molekul persinyalan yang bergerak dari tempat infeksi
untuk memicu resistensi sistemik yang diperoleh menghasilkan identifikasi
asam metilsalisilat(methylsalicylic Acid) sebagai satu-satunya kandidat.
Asam asetil salisilat dihasilkan di sekitar tempat infeksi dan diangkut oleh
floem ke seluruh bagian tumbuhan dan diubah menjadi asam salisilat
(salicylic Acid) di wilayah yang jauh dari tempat. Asam salisilat menginfeksi
sebuah jalur transduksi sinyal yang menginduksi produksi protein protein PR
dan resistensi terhadap serangan patogen.

50
Daftar Pustaka

Champbell. Reece, (2008). Biologi Jilid 1 Edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga


Champbell. Reece, (2008). Biologi Jilid 2 Edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga
Yenni Asbur. (2017). Peran Fotoreseptor Pada Tropisme Tanaman Sebagai
Respon Terhadap Cahaya. Program Studi Agroteknologi, Fakultas
Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara. Agriland Volume 6 No. 2

51

Anda mungkin juga menyukai