Anda di halaman 1dari 5

Tingkat Pemahaman Pemain Sepak Bola Remaja di

Yogyakarta Mengenai Penanganan Ankle Sprain yang


Benar
Syania Shabrina
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
syanias10@student.uns.ac.id

Abstract. Soccer is the most popular sport in the world, played by all gender and ages. In Indonesia, soccer
is interested by all ages, especially kids and adolescent. Like another sport or physical
activity, soccer can cause injury. One of common injury part is ankle.. This injury
incidence ranges from 1.7 to 4.5 injuries per 1000 playing hours, accounting for 11-25%
of all acute injuries. Ankle sprain is one of ankle injury that often happened in soccer
players. It usually occurs when the foot is unnaturally twisted, often when walking,
running on uneven surface or player-to-player contact. The simple treatment method for
ankle sprain is RICE (Rest, Ice, Compression, and Elevation). Soccer player must know
about the right treatment for ankle sprain. It can decrease worsen impact for them. Bad
ankle sprain treatment cause disadvantage for soccer player especially young players
which still have long career in soccer. There are many methods to prevent or decrease
risk of ankle sprain.

Keywords: soccer, ankle, sprain, injury, treatment

1. PENDAHULUAN

Olahraga sepak bola merupakan olahraga paling populer di dunia, termasuk Indonesia.
Banyak anak-anak hingga orang dewasa menekuni olahraga ini. Dalam setiap aktivitas fisik,
termasuk olahraga sepak bola, ada kemungkinan terjadi cedera.
Cedera adalah sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang dikarenakan suatu
paksaan atau tekanan fisik maupun kimiawi (Artanayasa & Putra, 2014). Ada banyak jenis
cedera dalam sepakbola yaitu cedera pada engkel, lutut, bahu paha, punggung, dan bahkan
kepala. Cedera engkel adalah salah satu jenis cedera yang sering terjadi.
Cedera engkel dapat disebabkan oleh fraktur pada tulang pergelangan kaki, perobekan,
atau peregangan ligamen. Cedera engkel yang paling sernig terjadi adalah ankle sprain atau
keseleo. Ankle sprain merupakan penguluran atau perobekan pada ligamen (jaringan penghubung
tulang dengan tulang) atau kapsul sendi di engkel. Ankle sprain dapat terjadi pada ligamen
lateral, medial, dan syndesmodic (Chin & Hertel, 2010). Ada tiga jenis cedera engkel menurut
tingkat keparahannya. Sprain tingkat I terjadi ketika beberapa serabut ligamen putus sehingga
menyebabkan rasa nyeri tekan, pembengkakan, dam rasa sakit.Biasanya, sprain tingkat ini 2-3
hari sudah membaik. Sprain tingkat II terjadi ketika lebih banyak serabut ligamen yang putus
sehingga menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan, pembengkakan, efusi, dan persendian tidak dapat
digerakkan. Sprain tingkat III terjadi ketika seluruh ligamen putus sehingga timbul rasa sangat
sakit, terdapat darah dalam pesendian, tidak dapat digerakkan, dan terdapat gerakan abnormal.
Dalam setiap pertandingan olahraga termasuk sepak bola, ada petugas medis atau tenaga
kesehatan yang siap sedia bertindak menangani cedera. Klub atau tim profesional biasanya
memiliki tim medis yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, bahkan pelatih mental. Tim
medis dalam tim profesional tidak hanyak bertugas menangani cedera, tetapi juga mendesain
program untuk menjaga stamina pemain, mencegah atau mengurangi kemungkinan cedera pada
pemain, asupan gizi pemain, dan sebagainya. Akan tetapi, ada beberapa tim atau klub kecil di
Indonesia tidak memiliki tim medis. Biasanya, pelatih yang akan menangani cedera para pemain.
Penanganan cedera bukan oleh tenaga kesehatan tidak berarti buruk. Bisa saja, pelatih atau
orang tua pemain sudah mendapat edukasi mengenai penanganan cedera yang benar, apalagi bagi
mereka yang dulu pernah berpengalaman menjadi pemain sepak bola. Namun, pelatih atau orang
tua yang tidak berprofesi sebagai tenaga kesehatan, lebih besar kemungkinan salah mendiagnosis
cedera karena keterbatasan pengetahuan sehingga penanganan yang dilakukan bisa kurang tepat.
Penanganan cedera engkel akut yang paling populer dan mudah adalah rest, ice, compression, dan
elevation (Michel et al, 2012).
Pemain sebagai subjek yang mengalami cedera juga perlu tahu mengenai macam-macam
cedera dan penanganannya. Hal ini bermanfaat bagi pemain. Menuru peraturan dalam
International Football Association Board Rules of the Game, ketika ada pemain yang cedera,
wasit mempunyai kewenangan untuk menghentikan pertandingan lalu menghampiri pemain yang
cedera. Apabila tim medis diperlukan, wasit mengizinkan maksimal dua orang untuk masuk ke
lapangan. Konsekuensi dari peraturan ini adalah tim medis harus menunggu wasit untuk
menentukan apakah tim medis diperlukan atau tidak sehingga terjadi penundaan penanganan pada
pemain (Kramer et al, 2010). Apabila pemain punya pengetahuan mengenai cedera, ia bisa
memposisikan dirinya dengan benar untuk mencegah kondisi yang lebih buruk selagi menunggu
tim medis menghampirinya .
Seperti disebutkan dalam paragraf sebelumnya, pengetahuan pemain terhadap cedera dan
penanganannya itu penting sehingga peneliti ingin mengetahui tingkat pemahaman pemain sepak
bola remaja di Yogykarta mengenai penanganan cedera yang paling sering terjadi yaitu ankle
sprain. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang memiliki tim remaja atau sekolah sepak bola
cukup banyak dan aktif berkompetisi.

2. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Peneliti menyebar
angket ke sepuluh orang pemain sepak bola remaja di Yogyakarta. Angket ini berisi pengetahuan
mengenai penanganan cedera engkel. Dalam angket, terdapat dua puluh dua pernyataan setuju
tidak setuju mengenai sikap mereka terhadap penanganan dan pencegahan cedera engkel

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam hasil pengisian angket, didapatkan data sepuluh pemain sepak bola di Yogyakarta
berusia 19-22 tahun. Tujuh dari sepuluh pemain berusia 19 tahun. Pengalaman mereka dalam
bermain sepak bola sudah cukup lama, rata-rata dimulai dari jenjang sekolah dasar. Mereka pun
masih aktif bermain sepak bola bersama tim sepak bola di kampus, klub sepak bola di Yogya, dan
tim kontingen Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam seminggu, mereka rata-rata bermain sepak
bola sebanyak 3-5 kali.
Selama lebih dari sepuluh tahun bermain sepak bola, mereka pernah mengalami cedera. Ada
pemain yang pernah mengalami lebih dari satu jenis cedera. Jenis-jenis cedera yang pernah mereka
alami adalah cedera pada engkel, lutut, paha, pergelangan tangan, dan bahu. Delapan dari sepuluh
pemain pernah mengalami cedera engkel. Rata-rata, mereka pernah mengalami cedera engkel
sebanyak satu sampai dua kali.
Dalam angket, terdapat 18 kalimat pernyataan dengan pilihan jawaban sangat setuju, setuju,
ragu-ragu, tidak setuju, atau sangat idak setuju yang berhubungan dengan penanganan cedera
engkel. Jawaban mereka pun beragam sesuai dengan pengalaman yang pernah dialami. Pada
pernyataan pertama yang berisi pemanasan sebelum bermain sepak bola, 100% subjek menyatakan
sangat setuju atau setuju. Sedangkan pada pernyataan kedua mengenai tidak melakukan
pendinginan setelah bermain sepak bola, 80 % menyatakan tidak setuju sedangkan sisanya setuju
atau ragu-ragu. Pemanasan dan pendinginan merupakan salah satu hal penting dalam olahraga.
Kedua hal tersebut berfungsi untuk mencegah atau mengurangi terjadinya cedera. Selain
pemanasan dan pendinginan, pemain juga perlu menggunakan deker atau pelindung pada engkel
guna mengurangi risiko cedera. Menurut data, 90 % subjek setuju atau sangat setuju menggunakan
deker atau pelindung engkel.
Pernyataan selanjutnya mengenai siapa yang menangani pemain ketika mereka cedera.
Tindakan paling ideal dalam penanganan cedera adalah apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan
seperti dokter dan fisioterapis. Apabila penanganan dilakukan bukan oleh tenaga kesehatan, seperti
pelatih atau orang tua atau teman yang tidak berprofesi sebagai tenaga kesehatan, bukan
merupakan hal yang salah, melainkan kurang tepat. Kesalahan diagnosis dan penanganan lebih
besar kemungkinannya karena keterbatasan ilmu. Pemain memang perlu tahu cara menangani
cedera, akan tetapi apabila pemain mengobati dirinya sendiri tanpa meminta bantuan tenaga medis,
hal tersebut kurang tepat. Sebenarnya, kasus ankle sprain ringan dapat ditangani sendiri tanpa
harus pergi ke dokter. Akan tetapi, dalam pertandingan seperti sepak bola, penyebab cedera
sangatlah beragam dan terkadang tidak terduga sehingga tim medis masih diperlukan dalam
pertandingan atau tim sepak bola. Apabila ankle sprain tetap menimbulkan sakit setelah 5 sampai
7 hari, menyebabkan tidak bisa berjalan, atau sakit tidak terkontrol kecuali mengonsumsi obat,
pemain harus berkonsultasi dengan dokter.
Pada data, 80% subjek setuju apabila penanganan dilakukan oleh tenaga kesehatan,
sedangkan sisanya ragu-ragu dan tidak setuju. Berkaitan dengan penanganan cedera oleh bukan
tenaga kesehatan, 50 % tidak setuju, sedangkan sisanya ragu-ragu dan setuju. Berkaitan dengan
mengobati dirinya sendiri sampai tidak sakit, 50 % subjek setuju atau sangat setuju dan 30 %nya
tidak setuju atau sangat tidak setuju. Setelah ditinjau ulang, mereka yang setuju melakukan
pengobatan sendiri ternyata tidak murni menangani sendiri. Mereka tetap mendapat pertolongan,
petunjuk, dan saran dari tenaga kesehatan, lalu mereka menjalankan saran tersebut di rumah secara
mandiri, misal mengompres engkel dengan es sendiri. Hal itu juga dibuktikan oleh pernyataan
mengenai kepatuhan mereka dengan saran dari tenaga kesehatan atau pelatih orang tua dalam
penanganan cedera. Sebanyak 90% menyatakan setuju untuk mengikuti saran mereka, sedangkan
sisanya ragu-ragu,
Penanganan cedera engkel secara garis besar ada empat tindakan, yaitu RICE (Rest, Ice,
Compression, dan Elevation). Pemain perlu banyak mengistirahatkan engkelnya ketika cedera.
Pemain juga dilarang untuk bermain sepak bola atau olahraga lain. Apabila ingin beraktivitas di
luar, pemain di sarankan mengenakan crutch (tongkat ketiak) atau kursi roda guna
mengistirahatkan engkelnya. Selain istirahat, engkel yang terkena cedera dikompres dengan
sesuatu yang dingin, idealnya es, selama 20-30 menit. Apabila timbul bengkak pada engkel,
pengompresan dengan es harus terus diulang selama satu hari. Selain itu, engkel juga sebaiknya
perlu dibalut menggunakan plester atau kinesio tape guna melindungi engkel sehingga
meningkatkan penyembuhan ligamen. Kaki yang mengalami cedera juga sebisa mungkin tetap
terangkat. Menurut data, 100 % pemain setuju atau sangat setuju melakukan pengompresan
dengan es, tetapi 80% pemain hanya melakukannya selama 3-5 menit. Apabila terjadi
pembengkakan, 60% subjek melakukan pengompresan es terus menerus. Berkaitan dengan
elevation atau menaikkan kaki yang cedera ke atas, 60% setuju atau sangat setuju sedangkan
sisanya ragu-ragu. Berkaitan mengenai rest atau istirahat, 80% pemain tidak memaksakan dirinya
tetap bermain ketika cedera, sedangkan sisanya ragu-ragu. Sebesar 60% pemain memperbanyak
istirahat selama 2-3 hari saat cedera ringan atau 2-3 minggu saat cedera sedang, sedangkan ada
satu subjek yang tetap beraktivitas namun menggunakan alat bantu seperti crutch atau kursi roda.
Terdapat dua subjek yang tetap beraktivitas tanpa menggunakan alat bantu, ada pula satu subjek
yang tetap bermain sepak bola atau olahraga. Di masyarakat, sering terjadi pula pemijatan apabila
terkena cedera, akan tetapi belum ada bukti yang membuktikan keefektifannya. Sebanyak 40 %
pemain melakukan pemijatan, 30% tidak melakukan, dan 30% lainnya ragu-ragu.
Selain RICE, pemain yang mengalami cedera engkel sebaiknya melakukan rehabilitasi.
Rehabilitasi dilakukan setelah cedera berkurang. Ada berbagai tahapan rehabilitasi, misalnya
latihan keseimbangan, jangkauan gerakan, inversi-eversi, dan sebagainya. Sebanyak 60% subjek
setuju sedagkan sisanya ragu-ragu dan ada satu subjek yang tidak setuju.
Berdasarkan data total, ada delapan pemain yang hasil penilaiannya di atas 66%. Hal tersebut
menunjukkan tingkat pemahaman yang tinggi mengenai penanganan cedera engkel. Terdapat tiga
subjek yang memiliki persenan di atas 80, nilai tertinggi adalah 87%, sedangkan empat subjek
lainnya di atas 70%, dan satu subjek memiliki nilai 69%. Dua subjek lainnya memiliki nilai 60%
dan 62%, hal tersebut menunjukkan tingkat pemahaman yang sedang mengenai penanganan
cedera engkel. Maka, terdapat 80% pemain sepak bola remaja dengan pemahaman tinggi dan 20%
dengan pemahaman sedang mengenai penanganan cedera engkel yang benar menurut pengalaman
mereka.

4. SIMPULAN
Setelah dilakukan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pemain sepak bola remaja di
Yogyakarta sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai penanganan ankle sprain. Itu artinya,
selama lebih dari sepuluh tahun mereka bermain bola, penanganan cedera engkel yang mereka
jalani sudah baik, walaupun ada beberapa tahapan yang masih belum sesuai. Metode rest, ice,
compression dan elevation menjadi penanganan awal cedera engkel yang tepat. Penanganan cedera
engkel yang tidak tepat dapat menimbulkan kerugian pada pemain, bisa saja mereka tidak bisa lagi
bermain sepak bola.

5. SARAN
Edukasi oleh tenaga kesehatan kepada pelatih, orang tua, dan pemain sepak bola mengenai
penanganan pertama cedera perlu dilaksanakan. Hal tersebut dapat bermanfaat apabila tidak ada
tenaga kesehatan saat cedera terjadi. Selain itu, sebaiknya setiap tim atau klub atau sekolah sepak
bola memiliki tenaga kesehatan yang memadai. Hal itu penting supaya para pemain tetap terjaga
stamina, pola makan, dan gaya hidupnya.
Pemain juga sebaiknya tidak memaksakan diri untuk tetap bermain ketika cedera atau
membiarkan cedera yang dialami. Apabila cedera tidak ditangani dengan tepat dan segera, ia dapat
menimbulkan dampak yang lebih buruk bagi pemain.
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan. Penelitian ini akan lebih baik apabila
subjek penelitian lebih banyak. Selain itu, metode penelitiannya pun lebih baik bila menggunakan
wawancara sebagai penunjang angket.

6. DAFTAR PUSTAKA

Kramer, E. B., Botha, M., Drezner, J., Abdelrahman, Y., & Dvorak, J. (2012). Practical
management of sudden cardiac arrest on the football field. British Journal of Sports
Medicine, 46(16), 1094–1096. https://doi.org/10.1136/bjsports-2012-091376

Chinn, L., & Hertel, J. (2010). Rehabilitation of Ankle and Foot Injuries in Athletes. Clinics in
Sports Medicine, 29(1), 157–167. https://doi.org/10.1016/j.csm.2009.09.006

Artanayasa, W., & Putra, A. (2014). Cedera pada pemain sepakbola 1), 345–353.

Sumartiningsih, S. (2012). Cedera Keseleo pada Pergelangan Kaki (Ankle Sprains). Juli Disetujui:
Juni, 2, 2088–6802. Retrieved from http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/miki
Not, D. O., & Physiotherapy, M. S. K. (2012). Ankle Sprain.

Engebretsen, A. H., Myklebust, G., Holme, I., Engebretsen, L., & Bahr, R. (2009). Intrinsic risk
factors for acute ankle injuries among male soccer players : a prospective cohort study. 1–8.
https://doi.org/10.1111/j.1600-0838.2009.00971.x

Higgins, J. P., & Andino, A. (2013). Soccer and Sudden Cardiac Death in Young Competitive
Athletes : A Review. 2013.

Van Den Bekerom, M. P. J., Struijs, P. A. A., Blankevoort, L., Welling, L., Van Welling, C. N., &
Kerkhoffs, G. M. M. J. (2012). What is the evidence for rest, ice, compression, and elevation
therapy in the treatment of ankle sprains in adults? Journal of Athletic Training, 47(4), 435–
443. https://doi.org/10.4085/1062-6050-47.4.14

Anda mungkin juga menyukai