Anda di halaman 1dari 80

1

KEARIFAN LOKAL UNTUK MITIGASI BENCANA


PADA MASYARAKAT RAWAN BENCANA GEMPA, TSUNAMI,
LONGSOR, BANJIR DI KABUPATEN PESISIR BARAT
PROVINSI LAMPUNG

TESIS

diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Magister Pendidikan Geografi

oleh
Meri Herlina
0302517008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
ii
iii

PERNYATAAN

Dengan ini, saya


Nama : Meri Herlina
NIM : 0302517008
Program Studi : Pendidikan Geografi
menyatakan bahwa tesis berjudul Kearifan Lokal Untuk Mitigasi Bencana Pada
Masyarakat Rawan Bencana Gempa, Tsunami, Longsor, Banjir di Kabupaten
Pesisir Barat Provinsi Lampung ini benar-benar karya saya sendiri bukan jiplakan
dari karya orang lain atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan
etika keilmuan yang berlaku baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan
orang atau pihak lain yang terdapat dalam tesis ini telah dikutip atau dirujuk
berdasarkan kode etik ilmiah. Atas pernyataan ini, saya secara pribadi siap
menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan apabila ditemukan adanya
pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya ini.

Semarang, 15 Juli 2019

Meri Herlina
NIM. 0302517008
iv

MOTTO

Tugas kita bukanlah untuk berhasil, namun tugas kita adalah untuk mencoba

karena dari mecoba kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk

berhasil (Mario Teguh)

PERSEMBAHAN

Untuk kedua orangtua dan keluarga yang telah ikhlas memberikan suport
materil maupun moril selama penulis menempuh pendidikan.

Untuk teman-teman Program Studi Pendidikan Geografi Pascasarjana


UNNES, terimakasih atas berkenannya menerima saya menjadi bagian dari
keluarga selama saya menempuh pendidikan di Universitas Negeri
Semarang.
v

ABSTRAK

Herlina, Meri. (2019). Kearifan Lokal Untuk Mitigasi Bencana Pada Masyarakat
Rawan Bencana Gempa, Tsunami, Longsor, Banjir Di Kabupaten Pesisir Barat
Provinsi Lampung. Tesis, Pendidikan Geografi Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang. Pembimbing I Prof. Dr. Dewi Liesnoor Setyowati, M.Si. Pembimbing
II Dr. Juhadi, M.Si.
Kata Kunci: Kearifan Lokal, Gempa, Tsunami, Longsor, Banjir

Kearifan lokal merupakan salah satu bentuk mitigasi bencana, dengan adanya
kearifan lokal maka dapat meminimalisisr dampak bencana yang terjadi. Tujuan
penelitian ini yaitu: 1) Mengidentifikasi dan menganalisis bentuk kearifan lokal
masyarakat Pesisir Barat; 2) Menganalisis strategi adaptasi masyarakat untuk
menghadapi bencana.
Pendekatan penelitian menggunanakan pendekatan kualitatif, teknik
pengambilan sampel snowball sampling, teknik pengumpulan data menggunakan
teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik keabsahan data
menggunakan teknik triangulasi metode, sumber data dan teori. Dan analisis data
menggunakan model analisis Spredley yaitu analisis domain, taksonomi,
kompensial, dan kultural.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) Terdapat dua kearifan lokal yaitu
Rumah Panggung berada di kawasan Pesisir dan Repong Damar berada di
kawasan pegunungan. Kearifan lokal Rumah Panggung berada di Pesisir Barat
untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami, sedangkan di Kecamatan Pesisir
Selatan dijadikan sebagai bentuk mitigasi bencana banjir. Kearifan lokal Repong
Damar untuk mitigasi bencana longsor yang terdapat di Kecamatan Way Krui.
Kearifan lokal Rumah panggung dijadikan sebagai bentuk mitigasi bencana
gempa karena bagian-bagian rumah panggung diperkuat dengan pasak sehingga
setiap bagian dari Rumah Panggung saling mendukung untuk mempertahankan
konstruksinya terhadap goncangan gempa yang terjadi, selain itu tiang pada
Rumah Panggung merupakan pusat kekokohan bangunan karena berasal dari
material kelas kuat dan awet; Kearifan lokal Rumah Panggung untuk mitiigasi
bencana tsunami karena tiang pada Rumah Panggung mampu meloloskan air laut
ketika terjadi tsunami; Kearifan lokal Rumah Panggung untuk mitigasi bencana
banjir karena bangunan rumah Panggung memiliki ketinggian 2-3 meter sehingga
rumha tidak akan terendam banjir. Kearifan lokal Repong Damar dijadikan
sebagai mitigasi bencana longsor karena pohon damar merupakan tanaman keras
yang memiliki akar yang besar dan tunjam sehingga dapat menahan laju tanah
ketika akan terjadi longsor. 2) Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat
meliputi adaptasi struktural, ekonomi dan sosial.
vi

ABSTRACT

Herlina, Meri. (2019). The Local Wisdom For Disaster Mitigation In Disaster
Prone Society Of Earthquake, Tsunami, Landslide, Flood In Pesisir Barat
Regency Of Lampung Province. Thesis, Geography Education Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang. Superviser I Prof. Dr. Dewi Liesnoor Setyowati,
M.Si. Pembimbing II Dr. Juhadi, M.Si.
Key words: Local Wisdom, Earthquake, Tsunami, Landslide, Flood

Local wisdom is one form of disaster mitigation, with the presence of local
wisdom it can minimize the impact of disasters that occur. The objectives of this
study are: 1) Identifying and analyzing the forms of local wisdom of the West
Coast community; 2) Analyze community adaptation strategies to deal with
disasters.
The research approach uses a qualitative approach, snowball sampling
technique, data collection techniques using observation, interview and
documentation techniques. The data validity technique uses triangulation
methods, data sources and theories. And data analysis uses the Spredley analysis
model, which is domain, taxonomic, computational, and cultural analysis.
The results of the study show that: 1) There are two local wisdoms namely
the Stage House in the Coastal area and Repong Damar in the mountainous
region. The local wisdom of the Stage House is in the West Coast for earthquake
and tsunami disaster mitigation, while in Pesisir Selatan District it is used as a
form of flood disaster mitigation. Local wisdom of Repong Damar for landslide
mitigation in the Way Krui District. Local wisdom The house on stilts is used as a
form of earthquake disaster mitigation because the parts of the stage house are
reinforced with pegs so that each part of the Stage House supports each other to
maintain the construction of the earthquake shaking. strong and durable class; The
local wisdom of the Rumah Panggung to mitigate the tsunami because the pillars
at the Stage House were able to escape seawater during a tsunami; Local wisdom
at the Stage House for flood disaster mitigation because the Stage house building
has a height of 2-3 meters so that the house will not be flooded. The local wisdom
of Repong Damar is used as a landslide disaster mitigation because damar trees
are hard plants that have large roots and allow them to resist the rate of land when
landslides occur. 2) Adaptation strategies carried out by the community include
structural, economic and social adaptations.
vii

PRAKATA

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat-Nya. Berkat karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul “Kearifan Lokal Untuk Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Rawan
Bencana Gempa, Tsunami, Longsor, Banjir di Kabupaten Pesisir Barat Provinsi
Lampung”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan meraih gelar Magister
Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Geografi Program Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang.
Penelitian ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggitingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian
penelitian ini. Ucapan terima kasih peneliti sampaikan pertama kali kepada para
pembimbing: Prof. Dr. Dewi Liesnoor Setyowati, M.Si. dan Dr. Juhadi, M.Si.
yang telah membimbing hingga tesis ini selesai.
Ucapan terima kasih peneliti sampaikan juga kepada semua pihak yang
telah membantu selama proses penyelesaian studi, di antaranya:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. Rektor Universitas Negeri Semarang
2. Prof. Dr. H. Achmad Slamet, M.Si. Direktur Program Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang
3. Dr. Erni Suharini, M.Si. Ketua Program Studi Pendidikan Geografi Program
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
4. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

Peneliti sadar bahwa dalam tesis ini mungkin masih terdapat kekurangan,
baik isi maupun tulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak sangat peneliti harapkan. Semoga hasil penelitian
ini bermanfaat dan merupakan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Semarang,

Meri Herlina
viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i


PENGESAHAN UJIAN TESIS .................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iii
MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................... vi
PRAKARTA ................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv

BAB
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah................................................................................ 17
1.3 Cakupan Masalah.................................................................................... 17
1.4 Rumusan Masalah ................................................................................... 18
1.5 Tujuan Penelitian .................................................................................... 18
1.6 Manfaat Penelitian .................................................................................. 18
1.6.1 Manfaat Teoritis ............................................................................ 18
1.6.2 Manfaat Praktis ............................................................................. 19
1.7 Batasan Istilah ........................................................................................... 19
1.7.1 Kearifan Lokal............................................................................... 19
1.7.2 Mitigasi Bencana ........................................................................... 20
1.7.3 Rawan Bencana ............................................................................. 20
1.7.4 Adaptasi ......................................................................................... 21
ix

II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

2.1 Kajian Pustaka......................................................................................... 22


2.1.1 Kearifan Lokal............................................................................... 22
2.1.2 Mitigasi Bencana ........................................................................... 24
2.1.3 Gempa Bumi ................................................................................. 29
2.1.4 Tsunami ......................................................................................... 32
2.1.5 Longsor.......................................................................................... 35
2.1.6 Banjir ............................................................................................. 38
2.1.7 Penelitian Terdahulu ..................................................................... 42
2.2 Kerangka Teoritis ................................................................................... 46
Teori Adaptasi Wohlwill ........................................................................ 46
2.3 Kerangka Berpikir ................................................................................... 48

III. METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian ............................................................................. 53


3.2 Desain Penelitian .................................................................................... 53
3.3 Fokus Penelitian...................................................................................... 54
3.4 Data dan Sumber Data Penelitian ........................................................... 55
3.5 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ............................................. 57
3.6 Taknik Keabsahan Data .......................................................................... 60
3.7 Teknik Analisis Data .............................................................................. 64

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Bencana Gempa dan Tsunami


4.1.1 Keadaan Geografis ........................................................................ 66
4.1.2 Demografis .................................................................................... 70
4.1.3 Sosial ............................................................................................. 72
4.2 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Bencana Longsor
4.2.1 Keadaan Geografis ........................................................................ 77
4.2.2 Demografis .................................................................................... 83
x

4.2.3 Sosial ............................................................................................. 85


4.2.4 Perekonomian ................................................................................ 87
4.3 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Bencana Banjir
4.3.1 Keadaan Geografis ........................................................................ 88
4.3.2 Demografis .................................................................................... 94
4.3.3 Sosial ............................................................................................. 97

V. KEARIFAN LOKAL UNTUK MITIGASI BENCANA

5.1 Kearifan Lokal Rumah Panggung .......................................................... 100


5.1.1 Tata Cara Mendirikan Rumah Panggung ...................................... 103
5.1.2 Bagian-Bagian Rumah Panggung ................................................. 107
5.1.3 Makna Lamban Langgakh (Rumah Panggung) ............................ 108
5.1.4 Eksistensi Lamban Langgakh di Era Modern .............................. 111
5.1.5 Faktor Penyebab Perubahan Rumah Panggung ............................ 114
5.1.6 Cara Melestarikan Rumah Panggung ............................................ 121
5.1.7 Analisis Rumah Panggung Tahan Gempa Tsunami ...................... 124
5.1.8 Analisis Rumah Panggung Mitigasi Bencana Banjir .................... 130
5.2 Kearifan Lokal Repong Damar .............................................................. 133
5.2.1 Sejarah Repong Damar.................................................................. 134
5.2.2 Fungsi Repong Damar Bagi .......................................................... 138
5.2.3 Cara Melestarikan Repong Damar ................................................ 141
5.2.4 Kendala Dalam Pelestarian Repong Damar .................................. 146
5.2.5 Analisis Repong Damar Mitigasi Bencana Longsor ..................... 146

VI. STRATEGI ADAPTASI BENCANA

6.1 Strategi Adaptasi Bencana Gempa Dan Tsunami ................................... 151


6.1.1 Adaptasi Struktural Bencana Gempa Bumi dan Tsunami ............ 153
6.1.2 Adaptasi Sosial Bencana Gempa dan Tsunami ............................ 156
6.1.3 Adaptasi Ekonomi Bencana Gempa dan Tsunami ........................ 157
6.1.4 Upaya Masyarakat Untuk Menghadapi Bencana Gempa ............. 159
6.1.5 Upaya Masyarakat Untuk Menghadapi Tsunami .......................... 161
xi

6.2 Strategi Adaptasi Bencana Longsor........................................................ 166


6.2.1 Adaptasi Struktural Bencana Longsor........................................... 166
6.2.2 Adaptasi Sosial Bencana Longsor ................................................ 168
6.2.3 Adaptasi Ekonomi Bencana Longsor ............................................ 169
6.2.4 Upaya Masyarakat Untuk Menghadapi Bancana Longsor ............ 171
6.3 Strategi Adaptasi Bencana Banjir ........................................................... 174
6.3.1 Adaptasi Struktural Bencana Banjir ............................................. 175
6.3.2 Adaptasi Sosial Bencana Banjir .................................................... 178
6.3.3 Adaptasi Ekonomi Bencana Banjir ............................................... 179
6.3.4 Upaya Masyarakat Untuk Menghadapi Bencana Banjir ............... 181
6.4 Analisis Secara Teoritis Berdasarkan Pandangan Wohlwill .................. 183

VII. SIMPULAN DAN SARAN


7.1 Simpulan ................................................................................................ 186
7.2 Saran ...................................................................................................... 187

DAFTAR PUSTAKA RUJUKAN ................................................................ 189


LAMPIRAN .................................................................................................... 199
xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Luas Kecamatan Pesisir Tengah Berdasarkan Desa Tahun 2017 ........... 67
4.2 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kec. Pesisir Tengah 2017 ................ 70
4.3 Tingkat Pendidikan Penduduk Kec. Pesisir Tengah 2017 ...................... 74
4.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan 2017 ............................ 75
4.5 Luas Kecamatan Way Krui Berdasarkan Desa Tahun 2017 ................... 79
4.6 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Way Krui Tahun 2017 ..................... 83
4.7 Tingkat Pendidikan Penduduk Way Krui Tahun 2017 .......................... 85
4.8 Luas Kecamatan Pesisir Selatan Tahun 2017 ......................................... 90
4.9 Jumlah Penduduk Kecamatan Pesisir Selatan Tahun 2017 .................... 94
4.10 Kepadatan Penduduk Kecamatan Pesisir Selatan 2017 .......................... 96
5.1 Fungsi Kearifan Lokal Rumah Panggung ............................................... 103
5.2 Bagian Rumah Panggung dan Fungsinya ............................................... 107
5.3 Makna Rumah Panggung Bagi Masyarakat ............................................ 110
5.4 Alasan Masyarakat Membangun Rumah Non Panggung ....................... 120
5.5 Struktur Vegetasi Hutan Damar .............................................................. 133
5.6 Cara Mempertahankan Repomg Damar .................................................. 144
5.7 Alasan Masyarakat Tetap Mempertahankan Repong Damar.................. 145
6.1 Wilayah Rawan Bencana Tsunami di Kabupaten Pesisir Barat ............. 152
6.2 Bentuk Antisipasi Masyarakat Menghadapi Bencana Tsunami.............. 162
6.3 Kegiatan Masyarakat Ketika Terjadi Bencana Banjir ............................. 182
xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Berpikir .................................................................................. 52


4.1 Peta Lokasi Penelitian Bencana Gempa dan Tsunami ........................... 68
4.2 Citra Lokasi Penelitian Bencana Gempa dan Tsunami .......................... 69
4.3 Peta Lokasi Penelitian Bencana Longsor ............................................... 81
4.4 Citra Lokasi Penelitian Bencana Longsor .............................................. 82
4.5 Peta Lokasi Penelitian Bencana Banjir .................................................. 92
4.6 Citra Lokasi Penelitian Bencana Banjir ................................................. 93
5.1 Bentuk Asli Rumah Panggung ............................................................... 101
5.2 Diagram Fungsi Kearifan Lokal Rumah Panggung ............................... 103
5.3 Makna Rumah Panggung ....................................................................... 111
5.4 Rumah Panggung Telah Dimodifikasi ................................................... 114
5.5 Rumah Tapak Tanah .............................................................................. 119
5.6 Alasan Masyarakat Membangun Rumah Non-Panggung ...................... 121
5.7 Cara Melestarikan Rumah Panggung ..................................................... 123
5.8 Ilustrasi Rumah Panggung Tahan Gempa .............................................. 124
5.9 Kayu Bengkirai ...................................................................................... 126
5.10 Pemasangan Knock-Down Rumah Panggung ........................................ 127
5.11 Pondasi Rumah Panggung ..................................................................... 128
5.12 Ilustrasi Rumah Panggung Mitigasi Bencana Tsunami ........................ 130
5.13 Keadaan DAS Sebelum dan Ketika Banjir ........................................... 131
5.14 Ilustrasi Rumah Panggung Sebagai Mitigasi Bencana Banjir................ 132
5.15 Struktur Vegetasi Repong Damar .......................................................... 134
5.16 Repong Damar dan Pohon Damar ........................................................ 136
5.17 Pola budidaya Repong Damar ............................................................... 137
5.18 Getah dan Pohon Damar Sebagai Manfaat Ekonomi............................. 139
5.19 Fungsi Repong Damar............................................................................ 141
xiv

5.20 Cara Mempertahankan Repong Damar .................................................. 145


5.21 Alasan Masyarakat Mempertahankan Repong Damar ........................... 145
5.22 Kerapatan Tajuk Hutan Damar .............................................................. 148
5.23 Akar Damar ............................................................................................ 149
5.24 Longsor di Kabupaten Pesisir Barat ....................................................... 150
6.1 Adaptasi Struktural Bencana Tsunami ................................................... 155
6.2 Tanggul Penahan Gelombang Tsunami ................................................. 156
6.3 Bentuk Sosialisasi Bencana Gempa Oleh BPBD .................................. 160
6.4 Bentuk Antisipasi Masyarakat Terhadap Bencana Tsunami ................. 162
6.5 Upaya Pemerintah Untuk Mengurangi Dampak Tsunami ..................... 164
6.6 Harapan Masyarakat Terhadap Bencana Tsunami ................................. 165
6.7 Kejadian Longsor di Kabupaten Pesisir Barat ....................................... 166
6.8 Upaya Penanggulangan Bencana Longsor di Way Krui ........................ 168
6.9 Karugian Masyarakat Akibat Bencana Longsor .................................... 170
6.10 Peringatan Lokasi Rawan Bencana Longsor di Way Krui..................... 173
6.11 Kondisi Desa Terdampak Banjir ............................................................ 174
6.12 Bentuk Adptasi Struktural Masyarakat .................................................. 176
6.13 Pembangunan Jembatan Oleh Pemerintah ............................................. 177
6.14 Pengerukan Sungai di Way Tenumbang ................................................ 178
6.15 Kondisi Sawah Terendam Banjir ........................................................... 180
6.16 Kagiatan Masyarakat Ketika Terjadi Bencana Banjir ............................ 182
xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Acuan Kegiatan Penelitian ..................................................................... 200


2. Hasil Observasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami ............................ 201
3. Hasil Observasi Bencana Longsor .......................................................... 202
4. Hasil Observasi Bencana Banjir ............................................................. 203
5. Hasil Wawancara BPBD Kabupaten Pesisir Barat ................................. 204
6. Hasil Wawancara Katua Desa Tangguh Bencana .................................. 207
7. Data Informan Bencana Gempa dan Tsunami ........................................ 209
8. Hasil Wawancara Bencana Gempa Bumi ............................................... 210
9. Hasil Wawancara Bencana Tsunami ...................................................... 218
10. Data Informan Bencana Longsor ............................................................ 220
11. Hasil Wawancara Bencana Longsor ....................................................... 221
12. Data Informan Bencana Banjir ............................................................... 228
13. Hasil Wawancara Bencana Banjir ......................................................... 229
14. Foto-Foto Kegiatan Penelitian ................................................................ 231
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah salah satu negara yang mendapat predikat negara rawan

bencana. Secara geologi Indonesia berada pada jalur penunjaman lempeng bumi,

yaitu penunjaman Lempeng Samudra Indo-Australia dengan Lempeng Benua

Eurasia yang memanjang dari pantai Barat Sumatera hingga pantai Selatan Jawa,

terus ke Timur sampai daerah Nusa Tenggara (Nur, 2010). Indonesia juga berada

di cincin api pasifik dan terletak di tengah tiga lempeng tektonik bumi yang aktif.

Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki ancaman bencana alam yang tinggi

seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor. Oleh

karena itu Indonesia tidak bisa mengelak dari bencana yang menimpanya dan

pendidikan tentang kebencanaan pada masyarakat sangat diperlukan, pendidikan

adalah cara yang efektif untuk membentuk perilaku masyarakat dalam

menghadapi bencana (Suharini, 2014).

Kabupaten Pesisir Barat merupakan kabupaten termuda di wilayah Provinsi

Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Barat.

Nama Kabupaten Pesisir Barat berasal dari kata ‘pesisir’ dan ‘barat’, dikarenakan

seluruh wilayah Pesisir Barat yang membentang dari utara sampai selatan berada

pada pesisir pantai bagian barat Provinsi Lampung. Secara geografis, Kabupaten

Pesisir Barat terletak di selat Garis Khatulistiwa yaitu pada koordinat : 4°, 40′, 0″

– 6º, 0′, 0″ Lintang Selatan dan 103º, 30′, 0″ – 104º , 50′, 0″ Bujur Timur.

1
2

Kabupaten Pesisir Barat memiliki luas + 2.809,71 km2 atau 8,39% dari luas

wilayah Provinsi Lampung (BPBD Kabupaten Pesisir Barat, 2018).

Kabupaten Pesisir Barat merupakan salah satu daerah yang rawan bencana

karena Kabupaten Pesisir Barat memiliki karakteristik tersendiri, Dilihat dari

potensi bencana yang ada, Kabupaten Pesisir Barat merupakan wilayah dengan

potensi bencana yang cukup beragam antara lain gempa bumi, tsunami, tanah

longsor, banjir, angin puting beliung, kekeringan dan lainnya. Seluruh wilayah

Kabupaten Pesisir Barat masuk dalam peta rawan bencana nasional, disebabkan:

1) Kondisi geografis wilayah di sebelah barat yang memanjang dari utara ke

selatan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia sehingga memiliki resiko

bencana tsunami; 2) Berada di atas lempeng Patahan Semangko (sesar semangko)

di sebelah barat Pulau Sumatra yang beresiko terjadinya gempa bumi tektonik; 3)

Di lewati 13 Daerah Aliran Sungai (DAS) antara lain: Malaya, Kemala,

Tenumbang, Biha, Ngambur, Tembulih, Ngaras, Pintau, Bambang, Pemerihan,

Menanga Kiri, Pemerihan, dan Belimbing sehingga beresiko tinggi terjadinya

bencana banjir; 4) Kabupaten Pesisir Barat sebelah utara sering terjadi bencana

tanah longsor karena topografi tanah banyak terdapat tebing dan berada di lereng

pegunungan Bukit Barisan Selatan. Selain itu angin puting beliung, kekeringan

dan angin barat yang cukup besar yang beberapa kali terjadi. Selain itu, kawasan

Kabupaten Pesisir Barat merupakan daerah yang masuk dalam zona I dan II yaitu

zona yang rawan terhadap bencana (Basmar, 2008:56).

Berdasarkan penjelasan di atas, Kabupaten Pesisir Barat rawan akan

bebarbagai bencana, namun dalam penelitian ini dibatasi hanya mengkaji tentang
3

empat jenis bencana yaitu bencana gempa, tsunami, longsor dan banjir. Ketika

terjadinya bencana, masyarakat menjadi objek utama saat terjadi bencana, maka

dari itu seharusnya masyarakat mempunyai kemampuan untuk mengetahui

kerentanan yang ada, sehingga dapat menjadi pelaku (subjek) utama dalam usaha-

usaha pengurangan risiko bencana, sehingga kerugian dapat diminimalisir. Hal itu

hanya dapat terjadi jika masyarakat mempunyai perencanaan untuk mengurangi

resiko bencana dan mempunyai pengetahuan serta mengerti tentang apa yang

seharusnya dilakukan pada saat bencana belum terjadi (prabencana), pada saat

tanggap darurat, dan pada saat pasca bencana. Pentingnya peningkatan

pemahaman dan ketahanan terhadap bencana itu harus ditanamkan kepada

masyarakat sekitar, terutama anak di usia dini yang masih belum mengerti tentang

hal-hal apa yang harus mereka lakukan saat peristiwa bencana tidak terduga

terjadi (Desfandi,2014).

Berdasarkan sejarah kegempaan, Kabupaten Pesisir Barat pernah

mengalami gempa ketika masih satu nama dengan Kabupaten Lampung Barat,

namun pada tahun 2013 Kabupaten Pesisir Barat resmi menjadi daerah otonom

sendiri yaitu Kabupaten Pesisir Barat. Gempa yang berpusat di zona patahan

Sumatera (Semangka) yang memanjang dari Kota Liwa Kabupaten Lampung

Barat hingga ke Kota Agung Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung yang

menerus ke Selat Sunda. Kawasan pantai barat seperti Kabupaten Pesisir Barat

banyak terbentuk morfologi yang landai terutama di sepanjang pantai, sehingga

beresiko tinggi terhadap bencana tsunami yang bersumber dari pusat-pusat gempa

di perairan baratnya. Gempa yang terjadi di Kota Liwa Kabupaten Pesisir Barat
4

ikut dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Pesisir Barat karena memang dua

kabupaten ini secara geografis terletak bersebelahan. Kabupaten Pesisir Barat dan

Kabupaten Lampung Barat sangat berpotensi terjadinya gempa yang serupa

seperti pada tahun 1994 karena Kabupaten Lampung Barat merupakan daerah

yang dilalui oleh Zona Sesar Sumatera dan dekat dengan zona subduksi antara

Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Samudra Hindia (Sieh & Natawidjaja,

2000). Konsekuensi dari hal tersebutlah yang menjadikan Kabupaten Pesisir Barat

rawan akan bencana gempa bumi dan tsunami (Sieh & Natawidjaja, 2000).

Berdasarkan data yang tercatat di BMKG pada tahun 2018, Kabupaten

Pesisir Barat telah terjadi gempa sebanyak tiga kali, gempa pertama berkekutan

5,1 SR dengan kedalaman gempa 10 km dan titik gempa berada di 6.47 Lintang

Selatan dan 103.87 Bujur Timur, gempa kedua berkekuatan 5,2 SR dengan

kedalaman gempa 10 km dan titik koordinat gempa berada di 5,88-103,43 BT,

dan gempa yang terjadi ketiga adalah gempa yang berkekuatan 5,5 SR dengan

kedalaman gempa diperkirakan 10 km, berasal dari zona subduksi pertemuan

lempeng Hindia Australia dan Eurasia dengan titik koordinat gempa tersebut

berada pada Bujur : 103.44 BT di 156 km Barat Daya di Pesisir Barat. Ketiga

gempa yang terjadi tersebut tidak berpotensi tsunami sehingga tidak ada korban

jiwa ataupun kerugian secara materi yang dialami oleh masyarakat.

Berdasarkan data kejadian gempa bumi tersebut, dapat kita simpulkan

bahwa Kabupaten Pesisir Barat memang rawan akan bencana gempa, sehingga

agar tidak ada korban jiwa dan kerugian ketika terjadi gempa yang lebih kuat lagi

maka dari itu masyarakat Kabupaten Pesisir Barat yang rawan akan bencana
5

gempa bumi harus memiliki cara untuk mitigasi bencana. Salah satu mitigasi

bencana gempa bumi yang harus tetap dipertahankan adalah keberadaan kearifan

lokal Lamban Langgakh, karena dengan struktur bangunan dari kayu rumah ini

dapat dijadikan sebagai bentuk mitigasi bencana gempa.

Keberadaan Lamban Langgakh (rumah panggung) di Kabupaten Pesisir

Barat Provinsi Lampung merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat sebagai

bentuk mitigasi bencana gempa dan tsunami yang telah ada sejak nenek moyang

dahulu (Juhadi, 2013). Lamban Langgakh secara struktur hampir sama dengan

rumah adat suku asli Sumatera lainnya. Rumah adat Lampung ini berbentuk

panggung dengan bahan utama berupa kayu atau papan. Struktur rumah panggung

pada rumah Lamban Langgakh pada masa silam ditujukan sebagai upaya untuk

menghindari serangan binatang buas bagi penghuninya. Seperti diketahui bahwa

dahulu hutan-hutan di Provinsi Lampung memiliki banyak kekayaan hayati,

sehingga memungkinkan berbagai jenis hewan buas tinggal berdampingan dengan

manusia. Selain itu, struktur panggung juga sengaja digunakan sebagai desain

rumah tahan gempa (Lumantarna & Pudjisuryadi, 2012.).

Bencana Tsunami di Kabupaten Pesisir Barat sudah beberapakali terjadi

namun tsunami lokal atau tsunami kecil yang mengakitbatkan banyak kerugian

bagi masyarakat, namun dilihat dari beberapa kejadian gempa sepanjang tahun

2018 dan bahkan tahun-tahun sebelumnya Kabupaten Pesisir Barat berpotensi

tsunami yang besar artinya tidak hanya tsunami lokal karena penyebab utama

atau yang paling umum yang dapat memicu terjadinya tsunami adalah gempa

bumi yang terjadi karena adanya tabrakan antara dua lempeng dan salah satunya
6

lempengnya dibenamkan oleh lempeng yang satunya, penyebab lainnya adalah

longsor yang terjadi di bawah laut namun biasanya hal ini akan terjadi pada

daerah gunung api yang aktif dan selalu terjadi erupsi seperti yang pernah terjadi

di Provinsi Banten dan Kabupaten Lampung Selatan, dimana longsor bawah laut

terjadi karena adanya material dari gunung Anak Krakatau yang mendorong

terjadinya gelombang yang disebut sebagai tsunami. Jadi dapat disimpulkan

bahwa tsunami akan terjadi tergantung pada kekutan gempa itu sendiri, biasanya

kekuatan gempa yang dapat memicu terjadinya tsunami adalah gempa yang

berkekuatan di atas 7,0 SR. Sedangkan gempa yang menimbulkan banyak korban

jiwa dan kerusakan bangunan yang cukup parah adalah gempa yang memiliki

kekuatan di atas 6 SR (Muslim, 2015). Jadi semakin kuat suatu gempa maka akan

semakin besar pula potensi terjadinya tsunami. Daerah Kabupaten Pesisir Barat

yang memiliki potensi tsunami adalah Bengkunat, Biha, Krui, Karya Penggawa,

Lemong, Pugung Tampak, Pulau Pisang dan Way Manula. Daerah Kabupaten

Pesisir Barat memang paling banyak berpotensi tsunami dibanding kabupaten lain

yang ada di Provinsi Lampung karena letak geografisnya.

Mitigasi atau kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana alam tsunami yang

berbasis masyarakat ini perlu disosialisasikan salah satunya adalah adanya

kearifan lokal yang sudah dilaksanakan masyarakat secara turun temurun, jadi

jangan sampai kearifan lokal ini hilang. Tidak hanya sosialisai yang harus

dilakukan tetapi harus ada komunikasi strategis adalah komunikasi yang bersifat

cerdas, dapat dimengerti, konsisten, relevan dan men-cerminkan prosedur dan

kebijakan tertentu (Dyah, 2009).


7

Lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian untuk bencana gempa dan

tsunami adalah Kecamatan Pesisir Tengah. Kedua bencana ini diteliti di satu

lokasi karena gempa dan tsunami saling berkaitan dimana tsunami akan terjadi

ketika diawali gempa bumi yang berkekuatan lebih dari 7 SR. Kecamatan Pesisir

Tengah berada di tengah Kabupaten Pesisir Barat. Daerah ini rawan bencana

gempa dan tsunami karena memiliki karakteristik tersendiri seperti dilalui Sesar

Semangka dan terdapat dua lempeng dimana jika kedua lempeng ini bertabrakan

maka dapat menyebabkan gempa bumi. Selain itu, daerah Kecamatan Pesisir

Tengah terbentuk morfologi yang landai terutama di sepanjang pantai, sehingga

beresiko tinggi terhadap bencana tsunami yang bersumber dari pusat-pusat gempa

di perairan baratnya. Secara sosial ekonomi, masyarakat di Kecamatan Pesisir

Tengah ini mayoritas suku Lampung dan beragama Islam, sedangkan untuk mata

pencaharian mayarakat Kecamatan Pesisir Selatan adalah sebagai nelayan, petani,

pedagang dan pegawaai negeri sipil. Kondisi sosial masyarakat masih menganut

kebiasaan yang namanya gotong royong karena memang masyarakat Kecamatan

Pesisir Tengah ini hubungan kekeluargaannya masih sangat erat.

Bencana longsor adalah salah satu bencana yang sering terjadi di Kabupaten

Pesisir Barat, dalam kurun waktu satu tahun yaitu pada tahun 2017 telah terjadi

longsor sebanyak dua kali, sedangkan pada tahun sebelumnya bencana longsor

lebih sering terjadi. Daerah yang sering terjadi longsor adalah jalur Krui-Liwa

Kecamatan Way Krui, hal ini disebabkan oleh sepanjang jalan tersebut dikelilingi

oleh pegunungan atau tebing sehingga ketika terjadi hujan deras dalam waktu

yang lama maka akan terjadi longsor karena tanah tidak bisa menahan derasnya
8

air, ditambah lagi daerah tersebut kurang adanya resapan air seperti pohon.

Bencana tanah longsor adalah salah satu bencana alam yang sering

mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa, serta menimbulkan

kerusakan sarana dan prasarana yang dapat berdampak pada kondisi sosial

ekonomi masyarakat. Longsor yang terjadi di Kabupaten Pesisir Barat tidak hanya

menelan korban jiwa namun merusak permukiman warga serta putusnya jalan

lintas Sumatera. Kawasan Kabupaten Pesisir Barat merupakan daerah yang masuk

dalam zona I dan zona II yaitu zona yang rawan terhadap bencana gerakan tanah

seperti tanah longsor dan erosi tanah (Basmar, 2008: 56).

Tanah longsor adalah suatu peristiwa alam yang pada saat ini kejadiannya

semakin meningkat. Bencana alam tanah longsor dapat terjadi karena pola

pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah kelestarian lingkungan, seperti

penggundulan hutan, dan pengambilan sumber daya alam yang melampaui daya

dukungnya. Perkembangan suatu wilayah akan meningkatan kebutuhan akan

lahan sebagai tempat tinggal dan aktivitas ekonomi, adapun ketersediaan lahan

yang ada tidak mengalami perkembangan. Penduduk terpaksa menempati lokasi

yang rawan longsor seperti daerah perbukitan dan lereng pegunungan. Aktivitas

masyarakat tersebut menyebabkan tingkat kerawanan bencana tanah longsor

menjadi semakin meningkat (Khasyir, 2016). Sedangkan bencana longsor yang

terjadi di Kabupaten Pesisir Barat disebabkan oleh tingginya curah hujan. Jika

aliran hujan turun secara terus-menerus, maka tanah atau lereng tidak dapat

menahan aliran air dan terpaan air hujan. Oleh sebab itu, harus ada peletarian

lingkungan seperti penanaman pohon sebagai bentuk mitigasi bencana longsor.


9

Berkaitan dengan penanaman pohon, masyarakat Kabupaten Pesisir Barat

memiliki kearifan lokal yang berhubungan dengan mitigasi bencana longsor salah

satunya adalah pelestarian Repong Damar. Repong merupakan istilah untuk

menamakan kebun hutan yang ditanami berbagai jenis tanaman dan buah buahan,

Repong merupakan hasil akhir dari pengolahan lahan tanaman padi, buah-buahan

dan sayur-sayuran. Fungsi dari Repong Damar selama ini adalah sebagai zona

penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai daerah

tangkapan air dan penstabilan iklim. Jadi dapat dibayangkan jika pohon damar

banyak ditebang oleh manusia, maka tidak ada lagi tempat penyangga air

sehingga akan menyebabkan tanah longsor. Sebagai bentuk pelestarian Repong

Damar, masyarakat dilibatkan dalam menegakan hukum adat untuk tidak

menebang pohon damar, jika pohon damar ditebang maka dipercaya akan ada

musibah menimpa keluarga penebang. Sebaliknya, jika memperkaya kebun damar

dengan tanaman pohon lainnya seperti cengkeh, jengkol, petai, durian dan lainnya

maka panen getah damar akan semakin meningkat. Meskipun sudah ada hukum

adat yang mengatur pelestarian Repong Damar, namun ada-ada saja masyarakat

yang melanggar hukum tersebut seperti melakukan penebangan pohon sebelum

waktunya, penebangan yang dilakukan oleh masyarakat karena tergiur dengan

para pemborong kayu yang memberikan harga tinggi sehingga masyarakat tidak

berfikir tentang ekologis lagi melainkan memikirkan ekonomis yang akan didapat

ketika menjual kayu damar. Kearifan lokal Repong Damar ini secara umum

merupakan kearifan lokal muncul melalui proses internalisasi yang panjang dan
10

berlangsung turun temurun sebagai akibat interaksi antara manusia dengan

lingkugannya (Setyowati, dkk . 2017).

Daerah penelitian untuk bencana longsor adalah di Kecamatan Way Krui,

kecamatan ini rawan akan bencana longsor karena memiliki karakteristik

tersendiri yaitu berupa dataran rendah sampai perbukitan serta memiliki garis

pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Selain itu, keadaan

fisiografis Kecamatan Way Krui yang sebagian merupakan perbukitan yang terjal

serta akibat dari pembangunan fasilitas umum seperti jalan raya yang memotong

kontur sehingga menyebabkan daerah ini rawan terhadap bencana longsor.

Bencana yang rawan terjadi di Kabupaten Pesisir Barat selanjutnya adalah

bencana banjir, banjir yang terjadi di Kabupaten Pesisir Barat adalah banjir

bandang. Fenomena banjir terjadi akibat tidak tertampungnya aliran air pada

badan-badan air atau sungai, sehingga meluap dan menggenangi daerah

sekitarnya. Belakangan ini, kejadian banjir cenderung makin meningkat dengan

intensitas yang semakin tinggi dan magnitude banjir semakin besar (Setyowati,

2008). Salah satu daerah di Pesisir Barat yang menjadi langganan banjir setia

tahunnya adalah Kecamatan Pesisir Selatan yaitu Pekon Tanjung Setia (Banjir

rob) dan Pekon Biha (banjir bandang) yang menyebabkan 245 rumah warga

terendam banjir. Dampak yang ditimbulkan oleh banjir adalah kerugian harta

benda. Di samping itu, rusaknya sarana dan prasarana transportasi, hancurnya

lahan pertanian dan irigasi serta terganggunya kehidupan ekonomi merupakan

permasalahan yang selalu terjadi akibat banjir. Dampak lain dari banjir adalah
11

timbulnya wabah penyakit dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat

(Damanik & Restu, 2012).

Berdasarkan data yang tercatat di BPBD, sepanjang tahun 2018 Kabupaten

Pesisir Barat telah dilanda bencana banjir sebanyak empat kali, dimana dari tiga

bencana tersebut terjadi di Desa Mandiri Kecamatan Pesisir Selatan, sedangkan

yang satunya lagi terjadi di Kecamatan Pesisir Tengah tepatnya di Desa Way

Krui. Ketinggian dari masing-basing banjir tersebut mencapai setengah hingga

satu meter. Tidak ada korban jiwa yang meninggal, namun bencana ini

menyebabkan kerugian harta benda karena terendamnya rumah-rumah warga dan

banyak sawah-sawah dari warga juga ikut terendam yang mengakibatkan gagal

panen, selain itu dampak dari banjir di Desa Mandiri menyebabkan fasilitas umum

seperti jembatan terputus sehingga menyebabkan arus lalu lintas terhambat.

Penelitian bencana banjir dilakukan di Kecamatan Pesisir Selatan, pemilihan

lokasi ini karena kecamatan ini adalah kecamatan yang paling sering dilanda

bencana banjir karena Daerah Aliran Sungai yang menjadi penyebab utama

terjadinya banjir. Secara fisik, Kecamatan Pesisir Selatan tidak jauh berbeda

dengan kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Pesisir Barat dimana secara

fisik kecamatan ini merupakan daerah yang landai karena berada di pesisir pantai.

Sedangkan secara sosial ekonomi masyarakat masih menganut sistem gotong

royong, hal ini terlihat ketika musim tanam masyarakat masih bahu membahu

saling bergantian untuk saling membantu menanam padi, sawah-sawah ini juga

menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat karena memang mayoritas tanah

dimanfaatkan sebagai lahan sawah, ditambah lagi ada aliran sungai yang
12

membantu saluran air irigasi warga untuk menajdi sumber air bagi sawah-sawah

mereka.

Kebiasaan-kebiasan yag dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Pesisir

Selatan untuk memitigasi bencana banjir adalah adanya bersih desa. Masyarakat

memiliki pengetahuan jika sudah masuk musim penghujan, masyarakat mulai

melakukan pembersihan desa seperti membakar sampah, membersihkan aliran

sungai, mengevakuasi barang-barang yang mungkin akan terendam banjir dan

meninggikan teras bagian depan rumah. Sebenarnya keberadaan Lamban

Langgakh juga memiliki peran penting untuk mitigasi bencana banjir karena

masyarakat yang tinggal di rumah panggung ini tidak perlu bersusahpayah

memindahkan barang yang takut terendam banjir dan meniggikan teras rumah

agar air banjir tidak dapat masuk ke dalam rumah. Beberapa usaha yang dilakukan

oleh masyarakat sebagai bentuk mitigasi atau untuk meminimalisir dampak

terjadinya banjir. Untuk itu sangat penting bagi masyarakat tetap mempertahankan

kebiasaan-kebiasaan tersebut, karena usaha untuk mitigasi bencana dapat dimulai

dari masyarakat dan tidak harus mengandalkan pihak lain seperti menunggu turun

tangan pemerintah untuk melakukan mitigasi bencana.

Kondisi masyarakat berkaitan dengan kebencanaan di Kabupaten Pesisir

Barat saat ini adalah : (1) Minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat

mengenai kebencanaan; (2) Minimnya bentuk edukasi masyarakat, sehingga

menyebabkan lemahnya kapasitas pengetahuan dan adaptasi masyarakat terhadap

bencana; (4) Rentannya kondisi fisik, sarana, dan prasarana terkait kebencanaan

(Maknun. 2015).
13

Kabupaten Pesisir Barat yang rentan akan bencana tidak bisa mengelak dari

bencana yang menimpanya, dan pendidikan tentang kebencanaan sangat

diperlukan, pendidikan adalah cara yang efektif untuk membentuk perilaku

masyarakat dalam menghadapi bencana (Suharini, 2014). Pendidikan

kebencanaan berperan penting untuk menyelamatkan masyarakat hidup dari

bencana (Setyowati, 2016, 2017). Jadi dalam konteks ini, harus menerapkan

pendidikan bencana yang lebih mendalam kepada masyarakat umum untuk

meningkatkan pengetahuan kebencanaan masyarakat.

Pengetahuan tentang bencana sangat diperlukan agar masyarakat menjadi

masyarakat yang tangguh bencana dan mampu beradaptasi dengan bencana yang

sedang dihadapi. Inti dari beadaptasi dengan lingkungan yaitu masyarakat sebagai

suatu sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang kompleks dan

masyarakat harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Pertiwi, dkk.

2017). Selain itu, fungsi dari pengetahuan tentang kebencanaan sangat penting

untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi suatu bencana

(Gultom, dkk. 2018). Ancaman menjadi bencana apabila masyarakat memiliki

tingkat kemampuan atau kapasitas yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat

bahaya bencana tersebut (Suharini. 2017).

Kebencanaan yang berbasis kearifan lokal harus menjelaskan bahwasanya

kearifan lokal yang selama ini ada di lingkungan masyarakat dapat dijadikan

sebagai mitigasi bencana. Untuk itu, harus dapat memanfaatkan lingkungan

sekitar agar masyarakat lebih cepat memahami apa yang disampaikan. Hal ini
14

sesuai dengan pendapat (Cimer, 2007 in Maretta, 2016) “Informasi atau materi

yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari lebih mudah dipahami”.

Berdasarkan kejadian-kejadian bencana dan kondisi masyarakat yang rawan

akan bencana yang telah dijabarkan di atas, harus disadari bahwa pemahaman

tentang bencana alam serta bagaimana beradaptasi harus dimiliki oleh semua

orang. Diperlukan upaya konkret dalam memahami dan mengantisipasi kondisi

alam secara terpadu. Salah satu wujudnya, melalui upaya pengurangan resiko

bencana adalah dengan melakukan pendidikan etnopedagogi. Etnopedagogi

menaruh perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan

mengungkap nilai-nilai budaya sebagai model awal (Alwasilah, dkk. 2009). Dapat

dikatakan bahwa Etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal

(local knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang

dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat, yakni kearifan lokal tersebut

terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola

dan diwariskan (Suarmika & Utama, 2017).

Unsur utama dalam ilmu etnopedagogi adalah kearifan lokal masyarakat

yang diintegrasikan ke dalam pendididikan. Kearifan atau wisdom dapat dipahami

sebagai suatu pemahaman kolektif, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang

mempengaruhi suatu keputusan penyelesaian atau penanggulangan suatu masalah

kehidupan. Kearifan dalam hal ini merupakan perwujudan seperangkat

pemahaman dan pengetahuan yang mengalami proses perkembangan oleh suatu

zkelompok masyarakat setempat atau komunitas yang terhimpun dari proses dan

pengalaman panjang dalam berinteraksi dalam satu sistem dan dalam satu ikatan
15

hubungan yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, diperlukan tindakan

untuk mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inovasi

dalam bidang pendidikan berbasis budaya masyarakat lokal, dengan cara

melakukan pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal, termasuk

reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal, dan revitalisasinya sesuai dengan kondisi

masyarakat. Kearifan lokal yang diwujudkan dalam bentuk perilaku adaptif

terhadap lingkungan mempunyai peranan penting dalam pengurangan resiko

bencana. Kearifan lokal yang berlaku di suatu masyarakat memberikan dampak

positif bagi masyarakat dalam menghadapi dan mensikapi bencana yang datang.

Kearifan lokal merupakan ekstraksi dari berbagai pengalaman yang bersifat turun

temurun dari nenek moyang atau orang-orang terdahulu yang telah mengalami

kejadian bencana (Marfai, 2012).

Saat ini, kepedulian kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap

berbagai macam bencana yang sering terjadi di sekitarnya masih sangat rendah.

Sementara itu, program-program pendidikan kebencanaan yang selama ini

berjalan masih belum komprehensif menyentuh semua eleman masyarakat dan

eleman institusional. Sebagai salah satu contoh elemen pendidikan formal belum

secara signifikan dilibatkan dalam upaya mitigasi bencana sehingga ketika meraka

menjadi masyarakat umum tidak memiliki pengetahuan tentang kebencanaan

(setyowaty dkk.; 2016, 2017).

Pengetahuan mengenai bencana dalam program pendidikan bencana

bukanlah tugas yang begitu berat. Tantangannya adalah bagaimana program

pendidikan bencana dapat mendorong masyarakat untuk memperbarui informasi,


16

meningkatkan tingkat persepsi resiko, menjaga kesadaran, serta melakukan dan

memperbarui persiapan yang tepat terhadap bencana di masa mendatang. Sebagai

tindak lanjut, perlu dikembangkan berbagai pendekatan pengajaran dan

pembelajaran yang akan mampu mencapai tujuan utama dari pengurangan risiko

bencana: membuat orang memiliki budaya kesiapsiagaan bencana (Adiyoso &

Kanegae 2013).

Pendidikan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk

sosialisasi, edukasi dan adaptasi mitigasi bencana kepada masyarakat. Adaptasi

yang dilakukan manusia terhadap lingkungannya termasuk di dalamnya

lingkungan fisik dan proses alam seperti terjadinya bencana menunjukkan adanya

interelasi antara manusia dan lingkungan (Suparmini, dkk. 2013), hubungan yang

saling terkait ini merupakan perubahan pada suatu komponen akan menyebabkan

perubahan lain dan sebaliknya. Jadi dalam konteks ini pendekatan human ecology

menekankan atau menunjukkan adanya hubungan saling terkait (interplay) antara

lingkungan dan proses-proses fisik yang berlangsung di dalamnya dan sistem-

sistemn sosial/budaya, proses interaksinya dengan lingkungan sekitar kemudian

tercipta budaya dan kearifan lokal.

Berdasarkan rasional diatas, maka tujuan dari tulisan ini adalah pentingnya

pendidikan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal untuk melakukan adaptasi

bagi masyarakat yang rawan benacana. Akhir atau output dalam penelitian ini

adalah membuat bentuk edukasi seperti buku tentang mitigasi bencana yang

berbasis kearifan lokal atau etnopedagogi untuk masyarakat umum ataupun

masyarakat sekolah agar masyarakat memiliki pemahaman bahwa kearifan lokal


17

yang ada di lingkungan mereka memiliki tujuan sebagai mitigasi bencana, dengan

itu masyarakat umum ataupun masyarakat sekolah seperti peserta didik lebih

mudah memahami konsep dari tujuan mitigasi bencana yang berbasis kearifan

lokal yang ada.

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Belum adanya upaya untuk mengintegrasikan dan mengaplikasikan kearifan

lokal sebagai bentuk mitigasi bencana

2. Masih rendahnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya mitigasi

bencana

3. Masih rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pendidikan

kebencanaan

4. Masih kurangnya adaptasi masyarakat terhadap bencana yang disebabkan

oleh rendahnya pengetahuan tentang bencana

5. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang kearifan lokal yang ada

dilingkungan mereka, sehingga hal ini meyebabkan kearifan lokal sudah

mulai ditinggalkan.

1.3 Cakupan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada: Bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat

untuk mitigasi bencana gempa, tsunami, longsor dan banjir; Adaptasi masyarakat

dalam menghadapi bencana gempa, tsunami, longsor dan banjir; Menyusun


18

edukasi atau pendidikan kebencanaan yang berbasis kearifan lokal pada

masyarakat rawan bencana di Kabupaten Pesisir Barat.

1.4 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk kearifan lokal masyarakat untuk mitigasi bencana?

2. Bagaimanakah strategi adaptasi masyarakat untuk menghadapi bencana?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis kearifan lokal masyarakat untuk mitigasi

bencana

2. Menganalisis strategi adaptasi masyarakat untuk menghadapi bencana

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

1.6.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu untuk memperkuat, mendukung dan

mengkritisi teori Wohlwill sehingga dapat memberi manfaat pada perkembangan

teori adaptasi terutama adaptasi setelah terjadinya bencana.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi:


19

1. BPBD: Buku dan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pesisir

Barat untuk memetakan daerah-daerah rawan bencana di Kabupaten Pesisir

Barat

2. Masyarakat: Diharapkan dengan adanya buku dari hasil penelitian ini,

masyarakat daerah rawan bencana memiliki pengetahuan tentang mitigasi

dan adaptasi bencana dan masyarakat menyadari bahwa kearifan lokal perlu

dilestarikan karena sebagai bentuk mitigasi bencana.

1.7 Batasan Istilah

Batasan istilah dalam penelitian ini bertujuan untuk membatasi ruang

lingkup permasalahan atau pengertian yang diteliti sehingga jelas batasan-batasan

yang dimaksud. Sehingga untuk menghindari perbedaan penafsiran antara penulis

dengan pembaca terhadap penelitian yang ditulis, maka dari itu dibutuhkan

batasan istilah sebagai berikut:

1. Kearifan Lokal

Kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai

pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang

mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan

modelmodel pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari.

Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang

bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi

lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-


20

hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan

alamnya (Zakaria, 1994 dalam Aulia, 2010).

Kearifan lokal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan atau

budaya dalam bentuk kebiasaan atau adaptasi masyarakat dalam menghadapi

bencana gempa, tsunami, longsor dan banjir. Kearifan lokal atau pengetahuan

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berbentuk fisik dan non fisik, fisik

yang berupa bangunan yang khas pada suatu daerah, dan yang non fisik adalah

yang berupa seperti mitos, cerita rakyat, dongeng, hukum adat dan lain

sebagainya. Jadi yang dimasud dengan kearifan lokal dapat berbentuk apa saja,

yang paling ditekankan adalah sesuatu itu menjadi kebiasaan dan khas bagi

masyarakat tersebut.

2. Mitigasi Bencana

Pengertian mitigasi bencana berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 64

Thaun 2010 adalah segala upaya yang dilakukan masyarakat untuk mencegah atau

mengurangi kemungkinan suatu bahaya yang akan terjadi yang akan

menyebabkan kerugian, mitigasi ini berbrntuk tindakan untuk pencegahan

bencana, sehingga dengan adanya mitigasi bencana ini diharapkan dapat

meminimalisir dampak dari suatu bencana. Mitigasi bencana yang dilakukan

dapat berasal dari masyarakat itu sendiri ataupun pemerintah setempat.

3. Rawan Bencana

Rawan bencana adalah suatu wilayah yang memiliki kondisi atau

karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,

politik, ekonomi, dan teknologi yang untuk jangka waktu tertentu tidak dapat atau
21

tidak mampu mencegah, meredam, mencapai kesiapan, sehingga mengurangi

kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (Tondobala, 2012).

Rawan bencana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah daerah yang

memiliki kemungkinan suatu bahaya akan terjadi, bahaya tersebut akibat dari

kondisi geografis, geologis, demografis ataupun karena ulah manusia. Contoh

daerah rawan bencana adalah seperti kawasan rawan gempa, kawasan rawan

tsunami, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan

lain sebagainya.

4. Adaptasi

Adaptasi merupakan bentuk bentuk penyesuaian terhadap lingkungan

dengan berbagai cara agar tetap bertahan hidup (Huda. 2016). Bentuk adaptasi

yang dilakukan oleh manusia dapat dilihat ketika manusia mengubah diri pribadi

sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan

sesuai keinginan pribadi. Bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat

berupa adaptasi struktural, sosial, ekonomi dan budaya (Gerungan. 1991). Namun

dalam penelitian ini adaptasi yang digunakan adalah adaptasi struktural, sosial dan

ekonomi.
22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Kearifan Lokal

Secara umum kearifan lokal muncul melalui proses internalisasi yang

panjang dan berlangsung turun temurun sebagai akibat interaksi antara manusia

dengan lingkugannya. Proses evaluasi yang panjang ini bermuara pada munculnya

sistem nilai yang terkristalisasi dalam bentuk hukum adat, kepercayaan, dan

budaya setempat (Ernawi, 2009:7).

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai

strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal

dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam

bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat “local

wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat

“local genious” (Fajarini, 2014).

Kearifan lokal (local wisdom) dalam dekade belakangan ini sangat banyak

diperbincangkan. Perbincangan tentang kearifan lokal sering dikaitkan dengan

masyarakat lokal dan dengan pengertian yang bervariasi. Kearifan lokal

merupakan gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh

kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya

(Sartini, 2004: 111). Pengertian lainnya bahwasanya kearifan lokal mengacu pada

22
23

pengetahuan yang datang dari pengalaman suatu komunitas dan merupakan

akumulasi dari pengetahuan lokal. Kearifan lokal itu terdapat dalam masyarakat,

komunitas, dan individu (Kongprasertamorn (2007: 2).

Kearifan lokal merupakan kegiatan, pengetahuan, dan kepercayaan suatu

masyarakat dalam mengelola alam yang berorientasi pada kelestarian lingkungan.

Kearifan lokal meliputi nilai, norma, kepercayaan, etika, adat istiadat, dan aturan-

aturan khusus (Setyowati, 2012:4). Kearifan lokal juga terdapat pada pepatah dan

cerita rakyat (Hardati, 2015).

Kearifan lokal adalah keseluruhan total pengetahuan manusia dan

keterampilan yang dimiliki oleh sekelompok orang lain dari suatu geografis

tertentu yang membuat mereka mampu dapat memperoleh sesuatu dari

lingkungan alam sekitarnya. Sebagian besar pengetahuan dan keterampilan itu

telah diwariskan dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya meskipun

lingkungan terus berubah dan berusaha sebagai strategi bertahan, ada komponen

kepercayaan dan keyakinan dalam persepsi dan komunikasi tersebut, peranan

mereka dalam ekosistem dan bagaimana mereka berinteraksi dengan alam

(Marrewijk, 1998).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

pengetahuan lokal merupakan hasil fikiran manusia dalam beradaptasi dengan

lingkungan sosial yang menjadi acuan dalam berprilaku dan telah diparaktekkan

secara turun-temurun, kearifan lokal bersifat trasdisional dan unik. Dikatakan

tradisional karena masih berdasaarkan pemikiran masyarakat setempat sedangkan

unik karena pengetahuan lokal itu setiap daerah berbeda-beda sehingga memiliki
24

keunikan masing-masing. Semua pengetahuan lokal tersebut berasal dari

masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu, kearifan lokal adalah aset

yang sangat berharga dan perlu dilestarikan terutama dengan kecenderungan

menurunnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan (Anam, dkk. 2018). Dan

hingga sekarang kearifan lokal semakin dipandang sebagai sumber informasi

penting untuk pengelolaan lingkungan (tibby. 2007).

2.1.2 Mitigasi Bencana

Pertama-tama, penting untuk memberikan pengantar tentang apa itu

bencana. Secara historis perspektif tentang bencana telah berubah mengenai apa

yang merupakan bencana dan apa alasannya bencana. Perspektif awal, yang masih

ada di beberapa bagian dunia, adalah bencana itu adalah tindakan Tuhan dan

bahwa orang-orang sedang ada dihukum karena kesalahan mereka (McEntire,

2001: 189). Asumsi ini masih ada termasuk di Indonesia, banyak masyarakat

Indonesia mengkaitkan terjadinya bencana karena dosa-dosa yang telah dilakukan

sehingga bencana yang terjadi merupakan hukuman dari Tuhan dari apa yang

telah mereka lakukan. Secara logika, bencana alam seperti longsor, banjir dapat

terjadi karena kesalahan manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap

lingkungan, seperti penggundulan hutan akan menyebabkan longsor dan

pembuangan sampah dikali sungai akan menyebabkan banjir karena saluran akan

tersumbat, jadi ketika hujan datang dalam waktu yang lama debit air akan

bertambah dan tidak bisa mengalir karena tersumbat oleh sampah. Jadi asumsi

dosa itu merupakan perilaku manusia yang tidak arif lingkungan.


25

Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-

komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability)

bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk)

pada komunitas. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat

kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat ancaman yang mungkin

terjadi padanya. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau

memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau bahkan menjadi

salah satu sumber ancaman tersebut (Setiawan, 2014).

Setiap ada bencana pasti ada yang namanya bahaya, risiko kedua hal

tersebut memiliki arti yang berbeda tetapi istilah yang sering digunakan secara

bergantian (Cutter, 2001). Bahaya adalah istilah terluas dan berarti ancaman bagi

orang-orang dan hal-hal yang mereka hargai. Menurut Cutter, “bahaya memiliki

potensi bagi mereka (mereka bisa terjadi), tetapi mereka juga termasuk dampak

yang sebenarnya dari suatu peristiwa pada orang atau tempat-tempat”. Bahaya

memiliki asal-usul yang rumit dan digambarkan sebagai timbul dari interaksi

antara sistem sosial dan alami, serta sistem teknologi. Sedangkan risiko adalah

komponen bahaya dan mengacu pada kemungkinan atau kemungkinan suatu

peristiwa atau bahaya terjadi. Melalui perkiraan probabilitas bahaya yang terjadi

dapat ditentukan tingkat keamanan yang sesuai atau penerimaan teknologi atau

tindakan (Cutter, 2001). Bencana, seperti bahaya, berasal dari berbagai alam,

sosial, teknologi dan sumber-sumber lingkungan, dan dapat digambarkan sebagai

peristiwa tunggal yang menghasilkan kerugian orang, infrastruktur, atau

lingkungan (Cutter, 2001). “Perbedaan antara bahaya, risiko, dan bencana penting
26

karena menggambarkan keragaman perspektif tentang bagaimana kita mengenali

dan menilai ancaman lingkungan (risiko), apa yang kita lakukan tentang mereka

(bahaya), dan bagaimana kita menanggapi mereka setelah mereka terjadi (itu

bencana) ”(Cutter, 2001: 3).

Karakteristik yang sangat penting dan deskripsi terkini tentang sifat bencana

adalah "interaksi kompleks dunia alam dan manusia" (Basher, 2008: 938). Ini

artinya memahami bencana melibatkan pengetahuan dari fisik, ekologi, sosial dan

budaya disiplin, dan perspektif dari bidang teknik, politik dan keruangan. Jurusan

tantangan di sini terletak pada menghubungkan bidang pengetahuan dan

perspektif yang berbeda ini mereka dapat memberikan jawaban yang masuk akal

dan pemahaman tentang sifat bencana, dan pada waktu yang sama

menghubungkan berbagai metode dan alat yang ada tetapi beragam dalam

manajemen bencana dan pengurangan risiko. Menurut Basher kita mungkin

berharap untuk melihat bidang studi bencana menjadi lebih terstruktur dan

terintegrasi, sama seperti bidang lingkungan sains telah mengaitkan bidang

keahlian yang berbeda selama 40 tahun terakhir.

Mitigasi bencana didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk

mencegah bencana atau mengurangi dampak bencana. Menurut Subiyantoro

(2010: 45) “mitigasi bencana sesungguhnya berkaitan dengan siklus

penanggulangan bencana berupa upaya penanganan sebelum terjadinya bencana”.

Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 tahun 2003,

mitigasi diartikan sebagai “upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
27

dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana yang meliputi

kesiapsiagaan dan kewaspadaan”.

Kajian tentang kearifan lokal dan mitigasi bencana pada masyarakat

tradisional di Indonesia sejatinya terlihat dalam kaitannya dengan sumber daya

alam dan sumber daya manusia. Pada masyarakat tradisional (lokal) manusia dan

alam adalah satu kesatuan karena keduanya sama-sama ciptaan Yang Maha

Kuasa. Alam dan manusia diyakini sama-sama memiliki roh. Alam bisa menjadi

ramah jika manusia memperlakukan secara arif dan sebaliknya akan bisa marah

jika kita merusaknya (Permana, dkk. 2011).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 tahun 2010 Pasal 1 (4)

(dalam Priyowidodo dan Luik. 2013) secara jelas disebutkan:

“kegiatan mitigasi bencana selain diorientasikan kepada kegiatan fisik juga


non fisik. Maka berdasarkan amanat Pasal 16, kegiatan mitigasi bencana
non struktur/non fisik mencakup 7 (tujuh) aspek yakni: (1) penyusunan
peraturan perundang-undangan; (2) penyusunan peta rawan bencana; (3)
penyusunan peta risiko bencana; (4) penyusunan analisis mengenai dampak
lingkungan (amdal); (5) penyusunan tata ruang; (6) penyusunan zonasi; dan
pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat”.

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti tidak semua aspek tersebut

menjadi fokus penelitian aplikatif ini. Peneliti sengaja membatasi pada kegiatan

penyadaran mitigasi bencana sesuai arahan Pasal 16 huruf (7) yang mengatur

bahwa kegiatan mitigasi bencana dapat dilakukan dengan model pendidikan,

penyuluhan dan penyadaran masyarakat serta one of the options to deal with

disaster is mitigation strategy by communicating disaster risks to vulnerable

communit (Eisenman., et.al. 2007).


28

Program mitigasi harus mengacu pada dua tahap yaitu sebelum dan sesudah

terjadinya bencana. Untuk program sebelum bencana harus ada manajemen

bencana dan yang harus dilakukan adalah mitigasi dan perencanaan bencana,

sedangkan untuk setelah bencana dapat dilakukan seperti batuan medis atau

bantuan teknis bagi korban bencana (Velasquez., et,al. 1999).

Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Gupta,et.,al (2012), strategi

mitigasi bencana adalah:

“Tiga strategi inti manajemen bencana adalah: 1) tanggap bencana,


penyelamatan, dan pertolongan, 2) Manajemen korban jiwa atau
penyelamatan korban jiwa, dan 3) Rehabilitasi atau pemulihan setelah
terjadinya bencana”.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa mitigasi

bencana merupakan serangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia untuk

menyesuaikan keadaan dengan lingkungan. Upaya-upaya ini dilakukan untuk

mengurangi dampak, resiko atau bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bencana.

Kegiatan mitigasi ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan

mitigasi struktur dan mitigasi non struktur. Mitigasi struktur merupakan upaya

untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana dengan mennggunakan struktur

bangunan yang tahan akan bencana, contohnya adalah pembangunan rumah

panggung yang merupakan salah satu cara untuk mitigasi bencana gempa,

pembangunan tanggul di sungai sebagai cara untuk mitigasi bencana banjir.

Selanjutnya adalah mitigasi secara struktur, mitigasi ini merupakan upaya

mengurangi dampak bencana dengan cara membuat kebijaka. Contohnya adalah

adanya peraturan dilarang membuang sampah di sungai, hal ini dimaksudkan


29

untuk mencegah terjadinya banjir, kebijakan dilarang membangun rumah atau

permukiman yang dekat dengan bibir pantai, tentu juga hal ini untuk mengurangi

dampak dari bencana yaitu bencana tsunami. Jika banyak permukiman di daerah

pantai dan ketika terjadi tsunami maka yang akan menjadi korban jiwa akan

sangat banyak. Segala kebijakan sebenarnya untuk kebaikan namun terkadang kita

justru mengabaikannya.

2.1.3 Gempa Bumi

Gempa bumi merupakan sebuah guncangan hebat yang menjalar ke

permukaan bumi yang disebabkan oleh gangguan di dalam litosfir (kulit bumi).

Gangguan ini terjadi karena di dalam lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km

terjadi akumulasi energi akibat dari pergeseran kulit bumi itu sendiri. Lapisan

kulit bumi mempunyai temperatur relatif jauh lebih rendah dibandingkan lapisan

di bawahnya (mantel dan inti bumi) sehingga terjadi aliran konvektif, yaitu massa

dengan suhu tinggi mengalir ke daerah bersuhu lebih rendah. Massa bersuhu

tinggi ini berada di lapisan astenosfir yang bersifat sangat kental yang mengalir

secara perlahan. Akibat gerakan-gerakan ini, maka kulit bumi terpecah-pecah

menjadi bagian-bagian berupa lempengan yang saling bergerak satu sama lain,

yang kemudian disebut dengan lempeng tektonik.

Umumnya gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan

oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama

tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai suatu keadaan dimana tekanan

tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan (Mustafa, 2010).
30

Menurut Saita & Nakamura (2003) Gempa bumi adalah “bencana alam

yang menghancurkan yang dapat menyebabkan sejumlah besar korban dan

kerusakan yang luas dalam waktu beberapa menit”.

Gempa bumi adalah peristiwa pelepasan energi secara tiba-tiba yang

merupakan salah satu sumber yang dapat menimbulkan terjadinya penjalaran

gelombang seismik. Seismolog Amerika, Reid, mengemukakan teori elastic

rebound. Teori ini menyatakan, bahwa gempa bumi merupakan gejala alam yang

disebabkan oleh pelepasan energi regangan elastis batuan akibat akumulasi energi

dari peristiwa tekanan (stress) dan regangan (strain) pada kulit bumi yang terus-

menerus (Febriani, dkk. 2013). Sedangkan menurut Irwansyah, dkk (2012)

“gempa bumi merupakan berguncangnya bumi secara tiba-tiba yang disebabkan

oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan yang aktif atau terjadinya runtuhan

batuan”.

Gempa bumi dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber penyebab

terjadinya antara lain sebagai berikut: 1) Gempabumi runtuhan (Collapse

Earthquake) adalah gempabumi yang disebabkan oleh runtuhnya lubang-lubang

di dalam bumi, seperti gua, tambang dan sebagainya. 2) Gempa vulkanik

(Volcanic Earthquake) adalah gempabumi yang berasal dari gerakan magma

karena aktivitas gunung api. 3) Gempa bumi Tektonik (Tectonic Earthquake)

adalah gempa bumi yang disebabkan oleh aktifitas sesar karena perlipatan kerak

bumi, pembentukan pegunungan dan sebagainya, gempa bumi tektonik ini

merupakan gempa bumi yang signifikan terjadi di bumi secara menyeluruh

(Ibrahim & Subardjo, 2003).


31

Tujuan dari mitigasi bencana gempa bumi ini adalah untuk mengembangkan

strategi mitigasi yang dapat mengurangi hilangnya kehidupan manusia dan alam

sekitarnya serta harta benda, penderitaan manusia, kerusakan ekonomi dan biaya

yang diperlukan untuk menangani korban bencana yang dihasilkan oleh bahaya

gempabumi (Haifani, 2008).

Rencana Mitigasi Bencana Gempa bumi dapat meningkatkan cara pandang

yang luas dan terintegrasi terhadap sistem pengurangan resiko bencana yang

meliputi beberapa elemen sebagai berikut: 1) Identifikasi bencana dan

kerentanannya serta evaluasi resiko bencana tersebut. 2) Strategi pengurangan

bencana yang bersumber dari wilayah dan dimiliki oleh pemegang kebijakan. 3)

Seperangkat peraturaan, perundang-udangan dan regulasi yang menyediakan

kerangka kerja yang komprehensif untuk interaksi antara berbagai organisasi dan

insitusi yang berbeda. 4) Mekanisme koordinasi institusi yang kuat. 5) Sistem

yang solid untuk mengendalikan pemenuhan dan penguatan code dan standar

untuk konstruksi bangunan yang aman. 6) Perencanaan tataguna lahan dan

permukiman yang menggabungkan kepedulian akan bencana dan pengurangan

resiko. 7) Penggunaan peralatan komunikasi untuk pengurangan resiko akibat

bencana yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana,

pendidikan, pelatuhan dan penelitian. 8) Manajemen kesiapsiagaan dan

kedaruratan berdasarkan pada pemahaman resiko. 9) Kerjasama dan koordinasi

antar kota dalam satu program mega city.

Cara lain untuk mengurangi risiko gempa bumi adalah bagi individu untuk

melakukan persiapan untuk gempa bumi di rumah. Langkah-langkah persiapan


32

umum termasuk mengumpulkan bersama item-item survival, melakukan aksi

mitigasi, mengembangkan rencana darurat rumah tangga, mendapatkan

keterampilan bertahan hidup atau berpartisipasi dalam aksi kesiapsiagaan sosial

yang lebih luas (Becker., et, al. 2012).

Berbaagai pendapat di atas sebenarnya memiliki pengertian dan tujuan yang

sama, jika disimpulkan bahwasanya gempa bumi merupakan getaran yang terjadi

dipermukaan bumi yang diakibatkan oleh terlepasnya energi yang ada di dalam

bumi dan juga adanya gangguan di dalam perut bumi sehingga ketika adanya

tekanan yang berada di dalam bumi maka akan terjadi getaran yang merupakan

pelepasan energi tersebut. Kekutan gempa yang pernah terjadi di Indonesia

berbeda-beda tergantung pada kedalaman lokasi gempa. Semakin dalam lokasi

gempa maka akan semakin kuat pula gempa yang dirasakan oleh manusia dan

tentu akan menyebabkan kerusakan yang serius pada lokasi yang dekat dengan

lokasi gempa.

2.1.4 Tsunami

Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu yang artinya pelabuhan dan

nami yang artinya gelombang, secara harfiah berarti ombak besar di pelabuhan.

Jadi tsunami artinya gelombang laut dahsyat (gelombang pasang) yang terjadi

karena gempa bumi atau letusan gunung api di dasar laut (Wiloso & Vienastra,

2018).

Minimal terdapat enam langkah yang bisa diupayakan dalam melakukan

mitigasi bencana tsunami antara lain: 1) Melakukan upaya-upaya perlindungan


33

kepada kehidupan, infrastruktur dan lingkungan pesisir. Pengembangan sistem

peringatan dini (early warning system) dan pembuatan bangunan pelindung

merupakan contoh upaya perlindungan yang bisa dikembangkan. 2)

Meningkatkan pemahaman dan peranserta masyarakat pesisir terhadap kegiatan

mitigasi bencana gelombang pasang. Kebijakan ini bisa dilakukan dengan

berbagai cara, antara lain mensosialisasikan dan meningkatkan kesadaran

masyarakat mengenai bencana alam dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,

mengembangkan informasi bencana dan kerusakan yang ditimbulkan termasuk

pengembangan basis data dan peta resiko bencana, menggali berbagai kearifan

lokal dalam mitigasi bencana. 3) Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat

terhadap bencana(Jokowinarno, 2011).

Kebijakan ini bisa diimplementasikan dalam hal-hal sebagai berikut:

pengembangan sistem yang menunjang komunikasi untuk peringatan dini dan

keadaan darurat, menyelenggarakan latihan dan simulasi tanggapan terhadap

bencana dan kerusakan yang ditimbulkan, serta penyebarluasan informasi tahapan

bencana dan tanda-tanda yang mengiringi terjadinya bencana. 4) Meningkatkan

koordinasi dan kapasitas kelembagaan mitigasi bencana. Implementasi dari

kebijakan ke empat ini antara lain peningkatan peran serta kerjasama yang

sinergis dari berbagai pihak, pengembangan forum koordinasi dan integrasi

program antar sektor, antar level birokrasi. 5) Menyusun payung hukum yang

efektif dalam upaya mewujudkan upaya-upaya mitigasi bencana yaitu dengan

jalan penyusunan produk hukum yang mengatur pelaksanaan upaya mitigasi,

pengembangan peraturan dan pedoman perencanaan dan pelaksanaan bangunan


34

penahan bencana, serta pelaksanaan peraturan dan penegakan hukum terkait

mitigasi. 6) Mendorong keberlanjutan aktivitas ekonomi dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat pesisir melalui melakukan kegiatan mitigasi yang

mampu meningkatkan nilai ekonomi kawasan, meningkatkan keamanan dan

kenyamanan kawasan pesisir untuk kegiatan perekonomian.

Pendidikan mitigasi bencana tsunami yang melibatkan masyarakat sebagai

sarana untuk memberikan informasi mengenai risiko yang bisa ditimbulkan dari

bencana tsunami. Selain itu pendidikan mitigasi bencana tsunami yang

dilaksanakan di masyarakat sebagai upaya untuk mengetahui seberapa besar

tingkat pengetahuan masyarakat tentang mitigasi bencana tsunami, pendidikan

yang dilaksanakan di masyarakat merupakan pendidikan yang melibatkan

masyarakat dengan melakukakn pembelajaran yang mengangkat fakta-fakta yang

terjadi dilingkungan tersebut seperti potensi terjadinya bencana diwilayah,

masalah sosial dan lain sebagainya. Diharapkan dengan pendidikan yang

melibatkan masyarakat tersebut bisa meningkatkan pengetahuan masyarakat

mengenai fenomena atau kejadian yang ada di sekitar masyarakat sehingga bisa

menghadapi masalah sosial yang begitu dinamis (Putri., dkk. 2018).

Kesimpulan dari pendapat diatas bahwa tsunami merupakan gelombang

besar yang menuju ke daratan yang disebabkan oleh adanyanya gangguan di dasar

laut seperti gempa bumi, dari gangguan tersebut maka akan membentuk

gelombang yang menyebar ke segala arah dengan kecepatan gelombang tertentu.

Kecepatan gelombang ini dipengaruhi oleh kedalaman dan kekuatan gempa,

semakin dalam dan kuat gempa maka kecepatan dan gelombang yang dihasilkan
35

akan semakin besar dan begitu juga sebaliknya. Dalam catatan sejarah, tsunami

yang paling besar dan menimbulkan banyak korban jiwa terjadi di Aceh pada

tahun 2004 dan tsunami ini hingga ke Srilanka.

2.1.5 Longsor

Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tanah longsor

adalah:

“Perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan,


tanah atau material campuran yang bergerak ke bawah atau keluar lereng.
Proses terjadinya tanah longsor diawali oleh air yang meresap ke dalam
tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai
tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah akan
menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti
lereng dan keluar lereng”.

Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa

batuan, bahan rombakan, tanah atau material campuran tersebut, bergerak ke

bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan

sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah.

Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang

gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak

mengikuti lereng dan keluar lereng (Dwiyanto, 2002).

Tanah longsor terjadi disebabkan oleh adanya gerakan tanah sebagai akibat

dari bergeraknya masa tanah atau batuan yang bergerak kesepanjang lereng atau

di luar lereng karena faktor gravitasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Juhadi, dkk

(2018) “bahwasanya penyebab terjadinya tanah longsor adalah adanya gerakan

tanah pada kondisi tanah yang labil, tipe tanah longsor sering dipicu oleh
36

tingginya curah hujan”. Wilayah yang memiliki kerentanan tanah longsor adalah

yang berbatasan dengan perbukitan hal ini sesuai dengan keadaan Pesisir Barat

yang rentan akan bencana longsor karena didominasi oleh tebing pegunungan

Bukit Barisan Selatan.

Pengertian tentang istilah longsor diatas memiliki satu kesamaan yaitu

pergerakan massa tanah dalam jumlah yang besar. Pergerakan massa merupakan

bentuk pencarian keseimbangan alam. Secara umum pergerakan massa tidak

hanya terjadi pada tanah saja tetapi juga dapat terjadi pada batuan ataupun es.

Longsoran massa sebenarnya bukanlah suatu bencana alam karena kejadiaanya

merupakan proses alami dalam mencari keseimbangan alam, tetapi longsoran

massa tersebut akan menjadi sebuah bencana ketika menimbulkan berbagai

kerugian bagi manusia (Sriyono., dkk. 2012).

Mekar (2014) mengungkapkan faktor penyebab terjadinya longsor

pada suatu lerenga adalah faktor internal dan faktor eksternal, berikut

penjelasannya:

“Faktor internal terdiri dari kondisi geologi batuan dan tanah penyusun
lereng, kemiringan lereng, hidrologi dan struktur geologi, sedangkan faktor
eksternal yang disebut juga sebagai faktor pemicu yaitu curah hujan,
vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng serta getran gempa”.

Prinsip yang dapat dipahami adalah bahwasanya tanah longsor terjadi bila

gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan

umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah, sedangkan gaya

pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban, serta berat jenis

tanah/batuan.
37

Beberapa jenis tanah longsor sebagai berikut: 1) Longsor Translasi adalah

bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau

menggelombang landai. 2) Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan

batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung. 3) Pergerakan blok adalah

perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran

ini disebut juga longsoran translasi blok batu. 4) Runtuhan batu terjadi ketika

sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh

bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung, terutama di

daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang

parah. 5) Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis

tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak

dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama, longsor jenis rayapan ini bisa

menyebab-kan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah. 6) Aliran

Bahan Rombakan adalah Jenis tanah longsor yang terjadi ketika massa tanah

bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng,

volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang

lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa

sampai ribuan meter, seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunungapi. Aliran

tanah ini dapat menelan korban cukup banyak (Fitriadi, dkk. 2017).

Solusi penanganan longsor secara umum bertujuan untuk mencegah air

agar tidak terkonsentrasi di atas bidang luncur, mengikat massa tanah agar tidak

mudah hancur, dan merembeskan air ke lapisan tanah yang lebih dalam dari

lapisan kedap (bidang luncur). Dalam merekomendasikan penanganan longsor


38

perlu memperhatikan proses-proses penyebab longsor agar penganan dapat tapat

sasaran, dalam menanggulangi longsor dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu cara

vegetatif dan mekanik (Setyowati, 2010).

Longsor merupakan bencana yang sudah sering terjadi di Indonesia.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa longsor merupakan

pergerakan tanah atau peristiwa geologi yang mana ketika terjadinya longsor

maka akan adanya perpindahan massa atau dan batuan dari daerah lereng

menuju daerah yang lebih rendah. Longsor ini biasanya disebabkan oleh

tingginya curah hujan dalam waktu yang lama sehingga tanah tidak mampu lagi

menyerap dan menahan banyaknya air hujan sehingga terjadinya tekanan dan

dikeluarkan dalam bentuk longsor. Daerah yang paling rawan akan bencana

longsor adalah daerah perbukitan dengan minimnya tanaman yang dapat

menahan pergerakan tanh tersebut. Hal ini sejala dengan pendapat Montgometry

(2000), yang mengatakan bahwa longsor akan semakin meningkat pada daerah

pegunungan yang terjal dan banyak tanaman hutan yang ditebang sehingga

terjadi penggundulan.

2.1.6 Banjir

Banjir dalam pengertian umum adalah aliran air sungai dalam jumlah yang

tinggi, atau debit aliran air di sungai secara relatif lebih besar dari kondisi normal

akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu terjadi secara terus

menerus, sehingga air tersebut tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada,
39

maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya (Wismarini &

Ningsih, 2010).

Kelebihan air yang menggenangi suatu daerah yang biasanya kering terjadi

sebagai akibat kapasitas sungai tidak mampu menampung air yang mengalir di

atasnya atau berlebihnya air hujan lokal. Kelebihan air hujan lokal yang

menyebabkan banjir dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu telah jenuhnya tanah

ditempat tersebut dan masih tingginya ketinggian muka ait di dalam alur sungai.

Kejenuhan tanah yang tinggi akan menyebabkan tingkat penyerapan tanah

(infiltrasi) jadi rendah sehingga aliran permukaan (surface runoff) menjadi tinggi.

Tingginya aliran permukaan sebagai akibat hujan berlebih tersebut dapat

ditampung oleh badan sungai. Akibat air berlebih (banjir) sebagai akibat luapan

air sungai ataupn hujan lokal maka akan menyebabkan terbentuknya bentukan

banjir dan dalam skala yang lebih luas lagi masuk dalam kelas bentukan asal

fluvial. Banjir merupakan bencana alam (natural hazard) yang paling merusak.

Bencana ini melanda daerah yang cekung sampai datar yang terletak di dataran

rendah.

Banjir adalah bencana dengan dampak negatif yang sangat tinggi karena

hilangnya nyawa dan harta benda. Dalam istilah teknis banjir adalah aliran air

sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai, dan dengan

demikian, aliran air sungai tersebut akan melewati tebing sungai dan

menggenangi daerah di sekitarnya (Iskandar & Dede, 2015). Berdasarkan

pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa banjir adalah bencana alam yang
40

sebabkan peristiwa alam seperti curah hujan tinggi yang sering menimbulkan

kerugian baik fisik maupun material.

Pendapat lain mengatakan bahwa banjir merupakan salah satu peristiwa

bencana alam yang sering melanda sejumlah negara termasuk Indonesia. Kejadian

banjir ini berupa genangan air yang berlebihan terutama yang sering terjadi pada

saat musim penghujan. Genangan air tersebut muncul karena adanya peningkatan

volume air yang mengalir di atas permukaan tanah, baik akibat curah hujan yang

tinggi atau luapan air sungai (Hakim & Deliar. 2013).

Wilayah Kabupaten Pesisir Barat memiliki curah hujan yang tinggi.

Kemungkinan yang terjadi akibat tingginya curah hujan adalah meluapnya air di

sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) salah satunya adalah DAS Biha. Keadaan

ini dapat menjadi semakin parah karena ekosistem suatu daerah itu rusak sehingga

terjadi pendangkalan dan penyempitan aliran sungai.

Kerentanan Banjir (flood susceptibility) adalah tingkat kemudahan suatu

daerah untuk terkena banjir (Dibyosaputro,1984). Daerah yang sangat terpengaruh

adanya banjir adalah daerah dengan relief datar dan landai seperti dataran aluvial,

teras sungai erosional, teras marin, dan dataran nyaris. Bentuk lahan yang berbukit

jarang mengalami banjir karena memiliki kemiringan lereng yang relatif curam

sehingga sebagian besar air hujan langsung mengalir menjadi aliran permukaan.

Akan tetapi, aliran permukaan ini tidak menyebabkan banjir karena hanya

mengalir ke daerah-daerah yang lebih rendah. Selain itu, sebagian kecil air hujan

mengalami infiltrasi masuk ke dalam tanah.


41

Resiko Banjir adalah kemungkinan suatu daerah mengalami kerugian atau

kehilangan sebagai akibat terjadinya peristiwa banjir. Faktor penentu risiko banjir

adalah tingkat bahaya banjir, kelas kepadatan dan nilai produktivitas untuk setiap

penggunaan lahan. Misalnya apabila suatu daerah dengan kepadatan penduduk

yang tinggi dan produktivitas lahan tinggi apabila terkena banjir dengan tingkat

bahaya tinggi maka kemungkinan kerugiannya adalah tinggi.

Penanggulangan banjir dapat dibedakan secara fisik (struktural measures)

dan non fisik(non struktural measures) yang dipilih dengan partisipasi penuh dari

para pemangku kepentingan. Secara fisik antara lain pembuatan cek dam, tanggul

dan bendungan, sedangkan non fisik berupa pemetaan daerah rentan, bahaya

ataupun beresiko terhadap banjir. Untuk mengidentifikasi zona bahaya banjir

bandang, maka diperlukan pemetaan daerah bahaya dengan pendekatan

karakteristik geomorfologi danhidrologi (Lavado et,al. 2007).

Kesimpulan dari berbagai pendapat tersebut adalah banjir merupakan suatu

peristiwa yang terjadi ketika banyaknya air hujan yang turun dalam waktu yang

cukup lama dan sungai tidak dapat lagi menampung banyaknya air tersebut

sehingga sungai akan meluap dan meredam daratan. Kejadian banjir ini tentu akan

menyebabkan kerugian bagi masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai,

namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tetap bertahan

meskipun bencana terus terjadi. Fenomena ini sebenarnya membuktikan bahwa

nilai menetap dekat dengan air lebih besar dari pada biaya kerusakan yang

diakibatkan oleh banjir yang terjadi secara periodik


42

2.1.7 Penelitian Terdahulu

Penelitian relterdahulu merupakan suatu penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya dan dianggap cukup relevan atau memiliki keterkaitan dengan judul

atau topik yang akan diteliti yang berguna untuk menghindari terjadinya

pengulangan penelitian dengan pokok permasalaha yang sama atau dengan

maksud untuk menghindari duplikasi atau plagiasi. Selain itu, penelitian yang

relevan ini digunakan oleh peneliti untuk mencari persamaan dan perbedaan

antara penelitian yang dilakukan oleh orang lain dengan penelitian yang akan atau

sedang dilakukan atau membandingkan antara penelitian yang satu dengan

penelitian yang lainnya.

Penelitian yang berjudul “Kearifan Lokal Untuk Antisipasi Bencana

Longsor di Desa Kutorojo, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan Tahun

2018” memiliki tujuan: mengetahui bentuk kearifan lokal yang berlangsung di

Desa Kutorojo, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan; menganalisis makna

kearifan lokal untuk antisipasi bencana tanah longsor, antisipasi bencana tanah

longsor dan mendeskripsikan sistem pewarisan lokal di Desa Kutorojo,

Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. Pendekatan penelitian yang digunakan

adalah pendekatan deskriptif kualitatif, dengan hasil sebagai berikut: Bentuk

kearifan lokal yang ada di lokasi tersebut adalah rumah sembilan, larangan

menebang pohon, perlindungan air Pancuran Telaga Pakis, perlindungan

lingkungan Sendang luhur, dan dusun terlarang, kearifan lokal tersebut memiliki

makna bahwa rumah sembilan berkaitan dengan ancaman bencana longsor,

pembangunan rumah lebih dari sembilan tidak dimungkinkan, karena


43

meminimalisir meningkatnya beban tanah sehingga dapat mengurangi ancaman

bencana longsor, dan daerah di sekeliling rumah sembilan merupakan tanah milik

pemerintah sehingga daerah sempit. Makna kearifan lokal dilarang menebang

pohon yaitu tetap menjaga keseimbangan lingkungan alam, agar keraifan lokal

tetap diletarikan maka masyarakat memiliki sistem pewarisan lokal berasal dari

petuah leluhur yamg diturunkan kepada sesepuh desa kemudian masyarakat.

Sistem pewarisan lokal dari orangtua ke anak dilakukan dengan metode bercerita

dengan menjelaskan kejadian nyata yang pernah terjadi berkaitan dengan kearifan

lokal (Linuar. 2018).

Penelitian yang telah dilakukan mengenai program siaga bencana di sekolah

dengan judul “Pelaksanaan Program Siaga Bencana Di Sekolah Menengah

Pertama Pada Kawasan Rawan Bencana Tahun 2017” Penelitian ini dilakukan di

SMP Negeri 2 Cangkringan Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman dengan

tujuan mengetahui tingkat pengetahuan warga sekolah, kebijakan sekolah,

perencanaan kesiapsiagaan warga sekolah, dan mobilisasi sumberdaya sekolah

dalam pelaksanaan program sekolah siaga bencana. Hasil dari penelitian tersebut

menunjukan bahwa tingkat pengetahuan tentang bencana dalam upaya

menghadapi bencana erupsi gunung merapi termasuk sangat baik, namun sekolah

belum mendukung sepenuhnya tentang program siaga bencana tersebut. Meski

demikian, masyarakat ternyata dalam upaya pengurangan resiko bencana dan

kesiapsiagaan sekolah termasuk sudah baik karena sudah memenuhi indikator

(Santoso, dkk. 2017).


44

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang berjudul “Kajian Tingkat

Kesadaran Masyarakat Terhadap Mitigasi Bencana Tanah Longsor Di Kecamatan

Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara Tahun 2015” . Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat

terhadap mitigasi bencana tanah longsor dan mengetahui hubungan antara tingkat

pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap mitigasi bencana tanah

longsor di Kecamatan Banjarmangu. Berdasarkan tujuan tersebut, hasil penelitian

ini menunjukan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitigasi bencana

tanah longsor termasuk cukup dan sikap masyarakat masyarakat terhaap mitigasi

bencana longsor sudah termasuk sangat baik, serta hubungan keduanya

menunjukan hasil yang signifikan, baik antara tingkat pengetahuan dengan

perilaku maupun sikap dengan perilaku masyarakat (Kurniasari. 2017).

Pendidikan mitigasi bencana dapat dilakukan dengan menggunakan buku

saku, seperti penelitian yang berjudul “Pendidikan Mitigasi Bencana Tsunami

dengan Menggunakan Media Pembelajaran Buku Saku Pada Masyarakat Pesisir

Desa Karanggadung Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen Tahun 2018”.

Penelitian ini menghasilkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat mengenai

mitigasi bencana tsunami masih rendah dan media pembelajaran yang digunakan

dalam pendidikan mitigasi bencana tsunami belum efektif dalam mendukung

pembelajaran (Putri, dkk. 2018).

Budaya siaga bencana dengan mengenali potensi bencana dan dampak yang

ditimbulkan merupakan cara penanganannya sebenarnya sudah dikenal oleh

masyarakat pendahulu sebagai bentuk kearifan lokal. Banyaknya korban gempa


45

bumi baik yang luka maupun meninggal lebih disebabkan karena tertimpa

reruntuhan bangunan. Dinamika masyarakat yang cenderung membuat bangunan

cepat bangun dengan pertimbangan faktor biaya, kekuatan, dan keindahan saja,

mengakibatkan bangunan sangat rawan akan getaran gempa. Rumah tradisional

terbukti mempunyai ketahanan terhadap guncangan gempa. Stabilitas rumah

tradisional dipengaruhi oleh kekuatan umpak sebagai pondasi dan jenis material

penyusun konstruksi bangunan. Gambaran di atas merupakan penelitian yang

berjudul “Studi Kasus Gempa Bumi Yogyakarta 2006: Pemberdayaan Kearifan

Lokal Sebagai Modal Masyarakat Tangguh Menghadapi Bencana Tahun 2012”

(Rakhman. 2012).

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah terletak pada tujuan dari penelitian tersebut, secara umum penelitian

terdahulu lebih menekankan pada tingkat pengetahuan masyarakat terhadap

bencana dan upaya mitigasi bencana di lingkungan sekolah ataupun masyarakat.

Selain itu, penelitian terdahulu lebih fokus membahas tentang salah satu bencana

saja. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk: Menganalisis

bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat untuk mitigasi bencana; Menganalisis

strategi adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana; Menyusun edukasi yang

berbasis kearifan lokal pada masyarakat rawan bencana di Kabupaten Pesisir

Barat.

Berdasarkan tujuan tersebut, sudah dapat dilihat perbedaan antara penelitian

terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang

akan dilakukan akan membahas tentang adaptasi masyarakat terhadap bencana


46

dan membahas lebih spesifik mengenai kearifan lokal bencana tsunami, gempa,

longsor dan banjir, jadi dari keempat kearifan lokal dan bencana tersebut, akan

diintegrasikan kedalam mata pelajaran geografi yang berbasis kearifan lokal untuk

mitigasi bencana. Output dari penelitian ini adalah suplemen modul atau buku

panduan bencana yang terintegrasi dengan kearifan local, yang diharapkan modul

atau buku panduan ini nantinya akan menjadi sumber pengetahun masyarakat dan

peserta didik mengenai pentingnya kearifan lokal sebagai bentuk mitigasi

bencana, sehingga mampu beradaptasi dengan bencana yang dapat datang kapan

saja dimana saja dan dapat menimpa siapa saya. Sedangkan persamaan dari

penelitian ini adalah, mengenai kebencanaan yaitu mitigasi bencana, kearifan

lokal untuk mitigasi bencana dan metode dalam penelitian.

2.2 Kerangka Teoritis

Teori Adaptasi Wohlwill

Teori adaptasi yang digunakan dalam peneliti ini adalah teori tingkat

adaptasi (Adaptation Level Theory) menurut Wohlwill (1974), teori ini juga

berkaitan dengan teori Beban Lingkungan yang dikemukakan oleh Cohen (1977).

Teori beban lingkungan ini mengatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki

keterbatasan dalam mengelola stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih

besar daripada kapasitas pengeolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban

yang mengakibatkan sejumlah stimulus harus diabaikan agar individu dapat

memusatkan perhatiannya pada stimulus tertentu saja (Veitch & Arkkelin, 1995).

Teori beban lingkungan belum menyatakan mengenai stimulus yang lebih kecil
47

daripada kapasitas pengolahan, sehingga dalam penelitian ini menggunakan teori

tingkat adaptasi yang memberikan pandangan mengenai stimulus yang besar dan

kecil daripada kapasitas pengolahan yang dimiliki oleh individu.

Berdasarkan teori tingkat adaptasi, stimulus tingkat yang rendah maupun

tingkat yang tinggi memiliki akibat yang negatif bagi perilaku. Namun jika

stimulus memiliki tingkatan yang tinggi kemudian kapasitas pengeolahan juga

tinggi maka akan menimbulkan adanya level stimulus yang optimal. Level

stimulus yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula

(Veitch & Arkkelin, 1995). Untuk itu akan dijumpai perbedaan individu dalam

level adaptasi.

Terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti tentang terjadinya

bencana di Kabupaten Pesisir Barat yang merupakan kondisi alam yang tidak

dapat dihindarkan oleh masyarakat. Dampak dari bencana ini tentunya dapat

menyebabkan adanya perubahan terhadap keadaan lingkungan dan sosial.

Bencana yang terjadi ini dianggap sebagai stimulus terhadap masyarakat yang

berasal dari lingkungan alam. Peran stimulus adalah sebagai situasi atau kondisi

yang perlu untuk diolah sehingga masyarakat dapat mencapai perilakuk yang

optimal dalam melakukan adaptasi sebagai perilaku responsif masyarakat.

Perilaku responsif tersebut memungkinkan masyarakat dapat menata sistem-

sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya, agar dapat menyesuaikan diri

dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut berkaitan dengan

kebutuhan hidup, setelah sebelumnya berada pada keadaan tertentu yang dapat
48

menghalangi terpenuhinya kebutuhan hidupnya yang kemudian membangun

strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya.

Keadaan di atas sesuai dengan yang terjadi di daerah rawan benacana gempa

bumi, tsunami, longsor dan banjir, dimana masyarakat dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya terhalang oleh bencana yang terjadi baik itu bencana

hidrologi maupun geologi. Dari bencana-bencana yang menimpa masyarakat,

maka muncullah berbagai upaya berupa strategi dan keputusan tertentu sebagai

bentuk adaptasi untuk mengurangi halangan-halangan yang timbul akibat

bencana. Masyarakat Kabupaten Pesisir Barat memiliki upaya adaptasi dengan

memanfaatkan kearifan lokal atau lingkungan yang sesuai dengan apa yang

mereka harapkan. Teori yang dikemukankan oleh Wohlwill menyatakan bahwa

tingkat adaptasi berkaitan pula dengan kapasitas pengolahan dengan manusia.

Kapasitas pengolahan pada masyarakat memiliki kondisi yang berbeda-beda

sehingga akan menghasilkan adaptasi yang berbeda-beda pula . berlandaskan teori

tingkat adaptasi dari Wohlwill inilah yang akan digunakan dalam menganalisis

adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana gempa, tsunami, longsor dan

banjir di Kabupaten pesisir Barat.

2.3 Kerangka Berpikir

Daerah pesisir merupakan daerah yang rawan akan berbagai macam

bencana seperti bencana hidrologi dan geologi, seperti Kabupaten Pesisir Barat

yang rentan akan bencana gempa, tsunami, longsor dan banjir. Hal ini disebabkan

karena Kabupaten Pesisir Barat memiliki karakteristik tersendiri, seperti


49

berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang dapat berpotensi gempa dan

tsunami, dikelilingi pegunungan Bukit Barisan Selatan yang dapat menyenbabkan

longsor dan dengan intensitas curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya

bencana banjir.

Kabupaten Pesisir Barat memang kawasan rawan akan bencana tersebut,

namun ternyata masyarakat pada daerah ini belum memiliki edukasi dalam

melakukan mitigasi bencana ketika bencana tersebut terjadi. Seharusnya jika suatu

wilayah termasuk daerah rawan bencana, maka harusnya masyarakatnya memiliki

edukasi bagaimana melakukan mitigasi bencana dan strategi adaptasi setelah

bencana tersebut terjadi. Karena bencana sejatinya dapat menimpa siapa saja,

kapan saja dan dimana saja. Langkah efektif yang bisa dilakukan untuk

memberikan pendidikan kebencanaan kepada masyarakat antara lain adalah

melalui pembekalan kepada masyarakat atau sosialisasi kepada masyarakat

bawasanya mitigasi bencana dan adaptasi sangat penting untuk dilakukan serta

pelatihan kepada masyarakat umum seperti adanya desa tangguh bencana. Jika

belum adanya desa tangguh bencana maka alternatif lain untuk memberikan

pendidikan kebencanaan kepada masyarakat adalah dengan adanya edukasi

melalui media seperti buku, dimana buku tersebut berisi tentang apa yang harus

dilakukan sebelum, ketika dan setelah terjadinya bencana.

Masyarakat Kabupaten Pesisir Barat sebenarnya dapat memanfaatkan

kearifan lokal sebagai bentuk dari mitigasi bencana, namun kenyataannya

sekarang, kearifan lokal sudah mulai ditinggalkan karena dipandang kuno atau

ketinggalan zaman, mistis dan tidak masuk akal, padahal sebenarnya kearifan
50

lokal itu tidak hanya sebatas mistis atau cerita yang tidak masuk akal, namun

bentuk kearifan lokal juga dapat berbentuk fisik atau bangunan. Kearifan lokal

yang dimiliki oleh Kabupaten Pesisir Barat adalah keberadaan Lamban Langgakh

sebagai bentuk mitigasi bencana gempa, adanya ritual Ngumbai Lawok sebagai

mitigasi bencana tsunami, kearifan lokal Repong Damar sebagai mitigasi bencana

longsor dan adanya acara bersih desa sebagai bentuk kearifan lokal untuk mitigasi

bencana banjir. Dari berbagai kearifan lokal tersebut, sebenarnya masyarakat

sudah memiliki cara untuk mitigasi bencana. namun, tinggal bagaimana

masyarakat memaknai kearifan lokal tersebut agar tetap dijaga dan dapat

dimanfaatkan sebagai bentuk mitigasi bencana. Jika masyarakat memiliki kearifan

lokal untuk dijadikan sebagai bentuk mitigasi dan adaptasi terhadap bencana.

maka masyarakat sekolah sebenarnya dapat memanfaatkan kearifan lokal tersebut

dengan mengintegrasikan dengan materi kebencanaan.

Pemanfaatan kearifan lokal atau etnopedagogi merupakan langkah yang

sanagt efektif untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang

bagaimana untuk mitigasi bencana. Unsur utama dalam ilmu etnopedagogi adalah

kearifan lokal masyarakat yang diintegrasikan ke dalam pendididikan. Kearifan

atau wisdom dapat dipahami sebagai suatu pemahaman kolektif, pengetahuan, dan

kebijaksanaan yang mempengaruhi suatu keputusan penyelesaian atau

penanggulangan suatu masalah kehidupan. Kearifan dalam hal ini merupakan

perwujudan seperangkat pemahaman dan pengetahuan yang mengalami proses

perkembangan oleh suatu kelompok masyarakat setempat atau komunitas yang

terhimpun dari proses dan pengalaman panjang dalam berinteraksi dalam satu
51

sistem dan dalam satu ikatan hubungan yang saling menguntungkan. Oleh karena

itu, diperlukan tindakan untuk mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal

sebagai sumber inovasi dalam bidang pendidikan berbasis budaya masyarakat

lokal, dengan cara melakukan pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal,

termasuk reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal, dan revitalisasinya sesuai dengan

kondisi masyarakat. Kearifan lokal yang diwujudkan dalam bentuk perilaku

adaptif terhadap lingkungan mempunyai peranan penting dalam pengurangan

resiko bencana. Biasanya edukasi yang sesuai dengan keadaan lingkungan

sekitar, maka akan mudah untuk dipahami oleh masyarakat umum dan sekolah.

Harapan dari adanya edukasi ini adalah masyarakat memiliki pengetahuan tentang

mitigasi bencana dan tangguh akan bencana serta mampu beradaptasi (Gambar.

2.1).
52

Masih Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Tentang Bencana

Kearifan Lokal Bencana Alam Satrategi Adaptasi

Potensi Kearifan Lokal


Teori Adaptasi
Wohlwill

Rumah Panggung Repong Damar Meteorologi Geo Hazard

-Strutural
-Sosial
Longsor Gempa -Ekonomi
Banjir Tsunami

Edukasi Atau Pendidikan Mitigasi


Bencana Bagi Masyarakat

Masyarakat

Masyarakat Memiliki Edukasi Untuk


Melakukan Adaptasi dan Mitigasi Bencana
Dengan Kearifan Lokal
186

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Masyarakat Kabupaten Pesisir Barat memiliki kearifan lokal Rumah

Panggung yang dijadikan sebagai bentuk mitigasi bencana gempa tsunami dan

banjir. Rumah panggung dijadikan sebagai bentuk mitigasi bencana gempa karena

bagian-bagian rumah panggung diperkuat dengan pasak sehingga setiap bagian

dari Rumah Panggung saling mendukung untuk mempertahankan konstruksinya

terhadap goncangan gempa yang terjadi, selain itu tiang pada Rumah Panggung

merupakan pusat kekokohan bangunan karena berasal dari material kelas kuat dan

awet; Kearifan lokal Rumah Panggung untuk mitiigasi bencana tsunami karena

tiang pada Rumah Panggung mampu meloloskan air laut ketika terjadi tsunami;

Kearifan lokal Rumah Panggung untuk mitigasi bencana banjir karena bangunan

rumah Panggung memiliki ketinggian 2-3 meter sehingga rumah tidak akan

terendam banjir. Kearifan lokal untuk mitigasi bencana longsor adalah melalui

pelestarian Repong Damar dengan adanya hutan larangan berdasarkan petuah

nenek moyang, Repong Damar dijadikan sebagai mitigasi bencana longsor karena

pohon damar merupakan tanaman keras yang memiliki akar yang besar dan

tunjam sehingga dapat menahan laju tanah ketika akan terjadi longsor.

186
187

Masyarakat Kabupaten Pesisir Barat telah melakukan adaptasi dalam

penanggulangan bencana yaitu adaptasi struktural, sosial dan ekonomi. Adaptasi

struktural bencana gempa adalah dengan membangun rumah panggung dan

mengganti atap rumah dari atap gemteng menjadi seng. Adaptasi struktural

bencana tsunami adalah dengan pembangunan tanggul dan penanaman pohon

kelapa di daerah pesisir pantai. Adaptasi struktural bencana banjir adalah dengan

meninggikan bangunan rumah dan adaptasi struktural bencana longsor adalah

dengan pemindahan permukiman dan penanaman pohon damar setiap pohon yang

ditebang oleh masyarakat. Adaptasi sosial pada setiap bencana tidak jauh berbeda,

adaptasi sosial masyarakat adalah dengan adanya gotong royong masyarakat

dalam memulihkan keadaan seperti semula seperti perbaikan fasilitas umum

seperti jalan dan tempat ibadah yang terdampak bencana, sedangkan adaptasi

ekonomi setiap bencana yang dilakukan masyarakat adalah tidak melakukan

kegiatan ekonomi seperti pergi ke kebun karena masih merasa trauma atau takut

dan untuk menghindari terjadinya bencana susulan.

7.2 Saran

Saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini adalah:

Bagi pemerintah Kabupaten Pesisir Barat khususya BPBD, hendaknya dilakukan

pemetaan daerah-daerah yang rawan bencana untuk memudahkan dalam

pengambilan keputusan berkaitan dengan kebencanaan, menambah kelengkapan

alat seperti pendeteksi tsunami atau pemecah gelombang agar masyarakat yang

tinggal di daerah pesisir pantai merasa lebih aman dan meningkatkan Sumber
188

Daya Manusia (SDM) agar mendukung dalam peningkatan pelayanan BPBD.

Bagi masyarakat Kabupaten Pesisir Barat yang terdampak bencana hendaknya

tetap melestarikan kearifan lokal sebagai bentuk mitigasi bencana, karena dengan

adanya kearifan lokal maka dapat meminimalisir dampak bencana.


189

DAFTAR PUSTAKA

Ademola, A., Adebukola, D., Adeola, C. S., Cajetan, A., & Christiana, U. (2016).
Effects of natural disasters on social and economic well being: A study in
Nigeria. International Journal of Disaster Risk Reduction, 17, 1-12

Adiyoso, W., & Kanegae, H. (2013). Effectiveness of disaster-based school


program on students’ earthquake-preparedness. Journal Of Disaster
Research, 8(5), 1009-1017.

Aji, Ananto., Sidiq, W. A. B. N., Nugraha, S. B., Setyowati, D. L., & Martuti, N.
K. T. (2016). Risiko Bencana Di Kabupaten Pekalongan (Disaster Risk
In Pekalongan Regency). Jurnal Geografi, 13(2), 179-190.

Anam, C., Banowati, E., & Juhadi, J. (2018). Local Wisdom of Kandri People in
Conserving Water Resources Gunungpati Semarang. Journal of
Educational Social Studies, 7(2), 154-160.

Archer-bradshaw, R. E. (2014). Demystifying Scientific Literacy: Charting the


Path for the 21st Century. Journal of Educational and Social Research,
4(3), 165–172.

Arifin, S. S. (2014). Penentuan Zona Rawan Guncangan Bencana Gempa Bumi


Berdasarkan Analisis Nilai Amplifikasi HVSR Mikrotremor dan Analisis
Periode Dominan Daerah Liwa dan Sekitarnya. Jurnal Geofisika
Eksplorasi, 2(01), 30-40.

Aulia, T. O. S., & Dharmawan, A. H. (2010). Kearifan lokal dalam pengelolaan


sumberdaya air di Kampung Kuta. Sodality: Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 4(3), 345-355.

Basher, R. (2008), “Disaster Impacts: Implications and Policy Responses”. Social


Research, vol. 75, no. 3, pp. 937-954

Basmar, A. 2008. Arahan Pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu


Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Lampung Barat. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Becker, J. S., Paton, D., Johnston, D. M., & Ronan, K. R. (2012). A model of
household preparedness for earthquakes: how individuals make meaning
of earthquake information and how this influences preparedness. Natural
hazards, 64(1), 107-137.

Brock, James P. 2000. The Evolution of Adaptive System, San Diego. California:
Academid Press
190

Cahyono, A. S. (2016). Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial


Masyarakat di Indonesia. Jurnal Publiciana, 9(1), 140-157.

Cecep, R., Permana, E., Nasution, I. P., & Gunawijaya, J. (2011). Pada
Masyarakat Baduy Local-wisdom of Disaster Mitigation on Baduy,
15(1), 67–76.

Cutter, S. L. (ed.) (2001), American Hazardscapes: The Regionalization of


Hazards and Disasters. Joseph Henry Press, Washington D.C. (USA)

Damanik, M. R. S., & Restu, R. (2012). Pemetaan Tingkat Risiko Banjir dan
Longsor Sumatera Utara Berbasis Sistem Informasi Geografis. Jurnal
Geografi, 4(1), 29-42.

De Foresta, H., Kusworo, A., Michon, G., & Djatmiko, W. A. (2000). Ketika
kebun berupa hutan: Agroforest khas Indonesia sebuah sumbangan
masyarakat. ICRAF, Bogor.

Denkin, N. K. (2007). Metodelogi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.

Desfandi, M. (2014). Urgensi Kurikulum Pendidikan Kebencanaan Berbasis


Kearifan Lokal Di Indonesia. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science
Education Journal, 1(2).

Dibyosaputro, S. (1984). Flood Susceptibility and Hazard Survey of the Kudus-


Prawata-Welahan Area, Central Java, Indonesia. ITC.

Dyah. S. R. (2009). Membangun Masyarakat Siaga Bencana Di Bengkulu. Jurnal


Komunika, Vol 12, No.2. Hal. 69

Eisenman, D. P., Cordasco, K. M., Asch, S., Golden, J. F., & Glik, D. (2007).
Disaster planning and risk communication with vulnerable communities:
lessons from Hurricane Katrina. American Journal of Public Health, 97
Suppl 1, 109–115.

Ernawi, I. S. (2009). Kearifan Lokal dalam perspektif penataan ruang. Kearifan


Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Kota

Fajarini, U. (2014). Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter. SOSIO


DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 1(2).

Fauzi, Y., Suwarsono, S., & Rizal, J. (2012). Penataan Ruang Wilayah Pesisir
Berbasis Mitigasi Bencana Sebagai Upaya Meminimalisir Dampak
Resiko Bencana Tsunami Bagi Masyarakat Kota Bengkulu.
191

Febriani, Y., Daruwati, I., & Hatika, R. G. (2013). Analisis nilai peak ground
acceleration dan indeks kerentanan seismik berdasarkan data
mikroseismik pada daerah rawan gempa bumi di kota bengkulu. Jurnal
Ilmiah Edu Research, 2(2), 85–90.

Fitriadi, M. W., Kumalawati, R., & Arisanty, D. (2017). Tingkat Kesiapsiagaan


Masyarakat Terhadap Bencana Tanah Longsor Di Desa Jaro Kecamatan
Jaro Kabupaten Tabalong. JPG (Jurnal Pendidikan Geografi), 4(4).

Gerungan, W.A. 1991. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresco

Gultom, H. T., Juhadi, J., & Aji, A. (2018). Fenomena Banjir Rob di Kota
Semarang Sebagai Sumber Belajar. Edu Geography, 6(3), 198-205.

Gupta, P., Khanna, A., & Majumdar, S. (2012). Disaster management in flash
floods in Leh (Ladakh): A case study. Indian journal of community
medicine: official publication of Indian Association of Preventive &
Social Medicine, 37(3), 185.

Haifani, A. M. (2008). Manajemen Resiko Bencana Gempa Bumi. Seminar


Nasional IV, 25–26.

Hairumini, Setyowati, D. L., & Sanjoto, T. B. (2017). Kearifan Lokal Rumah


Tradisional Aceh sebagai Warisan Budaya untuk Mitigasi Bencana
Gempa dan Tsunami. Journal of Educational Social Studies, 6(1), 37–44.

Hakim, D. M., & Deliar, A. (2013). Penyusunan basis data untuk identifikasi
daerah rawan banjir dikaitkan dengan Infrastruktur Data Spasial. Jurnal
Itenas Rekayasa, 17(1).

Hardati, P., Setyowati, D. L. N., Wilonoyudho, S., Martuti, N. K. T., & Utomo, A.
P. Y. (2015). Pendidikan konservasi. Semarang: Magnum Pustaka
Utama.

Helmi, Avin Fadila. 1999. Beberapa Teori Adaptasi Lingkungan. Buletin


Psikologi. ISSN: 0854-7108

Holbrook, J., & Rannikmae, M. (2009). The Meaning of Scientific Documents.


International Journal of Environmental and Science Education, 4(3),
275–288.

Huda, Imam, A. I. S. (2016). Bentuk-Bentuk Adaptasi Masyarakat Dalam


Menghadapi Bencana Banjir (Studi Kasus di Desa Pelangwot Kecamatan
Lareng Lamongan. Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS

Ibrahim, G., Subardjo. (2003). Pengetahuan Seismologi, Badan Meteorologi dan


Klimatologi. Manado
192

Irwansyah, E., Saputra, T. B., Piu, L., & Wirangga, K. (2012). Pengembangan
Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Monitoring Gempabumi.
Jurnal Informatika, 11(1), 49-54.

Iskandar, D., & Dede, S. (2015). Flood Mitigation Efforts in the Capital Region of
Jakarta. Flood Mitigation Efforts In The Capital Region Of Jakarta, 6(4),
685-696.

Iswanto, D. (2007). Kajian Terhadap Struktur Rangka Atap Kayu Rumah Tahan
Gempa Bantuan P2KP. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan
Permukiman, 6(1), 10-21.

Jokowinarno, D. (2011). Mitigasi Bencana Tsunami Di Wilayah Pesisir Lampung.


Jurnal Rekayasa, 15(1), 13–20.

Juhadi, J. (2013, June). Sistem Pertanian Kebun Campuran Berkelanjutan


Berbasis Teknologi Tradisional Studi Kasus pada Masyarakat Krui
Lampung Barat. In Forum Ilmu Sosial (Vol. 40, No. 2)

Juhadi, J., Hidayah, I., & Nugraha, S. B. (2018). Pendidikan Kebencanaan Untuk
Anak Usia Dini Dengan Wahana Bermain Taman Eling-Waspada-Siaga
(Ews). Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 24(2), 655-661.

Juhadi, J., Nugraha, S. B., & Banowati, E. (2017). Disaster Education Model for
Early Childhood. Sumatra Journal of Disaster, Geography and
Geography Education, 1(2), 89-83.

Kasus, S., Jawa, P., Indrianawati, B., Hakim, D. M., & Deliar, A. (2013).
Penyusunan Basis Data untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir
Dikaitkan dengan Infrastruktur Data Spasial. Januari Jurnal Itenas
Rekayasa, XVII(1), 1410–3125.

Khasyir, M., Aji, A., & Setyaningsih, W. (2016). Penilaian Risiko Bencana Tanah
Longsor Desa Wanadri Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara.
Geo-Image, 5(2), 1-6, Hal. 2

Kongprasertamorn, K. (2007). Local wisdom, environmental protection and


community development: the clam farmers in Tabon Bangkhusai,
Phetchaburi Province, Thailand. Manusya: Journal of Humanities, 10,1-
10.

Kurniasari, N. Juhadi & Wahyu Setyaningsih. (2016). Kajian Tingkat Kesadaran


Masyarakat Terhadap Mitigasi Bencana Tanah Longsor Di Kecamatan
Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara Tahun 2015 (Studi Non Fisik
Mitigasi Bencana) (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Semarang).
193

Lavado, F., Furdada, G., Maques, M.A., 2007, Geomorphological method in the
Elaboration of Hazard Maps for Flash-Floods in the Municipality of
Jucuaran (El Salvador), Natural Hazard and Earth System Sciences, 7,
455-465.

Lee, E. S. (1951). Negro intelligence and selective migration: A Philadelphia test


of the Klineberg hypothesis. American Sociological Review, 16(2), 227-
233.

Lempoy, Josia O., Judy Waani, Fela Warouw. 2017. Adaptasi Permukiman
Sungai di Kampung Tubir Kota Manado Terhadap Resiko Banjir.
Daseng: Jurnal Arsitektur

Lestari, Puji. Analisis Perubahan Sosial Pada Masyarakat Samin (Studi Kasus di
Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Blora). DIMENSIA, 2008, 2.2.

Linuwar, T. W., & Setyowati, D. L. (2018). Kearifan Lokal Untuk Antisipasi


Bencana Longsor di Desa Kutorojo, Kecamatan Kajen, Kabupaten
Pekalongan. Edu Geography, 6(1), 80-88.

Lubis, Z. (1997). Repong Damar: Kajian tentang pengambilan keputusan dalam


pengelolaan lahan hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat (No. CIFOR
Working Paper no. 20, p. 17p). CIFOR.

Lumantarna, B., & Pudjisuryadi, P. (2012). Learning from Local Wisdom:


Friction Damper in Traditional Building. Civil Engineering Dimension,
14(3), 190–195.

Mahardika, E. A. S., Suwono, H., & Indriwati, S.E. 2016. Eksplorasi Kemampuan
Awal Literasi Biologi Siswa Kelas X SMAN 7 Malang. Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan SAINSTEK (SNBS,2016).
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta, 21 Mei 2016..

Maretta, Y. (2016). Preparing Prospective Teachers in Integrating Science and


Local Wisdom through Practicing Open Inquiry. Journal of Turkish
Science Education (TUSED), 13(2).

Marfai, M. A. (2012). Pengantar etika lingkungan dan Kearifan lokal.

Marlyono, S. G. (2017). Pengaruh Literasi Informasi Bencana Terhadap


Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana di Provinsi Jawa
Barat. Jurnal Geografi Gea, 16(2), 116-123.

Marrewijk, A. van. (2000). Indigenous Knowledge and Development Monitor,


8(1), 40.
194

McEntire, D.A. (2001), “Triggering agents, vulnerabilities and disaster reduction:


Towards a holistic paradigm”. Disaster Prevention and Management,
vol. 10, no. 3, pp. 189-196

Mekar, A. Kinasti. 2014. Pengaruh Struktur Geologi Terhadap Gerakan Tanah Di


Dusun Windusari, Desa Metawana, Kecamatan Pagentan Kabupaten
Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1,
Januari 2014

Milles, M. B. Huberman. Analisis Data Kualitatif.

Moleong, L. J. (2004). Metode kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Montgomery, D.R., Schmidt, K.M., Greenberg, H.M., & Dietrich, W.E. (2000).
Forest clearing and regional landsliding. Geology, 28(4), 311314.

Muslim, B. (2015). Pengujian Teknik Korelasi Untuk Deteksi Pengaruh Aktivitas


Gempa Bumi Besar Pada Ionosfer [Examination of Correlation
Technique For Detecting The influence Of Great Earthquake Activities
on Ionosphere]. Jurnal Sains Dirgantara, 12(2).

Mustafa, B., Sipil, J. T., & Andalas, U. (2010). Analisis gempa nias dan gempa
sumatera barat dan kesamaannya yang tidak menimbulkan tsunami, 2(1),
44–50.

Nur, A. M. (2010). Gempa Bumi, Tsunami dan Mitigasinya. Jurnal Geografi,


7(1).

Nuranita, Badriana. 2013. Kajian Potensi Rumah-Rumah Adat Di Indonesia


Sebagai Salah Satu Solusi Dalam Mitigasi Bencana Alam Gempa Karya
Tulis Ilmiah. Institut Teknologi Nasional: Bndung

Permana, C. E., Nasution, I. P., & Gunawijaya, J. (2012). Kearifan lokal tentang
mitigasi bencana pada masyarakat Baduy. Hubs-Asia, vol. 9(2)

Pertiwi, I., Prajanti, S. D. W., & Juhadi, J. (2017). Strategi Adaptasi Petani Dalam
Pengolahan Lahan Kering di Desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabupaten
Wonosobo. Journal of Educational Social Studies, 6(2), 87-91

Priyowidodo, G., & Luik, J. E. (2013). Literasi Mitigasi Bencana Tsunami untuk
Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pacitan. Ekotrans, 13(1), 47–61.

Putri, N. A. E., Sanjoto, T. B., & Sriyanto, S. (2018). Pendidikan Mitigasi


Bencana Tsunami dengan Menggunakan Media Pembelajaran Buku Saku
Pada Masyarakat Pesisir Desa Karanggadung Kecamatan Petanahan
Kabupaten Kebumen. Edu Geography, 6(1), Hal. 73
195

Pyles, L. (2007). Community organizing for post-disaster social development:


Locating social work. International social work, 50(3), 321-333.

Rakhman, A. N., & Kuswardani, I. (2012, November). Studi Kasus Gempa Bumi
Yogyakarta 2006: Pemberdayaan Kearifan Lokal Sebagai Modal
Masyarakat Tangguh Menghadapi Bencana. In Prosiding. Seminar
Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi (SNAST) Periode III (Vol. 3).

Rosana, E. (2011). Modernisasi dan perubahan sosial. Jurnal TAPIs, 7(1), 46-62.

Rusdi, U. (1986). Arsitektur tradisional daerah Lampung. Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah.

Saddam, Setyowati, D. L., & Juhadi. (2016). Integrasi Nilai-nilai Konservasi


dalam Habituasi Kampus untuk Pembentukan Kepribadian Mahasiswa
Universitas Negeri Semarang. Journal of Educational Social Studies,
5(2), 128–135.

Saita, J., & Nakamura, Y. (2003). UrEDAS: the early warning system for
mitigation of disasters caused by earthquakes and tsunamis. In Early
warning systems for natural disaster reduction (pp. 453-460). Springer,
Berlin, Heidelberg.

Santoso, A. B., & Juhadi, J. (2017). Pelaksanaan Program Siaga Bencana Di


Sekolah Menengah Pertama Pada Kawasan Rawan Bencana. Edu
Geography, 5(3), 86-94.

Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat.


Jurnal Filsafat, 37, 111-120.

Sejati, P. M. (2015). Pengembangan Buku Teks Mitigasi Bencana Gunung Api


Untuk Sekolah Dasar. Basic Education, 4(14).

Setiawan, H. (2014). Analisis Tingkat Kapasitas Dan Strategi Coping Masyarakat


Lokal Dalam Menghadapi Bencana Longsor-Studi Kasus Di
Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan, 11(1), 70-81.

Setyowati D. L. 2017. Disaster Education based on Social Wisdom to Cope with


Tidal Flood In Bedono Village, Distric Sayung, Demak,Man In India;
97(5): 12.

Setyowati, D. L. (2008). Antisipasi Penduduk dalam Menghadapi Banjir Kali


Garang Kota Semarang. In Forum Ilmu Sosial (Vol. 35, No. 2).
196

Setyowati, D. L., Juhadi, J., & Kiptida’iyah, U. (2017). Konservasi Mata Air
Senjoyo Melalui Peran Serta Masyarakat Dalam Melestarikan Nilai
Kearifan Lokal. Indonesian Journal Of Conservation, 6(1).

Setyowati, D. L., Qomariah., Hendro Ari Wibowo., dan Dany Miftah . 2012.
Kearifan Lokal dalam Menjaga Lingkungan Pengairan, Kepulauan, dan
Pegunungan. Semarang: Sanggar Press

Sieh, K., & N atawidjaja, D. (2000). Neotectonics of the Sumatran fault,


Indonesia. Journal of Geophysical Research: Solid Earth, 105(B12),
28295-28326.

Sriyono, A. Suroso. Setyowati, D.L. (2012). Identifikasi Kawasan Rawan


Bencana Longsor Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang (Doctoral
dissertation, Universitas Negeri Semarang).

Suarmika, P. E., & Utama, E. G. (2017). Pendidikan Mitigasi Bencana Di Sekolah


Dasar (Sebuah Kajian Analisis Etnopedagogi). JPDI (Jurnal Pendidikan
Dasar Indonesia), 2(2), 18-24.

Subiyantoro, I. (2010). Selayang Pandang tentang Bencana. Jurnal Dialog


Penanggulangan Bencana, 1, 43-46.

Sugiyono. 2009. Metode Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfa Beta

Suharini, E., Setyowati, D. L., & Kurniawan, E. (2014). Public Perception of


Disaster Landslides and Efforts to Overcome in Subdistrict Kaloran
Central Java Indonesia. Universal Journal of Geoscience, 2(7), 195-199.

Suharini, Erni, Setyowati, D. L., & Edi, K. (2017). Pembelajaran Kebencanaan


Bagi Masyarakat Di Daerah Rawan Bencana Banjir Das Beringin Kota
Semarang. In Forum Ilmu Sosial (Vol. 42, No. 2, pp. 184-195).

Suharno, S., & Mulyatno, B. S. (2012). Distribusi Peluang Tingkat Resiko Gempa
Wilayah Provinsi Lampung Berdasarkan Data Gempa 1990-2004. Jurnal
Sains MIPA Universitas Lampung, 12(1).

Suprapto, Y., Fasha, E. F., Setyowati, D. L., & Suharini, E. Enhancement of


dissaster understanding through dissaster learning media of PGSD
students in Peradaban University academic year 2017/2018. c, 129.

Suparmini, M. S., Setyawati, S., M., Sumunar, D. R. S., Leuwidamar, K., &
Banten, K. L. P. (2013). Mitigasi Bencana Berbasis Kearifan Lokal
Masyarakat Baduy. Jurnal Penelitian Humaniora UNY, 19(1).
197

Suprihati, S., Yuliawati, Y., Soetjipto, H., & Wahyono, T. (2015). Persepsi Petani
Dan Adaptasi Budidaya Tembakau-sayuran Atas Fenomena Perubahan
Iklim Di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali (Farmers
Perception and Adaptation of Tobacco-vegetables Cultivation Toward
Climate Change Phenomena at Tlogolele VI. Jurnal Manusia dan
Lingkungan, 22(3), 326-332.

Suwantara, I. K., & Suryantini, P. R. (2014). Kinerja Sistem Struktur Rumah


Tradisional Ammu Haw Dalam Merespon Beban Seismik. Jurnal
Permukiman, 9(2), 102-114.

Syamsuddin Makmun, A. (2003). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Rosda.


Karya Remaja.

Syawaludin, M. (2014). Alasan Talcott Parsons Tentang Pentingnya Pendidikan


Kultur. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 7(2), 87-
104.

Tashakkori, A., & Teddlie, C. (Eds.). (2010). Sage handbook of mixed methods in
social & behavioral research. Sage.

Tibby, J., Lane, M. B., & Gell, P. A. (2007). Local knowledge and environmental
management: a cautionary tale from Lake Ainsworth, New South Wales,
Australia. Environmental Conservation, 34(4), 334-341.

Tondobala, L. (2012). Pemahaman tentang kawasan rawan bencana dan tinjauan


terhadap kebijakan dan peraturan terkait. SABUA, 3(1).

Veitch & Arkkelin, D. 1995. Environmental Psichology: An Interdisciplinary


Perspective. New Jersey: Prentices Hall

Velasquez, G. T., Uitto, J., Wisner, B., & Takahashi, S. (1999). A new approach
to disaster mitigation and planning in megacities: The pivotal role of
social vulnerability in disaster risk management. Cities and the
environment: New approaches for eco-societies, edited by Takashi
Inoguchi, E. Newman, and G. Paoletto, 161, 184.

Wiloso, D. A., & Vienastra, S. (2018). Mitigasi Bencana Tsunami Di Sdn


Tirtohargo Dusun Baros, Desa Tirtohargo, Kecamatan Kretek,
Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Gaung
Informatika, 11(1), Hal 58

Wiratuningsih, D., Setyowati, D. L., & Suhandini, P. (2018). The Adaptation of


The Society in Coping with Tidal Flood in Kemijen Village Semarang
City. Journal of Educational Social Studies, 7(2), 146-153.
198

Wismarini, T. D., & Ningsih, D. H. U. (2010). Analisis Sistem Drainase Kota


Semarang Berbasis Sistem Informasi Geografi dalam Membantu
Pengambilan Keputusan bagi Penanganan Banjir. Dinamik, 15(1).

BMKG. Diperoleh dari https://www.bmkg.go.id/ (diunduh 12 Desember 2018)

BPBD Pesisir Barat. Diperoleh dari https://www.bpbdpesisirbarat.com/.


(diunduh 12 Desember 2018)

DPU. 2009. Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa. Diakses pada lama
https://geologi.co.id/wp-content/uploads/2009/09/ditjen-cipta-karya-dpu-
2006_pedoman-teknis-rumah-bangunan-tahan-gempa.pdf. Pada tanggal
18 April 2019

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010Tentang Mitigasi


Bencana Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Undang-undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:


Depdiknas

Anda mungkin juga menyukai